• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan sifat kimia air pasangnya, lahan pasang surut dibagi menjadi dua zona yaitu zona air pasang surut salin dan pasang surut air tawar (Widjaya Adhi et al. 1992). Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapannya yaitu : 1) tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm (Widjaya Adhi 1986)

Lahan pasang surut berdasarkan tipologi lahannya, dibagi menurut macam dan tingkat masalah fisiko kimia tanahnya, yaitu 1) lahan potensial, kedalaman lapisan pirit > 50 cm dari permukaan tanah, 2) lahan sulfat masam (sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual), bila kedalaman lapisan pirit (FeS2 > 2%) < 50 cm dari permukaan tanah, 3) lahan gambut, mengandung lapisan sisa-sisa tanaman yang sudah lapuk secara alami, 4) lahan salin, dipengaruhi oleh intrusi alir laut selama lebih 3 bulan dalam setahunnya. Berdasarkan tipologinya, lahan gambut merupakan tipe lahan pasang surut yang terluas (10,9 juta ha), kemudian diikuti lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial ( 2.1 juta ha) dan lahan salin 0.4 juta ha (Widjaya Adhi 1986).

Masalah fisiko-kimia lahan untuk pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut meliputi antara lain genangan air dan kondisi fisik lahan, kemasaman tanah dan asam organik pada lahan gambut tinggi, mengandung zat beracun dan intrusi air garam, kesuburan alami tanah rendah dan keragaman kondisi lahan tinggi (Adimihardja et al. 1998; Sarwani et al. 1994). Dari ketiga tipologi lahan di lahan pasang surut, lahan sulfat masam merupakan lahan yang mempunyai kendala lebih berat, karena mempunyai lapisan pirit yang apabila teroksidasi mengakibatkan pH tanah yang masam sampai sangat masam, mempunyai kandungan unsur meracun Al dan Fe yang tinggi serta kandungan dan ketersediaan

hara yang rendah. Pada kondisi tergenang (reduktif) besi ferro biasanya berlebihan pada lahan sulfat masam yang dapat berakibat keracunan besi pada padi.

Reaksi oksidasi pirit menghasilkan besi ferri (Fe+3) dan H+ yang menyebabkan tanah menjadi sangat masam secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut (Dent, 1986).

FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O  Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+

Dalam keadaan reduktif (tergenang) besi ferri (Fe+3) akan tereduksi menjadi besi ferro (Fe+2) yang dapat diserap oleh tanaman dan dalam jumlah berlebihan dapat meracuni tanaman padi. Reaksi reduksi besi ferri menjadi besi ferro yang biasanya melibatkan bakteri pereduksi dapat digambarkan sebagai beikut (Dent 1986) :

Fe(OH)3 + 3H+ + e− Fe2+ + 3H2O

Gejala Keracunan Besi dan Karakter Morfologi dan Fisiologi pada Tanaman Padi

Keracunan besi pada tanaman disebabkan karena tingginya konsentrasi besi larut dalam tanah. Kebanyakan tanah mineral kaya akan besi, gejala keracunan besi pada jaringan daun yang mengakibatkan pengurangan hasil hanya terjadi pada kondisi lahan tergenang dimana terjadi proses reduksi yang melibatkan mikrobia yang merubah besi tidak larut (Fe+3) menjadi besi larut (Fe+2) (Beckers dan Ash 2005).

Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah, juga berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral (stres hara) P, K, Ca, Mg dan Zn yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 hasil reduksi Fe+3 dalam tanah (Sahrawat et al. 2004). Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman, penggunaan varietas yang peka seperti IR 64 menyebabkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini 2004; Suhartini dan Makarim 2009). Hasil penelitian Noor et al. (2006) menunjukkan varietas IR 64 memberikan hasil padi lebih rendah (58%)

dibandingkan varietas Margasari yang lebih toleran di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dengan kadar Fe tanah 719 ppm dan pH 3.84.

Dobermann dan Fairhurst (2000) mengemukakan mengenai prinsif terjadinya keracunan Fe pada tanaman : 1) konsentrasi Fe+2 yang tinggi dalam larutan tanah yang disebabkan oleh kondisi reduksi yang kuat dalam tanah dan atau pH yang rendah, 2) status hara yang rendah dan tidak seimbang di dalam tanah, 3) kurangnya oksidasi akar dan rendahnya daya ekslusi Fe+2 oleh akar yang disebabkan defisiensi hara P, Ca, Mg atau K, 4) kurangnya daya oksidasi akar (eksklusi Fe+2) akibat terjadinya akumulasi bahan-bahan yang menghambat respirasi (H2S, FeS, asam organik), 5) aplikasi bahan organik dalam jumlah besar yang belum terdekomposisi, 6) suplai Fe secara terus menerus dari air bawah tanah atau rembesan secara lateral dari tempat yang lebih tinggi

Gejala visual yang khas berhubungan dengan proses keracunan besi, terutama terjadinya akumulasi dari polyphenol teroksidasi yang disebut bronzing atau yellowing pada padi. Karena mobiltas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala yang khas dimulai dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari ujung daun tua. Bercak berwarna tembaga kemudian meluas ke seluruh daun. Perkembangan gejala selanjutnya ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian atas. Gejala ini terutama berkembang pada organ daun tua dengan transpirasi tinggi (Yamaouchi dan Yoshida 1981). Selanjutnya seluruh daun padi menjadi jingga sampai coklat atau coklat ungu pada keracunan yang berat (Fairhurt dan Witt 2002).

Gejala keracunan besi dapat terjadi pada tahap pertumbuhan yang berbeda dan dapat mempengaruhi padi pada tahap tanaman muda, selama seluruh tahap pertumbuhan vegetatif, dan tahap reproduktif. Dalam kasus keracunan pada tahap pembibitan, perkembangan tanaman padi terhenti, dan pembentukan anakan secara ekstrem terhambat. Keracunan pada tahap vegetatif menyebabkan menurunnya tinggi dan berat kering tanaman. Biomas bagian atas tanaman dapat lebih dipengaruhi oleh kendala keracunan dari pada biomas akar (Fageria et al. 1989). Pembentukan anakan dan jumlah anakan produktif secara drastis menurun. Bila keracunan besi terjadi pada tahap akhir vegetatif, atau pada awal tahap reproduktif, jumlah malai turun, gabah hampa meningkat dan tahap pembungaan

dan pematangan menjadi tertunda 20-25 hari (Chema et al. 1990). Hasil-hasil penelitian Audebert (2006), Suhartini dan Makarim (2009) menunjukkan skor keracunan besi berkorelasi negatif dengan hasil padi, sedangkan penelitian Mehbaran et al. (2008) menunjukkan konsentrasi besi di dalam jaringan tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Semakin tinggi keracunan besi semakin rendah hasil padi (Gambar 2.1), semakin tinggi kadar Fe dalam jaringan tanaman padi semakin terhambat pertumbuhan tanaman padi (Gambar 2.2).

Keracunan besi pada padi menyebabkan kemampuan oksidasi akar menurun dan permukaan akar menjadi gelap karena pengendapan senyawa Fe (OH)3 (Audebert dan Sahrawat 2000). Gejala keracunan besi beragam diantara genotipe padi, dan umumnya adalah adanya bercak coklat keunguan dari daun yang diikuti dengan pengeringan, akar menjadi sedikit, kasar, pendek dan tumpul (Peng dan Yamauchi 1993).

Gambar 2.1. Hubungan antara skor keracunan Fe dan dengan hasil padi

Sumber : Audebert (2000)

Gambar 2.2. Pengaruh konsentrasi besi terhadap pertumbuhan relatif padi

Sumber : Mehraban et al. (2008)

Keracunan besi pada padi menyebabkan terjadinya perubahan baik karakter morofologi maupun fisiologi tanaman, dimana respon setiap genotipe berbeda- beda tergantung sifat toleransi atau kepekaanya terhadap keracunan besi. Penampilan tanaman keracunan besi berhubungan dengan tingginya serapan Fe+2 oleh akar dan ditransportasikan ke daun melalui aliran trasnspirasi. Kelebihan kadar Fe dalam jaringan tanaman padi menyebabkan terjadinya perubahan beberapa karakter fisiologi seperti kadar protein larut, gula larut, klorofil, ethylene, proline, radikal bebas dan laju fotosintesis. Kelebihan besi menyebabkan produksi radikal bebas yang merusak struktur selular yang tidak dapat balik dan merusak

membrane, DNA, dan protein (Arora et al. 2002; Dorlodot et al. 2005). Dalam sel, kelebihan sejumlah besi dapat di sintesis dari komponen-komponen dengan dasar oksigen aktif seperti radikal superoxide, hydroxyl dan H2O2 (Machner 1995). Radikal bebas dapat mempengaruhi kerusakan yang disebabkan oleh keracunan besi (Thongbai dan Goodman 2000), pada waktu yang sama meningkatkan aktivitas phenol oxydase dan akumulasi polyphenol teroksidasi (Yamauchi dan Peng 1993).

Meningkatnya jumlah H2O2 dan phenolica dan menurunnya kandungan klorofil dan protein larut oleh stres oksidatif telah dilaporkan beberapa peneliti (Blokhina et al. 2003; Kuo dan Kao 2004). Keracunan besi pada padi menunjukkan terjadinya akumulasi unsur dalam jaringan tanaman yang diiringi dengan biosintesis ethylene dalam akar, menurunnya pertumbuhan akar dengan drastis dan hilangnya hasil (Yamauchi dan Feng 1995; Becker dan Ash 2005; Dorlodot et al. 2005). Kandungan Fe yang tinggi dalam daun juga berpengaruh negatif terhadap laju fotosintesis, penurunan gejala keracunan besi berkorelasi dengan laju fotosisntesis dan meningkatkan hasil padi (Audebert 2006).

Kadar gula larut dan klorofil dipengaruhi oleh konsentrasi Fe dan kadar hara dalam medium pertumbuhan tanaman, kandungan gula larut dalam tanaman menurun pada konsentrasi Fe diatas 50-100 ppm (Mehraban et al. 2008). Penurunan konsentrasi gula larut total sebagai akibat keracunan Fe > 80% dibandingkan dengan tanaman tanpa keracunan. Kandungan gula larut dalam daun juga dipengaruhi oleh perbedaan kepekaan genotipe padi terhadap keracunan besi keracunan Fe juga dapat menyebabkan terjadinya akumulasi proline dalam daun tanaman padi terutama pada kultivar yang peka, sedangkan pada kultivar toleran tidak terjadi akumulasi proline dalam daun (Majerus, et al. 2007).

Peranan dan Mekanisme Genotipe Padi dalam Mengatasi Keracunan Besi Gejala keracunan besi pada tanaman padi berhubungan dengan tingginya serapan Fe+2 oleh akar dan ditransportasikan ke daun melalui aliran transpirasi. Kadar besi dalam jaringan daun tanaman padi yang tinggi menyebabkan tanaman keracunan besi. Mekanisme keracunan besi dimulai dengan meningkatnya permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+ seiring dengan meningkatnya aktivitas

mikroba pereduksi Fe di daerah perakaran tanaman, sehingga penyerapan ion ferro meningkat pesat. Reduksi Fe3+ yang terjadi di daerah perakaran secara terus menerus menyebabkan rusaknya oksidasi Fe sehingga influks Fe2+ tidak terkendali masuk dalam perakaran padi (Makarim dan Supriadi 1989; Makarim et al. 1989). Setelah penyerapan oleh korteks akar, besi Fe 2+ yang mencapai xylem berkurang setelah melalui lintasan simplastik pada pita caspari, meskipun bagian lebih besar ion besi dapat diserap sampai ke xylem secara langsung melalui tonoplas (Tsuchiya et al. 1995).

Audebert (2006) mempelajari mengenai karakteristik morfo-fenologi dan serapan Fe tanaman dari beberapa varietas menunjukkan adanya perbedaan distribusi Fe dalam organ tanaman padi (akar, batang dan daun). Hal ini menunjukkan adanya mekanisme penghindaran (avoidance) secara fisiologi yang spesifik diantara masing-masing varietas. Pada genotipe toleran (CK4), lebih banyak menimbun Fe di batang dan lebih sedikit di daun di bandingkan genotype yang peka. Genotipe yang sangat peka (Tox 3069) tidak mempunyai mekanisme penghambat (barrier) Fe diantara organ yang berbeda dan kandungan Fe lebih tinggi dalam semua organ, hal ini menunjukkan genotype sensitif tidak mempunyai selektivitas Fe diantara organ tanaman. Korelasi antara hasil padi dengan distribusi Fe diantara organ tanaman dapat digunakan sebagai kriteria pemuliaan padi dalam menyeleksi dan memperbaiki genotipe padi.

Kemampuan padi untuk mengatasi Fe eksternal tinggi mungkin adalah hasil dari strategi penghindaran (avoidance) dan atau toleransi jaringan. Avoidance pada padi mungkin berhubungan dengan kemampuan oksidasi Fe+2 menjadi Fe+3 pada permukaan akar, sehingga membentuk endapan jingga yang khas yang dikenal

sebagai “iron plaque” (Asch et al. 2005). Hasil penelitian yang ada menunjukkan lebih efisiennya genotipe toleran dari pada genotipe peka karena menahan lebih banyak Fe di perakaran tanaman. Konsentrasi besi yang rendah dalam tajuk (shoot) juga diperkirakan adalah mekanisme avoidance, dan mungkin merupakan mekanisme yang bermanfaat dalam memberikan kontribusi pertahanan tanaman seperti yang telah dikemukan oleh Audebert dan Sahrawat (2000).

Menurut Becker dan Ash (2005), tanaman padi mempunyai mekanisme avoidance dan atau toleransi secara morfologi dan fisiologi untuk mengatasi dan

bertahan dari kondisi merugikan pada tanah yang mengandung unsur meracun Fe dan jumlah Fe yang besar dalam tanaman. Mekanisme ini adalah penting dalam seleksi genotipe padi adaptif atau toleran. Tiga tipe utama strategi adaptasi yang dapat dibedakan dan terdiri dari strategi includer dan excluder seperti halnya mekanisme avoidance dan tolerance (toleransi). Tanaman memanfaatkan strategi I (eksklusi/avoidance), mengeluarkan Fe atau menahan Fe pada level akar sehingga menghindarkan Fe+2 merusak jaringan tajuk (oksidasi di daerah perakaran dan selektivitas ion pada akar). Dengan strategi II (inklusi/avoidance), Fe+2 diserap ke dalam akar padi, tapi kerusakan jaringan dapat terhindar dengan kompartmentasi (imobilisasi dari Fe aktif dalam tempat pembuangan, seperti daun tua atau jaringan daun yang kurang aktif melakukan fotosintetis) atau mengeluarkan dari symplast (imobilisasi dalam daun apoplas). Strategi III (inklusi/toleransi), tanaman secara nyata mentolerir kadar Fe+2 yang meningkat dalam sel-sel daun, mungkin melalui detoksifikasi enzimatik dalam simplas.

Peranan Bahan Organik dalam Ameliorasi Lahan

Hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik baik limbah panen, pupuk kandang dan pupuk hijau berperan dalam memperbaiki kualitas lahan, mengurangi kadar unsur meracun seperti Al dan Fe dalam tanah, dan meningkatkan hasil padi. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan pemberian jerami padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut Kalimantan Tengah dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 dari 1.61 t/ha menjadi 2.04 t/ha dan varietas Kapuas dari 2.05 menjadi 3.24 t/ha. Menurut Karama (1990), bahan organik selain sebagai sumber hara juga meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan KTK tanah.

Salah satu sumber bahan organik yang potensial dan penyediaannya dapat dilakukan secara in-situ di lahan sawah adalah Salvinia sp. Salvinia sp. merupakan tanaman pakis air yang mengapung di permukaan air termasuk dalam kelompok divisi Pteridophyta, famili Salviniacea (Saunder dan Fowler 1993). Salvinia sp. merupakan pakis air yang mengapung bebas yang mempunyai kemampuan dalam memindahkan kontaminan seperti logam-logam berat, senyawa organik dan hara anorganik dari lingkungan (Benaroya et al. 2004; Stepniewska et al. 2005; Dhir

2009). Selain itu beberapa spesies Salvinia sp. mempunyai beberapa keuntungan karena produktivitasnya yang tinggi dan toleransi yang luas terhadap temperatur (Olguin et al. 2002).

Hasil penelitian Begum et al. (2010) menunjukkan Salvinia sp. mampu menyerap logam-logam berat Fe 88.8% , Cu 67%, dan Ni 40.4% dalam larutan yang masing-masing diberi perlakuan 5.0 ppm Fe, Cu, dan Ni, setelah 10 hari. Salvinia sp. potensial dalam menyerap logam berat dari lingkungan dengan cara mengkompartmentasi sebagai upaya pertahanan sekunder terhadap lingkungan (Olguin et al. 2003). Logam berat yang diserap oleh Salvinia sp. melalui dua cara yaitu secara biologis dan fisik. Logam seperti Cr dan Pb diserap melalui proses fisik seperti penjerapan, pertukaran ion dan pengkelatan, sedangkan proses biologis adalah meliputi penyerapan intrasellular (ditransportasi melalui plasmalemma

kedalam sel) seperti penyerapan logam Cd dari akar ke daun (Sun’e et al. 2007). Penyerapan logam berat dapat secara langsung melalui kontak daun

dengan larutan melalui kapasitas penjerapan yang terdapat pada daun (Sun’e et al. 2007). Telah diketahui bahwa penyerapan logam berat digerakkan oleh protein transport sekunder melalui saluran protein atau protein pembawa (carrier) yang berikatan dengan H+ dimana potensial membran negatif dalam plasma membran menggerakkan penyerapan kation melalui transporter sekunder. Adanya kelompok karboksilat pada permukaan sel menyediakan tempat untuk mengikat logam (Olguin et al. 2005). Kemampuan biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam memindahkan atau mengikat logam ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik (264 m2 g-1) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%), fenolik hidroksil (2.96 mmol g-1), protein (27.6%), lipid 1.52% dan karboksil (0.95 mmol g-1). Protein merupakan atom ligan yang penting dan juga berperan penting dalam penyerapan logam (Sanchez-Galvan et al. 2008).

Biomas Salvinia sp. yang telah mati menunjukkan kemampuan yang tinggi untuk mengikat logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation lemah yang berkonstribusi untuk penyerapan logam dengan reaksi pertukaran ion. Reaksi pertukaran ion merupakan fungsi utama adanya kelompok karboksil dalam jaringan tanaman. Kelompok karboksil yang ada berhubungan dengan kandungan

protein dalam jaringan. Pengikatan logam terjadi dengan kelompok karboksil bebas dalam asam amino glutamat dan aspartat dari rantai protein (Schneider dan Rubio 1999).

Beberapa keuntungan penggunaan Salvinia sp. sebagai spesies yang penting dalam teknologi fitoremediasi meliputi (1) penyebaran geografi Salvinia sp. yang luas di daerah tropik dan subtropik, (2) produktivitas sangat tinggi sekitar 5.8 – 11.4 g berat kering per m2 per hari bila dikulturkan dalam medium Hoagland dan sekitar 20-120 kg per ha per hari di bawah kondisi alami (Schneider dan Rubio 1999), (3) sifat-sifat fisik-kimia seperti luas permukaan tinggi (264 m2 g-1 berat kering) dan kandungan karboksilat tinggi (ligan) (0.95 mmol H+ g-1 biomas), (4) efisiensi untuk memindahkan hara atau polutan dari limbah air, (5) lebih tingginya tingkat pemindahan logam per unit permukaan dan lebih tingginya pengembalian logam setelah perlakuan yang sesuai (Oguin et al. 2005), (6) mudah untuk memanen sebagai daun dan memungkinkan untuk dimanfaatkan dari biomas yang dipanen (Oguin et al. 2003).

Lahan pasang surut umumnya mempunyai kandungan logam Fe dan Al yang tinggi, dimana dalam keadaan tergenang (reduksi) Fe dalam jumlah yang berlebihan dapat meracuni tanaman padi, sedangkan dalam keadaan kering Al berada dalam jumlah yang besar dan berpotensi meracuni tanaman. Penggunaan Salvinia sp. dalam ameliorasi di lahan pasang surut diharapkan dapat mengurangi kadar Fe sehingga dapat mengurangi keracunan Fe. Selain itu penggunaan Salvinia sp. juga berperan sebagai pupuk organik yang dalam proses dekomposisinya akan memberikan unsur hara ke dalam tanah. Hasil penelitian penggunaan Salvinia molesta sebagai pupuk organik yang diberikan dalam bentuk konsentrat pada tanah pasang surut sulfat masam di rumah kaca mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi. Aplikasi Salvinia molesta 3.08-7.36 g/6 kg tanah meningkatkan hasil gabah dari 11.1 g/rumpun (kontrol) menjadi 47.00-70.07 g/rumpun (Kaderi 2005).

BAB. III. PENGARUH KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN

Dokumen terkait