• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Matematika dan Pendididkan Matem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Seminar Matematika dan Pendididkan Matem"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Model

Problem Based Instruction

(PBI) dalam

Pendekatan

Aptitude Treatment Interaction

(ATI)

terhadap Pemahaman Konsep Matematika

dan

Self-Efficacy

Siswa di SMPN

Kota Pekanbaru

Risnawati

Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, Indonesia rwati04@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pencapaian pemahaman konsep (PK) dan self-efficacy terhadap matematika siswa yang memiliki IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah yang mendapatkan model PBI dalam pendekatan ATI dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Selain itu, diungkap pula interaksi antara model pembelajaran dengan IQ dalam mempengaruhi PK dan self-efficacy siswa terhadap matematika.

Populasi penelitian ini adalah siswa SMPN Kota Pekanbaru dengan level rendah yang berjumlah 31 sekolah. Dari 31 sekolah dipilih satu sekolah sebagai subjek penelitian dengan 3 kelas kontrol dan 3 kelas eksperimen sebagai sampel. Selanjutnya dilakukan tes IQ untuk menentukan IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen pelaksanaan penelitian dan instrumen pengumpulan data. Instrumen pengumpulan adalah tes IQ, PK, dan skala psikologik self-efficacy model skala likert, sedangkan instrumen pelaksanaan penelitian yaitu RPP, Modul, dan LKS. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah Anava dua jalur. Sedangkan analisis kualitatif digunakan untuk menelaah kesulitan yang ditemui siswa dalam memahami konsep, dan self-efficacy terhadap matematika.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat perbedaan pemahaman konsep siswa IQ tinggi, sedang dan rendah. 2) Terdapat Perbedaan pemahaman konsep siswa yang diajar dengan model PBI dalam Pendekatan ATI dan konvensional. 3) Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan IQ siswa dalam mempengaruhi pemahaman konsep. 4) Terdapat perbedaan self-efficacy siswa IQ tinggi, sedang dan rendah. 5) Terdapat perbedaan self-efficacy siswa yang diajar dengan model PBI dalam pendekatan ATI dan konvensional pada IQ rendah, sedangkan pada siswa IQ tinggi dan sedang tidak terdapat perbedaan. 6) Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan IQ siswa dalam mempengaruhi kemampuan self-efficacy.

Kata Kunci: Problem Based Instruction, Aptitude Treatment and Interaction, Pemahaman Konsep, dan

Self-efficacy

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah adalah agar siswa memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat, dalam pemecahan masalah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman konsep siswa dan pemecahan masalah matematis perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama.

(2)

kemampuan-kemampuan berpikir matematis, salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sumarmo (2010) yang menyatakan pemahaman konsep penting dimiliki siswa, karena diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kebutuhan masa kini.

Siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyelesaikan dan menemukan jawaban dari problema-problema matematika pada soal yang diberikan oleh guru. Pada proses pembelajaran di kelas, terdapat siswa yang cepat dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan matematika yang diberikan. Selain itu, terdapat juga siswa yang lamban dalam menyelesaikan masalah matematika yang diberikan berupa soal-soal matematika. Oleh karena itu, guru perlu memperhatikan keragaman individu siswa dalam proses pembelajaran di kelas agar setiap siswa mendapat perhatian secara proporsional, sehingga setiap siswa dapat berkembang sesuai dengan kecepatan dan kesanggupan masing-masing siswa. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Nasution (1986), bahwa pembelajaran hendaklah disesuaikan dengan kecepatan dan kesanggupan individual, berarti bahwa yang harus diperhatikan bukan hanya anak-anak yang lamban, tetapi juga anak-anak yang pandai, sehingga setiap anak berkembang sesuai dengan kecepatan dan bakat masing-masing.

Kenyataan di lapangan, pada setiap kelas, dijumpai perbedaan individu, terutama perbedaan kemampuan siswa yaitu siswa yang memiliki kemampuan cepat, sedang dan lamban. Kondisi ini belum diperhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran, guru menyeragamkan pembelajaran bagi semua siswa. Siswa kemampuan cepat, sedang maupun lamban memiliki cara menerima dan memahami pelajaran yang berbeda. Siswa yang berkemampuan tinggi, dengan sekali penyampaian saja sudah mengerti, sedangkan siswa yang mempunyai kemampuan sedang, dengan sekali penyampaian saja belum mengerti dan memahaminya. Apalagi, bagi siswa yang memiliki kemampuan rendah, dengan mengulang penyampaian pelajaran sampai dua kali saja tidak cukup. Mereka harus dibimbing, diarahkan, dan diberi motivasi dalam belajar, baru dapat mengerti dan paham. Hal ini sesuai dengan pendapat Bloom dan Gagne (1982, 1997) bahwa siswa memiliki cara belajar cepat, sedang, dan lambat di dalam menerima dan memahami pelajaran, masing-masing kelompok ini tidak memiliki kecepatan yang sama.

(3)

diberikan. Sebagai orang yang terlibat dalam dunia pendidikan sudah seharusnya guru mencari suatu cara untuk dapat mengatasi masalah ini. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang seharusnya dapat mengembangkan kepercayaan diri atau keyakinan siswa akan kemampuannya.

Pembelajaran yang baik hendaklah memberi bantuan untuk tiga kategori kemampuan anak tersebut haruslah adil. Artinya, seorang guru harus menyediakan sarana bagi ketiga kategori kemampuan tersebut secara adil. Dalam pembelajaran konvensional hal ini menjadi masalah, karena siswa pintar biasanya dengan cepat dapat memahami apa yang diajarkan gurunya, sedangkan siswa yang sedang dan rendah lebih memerlukan waktu dan bantuan dari gurunya. Hal ini berakibat bahwa siswa yang pintar mempunyai banyak waktu yang kosong yang tidak dimanfaatkan dengan maksimal, sehingga terkadang menjadi sumber keributan atau mengganggu siswa lainnya yang belum menyelesaikan tugas dari gurunya. Atau sering juga siswa yang kurang akan melakukan jalan pintas dengan cara mencontek pekerjaan temannya yang sudah selesai mengerjakan soal tanpa memahami apa yang ditulis/dikerjakan temannya. Untuk itu, harus ada strategi pembelajaran yang menjembatani perbedaan kemampuan siswa tersebut, sehingga diperoleh hasil yang optimal.

Pembelajaran dengan pendekatan ATI dan dengan PBI siswa dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Siswa yang cerdas akan belajar sesuai dengan kecepatan belajar mereka, siswa yang sedang juga belajar sesuai dengan kemampuan mereka dengan bantuan guru lebih banyak. Dengan pembelajaran yang cocok, siswa mendapatkan layanan secara adil, siswa yang kurang mampu mendapat bantuan lebih banyak, untuk siswa yang mampu guru hanya sebagai motivator dan pengarah, bantuan guru sangat sedikit (Nurdin, 2005).

Kenyataan di lapangan, guru matematika masih banyak yang menerapkan pembelajaran yang berpusat pada guru. Hal ini tentu akan menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, khususnya pada siswa SMP. Rendahnya penguasaan materi matematika dapat dilihat pada rendahnya persentase jawaban benar para peserta The Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Assessment (PISA) tahun 2009. Pada hasil studi TIMSS 2007 untuk siswa kelas VIII, Indonesia menempati peringkat ke 36 dari 48 negara peserta survey dalam matematika. Aspek yang dinilai dalam matematika adalah pengetahuan tentang fakta, prosedur, konsep, penerapan pengetahuan dan pemahaman konsep (Martin dkk, 2008). Secara umum (Sabandar, 2008), soal-soal matematika yang disajikan dalam kompetensi international tersebut memerlukan pemahaman pada konsep-konsep matematika agar siswa dapat bernalar untuk berpikir tingkat tinggi.

(4)

tujuan formal yaitu penataan nalar siswa untuk diterapkan dalam kehidupan (Soejadi, 2000).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru matematika yaitu Asniati, S.Pd di SMP 20 Pekanbaru (20 Februari, 2011), dan juga Rosnah, S. Pd guru SMP 21 (22 Februari 2011) dapat disimpulkan bahwa siswa masih susah untuk memahami konsep, ini ditandai bila tanyakan kembali mengenai konsep materi pembelajaran matematika sebelumnya siswa sering tidak bisa menjawab; bila di beri soal yang sedikit berbeda dari contoh, banyak siswa yang bingung dan ragu dalam menyelesaikannya; bila diberikan tugas-tugas, siswa lambat dalam mengerjakannya; sebagian besar siswa (55 % siswa) dalam kelas tersebut hasil belajarnya masih di bawah KKM (70); sebagian besar siswa masih kurang bisa untuk membahasakan masalah matematika ke dalam bahasa yang mereka bisa pahami; jika diberikan soal-soal yang bersifat pengembangan dan analisis, pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya; sebagian siswa tidak bisa membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah.

Dipilihnya pendekatan ATI dan model PBI di samping memperhatikan karakteristik materi juga diperkuat oleh teori yang dikemukan banyak pakar, diantaranya Panen, dkk (2001:12) menyatakan bahwa melalui PBI siswa dibantu untuk mampu belajar dalam bidang ilmunya, mendorong siswa untuk mempunyai tanggung tanggung jawab dalam pembelajaran mereka, menekankan pada keterampilan berpikir dan bernalar, pemahaman, pelajaran bagaimana caranya belajar, dan bekerja dengan cara bekerja sama dengan yang lain. Dari pemikiran Pannen ini akan semakin jelas bahwa PBI ini cocok untuk semua siswa baik siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.

Smith (1989) menyatakan bahwa PBI ini termasuk pengajaran yang baik karena, pengajaran yang baik mempunyai dua tujuan dimana mengembangkan pemahaman yang mendalam terhadap materi dan meningkatkan kemampuan belajar yang tinggi. Dengan demikian maka pembelajaran pendekatan ATI dengan PBI diduga dapat meningkatkan pemahaman konsep dan self-efficacy terhadap matematika siswa sekolah menengah pertama. Oleh karena itu, akan diteliti lebih lanjut dengan judul “Pengaruh pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) dengan Pendekatan Aptitude Treatment Interaction (ATI ) terhadap Pemahaman Konsep dan self-efficacy Matematika siswa SMP Negeri Kota Pekanbaru.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa dengan IQ tinggi, sedang, dan rendah?

2. Apakah terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional?

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan IQ dalam mempengaruhi pemahaman konsep siswa?

4. Apakah terdapat perbedaan self-efficacy terhadap matematika antara siswa IQ tinggi, sedang, dan rendah?

5. Apakah terdapat perbedaan self-efficacy terhadap matematika antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional?

(5)

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji, menelaah dan menganalisis serta mengungkapkan:

1. Perbedaan pemahaman konsep antara siswa IQ tinggi, sedang, dan rendah.

2. Perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional.

3. Interaksi antara model pembelajaran dengan IQ dalam mempengaruhi pemahaman konsep siswa.

4. Perbedaan self-efficacy terhadap matematika antara siswa IQ tinggi, sedang, dan rendah.

5. Perbedaan self-efficacy terhadap matematika antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional.

6. Interaksi antara model pembelajaran dengan IQ dalam mempengaruhi self-efficacy. 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak diantaranya adalah:

1. Secara teoretis, penelitian ini akan menguji sejauh mana keberlakuan dan keterhandalan model PBI dengan pendekatan ATI dalam mengembangkan pemahaman konsep (PK) dan self-efficacy siswa terhadap mtematika. Dengan adanya perkembangan PK dan self-efficacy siswa terhadap matematika ini, diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari serta dapat membangun budaya berpikir yang lebih baik bagi diri siswa.

2. Secara praktis, pembelajaran PBI dalam pembelajaran matematika yang melibatkan guru dan siswa dalam penelitian ini dapat:

a. Guru

Pembelajaran dalam pendekatan ATI dan model PBI dapat dijadikan sebagai suatu alternatif dalam pembelajaran matematika di sekolah untuk mengembangkan pemahaman konsep dan pemecahan masalah serta aspek afektif self-efficacy matematika.

b. Peneliti

Penelitian ini nantinya dapat dijadikan rujukan bagi peneliti untuk mengkaji teori tentang kemampuan pemahaman, kemampuan berpikir kreatif, efikasi diri, dan pendekatan ATI, model PBI, dimana teorinya masih sulit ditemukan di Indonesia, sehingga penelitian yang berfokus pada pengembangan model pembelajaran dalam rangka meningkatkan pemahaman konsep dan aspek afektif self-efficacy matematika.

c. Pembuat Kebijakan

Agar lebih memahami bahwa pendekatan ATI dan model PBI dalam matematika merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat meningkatkan aspek-aspek kognitif kemampuan matematika seperti pemahaman konsep dan aspek-aspek afektif self-efficacy matematika.

2. Metode Penelitian

2.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian Quasi Eksperimen dengan desain Posttest-only Design With Nonequivalent Group.

2.2. Subjek dan Objek penelitian

(6)

dengan menggunakan model PBI dengan pendekatan ATI. 2.3. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Negeri di Kota Pekanbaru SMP Negeri di Kota Pekanbaru berjumlah 36 dan dibagi atas beberapa level sesuai dengan ketetapan diknas pendidikan. Pertama, Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang terdiri dari satu sekolah dan dikategorikan sebagai sekolah level tinggi. Kedua, Sekolah Standar Nasional (SSN) yang terdiri dari empat sekolah dan dikategorikan sebagai sekolah level menengah; SMP regular yang terdiri dari 31 sekolah dan dan dikategorikan sebagai sekolah level rendah.

Dari populasi yang ada, diambil SMP reguler sebagai sampel berjumlah 31 sekolah. Hal ini karena kemampuan akademik siswanya heterogen, sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Untuk mengambil sampel penelitian dilakukan pengundian terhadap 31 sekolah. Sekolah yang terpilih sebagai sampel penelitian yaitu SMPN 20. Pengundian juga digunakan untuk memilih kelas dari sekolah yang terpilih sebagai sampel. Kelas yang terpilih yaitu kelas VIII yang berjumlah 336 siswa. Selanjutnya dilakukan tes IQ pada siswa kelas VIII untuk menentukan kelompok siswa IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Hasil tes siswa dengan IQ tinggi berjumlah 61 siswa, dari 61 semuanya diambil sebagai subjek penelitian. Hasil tes siswa untuk IQ sedang berjumlah 164 siswa dan IQ rendah berjumlah 111. Untuk pemilihan dua kelas kontrol dan eksperimen dilakukan berdasarkan pertimbangan kelas awal mereka sebelum pemisahan, agar mereka tidak canggung dan nyaman belajar sesama teman mereka sebelumnya.

2.4. Prosedur

1. Tahap Persiapan

Persiapan diawali dengan pembuatan proposal, kemudian dilakukan penyusunan instrumen penelitian dan memvalidasinya. Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Merancang perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, meminta penilaian ahli dan melaksanakan uji coba di lapangan sebagai studi pendahuluan.

b. Menganalisis hasil uji coba perangkat pembelajaran instrumen penelitian dengan tujuan untuk memperbaiki perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian sebelum melaksanakan penelitian.

c. Mensosialisasikan rancangan pembelajaran pada guru dan observer yang dilibatkan dalam penelitian.

d. Melaksanakan tes IQ. Tes ini bertujuan untuk membantu pembagian kelompok dalam pelaksanaan pembelajaran Konvensional dengan pendekatan ATI dan PBI dengan pendekatan ATI.

2. Tahap Pelaksanaan

Kegiatan pada tahap ini adalah sebagai berikut:

a. Mengelompokkan siswa sesuai dengan hasil tes IQ untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen, masing-masing terdiri dua kelas, IQ tinggi dua kelas, kelas eksperimen dan kelas kontrol. Begitu juga dengan IQ sedang dan rendah. Jumlah semua adalah enam kelas.

b. Melaksanakan pembelajaran PBI dengan pendekatan ATI pada kelas eksperimen, dan konvensional dengan pendekatan ATI di kelas kontrol. Pada kelas eksperimen selama kegiatan pembelajaran dilakukan pengamatan aktivitas siswa dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.

(7)

d. Memberikan efikasi diri pada semua siswa.

3. Tahap Analisis Data

Kegiatan pada tahap ini adalah sebagai berikut. a. Melakukan analisis data dan menguji hipotesis

b. Melakukan pembahasan yang berkaitan dengan analisis data, uji hipotesis, hasil wawancara, dan literatur.

Tabel 1. Hubungan Rumusan Masalah, Hipotesis dan Jenis Uji Statistik

No Efikasi diri antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional?

2,5

Anava dua Jalur

3,6

Apakah terdapat interaksi antara model dengan IQ dalam mempengaruhi pemahaman konsep dan

Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis Varians Dua Arah Pemahaman Konsep.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:pemahaman konsep Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 5144,758a 5 1028,952 19,063 ,000

Intercept 1326446,403 1 1326446,403 24574,852 ,000

Model 31,403 1 31,403 ,582 ,000

IQ 2001,270 2 1000,635 18,539 ,000

Model * IQ 3400,052 2 1700,026 31,496 ,003

Error 11604,789 215 53,976

Total 1419175,000 221

(8)

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah “terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa IQ Tinggi,IQ Sedang dan IQ rendah. Dari hasil perhitungan, maka hipotesis nol (H0) yang diuji adalah “Tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa IQ Tinggi, IQ Sedang dan IQ rendah”.

Berdasarkan Tabel 2, dapat dikemukakan bahwa nilai signifikan pemahaman konsep berdasarkan IQ 0,00 < 0,05. Dengan demikian, untuk faktor IQ menolak hipotesis nol. Ini berarti bahwa intelegensi mempunyai peranan yang cukup signifikan terhadap pemahaman konsep sehingga pemahaman konsep siswa yang berintelegensi tinggi berbeda dengan pemahaman konsep siswa yang berintelegensi sedang serta siswa yang berintelegensi rendah.

Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah “Terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang diajar dengan PBI dan Konvensional”. Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut, maka hipotesis nol (H0) yang diuji adalah “Tidak terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional”.

Berdasarkan Tabel 2, dapat dikemukakan bahwa nilai signifikan metode 0,00 < 0,05, berarti H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian terdapat perbedaan pemahaman konsep antara siswa yang diajar dengan PBI dan Konvensional. Ini berarti dari kedua model pembelajaran paling tidak salah satu mempunyai efek yang berbeda dengan yang lainnya. Tetapi sampai tahap ini kita belum memperoleh informasi yang jelas tentang model pembelajaran yang mana yang benar-benar mempunyai efek berbeda dengan yang lainnya. Untuk melihat perbedaan masing-masing antara model pembelajaran itu dilakukan, uji scheffe. Berikut ini akan disajikan hasil uji scheffe dengan SPSS for 18.

Tabel 3. Uji Scheffe Pemahaman Konsep

Multiple Comparisons

Dependent Variable:pemahaman konsep

(I) IQ (J) IQ Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Scheffe Tinggi Sedang 2,6104 1,30716 ,139 -,6116 5,8325

Rendah 6,8391* 1,29567 ,000 3,6454 10,0328

Sedang Tinggi -2,6104 1,30716 ,139 -5,8325 ,6116

Rendah 4,2286* 1,12726 ,001 1,4500 7,0072

Rendah Tinggi -6,8391* 1,29567 ,000 -10,0328 -3,6454

Sedang -4,2286* 1,12726 ,001 -7,0072 -1,4500

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 53,976. *. The mean difference is significant at the ,05 level.

(9)

Rendah Sedang Tinggi

Gambar 1. Diagram Garis antara IQ dengan Pemahaman Konsep.

Berdasarkan diagram garis pada Gambar 1, kelas eksperimen memiliki rata-rata pemahaman konsep yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Untuk kelompok tinggi kelas eksperimen 88,55 dan untuk kelas kontrol 77,83, untuk kelompok sedang kelas eksperimen 83,41 dan untuk kelas kontrol 75,49, sedangkan untuk kelompok rendah kelas eksperimen 79,87 dan kelas kontrol 74,23. Model PBI sangat baik diterapkan pada kelompok IQ tinggi karena memiliki selisish mean paling tinggi yaitu 10,72 dibanding kelompok sedang 7,92 dan kelompok rendah 5,64. Berdasarkan selisih mean tersebut maka disimpulkan bahwa terdapat perbedaan PK antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional.

Hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Terdapat interaksi antara metode dan IQ dalam mempengaruhi PK siswa”. Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut, maka hipotesis nol (H0) yang diuji adalah “Tidak terdapat interaksi antara model dan IQ dalam mempengaruhi PK siswa”.

Berdasarkan Tabel 2, nilai signifikan interaksi antara metode dan IQ adalah 0,03 < 0,05. Ini berarti H0 ditolak “Tidak terdapat interaksi antara model dan IQ dalam mempengaruhi PK siswa”. Karena terdapat interaksi antara antara model dan IQ dalam mempengaruhi PK siswa, maka dilakukan analisis lanjutan untuk mengetahui kombinasi mana yang sebenarnya berbeda dengan yang lainnya. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan uji Scheffe dan hasilnya terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan nilai signifikan pada Tabel 3, interaksi antara model dan IQ pada kelompok tinggi ke rendah memiliki kombinasi yang berbeda dari kelompok lain yaitu 0,001.

3.2 Self Efficacy

Tabel 4. Rangkuman Hasil Analisis Varians Dua Arah Self-Efficacy Matematika Siswa

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Pemecahan Masalah

Source Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 11450,507a 5 2290,101 27,767 ,000

Intercept 1217017,278 1 1217017,278 14756,270 ,000

Metode 1222,805 1 1222,805 14,826 ,000

IQ 9037,094 2 4518,547 54,787 ,000

Metode * IQ 1200,262 2 600,131 7,277 ,001

Error 17732,036 215 82,475

Total 1253926,000 221

(10)

Hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah “terdapat perbedaan self-efficacy antara siswa IQ Tinggi,IQ Sedang dan IQ rendah. Berdasarkan hipotesis tersebut maka hipotesis nol (H0) yang diuji adalah “Tidak terdapat perbedaan self-efficacy antara siswa IQ Tinggi, IQ Sedang dan IQ rendah”.

Berdasarkan Tabel 4, dapat dikemukakan bahwa nilai signifikansi IQ 0,004 < 0,005. Dengan demikian, untuk faktor IQ menolak hipotesis nol (H0) : tidak terdapat perbedaan self-efficacy antara siswa IQ Tinggi, IQ Sedang dan IQ rendah. Ini berarti bahwa intelegensi mempunyai peranan yang cukup signifikan terhadap self-efficacy sehingga self-efficacy yang berintelegensi tinggi berbeda dengan self-efficacy yang berintelegensi sedang serta siswa yang berintelegensi rendah.

Hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah “Terdapat perbedaan self-efficacy antara siswa yang diajar dengan PBI dan Konvensional”. Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut, maka hipotesis nol (H0) yang diuji adalah “Tidak terdapat self-efficacy antara siswa yang diajar dengan PBI dan konvensional”.

Berdasarkan Tabel 4, dapat dikemukakan bahwa nilai signifikansi metode 0,000 < 0,005, berarti H0 ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian terdapat perbedaan self-efficacy antara siswa yang diajar dengan PBI dan Konvensional. Ini berarti dari kedua model pembelajaran paling tidak salah satu mempunyai efek yang berbeda dengan yang lainnya. Tetapi sampai tahap ini kita belum memperoleh informasi yang jelas tentang model pembelajaran yang mana yang benar-benar mempunyai efek berbeda dengan yang lainnya. Untuk melihat perbedaan masing-masing antara model pembelajaran itu dilakukan, uji scheffe. Berikut ini akan disajikan hasil uji scheffe dengan SPSS for 18.

Tabel 5. Hasil Uji Sheffe Self-Efficacy Multiple Comparisons

Dependent Variable:Efikasi diri

(I) IQ (J) IQ Mean

Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

Scheffe Tinggi Sedang 5,2783* 1,88196 ,021 ,6395 9,9171

Rendah 7,7383* 1,86542 ,000 3,1403 12,3364

Sedang Tinggi -5,2783* 1,88196 ,021 -9,9171 -,6395

Rendah 2,4600 1,62296 ,319 -1,5404 6,4605

Rendah Tinggi -7,7383* 1,86542 ,000 -12,3364 -3,1403

Sedang -2,4600 1,62296 ,319 -6,4605 1,5404

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 111,883. *. The mean difference is significant at the ,05 level.

(11)

Rendah Sedang Tinggi

Gambar 2. Diagram Garis antara IQ dengan Efikasi diri.

Berdasarkan Diagram 2, kelas eksperimen memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Untuk kelompok tinggi kelas eksperimen 120 dan untuk kelas kontrol 118, untuk kelompok sedang kelas eksperimen 112 dan untuk kelas kontrol 111, sedangkan untuk kelompok rendah kelas eksperimen 120 dan kelas kontrol 103. Model PBI sangat baik diterapkan pada kelompok IQ rendah untuk self-efficacy karena memiliki selisish mean paling tinggi yaitu 17 dibanding kelompok sedang 1 dan kelompok tinggi 2. Berdasarkan selisih nilai mean dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan self-efficacy siswa IQ rendah yang diajar dengan PBI dan konvensional, tidak terdapat perbedaan self-efficacy siswa IQ sedang yang diajar dengan PBI dan konvensional, tidak terdapat perbedaan self-efficacy siswa IQ rendah yang diajar dengan PBI dan konvensional.

Hipotesis keenam diajukan dalam penelitian ini adalah “Terdapat interaksi antara metode dan IQ dalam mempengaruhi self-efficacy”. Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut, maka hipotesis nol (H0) yang diuji adalah “Tidak terdapat interaksi antara model dan IQ dalam mempengaruhi self-efficacy”.

Berdasarkan Tabel 4, nilai signifikan interaksi antara metode dan IQ 0,000 < 0,05. Ini berarti H0 ditolak “Tidak terdapat interaksi antara model dan IQ dalam mempengaruhi self-efficacy”. Karena terdapat interaksi antara antara model dan IQ dalam mempengaruhi self-efficacy, maka dilakukan analisis lanjutan untuk mengetahui kombinasi mana yang sebenarnya berbeda dengan yang lainnya. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan uji tukey dan uji Scheffe dan hasinya terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan nilai signifikan pada Tabel 5, terdapat perbedaan self-efficacy antara IQ dan model dalam mempengaruhi self-efficacy yaitu siswa IQ tinggi ke sedang yaitu 0,021 dibanding kelompok lainnya.

4. Simpulan dan Saran

4.1. Simpulan

1. Terdapat perbedaan antara pemahaman konsep matematika siswa IQ tinggi, siswa IQ sedang dan siswa IQ rendah .

2. Terdapat perbedaan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model PBI dengan pendekatan ATI dan Konvensional.

3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan IQ terhadap pemahaman konsep matematika siswa.

4. Terdapat perbedaan self-efficacy matematika antara siswa IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah.

(12)

perbedaan.

6. Terdapat interaksi antara model dan IQ dalam mempengaruhi efikasi diri matematika siswa.

4.2. Saran

1. Penerapan PBI dapat diimplementasikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai alternatif dalam proses pembelajaran matematika. Pemilihan pendekatan, model dan strategi yang tepat merupakan langkah penting demi keberhasilan pembelajaran matematika.

2. Penerapan PBI dapat mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma lama dimana guru sebagai pusat pembelajaran menjadi paradigma baru dimana siswa sebagai pusat pembelajaran dan guru sebagai motivator dan fasilitator. Pendekatan tersebut juga merubah paradigm lama dimana pembelajaran merupakan pemindahan pengetahuan (transfer of new ladge) kearah paradigma baru dimana pembelajaran merupakan kegiatan eksploratif, interaktif, kooperatif dan konstruktif untuk mendapatkan pengetahuan baru.

3. Proses pembelajaran dengan PBI akan mengembangkan kemampuan- kemampuan yang berkaitan dengan kompetensi kognitif siswa dalam belajar matematika (pemahaman konsep, pemecahan masalah dan kompetensi lainnya sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika), kemampuan yang tak kalah pentingnya juga berkaitan dengan kemampuan afektif misalnya menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati dan saling tolong menolong dalam kebaikan pada proses pembelajaran.

4. Penerapan PBI dapat meningkatkan kreativitas guru dalam menyiapkan bahan ajar, dengan demikian diharapkan bisa mengembangkan kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika.

5. Penerapan PBI mendukung program pemerintah, dimana dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru dapat mengembangkan model-model pembelajaran matematika sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.

6. Dalam self-efficacy siswa terhadap matematika, sebagian besar siswa masih terlihat belum berani untuk menyatakan keyakinan dirinya, sehingga masih termasuk kategori cukup. Hal ini setelah ditelusuri lewat wawancara, siswa belum terbiasa untuk mengemukakan pendapatnya terkait dengan kebiasaan siswa dalam kegiatan pembelajarannya atau budaya. Artinya selama ini siswa terbiasa dengan budaya hanya menurut apa yang diinginkan oleh guru, mereka belum terbiasa diberi kebebasan dalam mengemukakan jalan pikiran mereka sendiri, sehingga memunculkan sifat ragu-ragu dalam menentukan sikap terhadap sesuatu.

Referensi

1. Anderson, L. W. & Krathwohl, (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. New York: Addison Wesley Longman.

2. Arthur, L. B. (2008). Problem Solving. U.S: Wikimedia Fondation, Inc.

3. Bandura, Albert. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freman and Company. 4. Bandura, Albert. (1998). Self-Efficacy: The Exercise of Control. Tersedia: Diakses 20 Januari 2009.

5. Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools): Iowa: Wm. C. Brown Company. 6. Billstein, (1993). A Problems Solving Approach to Mathematics for Elementary School Teahers. Fith Edition.

New York: Addison Wesley Publishing Company.

7. Corno & Snow, (1986) ‘Adapting Teaching to Individual on Teaching, New York: Collier Macmilan Publishing Company

8. Cronbach. J. (1970). Essentials of Psychological Testing, New York: Harper & Row Publishers.

(13)

10. Crow, D. and Crow. (1958). Education Psykologi, Departement of Education, Brooklyn Collage: American book Company

11. Dahar, R.W. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: Departemen P dan K Direktorat Jenderal Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

12. De Porter. & Hernacki. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit Kaifa

13. Delva, Dianne, (2006), Problem Based Learning/Tutor Handbook. Fakulty of Mediecine Queen’n University 14. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata pelajaran Matematika. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

15. Depdiknas. (2006). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Jakarta: Depdiknas.

16. Depdiknas. (2007). Panduan Penyusunan KTSP Lengkap SD, SMP dan SMA. Jakarta: Depdiknas.

17. Dreyfus, T. (1991). Advanced Mathematical Thinking Processes. Dalam David Tall (editor). Advanced Mathematical Thinking. London: Kluwer Academic Publicer

18. Devlin, K. (2007) Helping Children Learn Mathematics. Published by the National Academy Press. 19. Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press.

20. Ervynck, G. (1991). Mathematical Creativity. Dalam D. Tall (ed). Advanced Mathematical Thinking. Dordrecht : kluwer Academic Publishers.

21. Feist, Jess and Gregory J. Feist. (2008). Theories of Personality. Edisi Keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 22. Fisher, R. (1995). Teaching Children to Think. Hong Kong: Stanley Thoners Ltd.

23. Frenstermacher and Goodlad. (ed). (1983). Individual Differences and the Common Curiculum. Chicago: National Society for the of Education (NSSE). Chicago Press

24. Junaidi, W. Y., Chen, N. S., Dung, J –J., & Yang, Y. L. (2007). Multiple Representataion Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Education Tecnology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212

25. Gagne, (1977). Condition of Learning. New York: Holtrenheart and Winston

26. Gagne, Robert M. (1975). Prinsip-prinsip Belajar untuk Pengajaran. Terjemahan oleh Abdillah Hanafi dan Abdul Manan. 1998. Surabaya: Usaha Nasional.

27. Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA. UPI: Tidak diterbitkan.

28. Ginnis, Paul (2008), Trik & Taktik Mengajar (Strategi Meningkatkan Pencapaian Pengajaran di Kelas 29. Greenwald, N.E. (1981) Learning from Problem, The Sains Teacher, 67 (4): 28 – 32

30. Hackett, G. dan Betz, N. E. (1989). An Exploration of the Mathematics Self-Efficacy/Mahtematics Ferformance Correspondance. Journal for Research in Mathematics Education. 20.

31. Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika, IKIP Malang.

32. Hudoyo, H. (2008). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud

33. Ibrahim, Muslimin dkk, 2000. Pengajaran Berbasis Masalah, Surabaya: University Press.

34. Ignacio, N. G, Nieto, L. J. B, dan Barona, E. G. (2006). The Affective Domain in Mathematics Learning. International Elektronic Journal of Mathematics Education, 1. 16-32.

35. Jacob. 2000. Belajar Bagaimana untuk Balajar Matematika: Suatu Telaah Strategi Belajar Efektif Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peran Matematika memasuki Millenium III. ISBN: 979-96152-0-8; 443-447. Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya, 2 November 2000.

36. Kardi, S, dan Nur, M. (2000). Pengajaran Langsung. Surabaya : UNESA University.

37. Klurik, Stephen & Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Theaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham Heights: Allyn & Bacon.

38. Kusumawati , D. A. (2009). Peningkatkan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dengan Melalui Pendekatan PendidikanMatematik Realistik. Bandung: Tesis PPS UPI. Tidak diterbitkan.

39. Lambas, dkk. (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika (buku 3). Jakarta: Depdiknas

40. Lufri, 2003, Pembelajaran Perkembangan Hewan Berbasis Problem Solving yang Diintervensi dengan Peta Konsep dan Pengaruhnya terhadap Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi. UM Malang Disertasi. Surabaya: tidak diterbitkan

41. Maryunis. 1989. Metode Pemetaan Informasi dalam Proses Belajar Mengajar Matematika. Disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: Pasca Sarjana IKIP Jakarta.

42. Mueller, Daniel J. Mengukur Sikap Sosial; Pegangan untuk Peneliti dan Praktisi. Terjemahan oleh Eddy Soewardi Kartawidjaja.1992. Jakarta Bumi Aksara.

43. Munandar, U. (2002). Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

44. Muslimin Ibrahim, dan Muhamad Nur.2005. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa University Press.

45. National Council of Teacher of Mathematics. (1989). Principles and Standards forSchool Mathematics. Reston VA: NCTM.

(14)

47. Nana Sudjana. (1991). Teori-teori Belajar untuk Pengajaran. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia 48. Nana Syaodih Sukmadinata. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

49. National Council of Teacher Mathematics (NCTM). (1998). Curiculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM

50. National Council of Teacher Mathematics (NCTM). (2010). Principle and Standards for School Mathematics. Reston, VA.

51. Nurdin, Syafruddin. (2005), Model Pembelajaran yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Penerbit Quantum Teaching. PT Ciputat Press

52. Ott, Jack. 1994. Alternative Assesment: In the Mathematics clasroom . New York: Glenceo 53. Oemar Hamalik.1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta, Bumi Aksara.

54. Paulina Pennen dkk, (2001) konstruktivisme dalam pembelajaran. Jakarta: PAUPPAI, Universitas Terbuka 55. Polya, G. (1985). How to Solve it: A new aspect of mathematics method (2nd ed). Princeton, New Jersey: Priceton

University Press

56. Robert E Slavin, (2009), Psikologi Pendidikan Teori dan praktek, Jilid I Edisi Kedelapan, Jakarta: PT Indeks 57. Robert E Slavin, (2009), Psikologi Pendidikan Teori dan praktek, Jilid II Edisi Kedelapan, Jakarta: PT

Indeksand.

58. Pajares, F., dan Miller, M.D (1995). Mathematics Self-Efficacy Mathematics Outcomes: The Need for Specificity of Assessment. Journal Psychology, 86

59. Pajares, F. (2002). Self-Efficacy Beliefs and Mathematical Problem-Solving of Gifted Students. (Online). http:/www.des.emory.edu/mfp/Pajares1996cel,pdf. Diakses 17 Desember 2010.

60. Reys, R.E., Suydam, M.N., Lindquist, M.M., dan Smith, N.L (1998). Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn And Bacon.

61. Ronnis, Diane. 2000. Problem- Based Learning for Math and Science: Integrating Inquiry and the Internet. Illionos: Skylight Professional Devalopment .

62. Ruseffendi, E.T. (1993). Statistik Dasar untuk Pendidikan. Bandung : Depdiknas

63. Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

64. Ruseffendi, E.T. (2008). Perkembangkan Pendidikan Matematika. Bandung: tidak diterbitkan.

65. Ruthven. K, et.al. (2009). Design Tools in Didactical Research: Instrumenting the Epistimological and Cognitive Aspects of the Design ofTeachingSequences. Educational Researcher vol. 38, No. 5, pp. 329-342

66. Sagala, S. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.

67. Sabandar, J. (2008). Berpikir Reflektif. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Riau di Pekanbaru pada tanggal 5 Februari 2008. 68. Sabandar, J. (2009). Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disampaikan

pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY di Yogyakarta pada tanggal 5 Desember 2009.

69. Skemp, R. R, (1976), Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics Teaching, 77, 20-26

70. Shel, D. F., Civin, C., dan Brunning, G. H. (1995). Self-Efficacy, Attributions, and Outcome Expectancy Mechanisms in Reading and Writing Achievement: Grade-level and Achievement-level Diffrences. Journal of Educational Psykhology,87.(Online)..

71. Soedjadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dikti Depdiknas. 72. Sujono, (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Depdiknas.

73. Suryadi, D. (2001). Pengembangan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Melalui Kegiatan Pemecahan Masalah di SLTP. Bandung: UPI

74. Snow, R.E. (1988). Aptitude-Treatment Interaction as a framework for research on Individual differences in Learning. Dalam P. Ackerman, R.J. Stenberg, & R. Glaser (ed)

75. Spangler, D. A, (1992). Assesing Student’s Beliefs about Mathematics. Mathematics Educator. 3. 19-23. 76. Sudjana. (2005). Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

77. Suherman, E, et al. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

78. Sukardjono. (2007). Hakekat dan Sejarah Matematika. Universitas Terbuka. Jakarta.

79. Sumarmo. U. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah.

80. Sunardja. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran dengan Metode Inkuiri. Tesis pada PPS UPI : tidak diterbitkan.

81. Suryadi, D. (2008). Metapedadidaktiik dalam Pembelajaran Matematika; Suatu Strategi Pengembangan Diri Menuju Guru Matematika Profesional.

82. Syaban, M. (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model Pembelajaran Investigasi. Disertai pada PPS UPI : tidak diterbitkan.

83. Tim MKPBM. (2003). Strategi Pembelajaran MatematikaKontemporer. Bandung: JICA UPI.

84. Thompson, A. G. (1992). Teachers’ Belief and Conceptions: A Synthesis of The Research. Dalam D. A. Grows (ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan. 127-143.

(15)

86. Trianto, (2007). Model-model Pembelajaran Inovati berorientasi Konstruktik. Jakarta:Prestasi Pustaka

87. Wardani, S. (2009). Pembelajaran Inkuiri Model Silver untuk Mengembangkan Kreativitas dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPS UPI : tidak diterbitkan. 88. Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psykological Processes. Cambridge, MA:

Harvard University Press.

Gambar

Tabel 2. Rangkuman Hasil Analisis  Varians Dua Arah Pemahaman Konsep.
Tabel 4. Rangkuman Hasil Analisis  Varians Dua Arah Self-Efficacy Matematika
Tabel 5. Hasil Uji Sheffe Self-Efficacy
Gambar 2. Diagram Garis antara IQ dengan Efikasi diri.

Referensi

Dokumen terkait

2. Refleksi kepada siswa terhadap apa yang telah dipelajari.. Guru memberikan penghargaan pada kelompok yang berprestasi 4. Menginformasikan materi untuk pertemuan

Hasil penelitian menunjukkan : 1) Pelaksanaan penggunaan Lembar Kerja Siswa untuk meningkatkan minat belajar pada kompetensi dasar mengolah kue Indonesia di

Perubahan Anggaran Dasar, Kode Etik, dan Lambang Organisasi dapat dilakukan oleh Rapat Anggota yang diadakan khusus untuk itu, dan dihadiri oleh lebih dari setengah dari

Dalam penelitian ini, peneliti membangun dua perancangan jaringan komputer untuk menghubungkan seluruh gedung pada lingkungan Universitas Teknologi Sumbawa,

Hasil karakterisasi dengan XRF menunjukkan bahwa kadar fosfor dalam hidroksiapatit meningkat dari kadar fosfor dalam abu tulang sapi sebesar 0,31%, sedangkan kadar kalsium

Berita Acara Pemberian Penjelasan untuk paket pekerjaan Rehabilitasi Rumah Dinas 120 M2 dapat diunduh download pada hari Kamis tanggal 23 Mei 2013 melalui

Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen, seperti tujuan, materi, metode, media, sumber belajar, lingkungan guru

Faktor lain yang dapat mempengaruhi tanggap fungsional adalah fase pertumbuhan tanaman, cuaca, kehadiran mangsa alternatif, kompetisi dari predator lain dan tanaman