OLEH
KHURUM MAQSUROH H14104008
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah (dibimbing olehFIFI DIANA THAMRIN).
Transfer antar pemerintah adalah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap. Pemberian transfer dihadapkan pada suatu fenomena umum dalam menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah.
Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun demikian pemberian transfer berakibat pada ketidakefektifan dalam pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pemetaan kemampuan fiskal kabupaten/kota dengan adanya kebijakan desentralisasi dengan periode 1995 dan 2006. Selain itu juga untuk melihat respon kinerja keuangan terhadap alokasi transfer dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. Pemilihan lokasi dilakukan pada kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan sebagai bagian dari Provinsi yang memiliki struktur PAD yang kuat dan untuk melihat bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer.
Pada penelitian ini menggunakan metode kuadran dan Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) untuk melihat kinerja fiskal daerah tahun 1995 sebelum desentralisasi dan tahun 2006 pada masa pelaksanaan desentralisasi. Selain itu juga digunakan data panel yang meliputi wilayah kabupaten/kota Jawa Tengah pada tahun 1995-2006 untuk melihat respon kebijakan otonomi terhadap kinerja keuangan yang meliputi penerimaan PAD dan pengeluaran operasional (rutin) dan pengeluaran pembangunan (modal). Periode waktu yang digunakan tahun 1995-2000 pada masa sebelum pelaksanaan otonomi dan periode 2001-2006 yang menggambarkan kondisi perekonomian pada masa pelaksanaan otonomi enam tahun.
metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) menunjukkan bahwa Indeks kemampuan fiskal terhadap belanja modal menunjukkan posisi tertinggi setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Kota Semarang dan Kudus, sedangkan posisi terendah adalah Boyolali dan Kebumen.
Model panel data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Chow-test, LM–test, dan Hausman-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang lebih sesuai digunakan sebagai parameter estimasi adalahFixed Effect Model. Pengalokasian transfer pada kinerja keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah memberikan impuls yang tinggi pada upaya penggalian PAD. Respon ini menunjukkan bahwa pemberian transfer dapat mendorong daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Selain itu pemberian transfer berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran operasional dan modal pemerintah kabupaten/ kota Jawa Tengah yang ditunjukkan peningkatan pengeluaran pada kedua jenis pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap pengeluaran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer dari pemerintah atau disebut dengan adanya anomali pada kinerja PAD (flypaper efffec).
Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada penerimaan PAD adalah tarif pajak lokal, populasi, bagi hasil, dana alokasi, variabel lag dan dummy desentraliasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan faktor tarif pajak lokal memberikan signifikansi yang paling tinggi menunjukkan tidak adanya flypaper effectpada kinerja tarif pajak lokal terhadap penerimaan PAD. Dapat disimpulkan bahwa penerimaan PAD responsif terhadap penerimaan dari sumber potensi internal daerah yang ditandai dengan peningkatan potensi fiskalnya. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran operasional adalah dana alokasi, tarif pajak lokal, dan lag belanja operasional. Koefisien dana alokasi menunjukkan elastisitas paling tinggi daripada penerimaan daerah lainnya sehingga telah terjadi fenomena flypaper effect pada kinerja belanja operasionalnya yaitu terjadinya peningkatan terhadap belanja operasionalnya setiap terjadi peningkatan alokasi transfer dana alokasi. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran modal adalah bagi hasil, dana alokasi, tarif pajak lokal, populasi, dan variabel lag, serta dummydesentralisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemberian transfer terbukti dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik ditandai dengan terjadinyaflypaper effect pada kinerja pengeluaran modal dengan pemberian dana alokasi.
Oleh
KHURUM MAQSUROH H14104008
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Khurum Maqsuroh
Nomor Registrasi Pokok : H14104008 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi :Analisis Pemetaan Kinerja Fiskal dan Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Fifi Diana Thamrin, SP, MSi NIP. 132 321 453
Mengetahui
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2009
sebuah Kota Batik Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis anak ke enam dari 7 bersaudara. Pada tahun 1989 ayah penulis Penulis telah berpulang keRahmatullah sehingga penulis hanya dibesarkan oleh seorang ibu Nurhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Muhammadiyah Pekajangan III tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Muhammadiyah Pekajangan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMU Muhammadiyah Pekajangan I di Pekalongan dan lulus pada tahun 2004.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11
2.1. Tinjauan Teori ... 11
2.1.1. Desentralisasi Fiskal ... 11
2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 13
2.1.3. Transfer Keuangan ... 16
2.1.3.1. Transfer Pajak Kabupaten. ... 19
2.1.3.2. Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran ... 20
2.1.4. Teori Pengeluaran Pemerintah. ... 26
2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). ... 29
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31
2.2.1. Kajian Transfer Daerah ... 31
2.2.2. Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah ... 33
2.3. Kerangka Pemikiran ... 35
2.4. Hipotesis Penelitian ... 35
III. METODOLOGI PENELITIAN... 37
3.2. Metode Analisis ... 37
3.2.1. Metode Kuadran ... 37
3.2.2. Metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF)... 39
3.2.3. Pool Least Square ... 40
3.2.4. Pengujian Model ... 42
3.2.5. Uji Hipotesis ... 45
3.2.6. Evaluasi Model ... 46
IV. GAMBARAN UMUM KINERJA KEUANGAN JAWA TENGAH .. 50
4.1. Gambaran Administratif Jawa Tengah ... 50
4.2. Kemampuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah ... 50
4.3. Kinerja PAD Daerah di Jawa Tengah ... 51
4.4. Kinerja Transfer Daerah di Jawa Tengah ... 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54
5.1. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah ... 54
5.2. Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran ... 54
5.2.1. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 58
5.2.2. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Operasional Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 60
5.3. Metode Indeks ... 63
5.4. Analisis Panel Data ... 64
5.5. Hasil Uji Statistik ... 66
5.6. Hasil Estimasi Parameter Model PAD ... 68
5.7. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Operasional ... 71
5.8. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal ... 76
5.9. Nilai Koefisien Intersep Pengaruh Variabel Transfer dan lainnya terhadap terhadap Kinerja Keuangan Daerah Jawa Tengah ... 80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 85
6.1. Kesimpulan ... 85
6.2. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
OLEH
KHURUM MAQSUROH H14104008
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah (dibimbing olehFIFI DIANA THAMRIN).
Transfer antar pemerintah adalah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan otonomi dalam mengatasi fiscal gap. Pemberian transfer dihadapkan pada suatu fenomena umum dalam menunjang keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul dalam pembangunan antar daerah.
Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun demikian pemberian transfer berakibat pada ketidakefektifan dalam pembiayaan pengeluaran daerah. Fenomena tersebut dikenal dengan flypaper effect yang mengandung pengertian : (1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pemetaan kemampuan fiskal kabupaten/kota dengan adanya kebijakan desentralisasi dengan periode 1995 dan 2006. Selain itu juga untuk melihat respon kinerja keuangan terhadap alokasi transfer dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. Pemilihan lokasi dilakukan pada kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan sebagai bagian dari Provinsi yang memiliki struktur PAD yang kuat dan untuk melihat bagaimana kebijakan pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer.
Pada penelitian ini menggunakan metode kuadran dan Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) untuk melihat kinerja fiskal daerah tahun 1995 sebelum desentralisasi dan tahun 2006 pada masa pelaksanaan desentralisasi. Selain itu juga digunakan data panel yang meliputi wilayah kabupaten/kota Jawa Tengah pada tahun 1995-2006 untuk melihat respon kebijakan otonomi terhadap kinerja keuangan yang meliputi penerimaan PAD dan pengeluaran operasional (rutin) dan pengeluaran pembangunan (modal). Periode waktu yang digunakan tahun 1995-2000 pada masa sebelum pelaksanaan otonomi dan periode 2001-2006 yang menggambarkan kondisi perekonomian pada masa pelaksanaan otonomi enam tahun.
metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) menunjukkan bahwa Indeks kemampuan fiskal terhadap belanja modal menunjukkan posisi tertinggi setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Kota Semarang dan Kudus, sedangkan posisi terendah adalah Boyolali dan Kebumen.
Model panel data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Chow-test, LM–test, dan Hausman-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang lebih sesuai digunakan sebagai parameter estimasi adalahFixed Effect Model. Pengalokasian transfer pada kinerja keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah memberikan impuls yang tinggi pada upaya penggalian PAD. Respon ini menunjukkan bahwa pemberian transfer dapat mendorong daerah dalam menggali potensi fiskalnya. Selain itu pemberian transfer berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran operasional dan modal pemerintah kabupaten/ kota Jawa Tengah yang ditunjukkan peningkatan pengeluaran pada kedua jenis pengeluaran daerah. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap pengeluaran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer dari pemerintah atau disebut dengan adanya anomali pada kinerja PAD (flypaper efffec).
Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada penerimaan PAD adalah tarif pajak lokal, populasi, bagi hasil, dana alokasi, variabel lag dan dummy desentraliasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan faktor tarif pajak lokal memberikan signifikansi yang paling tinggi menunjukkan tidak adanya flypaper effectpada kinerja tarif pajak lokal terhadap penerimaan PAD. Dapat disimpulkan bahwa penerimaan PAD responsif terhadap penerimaan dari sumber potensi internal daerah yang ditandai dengan peningkatan potensi fiskalnya. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran operasional adalah dana alokasi, tarif pajak lokal, dan lag belanja operasional. Koefisien dana alokasi menunjukkan elastisitas paling tinggi daripada penerimaan daerah lainnya sehingga telah terjadi fenomena flypaper effect pada kinerja belanja operasionalnya yaitu terjadinya peningkatan terhadap belanja operasionalnya setiap terjadi peningkatan alokasi transfer dana alokasi. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh signifikan pada pengeluaran modal adalah bagi hasil, dana alokasi, tarif pajak lokal, populasi, dan variabel lag, serta dummydesentralisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemberian transfer terbukti dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik ditandai dengan terjadinyaflypaper effect pada kinerja pengeluaran modal dengan pemberian dana alokasi.
Oleh
KHURUM MAQSUROH H14104008
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Khurum Maqsuroh
Nomor Registrasi Pokok : H14104008 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi :Analisis Pemetaan Kinerja Fiskal dan Pengaruh Transfer terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Jawa Tengah
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Fifi Diana Thamrin, SP, MSi NIP. 132 321 453
Mengetahui
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2009
sebuah Kota Batik Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis anak ke enam dari 7 bersaudara. Pada tahun 1989 ayah penulis Penulis telah berpulang keRahmatullah sehingga penulis hanya dibesarkan oleh seorang ibu Nurhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Muhammadiyah Pekajangan III tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Muhammadiyah Pekajangan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMU Muhammadiyah Pekajangan I di Pekalongan dan lulus pada tahun 2004.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11
2.1. Tinjauan Teori ... 11
2.1.1. Desentralisasi Fiskal ... 11
2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 13
2.1.3. Transfer Keuangan ... 16
2.1.3.1. Transfer Pajak Kabupaten. ... 19
2.1.3.2. Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran ... 20
2.1.4. Teori Pengeluaran Pemerintah. ... 26
2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). ... 29
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31
2.2.1. Kajian Transfer Daerah ... 31
2.2.2. Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah ... 33
2.3. Kerangka Pemikiran ... 35
2.4. Hipotesis Penelitian ... 35
III. METODOLOGI PENELITIAN... 37
3.2. Metode Analisis ... 37
3.2.1. Metode Kuadran ... 37
3.2.2. Metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF)... 39
3.2.3. Pool Least Square ... 40
3.2.4. Pengujian Model ... 42
3.2.5. Uji Hipotesis ... 45
3.2.6. Evaluasi Model ... 46
IV. GAMBARAN UMUM KINERJA KEUANGAN JAWA TENGAH .. 50
4.1. Gambaran Administratif Jawa Tengah ... 50
4.2. Kemampuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah ... 50
4.3. Kinerja PAD Daerah di Jawa Tengah ... 51
4.4. Kinerja Transfer Daerah di Jawa Tengah ... 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54
5.1. Analisis Kemampuan Fiskal Daerah ... 54
5.2. Analisis Kemandirian Fiskal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran ... 54
5.2.1. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Modal Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 58
5.2.2. Analisis Kemandirian Fiskal terhadap Pengeluaran Operasional Daerah Jawa Tengah Metode Kuadran . ... 60
5.3. Metode Indeks ... 63
5.4. Analisis Panel Data ... 64
5.5. Hasil Uji Statistik ... 66
5.6. Hasil Estimasi Parameter Model PAD ... 68
5.7. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Operasional ... 71
5.8. Hasil Estimasi Parameter Model Pengeluaran Modal ... 76
5.9. Nilai Koefisien Intersep Pengaruh Variabel Transfer dan lainnya terhadap terhadap Kinerja Keuangan Daerah Jawa Tengah ... 80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 85
6.1. Kesimpulan ... 85
6.2. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Komponen Penerimaan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 1995-2006 ... 4
2.2. Alokasi Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi 20 3.1. Status Kemampuan Keuangan berdasarkan Metode Kuadran ... 39
5.1. Hasil Uji Chow-Test ... 65
5.2. Hasil Uji LM-Test ... 65
5.3. Hasil Uji Hausman-Test ... 66
5.4. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada PAD ... 68
5.5. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengeluaran Operasional ... 72
5.6. Hasil Estimasi Output Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengeluaran Modal ... 77
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Tarif Pajak Daerah (Kurva Laffer) ... 15
2.2. Transfer Tidak Bersyarat pada Perilaku Konsumen ... 23
2.3. Asimetri Informasi pada Keuangan Publik ... 24
2.4. Transfer Bersyarat pada Perilaku Konsumen ... 26
2.5. Pengeluaran Pemerintah padaKeynesian Cross ... 27
2.6. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 29
2.7. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional ... 32
4.1. Perkembangan PAD Provinsi Jawa Tengah ... 51
4.2. Perkembangan Kontribusi PAD terhadap Pengeluaran Total Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 52
4.3. Perkembangan Kontribusi Transfer terhadap Pengeluaran Total Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 53
5.1. Persentase Penerimaan Fiskal terhadap Pengeluaran Daerah Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 55
5.2. Pertumbuhan Komponen Pendapatan Fiskal Daerah Jawa Tengah Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 56
5.3. Perkembangan Elastisitas Fiskal terhadap Pertumbuhan
Perekonomian Tahun 1995 dan 2006 ... 57
5.4. Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 terhadap Pengeluaran Modal ... 59
5.5. Pemetaan Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 terhadap Pengeluaran Operasional ... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 91
2. Perkembangan Kinerja PAD Tahun 1995 dan 2006 ... 92
3. Perkembangan Kinerja Transfer terhadap pengeluaran daerah
Tahun 1995 dan 2006 ... 93
4. Realisasi Fiskal dan Pendapatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah
Tahun 1995 dan 2006 ... 94
5. Kontribusi Fiskal terhadap Pengeluaran Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 95
6. Elastisitas Fiskal Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 96
7. Penentuan Lokasi Kuadran Kabupaten/Kota Jawa Tengah ... 97
8. Hasil Perhitungan Indeks X IKF (Indeks Kapasitas Fiskal)
Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 98
9. Hasil Perhitungan IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 99
10. Hasil Peringkat IKF (Indeks Kapasitas Fiskal) Kabupaten/Kota
Jawa Tengah Tahun 1995 dan 2006 ... 100
11. Parameter Estimasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)... 101
12. Parameter Estimasi Pengeluaran Operasional (BO)... 103
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan mulai
berlakunya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berakibat pada perubahan
yang mendasar mengenai pengaturan hubungan antara pusat dan daerah,
khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama delapan tahun
dihadapkan pada fenomena semakin timpangnya tingkat pembangunan di wilayah
Indonesia. Daerah yang tertinggal akan semakin tertinggal dalam pembangunan
karena ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Selain itu,
juga disebabkan ketidakmampuan daerah dalam menggali potensi fiskal dari pajak
dan retribusi daerah yang potensial sebagai sumber PAD, sehingga berakibat pada
perbedaan dalam penerimaan maupun pengeluaran antar daerah.
Transfer antar pemerintah sebagai bentuk dari kebijakan pelaksanaan
otonomi dalam mengatasi fiscal gap merupakan salah satu sumber penerimaan
penting pemerintah daerah. Pemberian transfer diharapkan dapat menunjang
keberhasilan pembangunan daerah yaitu terjadinya peningkatan pengeluaran
daerah sejalan dengan meningkatnya dana transfer dari pemerintah. Tujuan utama
dari pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal
Pemberian transfer pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer,
yaitu dengan peningkatan upaya pemerintah daerah dalam penggalian
sumber-sumber pembiayaan daerah terutama dari fiskal daerah. Namun, pemberian
transfer juga mengakibatkan ketidakefektifan pembiayaan pengeluaran daerah.
Fenomena tersebut dikenal denganflypaper effect yang mengandung pengertian :
(1) terjadinya peningkatan pajak dan anggaran belanja pemerintah yang
berlebihan, (2) elastisitas pengeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada
elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.
Peningkatan kapasitas fiskal daerah sebagai bentuk upaya pemerintah
daerah dengan menggali sumber-sumber PAD merupakan faktor yang sangat
penting dalam menunjang efektivitas transfer pemerintah pusat kepada daerah.
Oleh karena itu, pemberian transfer seharusnya disikapi pemerintahan daerah
dengan upaya memacu pembangunan yang berkesinambungan dalam menciptakan
kemandirian daerah dengan meningkatkan kapasitas fiskal daerah.
Peningkatan kapasitas fiskal daerah perlu diikuti dengan pemberian
inisiasi dari pemerintah dalam pengoptimalannya melalui kebijakan dan peraturan
yang menguntungkan banyak pihak. Undang-Undang No. 25 tahun 1999 PAD
mencerminkan kemampuan daerah dalam memperoleh pendapatan yang berasal
dari daerah sendiri, sedangkan Dana Perimbangan merupakan transfer pemerintah
pusat kepada daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah
Perubahan pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam pengalokasian transfer seharusnya dapat memberi impuls kepada
daerah dalam meningkatkan upaya pemerintah daerah dalam menggali
sumber-sumber keuangan yang potensial bagi keberlangsungan pembangunan daerah.
Namun, setelah delapan tahun pelaksanaan otonomi menunjukkan semakin
tingginya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, terutama pada
daerah di luar Pulau Jawa.
Jawa Tengah memiliki kapasitas fiskal yang kuat (> 50 persen) dan
memiliki kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah sudah sangat baik (Tabel
1.1). Sebelum desentralisasi fiskal, PAD Jawa Tengah mengalami peningkatan
sebesar 28,61 persen dengan tingkat kontribusi 30,81 persen pertahun menjadi
59,50 persen pertahun. Penerimaan PAD mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, kecuali pada tahun 1998 sebesar Rp 238.875 juta disebabkan krisis
ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang berdampak pula pada tingkat
penerimaan PAD. Tingginya kontribusi pertumbuhan PAD mengindikasikan
tingginya kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri.
Pertumbuhan penerimaan merupakan hal yang sangat penting dalam
pendapatan suatu daerah sehingga dapat meningkatkan pembangunan pelayanan
fasilitas publik. Pertumbuhan rata-rata dari PAD pada tahun 1995-2006 di Jawa
Tengah sebesar 25,60 persen, dengan tingkat pertumbuhan tertinggi pada awal
pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu tahun 2001 sebesar 75,23 persen (Tabel
1.1). Pada Tabel 1.1 juga terlihat bahwa tingkat pertumbuhan penerimaan pada
dikarenakan terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang turut
berdampak pada kinerja keuangan daerah. Pada tabel terlihat bahwa pelaksanaan
desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap kinerja PAD Jawa
Tengah yang ditandai dengan meningkatnya secara rata-rata kemampuan daerah
dalam membiayai anggaran daerah dari sumber PAD dengan tingkat kontribusi
rata-rata 59,50 persen pada masa enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Tabel 1.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Komponen Penerimaan Provinsi Jawa Tengah 1995-2006
1995 1.324.981 280.650 21,18 998.314 75,35
1996 1.500.398 328.963 21,93 17,21 1.106.995 73,78 10,89
1997 1.483.189 363.054 24,48 10,36 1.079.877 72,81 -2,45
1998 636.869 238.875 37,51 -34,20 366.261 57,51 -66,08
1999 886.311 318.567 35,94 33,36 372.926 42,08 1,82
2000 1.081.632 474.210 43.84 48,86 523.969 48.44 40,50
Rata-rata 30,81 15,12 61,66 -3,06
DESENTRALISASI
2001 1.934.153 830.974 42,96 75,23 875.304 45,26 67,05 2002 2.580.967 1.242.177 48,13 49,48 717.961 27,82 -17,98 2003 2.432.830 1.447.420 59,50 16,52 895.408 36,81 24,72 2004 2.883.600 1.865.390 64,69 28,88 789.077 27,36 -11,88 2005 3.526.840 2.490.640 70,62 33,52 807.133 22,89 2,29 2006 3.587.190 2.549.720 71,08 2,37 808.406 22,54 0,16
Rata-rata 59,50 25,60 30,45 4,46
Sumber : Departemen Keuangan, 2008 (diolah)
Keterangan :
TR = Total Penerimaan Daerah (Juta Rupiah) PAD = Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah) Daper = Dana Perimbangan (Juta Rupiah)
Growth = Pertumbuhan Komponen Penerimaan(Juta Rupiah) Kontribusi = Alokasi Penerimaan terhadap Total penerimaan Daerah (Juta Rupiah)
Dana perimbangan sebagai komponen penerimaan daerah juga berperan
penting dalam peningkatan PAD dan pembiayaan pembangunan daerah. Dana
sebesar 61,66 persen pertahun sebelum desentralisasi fiskal dan 30,45 persen
pertahun pada masa enam tahun pelaksanaan desentralisasi, atau mengalami
penurunan sebesar 31,21 persen. Penurunan dana perimbangan yang disertai
dengan peningkatan PAD mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan
daerah dalam membiayai pembangunan daerah.
Pertumbuhan dana perimbangan Jawa Tengah mengalami penurunan yang
sangat tinggi pada tahun 1998 yaitu sebesar -66,08 persen sebagai dampak dari
terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi berakibat pada melemahnya kinerja
keuangan sehingga terjadi penurunan dalam pengalokasian dana perimbangan
yang bersumber dari penerimaan dari Bagi Hasil (Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak) dan Dana Alokasi.
Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin
banyaknya kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah disertai
pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumentasi (P3D) dalam jumlah
besar. Namun, hal tersebut disikapi dalam bentuk penggalian sebesar-besarnya
PAD yang berupa peningkatan tarif pajak yang besar sehingga terjadi
ketidakefektifan dalam pembangunan, yaitu menghambat minat investor dalam
menanamkan modalnya karena tidak adanya alokasi dana yang menguntungkan.
Hal tersebut juga akan berdampak pada masalah pengangguran dan kemiskinan.
Penggalian PAD melalui pajak dan retribusi daerah perlu ditingkatkan
dengan mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya, sehingga tidak perlu dengan
meningkatan tarifnya. Dari sektor pajak dan retribusi inilah diharapkan akan
PAD yang kuat dapat dijadikan sebagai tolak ukur utama suksesnya pelaksanaan
kebijakan desentralisasi fiskal di dalam mendukung terciptanya suatu kemandirian
daerah.
1.2. Perumusan Masalah
Salah satu tujuan utama dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah
menjadikan daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan pembangunan pemerintah
maupun pembangunan daerahnya melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya
sendiri yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan pengelolaan
sumber-sumber potensialnya. Pencapaian peningkatan pembangunan melalui kemandirian
harus sesuai dengan asas money follows function, yaitu penyerahan kewenangan
daerah diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya
masih dikuasai oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru kepada daerah
masing-masing di era desentralisasi fiskal (Waluyo, 2007).
Desentralisasi merupakan peluang bagi daerah dalam peningkatan
pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah yang ditandai dengan adanya
penyerahan sumber-sumber pembiayaan. Dengan adanya desentralisasi fiskal
berupa pemberian transfer yang telah berjalan delapan tahun, diharapkan daerah
dapat meningkatkan potensi fiskal yang dapat mewujudkan kemandirian daerah.
Permasalahan mendasar dari pemberian alokasi transfer kepada daerah adalah
menjadikan daerah semakin bergantung pada penerimaan alokasi transfer dan
kurang memperhatikan upaya penggalian sumber pendapatan dari pajak lokal
Realisasi yang ada pada pembangunan daerah pada saat ini menunjukkan
hanya beberapa daerah yang memiliki struktur PAD yang kuat (> 50 persen) yaitu
hanya pada daerah yang terletak di Pulau Jawa yang secara historis memang
sudah kuat sejak lama. Jawa tengah sebagai bagian dari wilayah dari Pulau Jawa
dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi memiliki struktur PAD yang
standar kuat dalam kontribusi penerimaan daerah. Pelaksanaan otonomi disikapi
dengan peningkatan penerimaan yang cukup signifikan dan turut berpengaruh
pada peningkatan pengeluaran daerah. Transfer pemerintah dalam bentuk dana
perimbangan dapat dijadikan komplemen dalam upaya peningkatan pembangunan
melalui peningkatan fasilitas pelayanan publik.
Pelaksanaan transfer pemerintah berdasarkan hasil studi awal World
Bank-Bappenas 2000 dalam Kuncoro (2007) menunjukkan terdapat sejumlah
permasalahan kebijakan pembiayaan sektor publik yang secara potensial
memberikan dampak negatif dalam jangka panjang. Pertama, pemda terlalu
bergantung kepada dana transfer dari pemerintah dalam bentuk Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua, peningkatan penerimaan
melalui PAD yang diintensifkan dengan menambah jumlah biaya dan ragamnya,
baik berupa pajak lokal, maupun potongan dan retribusi yang lebih banyak
menimbulkan ketidakpuasan publik. Fenomena ini dalam pembangunan kinerja
keuangan dikenal dengan Flypaper effect. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana respon dari kinerja keuangan Jawa tengah dalam
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi pemetaan kinerja fiskal periode 1995 dan 2006 di
kabupaten/kota Jawa Tengah ?
2. Apakah ada keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya
penggalian PAD dan pengaruhnya terhadap pengeluaran operasional dan
pengeluaran modal dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi pada
kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota Jawa Tengah periode
1995-2006?
3. Apakah ada fenomena Flypaper Effect pada kinerja keuangan daerah dalam
menyikapi perubahan transfer pada alokasi realisasi anggaran daerah periode
1995-2006?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Menganalisis kondisi pemetaan kinerja fiskal periode 1995 dan 2006
2. Menganalisis keterkaitan langsung antara penerimaan transfer dengan upaya
pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber PAD dan respon belanja
daerah dalam kerangka kebijakan desentralisasi.
3. Menganalisis fenomenaFlypaper Effect pada kinerja keuangan pemerintah
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian, secara umum penelitian
peranan transfer dalam pembangunan kabupaten/kota Jawa Tengah bermanfaat:
1. Bagi pemerintah, kajian pengaruh transfer terhadap kinerja keuangan daerah
pada era otonomi dapat dijadikan bahan evaluasi dalam proses pengembangan
kawasan secara berkelanjutan dengan menggali sumber-sumber PAD lainnya
yang potensial. Selain itu juga dapat memberikan gambaran umum pengaruh
transfer dan PAD terhadap kapasitas pengeluaran Kabupaten dan Kota di Jawa
Tengah dalam memenuhi kepentingan pembangunan publik.
2. Bagi para pengusaha atau investor, penelitian ini dapat memberikan gambaran
kuantitatif tentang peluang penanaman modal pada kabupaten/kota Jawa
Tengah dengan memberikan acuan tentang kondisi keuangan daerah.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Tengah
dengan pertimbangan bahwa kawasan Jawa Tengah memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan memiliki posisi yang stategis, yaitu
dekat dengan pusat pemerintahan negara dan terletak antara Provinsi Jawa Barat
dan Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan panel data (pooled data) yang
meliputi 29 Kabupaten dan 6 Kota di Jawa Tengah selama periode 1995-2006
yang meliputi realisasi APBD dan PDRB.
Fokus penelitian ini adalah pada alokasi transfer dan pengaruhnya
pengeluaran daerah dan upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan
kemandiriannya yang tercermin dari peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah),
sehingga tercipta struktur PAD yang kuat. Batasan penelitian ini ditujukan untuk
mengevaluasi dari kebijakan otonomi daerah dari sisi keefektifan transfer
pemerintah dalam peningkatan kinerja keuangan daerah yang tercermin dari
struktur PAD dan pengeluaran daerahnya, selain itu agar tercipta pembangunan
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Desentralisasi Fiskal
Salah satu fenomena pembangunan negara berkembang adalah
pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai upaya memacu peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya, sehingga pemerintah daerah memiliki keleluasaan
wewenang dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran berdasar kebutuhan
daerahnya. Kebijaksanaan fiskal memiliki makna adanya unsur kebijaksanaan
pemerintah daerah dalam bidang pengeluaran dan pendapatan masyarakat dengan
tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sukirno, 1985).
Menurut UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang dimaksud
dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu, memilki wewenang dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Secara teoritik ada empat fungsi ekonomi yang harus diperankan
pemerintah daerah dalam merespon kebijakan otonomi:
(1) Fungsi Alokasi. Melalui fungsi ini diharapkan pemda dapat merespon
kegagalan pasar, terutama untuk mengantisipasi terjadinya kompetisi yang
(2) Fungsi Distributif. Fungsi ini disebut juga fungsi pemerataan. Melalui
fungsi ini pemerintah daerah melalui kebijakan penerimaan dan kebijakan
belanja daerah harus dapat memberikan pelayanan lebih kepada kelompok
masyarakat miskin. Misalnya dengan menerapkan kebijakan penerimaan
dari sektor pajak, terutama untuk kelompok masyarakat menengah keatas
dalam bentuk pajak progresif dan pemungutan retribusi yang disesuaikan
dengan pemakaian jasa.
(3) Fungsi Pengaturan. Fungsi ini berarti pemerintah daerah harus dapat
membuat kebijakan yang menjamin semua kelompok dalam masyarakat
untuk dapat memperoleh pelayanan dengan standar yang sama dan membuat
perencanaan kota yang dapat memberikan keuntungan kepada kelompok
masyarakat miskin, misalnya dengan membuat tempat-tempat penampungan
bagi para PKL (semacam jalur hijau yang dapat digunakan PKL tanpa
ancaman penertiban).
(4)Fungsi Stabilisasi. Fungsi ini dijalankan pemda untuk menghindari
terjadinya benturan dengan kebijakan ekonomi daerah lain, misalnya
menciptakan kondisi yang dapat merangsang pertumbuhan sektor industri
kecil.
Beberapa kriteria dasar dalam menentukan jenis dan besaran sumber
pendapatan (pajak dan retribusi) serta pos belanja (kegiatan-kegiatan yang
didanai), yaitu: (1) menfasilitasi dan memacu pertumbuhan ekonomi; (2)
meningkatkan dan menjamin pemerataan pembangunan; (3) memberdayakan
kepada masyarakat. Hal tersebut dapat tercapai apabila terdapat upaya dari pemda
dalam pengalokasian dana pada pengeluaran sektor-sektor pelayanan publik yang
dapat mendukung kinerja produktivitas masyarakat.
Pada sistem pemerintahan desentralisasi peranan pemerintah daerah mulai
terlihat dalam menjalankan pemerintahan dan pengelolaan anggaran daerah.
Sistem desentralisasi diwujudkan dalam bentuk penyerahan kewenangan
pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, pemungutan pajak (taxing
power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.
2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pendapatan yang terbesar
dibandingkan dengan pendapatan lainnya yang berasal dari pajak, retribusi, bagian
laba perusahaan daerah dan Pendapatan Asli Daerah lainnya.
PAD terdiri dari :
1) Hasil Pajak daerah
Pajak daerah adalah pungutan dari masyarakat oleh pemerintah daerah
berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh
yang wajib membayarnya dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Marihot
(2006), berdasarkan lembaga pemungutnya pajak dibedakan 2, yaitu: (1) pajak
pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan pusat dengan
undang-undang dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat
daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pengeluaran daerah.
Penentuan tarif pajak optimal akan memaksimalkan penghasilan
pemerintah dapat ditunjukkan dengan kurva Leffer (Joseph dan David, 2000).
Dasar konsep yang digunakan adalah ada nya keyakinan bahwa ada suatu titik
yang akan memaksimalkan penghasilan pemerintah. Pada gambar 1.2
menunjukkan bahwa peningkatan tarif pajak dari 0 ke T1, maka pendapatan pajak
pemerintah juga akan mengalami peningkatan. Akan tetapi jika diatas T1, maka
merupakan peningkatan pajak yang kontra produktif. Efek disinsentif dari
peningkatan pajak akan mengurangi pajak dasar (misal pengurangan jam-jam
kerja atau terjadi pengurangan permintaan tenaga kerja), sehingga meskipun
jumlah pendapatan dalam pajak mengalami peningkatan, tetapi ada sejumlah
pendapatan yang menurun lebih cepat dan akan berakibat penerimaan pajak lebih
sedikit. Dengan kata lain, jika tarif pajak berada diatas T1, maka hal ini akan
dibiayai pemerintah dengan mengurangi pendapatan pajaknya.
Kurva GG’ menggambarkan laju pertumbuhan GDP pertahun pada tarif
pajak yang berbeda-beda. Puncak kurva diasumsikan terletak pada G1.
Peningkatan tarif pajak dibawah G’ diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi, dengan ketentuan sektor publik dibiayai dari perolehan pajak,
contohnya adalah pada proyek pembangunan jalan dan pembelaan hukum. Hal ini
akan mendorong terjadinya peningkatan investasi swasta karena peningkatan
jaminan dalam berproduksi di suatu daerah. Akan tetapi apabila tarif pajak berada
yang memaksimalkan jumlah pendapatan bagi pemerintah mungkin tidak akan
sama dengan yang memaksimalkan pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah
dapat dihadapkan pada dilema antara memaksimalkan pendapatan dan
memaksimalkan pertumbuhan ekonominya.
Tarif Pajak 100% T’ G’ T1 G1 G T
Pertumbuhan GDP 0 Total Penerimaan Pajak Keterangan :
T = Tarif pajak awal G = Pertumbuhan GDP awal T’ = Tarif pajak 100% G’ = Pertumbuhan pada tarif pajak T1 = Peningkatan tarif pajak ke-1
Sumber : Joseph dan David (2000)
Gambar 2.1. Tarif Pajak Daerah (Kurva Laffer)
2) Hasil retribusi daerah.
Retribusi daerah adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada
pemerintah daerah karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh pemerintah
daerah kepada penduduk secara perseorangan atau badan dengan balas jasa
diberikan secara langsung. Jasa yang diberikan pemerintah adalah usaha dan
pelayanan yang dapat berupa barang, fasilitas, atau bentuk lainnya dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan usaha.
3) Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
LLPYS adalah sumber penerimaan daerah yang berasal dari pinjaman
daerah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. LLPYS memiliki
kontribusi kecil terhadap penerimaan daerah karena tidak semua daerah
melakukan pinjaman dalam anggaran daerahnya.
2.1.3. Transfer Keuangan
Transfer keuangan adalah bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah dalam bentuk suatu kebijakan pemerintah untuk
membantu kinerja keuangan daerah dalam mengatasi disparitas dalam
pembangunan. Transfer yang diberikan kepada daerah dalam bentuk dana
perimbangan yaitu melalui pemberian dana bagi hasil yang mencakup bagi hasil
pajak dan bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi yang meliputi Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana alokasi yang diberikan
kepada daerah sebelum dentralisasi dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres) dan
Subsidi Daerah Otonom (SDO).
Dalam UU No.32/2004 berisi pengaturan tentang pelaksanaan
kewenangan Pemerintah daerah, Pemerintah pusat dalam memberikan transfer
Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak
dan sumber daya alam. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan
kepada Pemerintah daerah. Penggunaan dana transfer diharapkan digunakan
pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana transfer harus
secara transparan dan akuntabel agar tepat sasaran.
Yulianti (2002), dana perimbangan sebagai bentuk penerimaan daerah
dalam wilayah sendiri. Dana perimbangan sebagai pendukung pelaksanaan
otonomi daerah memiliki peranan dalam : (1) memacu pembangunan daerah, (2)
meningkatkan pertumbuhan antar daerah, (3) pembagian dana yang rasional dan
adil kepada daerah penghasil, (4) meningkatkan pemerataan pembangunan, (5)
mengurangi kesenjangan sosial antar daerah, (6) memberikan kepastian keuangan
daerah yang berasal dari daerah yang bersangkutan, (7) meminimalkan tuntutan
daerah, (8) meningkatkan respon pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, (9)
dan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Pengaturan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
dalam pasal 6 Undang-undang No.25 tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari:
1. Bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan, bea peralihan hak atas tanah dan
bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam (transfer pajak
kabupaten/kota) dalam bentuk dana bagi hasil (bagi hasil pajak dan bagi hasil
bukan pajak).
2. Dana Alokasi Umum (DAU).
Pemberian DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara
pusat dan daerah dengan pengalokasian sebagian keuangan pusat kepada daerah
untuk mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horisontal
antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini dikarenakan tidak semua
Konsep dasar formulasi DAU sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 25
tahun 1999 berdasarkanfiscal gap. Konsep fiscal gap merupakan selisih negatif
antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dan kebutuhan yang ditutup
melalui transfer Pemerintah Pusat. Berdasarkan konsepfiscal gap dimana daerah
yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya,
maka DAU yang dialokasikan tidak terlalu besar. Sebaliknya daerah yang
memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya,
membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar tetap dapat menyediakan
pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal mencerminkan suatu
daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan
pemerintahan maupun pembangunan daerah.
Penentuan DAU didasarkan pada komponen populasi, densitas, IHK
(Indeks Harga Konsumen), IHB (Indeks Harga Bangunan). DAU memiliki sifat
fleksibel dalam alokasi penggunaan dan jumlahnya dapat diprediksi.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi khusus adalah transfer dari pemerintah pusat kepada daerah
untuk membiayai proyek pembangunan yang dianggap penting oleh pemerintah
pusat. Penentuan DAK tidak didasarkan suatu formula seperti dalam penentuan
DAU. DAK memiliki sifat terikat yaitu penggunaannya harus berdasar ketentuan
pemerintah pusat dalam proyek pembangunan. DAK memiliki peran penting bagi
pemmbangunan dalam pembiayaan yang secara khusus tidak dapat dibiayai
2.1.3.1. Transfer Pajak Kabupaten
Menurut ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000, minimum dari 10
persen dari hasil penerimaan pajak kabupaten/kota dialokasikan untuk
kepentingan desa. Pengaturannya didasarkan pada aspek pemerataan dan potensi
yang dimiliki oleh desa- desa yang bersangkutan.
Undang-undang No.25 tahun 1999 mengatur tentang pelaksanaan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengaloksian
dana bagi hasil (Tabel 2.2). Pada tabel menunjukkan adanya perubahan alokasi
dana bagi hasil sebelum dan sesudah desentralisasi, yaitu pengalokasian dana
perimbangan telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil
hutan (IHH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), royalti dan landrent sumber
daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya migas. Selain itu dalam
undang-undang desentralisasi menunjukkan adanya peningkatan beberapa pos
penerimaan daerah bagi daerah penghasil. Perubahan pengalokasian dana
perimbangan dapat mengimpuls daerah penghasil dalam meningkatkan kinerja
daerah untuk mengelola sumber daya alamnya secara optimal, sehingga daerah
dapat lebih mandiri dalam mengatur sumber pendapatan daerahnya sendiri.
Penetapan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan
kekayaan wilayah ini dapat memacu daerah dalam mencari sumber-sumber
potensial dari kekayaan yang ada di daerahnya. Daerah yang kreatif semakin
dapat bersaing dengan daerah lainnya, sebaliknya daerah yang tidak kreatif akan
ketergantungan yang tinggi pada pusat dengan adanya transfer pemerintah dalam
bentuk DAU (Dana Alokasi Umum).
Tabel 2.2. Alokasi Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal
Penerimaan Daerah
1) Pajak bumi dan bangunan (PBB). 2) Bea perolehan atas tanah dan bangunan
(BPHTB).
3) Pajak penghasilan (PPh). 4) SDA kehutanan : • Iuran hasil hutan (IHH).
• Provisi sumber daya hutan (PSDH). 5) SDA Pertambangan umum:
• Royalti 3,3% dari 13,5% (batubara +emas)
• Landrent (iuran tetap)
• Pungutan pengusaha perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP).
III. DAK Dialokasikan Sesuai Kebutuhan
Sumber : Tambunan (2001)
2.1.3.2. Alokasi Transfer terhadap Kesejahteraan Publik dengan Kurva Anggaran
Oates dalam Kuncoro (2007), pemberian transfer yang lebih tinggi pada
dasarnya akan menurunkan biaya rata-rata penyediaan barang/jasa publik, tetapi
biaya marginalnya tidak mengalami penurunan. Penurunan biaya rata-rata tidak
tidak bisa membedakan penurunan biaya yang terjadi antara biaya rata-rata atau
biaya marginalnya.
Pembangunan pemerintah tidak akan berjalan tanpa adanya interaksi
dengan wilayah sekitarnya dalam penyediaan fasilitas publik. Secara umum
penyediaan fasilitas pelayanan publik dapat memberikan efek eksternalitas kepada
wilayah lainnya, dalam arti tidak dibatasi pelayanan publik hanya untuk golongan
masyarakat tertentu, misal perguruan tinggi seluruh pihak dapat memanfaatkan.
Apabila tidak ada balas jasa yang menguntungkan maka pemerintah daerah tidak
berminat untuk berinvestasi. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan pada upaya
pemerintah dapat lebih optimal dalam pembangunan dalam menciptakan sumber
investasi yang potensial bagi fiskal daerahnya.
Jenis-jenis Transfer Pusat
Transfer pemerintah pusat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Transfer tidak bersyarat (unconditional grant, general purpose grant, block
grant).
2. Transfer dengan syarat (conditional grant, categorical grant, specific purpose
grant).
1. Transfer Tidak Bersyarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant)
Transfer tidak bersyarat dapat dijelaskan melalui pendekatan teori perilaku
konsumen. Transfer ini memiliki tujuan terjadinya peningkatan pembangunan
daerah yang tercermin dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui
Pengaruh transfer pada kinerja fiskal pemerintah daerah dapat dijelaskan
dari teori perilaku konsumen. Wilde (1968) dalam Haryo (2007) mempelopori
analisis transfer ke dalam bentuk kendala anggaran dan kurva indiferensi. Analisis
Wilde pada Gambar 2.2 menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan
barang publik. Perilaku individu seperti masyarakat yang mempunyai preferensi
seperti ditunjukkan oleh kurva indiferensi (U0, U1, U2) dengan kendala anggaran
(garis Z dan Z+G (grant)). Masyarakat dianggap berperilaku rasional yang
memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya.
Efek dalam bantuan tidak bersyarat (unconditional grants), transfer sebesar
G memberikan kenaikan garis anggaran dari Z ke (Z+G) pada Gambar 2.2
Gorodnichenko (2001), barang publik diasumsikan sebagai barang normal.
Asumsi yang digunakan adalah transfer yang bersifat umum (lump-sum) akan
menggeser keseimbangan konsumen dari titik E0 ke EM. Pada posisi
keseimbangan yang baru akan merubah konsumsi barang publik dan barang privat
masing-masing menjadi sebesar Y1dan X1.
Transfer tidak bersyarat memiliki sifat apabila ada tekanan fiskal pada
basis pajak lokal akan menurun yang kemudian menyebabkan penerimaan pajak
juga mengalami penurunan yaitu sebesar TR1, selain itu pengeluaran konsumsi
barang publik tetap meningkat. Hal ini berarti transfer akan mengurangi beban
pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu menaikkan pajak untuk
membiayai penyediaan barang publik. Oleh karena itu dalam konsep ini dapat
publik tidak akan berbeda sebagai akibat dari penurunan pajak daerah atau
kenaikan transfer.
Bantuan tidak bersyarat pada Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya anomali
(Gramlich dalam Kuncoro, 2007) yaitu adanya keseimbangan masyarakat setelah
menerima transfer berada pada titik EFPyang menunjukkan kenaikan penerimaan
pajak daerah (TR2) dan juga kenaikan konsumsi barang publik (dari Y1menjadi
Y2). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transfer akan meningkatkan
pengeluaran konsumsi barang publik, tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak
daerah. Fenomena tersebut di dalam literatur disebut sebagaiflypaper effect.
X2
0 Y0 Y1 Y2 Z Z+ GRANT
Sumber : Alderete (2001)
Gambar 2.2. Transfer Tidak Bersyarat pada Perilaku Konsumen
Jackson (1993), Flypaper effect merupakan respon pemerintah daerah
dalam meyikapi alokasi anggaran dari pemerintah pusat dengan meningkatkan
tingkat pengeluaran lebih besar, ataupun pemberian impuls dengan pemotongan
tingkat pajak suatu daerah. Namun apabila tingkat penerimaan lebih besar lagi EM
E0
EFP TR1
TR2 X1
X0
U1 U2
U0
Barang Privat (X)
maka akan berakibat pada tingginya ketergantungan daerah semakin besar
sehinggaflypaper effect tidak lagi berlaku.
Xi
c
a
X2 e2
X3 e3 X1 e1
h
f
g1 g2 g3 b d
Sumber : Jackson (2003)
Gambar 2.3. Asimetri Informasi pada Keuangan Publik
Permasalahan dalam model flypaper Eeffect pada gambar 2.3 adalah
pemberian transfer tanpa syarat akan meningkatkan anggaran menjadi af dari
keseimbangan awal (ab) dan total transfer yang diterima menjadi e3h (ac). Secara
teori flypaper effect memprediksikan bahwa setiap matching grant akan
menstimulasi peningkatan yang sama pada pengeluaran barang publik yang
digambarkan oleh slope dari transfer. Prediksi ini tidak didukung kenyataan yang
terjadi, bahwa meningkatnya transfer pada kenyataannya berakibat pada
peningkatan pengeluaran barang publik yang lebih besar dari slope anggaran yang
2. Transfer Bersyarat
Transfer bersyarat akan mempengaruhi konsumsi masyarakat sehingga
dapat dijelaskan melalui teori perilaku konsumen. Pada Gambar 2.4
menghubungkan pengeluaran konsumsi barang privat dan barang publik dengan
preferensi ditunjukkan kurva indeferensi (U0, U1, U2) dengan kendala anggaran
garis Z dan Z+G (Grant). Diasumsikan masyarakat berperilaku rasional yang akan
memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Pemberian transfer
bersyarat Indonesia dalam bentuk DAK (Dana Alokasi Khusus).
Transfer bersyarat (conditional grants) berpengaruh pada konsumsi barang
privat melalui efek harga. Bantuan bersyarat, misalnya transfer penyeimbang tidak
terbatas (open-ended matching grants), akan menurunkan harga barang publik.
Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan subsidi untuk setiap unit barang
publik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4 bantuan bersyarat berasosiasi
dengan pergeseran garis anggaran bergeser ke kanan sehingga garis anggaran
yang baru lebih datar. Hal tersebut berakibat pada peningkatan konsumsi barang
publik dari Y0menjadi sebesar Y1
Pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang privat tergantung pada
sensivitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan
konsumsi barang privat apabila pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak.
Sebelum ada penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat adalah sebesar X1.
Setelah penurunan tarif pajak, konsumsi barang privat meningkat menjadi sebesar
konsumsi barang publik dan sebagian lagi pada konsumsi barang privat secara
tidak langsung melalui penurunan tarif pajak.
Barang Privat (X)
X2 EFP - TR X1 EM
X0 E0 U2 U1 U0
Barang Publik (Z) 0 Y0 Y2 Y1 Z Z’ Z+Grant
Sumber : Alderete (2001)
Gambar 2.4. Transfer Bersyarat pada Perilaku Konsumen
2.1.4. Teori Pengeluaran Pemerintah
Teori pengeluaran pemerintah dapat diterangkan melalui Keynesian cross,
yaitu hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi secara
teori digambarkan dalam Gambar 2.5 ( Mankiw, 2003). Pada grafik dapat dilihat
peningkatan pengeluaran pemerintah berdampak pada kenaikan pertumbuhan
ekonomi yang diukur melalui pendapatan dan tingkat output peningkatan besar
pengeluaran pemerintah daerah akan menggeser keseimbangan dari titik A ke titik
B yang berarti terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi (Y).
Kebijakan pelaksanaan desentralisasi akan mengalami perubahan melalui
alokasi perubahan kinerja pengeluaran daerah. Perubahan pelaksanaan
pengelolaan anggaran akan mendorong perubahan pada kinerja fiskal yang akan
ikut berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian daerah.
Pengeluaran Pemerintah Actual Expenditure
Planned Expenditure 2 E2=Y2 B Planned Expenditure 1
A E1=Y1
0 E1= Y1 E2=Y2 Income, Output, Y
Sumber : Mankiw (2003)
Gambar 2.5. Pengeluaran Pemerintah padaKeynesian Cross
Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah
dikelompokkan dalam tiga golongan (Mangkusoebroto, 1993):
1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.
2. Hukum Wagner menganai perkembangan aktivitas pemerintah.
3. Teori Peacock dan Wiseman.
1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
dikembangkan Rostow dan Musgrave, pertumbuhan dimulai pada tahap-tahap
pembangunan, yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap
awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap investasi
total besar, sebab pemerintah harus menyediakan prasarana (misal pendidikan,
ekonomi, investasi pemerintah diperlukan dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi agar dapat tinggal landas, pada tahapan ini peranan investasi pemerintah
semakin membesar. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut pembangunan ekonomi
aktivitas pemerintah lebih ditujukan pada penyediaan sarana dan prasarana ke
pengeluaran untuk aktivitas sosial seperi program kesejahteraan hari tua,
progaram pelayanan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya (Mangkoesubroto,
1993).
2. Hukum Wagner
Teori Wagner tentang perkembangan pengeluaran pemerintah disebut
sebagai Wagner law of increased government activity. Teori ini berisi bahwa
apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah
juga akan meningkat.
Hukum Wagner di formulasikan sebagai berikut :
PPP = Pengeluaran Pemerintah Perkapita
PPK = Pendapatan Perkapita, yaitu GDP/ Jumlah penduduk
3. The Displacement Effect
Teori ini didasarkan pandangan bahwa pemerintah selalu akan memperbesar
pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin
besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang akan semakin besar.
Mangkoesubroto (1993), Peacock dan Wiseman mendasarkan teori displacemen
dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi
merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak. Teori
Peacock dan Wiseman sebagai berikut :
” Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin
meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan
menyebabkan pengeluaran pemerintah semakin meningkat. Oleh karena itu dalam
keadaan normal, menigkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah
semakin besar”.
Pengeluaran Pemerintah (GDP)
Wagner,Solow dan Musgrave
Peacock dan Wiseman
0 Waktu (tahun)
Sumber: Mangkoesubroto (1995)
Gambar 2.6. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
2.1.5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kaysful (2003), Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu
indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja
kabupaten/kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB
dapat menggambarkan kemampuan suatu Daerah mengelola sumber daya alam
yang dimilikinya. Oleh karena itu nilai PDRB yang dihasilkan oleh
masing-masing Propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor
produksi daerah tersebut.
Perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu
pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang
selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :
1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 sektor atau lapangan usaha yaitu ;
Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas
dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan
dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua
komponen permintaan akhir yaitu :
•Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari untung.
•Konsumsi pemerintah.
•Pembentukan modal tetap domestik bruto.
•Perubahan stok.
3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam
suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor
produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan
keuntungan. Semua jenis faktor produksi tersebut sebelum dipotong pajak
penghasilan.
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.2.1. Kajian Transfer Daerah
Gorodnichenko (2001), dalam penelitiannya mengenai fenomena flypaper
effect dalam perubahan pengalokasian transfer pemerintah pusat terhadap kinerja
keuangan dan perekonomian Ukraina. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan
bahwa respon pengeluaran pemerintah terhadap Pendapatan Asli Daerah lebih
elastis dibandingkan respon pengeluaran pemerintah terhadap alokasi transfer
pemerintah pusat. Hasil dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi fenomenaflypaper
effect pada kinerja pengeluran pemerintah daerah dalam merespon alokasi
transfer.
Ronald (2005), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Kinerja
Pengeluaran Pemerintahan Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan PAD dengan pertumbuhan pengeluaran terdapat hubungan yang
signifikan, yang berarti sesuai dengan hipotesa. Variabel ini memiliki pengaruh
diamana setiap kenaikan 1 persen PAD hanya akan menyebabkan pengeluaran
Dana Perimbangan mempunyai tanda parameter positif yang berarti sesuai dengan
hipotesa. Kenaikan 1 persen dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat
pada pemerintah daerah kota/kabupaten Jawa Tengah akan menyebabkan
kenaikan pengeluaran pemerintah di masing-masing daerah sebesar 0,9 persen.
Dana perimbangan secara signifikan berpengaruh terhadap variabel pengeluaran
pemerintah di kota/kabupaten Jawa Tengah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
dana perimbangan mampu mempengaruhi pengeluaran pemerintah
masing-masing daerah secara positif.
Hasugian (2006), hasil penelitiannya mengenai Pengaruh Otonomi
terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan menggunakan
data panel dapat disimpulkan bahwa kondisi kinerja keuangan yang ditunjukkan
dengan tingkat kemandirian lebih baik sebelum berlakunya desentralisasi fiskal.
Hasil penelitian menggunakan analisis regresi dengan metode panel menunjukkan
bahwa setiap peningkatan transfer akan berpengaruh negatif dalam penerimaan
PAD. Demikian juga dengan pemberlakuan desentralisasi pada variabel dummy
menunjukkan nilai signifikan dan negatif terhadap penerimaan PAD yang artinya
penerimaan rasio PAD lebih kecil terhadap penerimaan total lebih kecil daripada
sebelum pelaksanaan desentralisasi.
Maimunah (2006), dalam penelitiannya mengenai ”Flypaper Effect pada
DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Sumatra”.
Hasil penelitiannya dapat disimpulkan: Pertama, besarnya nilai DAU dan PAD
mempengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, telah
Ketiga, pengaruh flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke
depan. Keempat, tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada
daerah yang PAD-nya rendah maupun daerah yang PAD-nya tinggi di
kabupaten/kota pulau Sumatera. Kelima, tidak terjadiflypaper effectpada belanja
daerah bidang Pendidikan, tetapi terjadiflypaper effectpada belanja daerah bidang
kesehatan dan bidang Pekerjaan Umum.
Kuncoro (2007), dalam penelitiannya mengenai Fenomena Flypaper
Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di
Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan transfer diikuti
dengan upaya daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD yang lebih tinggi.
Penggalian PAD yang didasarkan faktor inkremental seperti peningkatan tarif
pajak akan berdampak negatif pada perekonomian daerah. Peningkatan alokasi
transfer menunjukkan terjadinya peningkatan belanja yang lebih tinggi dari
penerimaan transfer, terutama dalam belanja operasional. Respon yang berlebihan
dari pemerintah daerah dalam merespon perubahan alokasi transfer ini dikenal
dengan fenomena Flypaper Effect. Sikap ini dalam jangka waktu lama akan
berakibat memperburuknya pembangunan daerah karena tingkat persaingan
daerah semakin meningkat.
2.2.2. Analisa Peta Kemampuan Keuangan Daerah.
Dedy (2008), hasil penelitiannya mengenai peta kemampuan keuangan
daerah pada periode sebelum otonomi 1999-2000 Provinsi Indonesia. Hasil
Hal ini mengindikasikan bahwa peta kemampuan keuangan Jawa Tengah berada
pada kondisi kurang ideal dengan tingkat share PAD tinggi dan growth PAD
rendah sehingga memiliki kemampuan kecil dalam mengembangkan potensi
keuangannya. Selain itu dari sisi IKK (Indeks Kemampuan Keuangan) dari 27
Provinsi yang diteliti menunjukkan Jawa Tengah berada pada posisi IKK yang
tinggi sehingga berpeluang dalam menciptakan sumber-sumber PAD lainnya