• Tidak ada hasil yang ditemukan

II YAJÑA DALAM MAHABHARATA

“Sahayajñ h praj h s tv puro ‘v sa praj patiá, anena prasavisyadhvam e a vo ‘i takhamadhuk”

terjemahannya:

Pada jaman dahulu kala Prajapati

(Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yajna dan bersabda: dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. (BG, III.10).

Setiap tindakan tanpa dilandasi keyakinan yang mantap tentu menjadi sia-sia, demikian pula keyakinan kita kepada

Gambar 2.1 Pertapa dan Prabhu Parikesit Sumber: https://www.google.

Tuhan Yang Maha Esa. Sraddha apnoti brahma apnoti, mereka yang memiliki iman yang mantap dapat mencapai dan bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, demikian pula dalam melaksanakan Yajna, mutlak dilandasi Sraddha (keimanan atau keyakinan) yang mantap.

Mengapa kita harus beryajña?

A. Pengertian dan Hakikat Yajña

Perenungan:

‘Ojaṡce me, saha ca me, tm ca me, tan ca me, arma ca me, varma came, yajñena kalpant m.

Terjemahannya:

‘Dengan sarana persembahan (Yajña), semoga kami memperoleh sifat-sifat yang berikut ini: kemuliaan, kejayaan, kekuatan rohaniah, kekuatan jasmaniah, kesejahteraan dan perlindungan’ (Yajurveda XVIII.3).

Memahami Teks:

Kata Yajña berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata ”Yuj” berarti memuja, mempersembahkan, korban. Dalam kamus bahasa Sansekerta, kata

Yajña diartikan: upacara korban, korban, orang yang berkorban yang berhubungan dengan korban (Yajña). Dalam Kitab Bhagawadgita dijelasakan, Yajña artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yajña berarti upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilaksanakan dengan mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga. Sarana yang diperlukan sebagai perlengkapan sebuah Yajña disebut dengan istilah Upakara. Upakara yang tertata dalam bentuk tertentu yang difungsikan sebagai sarana memuja keagungan Tuhan disebut sesajen. Upakara dapat diartikan memberikan pelayanan yang ramah tamah atau kebaikan hati. Dengan demikian sudah semestinya setiap upakara yang dipersembahkan hendaknya dilandasi dengan kemantapan, ketulusan dan kesucian hati, yang diwujudkan dengan sikap dan prilaku ramah tamah bersumber dari hati yang hening dan suci.

Tatacara atau rangkaian pelaksanaan suatu Yajña disebut Upacara. Kata upacara dalam kamus Sansekerta diartikan: mendekati, kelakuan, sikap, pelaksanaan, kecukupan, pelayanan sopan santun, perhatian, penghormatan, hiasan, upacara, pengobatan. Kegiatan upacara dapat memberikan ciri-ciri tersendiri bagi agama-agama tertentu dan sekaligus membedakannya dengan agama-agama yang lainnya. Setiap agama memiliki tatanan tersendiri dalam melaksanakan upacaranya. Di dalam pelaksanaan upacara diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta prabhawanya, kepada alam lingkungannya, para Pitara, para Rsi atau Maha Rsi dan manusia sebagai sesamanya. Wujud dari pendekatan itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata pelaksanaan sebagaimana

yang ditentukan dalam berbagai sastra yang memuat ajaran agama Hindu. Kesucian itu adalah sifat dari Tuhan Yang Maha Esa. Siapapun orangnya bila berkeinginan mendekatkan diri dan berdoa kehadapan Tuhan Yang Maha Suci, hendaknya menyucikan diri secara lahiriah dan batiniah.

Secara alamiah dunia beserta isinya harus bergerak harmonis, selaras, seimbang, dan saling mendukung. Agama Hindu mengajarkan umatnya selalu hidup harmonis, seimbang, selaras, dan saling mendukung. Tidak dibenarkan sama sekali oleh ajaran suci Veda hanya meminta saja dari alam, memberikan kepada alam juga menjadi sebuah kewajiban dalam rangka menjaga keseimbangan alam. Katakanlah dengan bunga, kata orang bijak yang masih relevan dilakukan sepanjang zaman. Ketika memberi, tak boleh mengharapkan pengembalian, itu merupakan ajaran Veda tentang ketulus-ikhlasan. Saling memberi adalah satu-satunya cara untuk menjaga keteraturan sosial. Jangan heran apabila di masyarakat dalam setiap ada upacara keagamaan selalu saling memberikan makanan.

Alam semesta ini diciptakan oleh Brahman dengan kekuatan-Nya sebagai Dewa Brahma. Isi alam yang kita nikmati untuk kesehatan lahir dan batin. Makanan yang disediakan oleh alam harus disyukuri dan dinikmati secara seimbang. Kitab suci Veda mengajarkan umat Hindu dalam menyampaikan rasa syukur dengan memakai isi alam, yaitu bunga, daun, cahaya, air, dan buah. Isi alam ini dikemas, ditata dalam aturan tertentu sehingga menjadi sesajen persembahan (banten). Sesajen inilah dipakai sebagai media persembahan kepada Brahman.

Sesajen atau banten bukan makanan para dewa atau Tuhan, melainkan sarana umat dalam menyampaikan dan mewujudkan rasa bakti dan syukur kepada Brahman, Sang Hyang Widhi. Di dalam ajaran suci Veda, Santi Parwa atau Bhagavadgita disebutkan, mereka yang makan sebelum memberikan Yajña, maka orang itu pantas disebut pencuri. Ajaran Veda ini mengajarkan tentang etika sopan santun, mengingat semua yang ada di dunia ini berasal dari Sang Hyang Widhi, maka tentu sangat sopan apabila sebelum makan diwajibkan mengadakan penghormatan dengan persembahan kepada pemilik makanan sesungguhnya, yaitu Sang Hyang Widhi. Dengan demikian, Yajña itu adalah korban suci yang tulus ikhlas untuk menjaga keseimbangan alam dan keteraturan sosial.

Yajña berarti persembahan, pemujaan, penghormatan, dan korban suci.

Yajña adalah korban suci yang tulus iklhas tanpa pamrih. Berdasarkan sasaran yang akan diberikan Yajña, maka korban suci ini dibedakan menjadi lima jenis, yaitu:

a. Dewa Yajña

Yajña jenis ini adalah persembahan suci yang dihaturkan kepada Sang Hyang Widhi dengan segala manisfestasi-Nya. Contoh Dewa Yajña dalam kesehariannya, melaksanakan puja Tri Sandya, sedangkan contoh Dewa Yajña pada hari-hari tertentu adalah melaksanakan piodalan/puja wali di

“k òksanta karma siddhi yajanta iha devat á, k ipra hi m nu e loke siddhir bhavati karma-j ”

Terjemahannya:

Mereka yang menginginkan keberhasilan yang timbul dari karma, berYajña

di dunia untuk para deva, karena keberhasilan manusia segera terjadi dari karma, yang lahir dari pengorbanan (BG. IV.12).