• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat sebagai keturunannya (Setiawan, 2015). Tradisi konsumsi tuak merupakan aspek yang menjadi acuan masyarakat untuk menampilkan perilaku mengonsumsi tuak. Konsumsi tuak merupakan salah satu bentuk tradisi yang masih dianut oleh masyarakat Desa Lumban Siagian Jae. Tradisi minum tuak sudah diakui oleh sebagian besar masyarakat Batak Toba. Landasan konsumsi tuak berada pada 2 (dua) poin dari 7 (tujuh) falsafah yang dianut oleh masyarakat Batak dalam menjalankan kehidupannya, yaitu maradat (punya adat istiadat) dan martutur (punya kekerabatan) (Tinambunan, 2010). Tuak memiliki arti yang khusus bagi masyarakat Batak Toba karena tuak dapat digunakan sebagai sarana keakraban, sebagai pengungkapan rasa terima kasih dan juga sebagai minuman persahabatan.

Hasil penelitian menunjukkan sebesar 96,1% peminum tuak di Desa Lumban Siagian Jae mengakui bahwa minum tuak merupakan tradisi Masyarakat Suku Batak Toba. Lumban Gaol (2013) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa masyarakat Batak Toba menganggap tuak sebagai

minuman tradisional yang sejak dahulu telah ada dan masih dilestarikan hingga saat ini, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara perayaan adat.

Berdasarkan pemaparan kedua informan penelitian, dapat diketahui bahwa tradisi memberikan pengaruh yang kuat terhadap perilaku konsumsi tuak yang marak di Desa Lumban Siagian Jae. Menurut Bapak Haposan Panggabean, selaku informan pertama, dahulu para raja selalu mengonsumsi tuak jika sedang berkumpul dan melakukan musyawarah di Sopo Partungkoan, tuak tersebut juga sering diminum sambil menikmati Buah Pisang Sitanduk. Oleh karena itu, masyarakat Desa Lumban Siagian Jae meyakini bahwa konsumsi tuak sudah menjadi kebiasaan yang telah diturunkan oleh nenek moyang sehingga menjadi tradisi hingga saat ini.

Sebagai minuman tradisi Batak Toba, tuak juga disajikan sebagai jamuan untuk tamu, jamuan pada upacara adat dan jamuan untuk para undangan, terutama untuk Dalihan Na Tolu. Menurut Ikegami (1997), tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu seperti manuan ompu-ompu dan manulangi. Bapak Haposan Panggabean menyebutkan bahwa adat manuan ompu-ompu tidak pernah ada di Desa Lumban Siagian Jae, penggunaan tuak pada awalnya hanya digunakan saat manulangi pada upacara pernikahan. Hingga saat ini tuak sudah tidak dipakai untuk jamuan dan upacara, maka tuak tersebut dapat diganti dengan uang.

Jenis tuak yang digunakan sebagai minuman adat adalah tuak tangkasan yaitu tuak yang tidak bercampur dengan raru (Ikegami, 1997). Tuak tangkasan

sering pula disebut sebagai tuak na tonggi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam penyelenggaraan upacara dan adat istiadat seharusnya menggunakan tuak sebagai jamuan. Tetapi ternyata adat tersebut tidak dianut lagi karena tuak na tonggi semakin sulit untuk diperoleh dan diproduksi. Menurut P. Panggabean, selaku pengolah tuak, kesulitan tersebut disebabkan karena masyarakat pada umumnya sudah tidak ingin mengonsumsi tuak tanpa raru karena tidak adanya rasa nikmat dan efek psikologis pada tuak tersebut. Meskipun tuak tidak lagi digunakan dalam adat dan upacara Batak Toba, namun tuak tetap dijadikan sebagai kebiasaan sehari-hari.

Konsumsi tuak telah mendarah daging pada masyarakat Batak Toba, termasuk masyarakat Lumban Siagian Jae. Banyak cerita yang menggambarkan gaya hidup masyarakat Batak Toba dan selalu dikaitkan dengan tuak. Salah satunya adalah cerita pendek karangan Guibertus Marbun dalam buku Geni (1999) yang menceritakan seorang lelaki, dengan panggilan ama ni Kess (Ayah Kess), yang meminum tuak dan meminta tambahan porsi saat tuaknya telah habis. Dalam cerita tersebut, lelaki ini meminum tuak sambil bermain togel, kemudian dipanggil oleh istrinya karena anaknya, Kess, menangis terus menerus. Terdapat pula lagu yang menggambarkan kebiasaan masyarakat Batak Toba, lagu tersebut berjudul Lisoi, diciptakan oleh Nahum Situmorang saat beliau pindah ke Tarutung, Tapanuli Utara. Berikut adalah lirik lagu tersebut beserta pengertiannya (Situmorang, 2008):

Dongan sa partinaonan, oh parmitu Teman satu perjuangan, oh peminum tuak Dongan sa pangkilalaan, oh parmitu

Teman satu perasaaan, oh peminum tuak Arsak rap mangalupahon, oh parmitu

Kesedihan sama-sama dilupakan, oh peminum tuak Tolema rap mangandehon, oh parmitu

Maka mari kita sama-sama kita nyanyikan, oh peminum tuak Lisoi lisoi lisoi lisoi lisoi

Oh parmitu lisoi

Oh peminum tuak, mari bersulang Lisoi lisoi lisoi lisoi

Inum ma tuak mi Minumlah tuakmu Sirup ma sirup ma Minumlah, minumlah Dorguk ma dorguk ma Teguklah, teguklah Handit ma galasmi Habiskan isi gelasmu Sirup ma sirup ma Minumlah, minumlah Dorguk ma dorguk ma Teguklah, teguklah Ikkon rumar do i

Semua beban akan lepas

Lisoi adalah ungkapan kebahagiaan saat bersulang, sama dengan ungkapan cheers dalam Bahasa Inggris. Parmitu adalah sebutan masyarakat Batak Toba bagi peminum tuak. Lagu tersebut menggambarkan kebiasaan masyarakat Batak Toba yang gemar meminum tuak bersama teman-temannya untuk melepaskan beban bersama. Melalui lagu tersebut, dapat digambarkan bahwa masyarakat Batak Toba menjadikan tuak sebagai media untuk

mempererat kekerabatan mereka. Hal ini didukung oleh data penelitian yang menyebutkan bahwa alasan peminum mengonsumsi tuak paling banyak adalah untuk mempererat persaudaraan (Grafik 5.8).

Tradisi konsumsi tuak pada masyarakat Batak Toba memiliki latar belakang yang dipercaya melalui sebuah dongeng. Bapak Haposan Panggabean menyebutkan bahwa tuak bermula dari cerita seorang perempuan, Boru Sitompul, yang dijodohkan oleh orang tuanya dengan lelaki yang tidak dia cintai. Kemudian dia pergi dari keluarganya dan berdiam diri di suatu tempat, lama kelamaan perempuan tersebut berubah menjadi pohon aren (bagot). Masyarakat Batak Toba menganggap bahwa air pohon aren (nira) tersebut adalah air mata Boru Sitompul sehingga banyak masyarakat yang meminumnya.

Hasil penelitian Ikegami (1997) juga menyatakan alur cerita yang sama, namun dengan tokoh yang berbeda. Berikut adalah penjelasan dari Ikegami (1997) mengenai asal usul tuak pada masyarakat Batak Toba:

“Seorang putri yang disebut sebagai Putri Si Boru Sorbajati dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan seorang lelaki cacat yang tidak disukainya. Orang tua Boru Sorbajati menerima upah yang banyak dari lelaki tersebut sehingga orang tuanya selalu memaksa Boru Soebajati untuk menerima perjodohannya. Oleh karena tekanan tersebut, Boru Sorbajati meminta untuk menari dengan alunan gendang agar dia dapat menentukan sikap yang benar. Saat menari, dia kemudian melompat ke halaman rumah dan terbenam ke dalam tanah. Setelah kejadian

tersebut, Boru Sorbajati menjelma tumbuh sebagai pohon bagot,

sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati.”

Cerita tersebut sesuai dengan cerita dari Siagian (1990) dalam bukunya Turi-turian Ni Halak Batak. Siagian menyebutkan bahwa air yang berasal dari pohon aren tersebut adalah air mata Boru Sorbajati yang menangis karena perjodohan dengan lelaki yang tidak dicintainya. Masyarakat Batak Toba pada saat itu mempercayai bahwa air nira tersebut dapat menghindarkan seseorang yang meminumnya dari kesedihan dan tangisan. Mitos tersebut membentuk sebuah persepsi yang kemudian memicu adanya dorongan dari diri sendiri untuk mengonsumsi tuak.

Faktor dominan yang mendorong munculnya perilaku konsumsi tuak adalah faktor internal dimana keinginan untuk mengonsumsi berasal dari diri sendiri. Keinginan dari diri sendiri berasal dari aspek kognitif, perspektif dan keyakinan terhadap tuak. Aspek perspektif dan keyakinan merupakan aspek yang memberikan pengaruh terhadap munculnya perilaku konsumsi tuak, sementara kognitif, yakni pengetahuan dan sikap peminum tuak, tidak memberikan pengaruh. Perspektif dan keyakinan dapat muncul karena adanya tradisi minum tuak yang dianut. Kesimpulan sementara yang diperoleh adalah bahwa tradisi diyakini sebagai faktor dominan yang mendorong munculnya perilaku konsumsi tuak pada masyarakat Batak Toba.

Berdasarkan pembahasan mengenai tradisi konsumsi tuak, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa jamuan tuak sudah jarang bahkan tidak pernah lagi diterapkan dalam upacara adat istiadat Batak Toba, hingga saat ini

penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba sebagai minuman sehari-hari lebih menonjol daripada penggunaan dalam upacara adat. Pengaruh tradisi menjadi faktor utama yang mendorong munculnya perilaku konsumsi tuak pada masyarakat Desa Lumban Siagian Jae.

F. Kepercayaan Masyarakat Desa Lumban Siagian Jae terhadap Konsumsi

Dokumen terkait