PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
YUSUF HASYIM
TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam
Untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Sosial ( S.Sos)
Oleh
HENDRI JULIANTO Nim: 103033227817
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
YUSUF HASYIM
TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU
KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
... 5
C. Tujuan dan Fungsi Penulisan
... 5
D. Metode Penulisan
... 5
E. Sistematika Penulisan
... 6
BAB II NU, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM
KEBANGSAAN
A. Visi Kelahiran NU
... 8
B. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU
... 12
C. Sejarah Politik NU Masa Lalu
... 20
D. Politik NU dan Khittah NU 1926
BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG VISI POLITIK NU
A. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
... 31
B. Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang NU, Islam dan Negara
.. 36
C. Abdurrahman Wahid dan Misi Perjuangan Politik PKB
... 41
D. Sketsa Biografi Yusuf Hasyim
... 46
E. Pandangan Yusuf Hasyim Tentang NU, Islam dan Negara
... 51
F. Yusuf Hasyim dan Misi Perjuangan Politik PKU
... 57
BAB IV PERBANDINGAN, ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG KEBANGSAAN
A. Pandangan Kebangsaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim
.. 60
B. Analisa Perbandingan Strategi Politik NU Abdurrahman Wahid
Dan Yusuf Hasyim
... 66
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan...76
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencermati dinamika internal yang terjadi dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama
beberapa periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berkembanglah fenomena
politik, yaitu munculnya wacana pemikiran dialektis yang dalam kurun waktu ini
dirasakan oleh sebagian orang telah menghilang dari tradisi NU. Munculnya
wacana pemikiran dialektis tersebut, salah satunya disebabkan oleh polemik antar
geneologis “Darah Biru” NU sendiri, yaitu antara KH. Abdurrahman Wahid dan
KH. Yusuf Hasyim.
Dalam hal ini Greg Fealy dan Greg Barton menyatakan; Yusuf Hasyim
merupakan anak terakhir pendiri NU Hasyim Asy'ari yang masih hidup (sekarang
telah meninggal) dan oleh karena itu merupakan paman dari Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman Wahid sendiri adalah anak tertua dari kakak tertua Yusuf Hasyim,
yaitu Wachid Hasyim. Hubungan antara paman dan keponakan, yang secara
teoritis bisa membuat klaim-klaim yang bertetangan untuk menjadi penerus
Hasyim Asy'ari yang sah, sangatlah kompleks, bahkan diantara keduanya jarang
harmonis.1
Tema yang menjadi perdebatan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf
Hasyim sebenarnya kompleks, salah satunya mengenai visi dan strategi
perjuangan politik NU, yaitu menyangkut hubungan agama dan negara serta
1
pilihan impelementasi model dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang
paling memungkinkan untuk diterapkan. Tema yang menjadi perdebatan
sehubungan dengan masalah ini, sebenarnya bukan masalah baru, karena sudah
sering dijadikan bahan perdebatan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Setiap kali
bangsa Indonesia menghadapi wacana politik bersinggungan dengan wilayah
keagamaan, selalu saja muncul ke permukaan, yang bernuansa baru hanyalah
pelakunya saja. Tampilnya dua saudara, antara paman dan keponakan
bersama-sama dibesarkan dan merupakan keturunan pendiri NU, memberi nuansa
tersendiri. Akan tetapi selama ini yang muncul di permukaan lebih berupa konflik.
Meskipun jika dilakukan pendalaman masih banyak titik temunya. Seperti
penjelasan Pak Ud sendiri; “Sebenarnya disamping perbedaan pendapat, antara
kami banyak pula persamaannya. Sayang, yang banyak diekspos adalah
perbedaan kami”.2
Sejak tampil pertama kali dalam kepememimpinan NU, Abdurrahman
Wahid telah mencoba menghidupkan tradisi pemikiran kritis di kalangan NU serta
membangun wacana pemikiran keagamaan baru. Begitu besarnya concern
Abdurrahman Wahid untuk membangkitkan tradisi pemikiran kritis dikalangan
NU, terutama di kalangan anak muda NU.
Teramat kuatnya posisi Abdurrahman Wahid sebagai inspirator gagasan
besar dikalangan NU, tanpa disadari telah menciptakan keseragaman wacana
pemikiran, sehingga harapan Abdurrahman Wahid agar terjadi dialektika yang
sehat di kalangan NU tidak terpenuhi. Sehingga muncul dinamika pemikiran yang
2
berlangsung intensif di kalangan warga NU. Jika dicermati yang terjadi adalah
wacana monologis, dengan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai landasan
terminologinya. Dalam bentuk yang ekstrim, bisa disebutkan nyaris terjadi.
Penyikapan pengabsolutan setiap gagasan yang muncul dari Abdurrahman Wahid
selalu terjadi, tanpa ada upaya mengimbangi dengan gagasan alternatif.
Meski baru serta terbatas pada substansi gagasan tertentu, tampilnya Yusuf
Hasyim dengan dialog melalui media massa yang terkesan berseberangan dengan
pemikiran Abdurrahman Wahid, telah memberikan “keseimbangan“ wacana
pemikiran di kalangan warga NU. Tampilnya Yusuf Hasyim sebagai antitesa
terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid diharapkan menciptakan iklim yang
mendukung bagi munculnya tradisi dialog yang sehat, sehingga nantinya dapat
memunculkan sintesa baru dan lebih mencerahkan. Peran yang dilakukan Yusuf
Hasyim itu, bukanlah tanpa mengandung resiko. Melihat kemajemukan pola pikir
masyarakat kita, terutama warga NU, apa yang dilakukan Yusuf Hasyim sebagai
pihak beroposisi berseberangan (sebagian) terhadap pemikiran Abdurrahman
Wahid, berpeluang mengkondisikan dan respon berbeda yang sama besarnya,
sikap tidak setuju dan mendukung.
Sikap tidak setuju akan muncul dari kalangan yang beranggapan bahwa
perseteruan tersebut akibat masalah internal Bani Hasyim sendiri,3 atau mereka yang tidak rela menghadapi tokoh Abdurrahman Wahid dikritisi orang lain.
Sedangkan sikap mendukung, lahir dari mereka yang merasa ada angin segar bagi
munculnya pemikiran yang selama ini tidak disadari telah terbelenggu di kalangan
3
NU. Apalagi selama kurun waktu tertentu memimpin NU (Abdurrahman Wahid)
nyaris tidak ada pihak yang berani secara terbuka bersikap demikian. Posisi Yusuf
Hasyim sebagai paman jelas menjadi faktor yang menghapuskan barrier tersebut,
sehingga bisa melakukan perdebatan secara bebas dengan keponakan. Yusuf
Hasyim, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinilai cukup punya nyali
menghadapi Abdurrahman Wahid.
Dalam pandangan Yusuf Hasyim, berkomitmen menjadikan siyasah
(politik) sebagai alat untuk tegaknya Syari'ah Islam dalam batas yang wajar dan
sejalan dengan kepentingan nasional.4
Sebaliknya dalam pandangan Abdurrahman Wahid, perjuangan syari'ah
tidak harus melalui hukum-hukum dan simbol agama secara formal, melainkan
sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara.
Substansi syari'ah Islamiyah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokrasi
atau menegakkan negara dan bangsa.5
Meskipun persoalan polemik antar keduanya sudah berlalu, bukan berarti
masyarakat khususnya warga NU akan tinggal diam. Mereka justru penasaran
mencari jawaban yang sebenarnya. Mereka akan bertanya-tanya apa yang
sebenarnya terjadi di antara keduanya.
Diharapkan penulisan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM MENGENAI VISI DAN STRATEGI POLITIK NU”, dapat memberikan kontribusi untuk ikut mendudukkan persoalan keduanya sesuai porsinya, bukan sebagai upaya
4
H.M. Yusuf Hasyim, “PKU dan Siyasah Menuju Syari'ah,” Jawa Pos, 3 November 1998. 5
melakukan upaya pembenaran atas berbagai tindakan dan pernyataan keduanya.
Lebih dari itu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas segala
makna dan warna yang ada di balik peristiwa, serta sebagai upaya penempatan
masalah sesuai proporsinya dari polemik keduanya yang memiliki nilai historis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan pada skripsi ini adalah masalah sosial yang bersifat dinamis
maka penulis membatasi penulisan ini melalui visi politik NU, yang lebih
difokuskan pada perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang
pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU.
Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang
pola perjuangan politik?
2. Apakah perbedaan dan persamaan pandangan antara Abdurrahman Wahid
dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara tersebut ?
C. Tujuan Dan Fungsi Penulisan
Tujuan dari penulisan ini ialah untuk memberikan sedikit gambaran serta
penjelasan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang
pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU.
Penulisan ini memperkaya khazanah Pemikiran Politik Islam.
Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Oleh karena objek penelitian ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid dan
politik PKB dan PKU, maka skripsi ini disusun berdasarkan studi kepustakaan
(Library Reseach) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan
menelusuri buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat oleh Abdurrahman Wahid
maupun Yusuf Hasyim serta beberapa tulisan yang mendukung ketajaman
analisis.
Sedangkan dalam menguraikan permasalahan, penulis menerapkan metode
deskriptif, kemudian dilakukan secara analisis dengan interpretasi tentang
substansi kedua tokoh ini serta membangun beberapa korelasi yang dianggap
signifikan. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan
menggunakan studi komparatif. Sehingga penulis dapat menjelaskan
perbandingan dari dua fenomena pandangan politik antara Abdurrahman Wahid
dan Yusuf Hasyim.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat , Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2003 / 2004.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, perinciannya adalah sebagai berikut:
Bab I tentang Pendahuluan. Diawali dasar pemikiran penulis mengangkat
tema ini sebagai bahan penyusunan skripsi, dilanjutkan dengan pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan fungsi penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan
Bab II bab ini, menguraikan tentang visi dan orientasi awal. kelahiran NU.
dilalakukan NU, baik ketika Ormas ini menjadi Ormas keagamaan maupun ketika
menjadi Partai Politik.
Bab III akan membahas penggambaran seorang Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim, serta pandangan-pandangan keduanya terhadap NU, Islam dan
Negara meliputi strategi perjuangan keduanya.
Bab IV membahas mengenai perbandingan, Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim khususnya yang berkaitan dengan kebangsaan dan semangat
perjuangan keduanya.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan dan saran
saran penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan
BAB II
NAHDLATUL ULAMA, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM KEBANGSAAN
A. Latar Belakang Kelahiran NU
Untuk memahami jati diri NU, KH. Syamsul Arifin, sang mediator antara
KH. M. Cholil (Bangkalan) dan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (Tebuireng)
menyatakan bahwa ketika seseorang akan memahami NU, belum cukup kalau
hanya melihat sisi formal, semenjak lahir ternyata mengalami perkembangan
hingga kini. Seseorang harus mempelajari kondisi yang melatarbelakangi
mengapa organisasi ini dibentuk, arah mana tujuan yang hendak dituju, cara dan
proses apa yang harus ditempuh dan bagaimana asumsi dan lain sebagainya6. Ada hal yang mendasar disaat kelahiran NU, menurut Kyai As’ad, sebelum
para ulama memberangkat delegasi yang tergabung dalam Komite Hijaz7 berangkat ke Saudi Arabia, mereka cukup dipusingkan dengan identitas yang akan
diberikan kepada delegasi tersebut dalam organisasi disertai nama dan
kegiatannya.
6
Sinansuri, Encip, NU Dalam Tantangan, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994). hal. 3.
7
Setelah para ulama meraih kesepakatan mengenai nama organisasi serta
kegiatannya, mereka menyerahkan amanat peresmian kepada KH. Hasyim
Asy’ari. Akan tetapi beliau tidak gegabah dalam mengambil keputusan, beliau
langsung meminta petunjuk Allah melalui isthikarrah. Ternyata, Allah
memberikan jawaban berupa petunjuk dan dibenarkan oleh gurunya Kyai Cholil
Bangkalan. Selanjutnya Kyai Cholil melalui Kyai As’ad memberi pesan berupa
bacaan ayat Al Qur’an, surat Thaha ayat 17 sampai dengan 238. Dalam keterangan lain diberitakan Kyai As’ad juga memberikan sebuah tongkat dan tasbih kepada
Kyai Hasyim.9
Riwayat di atas merupakan simbol yang mengandung filosofi berupa
amanat kepada Kyai Hasyim sehingga muncullah cikal bakal pendirian organisasi
Nahdlatul Ulama. Organisasi ini mengembangkan kepemimpinan pada tiga jalur.
17. Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?
18. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.
19. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, Hai Musa!”
20. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap besar. Lihat QS Thaha Al Qur’an .
9
Pertama, jalur pendidikan yang diisyaratkan dengan adanya transfer ilmu dari
Kyai Cholil ke Kyai Hasyim. Kedua yaitu jalur sosial, bisa dilihat dari isi surat
Thaha. Ketiga, jalur spiritual yang dilukiskan dengan pemberian tasbih kepada
Kyai Hasyim, jalur ini bisa disebut dengan dakwah. Ketiga jalur inilah yang
menjadikan kegiatan utama pada awal-awal berdirinya NU.10
Sebenarnya NU telah melengkapi diri untuk menjadi jami’yah atau
organisasi yang maju. Persyaratan untuk menjadikan jami’yah pertama-tama
mempunyai pandang yang jelas tentang target yang akan dicapai di masa depan
dengan kejelasan visinya.
Visi NU tertuang dalam Muqaddimah al Qonuuni al Asaasi (anggaran
dasar) yang telah disusun oleh Rois Akbar. Jam’iyah NU, KH. M. Hasyim
Asy'ari. Program jam'iyah ini menjadi prinsip dasar dalam berbagai konsep
pengembangan organisasi yang dibicarakan setiap kali NU menyelenggarakan
Muktamar.
Anggaran dasar formal (Statuen) NU yang dibuat pada muktamar 1928, NU
menetapkan tujuannya, yaitu mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah
Waljama'ah dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama
Islam. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut :
Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe lmam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i: Imam Malik bin Anas, Imam Aboe
10
Hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam".
Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
a. mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermazhab terseboet dalam fatsal 2.
b. memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Sunnah Wal Djama'ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid'ah.
c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan dijalankan apa sadja jang baik.
d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
e. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.11
Pada awal berdirinya NU sebagai ormas keagamaan, di mana
keberadaannya merupakan manifestasi dari obsesi “Founding Fathers” yang
menghendaki lestarinya tradisi-tradisi sunni di Indonesia. Namun demikian, dalam
permulannya dengan realitas (problem) kebangsaan, dimensi politik juga tak luput
dari kiprahnya. Terutama, karena para pendirinya dahulu aktif dalam pergerakan,
penggalangan Nasionalisme di tengah-tengah iklim kolonial pada saat itu, seperti
Kyai Hasyim aktif di beberapa organisasi yang ikut dalam anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pergulatan praktik NU dalam perjalanannya ini menjadi problem tersendiri.
Secara internal, salah satunya karena seluruh “sumber daya” tercurahkan dalam
aktivitas politik, apa yang menjadi tanggung jawab NU sebagaimana visi awal
kelahirannya menjadi terabaikan. Pada sisi yang lain, ketika terjadi perubahan
11
dalam tata kehidupan politik, kekuatan NU terasa mandul, langkah-langkahnya
lebih banyak bersifat sporadis dan partisan di dalam “rekayasa” politik, misalnya
pada masa Orde Baru. Terasa seolah-olah Pemerintahan kurang dapat menerima
keberadaan NU, sebagai kekuatan yang turut bermain di dalam sistem kekuasaan,
NU tergiring dalam posisi marginal dalam pergulatan politik nasional.
Marginalisasi itu pun terus berlanjut sampai muncul kesadaran baru untuk bangkit
dari keterpurukan dan melakukan perubahan dasar dalam tubuh NU, yaitu dengan
kembali ke Khittah 1926. Kesadaran yang dimaksud adalah kembali melakukan
peran sebagaimana awal berdirinya, dimana orientasinya adalah merekontruksi
internal, yaitu jami’yah yang orientasinya banyak mengarah pada politik menjadi
Diniyah Ijtima’iyah (Sosial Keagamaan).
B. Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU
Semenjak awal NU menunjukkan jati dirinya sebagai penganut paham
Ahlussunnah12 Wal Jama'ah, yaitu sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU berumber padn Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma', dan Al Qiyas. Tetapi, dalam hal
ini Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri satu kelompok aliran, ada
beberapa sub aliran. Oleh sebab itu Dr. Jalal M. Musa mengatakan, istilah
Ahlusunnah tersebut menjadi rebutan banyak kelompok, yang masing-masing
menyatakan bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dimasukkan kata “Al
Jamaa’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini disebutkan bahwa
12
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad SAW dan membelanya. Lihat Muhammad Tholhah Hasan,
mereka memiliki alasan yang sama karena menggunakan “Ijma” dan “Qiyas”
sebagai dalil syariah yang fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan
Sunnah Rasul.13 Seperti Muhammadiyah dan organisasi lain yang mendasarkan pada Islam, juga menganut paham tersebut sehingga secara umum tidak bisa
dianggap salah, sebab kegiatan yang mereka lakukan sesuai dengan paham
Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hendak mempertahankan dan mengembangkan
paham inilah, NU dilahirkan. Di mana secara harfiah Ahlussunnah Wal Jama'ah,
berarti penganut sunnah Nabi dan Sahabat-sahabatnya.14
Dalam pengertian yang lebih rinci dan ini yang dianut oleh NU, sedangkan
dilain hal KH. Bisri Mustafa menafsirkan Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai
suatu paham yang harus dipegang sebagai tradisi:
1. Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu
madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Dalam
praktik NU banyak mengikuti faham yang diajarkan oleh Syafi’i.
2. Di bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari
dan Imam Abu Mansyur Al Maturudi.
3. Sedangkan di Tasawufnya, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Qosim
Al Junandi.15
Dari doktrin-doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah tersebut di atas banyak
melahirkan konsep-konsep NU dalam memandang dimensi kehidupan dengan
13
Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, hal.3-4.
14
KH. Sirojuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1983), hal.16.
15
implikasinya dalam pandangan terhadap negara, Islam, demokrasi, dan lain
sebagainya.
Dalam kehidupan kenegaraan doktrin ini, melahirkan sikap-sikap normatif
yang oleh KH. Ahmad Siddiq diidentifikasi atau menjadi ciri khas NU, yaitu :
1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip
hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil ditengah-tengah
kehidupan bersama
2. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam
soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau khilafah.
3. Tawuzuun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Allah,
manusia, serta lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa
lalu, masa kini, dan masa akan mendatang.16
4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yakni sikap selalu memiIiki kepedulian untuk
mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan
bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjurus dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.17
Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU inilah yang mempengaruhi
prosfektifnya dalam melihat politik kenegaraan.18 Kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, mentaati
16
KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, (Surabaya: Balai Pustaka, 1979), hal. 3-11. 17
PBNU, Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal.119. 18
pemerintah, juga merupakan kewajiban sepanjang tidak menganjurkan kepada
kekufuran.
Tidak mengherankan apabila menghadapi dualisme kepemimpinan
Indonesia Suharmadji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU mendukung Soekarno
dan memandang DI/TII sebagai pemberontak (bhugat). Semua diputuskan dengan
berdasarkan kaidah keagamaan (fiqhiyah). Sehingga Gus Dur tidak bisa menerima
sebutan Mitsuo Nakamura terhadap NU sebagai “Tradisionalisme Radikal” dan
memandang Nakamura kurang tahu secara mendalam nilai-nilai dalam NU yang
serba fiqih.19 Lanjutnya, bahwa bidang ilmu fiqih menyangkut segala praktek kehidupan beragam serta termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
beragama. Dalam menggunakan hukum fiqh, NU berpegangan pada pedoman
bahwa hukum-hukum itu timbul karena adanya sebab akibat atau al Hukmu Ma’al
Illat.20 Kemudian melahirkan kerangka berfikir sebab akibat dalam merumuskan produk-produk hukum.
Sementara itu, pandangan NU terhadap kehidupan bernegara tercermin
dalam tulisan Kyai Achmad Siddiq :
1. Negara nasional (yang didirikan bersama seluruh rakyat) wajib
dipeliharanya.
2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada
kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng,
memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan
Allah.
19
Gus Dur, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Prisma, 1984). 20
3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah cara mengingatkan lewat
tata cara yang sebaik-baiknya.21
Pandangan kenegaraan NU seperti di atas, dipengaruhi madzhab Syafi'i
yang diikutinya. Madzhab Syafi'i memilah-milah negara terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu Dar al Islam (Negara Islam), Dar al Harb (negara perang/negara anti
Islam), dan Dar al Sulh (Negara damai). Masyarakat Islam memiliki jenis pertama
dan ketiga. Jika jenis pertama tidak tercapai maka umat Islam dapat menerima
jenis ketiga, meskipun suatu negara tidak didasarkan pada hukum Islam, akan
tetapi masyarakatnya masih melaksanakan ajaran Islam, maka masyarakat tersebut
wajib membela negaranya.
Secara sederhana, untuk melihat korelasi antara NU, Islam dan kehidupan
kenegaraan, tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar yang ada dalam NU sendiri.
Sebagai organisasi keagamaan, NU jelas mempunyai keterikatan terhadap faham
Ahlussunnah Wal Jama'ah. Faham ini bisa dikatakan sebagai pondasi (ruh) dan
konstruksi NU. Inilah kata kunci untuk melihat pola hubungan NU, Islam, dan
negara. Ideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah menekankan nilai-nilai moderasi dan
harmonis dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat membingkai segala
pemikiran NU untuk mencermati berbagai kehidupan, termasuk dalam melihat
hubungannya dengan masalah pemikiran keagamaan dan politik .
Dalam wilayah kenegaraan, doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah dirumuskan
oleh KH. Achmad Siddiq, dengan sikap politik yang sangat menjunjung tinggi
sikap Tawasssuth, Tawazun, Tasamuh, serta tatanan sosial politik dan ekonomi
21
yang didasarkan pada prinsip-prinsip, Adlah (keadilan), Syura (musyawarah), dan
Musawah (persamaan), merupakan modal dasar untuk membangun wawasan
kenegaraan. NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang mengedepankan wawasan
kenegaraan dan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit.
Cara pandang inilah, perbedaan NU dengan organisasi lainnya, khususnya
kelompok Islam modernis perkotaan yang dikenal cukup militan. Rumusan KH.
Achmad Siddiq ini memiliki akar dengan teologi Asy'ari yang dianut NU.
Substansi teologi Asy'ari lebih menonjolkan kepada model teologi moderat ,
seperti menjaga nilai-nilai harmonis dan keseimbangan.
Dalam doktrin hubungan dengan negara, teologi Asy'ari mempunyai diktum
yang tegas. Misalnya dengan idiom-idiom “Suatu negara yang dipimpin oleh
orang kafir yang adil lebih baik dari pada dipimpin seorang muslim yang
anarkhis”, “ Kekacauan lebih berbahaya daripada ketidak adilan”, “ 60 tahun
pemerintahan dipimpin oleh orang dzalim lebih baik dari pada semalam tanpa
pemimpin.” dan seterusnya. Doktrin di atas dapat digunakan sebagai senjata
dalam menganalisa pola-pola hubungan NU, Islam, dan negara dengan segala
pasang surutnya.
Fenomena penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas
tunggal seperti yang dicetuskan KH. Ahmad Siddiq dapat dipahami dari
implementasi konteks doktrin Aswaja. Dalam konteks penerimaan asas tunggal
ini, pertimbangan NU tidak lepas dari konteks keagamaan. Bagi NU, Pancasila
adalah ideologi terbuka yang secara teologis ia bersifat inklusif, sedangkan secara
politik, atau lebih dari itu sebagai wujud penolakan NU terhadap paham negara
Islam.
Mengenai asas tunggal ini, Martin Van Bruinessen, menilai bahwa NU telah
menegaskan asas tunggal tanpa sedikitpun mengorbankan komitmen
keislamannya, NU telah menegaskan pondasi bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Dari rumusan pola hubungan Islam dan Pancasila ini, Fajrul Falakh
berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya dapat disimpulkan terhadap pemahaman
agama, konsepsi ideologi dengan pendekatan fiqhiyah yaitu:
1. Pemahaman bahwa Islam adalah fitrah yang bersifat menyempurnakan
segala kebaikan kepada manusia.
2. Pancasila bukanlah agama, tak dapat menggantikan posisi agama.
3. Rumusan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat (I) UUD
'45 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan “Tauhid” menurut
pengertian keimanan Islam.
4. Bahwa sejarah telah menunjukkan peran Umat Islam (termasuk NU)
dalam perjuangan bangsa, mendirikan negara, mempertahankan
kemerdekaan dan mengisi pembangunan.
5. Berdasarkan pendekatan fiqh, dinyatakan bahwa negara didirikan dan di
jaga karena perintah agama dan untuk kemaslahatan pendukung negara.
upaya final seluruh nation, terutama kaum muslim, untuk mendirikan
negara di wilayah nusantara.22
Penetapan NU terhadap ideologi Pancasila tidak terbatas kepada
penerimaan secara take for granted atau untuk kepentingan sesaat. Lebih dari itu,
Douglas E. Remage menggambarkan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila
hingga batas pembelaannya dari “monopoli” dan “rekayasa” interpretasi Pancasila
oleh Rezim Soeharto, dimana ABRI diandaikan sebagai elemen integral dalam
negara Pancasila.23 Memakai istilah Remage, Pancasila dipahami sebagai “kawasan sengketa” antara NU dan rezim Orde Baru.
Begitu pula pembelaan NU terhadap ideologi Pancasila dan bentuk negara
kesatuan sebagai konsep final tidak hanya sebatas retorika. Digambarkan oleh
Robert W. Hafner, bahwa usaha-usaha NU dalam mendukung negara kesatuan
begitu tegas dan penuh resiko, khususnya resiko secara politis misalnya
termarginalnya NU dari pusat-pusat kekuasaan pada masa rezim Orba.24 Dalam bentuk lain, pembelaan NU terhadap bentuk negara kesatuan dibuktian pada saat
negara sedang diambang keretakan (disintegrasi) seperti tahun 50-an atau awal
reformasi . Tidak berlebihan apabila Gus Dur dalam sambutan Muktamar ke-30 di
Kediri menyatakan bahwa NU adalah kekuatan terakhir yang sanggup
mempertahankan keutuhan bentuk negara kesatuan.25
22
M. Fajrul Falakh, NU Dalam Era 1990-an dalam Membangun Budaya Kerakyatan,Kepemimpinan Gus Dur, Gerakan Nasoinal NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal.26.
23
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.196.
24
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.200.
25
Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang
dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya
diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun
non muslim, juga mudah menerima faham (pemikiran) baru. Sehingga keberadaan
NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan
pluralitas kebudayaan bangsa ini.
C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU
Sejarah formal NU diawali sejak didirikan oleh Hadratus Syeikh
KH.Hasyim Asy'ari26 di Surabaya, 31 Januari 1926 bersama ulama KH. Wahab Hasbullah dan beberapa ulama pesantren lain. Sesuai dengan namanya NU
merupakan perkumpulan ulama yang bangkit serta membangkitkan para
pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah masyarakat bangsa.
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam'iyah Diniyah) dalam laju
pertumbuhan berikut perkembangan NU tak lepas dari hiruk pikuk politik yang
ada, dikarenakan NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil.27 Babak awalpun dimulai pada tahun 1939 NU bergabung dengan Majlis Islam A'la
26
Peran KH. Hasyim Asy’ari tersebut dalam beberapa tulisan, yaitu sebagai pemberi legitimasi atas pemebentukan organisasi NU. Kyai Wahab maupun KH. Hasim Asy’ari selalu tampil dengan peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam keberhasilan membentuk NU. Kyai Wahab menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris, sementara Kyai Hasyim memberi legitimasi keagamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.11.
27
Indonesia (MIAI),28 yang secara umum MIAI bergerak dibidang keagamaan tetapi dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik.29
Sebenarnya MIAI ini dibentuk pada tahun 1937 sebagai keinginan untuk
memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia, tapi baru dua tahun kemudian
NU turut bergabung di dalamnya.30
Setelah MIAI membubarkan diri,31 NU bergabung dengan organisasi Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang dibentuk pada tahun 1945,
pembentukan Masyumi dikarenakan, pada waktu itu penjajah baru, Jepang
membekukan kegiatan politik termasuk MIAI yang berkesan anti kolonial.
Sebenarnya partai masyumi ini dibentuk merupakan buah karya mukta'mar
Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar ini,
salah satunya memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi
Islam Indonesia, serta para aktivis politik Islam yang tergabung di dalam
Masyumi sering disebut sebagai salah satu pelopor demokrasi di Republik ini.
Berjalan dengan seiringnya waktu, dalam tubuh Masyumi selalu muncul
konflik diantara tokoh-tokoh elitnya, sehingga NU selalu menemukan
kekecewaan. Sebagai contoh pada kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli
28
MIAI yaitu sebuah organisasi Islam gabungan antara NU, Muhammadiyah. Bagi NU, keterlibatanya dalam MIAI merupakan sebuah langkah awal untuk menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajah Belanda menjelang Perang Dunia II. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.17
29
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.51. 30
Penggabungan NU kedalam MIAI , NU mempunyai alasan bahwa yakin kaum perubahan tidak mendominasi penggabungan dalam organisasi ini. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.17
31
1953)32, dalam jabatan Menteri Agama, menurut NU jabatan tersebut adalah bagian NU ini berlangsung sejak awal kemerdekaan. NU menilai dirinya sebagai
cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dari segi ilmu, aqidah, dan
amaliyahnya. Namun ternyata jabatan itu diberikan pada Muhammadiyah (Faqih
Usman). Merasa kecewa, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan
menyatakan diri sebagai partai politik independent.33
Ketika NU menjadi Parpol, sejarah membuktikan bahwa partai NU yang
masih baru pada Pemilu 1955 menempati urutan ketiga.34 Prestasi ini memberikan posisi kuat untuk NU. Hal ini tercermin dalam kabinet koalisi. Namun rupanya
periode Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua ( 24 Maret 1956 – 09 April 1957 )
yang masuk masa Demokrasi Liberal ini tidak berumur panjang. Padahal kala itu
NU memperoleh empat jabatan menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Sosial, dan Menteri Perekonomian.35
Apa daya, kabinet itu hanya berumur setahun kemudian diganti oleh
Kabinet Juanda atau Kabinet Karya (09 Maret 1957 – 10 Juli 1959).36 Pada akhirnya, perubahan sistem politik Indonesia terjadi, setelah munculnya Dekrit 5
Juli 1959 maka muncul Era Demokrasi Terpimpin, yang membawa peran partai
politik merosot tajam.
32
Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. (Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.372.
33
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).hal.79-94. 34
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru
Tak terkecuali Masyumi yang termasuk disingkirkan. Karena keterlibatan
tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PKI dan di sisi lain NU dengan sikap
akomodatifnya mampu bertahan. Dengan lengsernya Masyumi menjadikan NU
sebagai partai Islam terbesar, dengan demikian NU terus menggalang persatuan
umat Islam mengimbangi kekuatan PKI.
Melalui Subhan ZE37, NU menggalang pemuda-pemuda untuk menandingi PKI yang telah meluas mengkader para pemuda dengan latihan dan disertai
persenjataan yang lengkap. Pada akhirnya prahara politik yang dilancarkan PKI
pada tahun 1965 telah menandai awal proses Demokrasi Terpimpin telah berakhir.
Adanya percobaan kudeta yang dinamakan G 30 S PKI ini, memunculkan
perasaan anti komunis di kalangan masyarakat. Dari penggalangan yang
dilakukan Subhan ZE, menghasilkan sikap anti komunis sehingga terbentuk
KAP-Gestapu, yaitu kekuatan aksi pengganyangan G 30 S PKI pada akhirnya menuntut
pembubaran PKI.
Dinamika politik terus berjalan seiring kekuasaan negara jatuh ditangan
Soeharto atas mandat Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret.
Bersama TNI-AD Pak Harto terus mengembangkan sayap politik dengan
mendirikan partai Golkar (Golongan Karya) pada tanggal 20 Oktober 1964
37
Subchan Z.E adalah pengusaha muda kaya dari Kudus, Jawa Tengah. Bergaya hidup
dengan nama Sekber Golkar. Golkar pada masa awal berdirinya tidak mempunyai
basis massa, kemudian mengunakan taktik buldoser untuk mengalihkan
suara-suara partai lama. Tidak heran jika Golkar dapat memenangkan Pemilu pada
tahun 1971. Sedangkan partai-partai lain umumnya tertindih, tetapi NU tetap
mampu bertahan dari sinilah peran Kyai dan pesantren menjadi faktor utama
penentu prestasi NU.
Berikutnya, pada tanggal 5 Januari 1973 NU berfusi dengan tiga partai
politik lain kedalam PPP. Hal ini terjadi atas kebijakan Pak Harto untuk
mengelompokan partai-partai dengan tujuan mempermudah kampanye Pemilu dan
sistem administrasi seperti fraksi di DPR.38
Namun perjalanan politik NU di tubuh PPP sering mendapat kekecewaan,
pada akhirnya NU menyatakan untuk kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan
dalam MUNAS Alim Ulama NU di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Asembagus Situbondo. Keputusan ini akhirnya diimbuhkan pada Muktamar NU
setahun kemudian di tempat yang sama. Dengan keputusan Muktamar tentang
Khittah ini secara otomatis NU keluar dari PPP.
Momentum kembali ke Khittah 1926 tersebut, telah mengubah hampir
semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan
orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti
meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan
politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi politik panggung, politik
struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke
38
Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam
kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat
yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba.
Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU.
D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926
Hubungan antara NU dan Negara kini menunjukkan perkembangan
menarik. Setelah sekian lama jami’yah yang berbasis massa desa ini berada di luar
pemerintahan, sekarang mulai masuk di dalam pemerintahan. Posisi yang berubah
ini tentu menimbulkan “kegagapan-kegagapan” tertentu. Misalnya, bagaimana
organisasi ini harus memposisikan dirinya ketika harus berhadapan dengan negara
yang dipimpin putra terbaik NU Abdurrahman Wahid.39
Muktamar NU ke-30 yang diselenggarakan di Pesantren Lirboyo, Kediri,
Jawa Timur, mempunyai arti strategis. Siap atau tidak, dalam perhelatan akbar
kali ini NU dituntut untuk melakukan pemikiran ulang atas apa yang telah
dilakukannya selama ini. Belum tentu yang dihasilkan pada Muktamar kali ini
adalah segala sesuatu yang bersifat baru. Bisa saja yang muncul justru
peneguhan-peneguhan atas apa yang pernah digelutinya pada lima belas tahun terakhir.
Pada masa-masa itulah NU mengalami transformasi sangat penting. Tidak
saja organisasi sosial-keagamaan terbesar di Nusantara ini memperoleh injeksi
kepemimpinan orang sekaliber Abdurrahman Wahid, tetapi juga karena keadaan
harus merumuskan ulang format dirinya dalam kaitannya dengan
39
kekuatan politik disatu pihak, dan dalam hubungannya dengan pemerintah atau
negara di pihak lain.
Dalam hal ini penting untuk dicatat, bahwa selama lebih kurang tiga
dasawarsa, NU mengalami proses penjauhan dari negara. Meskipun tidak bersifat
clear cut benar, lembaga-lembaga politik-keagamaan Orde Baru kosong dari
kemungkinan partisipasi kalangan nahdliyin. Baik Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan kemudian
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sekalipun “bebas” dari
keterlibatan strategis tokoh-tokoh NU.
Memang untuk waktu yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru lebih
memberi peluang kepada kalangan Islam “sekolahan”. Tentu ada penjelasan yang
bersifat rasional tentang konfigurasi politik keagamaan seperti ini. Mungkin saja,
kemampuan administratif kalangan Islam “sekolahan” tadi bersifat komplementer
dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang menekankan stabilitas politik dan
pembangunan. Meski begitu, tetap saja secara emosional-keorganisasian,
kalangan NU merasa terpinggirkan. Karenanya, masuk akal ucapan Abdurrahman
Wahid beberapa waktu lalu, ketika Presiden Soeharto turun, NU tidak ikut
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh Orde Baru.
Situasi inilah yang antara lain menjadi faktor reposisi NU pada Muktamar
Situbondo. Lewat tangan-tangan dingin tokoh-tokoh NU seperti KH As'ad
Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan Abdurrahman
Wahid, organisasi ini menggulirkan semangat “Kembali ke Khittah 1926”.
asalnya jam'iyah sosial-keagamaan. Karenanya kaitan NU dengan politik bersifat
ada jarak dan mengambangkan warganya untuk bergabung dengan siapa mereka
suka. Inilah yang pernah dikeluhkan Mahbub Djunaidi, yang dalam pandangannya
tak rela melihat NU yang jumlah anggotanya banyak itu, semata-mata menjadi
“hostes politik.”
Terlepas dari kekecewaan seorang Mahbub, terbukti dengan itu kalangan
NU bisa masuk ke mana-mana. Pada tahap inilah, NU sebenarnya telah memberi
makna atas apa yang dapat disebut sebagai diversifikasi politik Islam. Yaitu,
bahwa alat dan medium politik itu beragam. Dengan negara sekalipun, karena
situasinya seperti diisyaratkan di atas, ia menjaga jarak. Bahkan dikenal sebagai
mewakili kekuatan kritis. Konstruk seperti inilah yang kemudian mengantarkan
NU untuk mengembangkan wacana tentang berpolitik secara budaya tentang
Civil Society sesuatu yang sangat diminati oleh kalangan muda NU hingga kini.
Masa uzlah NU dengan politik dan negara berakhir sudah. Terutama sejak
periode reformasi lahir, dan orang pun mulai bergairah untuk ramai-ramai
mendirikan partai. Seperti tak ada beban dengan semboyan “Kembali ke Khittah
1926”, warga NU mengikatkan kembali hubungan emosional-kelembagaannya
dengan partai politik. Meskipun secara organisasi hal ini bisa dijelaskan, dan
dipercaya tidak bertentangan dengan Khittah, tak urung hal itu menimbulkan
kecemasan.
Reformasi telah merubah alur politik NU, dari Ormas tahun 1926 menuju
ke Parpol tahun 1955 kemudian masuk kembali ke Ormas dengan dalih Khittah
politiknya tahun 1998 era reformasi dengan mendirikan Parpol yang bertajuk
partainya orang NU bersifat terbuka untuk siapapun. Ternyata alibi yang dibuat
Abdurrahman Wahid menjadi sebuah kenyataan luar biasa. Jauh dari perkiraan
warga NU, PKB menjadi partai yang kuat dari akar rumput sampai kalangan
moderat NU. Sebuah sosialisasi dan jurus politik terbaik yang dilakukan oleh
kalangan elit NU.
Tanpa basa-basi, Abdurrahman Wahid telah menjadi ikon besar. Dia telah
merubah pragmatisme politik NU, melalui koalisi dengan partai sekuler yang
dikenal dengan Poros Tengah. Abdurrahman Wahid mempunyai kekuatan penuh
yang takkan diperkiraan sebelumnya dengan puncak menjadi Presiden Republik
Indonesia ke-4 hasil votting anggota parlemen. Ini merupakan sebuah prestasi
politik NU terbaik pada masa reformasi. Semula NU hanya mempunyai panggung
sendiri dalam hal politik, maka pada masa reformasi NU bukan lagi ikut dalam
panggung politik yang telah disediakan pemerintah. Tetapi NU langsung
meminang garis depan dan mengkordinir serta memegang peranan penuh politik
negara. Jarak NU dengan kekuasaan pupus. Disadari atau tidak, NU telah
terintegrasikan ke dalam negara.
Inilah persoalan yang sangat ingin dinafikan mau tidak mau NU harus
melihatnya kembali pada Muktamar kali ini. Secara formal, NU tetap akan berada
pada posisi Kembali ke Khittah 1926. Secara substansial dan emosional,
duduknya Abdurrahman Wahid di kursi kepresidenan merupakan sesuatu yang
harus ditata ulang dalam kerangka berpikir dan bertindak NU. Kegalauan
tertentu dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
Dalam konteks inilah diharapkan pada Muktamar selanjutnya akan memilih
seseorang yang bukan carbon copy Abdurrahman Wahid. Bukan saja yang
terakhir ini unik dan fenomenal di NU, bahkan mungkin juga di Tanah Air, tetapi
tantangan NU ke depan lebih terfokus pada pengembangan kelembagaan. Karena
itu, yang diperlukan adalah seseorang yang mempunyai kemampuan manajerial,
dalam bahasa Herbert Feith “ administrator”.
Kualitas seperti ini akan membawa NU pada garis yang “semestinya.”
Yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan, para ulamalah sebenarnya yang mengendalikan gerak organisasi. Kepada siapa harapan ini dapat diletakkan?
Bachtiar Effendi mengungkapkan bahwa kiranya warga NU jauh lebih paham,
dibanding siapa pun yang berada di luar lingkungan mereka, siapa itu Hasyim
Muzadi, Agil Siradj, Salahudin Wahid, Achmad Bagdja, atau Fajrul Falaakh.40 Tetapi prestasi orang-orang NU untuk mengembangkan sayap politik patut
di acungkan jempol. Konsep yang berbuah matang pun berhasil diraih. Sehingga,
dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, NU dan politik takkan pernah
lepas baik dari awal berdiri sampai sekarang. Karena politik adalah salah satu
organ pelengkap hidup NU. Itu tidak bisa dipungkiri, sejarah awal NU lah yang
telah memberikan jawaban itu semua. Jika NU bergerak tanpa diimbangi dengan
politik maka pincanglah NU.
40
KHITTAH NU 1926
Khittah NU 1926 merupakan era baru orientasi perjuangan NU.
Keberadaan Khittah ini merupakan reorientasi perjuangan NU dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pengelolaan umat untuk
kepentingan pembangunan. Keberadaan khittah NU 1926 merupakan titik balik
perjuangan NU, dari perjuangan sektor politik menuju perjuangan yang lebih
memberikan perhatian pada aspek sosial kemasyarakatan, persis misi pada saat
didirikannya organisasi sosial keagamaan ini pada tahun 1926.
Lahirnya Khittah 1926 ini di samping diilhami oleh kondisi obyektif bahwa
perjuangan di bidang politik ternyata lebih besar mudharat (kerugian), dari pada
manfaatnya, artinya pengorbanan yang harus diberikan NU lebih besar dari
manfaat yang dapat diraih kasus paling nyata dapat dilihat dari marginalisasi
peran NU di PPP.
Dalam sisi lain perjuangan di bidang politik ternyata telah menyita
perhatian, dengan konsekuensi terampasnya perhatian dan energi fungsionaris dan
aktivis NU yang semestinya menjadi porsi untuk umat (anggota). Akhirnya NU
melontarkan umatnya yang mestinya mendapat perhatian dan arahan, justru kian
mendapatkan umatnya pada posisi tertinggal dalam hal kualitas diri, dibanding
umat lain. Disinilah muncul kesadaran baru yang memandang perlunya dilakukan
perubahan-perubahan mendasar dalam tubuh NU.
Kembali ke Khittah 1926 adalah kesadaran yang dimaksud, tiada lain
merupakan titik balik dimana NU kembali kepada semangat dasarnya. Babak awal
kepemimpinan dengan segala perangkat (struktural) organisasinya, maupun aspek
politik berkaitan dengan visi, misi dan strategi (perjuangan) nya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Khittah 1926 yang ditetapkan melalui Muktamar ke-27
di Situbondo (1984), sebagai refleksi kritis terhadap perjalanan NU.
Dengan demikian, telah mengembalikan arah perjuangannya dari politik
kepada sosial keagamaan. Disinilah kemudian, NU memasuki wilayah baru, yakni
Perjuangan Kemasyarakatan Semesta.41
41
BAB III
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK
NU
A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID
Abdurrahman Wahid lahir 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan
nama Abdurrahman ad-Dakhil, ia telah melewati proses pematangan pemikiran
dan pengembangan intelektual yang cukup panjang dan dalam.42 Abdurrahman Wahid tumbuh dan berkembang di tengah keluarga santri beraliran Sunni.
Kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Ayahnya, KH. A. Wahid
Hasyim, adalah Menteri Agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan
yang merumuskan Piagam Jakarta.
KH. A. Wahid Hasyim memberikan nama Abdurrahman ad Dakhil bagi
putra pertamanya yang lahir pada Agustus 1940. Nama itu diambilkan dari nama
tokoh Islam terkemuka dimasa Dinasti Umayah. Secara leksikal, ia berarti
“Abdurrahman sang penakluk” Idealisme KH. A. Wahid Hasyim adalah tentu
agar putra pertamanya juga menjadi seorang “penakluk”, seperti pemilik asli
nama itu ratusan tahun silam. Namun dikemudian hari sang putra lebih suka
menuliskan namanya sebagai Gus Dur. Orang-orang secara akrab memanggilnya
Gus Dur. Barangkali karena itulah, karena tidak pernah menuliskan kata ad
42
Dakhil, putra KH. A. Wahid Hasyim ini sedikit kepayahan untuk menampilkan
diri sebagai seorang penakluk, bahkan dalam lingkungan NU yang dipimpinnya.
Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian jenjang pendidikan formal
Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah
Rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Tahun 1953 - 1957, ia belajar di Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta. Di Yogyakarta ini ia tinggal di
rumah salah seorang Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaid. Dari tahun
1957–1959 ia belajar di pesantren tegalrejo Magelang dan kemudian pindah ke
Pesantren Mu’allimat Bahrul Ulum Jombang, sampai tahun 1963. Kemudian ia
pindah ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU
terkemuka, KH. Ali Ma'shum.43
Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di
Universitas al Azhar. Namun, sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di
ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan
terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Baghdad mengambil
Fakultas Sastra.
Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, dan perkenalannya dengan
dunia keilmuan yang cukup kosmopolitan itu, Abdurrahman Wahid mulai naik ke
permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikiran-pemikiran
briliannya. Pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial,
LSM, dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya
tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton. Abdurrahman Wahid
43
secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar
mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan masyarakat Muslim. Studinya
di Baghdad telah memberikan dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak
liberal dan bergaya Barat serta sekuler.44
KH. Ali Ma'shum (alm) pengasuh Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak
Yogyakarta pernah menyatakan “ Gus Dur itu pancen nyeleneh, aneh, ananging
beneh (Gus Dur itu membuat kita bingung, bengong, namun nyatanya benar)”.
Cerita ini terungkap ketika ada pengadilan terhadap perilaku Abdurrahman Wahid
yang dianggap membingungkan atau kontroversial.45
Gagasan-gagasan dan komentarnya dianggap bertentangan dengan aturan
yang selama ini dianut oleh kalangan NU atau pemeluk Islam. Tulisan atau
perilaku Abdurrahman Wahid membingungkan warga, khususnya ulama NU.
Termasuk didalamnya tentang ajaran Marxisme. Didasari terhadap gagasannya,
Abdurrahman Wahid sering dituduh sebagai agen orientalisme, zionisme, sekuler,
sosialis, dan meremehkan ajaran Islam.46
Sejak melontarkan pemikiran-pemikiran pada pertengahan 1980-an,
Abdurrahman Wahid senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah air.
Berangkat dari dunia pesantren, ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian
komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional.
44
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.165-166. Kh Ahmad Siddiq (alm) pernah mengungkapkan kehenarannya ketika Gus Dur yang masih SMEP sudah membaca Das Kapital karya Karl Max. Sewaktu remaja ia juga gemar membaca karya-karya Jean Pul Sartre dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India, Mohandas Karamachachand Ghandi. KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 11
45
KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 3.
46
Kolom – kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya “stereotip”
yang sering dialamatkan kepada para kyai selama ini. Memasuki dasawarsa
1990-an l1990-angkah politiknya lebih ‘gila’ lagi.
Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena
pendapatnya yang berani keluar dari mainstream umat. Kemudian bersama
sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengungkapkan forum
Demokrasi. Dengan itu, maka ia telah mengambil resiko yaitu bersebrangan
dengan pendukung status quo.
Menjelang pemilu 1997, ia menggandeng Mbak Tutut tanpa meninggalkan
Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R.
Hartono ia melakukan safari politik ke kantong-kantong NU di Jawa Timur.
Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat digoncang
oleh kubu Abu Hasan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu iklim hubungannya
dengan pemerintah sempat agak memanas. Tetapi justru ia bisa bersalaman
dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa ini sebagai “salaman politik”.
Dengan segala sepak terjangnya itulah benar-benar menjadi sosok kyai yang
mewarnai langit intelektual bebas di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur,
panggilan akarab KH. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di
panggung politik Indonesia.
Periode akhir kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, didukung
terutama kehidupan politik era reformasi, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei
1998. Abdurrahman Wahid telah bermain api di kancah politik nasional. Tidak
banyak pihak, apalagi yang mempunyai dukungan massa besar, untuk dilewatkan
begitu saja. Tanpa memperdulikan suara-suara sumbang, tiba-tiba Abdurrahman
Wahid membuat kejutan politik, dengan mendirikan partai bagi warga NU, yaitu
PKB. Hal ini dilakukan agar NU dapat secara langsung merasakan pahit manisnya
politik yang tidak manikmati secara berarti, serta tidak mau hanya berdiri di
pinggir jalan. Karena terbentur di Khittah ’26, maka diciptakanlah PKB. Dan,
tamsil yang pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid pada masa kampanye 1999,
bahwa ibarat ayam NU mengeluarkan “telur” dan ”kotoran” menunjukkan tingkat
proksimitas PKB dengan NU yang teramat tinggi.
Inilah yang membuat peserta Muktamar merekomendasikan PKB untuk
melakukan politik “pulang kandang.” Dengan kata lain, mereka mengamanatkan
PKB untuk mengajak para nahdliyin, yang secara politik berada dimana-mana,
untuk kembali ke “telur” NU. Karenanya, meskipun diawal pidato, Abdurrahman
Wahid sudah menyatakan keharusan untuk memisahkan NU dengan PKB, di
dalam pandangan jamaahnya antara NU dan PKB merupakan entitas yang tidak
bisa dipisahkan.47
Sampai pada klimaksnya meteor politik Abdurrahman Wahid mencorong
ketika dirinya resmi terpilih menjadi Presiden RI ke-4 di bawah mandat MPR.
Dengan wakil Megawati selaku rival dalam pemilihan langsung anggota MPR
tersebut yang berasal dari “partai wong cilik” (PDI-Perjuangan) yang memperoleh
jumlah suara pada urutan setelah Abdurrahman Wahid.
47
Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan
sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. "Tugas
saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU”.
Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode
kedua dalam kepemimpinan dalam NU.48
B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA
Pendidikan Abdurrahman Wahid mewakili Amalmagasi antar pendidikan
Islam tradisional dan pendidikan “barat” modern. Dilihat dari setting ini, akan
tampak salah satu dari hasil sintesis kedua pendidikan ini adalah perhatian yang
sangat kuat untuk reformasi pemikiran dan politik Islam, sesuatu yang harus
diperhatikan oleh modernisme Islam.
Untuk benar-benar memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid,
perlu dilihat kehadirannya sebagai representasi generasi pemikir Islam
Revolusioner di Indonesia. Greg Barton,49 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,50 memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Neo-Modernis, yang sangat
mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, utamanya
dalam menerima dan meng-afirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan
signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar komunal.51 Salah satu
48
Ummurisalah, “Gus Dur di Mata Mereka”, Aula, No. 11/Th.XVI/November 1994, hal.27.
49
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195. 50
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Cet II, ( Bandung: Mizan, 1990), hal. 171-177.
51
ciri yang menandai pemikiran Neo-modernis adalah komitmennya pada pluralistik
dan nilai-nilai demokratik. Selain itu, nilai-nilai pluralistik ini telah dirajut di
dalam struktur Iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri.52
Berangkat dari pola pemikiran di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah
Abdurrahman Wahid menempatkan kepentingan nasional dengan kepentingan
agama (Islam)?. Bagi Abdurrahman Wahid, kepentingan Islam memang harus
diutamakan oleh umat Islam, sebab itu hak Umat Islam telah dijamin oleh
perundang-undangan. Tetapi permasalahannya, bagaimana kalau kepentingan
Islam itu justru merugikan pihak lain?. Hal demikian menurut Abdurrahman
Wahid harus dihindari, karena kepentingan nasional adalah Kepentingan Islam
juga, tujuan Islam adalah menciptakan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan
dalam al-Qur’an “ Tiadalah Ku utus engkau ( wahai Muhammad ), kecuali
sebagai pembawa Rahmat ( Kesejahteraan )”.
Sehingga kita bisa mengetahui mengapa Abdurrahman Wahid menolak
bergabung dengan ICMI. Menurut persepsinya, ICMI cenderung bersifat
eksklusif. Apalagi pada kenyataannya, ICMI lebih banyak bernuansa politis
daripada nuansa kecendekiawanan. Fenomena ICMI yang kita saksikan
tampaknya menjadi sarana “batu loncatan” oleh pihak-pihak tertentu untuk
meningkatkan karir politik, dan dengan ICMI negara bisa mengkooptasi atau
bahkan menjinakkan para cendekiawan muslim yang semula sangat kritis
terhadap negara.53
52
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195 53
Kenyataan ICMI tersebut di atas bagi Abdurrahman Wahid dirasa kurang
sehat, terlalu banyak membela satu golongan saja (Islam) dan mengabaikan
golongan lainnya (non muslim). Hal demikian kurang baik untuk suatu negara
semacam Indonesia yang pluralistik serta memiliki komponen yang
beranekaragam.54 Ia menegaskan pendapatnya :
Bagi saya “masyarakat Islami” di Indonesia bertentangan dengan konstitusi, karena akan menempatkan non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum muslimin kuat, kuat yang berarti berfungsi secara baik. Saya pikir itulah yang terbaik. Karena itu, menjadi tugas NU-lah untuk menunjukkan alternatif visi dan kemasyarakatan yang toleransi.55
Dalam menghadapi kebangkitan politik Islam di Indonesia, Abdurrahman
Wahid berargumentasi:..
Jauh di lubuk hati saya, saya tidak tahu bahwa tidak mungkin bagi Indonesia diatur oleh satu pihak. Impian dan keyakinan saya bagi sebuah Indonesia yang modern adalah politik yang terbuka, dimana kegiatan politik adalah hal yang biasa dan tidak secara eksklusif berdasarkan agama dan ras. ... Bukankah, sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. kalau ini tidak dilakukan bukankah salah satu, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di Iran) atau meninggalkan demokrasi dengan meninggalkan Islam? Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa ini.
Abdurrahman Wahid melihat bahwa wadah untuk pendapatnya sebenarnya
sudah ada yaitu Pancasila. Baginya, di dalam Pancasila terdapat unsur toleransi
beragama, dan merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan
sebuah masyarakat demokratis di Indonesia. Pandangannya mengenai Pancasila
54
Gus Dur, “ ICMI Islam Masjid”, Aula, No. 11/Th.XIV/November 1994, hal.55. 55
sebagai basis nasionalisme bagi negara penting, karena beberapa muslim
memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan lslam.
Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering kali menunjukkan bahwa,
ayahnya Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945, juga sepakat
mendukung negara nasional non Islam.56 NU merupakan salah satu organisasi berbasis massa yang pertama kali mengakui keabsahan Orde Baru. Abdurrahman
Wahid berpendapat bahwa tidak ada keharusan dalam ajaran Islam untuk
membentuk negara Islam. Itulah sebabnya, ayahnya dan kepemimpinan NU bisa
dengan mudah menerima sebuah negara yang tidak secara eksplisit berdasarkan
Islam. Baginya Indonesia adalah sebuah negara konsensus dan kompromi ini
inhern dalam Pancasila.57
Abdurrahman Wahid seringkali menekankan keyakinan nasionalis NU
dengan menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila. Ia menjelaskan bahwa pada
tahun 1945 Soekarno meminta nasehat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang
diyakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila.58 Selain itu Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
Islam bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak
secara formal berdasarkan pada Islam:
NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis sendiri
56
Dapat dilihat dalam pernyataan Wahid Hasyim pada tahun 1945 bahwa dengan “Persatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah, posisi Islam yang sehat bisa di jamin”, dikutip dari Harry J. Benda, The Crescent And The Rissing Sun, Indonesian Islam Under Japanese Occupation, (Den Hag: Van Houve Ltd, 1953). hal 189.
57
Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia, 8 Oktober 1998. 58
menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama.59
Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU
menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai
politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah
Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di
majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat”
yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah
sesuai dengan hukum Islam.
Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father
RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada
bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini.
Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk”
melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik
(etika sosial) bukan pemahaman Islam yang legal-formalistik. Baginya di
tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan
keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan
Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat
dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan.60
C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB
59
Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, hal.26. 60