• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urusan Keluarga dan Sikap Sosial Budaya

Masyarakat Indonesia mempunyai budaya yang sangat beragam. Di satu sisi, dapat ditemukan bukti peninggalan zaman dulu tentang penerimaan beragam gender dan

43

sekualitas pada banyak kelompok etnis dan bahasa. Namun di sisi lain terdapat heteronormativitas dan binarisme gender yang konservatif yang berasal dari modernitas sekuler dan religius pada awal abad ke-20, yang berpaling dari nilai-nilai leluhur. Ada juga berbagai kelompok masyarakat yang memandang Indonesia sebagai bangsa yang modern dengan nilai liberal, demokratis dan humanis. Mereka mempertanyakan dan mengkritik berbagai aspek budaya tradisional maupun modern yang bersifat opresif, dan berusaha membangun masyarakat yang dapat sepenuhnya menerima hal-hal yang berbeda, termasuk perbedaan orientasi seksual dan identitas gender.

Secara umum, tantangan terbesar yang harus diatasi orang individu LGBT sebelum mereka dapat sepenuhnya menjalani hidup sebagai lesbian, pria gay, orang biseksual atau orang transgender, adalah keluarga sendiri. Ada keluarga yang sangat mengasihi anggota keluarganya, sampai pada tingkat bahwa apapun yang mereka lakukan atau apapun yang terjadi, mereka tetap diterima penuh sebagai anggota keluarga. Dalam keluarga yang demikian, jika orang tua atau saudara mendapati orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda pada anak atau sesama saudaranya, mereka dapat menerimanya, meskipun mungkin sulit pada awalnya. Ada yang bahkan berusaha memahami permasalahan yang terkait dengan keragaman orientasi seksual dan identitas gender ini, dengan mencari-cari informasi, yang saat ini menjadi lebih mudah dengan adanya akses internet yang semakin baik.

Keluarga lain mungkin terkejut pada awalnya dan bereaksi keras terhadap anggota keluarganya yang LGBT. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi lebih terbiasa dengan pengungkapan orientasi seksual atau identitas gender ini, terlebih apabila anggota keluarga tersebut bisa memperoleh penghasilan untuk membantu menafkahi keluarganya. Namun ada juga keluarga yang sampai mengusir anak atau saudaranya yang LGBT, hal yang tentunya sangat menyakitkan perasaan mereka. Dalam banyak kasus, hubungan yang retak ini tidak dapat dipulihkan kembali.

Ada dua alasan utama yang menyebabkan kaum LGBT tidak diterima oleh keluarganya:

1. Desakan besar untuk menikah secara heteroseksual dan mendirikan keluarga, yang sangat kuat terlihat dalam masyarakat Indonesia. Salah satu pertanyaan umum yang biasa diajukan saat berkenalan dengan orang baru adalah, "Sudah menikah?" Praktek kawin paksa sudah jarang terjadi, namun penjodohan masih dipandang sebagai hal yang baik, sementara wanita yang belum menikah dan wanita menikah yang belum punya anak dianggap sebagai hal yang harus dikasihani. Banyak orang mengungkapkan rasa kasihan tersebut secara terang-terangan. Bagi kelompok LGBT, meskipun kebiasaan ini dapat mereka abaikan sebagai basa-basi saja, namun apabila terjadi di dalam keluarga sendiri bisa dirasakan cukup mengganggu. Bahkan ada yang sampai pindah menjauhi keluarganya dan menghindar untuk tidak terlalu sering mengunjungi mereka. Takut ketahuan sebagai orang LGBT juga menambah alasan terjadinya perpisahan ini.

2. Karakteristik lain yang cukup penting bagi sebagian besar orang Indonesia, entah dianut dengan sungguh-sungguh atau tidak, adalah agama. Dalam hal ini, banyak orang mengenal doktrin harafiah yang menyangkut hal-hal lahiriah saja, dan berusaha mentaatinya. Ajaran ini seringkali dicampur-adukkan dengan budaya, sekali lagi yang pada zaman dulu menunjukkan penerimaan yang kaya dan beragam terhadap berbagai gender dan seksualitas, namun terhapus oleh arus modern abad kedua puluh. Penekanan pada penampilan religius mulai muncul setelah pemberantasan kekuatan sayap kiri pada tahun 1965-1966, yang menyoroti kaum komunis yang dicap sebagai

44

kafir. Bahkan sampai sekarang sebagian besar politisi tidak bersedia berpenampilan sekuler karena khawatir tidak akan memperoleh suara dalam pemilu. Doktrin-doktrin harafiah agama Kristen dan Islam hanya mengenal dua jenis gender saja dan mengecam seksualitas di luar nikah. Agama besar lain menolak perbedaan orientasi seksual dan identitas gender dengan merujuk pada budaya heteronormatif.13

Karena dua tema mendasar ini, yaitu fokus pada perkawinan dan pendirian keluarga heteroseksual dan juga pada penafsiran ajaran agama yang konservatif, banyak orang LGBT menikah sebagai kedok untuk sekedar menyenangkan keluarga mereka. Ada yang menginternalisasikan ideal heteronormativitas itu dengan keinginannya untuk menikah dan mendirikan keluarga, dengan harapan bahwa orientasi seksual atau identitas gendernya yang berbeda itu "dapat disembuhkan." Perkawinan semacam ini sebagian tidak bertahan, namun ada juga yang bisa langgeng. Banyak keluarga yang diketahui mendesak orang yang mereka kenal sebagai LGBT agar bagaimanapun juga menikah secara heteroseksual demi menjaga nama keluarga. Tak pelak lagi bahwa di antara perkawinan semacam ini banyak yang berakhir berantakan, di mana pihak wanita yang umumnya menanggung konsekuensi paling berat (baik istri pria gay atau wanita lesbian yang menikah karena pemaksaan). Kaum pria secara implisit lebih mudah dimaafkan, dan dalam banyak kasus, keluarga sudah merasa puas asalkan mereka sudah pernah mencoba hidup menikah.

[Foto: 'Gerak Jalan Kekuasaan' di Dialog Nasional]

Peserta menyarankan agar program mata pencaharian dapat dilaksanakan secara sistematis sehingga orang-orang LGBT dapat hidup mandiri dan mampu meninggalkan lingkungan keluarga lebih dini, apabila hal tersebut memang mereka inginkan. Di tingkat lain, beberapa peserta dengan sangat mendesak menyuarakan perlunya ada perubahan

13

Heteronormativitas adalah keyakinan dan keselarasan akan bentuk ideal dari hubungan dan struktur keluarga yang heteroseksual. Orientasi seksual dan identitas gender yang tidak konformis atau menyesuaikan dengan gambaran ideal ini tidak diterima.

45

budaya dengan penekanan lebih besar pada hak asasi manusia dari pada agama. Mereka memahami bahwa usaha itu memerlukan upaya yang luar biasa besar, tetapi menyatakan dukungannya bagi pekerjaan beberapa organisasi yang telah mapan, yang melakukan kampanye edukasi masyarakat, misalnya, tentang adanya keragaman gender dan seksualitas. Cara lain yang ditempuh untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang permasalahan orientasi seksual dan identitas gender adalah melalui pembicaraan secara terbuka di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi, tempat-tempat ibadah (dipimpin oleh pemuka agama yang berwawasan terbuka), atau pada acara radio dan televisi, dan lain sebagainya.

Para aktivis LGBT juga telah melakukan pendekatan atau didekati oleh kalangan akademisi, pembela hak asasi manusia dan tokoh agama yang berkarya secara lebih mendalam dengan azas-azas yang pluralis dan humanis. Beberapa pendukung ini ada yang hadir dan berbicara pada Dialog Nasional. Hubungan seperti ini perlu dibina dan ditingkatkan.

Akhirnya, sejumlah peserta menunjukkan fakta bahwa terdapat puluhan aktivis LGBT dari seluruh negeri yang berkumpul dalam Dialog Nasional ini. Hal ini dengan sendirinya menunjukkan potensi kekuatan gerakan LGBT.

Dokumen terkait