• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taksonomi Mawar

Mawar berasal dari dataran Cina, Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam perkembangannya, menyebar luas di daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis) dan panas (tropis) (Diamond, 1990). Terdapat ribuan varietas dari mawar, masing-masing memiliki aroma yang berbeda-beda, jumlah petal yang berbeda, begitu juga warna dan nama yang berbeda.

Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), mawar diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosanales Famili : Rosaceae Genus : Rosa

Mawar termasuk tanaman tahunan (perennial) yang mempunyai struktur batang berkayu keras, berduri, bercabang banyak, menghasilkan bunga dan biji terus-menerus (Rukmana, 1995). Selama siklus hidupnya, tanaman mawar terus tumbuh seolah-olah tidak terbatas dan masa produksinya berulang-ulang.

Mawar berdasarkan cara tumbuhnya dibedakan menjadi dua, yaitu merambat dan semak. Tipe pertumbuhan semak dibagi dalam tiga kelompok yaitu polyantha, floribunda dan hybrid tea (Dole dan Wilkins, 2005). Mawar mini termasuk dalam kelompok polyantha.

Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa Polyantha merupakan jenis mawar taman yang sangat beraneka ragam, bunganya kecil dengan garis tengah sekitar 5 cm dan di dekat pucuk cabangnya terdapat banyak ranting yang masing-masing memiliki sekuntum bunga. Mattjik (2009) menambahkan bahwa Polyantha merupakan tanaman semak pendek (50-60 cm), memiliki ciri menghasilkan bunga terus-menerus, bunganya bergerombol dengan

ukuran kecil, diameter bunga ± 5 cm, daun bunga kelipatan 5 dan warna bunga biasanya merah, kuning, putih, merah jambu, salmon dan orange.

Meskipun mawar memiliki sangat banyak jenis yang berbeda-beda, namun hanya sedikit yang dapat dijadikan tanaman pot. Polyantha sejauh ini merupakan kelompok yang paling baik untuk dijadikan tanaman pot berdasarkan ukuran tanaman, bentuk dan tampilan bunganya (Hammer, 1992).

Kegunaan dan Syarat Tumbuh Mawar

Mawar merupakan salah satu tanaman hias bunga yang paling terkenal di dunia (Dole dan Wilkins, 2005). Permintaan tanaman hias mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya permintaan tanaman hias di dalam negeri disebabkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraan dan tanggapan masyarakat terhadap kenyamanan dan keindahan lingkungan (Ashari, 1995).

Tabel 1. Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2006-2010

Tanaman Tahun (Tangkai)

2006 2007 2008 2009 2010 Krisan 63 716 256 66 979 260 99 158 942 107 847 072 120 485 784 Mawar 40 394 027 59 492 699 39 131 603 60 191 362 82 643 413 Sedap malam 30 373 679 21 687 493 25 180 043 51 047 807 59 340 715 Anggrek 10 703 444 9 484 393 15 430 040 16 205 949 16 897 181 Sumber: www.bps.go.id

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah produksi mawar terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Pada tahun 2010 jumlah produksi mawar menduduki peringkat kedua setelah krisan, yaitu 120 485 784 tangkai. Peningkatan produksi tersebut merupakan dampak dari peningkatan permintaan konsumen terhadap tanaman mawar.

Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa mawar termasuk bunga yang paling disenangi di seluruh dunia dan sering dipakai sebagai lambang keindahan, ketenangan, kedamaian, dan pemujaan juga dapat dimanfaatkan sebagai bunga potong dan tanaman hias, serta sebagai bunga tabur dan bahan industri kosmetika atau pewangi makanan. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa mawar biasanya dimanfaatkan sebagai bunga potong,

tanaman hias dalam pot atau tanaman bedengan. Bunga merupakan hasil utama tanaman mawar. Gardner et al. (1985) menyatakan bahwa proses pembungaan sangat dikendalikan oleh lingkungan terutama fotoperiode, suhu dan faktor genetik terutama pengatur tumbuhan, hasil fotosintesa dan pasokan hara.

Tanaman mawar dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi di daerah tropis (Mattjik, N. A., 2009). Tanaman mawar yang dibudidayakan di daerah yang beriklim sejuk (dataran tinggi) warna bunganya lebih cerah dengan ukuran bunga yang lebih besar (Ashari, 1995). Mawar dapat ditanam di lapang maupun di rumah kaca. Cahaya, suhu dan karbon dioksida merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mawar yang ditanam di rumah kaca. Karena cahaya, suhu dan karbon dioksida merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mawar yang tumbuh di dalam rumah kaca (Dole dan Wilkins, 2005).

Mattjik (2009) menyatakan bahwa tanaman mawar merupakan tanaman terbuka (full sun), membutuhkan intensitas cahaya sampai 3000 fc, dengan lama penyinaran 12 jam untuk daerah tropis. Cahyono (1990) menyatakan bahwa tanaman mawar membutuhkan cahaya/penyinaran matahari penuh sepanjang hari, karena bila tempatnya terlindung akan mudah terserang cendawan dan pertumbuhannya kurang baik. Bila ditanam di rumah kaca intesitas cahaya yang dibutuhkan antara 300-1000 fc (60-200 µmol m-2 s-1) (Dole dan Wilkins, 2005). Mawar mini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 18-24 °C, suhu yang baik untuk pengakaran mawar yaitu 23-24 0C dan umumnya memerlukan karbon dioksida 700-1000 ppm (Dole dan Wilkins, 2005). Kelembaban udara yang baik untuk tanaman mawar sekitar 60-75%.

Beberapa penyakit yang menjadi masalah bagi tanaman mawar adalah bercak daun cendawan (Fungus leaf spot), Embun tepung (powdery mildew), karat (Rust), dan tumor atau puru (Crown gall) (Mattjik, N. A., 2009). Sanitasi dan pengendalian lingkungan merupakan hal yang mutlak diperlukan pada produksi mawar pot (Dole dan Wilkins, 2005).

Setek

Tanaman dapat diperbanyak secara seksual dengan biji, atau secara aseksual dengan setek, sambung, okulasi atau dengan cara vegetatif lain (Alam dan Chong, 2006). Pada tanaman mawar perbanyakan dengan biji membutuhkan waktu yang relatif lama dan biasanya dilakukan hanya untuk kegiatan pemuliaan. Konemann (2004) menyatakan bahwa untuk dapat berkecambah dengan baik, benih mawar membutuhkan perlakuan stratifikasi selama 8-12 minggu sebelum ditanam. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa biji hanya digunakan untuk kegiatan pemuliaan atau proyek genetik.

Perbanyakan dengan okulasi membutuhkan keahlian khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah terampil. Keterbatasan sistem okulasi yaitu membutuhkan batang bawah yang tepat untuk menunjang pertumbuhan selanjutnya, serta bibit yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu terbatas jumlahnya (Hasek, 1980). Perbanyakan dengan setek dilakukan jika ingin memperoleh tanaman yang sama dengan induk, dengan waktu yang lebih singkat dan tidak memerlukan suatu keahlian khusus.

Setek merupakan proses perbanyakan tanaman menggunakan bagian vegetatif dan ketika ditempatkan pada kondisi yang sesuai akan berkembang menjadi tanaman sempurna (Adriance dan Brisco, 1979). Setek terbagi atas setek akar, batang dan daun. Setek batang terdiri dari hardwood, semi hardwood, softwood, dan herbaceous setek. Perbanyakan dengan setek digunakan secara luas untuk tujuan komersial pada banyak industri bunga, industri tanaman hias daun, dan untuk perbanyakan spesies buah tertentu.

Perbanyakan dengan setek merupakan merupakan salah satu cara perbanyakan yang penting untuk regenerasi klon dari banyak tanaman hortikultura termasuk di dalamnya buah, bunga dan tanaman hias (Hartmann, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan setek adalah kondisi fisiologis tanaman induk (stock plant), umur tanaman induk, jenis bahan setek, waktu pengambilan setek, zat pengatur tumbuh (ZPT), adanya tunas dan daun, umur bahan setek, dan kondisi lingkungan (Dawson dan King, 1994).

Adriance dan Brisco (1979) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kedewasaan jaringan yang disetek dengan dan kecepatan membentuk akar, Jika

setek terlalu lunak dan muda, lebih mudah mengalami transpirasi dan tidak tahan kebusukan dan jika jaringan terlalu tua diperlukan waktu yang lama untuk pengakaran. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa pengakaran akan lambat dan perbanyakan akan tertunda jika setek terlalu tua.

Pembentukan akar adventif terdiri dari beberapa tahap, yaitu inisiasi sel-sel meristematik, diferensiasi sel-sel meristematik tersebut menjadi akar primordia, serta pertumbuhan dan perkembangan akar baru (Hartmann, 1990). Pada masa pengakaran lingkungan tumbuh diusahakan untuk tetap terjaga kelembabannya. Seringkali munculnya akar didahului oleh pembentukan kalus, akan tetapi adanya kalus tak merupakan tanda bahwa setek dapat menghasilkan akar (Hartman, 1990). Kalus adalah kumpulan sel parenkim yang bentuknya tidak beraturan dalam tahap lignifikasi yang bervariasi. Pembentukan kalus dan pembentukan akar tersendiri satu dengan lain, meskipun keduanya berhubungan dengan pembelahan sel (Hartman, 1990).

Lakitan (1996) menambahkan bahwa pembentukan akar adventif dapat timbul dari dua sumber: 1) jaringan kalus (wounded root). Akar yang keluar dari jaringan kalus akan lebih kuat dan lebih baik daripada akar yang keluar dari setek yang tidak berkalus. 2) bakal akar (morfologi atau akar primordial). Akar primer dari kalus muncul di daerah kambium vaskular (Febrijanti, 1999).

Akar merupakan bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah sebagai penegak dan penyerap air dan hara. Fungsi dari akar adalah menyerap unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman (Sitompul & Guritno, 1995). Menurut Schuurman dan Goedewaagen (1971) bahwa jumlah akar menunjukkan kemampuan dalam melakukan penyerapan unsur hara. Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur hara dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman pula.

Hartmann et al., (1997) menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh geotrofik, selain berfungsi sebagai penegak batang, juga berperan sebagai organ penghisap hara dalam mendukung laju pertumbuhan. Perakaran yang baik akan mampu menopang pertumbuhan dari tanaman.

Panjang akar menunjukkan batas kemampuan tanaman untuk menjangkau wilayah tertentu dalam penyerapan unsur hara, sehingga semakin panjang akar

memungkinkan setek untuk menyerap unsur hara, mineral dan air lebih banyak daripada akar yang pendek (Schuurman dan Goedewagen, 1971). Semakin bertambah panjang akar maka tanaman akan lebih kokoh dan air serta garam-garam mineral di dalam media tumbuh akan mudah diserap untuk disalurkan ke batang dan daun (Darliah, et al., 1994).

Suhu dan kelembaban merupakan hal yang penting dalam pengakaran. Salah satu hal yang dapat menjaga kelembaban tanaman adalah dengan memberikan irigasi yang teratur. Irigasi semprot dan pengkabutan menyemprotkan air langsung ke setek untuk mengurangi transpirasi dan menjaga turgiditas setek sehingga memungkinkan perkembangan akar (Dole dan Wilkins, 2005).

Penyemprotan pada siang hari dapat menyebakan kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat menghambat pengakaran dan memacu perkembangan pathogen (Dole dan Wilkins, 2005). Sanitasi dan pengendalian lingkungan merupakan pencegahan terhadap perkembangan pathogen yang menyebabkan penyakit. Penyakit harus dikendalikan pada semua tahap pertumbuhan. Selanjutnya, karena setek diambil dari tanaman produksi, penyakit seringkali ikut terbawa ke keturunan berikutnya (Dole dan Wilkins, 2005).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 µM) dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, 1988). Ahli biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama zat pengatur tumbuh yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen.

Menurut Weaver (1972) terdapat 3 cara aplikasi zat pengatur tumbuh yang sering digunakan yaitu: (1) commercial powder preparation (pasta), (2) dilute solution soaking method (perendaman), dan (3) concentrated solution dip method (pencelupan cepat). Pemakaian zat pengatur tumbuh pada setek dapat menstimulasi akar, meningkatkan presentase pengakaran dan memberikan keseragaman waktu perakaran. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang menstimulasi pengakaran.

Zat pengatur tumbuh yang paling baik untuk merangsang akar adalah IBA dan NAA (Weaver, 1972). IBA memiliki aktivitas auksin yang lemah, zat kimia bersifat stabil dan tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah berlangsung lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya dan NAA memiliki sifat lebih beracun dari IBA dengan penggunaan konsentrasi yang tinggi harus dihindari karena dapat menyebabkan pelukaan pada tanaman (Weaver, 1972).

Auksin

Auksin merupakan kelas hormon tumbuhan yang pertama kali ditemukan, awalnya diketemukan pada urine manusia. Istilah auksin berasal dari bahasa Yunani auxein yang berarti tumbuh (Arteca, 2006). Sintesis auksin terjadi di daun, diangkut melalui sel, pergerakannya sampai ke batang. Pengangkutan dari batang ke akar mungkin juga melalui jaringan floem (Zong, et al., 2008).

Auksin adalah satu-satunya kelas hormon tumbuhan yang mempengaruhi pengakaran dan digunakan secara komersial untuk menstimulasi pengakaran adventif (Arteca, 2006). Zong et al. (2008) menambahkan bahwa peran utama auksin pada perbanyakan tanaman adalah menstimulasi akar pada setek batang dan daun dan meningkatkan cabang akar. Kegunaan dari hormon pengakaran yaitu secara keseluruhan meningkatkan persentase pengakaran, mempercepat inisiasi pengakaran, meningkatkan jumlah dan kualitas dari akar, dan mendorong pengakaran yang seragam (Macdonald, 2002).

Auksin yang secara alami ada dalam tubuh tumbuhan adalah Indole-3-Acetic Acid (IAA), namun IAA tidak digunakan secara komersil (Arteca, 2006). Zong et al. (2008) menyatakan bahwa semenjak diketahui bahwa IAA cepat rusak dengan cahaya dan mikroorganisme, IAA tidak digunakan lagi secara luas dalam perbanyakan tanaman.

Arteca (2006) menyatakan bahwa IBA (indole-3-butyric acid) dan NAA (naphthalene acetic acid) merupakan dua macam auksin yang paling sering digunakan untuk pembentukan akar adventif. NAA memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah. Menurut Zaer dan Mapes (1985), NAA memiliki sifat lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim.

Zong et al. (2008) menambahkan bahwa IBA dan NAA lebih tahan terhadap degradasi mikroba dan tanaman, IBA dan NAA terlihat lebih baik dan efektif lebih lama daripada IAA dan oleh karena itu digunakan secara lebih luas pada industri hortikultura untuk perbanyakan tanaman.

Auksin pada konsentrasi rendah akan memacu pertumbuhan akar adventif sedangkan pada konsentrasi tinggi mendorong terbentuknya kalus (Pierik, 1987). Zong et al. (2008) menambahkan bahwa meskipun dibutuhkan dan berguna untuk menginduksi akar primordial, auksin pada konsentrasi yang tinggi seringkali menghambat pertumbuhan akar primordial dan pemanjangan akar pada setek batang dan mikrosetek.

Arteca (2006) menyatakan bahwa auksin terlibat dalam banyak proses fisiologi tanaman seperti menginduksi pemanjangan sel, fototropisme, gravitropisme, dominansi apikal, inisiasi akar, produksi etilen, perkembangan buah, ekspresi seks dan pengendalian gulma.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI) Segunung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah mawar mini kultivar Romantica meilandina yang telah berumur 1 tahun. Bahan lain yang digunakan adalah IBA (indole-3-butyric acid) dan NAA (naphthalene acetic acid), aquades, arang sekam, pupuk kandang kuda, pasir malang, pupuk urea (25:7:7 & 16:16:16), Gandasil-B dan pestisida. Alat yang digunakan adalah pisau setek, cutter, irigasi semprot, timbangan digital, oven, timer, dan penggaris.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial, disusun dalam rancangan lingkungan acak lengkap. Faktor pertama adalah IBA (indole-3-butyric acid) dan faktor kedua adalah NAA (naphthalene acetic acid) masing-masing dengan lima taraf konsentrasi yaitu 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm dan 400 ppm. Terdapat 25 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 75 satuan percobaan. Pada setiap satuan percobaan terdapat 10 batang setek, sehingga terdapat 750 batang setek.

Model linier aditif yang digunakan: Yijk = µ + i + βj + ()ij + ijk Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pengaruh konsentrasi IBA ke-i, konsentrasi NAA ke-j, dan ulangan ke-k

i = Pengaruh konsentrasi IBA ke-i, {i = 1, 2,…,25} βj = Pengaruh konsentrasi NAA ke-j, {j = 1, 2,…,25}

()ij = Pengaruh interaksi konsentrasi IBA ke-i, dengan konsentrasi NAA ke-j ijk = Pengaruh galat percobaan konsentrasi IBA ke-i, konsentrasi NAA ke-j

dan ulangan ke-k

Data yang diperoleh diuji dengan uji F. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di dalam rumah kaca dan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Persiapan

Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan bahan tanam, bak pengakaran dan rumah kaca. Bahan tanam yang digunakan sehat, tidak terlalu tua atau pun terlalu muda, yang berumur sekitar 1 tahun. Bak pengakaran dipetak-petakan sesuai dengan kebutuhan jumlah perlakuan, merendam sekam dengan fungisida kemudian mengisi bak pengakaran dengan sekam untuk menghindari serangan cendawan. Rumah kaca dibersihkan untuk mendukung pertumbuhan dari setek.

2. Pengambilan setek batang

Potong bahan tanam dengan pisau setek, pemotongan setek dilakukan miring sebesar 450. Hal tersebut dilakukan untuk memperluas bidang setek. Setiap satu setek terdiri dari 2 buku dan 1 daun. Setek diambil dari bagian tengah batang. Sebelum diberi perlakuan, setek direndam di dalam ember yang berisi air untuk menghindari transpirasi yang berlebihan. 3. Pembuatan larutan perlakuan (IBA dan NAA)

Larutan auksin diperoleh melalui mengencerkan IBA dan NAA dengan aquades.

4. Perlakuan auksin

Pada setiap perlakuan, setek direndam dengan IBA atau NAA selama 15 menit. Setelah pengaplikasian tanam setek pada bak pengakaran sedalam 3 cm.

5. Pemindahan ke pot

Saat setek berumur 4 minggu, dilakukan pemindahan ke pot. Media yang digunakan adalah arang sekam, pasir malang dan kotoran kuda dengan perbandingan (2:1:1).

6. Pemeliharaan

Setek yang telah ditanam untuk irigasinya menggunakan irigasi semprot otomatis. Pemupukkan dilakukan setelah pemindahan setek ke pot, dengan dosis 1 gr/l, setiap pot memperoleh 300 ml setiap aplikasi. Pemupukan NPK mutiara (25:7:7) dilakukan 2 minggu sekali saat 4–8 MST, kemudian tanaman diberikan pupuk NPK mutiara (16:16:16) seminggu sekali pada 9-10 MST. Pada saat tanaman mulai memasuki fase generatif dan tanaman dipupuk dengan gandasil-B pada 11-19 MST setiap minggunya untuk mendukung fase generatif dari tanaman.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan dengan berbagai peubah, antara lain : 1. Waktu munculnya akar

Pengamatan dilakukan setiap hari setelah 7 HST, untuk mengetahui waktu munculnya akar pertama kali.

2. Jumlah akar

Pengamatan dilakukan pada 2-4 MST, pada akar yang telah memiliki panjang minimal 2 mm, dihitung hanya jumlah akar utama.

3. Panjang akar

Pengamatan dilakukan pada 2-4 MST, pada akar yang telah memiliki panjang minimal 2 mm, diukur dari pangkal setek hingga akar terpanjang. 4. Persentase setek hidup

Pengamatan dilakukan pada 2 MST dan 5 MST 5. Panjang tunas

Pengamatan dilakukan pada 5-13 MST, diukur dari pangkal tunas hingga ujung tunas.

6. Jumlah bunga

Pengamatan dilakukan pada 7-20 MST, merupakan akumulasi jumlah bunga selama 13 minggu pengamatan.

7. Bobot basah akar

Pengamatan dilakukan pada 21 MST, merupakan bobot keseluruhan akar setiap setek.

8. Bobot kering akar

Pengamatan dilakukan pada 21 MST, diperoleh dengan pengovenan akar pada suhu 70 °C, selama 48 jam.

Pengamatan waktu munculnya akar, jumlah akar dan panjang akar bersifat dekstruktif. Setek yang telah diamati tidak digunakan lagi sebagai bahan pengamatan pada pengamatan berikutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penelitian dilaksanakan di lokasi dengan ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Suhu di dalam rumah kaca berkisar antara 12-37 0C dengan kelembaban 39.5-96%. Perbedaan suhu maupun kelembaban pada siang hari dengan malam hari cukup signifikan. Namun, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan dari tanaman mawar mini karena mawar mini dapat tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi dengan perbedaan suhu yang memang signifikan.

Tanaman mawar merupakan tanaman yang mudah diperbanyak dengan setek. Daya tumbuh mawar yang disetek pada minggu kedua dan kelima percobaan mencapai 70% dan 60%. Tanaman mawar mulai mengeluarkan akar pada minggu pertama setelah setek, mengeluarkan tunas pada minggu kedua dan menghasilkan bunga pada minggu ketujuh.

(a) (b)

Gambar 1. Setek Mawar Mini di Lokasi Penelitian Umur 2 MST (a); Setek Mawar Mini Umur 17 MST (b).

Penelitian dilakukan di dalam rumah kaca. Meskipun demikian, tanaman tidak terhindar dari serangan hama maupun penyakit. Hal tersebut karena di dalam rumah kaca juga terdapat induk dari setek dan tanaman mawar mini lain yang berbeda kultivar. Hama maupun penyakit yang terdapat pada tanaman induk dapat dengan mudah menyerang. Hama yang menyerang adalah kutu daun, tungau, thrips, ulat grayak, kumbang dan laba-laba.

Pada saat pertengahan penelitian curah hujan cukup tinggi dan suasana di dalam rumah kaca pun cukup lembab. Hal tersebut mengakibatkan tanaman mawar terserang penyakit embun tepung yang disebabkan oleh cendawan Oidium sp. Penyebaran penyakit tersebut relatif sangat cepat yang menyebabkan rontoknya tunas-tunas muda, bahkan menimbulkan kematian setek. Pada beberapa perlakuan yang seluruh seteknya mati dilakukan penyulaman, begitu juga pada perlakuan-perlakuan yang jumlah seteknya tidak cukup untuk memenuhi pengamatan selanjutnya. Penyulaman dilakukan pada minggu ketiga setelah tanam.

Pupuk yang diberikan selama kegiatan pemeliharaan adalah pupuk NPK mutiara (25:7:7), dilanjutkan dengan NPK mutiara (16:16:16) dan pupuk gandasil-B pada saat tanaman sudah berbunga. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung setiap fase pertumbuhan dari tanaman.

Pada saat tanaman berumur 4 minggu setelah tanam (MST), tanaman dipindahkan ke pot. Media yang digunakan adalah arang sekam, kotoran kuda dan pasir malang (2:1:1). Setelah tanaman dipindahkan ke pot pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Pengamatan berakhir setelah 21 minggu setelah tanam (MST).

Peubah yang diamati selama penelitian berlangsung yaitu waktu munculnya akar, jumlah akar, panjang akar, persentase setek hidup, panjang tunas, jumlah bunga, bobot kering akar dan bobot basah akar. Seluruh data yang diperoleh diuji dengan F-Hitung.

Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Setek Mawar Mini (Rosa hybrida L.) pada Berbagai Peubah Pengamatan

Peubah Umur

(MST) IBA NAA IBA*NAA KK (%) Respon

Waktu munculnya akar 1-2 ** tn tn 31.80 K**

Jumlah akar 2 * tn tn 47.87 L** 3 tn tn tn 43.63 tn 4 tn tn tn 38.79 tn Panjang akar 2 ** tn tn 49.28 L** 3 tn tn tn 45.13 tn 4 tn tn tn 45.12 tn Persentase hidup 2 tn tn tn 34.01 tn 5 tn * tn 42.68 L** Panjang tunas 5 tn tn * 26.22 tn Jumlah bunga 7-20 tn tn tn 31.24 tn

Bobot basah akar 21 tn tn tn 58.51 tn

Bobot kering akar 21 tn tn tn 44.84 tn

Keterangan : * = Berbeda nyata pada taraf 5%

** = Sangat berbeda nyata pada taraf 1% tn = Tidak berbeda nyata

L = Linier K = Kuadratik

Seluruh data yang berbeda nyata kemudian diuji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.

Waktu Munculnya Akar

Pengamatan waktu munculnya akar dilakukan setiap hari setelah 7 hari setelah tanam (HST), selama 8 hari dan pada saat tersebut setek dari semua perlakuan telah berakar. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa IBA berpengaruh sangat nyata terhadap waktu munculnya akar yang ditunjukkan dengan respon kuadratik yaitu dengan persamaan Y = (3 × 10-5)x2 – 0.016x + 12.526 dan nilai R² = 0.8778. Waktu munculnya akar dengan nilai rataan terkecil menunjukkan perlakuan yang paling cepat mengeluarkan akar, sebaliknya waktu munculnya akar dengan nilai rataan terbesar menunjukkan perlakuan yang paling lama mengeluarkan akar.

Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi IBA terhadap Waktu Munculnya Akar

Perlakuan IBA 200 ppm menunjukkan waktu munculnya akar yang paling cepat yaitu selama 10.2 hari dan perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) menunjukkan waktu munculnya akar yang paling lama yaitu selama 12.4 hari. IBA berpengaruh terhadap waktu inisiasi akar dikarenakan sifat dari IBA yang

Dokumen terkait