2.1. Sejarah Perkembangan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum. L)
Tanaman kentang (Solanum tuberosum. L) berasal dari daerah sub tropik,
tepatnya di pegunungan Andes, Amerika Selatan, perbatasan antara Bolivia dan Peru. Di daerah asalnya, ditemukan lebih dari 5.000 spesies kentang, namun yang
paling banyak ditemukan adalah spesies Solanum tuberosum L. Daerah sub tropik
mempunyai suhu udara yang relatif rendah, sehingga apabila kentang ditanam di daerah tropik seperti Indonesia, maka tanaman kentang hanya dapat tumbuh
secara optimal di daerah dataran tinggi (Huaman 1986).
Menurut Permadi (1989), tanaman kentang masuk ke Indonesia pada abad ke 18 dan tumbuh baik pada dataran tinggi (di atas 1.000 m dari permukaan laut). Tanaman kentang pertama kali ditanam di sekitar Cisarua, Kabupaten Bandung dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Minahasa, Bali, dan Flores.
Sebagai bangsa yang masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, keberadaan kentang sebagai makanan pokok alternatif belum dikenal luas sampai beberapa dekade yang lalu. Meski konsumsi perkapita masih rendah dibanding standar konsumsi kentang rata-rata secara internasional, namun pertumbuhan kentang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2010, tingkat
konsumsi kentang naik dari 1,73 kilogram per kapita per tahun pada 2009 menjadi
1,84 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2010. Kentang bernilai ekonomis
tinggi karena memiliki harga cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya dan penyimpanan dapat diatur dalam jangka waktu cukup panjang sehingga pada waktu dijual akan mendapatkan harga yang tinggi.
2.2. Morfologi Tanaman Kentang
Tanaman kentang merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak,
termasuk Divisio Spermatophyta, Subdivisio Angiospermae, Kelas
Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies 13
Solanum tuberosum L. (Beukema 1977). Tanaman ini memiliki umur yang bervariasi antara 70 – 180 hari, dengan tinggi tanaman sekitar 50 – 120 cm dan
diameter kanopi sekitar 50 cm (Huaman 1986).
Batang tanaman kentang berbentuk segi empat atau segi lima, tergantung pada varietasnya. Batang tanaman tidak berkayu, namun agak keras, umumnya lemah sehingga rentan terhadap angin kencang. Warna batang umumnya hijau tua dengan pigmen ungu. Batang tanaman bercabang-cabang dan setiap cabang ditumbuhi oleh daun-daun yang rimbun. Permukaan batang halus, pada ruas batang tempat tumbuhnya cabang mengalami penebalan. Diameter batang kecil dengan panjang mencapi 1,2 meter (Samadi 2007).
Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun berselang-seling mengelilingi batang tanaman. Daun berbentuk oval sampai oval agak bulat dengan ujung meruncing dan tulang-tulang daun menyirip. Warna daun hijau muda sampai hijau tua hingga kelabu. Ukuran daun sedang dengan tangkai tidak panjang. Daun berkerut-kerut dan permukaan bagian bawah daun berbulu (Huaman 1986).
Tanaman kentang mempunyai sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar serabut umunya tumbuh menyebar (menjalar) ke samping dan menembus tanah dangkal. Akar tanaman berwarna keputih-putihan, halus dan berukuran sangat kecil. Di antara akar-akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan
fungsi menjadi bakal umbi (stolon) yang akan menjadi umbi.
Tanaman kentang ada yang berbunga ada yang tidak, tergantung varietas. Warna bunga bervariasi, yaitu kuning atau ungu. Pada tanaman kentang yang berbunga, bunga tumbuh dari ketiak daun teratas. Jumlah tandan bunga juga bervariasi sedikit sampai banyak.
Umbi terbentuk dari ujung stolon yang membengkak. Umbi kentang merupakan gudang makanan yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan mineral yang merupakan hasil fotosintesis. Ukuran, bentuk, dan warna umbi kentang bermacam-macam tergantung varietas. Ukuran umbi bervariasi besar dan kecil. Bentuk umbi ada yang bulat, oval agak bulat (bulat lonjong), dan bulat panjang. Umbi kentang dapat berwarna kuning dan putih. Umbi kentang memiliki mata
tunas untuk bahan perkembangbiakan yang selanjutnya dapat menjadi tanaman baru (Sunarjono 1994).
2.3. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang Tanah dan Ketinggian Tempat
Tanaman kentang hanya dapat tumbuh dan produktif pada jenis tanah ringan yang mengandung sedikit pasir dan kaya bahan organik. Tanah andosol yang mengandung abu vulkanik dan tanah lempung berpasir merupakan tanah yang cocok untuk tempat tumbuh tanaman kentang. Jenis tanah mempengaruhi kandungan karbohidrat umbi kentang. Pada umumnya kentang yang dikembangkan di tanah berlempung mempunyai karbohidrat lebih tinggi dan rasa kentang akan lebih enak.
Tanaman kentang tumbuh pada tanah dengan pH antara 5 – 5,5. Pada
tanah asam (pH kurang dari 5), tanaman sering mengalami gejala kekurangan unsur Mg dan keracunan Mn sehingga mudah terserang nematoda. pH tanah lebih dari 7 mengakibatkan muncul gejala keracunan unsur K, sehingga umbi mudah terserang penyakit kudis dan tidak laku dijual.
Tanaman kentang tumbuh dengan baik di dataran tinggi atau pegunungan
dengan ketinggian tempat antara 800 sampai 1.500 m dpl. Kentang yang ditanam
pada dataran rendah, di bawah 500 m dpl mengakibatkan kentang sulit membentuk umbi. Walaupun kadang terbentuk umbi, tapi umbi yang terbentuk sangat kecil. Sementara itu, apabila ditanam di atas ketinggian 2.000 m dpl tanaman akan lambat membentuk umbi.
Iklim
Suhu udara berhubungan erat dengan ketinggian tempat, tiupan angin, serta kelembaban udara. Kelembaban udara berhubungan dengan curah hujan,
penguapan tanah. Kentang menghendaki suhu udara 15 – 22 oC dengan suhu
optimum 18 – 20 o
Tanaman kentang memerlukan banyak air, terutama pada stadia berbunga, tetapi tidak menghendaki hujan lebat yang berlangsung terus menerus. Curah
hujan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kentang sebesar 2.000 – 3.000 mm
tahun
C, kelembaban udara 80% – 90% (Ewing dan Struick 1995).
-1
memperlemah energi surya sehingga fotosintesis tidak berlangsung optimal. Hal ini menyebabkan umbi yang terbentuk kecil dan produksi menjadi rendah.
Tanaman kentang juga tidak menyukai daerah dengan kondisi mendung
dan berkabut. Sebaliknya tanaman ini memerlukan sinar matahari penuh (60% –
80%) untuk fotosintesis. Di daerah berkabut proses fotosintesis terhambat dan mendorong timbulnya penyakit busuk daun yang disebabkan oleh cendawan. Demikian pula angin ribut yang sering terjadi dapat merusak tanaman kentang, sehingga kemampuan membentuk umbi berkurang.
2.4. Pengaruh Unsur Cuaca terhadap Perkembangan dan Pertumbuhan Tanaman Kentang
Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap
perkembangan tanaman adalah thermal unit. Laju perkembangan tanaman
berbanding lurus dengan suhu di atas suhu dasar. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan terutama pada respirasi. Dalam proses respirasi hasil fotosintesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O, sehingga semakin besar respirasi laju pertumbuhan akan berkurang (Handoko 1994).
Kentang memiliki lima fase perkembangan tanaman yaitu: 1) tunas, 2) pembentukan organ tanaman, 3) pembentukan umbi, 4) pengisian umbi, dan 5) pematangan umbi (Burns et al. 2005). Setiap periode atau waktu dari fase perkembangan dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan suhu udara.
Menurut Nonnecke (1989) jika selama perkembangan umbi terjadi cekaman suhu yang tinggi, umbi yang dihasilkan akan berbentuk abnormal karena terjadi pertumbuhan baru dari umbi yang telah terbentuk sebelumnya yang disebut pertumbuhan sekunder (retakan-retakan pada umbi, pemanjangan bagian ujung umbi, dan kadang-kadang terjadinya rangkaian umbi). Suhu tinggi, keadaan berawan, dan kelembaban udara rendah akan menghambat pertumbuhan,
Pertumbuhan vegetatif dan produksi suatu tanaman juga tergantung pada interaksi antara tanaman dan keadaan lingkungan di mana tanaman itu tumbuh. Keadaan lingkungan yaitu iklim, tanah dan organisme lainnya. Faktor ini dapat membatasi, mendorong pertumbuhan, dan produksi tanaman, sehingga untuk memperoleh produksi dapat dilakukan dengan pengaturan faktor-faktor lingkungan sebaik mungkin.
pembentukan umbi, dan perkembangan bunga. Fluktuasi kelembaban udara yang sangat berbeda antara siang dengan malam akan mengurangi hasil. Jika malam hari kelembaban rendah, suhu udara menjadi tinggi, tanaman akan banyak melakukan respirasi.
Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap
bulan rata-rata 200 – 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika
dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan stolon dan umbi. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke 1989).
Bodlaender (1983) menyatakan bahwa untuk dapat berfotosintesis dengan baik, tanaman memerlukan intensitas cahaya yang tinggi yang diperlukan untuk mengaktifkan distribusi asimilat, memperpanjang cabang, dan untuk meningkatkan luas serta bobot daun. Meningkatnya cahaya yang dapat diterima tanaman akan mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan, tetapi intensitas cahaya yang berlebihan dapat menurunkan hasil karena terjadi transpirasi yang tinggi yang tidak dapat diimbangi dengan penyerapan air dari dalam tanah. Oleh karena itu, sel akan kehilangan turgor, stomata menutup dan
absorbsi CO2
Selanjutnya, pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh radiasi surya. Radiasi surya merupakan sumber tenaga atau penggerak dari segala kehidupan di bumi. Intensitas radiasi yang diterima pada
puncak atmosfer bumi (solar constant) besarnya sekitar 1.360 W m
berkurang sehingga hasil fotosintesisnya berkurang.
-2
Radiasi surya yang sampai di permukaan bumi diserap tanaman melalui daun tanaman. Peran daun sebagai medium untuk fotosintesis, respirasi dan
. Energi radiasi surya tersebut akan diserap oleh permukaan bumi (termasuk atmosfer) yang akan digunakan untuk proses-proses fisika atmosfer, misalnya pemanasan udara dan penguapan. Disamping itu, energi radiasi surya ini juga merupakan sumber energi untuk fotosintesis, tetapi jumlahnya kurang dari 5% dibandingkan untuk proses-proses fisika atmosfer tersebut (Handoko 1994).
transpirasi menyebabkan interaksi dengan lingkungan atmosfer menjadi sangat penting. Besaran yang menggambarkan jumlah radiasi surya yang mampu diserap tanaman adalah indeks luas daun. Indeks luas daun (LAI) menggambarkan rasio luas total permukaan daun terhadap luas proyeksi permukaan lahan yang ternaungi.
Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang merupakan selisih antara radiasi yang sampai pada permukaan di atas tajuk tanaman dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah di bawah tajuk tanaman. Banyaknya radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada besarnya radiasi yang datang, LAI, kedudukan atau sudut daun dan distribusi daun dalam tajuk (Sitompul 2002).
2.5. Indeks Luas Daun (LAI)
Istilah indeks luas daun (LAI) diperkenalkan oleh Watson (1947) yang
merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan (Dadhwal et al. 2003). Menurut
Myneni et al. (1997) karena cahaya matahari tersebar merata, maka LAI secara
kasar juga dapat diartikan sebagai ukuran luas daun per unit cahaya matahari yang tersedia. LAI dapat dihitung dengan menggambar bentuk daun pada kertas kemudian kertas diukur dengan planimeter, setelah itu dibuat hubungan antara luas daun dengan berat daun, sehingga luas daun dapat diduga dengan
perbandingan antara luas daun dengan berat daun.
Semakin tinggi LAI persatuan luas lahan akan meningkatkan penyerapan radiasi oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis akan maksimal yang menyebabkan produksi potensial meningkat. Dalam kaitan dengan penyerapan radiasi surya oleh tanaman maka bentuk daun menjadi penting Bentuk daun erat kaitannya dengan varietas. Varietas memiliki keragaman sifat seperti umur, bentuk tajuk dan akar, serta kepekaan atau ketahanan terhadap kekurangan atau kelebihan air, hara, radiasi surya, suhu udara, hama dan penyakit tertentu (Makarim 2009). Selain bentuk daun pengaturan jarak tanam akan memungkinkan penyerapan radiasi oleh tajuk tanaman lebih efisien (Muyan 2010).
LAI setiap tanaman berbeda-beda tergantung morfologi daun masing-
nilai LAI. Nilai LAI akan meningkat dengan semakin rapat tanaman, kondisi ini terjadi karena jarak antar tajuk tanaman semakin dekat, sehingga kemampuan tajuk tanaman untuk menutupi permukaan tanah tempat berdirinya tegakan menjadi semakin besar.
Menurut Biscoe dan Gallagher (1977) pada beberapa tanaman dengan LAI
berkisar 4 – 5 dapat mengintersepsi sekitar 80% radiasi yang datang di atas tajuk,
sedangkan untuk tanaman kentang pada nilai LAI sebesar 3 dapat mengintersepsi sekitar 85% radiasi yang datang di atas tajuk.
2.6. Koefisien Pemadaman Tajuk (k)
Pemadaman adalah suatu istilah yang mencakup semua kejadian dimana radiasi yang melewati suatu medium akan menjadi lemah atau berkurang intensitasnya. Kemampuan pemadaman cahaya oleh kanopi tanaman dapat diketahui melalui nilai koefisien pemadaman (k). Penyerapan cahaya oleh tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai k.
Koefisien pemadaman tajuk (k) menggambarkan besar kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (Boer dan Las 1994). Setiap jenis tanaman memiliki koefisien pemadaman (k) yang berbeda tergantung nilai LAI. Nilai k dipengaruhi oleh sudut datang matahari dan sudut daun serta sebarannya. Jika sudut datang matahari kecil maka hampir seluruh radiasi matahari akan diintersepsi tajuk. Jika sudut daun besar (daun vertikal) sebagian besar radiasi matahari dapat sampai ke dasar tajuk, tetapi jika sudut daunnya kecil (daun horizontal) maka sebagian besar radiasi diintersepsi oleh tajuk bagian atas (Monteith 1975).
Koefisien pemadaman tajuk dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan Hukum Beer untuk transmisi. Pola pemadaman tajuk sesuai dengan
hukum absorbsi Lambert – Beer yang menyatakan bahwa setiap lapisan yang
tebalnya sama akan menyerap bagian radiasi yang sama dan yang melewatinya. Intensitas radiasi surya yang diintersepsi akan semakin besar apabila nilai LAI
semakin besar. Menurut Baharsjah dalam Bey (1991), LAI tanaman akan terus
meningkat hingga mencapai nilai maksimum, yaitu pada akhir pertumbuhan vegetatif yang kemudian akan menurun hingga mencapai panen. Produksi bahan
kering terbesar pada suatu tanaman akan dicapai pada saat nilai LAI optimum. Nilai LAI suatu tanaman erat hubungannya dengan berat kering tanaman.
2.7. Berat Kering Tanaman
Berat kering tanaman akan meningkat seiring dengan peningkatan nilai LAI, namun bila nilai LAI ini terus meningkat melewati nilai maksimum tanaman maka akan terjadi penurunan berat kering tanaman. Hal ini disebabkan penurunan laju fotosintesis akibat daun yang saling menaungi (Musawir 2005). Berat kering berkorelasi dengan jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman. Harjadi (1984) menyebutkan bahwa energi yang diserap tanaman ditunjukkan dengan biomassa, yang dinyatakan dalam berat kering tanaman. Oleh karena itu, besarnya radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman berbanding lurus dengan penambahan berat kering. Penambahan berat kering tanaman merupakan respon dari
penyerapan energi radiasi matahari (Kumar et al. 2008). Penerimaan radiasi pada
masing-masing daun dalam satu tajuk berbeda-beda sesuai dengan penutupan daun dalam tajuk pada ketinggian yang berbeda. Efisiensi penggunaan radiasi
suryaakan menjadi faktor konversi jumlah radiasi surya menjadi biomassa.
2.8. Neraca Air
Pengertian dasar neraca air adalah keseimbangan antara air yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah dengan air yang keluar ditambah dengan total air yang tertahan di dalam tanah. Menurut Sosrodarsono danTakeda (1978) neraca
air (water balance) merupakan penjelasan mengenai hubungan antara aliran
masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) dari proses sirkulasi air untuk suatu
periode tertentu di suatu daerah. Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat
persamaan neraca air yang sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan
saja. Pada metode ini semua aliran air masuk dan keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit.
Menurut Nasir (2002) berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis sebagai berikut :
1. Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama air secara umum.
2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika
kadar air tanah untuk perencanaan pola tanam secara umum.
3. Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama
dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman untuk perencanaan tanaman tiap kultivar.
Menurut Hillel (1971) neraca air lahan dapat diartikan sebagai masukan (input) air, keluaran (output) air dan perubahan simpanan air yang terdapat di dalam tanah pada suatu lingkungan tertentu selama periode waktu tertentu. Nasir
(2002) mengemukakan bahwa analisis neraca air lahan memerlukan input data
curah hujan (CH), evapotranspirasi potensial (ETp), kandungan air tanah pada kapasitas lapang (KL), dan kandungan air pada titik layu permanen (TLP).
Analisis neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam pertanian secara umum. Nasir (2002) mengatakan secara umum manfaat neraca air lahan untuk :
1. Mengetahui kondisi agroklimat terutama dari segi kondisi air
2. Mengetahui periode musim kemarau dan musim hujan berdasarkan keseimbangan antara hujan dan ETp.
3. Memilih jenis tanaman dan mengatur jadwal tanam dan panen serta mengatur kombinasi tanaman tumpang sari.
4. Mengatur pemberian air irigasi baik jumlah maupun waktu sesuai dengan keperluan. Informasi terpenting dari neraca air lahan adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar air tanah sehingga berguna untuk menyusun strategi pengelolaan usahatani.
Perhitungan neraca air lahan merupakan salah satu informasi penting untuk menentukan langkah kegiatan usaha tani dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena tingkat ketersediaan air mampu mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Jika tanaman mengalami cekaman air, maka pertumbuhan dan produksi akan turun. Penurunan ini akan semakin bertambah jika kejadian iklim dan cuaca yang mengganggu terjadi pada fase pertumbuhan tanaman yang peka terhadap
ketersediaan air. Jika peristiwa tersebut terjadi dengan intensitas yang tinggi dan daerah yang luas akan menurunkan produksi dalam jumlah yang besar.
2.9. Evapotranspirasi
Perhitungan neraca air sangat ditentukan oleh beberapa komponen, salah satu komponen terpenting dalam perhitungan neraca air adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah proses penguapan atau kehilangan air yang berasal dari permukaan tanah dan permukaan tumbuhan. Keduanya bertanggung jawab terhadap proses kehilangan air tanah di bawah kondisi lapang yang normal.
Evapotranspirasi potensial (ETp) merupakan konsep yang dikembangnkan oleh Penman (1948) yang membatasi laju penguapan terbesar dari suatu komunitas tanaman. Evapotranspirasi potensial terjadi jika air tanah mencukupi atau bukan merupakan faktor pembatas, tajuk tanaman menutup secara sempurna, dan tanaman cukup pendek (Handoko 1994). Selanjutnya menurut Handoko (1994) nilai ETa akan lebih kecil dibandingkan nilai ETp pada saat penutupan tajuk belum penuh atau pada saat permukaan tanah mengalami kekeringan.
Evapotranspirasi potensial menentukan kebutuhan air tanaman dan ditentukan oleh unsur iklim yang meliputi radiasi surya, suhu dan kelembaban udara serta kecepatan angin. Oleh sebab itu, pengukuran unsur iklim sangat diperlukan untuk menghitung kebutuhan air tanaman berdasarkan evapotranspirasi potensial serta kadar air tanah oleh curah hujan, sehingga dapat dihitung air irigasi pada suatu lahan.
2.10. Kadar air Tanah
Kadar air tanah dapat dinyatakan dalam persen berat yaitu nisbah massa air terhadap massa tanah kering yang ditempatinya, atau nisbah volume air terhadap volume tanah dalam kondisi tak terganggu (Murdiyarso 1991). Suplai air yang terjadi selama hujan menyebabkan pori-pori tanah terisi air. Sifat tanah yang mengkerut bila kekeringan menyebabkan banyak celah dan rongga pada tanah tersebut jika terjadi kekeringan. Karena itu, pada awal terjadi hujan kadar air tanah meningkat dengan laju yang cepat disebabkan laju infiltrasi yang tinggi (Asril dan Hidayati 1994). Pola kadar air tanah dalam satu musim tanaman
berfluktuasi tergantung pada keseimbangan antara curah hujan dan evapotranspirasi.
Berbagai cara telah dikembangkan untuk menduga kadar air dalam tanah dan perubahannya dalam suatu periode tertentu, misalnya dengan pengukuran
langsung dengan alat pengukur kadar air tanah seperti neutron-probe meter,
tensiometer, dan gypsum block meter. Prinsip kerja dari gypsum block meter
adalah jumlah air yang terdapat di dalam tanah akan menentukan hambatan perpindahan muatan listrik pada medium tanah. Pengukuran dilakukan melalui medium sepasang elektroda dari bahan logam yang tahan terhadap perubahan elektrokimia yang dimasukkan pada tanah yang diukur. Nilai yang terbaca merupakan nilai impedansi listrik yang selanjutnya dapat diolah menjadi informasi kadar air tanah berdasarkan data kalibrasi.
Perbedaan kadar air tanah pada lapisan kedalaman yang sama (berlainan petak) disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan terdapat perbedaan antara kemampuan menahan air pada tanah yang disebabkan oleh sifat fisika tanah. Apabila suplai air terbatas dan lapisan atas tidak jenuh air, maka aliran air dalam tanah akan berhenti bila tegangan air tanah hampir sama. Apabila suplai air tidak terbatas, maka tanah khususnya lapisan atas dapat jenuh oleh air, dan apabila infiltrasi dan pergerakan
air dalam tanah (perkolasi) lebih kecil dari suplai air maka terjadi runoff (Asril
dan Hidayati 1994).
2.11. Kebutuhan Air Tanaman
Doorenbos dan Pruitt (1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang diperlukan tanaman untuk menggantikan kehilangan air akibat proses evapotranspirasi pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah yang tinggi sehingga dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah. Faktor iklim yang mempengaruhi seperti radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam menentukan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi.
Kebutuhan air bagi tanaman untuk setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman berbeda (Saragi 2008). Kebutuhan air tanaman umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya petumbuhan tanaman hingga pertumbuhan vegetatif maksimum dan kemudian menurun kembali sampai pada tahap panen.
2.12. Pemodelan Tanaman
Pemodelan merupakan pendekatan kuantitatif untuk memprediksi perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman. Aplikasi model simulasi tanaman