LANDASAN TEORI
1.1 Landasa Teori .1 Pengertian Puisi
1.1.2 Struktur Puisi
1.1.2.1 Unsur Fisik Puisi
Unsur fisik puisi yaitu unsur estetik yang membangun luar puisi. Unsur
estetik dapat ditelaah satu per satu dan merupakan kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur struktur fisik puisi terdiri atas: diksi, pengimajian, kata konkret, majas,
versifikasi, dan tipografi puisi (Waluyo, 1987: 72−97).
(1) Diksi/Pemilihan Kata
Dalam KBBI (2007:264), diksi adalah pelihan kata yang tepat dan selaras
untuk mengungkapkan gagasan. Menurut Barfield (via Prodopo, 2009:54), bila
kata-kata dipilih dan disusun dengan cara sedemikian rupa hingga artinya
menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya disebut diksi. Waluyo (1987:84)
mengatakan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat, dan kaya akan nuansa
makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya
imajinasi pembaca.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diksi adalah
puisi. Pemilihan kata inilah yang membuat puisi berbeda dengan karya sastra
lainnya.
(2) Pengimajian/Pencitraan
Pengimajian atau pencitraan adalah pengungkapan pengalaman sensoris
penyair kedalam kata dan ungkapan, sehingga terjelma gambaran suasana yang
lebih konkret. Ungkapan itu menyebabkan pembaca seolah-olah melihat sesuatu,
mendengar sesuatu atau turut merasakan sesuatu (Waluyo, 1987:78). Menurut
Sudjiman (2006:17), citraan adalah cara membentuk cita mental, pribadi atau
gambaran sesuatu. Biasanya citraan menyarankan gambar yang tampak oleh mata
(batin) kita, tetapi dapat juga menyarankan hal-hal yang merangsang pancaindera
yang lain seperti penciuma dan pendengaran.
Situmorang (1981:20) membagi imaginasi sebagai berikut : (1) imaginasi
visual (penglihatan), (2) imaginasi auditory (pendengaran), (3) imaginasi artriculatory (pengucapan), (4) imaginasi alfactory (penciuman), (5) imaginasi gustatory (pencicipan), (6) imaginasi tactual (perasaan), (7) imaginasi kinaestetik
(gerak), dan (8) imaginasi organik (badan).
Dengan demikian, pengimajinasian atau pencitraan, mengingatkan
kembali kepada kita tentang pengalam yang pernah terjadi karena kemahiran
penyair dalam menggambarkan peristiwa. Jadi kita seolah-olah berada pada
(3) Kata Konkret
Untuk memperkonkret imaji pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret.
Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti yang
menyeluruh. Kata konkret erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan
lambang (Waluyo, 1987:81). Menurut Pradopo (1991:55), kata konkret adalah
penggunaan kiasan dan lambang dalam sebuah puisi untuk menggambarkan
secara konkret apa yang dilukiskan penyair.
(4) Bahasa Figuratif/Majas
Waluyo (1987:83), mengatakan bahasa figuratif ialah bahasa yang
digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni
secara tidak langsung mengungkapkan makna. kata atau bahasanya bermakna kias
atau makna lambang. Menurut Perrine (via Waluyo, 1987:83), bahasa figuratif
dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair, karena:
(1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa
figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi, sehingga
yang abstrak jadi konkret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) bahasa
figuratif adalah cara menambahkan intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan
menyampaikan sikap penyair, (4) bahasa figuratif adalah cara untuk
mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan
sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat.
Menurut Waluyo (1987:84-86), bahasa figuratif terdiri atas pengiasan
lambang. Kiasan yang dimaksud meliputi: metafora, perbandingan, personifikasi,
hiperbola, sinekdoce, dan ironi.
a) Metafora
Metafora adalah majas yang mengandung perbandingan yang tersirat
sebagai pengganti kata atu ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau
kesejajaran makna diantaranya (Sudjiman, 2006:43). Menurut Waluyo (1987:84),
metafora adalah sebuah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak
disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan.
b) Perbandingan
Perbandingan adalah kiasan yang tidak disebut langsung. Benda yang
dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti,
laksana, bagaikan, dan sebagainya (Waluyo, 1987:84). Menurut Pradopo
(2009:62), perbandingan ialah bahasa kias yang menyamakan satu hal dengan hal
lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak,
seperti, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding yang lain.
c) Personifikasi
Personifikasi adalah benda mati dianggap sepserti manusia. Hal ini guna
memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan itu (Waluyo, 1987:85).
Pradopo
(2009:75) mengatakan personifikasi adalah jenis bahasa kias yang
mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
d) Hiperbola
Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu
melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang
lebih seksama dari pembaca (Waluyo, 1987:85). Menurut Pradopo (2009:98),
hiperbola yaitu sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan.
e) Sinekdoce
Sinekdoce adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan,
atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85).
Menurut Altenbernd (via Pradopo, 2009:78), sinekdoce adalah bahasa kiasan yang
menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal
itu sendiri.
f) Ironi
Ironi adalah kata-katanya bersifat berlawanan untuk memberikan
sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sinisme dan sarkasme, yakni penggunaan
kata-kata keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik (Waluyo, 1987:86).
(5) Versifikasi (Rima dan Ritma)
Menurut Wellek dan Warren (via Djojosuroto, 2005:22), peranan bunyi
mendapat perhatian penting dalam menentukan makna yang dihasilkan puisi (jika
puisi tersebut dibaca). Pembahasan bunyi di dalam puisi menyangkut masalah
rima dan ritma. Rima berarti persamaan atau pengulangan bunyi.
Waluyo (1987:94) mengatakan, bunyi dalam puisi menghasilkan rima
musikalitas atau orkestrasi. Adanya pengulangan bunyi, puisi menjadi merdu jika
dibaca. Ritma sangat berhubungan dengan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
Marjorie boulton (via Waluyo, 1987:90) menyebut rima sebagai phonetic
form. Jika bentuk fonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu
mempertegas makna puisi. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola
bunyi, dan pengulangan kata/ungkapan.
a) Onomatope
Onomatope berarti tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Efek yang
dihasilkan akibat onomatope akan kuat terutama jika puisi tersebut dibacakan
secara keras (Waluyo, 1987:90). Wellek dan Warren (1995:200) menyimpulkan
bahwa onomatope yakni kelompok kata yang agak menyimpang dari sistem bunyi
bahasa pada umumnya. Onomatope disebut juga dengan peniruan bunyi. Peniru
bunyi dalam puisi kebanyakan hanya memberikan saran tentang suara sebenarnya.
Onomatope menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam puisi
diperlukan kejelasan.
b) Bentuk intern pola bunyi
Menurut Boulton (via Waluyo, 1987:92), yang dimaksud bentuk internal
ini, adalah: aliterasi, asonansi, dan persamaan bunyi. Aleterasi merupakan
persamaan bunyi pada pada suku kata pertama (Waluyo, 1987:92).Cummings &
Simmons (1986:10) mengatakan, aliterasi adalah repetisi bunyi awal pada
Asonansi adalah gaya bahasa repetisi yang berjudul perulangan vokal
pada suatu kata atau beberapa kata, biasanya dipergunakan dalam puisi untuk
mendapatkan efek penekanan (Suroto, 1993:130). Sementara itu, Waluyo
(1991:92) menyatakan asonansi adalah ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa
selingan persamaan bunyi-bunyi konsonan.
Zaidan (1989:41- 42) membedakan persamaan bunyi antara lain, a) rima
awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi, b)
rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi,
dan c) rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap
bait puisi. Menurut Waluyo (1989:93), pada rima akhir terdapat tiga pola, yaitu
persamaan bunyi dengan pola /aa, bb, cc, dd/ disebut juga saak berangkai,
persamaan bunyi dengan pola /ab, ab, cd, ef, ef/ disebut juga sajak bersilang, dan
persamaan bunyi dengan pola /abba, cddc, baab/disebut juga sajak berpeluk.
c) Pengulangan kata/ungkapan
Boulton (via Waluyo, 1987:93) menyatakan, pengulangan bunyi, kata,
frasa memberi efek intelektual dan efek magis yang murni. Pengulangan tidak
hanya terbatas pada bunyi, namun mungkin kata-kata, atau ungkapan.
Rima memiliki nilai estetik. Rima menghasilkan efek-efek yang
menyejukkan dan efek-efek yang dapat menyenangkan (pleasurable) dalam
sebuah puisi (Reaske,1966:21). Walaupun demikian, tidak berarti rima terlepas
dari makna puisi secara keseluruhan karena pada hakikatnya karya sastra adalah
Sementara itu, ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti
gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus (mengalir
terus). Slametmuljana menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi:
tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur
dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Waluyo, 1987:91).
Menurut Pradopo (2009:40), ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan
atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah
suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Dalam konteks karya sastra, ritma berarti gerakan yang teratur dari kata-kata atau
frasa-frasa dalam bait-bait puisi atau prosa (Cuddon, 1977:247).
(6) Tata Wajah/Tipografi
Menurut Waluyo (1987:97), tipografi merupakan pembeda yang penting
antara puisi dengan prosa dan drama. Perbedaan itu tampak pada susunan kalimat
atau kata-katanya yang biasanya membentuk bait. Larik-larik puisi tidak
membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait.