• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang visi dan strategi politik NU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang visi dan strategi politik NU"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN

YUSUF HASYIM

TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam

Untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Sosial ( S.Sos)

Oleh

HENDRI JULIANTO Nim: 103033227817

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN

YUSUF HASYIM

TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

... 5

C. Tujuan dan Fungsi Penulisan

... 5

D. Metode Penulisan

... 5

E. Sistematika Penulisan

... 6

BAB II NU, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM

KEBANGSAAN

A. Visi Kelahiran NU

... 8

B. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU

... 12

C. Sejarah Politik NU Masa Lalu

... 20

D. Politik NU dan Khittah NU 1926

(3)

BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG VISI POLITIK NU

A. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid

... 31

B. Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang NU, Islam dan Negara

.. 36

C. Abdurrahman Wahid dan Misi Perjuangan Politik PKB

... 41

D. Sketsa Biografi Yusuf Hasyim

... 46

E. Pandangan Yusuf Hasyim Tentang NU, Islam dan Negara

... 51

F. Yusuf Hasyim dan Misi Perjuangan Politik PKU

... 57

BAB IV PERBANDINGAN, ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG KEBANGSAAN

A. Pandangan Kebangsaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim

.. 60

B. Analisa Perbandingan Strategi Politik NU Abdurrahman Wahid

Dan Yusuf Hasyim

... 66

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan...76

(4)
(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mencermati dinamika internal yang terjadi dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama

beberapa periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berkembanglah fenomena

politik, yaitu munculnya wacana pemikiran dialektis yang dalam kurun waktu ini

dirasakan oleh sebagian orang telah menghilang dari tradisi NU. Munculnya

wacana pemikiran dialektis tersebut, salah satunya disebabkan oleh polemik antar

geneologis “Darah Biru” NU sendiri, yaitu antara KH. Abdurrahman Wahid dan

KH. Yusuf Hasyim.

Dalam hal ini Greg Fealy dan Greg Barton menyatakan; Yusuf Hasyim

merupakan anak terakhir pendiri NU Hasyim Asy'ari yang masih hidup (sekarang

telah meninggal) dan oleh karena itu merupakan paman dari Abdurrahman Wahid.

Abdurrahman Wahid sendiri adalah anak tertua dari kakak tertua Yusuf Hasyim,

yaitu Wachid Hasyim. Hubungan antara paman dan keponakan, yang secara

teoritis bisa membuat klaim-klaim yang bertetangan untuk menjadi penerus

Hasyim Asy'ari yang sah, sangatlah kompleks, bahkan diantara keduanya jarang

harmonis.1

Tema yang menjadi perdebatan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf

Hasyim sebenarnya kompleks, salah satunya mengenai visi dan strategi

perjuangan politik NU, yaitu menyangkut hubungan agama dan negara serta

1

(6)

pilihan impelementasi model dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang

paling memungkinkan untuk diterapkan. Tema yang menjadi perdebatan

sehubungan dengan masalah ini, sebenarnya bukan masalah baru, karena sudah

sering dijadikan bahan perdebatan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Setiap kali

bangsa Indonesia menghadapi wacana politik bersinggungan dengan wilayah

keagamaan, selalu saja muncul ke permukaan, yang bernuansa baru hanyalah

pelakunya saja. Tampilnya dua saudara, antara paman dan keponakan

bersama-sama dibesarkan dan merupakan keturunan pendiri NU, memberi nuansa

tersendiri. Akan tetapi selama ini yang muncul di permukaan lebih berupa konflik.

Meskipun jika dilakukan pendalaman masih banyak titik temunya. Seperti

penjelasan Pak Ud sendiri; “Sebenarnya disamping perbedaan pendapat, antara

kami banyak pula persamaannya. Sayang, yang banyak diekspos adalah

perbedaan kami”.2

Sejak tampil pertama kali dalam kepememimpinan NU, Abdurrahman

Wahid telah mencoba menghidupkan tradisi pemikiran kritis di kalangan NU serta

membangun wacana pemikiran keagamaan baru. Begitu besarnya concern

Abdurrahman Wahid untuk membangkitkan tradisi pemikiran kritis dikalangan

NU, terutama di kalangan anak muda NU.

Teramat kuatnya posisi Abdurrahman Wahid sebagai inspirator gagasan

besar dikalangan NU, tanpa disadari telah menciptakan keseragaman wacana

pemikiran, sehingga harapan Abdurrahman Wahid agar terjadi dialektika yang

sehat di kalangan NU tidak terpenuhi. Sehingga muncul dinamika pemikiran yang

2

(7)

berlangsung intensif di kalangan warga NU. Jika dicermati yang terjadi adalah

wacana monologis, dengan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai landasan

terminologinya. Dalam bentuk yang ekstrim, bisa disebutkan nyaris terjadi.

Penyikapan pengabsolutan setiap gagasan yang muncul dari Abdurrahman Wahid

selalu terjadi, tanpa ada upaya mengimbangi dengan gagasan alternatif.

Meski baru serta terbatas pada substansi gagasan tertentu, tampilnya Yusuf

Hasyim dengan dialog melalui media massa yang terkesan berseberangan dengan

pemikiran Abdurrahman Wahid, telah memberikan “keseimbangan“ wacana

pemikiran di kalangan warga NU. Tampilnya Yusuf Hasyim sebagai antitesa

terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid diharapkan menciptakan iklim yang

mendukung bagi munculnya tradisi dialog yang sehat, sehingga nantinya dapat

memunculkan sintesa baru dan lebih mencerahkan. Peran yang dilakukan Yusuf

Hasyim itu, bukanlah tanpa mengandung resiko. Melihat kemajemukan pola pikir

masyarakat kita, terutama warga NU, apa yang dilakukan Yusuf Hasyim sebagai

pihak beroposisi berseberangan (sebagian) terhadap pemikiran Abdurrahman

Wahid, berpeluang mengkondisikan dan respon berbeda yang sama besarnya,

sikap tidak setuju dan mendukung.

Sikap tidak setuju akan muncul dari kalangan yang beranggapan bahwa

perseteruan tersebut akibat masalah internal Bani Hasyim sendiri,3 atau mereka yang tidak rela menghadapi tokoh Abdurrahman Wahid dikritisi orang lain.

Sedangkan sikap mendukung, lahir dari mereka yang merasa ada angin segar bagi

munculnya pemikiran yang selama ini tidak disadari telah terbelenggu di kalangan

3

(8)

NU. Apalagi selama kurun waktu tertentu memimpin NU (Abdurrahman Wahid)

nyaris tidak ada pihak yang berani secara terbuka bersikap demikian. Posisi Yusuf

Hasyim sebagai paman jelas menjadi faktor yang menghapuskan barrier tersebut,

sehingga bisa melakukan perdebatan secara bebas dengan keponakan. Yusuf

Hasyim, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinilai cukup punya nyali

menghadapi Abdurrahman Wahid.

Dalam pandangan Yusuf Hasyim, berkomitmen menjadikan siyasah

(politik) sebagai alat untuk tegaknya Syari'ah Islam dalam batas yang wajar dan

sejalan dengan kepentingan nasional.4

Sebaliknya dalam pandangan Abdurrahman Wahid, perjuangan syari'ah

tidak harus melalui hukum-hukum dan simbol agama secara formal, melainkan

sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara.

Substansi syari'ah Islamiyah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokrasi

atau menegakkan negara dan bangsa.5

Meskipun persoalan polemik antar keduanya sudah berlalu, bukan berarti

masyarakat khususnya warga NU akan tinggal diam. Mereka justru penasaran

mencari jawaban yang sebenarnya. Mereka akan bertanya-tanya apa yang

sebenarnya terjadi di antara keduanya.

Diharapkan penulisan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM MENGENAI VISI DAN STRATEGI POLITIK NU”, dapat memberikan kontribusi untuk ikut mendudukkan persoalan keduanya sesuai porsinya, bukan sebagai upaya

4

H.M. Yusuf Hasyim, “PKU dan Siyasah Menuju Syari'ah,” Jawa Pos, 3 November 1998. 5

(9)

melakukan upaya pembenaran atas berbagai tindakan dan pernyataan keduanya.

Lebih dari itu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas segala

makna dan warna yang ada di balik peristiwa, serta sebagai upaya penempatan

masalah sesuai proporsinya dari polemik keduanya yang memiliki nilai historis.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan pada skripsi ini adalah masalah sosial yang bersifat dinamis

maka penulis membatasi penulisan ini melalui visi politik NU, yang lebih

difokuskan pada perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang

pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU.

Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang

pola perjuangan politik?

2. Apakah perbedaan dan persamaan pandangan antara Abdurrahman Wahid

dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara tersebut ?

C. Tujuan Dan Fungsi Penulisan

Tujuan dari penulisan ini ialah untuk memberikan sedikit gambaran serta

penjelasan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang

pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU.

Penulisan ini memperkaya khazanah Pemikiran Politik Islam.

Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Oleh karena objek penelitian ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid dan

(10)

politik PKB dan PKU, maka skripsi ini disusun berdasarkan studi kepustakaan

(Library Reseach) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan

menelusuri buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat oleh Abdurrahman Wahid

maupun Yusuf Hasyim serta beberapa tulisan yang mendukung ketajaman

analisis.

Sedangkan dalam menguraikan permasalahan, penulis menerapkan metode

deskriptif, kemudian dilakukan secara analisis dengan interpretasi tentang

substansi kedua tokoh ini serta membangun beberapa korelasi yang dianggap

signifikan. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan

menggunakan studi komparatif. Sehingga penulis dapat menjelaskan

perbandingan dari dua fenomena pandangan politik antara Abdurrahman Wahid

dan Yusuf Hasyim.

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman

Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat , Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta 2003 / 2004.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, perinciannya adalah sebagai berikut:

Bab I tentang Pendahuluan. Diawali dasar pemikiran penulis mengangkat

tema ini sebagai bahan penyusunan skripsi, dilanjutkan dengan pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan fungsi penulisan, metode penulisan dan

sistematika penulisan

Bab II bab ini, menguraikan tentang visi dan orientasi awal. kelahiran NU.

(11)

dilalakukan NU, baik ketika Ormas ini menjadi Ormas keagamaan maupun ketika

menjadi Partai Politik.

Bab III akan membahas penggambaran seorang Abdurrahman Wahid dan

Yusuf Hasyim, serta pandangan-pandangan keduanya terhadap NU, Islam dan

Negara meliputi strategi perjuangan keduanya.

Bab IV membahas mengenai perbandingan, Abdurrahman Wahid dan

Yusuf Hasyim khususnya yang berkaitan dengan kebangsaan dan semangat

perjuangan keduanya.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan dan saran

saran penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan

(12)

BAB II

NAHDLATUL ULAMA, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM KEBANGSAAN

A. Latar Belakang Kelahiran NU

Untuk memahami jati diri NU, KH. Syamsul Arifin, sang mediator antara

KH. M. Cholil (Bangkalan) dan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (Tebuireng)

menyatakan bahwa ketika seseorang akan memahami NU, belum cukup kalau

hanya melihat sisi formal, semenjak lahir ternyata mengalami perkembangan

hingga kini. Seseorang harus mempelajari kondisi yang melatarbelakangi

mengapa organisasi ini dibentuk, arah mana tujuan yang hendak dituju, cara dan

proses apa yang harus ditempuh dan bagaimana asumsi dan lain sebagainya6. Ada hal yang mendasar disaat kelahiran NU, menurut Kyai As’ad, sebelum

para ulama memberangkat delegasi yang tergabung dalam Komite Hijaz7 berangkat ke Saudi Arabia, mereka cukup dipusingkan dengan identitas yang akan

diberikan kepada delegasi tersebut dalam organisasi disertai nama dan

kegiatannya.

6

Sinansuri, Encip, NU Dalam Tantangan, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994). hal. 3.

7

(13)

Setelah para ulama meraih kesepakatan mengenai nama organisasi serta

kegiatannya, mereka menyerahkan amanat peresmian kepada KH. Hasyim

Asy’ari. Akan tetapi beliau tidak gegabah dalam mengambil keputusan, beliau

langsung meminta petunjuk Allah melalui isthikarrah. Ternyata, Allah

memberikan jawaban berupa petunjuk dan dibenarkan oleh gurunya Kyai Cholil

Bangkalan. Selanjutnya Kyai Cholil melalui Kyai As’ad memberi pesan berupa

bacaan ayat Al Qur’an, surat Thaha ayat 17 sampai dengan 238. Dalam keterangan lain diberitakan Kyai As’ad juga memberikan sebuah tongkat dan tasbih kepada

Kyai Hasyim.9

Riwayat di atas merupakan simbol yang mengandung filosofi berupa

amanat kepada Kyai Hasyim sehingga muncullah cikal bakal pendirian organisasi

Nahdlatul Ulama. Organisasi ini mengembangkan kepemimpinan pada tiga jalur.

17. Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?

18. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.

19. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, Hai Musa!”

20. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap besar. Lihat QS Thaha Al Qur’an .

9

(14)

Pertama, jalur pendidikan yang diisyaratkan dengan adanya transfer ilmu dari

Kyai Cholil ke Kyai Hasyim. Kedua yaitu jalur sosial, bisa dilihat dari isi surat

Thaha. Ketiga, jalur spiritual yang dilukiskan dengan pemberian tasbih kepada

Kyai Hasyim, jalur ini bisa disebut dengan dakwah. Ketiga jalur inilah yang

menjadikan kegiatan utama pada awal-awal berdirinya NU.10

Sebenarnya NU telah melengkapi diri untuk menjadi jami’yah atau

organisasi yang maju. Persyaratan untuk menjadikan jami’yah pertama-tama

mempunyai pandang yang jelas tentang target yang akan dicapai di masa depan

dengan kejelasan visinya.

Visi NU tertuang dalam Muqaddimah al Qonuuni al Asaasi (anggaran

dasar) yang telah disusun oleh Rois Akbar. Jam’iyah NU, KH. M. Hasyim

Asy'ari. Program jam'iyah ini menjadi prinsip dasar dalam berbagai konsep

pengembangan organisasi yang dibicarakan setiap kali NU menyelenggarakan

Muktamar.

Anggaran dasar formal (Statuen) NU yang dibuat pada muktamar 1928, NU

menetapkan tujuannya, yaitu mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah

Waljama'ah dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama

Islam. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut :

Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe lmam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i: Imam Malik bin Anas, Imam Aboe

10

(15)

Hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam".

Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:

a. mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermazhab terseboet dalam fatsal 2.

b. memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Sunnah Wal Djama'ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid'ah.

c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan dijalankan apa sadja jang baik.

d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.

e. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.

f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.11

Pada awal berdirinya NU sebagai ormas keagamaan, di mana

keberadaannya merupakan manifestasi dari obsesi “Founding Fathers” yang

menghendaki lestarinya tradisi-tradisi sunni di Indonesia. Namun demikian, dalam

permulannya dengan realitas (problem) kebangsaan, dimensi politik juga tak luput

dari kiprahnya. Terutama, karena para pendirinya dahulu aktif dalam pergerakan,

penggalangan Nasionalisme di tengah-tengah iklim kolonial pada saat itu, seperti

Kyai Hasyim aktif di beberapa organisasi yang ikut dalam anggota Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Pergulatan praktik NU dalam perjalanannya ini menjadi problem tersendiri.

Secara internal, salah satunya karena seluruh “sumber daya” tercurahkan dalam

aktivitas politik, apa yang menjadi tanggung jawab NU sebagaimana visi awal

kelahirannya menjadi terabaikan. Pada sisi yang lain, ketika terjadi perubahan

11

(16)

dalam tata kehidupan politik, kekuatan NU terasa mandul, langkah-langkahnya

lebih banyak bersifat sporadis dan partisan di dalam “rekayasa” politik, misalnya

pada masa Orde Baru. Terasa seolah-olah Pemerintahan kurang dapat menerima

keberadaan NU, sebagai kekuatan yang turut bermain di dalam sistem kekuasaan,

NU tergiring dalam posisi marginal dalam pergulatan politik nasional.

Marginalisasi itu pun terus berlanjut sampai muncul kesadaran baru untuk bangkit

dari keterpurukan dan melakukan perubahan dasar dalam tubuh NU, yaitu dengan

kembali ke Khittah 1926. Kesadaran yang dimaksud adalah kembali melakukan

peran sebagaimana awal berdirinya, dimana orientasinya adalah merekontruksi

internal, yaitu jami’yah yang orientasinya banyak mengarah pada politik menjadi

Diniyah Ijtima’iyah (Sosial Keagamaan).

B. Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU

Semenjak awal NU menunjukkan jati dirinya sebagai penganut paham

Ahlussunnah12 Wal Jama'ah, yaitu sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU berumber padn Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma', dan Al Qiyas. Tetapi, dalam hal

ini Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri satu kelompok aliran, ada

beberapa sub aliran. Oleh sebab itu Dr. Jalal M. Musa mengatakan, istilah

Ahlusunnah tersebut menjadi rebutan banyak kelompok, yang masing-masing

menyatakan bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dimasukkan kata “Al

Jamaa’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini disebutkan bahwa

12

Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad SAW dan membelanya. Lihat Muhammad Tholhah Hasan,

(17)

mereka memiliki alasan yang sama karena menggunakan “Ijma” dan “Qiyas”

sebagai dalil syariah yang fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan

Sunnah Rasul.13 Seperti Muhammadiyah dan organisasi lain yang mendasarkan pada Islam, juga menganut paham tersebut sehingga secara umum tidak bisa

dianggap salah, sebab kegiatan yang mereka lakukan sesuai dengan paham

Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hendak mempertahankan dan mengembangkan

paham inilah, NU dilahirkan. Di mana secara harfiah Ahlussunnah Wal Jama'ah,

berarti penganut sunnah Nabi dan Sahabat-sahabatnya.14

Dalam pengertian yang lebih rinci dan ini yang dianut oleh NU, sedangkan

dilain hal KH. Bisri Mustafa menafsirkan Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai

suatu paham yang harus dipegang sebagai tradisi:

1. Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu

madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Dalam

praktik NU banyak mengikuti faham yang diajarkan oleh Syafi’i.

2. Di bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari

dan Imam Abu Mansyur Al Maturudi.

3. Sedangkan di Tasawufnya, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Qosim

Al Junandi.15

Dari doktrin-doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah tersebut di atas banyak

melahirkan konsep-konsep NU dalam memandang dimensi kehidupan dengan

13

Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, hal.3-4.

14

KH. Sirojuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1983), hal.16.

15

(18)

implikasinya dalam pandangan terhadap negara, Islam, demokrasi, dan lain

sebagainya.

Dalam kehidupan kenegaraan doktrin ini, melahirkan sikap-sikap normatif

yang oleh KH. Ahmad Siddiq diidentifikasi atau menjadi ciri khas NU, yaitu :

1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip

hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil ditengah-tengah

kehidupan bersama

2. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam

soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau khilafah.

3. Tawuzuun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Allah,

manusia, serta lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa

lalu, masa kini, dan masa akan mendatang.16

4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yakni sikap selalu memiIiki kepedulian untuk

mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan

bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjurus dan

merendahkan nilai-nilai kehidupan.17

Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU inilah yang mempengaruhi

prosfektifnya dalam melihat politik kenegaraan.18 Kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, mentaati

16

KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, (Surabaya: Balai Pustaka, 1979), hal. 3-11. 17

PBNU, Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal.119. 18

(19)

pemerintah, juga merupakan kewajiban sepanjang tidak menganjurkan kepada

kekufuran.

Tidak mengherankan apabila menghadapi dualisme kepemimpinan

Indonesia Suharmadji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU mendukung Soekarno

dan memandang DI/TII sebagai pemberontak (bhugat). Semua diputuskan dengan

berdasarkan kaidah keagamaan (fiqhiyah). Sehingga Gus Dur tidak bisa menerima

sebutan Mitsuo Nakamura terhadap NU sebagai “Tradisionalisme Radikal” dan

memandang Nakamura kurang tahu secara mendalam nilai-nilai dalam NU yang

serba fiqih.19 Lanjutnya, bahwa bidang ilmu fiqih menyangkut segala praktek kehidupan beragam serta termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat dan

beragama. Dalam menggunakan hukum fiqh, NU berpegangan pada pedoman

bahwa hukum-hukum itu timbul karena adanya sebab akibat atau al Hukmu Ma’al

Illat.20 Kemudian melahirkan kerangka berfikir sebab akibat dalam merumuskan produk-produk hukum.

Sementara itu, pandangan NU terhadap kehidupan bernegara tercermin

dalam tulisan Kyai Achmad Siddiq :

1. Negara nasional (yang didirikan bersama seluruh rakyat) wajib

dipeliharanya.

2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada

kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng,

memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan

Allah.

19

Gus Dur, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Prisma, 1984). 20

(20)

3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah cara mengingatkan lewat

tata cara yang sebaik-baiknya.21

Pandangan kenegaraan NU seperti di atas, dipengaruhi madzhab Syafi'i

yang diikutinya. Madzhab Syafi'i memilah-milah negara terbagi menjadi tiga

jenis, yaitu Dar al Islam (Negara Islam), Dar al Harb (negara perang/negara anti

Islam), dan Dar al Sulh (Negara damai). Masyarakat Islam memiliki jenis pertama

dan ketiga. Jika jenis pertama tidak tercapai maka umat Islam dapat menerima

jenis ketiga, meskipun suatu negara tidak didasarkan pada hukum Islam, akan

tetapi masyarakatnya masih melaksanakan ajaran Islam, maka masyarakat tersebut

wajib membela negaranya.

Secara sederhana, untuk melihat korelasi antara NU, Islam dan kehidupan

kenegaraan, tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar yang ada dalam NU sendiri.

Sebagai organisasi keagamaan, NU jelas mempunyai keterikatan terhadap faham

Ahlussunnah Wal Jama'ah. Faham ini bisa dikatakan sebagai pondasi (ruh) dan

konstruksi NU. Inilah kata kunci untuk melihat pola hubungan NU, Islam, dan

negara. Ideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah menekankan nilai-nilai moderasi dan

harmonis dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat membingkai segala

pemikiran NU untuk mencermati berbagai kehidupan, termasuk dalam melihat

hubungannya dengan masalah pemikiran keagamaan dan politik .

Dalam wilayah kenegaraan, doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah dirumuskan

oleh KH. Achmad Siddiq, dengan sikap politik yang sangat menjunjung tinggi

sikap Tawasssuth, Tawazun, Tasamuh, serta tatanan sosial politik dan ekonomi

21

(21)

yang didasarkan pada prinsip-prinsip, Adlah (keadilan), Syura (musyawarah), dan

Musawah (persamaan), merupakan modal dasar untuk membangun wawasan

kenegaraan. NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang mengedepankan wawasan

kenegaraan dan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit.

Cara pandang inilah, perbedaan NU dengan organisasi lainnya, khususnya

kelompok Islam modernis perkotaan yang dikenal cukup militan. Rumusan KH.

Achmad Siddiq ini memiliki akar dengan teologi Asy'ari yang dianut NU.

Substansi teologi Asy'ari lebih menonjolkan kepada model teologi moderat ,

seperti menjaga nilai-nilai harmonis dan keseimbangan.

Dalam doktrin hubungan dengan negara, teologi Asy'ari mempunyai diktum

yang tegas. Misalnya dengan idiom-idiom “Suatu negara yang dipimpin oleh

orang kafir yang adil lebih baik dari pada dipimpin seorang muslim yang

anarkhis”, “ Kekacauan lebih berbahaya daripada ketidak adilan”, “ 60 tahun

pemerintahan dipimpin oleh orang dzalim lebih baik dari pada semalam tanpa

pemimpin.” dan seterusnya. Doktrin di atas dapat digunakan sebagai senjata

dalam menganalisa pola-pola hubungan NU, Islam, dan negara dengan segala

pasang surutnya.

Fenomena penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas

tunggal seperti yang dicetuskan KH. Ahmad Siddiq dapat dipahami dari

implementasi konteks doktrin Aswaja. Dalam konteks penerimaan asas tunggal

ini, pertimbangan NU tidak lepas dari konteks keagamaan. Bagi NU, Pancasila

adalah ideologi terbuka yang secara teologis ia bersifat inklusif, sedangkan secara

(22)

politik, atau lebih dari itu sebagai wujud penolakan NU terhadap paham negara

Islam.

Mengenai asas tunggal ini, Martin Van Bruinessen, menilai bahwa NU telah

menegaskan asas tunggal tanpa sedikitpun mengorbankan komitmen

keislamannya, NU telah menegaskan pondasi bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Dari rumusan pola hubungan Islam dan Pancasila ini, Fajrul Falakh

berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya dapat disimpulkan terhadap pemahaman

agama, konsepsi ideologi dengan pendekatan fiqhiyah yaitu:

1. Pemahaman bahwa Islam adalah fitrah yang bersifat menyempurnakan

segala kebaikan kepada manusia.

2. Pancasila bukanlah agama, tak dapat menggantikan posisi agama.

3. Rumusan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat (I) UUD

'45 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan “Tauhid” menurut

pengertian keimanan Islam.

4. Bahwa sejarah telah menunjukkan peran Umat Islam (termasuk NU)

dalam perjuangan bangsa, mendirikan negara, mempertahankan

kemerdekaan dan mengisi pembangunan.

5. Berdasarkan pendekatan fiqh, dinyatakan bahwa negara didirikan dan di

jaga karena perintah agama dan untuk kemaslahatan pendukung negara.

(23)

upaya final seluruh nation, terutama kaum muslim, untuk mendirikan

negara di wilayah nusantara.22

Penetapan NU terhadap ideologi Pancasila tidak terbatas kepada

penerimaan secara take for granted atau untuk kepentingan sesaat. Lebih dari itu,

Douglas E. Remage menggambarkan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila

hingga batas pembelaannya dari “monopoli” dan “rekayasa” interpretasi Pancasila

oleh Rezim Soeharto, dimana ABRI diandaikan sebagai elemen integral dalam

negara Pancasila.23 Memakai istilah Remage, Pancasila dipahami sebagai “kawasan sengketa” antara NU dan rezim Orde Baru.

Begitu pula pembelaan NU terhadap ideologi Pancasila dan bentuk negara

kesatuan sebagai konsep final tidak hanya sebatas retorika. Digambarkan oleh

Robert W. Hafner, bahwa usaha-usaha NU dalam mendukung negara kesatuan

begitu tegas dan penuh resiko, khususnya resiko secara politis misalnya

termarginalnya NU dari pusat-pusat kekuasaan pada masa rezim Orba.24 Dalam bentuk lain, pembelaan NU terhadap bentuk negara kesatuan dibuktian pada saat

negara sedang diambang keretakan (disintegrasi) seperti tahun 50-an atau awal

reformasi . Tidak berlebihan apabila Gus Dur dalam sambutan Muktamar ke-30 di

Kediri menyatakan bahwa NU adalah kekuatan terakhir yang sanggup

mempertahankan keutuhan bentuk negara kesatuan.25

22

M. Fajrul Falakh, NU Dalam Era 1990-an dalam Membangun Budaya Kerakyatan,Kepemimpinan Gus Dur, Gerakan Nasoinal NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal.26.

23

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.196.

24

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.200.

25

(24)

Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang

dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya

diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun

non muslim, juga mudah menerima faham (pemikiran) baru. Sehingga keberadaan

NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan

pluralitas kebudayaan bangsa ini.

C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU

Sejarah formal NU diawali sejak didirikan oleh Hadratus Syeikh

KH.Hasyim Asy'ari26 di Surabaya, 31 Januari 1926 bersama ulama KH. Wahab Hasbullah dan beberapa ulama pesantren lain. Sesuai dengan namanya NU

merupakan perkumpulan ulama yang bangkit serta membangkitkan para

pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah masyarakat bangsa.

Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam'iyah Diniyah) dalam laju

pertumbuhan berikut perkembangan NU tak lepas dari hiruk pikuk politik yang

ada, dikarenakan NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil.27 Babak awalpun dimulai pada tahun 1939 NU bergabung dengan Majlis Islam A'la

26

Peran KH. Hasyim Asy’ari tersebut dalam beberapa tulisan, yaitu sebagai pemberi legitimasi atas pemebentukan organisasi NU. Kyai Wahab maupun KH. Hasim Asy’ari selalu tampil dengan peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam keberhasilan membentuk NU. Kyai Wahab menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris, sementara Kyai Hasyim memberi legitimasi keagamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.11.

27

(25)

Indonesia (MIAI),28 yang secara umum MIAI bergerak dibidang keagamaan tetapi dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik.29

Sebenarnya MIAI ini dibentuk pada tahun 1937 sebagai keinginan untuk

memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia, tapi baru dua tahun kemudian

NU turut bergabung di dalamnya.30

Setelah MIAI membubarkan diri,31 NU bergabung dengan organisasi Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang dibentuk pada tahun 1945,

pembentukan Masyumi dikarenakan, pada waktu itu penjajah baru, Jepang

membekukan kegiatan politik termasuk MIAI yang berkesan anti kolonial.

Sebenarnya partai masyumi ini dibentuk merupakan buah karya mukta'mar

Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar ini,

salah satunya memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi

Islam Indonesia, serta para aktivis politik Islam yang tergabung di dalam

Masyumi sering disebut sebagai salah satu pelopor demokrasi di Republik ini.

Berjalan dengan seiringnya waktu, dalam tubuh Masyumi selalu muncul

konflik diantara tokoh-tokoh elitnya, sehingga NU selalu menemukan

kekecewaan. Sebagai contoh pada kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli

28

MIAI yaitu sebuah organisasi Islam gabungan antara NU, Muhammadiyah. Bagi NU, keterlibatanya dalam MIAI merupakan sebuah langkah awal untuk menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajah Belanda menjelang Perang Dunia II. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.17

29

Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru,

(Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.51. 30

Penggabungan NU kedalam MIAI , NU mempunyai alasan bahwa yakin kaum perubahan tidak mendominasi penggabungan dalam organisasi ini. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.17

31

(26)

1953)32, dalam jabatan Menteri Agama, menurut NU jabatan tersebut adalah bagian NU ini berlangsung sejak awal kemerdekaan. NU menilai dirinya sebagai

cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dari segi ilmu, aqidah, dan

amaliyahnya. Namun ternyata jabatan itu diberikan pada Muhammadiyah (Faqih

Usman). Merasa kecewa, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan

menyatakan diri sebagai partai politik independent.33

Ketika NU menjadi Parpol, sejarah membuktikan bahwa partai NU yang

masih baru pada Pemilu 1955 menempati urutan ketiga.34 Prestasi ini memberikan posisi kuat untuk NU. Hal ini tercermin dalam kabinet koalisi. Namun rupanya

periode Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua ( 24 Maret 1956 – 09 April 1957 )

yang masuk masa Demokrasi Liberal ini tidak berumur panjang. Padahal kala itu

NU memperoleh empat jabatan menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam

Negeri, Menteri Sosial, dan Menteri Perekonomian.35

Apa daya, kabinet itu hanya berumur setahun kemudian diganti oleh

Kabinet Juanda atau Kabinet Karya (09 Maret 1957 – 10 Juli 1959).36 Pada akhirnya, perubahan sistem politik Indonesia terjadi, setelah munculnya Dekrit 5

Juli 1959 maka muncul Era Demokrasi Terpimpin, yang membawa peran partai

politik merosot tajam.

32

Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. (Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.372.

33

Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).hal.79-94. 34

Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru

(27)

Tak terkecuali Masyumi yang termasuk disingkirkan. Karena keterlibatan

tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PKI dan di sisi lain NU dengan sikap

akomodatifnya mampu bertahan. Dengan lengsernya Masyumi menjadikan NU

sebagai partai Islam terbesar, dengan demikian NU terus menggalang persatuan

umat Islam mengimbangi kekuatan PKI.

Melalui Subhan ZE37, NU menggalang pemuda-pemuda untuk menandingi PKI yang telah meluas mengkader para pemuda dengan latihan dan disertai

persenjataan yang lengkap. Pada akhirnya prahara politik yang dilancarkan PKI

pada tahun 1965 telah menandai awal proses Demokrasi Terpimpin telah berakhir.

Adanya percobaan kudeta yang dinamakan G 30 S PKI ini, memunculkan

perasaan anti komunis di kalangan masyarakat. Dari penggalangan yang

dilakukan Subhan ZE, menghasilkan sikap anti komunis sehingga terbentuk

KAP-Gestapu, yaitu kekuatan aksi pengganyangan G 30 S PKI pada akhirnya menuntut

pembubaran PKI.

Dinamika politik terus berjalan seiring kekuasaan negara jatuh ditangan

Soeharto atas mandat Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret.

Bersama TNI-AD Pak Harto terus mengembangkan sayap politik dengan

mendirikan partai Golkar (Golongan Karya) pada tanggal 20 Oktober 1964

37

Subchan Z.E adalah pengusaha muda kaya dari Kudus, Jawa Tengah. Bergaya hidup

(28)

dengan nama Sekber Golkar. Golkar pada masa awal berdirinya tidak mempunyai

basis massa, kemudian mengunakan taktik buldoser untuk mengalihkan

suara-suara partai lama. Tidak heran jika Golkar dapat memenangkan Pemilu pada

tahun 1971. Sedangkan partai-partai lain umumnya tertindih, tetapi NU tetap

mampu bertahan dari sinilah peran Kyai dan pesantren menjadi faktor utama

penentu prestasi NU.

Berikutnya, pada tanggal 5 Januari 1973 NU berfusi dengan tiga partai

politik lain kedalam PPP. Hal ini terjadi atas kebijakan Pak Harto untuk

mengelompokan partai-partai dengan tujuan mempermudah kampanye Pemilu dan

sistem administrasi seperti fraksi di DPR.38

Namun perjalanan politik NU di tubuh PPP sering mendapat kekecewaan,

pada akhirnya NU menyatakan untuk kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan

dalam MUNAS Alim Ulama NU di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah

Asembagus Situbondo. Keputusan ini akhirnya diimbuhkan pada Muktamar NU

setahun kemudian di tempat yang sama. Dengan keputusan Muktamar tentang

Khittah ini secara otomatis NU keluar dari PPP.

Momentum kembali ke Khittah 1926 tersebut, telah mengubah hampir

semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan

orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti

meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan

politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi politik panggung, politik

struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke

38

(29)

Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam

kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat

yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba.

Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU.

D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926

Hubungan antara NU dan Negara kini menunjukkan perkembangan

menarik. Setelah sekian lama jami’yah yang berbasis massa desa ini berada di luar

pemerintahan, sekarang mulai masuk di dalam pemerintahan. Posisi yang berubah

ini tentu menimbulkan “kegagapan-kegagapan” tertentu. Misalnya, bagaimana

organisasi ini harus memposisikan dirinya ketika harus berhadapan dengan negara

yang dipimpin putra terbaik NU Abdurrahman Wahid.39

Muktamar NU ke-30 yang diselenggarakan di Pesantren Lirboyo, Kediri,

Jawa Timur, mempunyai arti strategis. Siap atau tidak, dalam perhelatan akbar

kali ini NU dituntut untuk melakukan pemikiran ulang atas apa yang telah

dilakukannya selama ini. Belum tentu yang dihasilkan pada Muktamar kali ini

adalah segala sesuatu yang bersifat baru. Bisa saja yang muncul justru

peneguhan-peneguhan atas apa yang pernah digelutinya pada lima belas tahun terakhir.

Pada masa-masa itulah NU mengalami transformasi sangat penting. Tidak

saja organisasi sosial-keagamaan terbesar di Nusantara ini memperoleh injeksi

kepemimpinan orang sekaliber Abdurrahman Wahid, tetapi juga karena keadaan

harus merumuskan ulang format dirinya dalam kaitannya dengan

39

(30)

kekuatan politik disatu pihak, dan dalam hubungannya dengan pemerintah atau

negara di pihak lain.

Dalam hal ini penting untuk dicatat, bahwa selama lebih kurang tiga

dasawarsa, NU mengalami proses penjauhan dari negara. Meskipun tidak bersifat

clear cut benar, lembaga-lembaga politik-keagamaan Orde Baru kosong dari

kemungkinan partisipasi kalangan nahdliyin. Baik Partai Persatuan Pembangunan

(PPP), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan kemudian

Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sekalipun “bebas” dari

keterlibatan strategis tokoh-tokoh NU.

Memang untuk waktu yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru lebih

memberi peluang kepada kalangan Islam “sekolahan”. Tentu ada penjelasan yang

bersifat rasional tentang konfigurasi politik keagamaan seperti ini. Mungkin saja,

kemampuan administratif kalangan Islam “sekolahan” tadi bersifat komplementer

dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang menekankan stabilitas politik dan

pembangunan. Meski begitu, tetap saja secara emosional-keorganisasian,

kalangan NU merasa terpinggirkan. Karenanya, masuk akal ucapan Abdurrahman

Wahid beberapa waktu lalu, ketika Presiden Soeharto turun, NU tidak ikut

bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh Orde Baru.

Situasi inilah yang antara lain menjadi faktor reposisi NU pada Muktamar

Situbondo. Lewat tangan-tangan dingin tokoh-tokoh NU seperti KH As'ad

Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan Abdurrahman

Wahid, organisasi ini menggulirkan semangat “Kembali ke Khittah 1926”.

(31)

asalnya jam'iyah sosial-keagamaan. Karenanya kaitan NU dengan politik bersifat

ada jarak dan mengambangkan warganya untuk bergabung dengan siapa mereka

suka. Inilah yang pernah dikeluhkan Mahbub Djunaidi, yang dalam pandangannya

tak rela melihat NU yang jumlah anggotanya banyak itu, semata-mata menjadi

“hostes politik.”

Terlepas dari kekecewaan seorang Mahbub, terbukti dengan itu kalangan

NU bisa masuk ke mana-mana. Pada tahap inilah, NU sebenarnya telah memberi

makna atas apa yang dapat disebut sebagai diversifikasi politik Islam. Yaitu,

bahwa alat dan medium politik itu beragam. Dengan negara sekalipun, karena

situasinya seperti diisyaratkan di atas, ia menjaga jarak. Bahkan dikenal sebagai

mewakili kekuatan kritis. Konstruk seperti inilah yang kemudian mengantarkan

NU untuk mengembangkan wacana tentang berpolitik secara budaya tentang

Civil Society sesuatu yang sangat diminati oleh kalangan muda NU hingga kini.

Masa uzlah NU dengan politik dan negara berakhir sudah. Terutama sejak

periode reformasi lahir, dan orang pun mulai bergairah untuk ramai-ramai

mendirikan partai. Seperti tak ada beban dengan semboyan “Kembali ke Khittah

1926”, warga NU mengikatkan kembali hubungan emosional-kelembagaannya

dengan partai politik. Meskipun secara organisasi hal ini bisa dijelaskan, dan

dipercaya tidak bertentangan dengan Khittah, tak urung hal itu menimbulkan

kecemasan.

Reformasi telah merubah alur politik NU, dari Ormas tahun 1926 menuju

ke Parpol tahun 1955 kemudian masuk kembali ke Ormas dengan dalih Khittah

(32)

politiknya tahun 1998 era reformasi dengan mendirikan Parpol yang bertajuk

partainya orang NU bersifat terbuka untuk siapapun. Ternyata alibi yang dibuat

Abdurrahman Wahid menjadi sebuah kenyataan luar biasa. Jauh dari perkiraan

warga NU, PKB menjadi partai yang kuat dari akar rumput sampai kalangan

moderat NU. Sebuah sosialisasi dan jurus politik terbaik yang dilakukan oleh

kalangan elit NU.

Tanpa basa-basi, Abdurrahman Wahid telah menjadi ikon besar. Dia telah

merubah pragmatisme politik NU, melalui koalisi dengan partai sekuler yang

dikenal dengan Poros Tengah. Abdurrahman Wahid mempunyai kekuatan penuh

yang takkan diperkiraan sebelumnya dengan puncak menjadi Presiden Republik

Indonesia ke-4 hasil votting anggota parlemen. Ini merupakan sebuah prestasi

politik NU terbaik pada masa reformasi. Semula NU hanya mempunyai panggung

sendiri dalam hal politik, maka pada masa reformasi NU bukan lagi ikut dalam

panggung politik yang telah disediakan pemerintah. Tetapi NU langsung

meminang garis depan dan mengkordinir serta memegang peranan penuh politik

negara. Jarak NU dengan kekuasaan pupus. Disadari atau tidak, NU telah

terintegrasikan ke dalam negara.

Inilah persoalan yang sangat ingin dinafikan mau tidak mau NU harus

melihatnya kembali pada Muktamar kali ini. Secara formal, NU tetap akan berada

pada posisi Kembali ke Khittah 1926. Secara substansial dan emosional,

duduknya Abdurrahman Wahid di kursi kepresidenan merupakan sesuatu yang

harus ditata ulang dalam kerangka berpikir dan bertindak NU. Kegalauan

(33)

tertentu dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

Dalam konteks inilah diharapkan pada Muktamar selanjutnya akan memilih

seseorang yang bukan carbon copy Abdurrahman Wahid. Bukan saja yang

terakhir ini unik dan fenomenal di NU, bahkan mungkin juga di Tanah Air, tetapi

tantangan NU ke depan lebih terfokus pada pengembangan kelembagaan. Karena

itu, yang diperlukan adalah seseorang yang mempunyai kemampuan manajerial,

dalam bahasa Herbert Feith “ administrator”.

Kualitas seperti ini akan membawa NU pada garis yang “semestinya.”

Yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan, para ulamalah sebenarnya yang mengendalikan gerak organisasi. Kepada siapa harapan ini dapat diletakkan?

Bachtiar Effendi mengungkapkan bahwa kiranya warga NU jauh lebih paham,

dibanding siapa pun yang berada di luar lingkungan mereka, siapa itu Hasyim

Muzadi, Agil Siradj, Salahudin Wahid, Achmad Bagdja, atau Fajrul Falaakh.40 Tetapi prestasi orang-orang NU untuk mengembangkan sayap politik patut

di acungkan jempol. Konsep yang berbuah matang pun berhasil diraih. Sehingga,

dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, NU dan politik takkan pernah

lepas baik dari awal berdiri sampai sekarang. Karena politik adalah salah satu

organ pelengkap hidup NU. Itu tidak bisa dipungkiri, sejarah awal NU lah yang

telah memberikan jawaban itu semua. Jika NU bergerak tanpa diimbangi dengan

politik maka pincanglah NU.

40

(34)

KHITTAH NU 1926

Khittah NU 1926 merupakan era baru orientasi perjuangan NU.

Keberadaan Khittah ini merupakan reorientasi perjuangan NU dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pengelolaan umat untuk

kepentingan pembangunan. Keberadaan khittah NU 1926 merupakan titik balik

perjuangan NU, dari perjuangan sektor politik menuju perjuangan yang lebih

memberikan perhatian pada aspek sosial kemasyarakatan, persis misi pada saat

didirikannya organisasi sosial keagamaan ini pada tahun 1926.

Lahirnya Khittah 1926 ini di samping diilhami oleh kondisi obyektif bahwa

perjuangan di bidang politik ternyata lebih besar mudharat (kerugian), dari pada

manfaatnya, artinya pengorbanan yang harus diberikan NU lebih besar dari

manfaat yang dapat diraih kasus paling nyata dapat dilihat dari marginalisasi

peran NU di PPP.

Dalam sisi lain perjuangan di bidang politik ternyata telah menyita

perhatian, dengan konsekuensi terampasnya perhatian dan energi fungsionaris dan

aktivis NU yang semestinya menjadi porsi untuk umat (anggota). Akhirnya NU

melontarkan umatnya yang mestinya mendapat perhatian dan arahan, justru kian

mendapatkan umatnya pada posisi tertinggal dalam hal kualitas diri, dibanding

umat lain. Disinilah muncul kesadaran baru yang memandang perlunya dilakukan

perubahan-perubahan mendasar dalam tubuh NU.

Kembali ke Khittah 1926 adalah kesadaran yang dimaksud, tiada lain

merupakan titik balik dimana NU kembali kepada semangat dasarnya. Babak awal

(35)

kepemimpinan dengan segala perangkat (struktural) organisasinya, maupun aspek

politik berkaitan dengan visi, misi dan strategi (perjuangan) nya dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Khittah 1926 yang ditetapkan melalui Muktamar ke-27

di Situbondo (1984), sebagai refleksi kritis terhadap perjalanan NU.

Dengan demikian, telah mengembalikan arah perjuangannya dari politik

kepada sosial keagamaan. Disinilah kemudian, NU memasuki wilayah baru, yakni

Perjuangan Kemasyarakatan Semesta.41

41

(36)

BAB III

PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK

NU

A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid lahir 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan

nama Abdurrahman ad-Dakhil, ia telah melewati proses pematangan pemikiran

dan pengembangan intelektual yang cukup panjang dan dalam.42 Abdurrahman Wahid tumbuh dan berkembang di tengah keluarga santri beraliran Sunni.

Kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Ayahnya, KH. A. Wahid

Hasyim, adalah Menteri Agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan

yang merumuskan Piagam Jakarta.

KH. A. Wahid Hasyim memberikan nama Abdurrahman ad Dakhil bagi

putra pertamanya yang lahir pada Agustus 1940. Nama itu diambilkan dari nama

tokoh Islam terkemuka dimasa Dinasti Umayah. Secara leksikal, ia berarti

“Abdurrahman sang penakluk” Idealisme KH. A. Wahid Hasyim adalah tentu

agar putra pertamanya juga menjadi seorang “penakluk”, seperti pemilik asli

nama itu ratusan tahun silam. Namun dikemudian hari sang putra lebih suka

menuliskan namanya sebagai Gus Dur. Orang-orang secara akrab memanggilnya

Gus Dur. Barangkali karena itulah, karena tidak pernah menuliskan kata ad

42

(37)

Dakhil, putra KH. A. Wahid Hasyim ini sedikit kepayahan untuk menampilkan

diri sebagai seorang penakluk, bahkan dalam lingkungan NU yang dipimpinnya.

Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian jenjang pendidikan formal

Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah

Rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Tahun 1953 - 1957, ia belajar di Sekolah

Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta. Di Yogyakarta ini ia tinggal di

rumah salah seorang Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaid. Dari tahun

1957–1959 ia belajar di pesantren tegalrejo Magelang dan kemudian pindah ke

Pesantren Mu’allimat Bahrul Ulum Jombang, sampai tahun 1963. Kemudian ia

pindah ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU

terkemuka, KH. Ali Ma'shum.43

Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di

Universitas al Azhar. Namun, sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di

ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan

terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Baghdad mengambil

Fakultas Sastra.

Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, dan perkenalannya dengan

dunia keilmuan yang cukup kosmopolitan itu, Abdurrahman Wahid mulai naik ke

permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikiran-pemikiran

briliannya. Pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial,

LSM, dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya

tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton. Abdurrahman Wahid

43

(38)

secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar

mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan masyarakat Muslim. Studinya

di Baghdad telah memberikan dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak

liberal dan bergaya Barat serta sekuler.44

KH. Ali Ma'shum (alm) pengasuh Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak

Yogyakarta pernah menyatakan “ Gus Dur itu pancen nyeleneh, aneh, ananging

beneh (Gus Dur itu membuat kita bingung, bengong, namun nyatanya benar)”.

Cerita ini terungkap ketika ada pengadilan terhadap perilaku Abdurrahman Wahid

yang dianggap membingungkan atau kontroversial.45

Gagasan-gagasan dan komentarnya dianggap bertentangan dengan aturan

yang selama ini dianut oleh kalangan NU atau pemeluk Islam. Tulisan atau

perilaku Abdurrahman Wahid membingungkan warga, khususnya ulama NU.

Termasuk didalamnya tentang ajaran Marxisme. Didasari terhadap gagasannya,

Abdurrahman Wahid sering dituduh sebagai agen orientalisme, zionisme, sekuler,

sosialis, dan meremehkan ajaran Islam.46

Sejak melontarkan pemikiran-pemikiran pada pertengahan 1980-an,

Abdurrahman Wahid senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah air.

Berangkat dari dunia pesantren, ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian

komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional.

44

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.165-166. Kh Ahmad Siddiq (alm) pernah mengungkapkan kehenarannya ketika Gus Dur yang masih SMEP sudah membaca Das Kapital karya Karl Max. Sewaktu remaja ia juga gemar membaca karya-karya Jean Pul Sartre dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India, Mohandas Karamachachand Ghandi. KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 11

45

KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 3.

46

(39)

Kolom – kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya “stereotip”

yang sering dialamatkan kepada para kyai selama ini. Memasuki dasawarsa

1990-an l1990-angkah politiknya lebih ‘gila’ lagi.

Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena

pendapatnya yang berani keluar dari mainstream umat. Kemudian bersama

sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengungkapkan forum

Demokrasi. Dengan itu, maka ia telah mengambil resiko yaitu bersebrangan

dengan pendukung status quo.

Menjelang pemilu 1997, ia menggandeng Mbak Tutut tanpa meninggalkan

Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R.

Hartono ia melakukan safari politik ke kantong-kantong NU di Jawa Timur.

Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat digoncang

oleh kubu Abu Hasan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu iklim hubungannya

dengan pemerintah sempat agak memanas. Tetapi justru ia bisa bersalaman

dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa ini sebagai “salaman politik”.

Dengan segala sepak terjangnya itulah benar-benar menjadi sosok kyai yang

mewarnai langit intelektual bebas di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur,

panggilan akarab KH. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di

panggung politik Indonesia.

Periode akhir kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, didukung

terutama kehidupan politik era reformasi, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei

1998. Abdurrahman Wahid telah bermain api di kancah politik nasional. Tidak

(40)

banyak pihak, apalagi yang mempunyai dukungan massa besar, untuk dilewatkan

begitu saja. Tanpa memperdulikan suara-suara sumbang, tiba-tiba Abdurrahman

Wahid membuat kejutan politik, dengan mendirikan partai bagi warga NU, yaitu

PKB. Hal ini dilakukan agar NU dapat secara langsung merasakan pahit manisnya

politik yang tidak manikmati secara berarti, serta tidak mau hanya berdiri di

pinggir jalan. Karena terbentur di Khittah ’26, maka diciptakanlah PKB. Dan,

tamsil yang pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid pada masa kampanye 1999,

bahwa ibarat ayam NU mengeluarkan “telur” dan ”kotoran” menunjukkan tingkat

proksimitas PKB dengan NU yang teramat tinggi.

Inilah yang membuat peserta Muktamar merekomendasikan PKB untuk

melakukan politik “pulang kandang.” Dengan kata lain, mereka mengamanatkan

PKB untuk mengajak para nahdliyin, yang secara politik berada dimana-mana,

untuk kembali ke “telur” NU. Karenanya, meskipun diawal pidato, Abdurrahman

Wahid sudah menyatakan keharusan untuk memisahkan NU dengan PKB, di

dalam pandangan jamaahnya antara NU dan PKB merupakan entitas yang tidak

bisa dipisahkan.47

Sampai pada klimaksnya meteor politik Abdurrahman Wahid mencorong

ketika dirinya resmi terpilih menjadi Presiden RI ke-4 di bawah mandat MPR.

Dengan wakil Megawati selaku rival dalam pemilihan langsung anggota MPR

tersebut yang berasal dari “partai wong cilik” (PDI-Perjuangan) yang memperoleh

jumlah suara pada urutan setelah Abdurrahman Wahid.

47

(41)

Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan

sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. "Tugas

saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU”.

Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode

kedua dalam kepemimpinan dalam NU.48

B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA

Pendidikan Abdurrahman Wahid mewakili Amalmagasi antar pendidikan

Islam tradisional dan pendidikan “barat” modern. Dilihat dari setting ini, akan

tampak salah satu dari hasil sintesis kedua pendidikan ini adalah perhatian yang

sangat kuat untuk reformasi pemikiran dan politik Islam, sesuatu yang harus

diperhatikan oleh modernisme Islam.

Untuk benar-benar memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid,

perlu dilihat kehadirannya sebagai representasi generasi pemikir Islam

Revolusioner di Indonesia. Greg Barton,49 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,50 memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Neo-Modernis, yang sangat

mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, utamanya

dalam menerima dan meng-afirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan

signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar komunal.51 Salah satu

48

Ummurisalah, “Gus Dur di Mata Mereka”, Aula, No. 11/Th.XVI/November 1994, hal.27.

49

Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195. 50

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Cet II, ( Bandung: Mizan, 1990), hal. 171-177.

51

(42)

ciri yang menandai pemikiran Neo-modernis adalah komitmennya pada pluralistik

dan nilai-nilai demokratik. Selain itu, nilai-nilai pluralistik ini telah dirajut di

dalam struktur Iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri.52

Berangkat dari pola pemikiran di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah

Abdurrahman Wahid menempatkan kepentingan nasional dengan kepentingan

agama (Islam)?. Bagi Abdurrahman Wahid, kepentingan Islam memang harus

diutamakan oleh umat Islam, sebab itu hak Umat Islam telah dijamin oleh

perundang-undangan. Tetapi permasalahannya, bagaimana kalau kepentingan

Islam itu justru merugikan pihak lain?. Hal demikian menurut Abdurrahman

Wahid harus dihindari, karena kepentingan nasional adalah Kepentingan Islam

juga, tujuan Islam adalah menciptakan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan

dalam al-Qur’an “ Tiadalah Ku utus engkau ( wahai Muhammad ), kecuali

sebagai pembawa Rahmat ( Kesejahteraan )”.

Sehingga kita bisa mengetahui mengapa Abdurrahman Wahid menolak

bergabung dengan ICMI. Menurut persepsinya, ICMI cenderung bersifat

eksklusif. Apalagi pada kenyataannya, ICMI lebih banyak bernuansa politis

daripada nuansa kecendekiawanan. Fenomena ICMI yang kita saksikan

tampaknya menjadi sarana “batu loncatan” oleh pihak-pihak tertentu untuk

meningkatkan karir politik, dan dengan ICMI negara bisa mengkooptasi atau

bahkan menjinakkan para cendekiawan muslim yang semula sangat kritis

terhadap negara.53

52

Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195 53

(43)

Kenyataan ICMI tersebut di atas bagi Abdurrahman Wahid dirasa kurang

sehat, terlalu banyak membela satu golongan saja (Islam) dan mengabaikan

golongan lainnya (non muslim). Hal demikian kurang baik untuk suatu negara

semacam Indonesia yang pluralistik serta memiliki komponen yang

beranekaragam.54 Ia menegaskan pendapatnya :

Bagi saya “masyarakat Islami” di Indonesia bertentangan dengan konstitusi, karena akan menempatkan non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum muslimin kuat, kuat yang berarti berfungsi secara baik. Saya pikir itulah yang terbaik. Karena itu, menjadi tugas NU-lah untuk menunjukkan alternatif visi dan kemasyarakatan yang toleransi.55

Dalam menghadapi kebangkitan politik Islam di Indonesia, Abdurrahman

Wahid berargumentasi:..

Jauh di lubuk hati saya, saya tidak tahu bahwa tidak mungkin bagi Indonesia diatur oleh satu pihak. Impian dan keyakinan saya bagi sebuah Indonesia yang modern adalah politik yang terbuka, dimana kegiatan politik adalah hal yang biasa dan tidak secara eksklusif berdasarkan agama dan ras. ... Bukankah, sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. kalau ini tidak dilakukan bukankah salah satu, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di Iran) atau meninggalkan demokrasi dengan meninggalkan Islam? Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa ini.

Abdurrahman Wahid melihat bahwa wadah untuk pendapatnya sebenarnya

sudah ada yaitu Pancasila. Baginya, di dalam Pancasila terdapat unsur toleransi

beragama, dan merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan

sebuah masyarakat demokratis di Indonesia. Pandangannya mengenai Pancasila

54

Gus Dur, “ ICMI Islam Masjid”, Aula, No. 11/Th.XIV/November 1994, hal.55. 55

(44)

sebagai basis nasionalisme bagi negara penting, karena beberapa muslim

memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan lslam.

Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering kali menunjukkan bahwa,

ayahnya Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945, juga sepakat

mendukung negara nasional non Islam.56 NU merupakan salah satu organisasi berbasis massa yang pertama kali mengakui keabsahan Orde Baru. Abdurrahman

Wahid berpendapat bahwa tidak ada keharusan dalam ajaran Islam untuk

membentuk negara Islam. Itulah sebabnya, ayahnya dan kepemimpinan NU bisa

dengan mudah menerima sebuah negara yang tidak secara eksplisit berdasarkan

Islam. Baginya Indonesia adalah sebuah negara konsensus dan kompromi ini

inhern dalam Pancasila.57

Abdurrahman Wahid seringkali menekankan keyakinan nasionalis NU

dengan menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila. Ia menjelaskan bahwa pada

tahun 1945 Soekarno meminta nasehat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang

diyakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila.58 Selain itu Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.

Islam bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak

secara formal berdasarkan pada Islam:

NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis sendiri

56

Dapat dilihat dalam pernyataan Wahid Hasyim pada tahun 1945 bahwa dengan “Persatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah, posisi Islam yang sehat bisa di jamin”, dikutip dari Harry J. Benda, The Crescent And The Rissing Sun, Indonesian Islam Under Japanese Occupation, (Den Hag: Van Houve Ltd, 1953). hal 189.

57

Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia, 8 Oktober 1998. 58

(45)

menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama.59

Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU

menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai

politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah

Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di

majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat”

yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah

sesuai dengan hukum Islam.

Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father

RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada

bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini.

Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk”

melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik

(etika sosial) bukan pemahaman Islam yang legal-formalistik. Baginya di

tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan

keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan

Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat

dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan.60

C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB

59

Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, hal.26. 60

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian untuk mengetahui perbandingan keefektifan/pengaruh metode kerja laboratorium dan demonstrasi terhadap seluruh variabel, data dianalisis secara multivariat dengan

Harsini, dr., Sp.P (K), selaku staf pengajar di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, penulis haturkan terima

Gardu induk adalah bagian dari suatu sistem tenaga yang dipusatkan pada.. suatu tempat berisi saluran transmisi dan distribusi, perlengkapan hubung

64 NOUN amphibian avalanche clearing ditch eeriness fierceness hermit jeopardy ledge mist predator prey remoteness scavenger .. VERJl jeopardize.. prey !on/upon)

Penyaluran bantuan modal Tahap II sebesar 30 % akan diberikan setelah kegiatan usaha berjalan dan telah mendapatkan rekomendasi dari mentor yang melakukan

Perbedaan umur yang sangat jauh dan status janda yang dimiliki oleh Khadijah, tidak menjadi halangan bagi mereka, karena pada saat itu suku Quraisy memiliki adat dan budaya yang

KEEMPAT : Segala biaya yang diperlukan sebagai akibat ditetapkanya Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai DPA pada Rumah Sakit Umum

Mekanisme kontrol serta audit Sistem Informasi dan audit Teknologi Informasi yang digunakan adalah audit kerangka kerja COBIT 5 dan ITIL V.3, dimana IT assurance ini