• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Tinjauan Studi-Studi Terdahulu

Tim Peneliti Fakultas Kehutanan IPB (1986) mengemukakan siklus air di dalam hutan sangat erat kaitannya dengan kondisi tanah, iklim serta tindakan manusia terhadap komponen ekosistem tersebut. Siklus air tersebut terdiri dari

delapan jalur (cara) yaitu : intersepsi, cucuran tajuk, aliran batang, transpirasi, fotosintesa, evaporasi, limpasan dan infiltrasi. Masing-masing jalur dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik faktor fisik maupun faktor biotik.

Tim Fisika dan Konservasi IPB (1991) dalam penelitiannya mempelajari pengaruh ukuran/dimensi sumur resapan dinyatakan dalam nisbah luas permukaan pengerasan dengan luas resapan, dan bentuk resapannya, terhadap kemampuannya memasukkan air kedalam tanah. Diharapkan bahwa persentase terbesar akan

memberikan inflow yang maksimum sehingga tidak ada air terbuang melalui

drainase. Sementara itu, pada nisbah luasan yang sama, resapan yang lebih dalam

akan memberikan efektifitas lebih tinggi dalam meningkatkan inflow

dibandingkan resapan yang lebih dangkal

Penelitian William dan Joan (1995) tentang taman kota : green spaces atau

green walls? menyatakan taman sebagai fitur lansekap kota memiliki banyak

fungsi yaitu sebagai penyedia rekreasi pasif dan aktif, manfaat lingkungan, dan habitat satwa liar. Penelitian ini mengeksplorasi konsep bahwa taman kota juga dapat berfungsi sebagai lansekap batas memisahkan lingkungan dari karakteristik sosial-ekonomi yang berbeda. Empat taman di lingkungan Boston's Roxbury dan North Dorchester sebagai lokasi penelitian untuk mengevaluasi hipotesis bahwa taman yang terletak di antara lingkungan yang berbeda sosioekonomi berfungsi sebagai lanskap batas.

Aji (2000) pada penelitiannya mengenai pengelolaan ruang terbuka hijau menyebutkan bahwa pengelolaan RTH pada dasarnya ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu instrumen produk rencana tata ruang yang mengakomodasi keberadaan RTH; instrumen peraturan perundangan yang mendukung keberadaan RTH; dan praktek pengelolaan RTH yang dikembangkan

Penurunan kualitas lingkungan hidup kota disebabkan oleh berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) kota yang berperan besar dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemerintah telah menetapkan kawasan lindung untuk konservasi sumberdaya alam, namun permasalahan yang ada adalah bagaimana kesiapan peraturan perundangundangan dalam pengelolaan RTH binaan serta peranserta masyarakat dalam mewujudkan RTH bagi konservasi sumberdaya alam di kawasan perkotaan. Peraturan yang memungkinkan terwujudnya RTH yang

berlanjut belum cukup memadai, terutama jika dikaitkan dengan penataan ruang wilayah kota. Namun permasalahannya terletak pada pembuatan dan pelaksanaan peraturan tersebut, karena masih kurang tegasnya pemerintah dalam menanggulangi dan menyelamatkan RTH yang ada di perkotaan. Berbagai program yang direncanakan oleh lembaga yang berwenang berpotensi untuk mewujudkan RTH binaan tersebut terutama pemilihan tananam langka lokal sebagai tanaman penghijauan. Selain itu, yang turut menyukseskan RTH binaan adalah kesatuan visi dan Misi serta peningkatan koordinasi diantara lembaga- lembaga terkait. Rendahnya penegakan peraturan oleh pemerintah dan masyarakat menyebabkan banyaknya kasus alih fungsi RTH sementara proses refungsionalisasinya tidak mudah, misalnya karena alih fungsi itu terjadi secara legal dan menyangkut kepentingan umum (Kumar, 2002).

Penelitian tentang perencanaan komprehensif ruang hijau berdasarkan

prinsip ekologi lansekap di kota Nanjing, Cina oleh Ji m and Sophia (2003)

mer upakan s tudi kasus izin perencanaan untuk jaringan terpadu ruang hijau di kota kuno Nanjing di Cina, dengan tujuan fleksibilitas untuk ekspansi perkotaan di masa depan, akuisisi lapangan hijau, fungsi rekreasi, habitat satwa liar dan

manfaat lingkungan, meliputi green wedges, greenways dan green extensions

yang menggabungkan daerah hijau perkotaan pada tiga skala lansekap. Pada skala kota metropolis, melalui analisis normatif dan substantif bentuk perkotaan dan

ekspansi perkotaan, dan penilaian dataran tinggi pinggiran kota, lima green

wedges dibatasi untuk menghasilkan bentuk bintang perkotaan (a star urban

form). The green wedges link pedesaan yang luas untuk pusat kota, dan

menentukan jari-jari ruang memanjang di antara ekspansi perkotaan untuk menghindari konflik dengan bidang hijau. Pada skala kota, tiga jalur hijau utama,

termasuk city-wall circular greenway, Inner-Qinhuai River greenway, and

canopy-road greenway, yang dirancang sebagai kerangka untuk mengarahkan

lokasi ruang hijau baru, konfigurasi dan kontinuitas, dan untuk menghubungkan taman yang ada . Ruang terbuka hijau ini dilengkapi dengan sistem jejak yang komprehensif untuk mendorong gerakan jalan kaki dan bersepeda yang lebih disukai masyarakat dan pemerintah. Pada skala lingkungan, sebuah organisasi

riparian, sesuai dengan geometri jaringan. Sebagai badan penghubung yang baik, daerah ini memberikan kesempatan bagi warga untuk memiliki kontak sehari-hari

dengan alam. Secara keseluruhan, the three-tiered green space system

menyediakan modus alternatif bagi pengembangan perkotaan dengan didominasi transportasi konvensional, untuk mengantarkan peningkatan substansial dalam kualitas lanskap lingkungan dan untuk menambah gagasan kota yang berkelanjutan

Brian dan Daniel (2004) dengan judul penelitian analisis pemodelan dinamis spasial dan transformasi tata guna lahan perkotaan dengan pendekatan

simulasi untuk menilai biaya the urban sprawl membahas tentang dasar-dasar

teoritis dan aplikasi praktis dari suatu submodel analisis dampak ekonomi yang

dikembangkan dalam the Land Use Evolution and Impact Assessment Modeling

(LEAM) lingkungan. Kerangka konseptual LEAM adalah suatu aplikasi model

untuk penilaian biaya urban sprawl di Kane County, Illinois. Pendekatan spasial

resolusi tinggi memungkinkan ketajaman kesimpulan tingkat makro dari prilaku tingkat mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemodelan spasial dinamis secara tegas memiliki variasi konseptual yang menguntungkan atas pendekatan- pendekatan model dinamika perkotaan ditinjau dari teori dan sudut pandang praktis.

Nurisjah (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan kapasitas fisik dan kualitas lingkungan yang dibutuhkan untuk mewujudkan konsep sistem kota yang berkelanjutan menentukan ketersediaan bentuk, fungsi, serta pola distribusi dan konfigurasi RTH yang sesuai dengan dan mendukung kondisi fisik kota tersebut.

Radnawati (2005) melakukan evaluasi RTH kota secara spasial sebagai kawasan konservasi air dengan melalui pendekatan model konservasi air dan revegetasi yang menunjang kawasan konservasi air. Pada penelitian tersebut dilakukan beberapa tahapan diantaranya adalah tahap menganalisis hubungan antara penggunaan lahan dan kawasan konservasi air permukaan menggunakan model aplikasi konservasi air. Terakhir, hasil analisis tersebut digunakan untuk memberikan arahan revegetasi dan membuat zonasi kawasan kota yang dapat meningkatkan kemampuan kawasan sebagai daerah resapan air.

Hedwig et al. (2007) dalam penelitiannya tentang integrasi dari multi- skala model spasial dinamis dari proses sosial-ekonomi dan fisik untuk manajemen DAS didasarkan pada kesulitan campur tangan perencana, pembuat

kebijakan dan teknisi dalam sistem manusia-alam yang kompleks. PSS (Policy

Support Systems) MedAction mencakup proses sosial-ekonomi dan fisik yang secara kuat digabungkan. Hal ini diimplementasikan dengan kerangka aplikasi GEONAMICA dan dimaksudkan untuk mendukung perencanaan dan pengambilan kebijakan di bidang degradasi tanah, penggurunan, pengelolaan air dan pertanian yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan beberapa wawasan dalam model individu, pencapaian model integrasi, serta

penggunaan aktual dari PSS MedAction. Hasil penelitian ini juga berpendapat

bahwa aspek teknis dan ilmiah sistem pendukung kebijakan (PSS) bukan satu- satunya elemen yang menentukan dalam praktek penggunaannya.

Penelitian analisis spasial nilai kenyamanan dari ruang terbuka hijau oleh

Cho et al. (2008) bertujuan untuk menentukan variasi spasial dalam nilai

kenyamanan bagi kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di industri perumahan. Variabel yang berhubungan dengan ukuran, kedekatan, konfigurasi spasial, dan komposisi jenis ruang terbuka adalah faktor dari dalam pada model

global dan lokal dalam kerangka hedonic price. Bukti empiris menunjukkan

bahwa kenyamanan dari variasi fitur ruang terbuka berdasarkan pada tingkat urbanisasi. Singkatnya, hutan cemara, bermacam-macam landskap dengan hutan di beberapa tempat, hutan alam, hutan buatan lebih dihargai di daerah pedesaan. Sebaliknya, hutan gugur dan hutan campuran , kawasan hutan, hutan buatan yang sering dipangkas lebih dihargai di daerah perkotaan. Nilai kenyamanan dari berbagai variasi spasial berbeda antar daerah metropolitan, kebutuhan pengelolaan penggunaan lahan untuk lokasi spesifik sesuai karakteristik lokal.

Penelitian Craig (2008) tentang menilai ruang hijau perkotaan dengan

alternatif hipotetis dan status quo menggunakan pendekatan untuk menentukan

apakah ruang hijau dapat dinilai berdasarkan constituent characteristics dan jika

demikian, karakteristik apa yang disukai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi bervariasi tergantung apakah ruang hijau yang dimaksud adalah sebuah taman kecil atau taman kota yang lebih besar. Alternatif dasar tujuan taman

termasuk dalam analisis ini, hasilnya pengaruh collinearity dan ketersediaan ruang

hijau yang sebenarnya relevan dalam tujuan. Pendekatan A mixed logit digunakan

untuk menunjukkan efek dari nilai-nilai yang mendasari preferensi.

Tulisan Seth et al. (2008) tentang penilaian manfaat hutan kota dengan

pendekatan hedonic tata ruang adalah mengukur manfaat dari hutan kota dengan

memeriksa dampaknya pada harga perumahan. Sebuah Sistem Informasi

Geografis digunakan untuk mengembangkan ukuran dari hutan kota, the

Normalised Difference Vegetation Index, dari citra satelit dan untuk membangun variabel lain dari berbagai sumber serta memperhitungkan spasial model harga hedonik perumahan untuk daerah Indianapolis/County Marion. Hasil model menunjukkan bahwa vegetasi hijau di sekitar properti memiliki efek positif yang signifikan pada harga perumahan. Temuan ini menunjukkan bahwa pemilik properti yang memiliki ruang terbuka hijau, setidaknya sebagian, mereka mau membayar lebih untuk hidup di lingkungan yang lebih hijau dengan vegetasi yang lebih padat. Temuan ini juga menunjukkan bahwa tindakan masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan hutan kota dapat dibenarkan.

Dokumen terkait