• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi politik Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013” (Survey di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Partisipasi politik Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013” (Survey di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI POLITIK ETNIS TIONGHOA PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUMATERA UTARA 2013

(Survey di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar sarjana sosial

DISUSUN OLEH

Veronica Febri Dwi Andini 090901052

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Departemen Sosiologi

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat : Kantor Departemen Sosiologi

Tim Penguji :

Ketua Penguji : ( )

Penguji I (Pembimbing) : Dra. Ria Manurung, M.Si ( )

(3)

ABSTRAK

Adanya masa sulit yang dialami etnis Tionghoa dalam dunia politik menjadikan saat ini partisipasi mereka bisa dikatakan redup, tidak setenar kejayaan mereka di dalam bidang ekonomi. Banyaknya diskriminasi yang mereka rasakan membuat mereka juga harus berhati-hati dalam membicarakan dunia politik. Namun, dengan seiring berjalannya waktu bahwa etnis Tionghoa sudah mendapatkan perlakuan yang sama setelah masa Orde Baru usai. Mereka sudah bisa leluasa untuk menjalani dunia politik. Dengan begitu, sangat menarik jika mencari tahu seberapa berkembangnya mereka saat ini dalam dunia politik, khususnya etnis Tionghoa yang ada di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui partisipasi politik etnis Tionghoa pada Pilgubsu 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat kuantitatif. Subyek penelitian adalah etnis Tionghoa yang di atas umur 17 tahun dan memiliki darah Tionghoa yang berada di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat. Untuk sampel, terdapat 99 responden yang akan diambil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnis Tionghoa di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat masih tergolong pasif dalam berpartisipasi politik walaupun sudah dapat dikatakan lebih baik dari tahun sebelumnya. Ini dikarenakan adanya perlakuan buruk pada masa Orde Baru yang membuat mereka enggan untuk aktif dalam dunia politik. Jika dilihat sekarang ini, meskipun etnis Tionghoa tidak aktif dalam dunia politik tetapi mereka cukup banyak mengambil peran pada Pilgubsu 2013. Adapun beberapa kegiatan yang mereka lakukan adalah menggunakan hak suara, menyumbang uang dan iklan cetak, ikut dialog interaktif antar kandidat, ikut serta sebagai tim sukses, dan sebagainya. Disarankan bagi etnis Tionghoa agar lebih aktif lagi dalam kegiatan politik sehingga diharapkan mampu membawa dampak positif bagi mereka.

(4)

ABSTRACT

The presence of hard times experienced by ethnic Chinese in the political world today make their participation can be said to be dim, not as famous as their former glory in the economic field. The number of discrimination that they feel make them also have to be careful in talking about politics. However, as time goes by that ethnic Chinese have received the same treatment after the New Order era was over. They are able to live freely in politics. By doing so, very interesting if finding out how their current development in the world of politics, especially the ethnic Chinese in the district. North seacoast town Rantau Prapat. The purpose of this study was to determine the political participation of ethnic Chinese in Pilgubsu 2013.

This research is a quantitative survey. Subjects were ethnic Chinese over the age of 17 years and have Chinese blood that are in the district. North seacoast town Rantau Prapat. For a sample, there were 99 respondents to be taken.

The results showed that ethnic Chinese in the district. North seacoast town of Rantau Prapat still relatively passive in participating in politics although already be said to be better than the previous year. This is due to the ill-treatment in the New Order which makes them reluctant to be active in politics. When seen today, although ethnic Chinese are not active in politics but they pretty much take on the role of Pilgubsu 2013 As some of the activities that they do is to vote, donate money and print advertising, interactive dialogue between candidates participate, participate as a team success, and so on. Suggested for Chinese people to be more active in political activities that are expected to bring a positive impact on them.

Keywords: Political participation, ethnic Chinese, election

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menylesaikan Skripsi ini denga judul :

“Partisipasi politik Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013” (Survey di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat) guna memenuhi syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan Skripsi ini Penulis banyak menghadapi hambatan, hal ini di

sebabkan oleh keterbatasan wawasan penulis, kurangnya pengalaman serta sedikitnya wacana

yang menyangkut bahan penelitian yang ditemukan oleh peneliti. Akan tetapi, atas

berkah-Nya semua hambatan tersebut dapat dilalui sehingga penulisan Skripsi ini selesai. Hal ini tak

luput dari keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan motivasi dan dorongan serta

doa. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut serta

dalam membantu penulisan Skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima

kasih yang sebesar-besar nya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen wali penulis yang selalu

serius dalam membimbing saya dari awal pembuatan proposal dan penyelesaian

skripsi ini. Beliau telah banyak memberikan banyak masukan dan saran-saran yang

sangat bermanfaat bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Beliau

adalah salah satu orang yang sangat berjasa bagi saya dalam menempuh pendidikan di

FISIP USU ini. Ide dan pemikiran mengenai teori-teori sosial beliau sangat berarti

bagi saya dalam menyelesaikan studi di departemen sosiologi ini. Terima kasih

(6)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati,M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Penguji

dalam sidang saya yang telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran dan arahan

yang baik bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Bapak Drs. Junjungan SBP, S. M.Si selaku Dosen Penguji saya dalam sidang meja

hijau yang telah memberikan waktu, ide, dan gagasannya kepada saya untuk dapat

membuat skripsi ini menjadi lebih baik. Beliau juga telah memberikan banyak

pemahaman kepada saya tentang kajian sosiologi politik dalam masa-masa

perkuliahan terdahulu sehingga saya penulis tertarik dalam menulis skripsi dengan

kajian sosiologi politik.

4. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen

Sosiologi.

5. Teristimewa buat kedua orang tua saya, Ignatius Virgo Ananda dan Agnes Intan

Rahayu yang selalu memberikan banyak perhatian yang besar, mendidik, dan selalu

membimbing penulis dengan serius semenjak kecil hingga saat ini dengan penuh rasa

kasih sayang dan selalu memanjatkan doa-doa yang tiada hentinya sehingga saya

dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga dengan kakak penulis Giovanni Yunita

Andin Utami dan semua keluarga yang sangat saya sayangi. Terima kasih atas doa

dan dukungannya. Saya akan selalu berdoa dan berusaha menjadi anak yang dapat

membahagiakan kedua orang tua dan keluarga saya.

6. Buat seluruh teman-teman stambuk ’09 satu perjuangan yang tergabung dalam

(7)

7. Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis

telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi saya

menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Paradigma Fakta Sosial...12

2.2 Politik...15

2.3 Sejarah Perkembangan Politik dan Hubungannya dengan Sosiologi serta Masyarakat....16

2.4 Budaya Politik...17

3.4 Teknik dan Pengumpulan Data...26

3.5 Teknik Analisis Data...27

(9)

BAB IV Hasil dan Analisis Data Penelitian

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian...29

4.1.1 Sejarah Rantau Prapat...30

4.1.2 Letak dan Kondisi Lingkungan Alam Kota Rantau Prapat...30

4.1.3 Pola Pemukiman...33

4.1.4 Komposisi Penduduk Kecamatan Rantau Utara...33

4.1.5 Sarana dan Prasarana...39

4.1.6 Sejarah Singkat Etnis Tionghoa di Rantau Prapat...43

4.1.7 Pelaksanaan Pemilu di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat...45

4.1.8 Respon Masyarakat Etnis Tionghoa terhadap Perkembangan Pilgubsu 2013...47

4.2 Analisa Data Responden...48

4.3 Analisis Partisipasi Politik Etnis Tionghoa terhadap Pilgubsu 2013...51

BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan...62

5.2 Saran...63

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Komposisi Penggunaan Lahan...

Tabel 2 Bangunan Rumah Menurut Kualitasnya ………...

Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ………....

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis/Suku...

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur………...

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan …………...

Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ………...

Tabel 5 Sarana Pendidikan di Kecamatan Rantau Utara ……….

Tabel 6 Jenis Kendaraan…………...

Tabel 7 Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil

Gubernur Sumatera Utara 2013...

Tabel 8.1 Karakteristik Responden berdasarkan Usia...

Tabel 8.2 Karakteristik Responden berdasarkan Agama...

Tabel 8.3 Karakteristik Responden berdasarkan Jenjang Pendidikan...

Tabel 8.4 Karakteristik Responden berdasarkan Pendapatan…………...

Tabel 8.5 Jawaban Responden Berdasarkan Ketertarikan dalam Kegiatan Politik.

Tabel 8.6 Jawaban Responden Berdasarkan Alasan Tertarik terhadap Kegiatan

(11)

Tabel 8.7 Jawaban Responden Berdasarkan Alasan Tidak Tertarik terhadap Kegiatan

Politik………...

Tabel 8.8 Jawaban Responden Berdasarkan Kegiatan yang Dilakukan dalam Kehidupan

Politik………...

Tabel 8.9 Jawaban Responden Berdasarkan Topik Pembicaraan Politik dalam Kehidupan

Sehari-Hari …………...

Tabel 8.10 Jawaban Responden Berdasarkan Jenis Topik Pembicaraan dalam Kehidupan

Sehari-Hari...

Tabel 8.11 Jawaban Responden Berdasarkan Menyumbang Dana Dilakukan saat akan

Berlangsungnya Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di Rantau

Prapat...

Tabel 8.12 Jawaban Responden Berdasarkan Dialog tatap muka/interaktif dengan

kandidat Dilakukan saat akan Berlangsungnya Pemilihan Gubernur Sumatera

Utara 2013 di Rantau Prapat………

Tabel 8.13 Jawaban Responden Berdasarkan Ikut Sebagai Tim Sukses Dilakukan saat

akan Berlangsungnya Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di Rantau

Prapat...

Tabel 8.14 Jawaban Responden Berdasarkan Penilaian yang Menjadi Pertimbangan dalam

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara

2013...

Tabel 8.15 Jawaban Responden Berdasarkan Dasar dalam Menentukan atau Memilih

(12)

Tabel 8.16 Jawaban Responden Berdasarkan Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih pada

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013...

Tabel 8.17 Jawaban Responden Berdasarkan Harapan Terbesar pada Calon Pemimpin

yang akan Datang …...

Tabel 8.18 Jawaban Responden Berdasarkan Kemampuan Pemerintah dalam

Menyuarakan Kepentingan Politik Tionghoa Saat

Ini..…...

Tabel 8.19 Jawaban Responden Berdasarkan Usaha Pemerintah dalam Mewujudkan

Kepentingan Politik Etnis Tionghoa...

Tabel 8.20 Jawaban Responden Berdasarkan Hambatan untuk Aktif dalam Partisipasi

Politik...

Tabel 8.21 Jawaban Responden Berdasarkan Pendapat tentang Etnis Tionghoa sebagai

(13)

ABSTRAK

Adanya masa sulit yang dialami etnis Tionghoa dalam dunia politik menjadikan saat ini partisipasi mereka bisa dikatakan redup, tidak setenar kejayaan mereka di dalam bidang ekonomi. Banyaknya diskriminasi yang mereka rasakan membuat mereka juga harus berhati-hati dalam membicarakan dunia politik. Namun, dengan seiring berjalannya waktu bahwa etnis Tionghoa sudah mendapatkan perlakuan yang sama setelah masa Orde Baru usai. Mereka sudah bisa leluasa untuk menjalani dunia politik. Dengan begitu, sangat menarik jika mencari tahu seberapa berkembangnya mereka saat ini dalam dunia politik, khususnya etnis Tionghoa yang ada di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui partisipasi politik etnis Tionghoa pada Pilgubsu 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat kuantitatif. Subyek penelitian adalah etnis Tionghoa yang di atas umur 17 tahun dan memiliki darah Tionghoa yang berada di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat. Untuk sampel, terdapat 99 responden yang akan diambil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnis Tionghoa di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat masih tergolong pasif dalam berpartisipasi politik walaupun sudah dapat dikatakan lebih baik dari tahun sebelumnya. Ini dikarenakan adanya perlakuan buruk pada masa Orde Baru yang membuat mereka enggan untuk aktif dalam dunia politik. Jika dilihat sekarang ini, meskipun etnis Tionghoa tidak aktif dalam dunia politik tetapi mereka cukup banyak mengambil peran pada Pilgubsu 2013. Adapun beberapa kegiatan yang mereka lakukan adalah menggunakan hak suara, menyumbang uang dan iklan cetak, ikut dialog interaktif antar kandidat, ikut serta sebagai tim sukses, dan sebagainya. Disarankan bagi etnis Tionghoa agar lebih aktif lagi dalam kegiatan politik sehingga diharapkan mampu membawa dampak positif bagi mereka.

(14)

ABSTRACT

The presence of hard times experienced by ethnic Chinese in the political world today make their participation can be said to be dim, not as famous as their former glory in the economic field. The number of discrimination that they feel make them also have to be careful in talking about politics. However, as time goes by that ethnic Chinese have received the same treatment after the New Order era was over. They are able to live freely in politics. By doing so, very interesting if finding out how their current development in the world of politics, especially the ethnic Chinese in the district. North seacoast town Rantau Prapat. The purpose of this study was to determine the political participation of ethnic Chinese in Pilgubsu 2013.

This research is a quantitative survey. Subjects were ethnic Chinese over the age of 17 years and have Chinese blood that are in the district. North seacoast town Rantau Prapat. For a sample, there were 99 respondents to be taken.

The results showed that ethnic Chinese in the district. North seacoast town of Rantau Prapat still relatively passive in participating in politics although already be said to be better than the previous year. This is due to the ill-treatment in the New Order which makes them reluctant to be active in politics. When seen today, although ethnic Chinese are not active in politics but they pretty much take on the role of Pilgubsu 2013 As some of the activities that they do is to vote, donate money and print advertising, interactive dialogue between candidates participate, participate as a team success, and so on. Suggested for Chinese people to be more active in political activities that are expected to bring a positive impact on them.

Keywords: Political participation, ethnic Chinese, election

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Secara konseptual,

partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara

aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung

atau secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan

tersebut mencakup kegiatan tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,

menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan,

mengadakan pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen

dan lain sebagainya. (Suryadi 2007: 129) Adapun pengertian partisipasi politik menurut

Herbert McClosky adalah sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat yang

mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam bentuk proses kebijakan umum. (Damsar, 2010: 180)

Partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dilihat sebagai kegiatan,

partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi

aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum,

mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan

saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemeirntah, membayar pajak dan ikut dalam

proses pemilihan pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan

mentaati peraturan ataupun pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap

keputusan pemerintah.

(16)

Berdasarkan penjelasan partisipasi politik di atas maka ada beberapa hal yang penting

dilihat sebagai dasar dalam melaksanakan kegiatan politik. Seluruh masyarakat memiliki hak

untuk berpartisipasi politik, baik itu mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, ikut dalam

kampanye, memberikan dana, dan memilih pemimpin daerah. Merangkum macam bentuk

partisipasi politik, Huntington dan Nelson (Suryadi, 2007: 121-122) mengklasifikasi

partisipasi politik yaitu sebagai kegiatan pemilihan yang mencakup pemberian suara,

memberikan sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam kegiatan pemilihan, mencari

dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil

pemilihan.

Tingkat pemahaman masyarakat terhadap partisipasi politik sangat berpengaruh kepada

perkembangan suatu pemerintahan karena masyarakat merupakan salah satu aktor dalam

menentukan maju mundurnya situasi politik dalam negara. Semakin banyak masyarakat yang

ikut dalam partisipasi politik, diharapkan akan mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Meskipun tidak menjamin, tetapi berpartisipasi politik akan mengubah pola pikir masyarakat

akan dunia politik.

Luasnya partisipasi politik dalam sebuah tatanan negara membuat warga negara harus

pintar-pintar memilih dan memilah akan keikutsertaannya dalam berpolitik. Salah satunya

dari etnis yang ada di Indonesia adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa yang hidup di

Indonesia merupakan minoritas yang heterogen dan kompleks. Secara yuridis, mereka

dibedakan atas warga negara Indonesia (± 60%) dan sisanya orang asing (termasuk

“stateless” dan warga negara RRC). Secara kultural, mereka dibagi atas peranakan Tionghoa

yang berbahasa Indonesia atau daerah sebanyak 55% dan totok Tionghoa yang berbahasa

Tionghoa sebanyak 45%. (Ensiklopedia Indonesia, 1988)

Pada masa Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan

(17)

pernah diangkat sebagai salah satu “tangan kanan” Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora.

Pada masa ini, hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat

dikatakan sangat baik meskipun pada masa Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik

yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA

Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah luar ibukota provinsi dan kabupaten. Adanya

peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia memberikan efek negatif

bagi keberadaan etnis Tionghoa. Mereka dianggap sebagai salah satu komunis sehingga pada

saat itu terjadi pembantaian etnis Tionghoa. Ribuan orang Tionghoa dibantai dan harta benda

mereka pun lenyap. Berbagai peristiwa anti-Tionghoa terjadi di beberapa belahan Indonesia

sampai dengan tahun 1967, ketika sentimen anti-Tionghoa akhirnya mulai mereda. Periode

ini juga menandai berakhirnya organisasi politik Tionghoa karena BAPERKI yang

mempunyai hubungan dengan komunis. (Budiawan, 2012: 37)

Adanya tuduhan bahwa etnis Tionghoa terlibat dalam G30S/PKI tersebut membuat

posisi etnis orang Tionghoa di dalam kehidupan politik cenderung menurun dan

menunjukkan sikap yang apriodi terhadap politik di zaman orde baru. Selama 30 tahun masa

pemerintahan orde baru yang cenderung otoriter berdampak bagi perilaku politik etnis

Tionghoa. Etnis ini mengalihkan kegiatan kepada bidang ekonomi.

Setelah turunnya Soeharto dari tampuk pemerintahan ada perubahan sikap etnis

Tionghoa terhadap kegiatan politik, di antaranya muncul partai yang didirikan etnis Tionghoa

pada Juni 1998, seperti Parti (Partai Reformasi Tionghoa), PBI (Partai Bhinneka Tunggal

Ika), Parpindo (Partai Pembauran Indonesia), dan PWBI (Partai Warga Bangsa Indonesia).

Akan tetapi, pada saat itu karena kurangnya minat dan dukungan komunitas Tionghoa dua

partai terakhir diubah menjadi organisasi sosial, sementara dua partai lain bertahan yaitu Parti

dan PBI. PBI yang memenuhi syarat untuk ikut bersaing dalam pemilu Juni 1999. Fakta lain

(18)

mendukung PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang dipimpin Megawati.

Keengganan mereka mendukung PBI karena mereka menganggap partai ini terlalu kecil

untuk berpengaruh dalam politik nyata dan ini terjadi karena ada dampak dari penganiayaan

yang dilakukan pada masa Orde Baru, termasuk Mei 1998. (Budiawan, 2012: 113)

“Hasil pemilu 1999, terdapat beberapa etnis Tionghoa yang berhasil menjadi anggota DPR,

MPR dan DPRD. Di DPR ada Kwik Kian Gie (kemudian diganti karena diangkat menjadi

menteri) dan Ir Tjiandra Wijaya Wong dari PDI-P, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Ir

Enggartiasto Lukita dari Golkar dan LT Susanto dari PBI. Di MPR di samping mereka yang

telah menjadi anggota DPR ada Hartarti Murdaya (Chow Lie Ing) dari Walubi yang mewakili

Utusan Golongan dan Daniel Budi Setiawan yang menjadi wakil Utusan Daerah Jawa Tengah

dari PDI-P”. (http://id.inti.or.id/specialnews/25/tahun/2003/bulan/02/tanggal/01/id/292/print/)

Sejarah Indonesia juga mencatat partisipasi dan peran aktif warga Tionghoa dalam

dinamika sosial, politik, dan kultural di Sumatera Utara. Pemilu legislatif pada April 2008

menjadi penanda geliat etnis Tionghoa di kancah politik dan patut mendapat respon positif

karena pemilu itu juga telah berhasil mendudukkan wakil orang Tionghoa Indonesia di

bangku DPRD. Pada pemilu lima tahun silam, ada beberapa nama yang mencalonkan diri

sebagai anggota DPD seperti Sofyan Tan dan Indra Wahidin, namun kedua nama itu tidak

lolos. Untuk beberapa nama yang dinyatakan lolos sebagai anggota DPRD di kabupaten dan

kota propinsi Sumatera Utara adalah Ramli Lie, Brilian Moktar dan Sonny Firdaus (Propsu),

Lily Tan, Janlie, Ahie dan Hasyim (Kota Medan), Peterus (Kodya Binjai), Hakim Tjoa Kian

Lie (Kota Tj. Balai), T. Johnson (Kab Asahan), Rudy Wu (Kota P. Siantar), Yanto (Kota

Gunung Sitoli), Efendy (Kab. Nias Selatan) dan Budi (Kab. Sergai).

(http://pussisunimed.wordpress.com/2010/01/28/geliat-politik-tionghoa-di-sumatra-utara/)

Gambaran ini menunjukkan bahwa pemilu telah menghantarkan wakil orang

Tionghoa ke bangku DPRD sekaligus menjadi salah satu penanda meningkatnya kesadaran

(19)

Tionghoa yang menjadi calon legislatif di Sumatera Utara untuk periode 2014-2019 antara

lain Haryanto dan Rusdi/Apeng wakil dari Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI), dan

Joni calon legislatif dari partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Rantau Prapat merupakan kota dengan kabupaten Labuhanbatu. Labuhanbatu terdiri

dari beberapa kelurahan antara lain: Rantau Utara, Rantau Selatan, Bilah Barat, Bilah Hilir,

Bilah Hulu, Pangkatan, Panai Tengah, Panai Hilir, dan Panai Hulu. Kabupaten Labuhanbatu

memiliki jumlah penduduk sebesar 555.578 jiwa. Kota Rantau Prapat memiliki jumlah paling

banyak sekitar 193.590 jiwa. (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Labuhanbatu,

2012) Rantau Prapat juga salah satu daerah dengan berbagai macam etnis, seperti Melayu

9.239 jiwa, Batak 155.088 jiwa, Minang 1.966 jiwa, Jawa 154.219 jiwa, Aceh 531 jiwa, dan

lainnya sebanyak 13.733 jiwa. (Badan Pusat Statistik, 2011)

Dibandingkan dengan daerah lain di Kabupaten Labuhanbatu, Rantau Prapat memiliki

penduduk dengan etnis Tionghoa terbanyak. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar

etnis Tionghoa di Rantau Prapat bermatapencaharian sebagai seorang pedagang. Dalam dunia

politik, etnis Tionghoa di Rantau Prapat mulai menunjukkan geliat untuk aktif berpolitik

namun jumlah etnis Tionghoa yang kurang aktif lebih banyak dibandingkan di daerah lain.

Beberapa etnis Tionghoa hanya berpartisipasi dengan terjun sebagai anggota partai politik,

walaupun ada juga yang menjadi calon legislatif. Beberapa etnis Tionghoa yang menjadi

calon legislatif di Labuhanbatu untuk periode 2014-2019 antara lain Haryanto dan

Rusdi/Apeng wakil dari Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Joni wakil dari

partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Dari beberapa nama calon legislatif tersebut, jelas terlihat bahwa kehidupan politik

etnis Tionghoa di Rantau Prapat mulai menunjukkan perkembangan dibandingkan periode

sebelumnya. Tidak adanya etnis Tionghoa yang menjadi calon legislatif pada periode lalu

(20)

termasuk dalam hal Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan suatu cara memilih

wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakil-wakilan rakyat serta salah satu pelayanan hak

asasi warga negara dalam bidang politik. (Syarbaini, 2004: 80) Kesadaran politik warga

negara menjadi faktor dalam partisipasi politik masyarakat, artinya sebagai hal yang

berhubungan pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan

lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran seseorang terlibat dalam proses

partisipasi politik. Untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik khususnya pemilu, ada

beberapa faktor yang bisa menggambarkan tentang bagaimana keaktifan masyarakat untuk

ikut serta seperti mengikuti kampanye calon yang didukung, turut dalam diskusi politik, ikut

dalam pemilihan suara, menjadi calon partai politik, dan membentuk relasi serta komunikasi

individual dengan pejabat politik.

Dari beberapa uraian di atas tentang perkembangan partisipasi politik etnis Tionghoa

yang mengalami pasang surut, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam

tentang bagaimana pemahaman mereka tentang partisipasi politik pada Pemilihan Gubernur

Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat. Selain itu, peneliti

juga ingin melihat apa dasar dan motif penduduk etnis Tionghoa untuk ikut berpartisipasi

dalam pemilukada yang selalu diselenggarakan oleh pemerintah pada kurun waktu lima tahun

sekali dengan melihat sejarah dunia politik etnis Tionghoa dari masa orde lama hingga masa

sekarang ini yang menggambarkan kehidupan mereka sudah lebih baik.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

a. Bagaimana bentuk partisipasi politik etnis Tionghoa saat Pemilihan Gubernur Sumatera

(21)

b. Faktor apa saja yang mendorong warga etnis tionghoa di Kec. Rantau Utara Kota Rantau

Prapat ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013?

1.3Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah dikemukakan. Adapun tujuan dari

penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya partisipasi politik Etnis Tionghoa dalam

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 di Kec. Rantau Utara Kota Rantau

Prapat.

b. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mendorong warga etnis Tionghoa dalam

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (pilgubsu) 2013 di Kec. Rantau Utara Kota Rantau

Prapat.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi,

pemahaman, serta sumbangan bagi mahasiswa sehingga bisa menambah wawasan ilmiah.

Selain itu, juga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya di bidang partisipasi politik etnis Tionghoa.

1.4.2 Manfaat Praktis

- Bagi penulis, penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan penulis

dalam membuat karya tulis ilmiah. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan

pengetahuan kepada masyarakat tentang partisipasi politik etnis Tionghoa.

- Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menyadarkan masyarakat dan semua pihak akan

(22)

1.5Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara

abstrak kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui

konsep, peneliti diharapkan dapat menyedrhanakan pemikiannya dengan menggunakan satu

istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

1.5.1 Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara (private citizen) yang bertujuan

mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

1.5.2 Etnis merupakan suatu populasi yang memiliki identitas kelompok berdasarkan

kebudayaan tertentu dan biasanya memiliki leluhur yang secara pasti atau dianggap pasti

yang sama.

1.5.3 Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

1.5.4 AGIL merupakan kerangka teori Talcot Parsons mengenai sistem sosial yang

menggambarkan jaringan hubungan antar aktor atau kerangka hubungan interaktif

1.6Penelitian Sebelumnya

(Rizky Hani S.P, 2009) dengan judul “Partisipasi Politik Etnis Tionghoa dalam

Pemilukada Tahun 2009 (studi kasus bersifat kualitatif dengan pendekatan fenomenologi

tentang bagaimana partisipasi politik warga etnis Tionghoa di Desa Kragan, Kab. Rembang

pada Pemilukada tahun 2009 dan seberapa jauh peran masyarakat etnis Tionghoa dalam

partisipasi di Pemilukada tahun 2009 di Desa Kragan, Kab. Rembang.”. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui partisipasi politik yang dilakukan masyarakat etnis Tionghoa dalam

(23)

Pemilukada Kab. Rembang periode 2009-2014 serta mengetahui motif apa mendasari para

warga etnis Tionghoa di Desa Kragan ikut berpartisipasi dalam Pemilukada.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif

dengan pendekatan fenomenologi. Untuk teknik pengambilan sampel, peneliti menggunakan

teknik snow ball yaitu masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal di Desa Kragan, Kab.

Rembang. Sehingga subjek penelitian adalah orang-orang yang dianggap mengetahui

mengenai daerah penelitian yang kemudian dijadikan informan kunci sedangkan pemilihan

subjek selanjutnya berdasarkan informasi sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat temuan bahwa motif etnis Tionghoa ikut

berpartisipasi dalam pemilukada adalah selain dikarenakan adanya kesadaran diri mereka

sebagai warga negara Indonesia yang wajib memberikan hak suaranya untuk memilih

pemimpin daerahnya. Selain itu, mereka juga beralasan bahwa pada Pemilu kali ini terdapat

calon yang beretnis Tionghoa sehingga bagi mereka dengan adanya memilih calon kandidat

tersebut maka mereka akan memperoleh perlindungan dari segala macam anggapan miring

dari orang-orang yang fanatik terhadap warga keturunan etnis Tionghoa.

Dalam pengetahuan mereka tentang politik dan partisipasi politik, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa etnis Tionghoa di Desa Kragan masih tergolong rendah dan hanya

sebatas ikut memilih pada saat Pemilukada. Dan menurut Ramlan Surbakti, partisipasi politik

yang seperti ini merupakan partisipasi politik pasif, seperti kegiatan mentaati pemerintah,

menerima dan melaksanakan semata-mata keputusan pemerintah.

(Yaogi Edwart Manulang, 2012) dengan judul “Perilaku Politik (studi deskriptif

Perilaku Etnis Tionghoa pada Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Medan tahun 2010 di

Kelurahan Sukaramai II, Kecamatan Medan Area Kota Medan). Adapun tujuan penelitian ini

(24)

Sukaramai II pada pemilu walikota dan wakil walikota pada tahun 2010 yang lalu serta

mengidentifikasi dan menganalisis perilaku pemilih politik etnis Tionghoa pada pemilu

tersebut.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Untuk teknik pengambilan sampel, peneliti menggunakan rumus Taroyamane yaitu etnis

Tionghoa yang terdaftar sebagai pemilih tetap di Sukaramai II kota Medan. Berdasarkan hasil

penelitian terdapat beberapa temuan yaitu bahwa masyarakat Sukaramai yang beretnis

Tionghoa pada pemilukada 2010 memilih Sofyan Tan karena menurut mereka yang memiliki

karakter pemimpin yang tegas dan memiliki program kerja yang sangat baik menurut

responden. Selain itu, faktor penampilan fisik, cara berpakaian, dan cara bicara Sofyan Tan

turut menjadi pertimbangan yang mendukung alasan mereka untuk memilih beliau.

Kemudian adanya pandangan etnis Tionghoa terhadap Sofyan Tan sebagai perwakilan

mereka di pemerintahan. Beliau juga memiliki organisasi sosial yang membantu rakyat

miskin, walau belum berjalan maksimal namun masyarakat yang memilihnya percaya seiring

berjalan waktu akan mendapatkan hasil yang maksimal.

1.7Defenisi Operasional

Beberapa karakteristik yang menunjukkan tentang partisipasi politik etnis Tionghoa

dalam Pilgubsu 2013 di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat, seperti:

a. Ketertarikan dalam kegiatan politik yaitu adanya alasan seseorang untuk tertarik dengan

dunia politik di daerah domisilinya.

b. Menjadikan politik sebagai topik pembicaraan sehari-hari yaitu banyaknya seseorang

dalam membicarakan politik dengan rekannya sebagai topik pembahasan di dalam

(25)

c. Kegiatan dalam partai politik yaitu adanya seseorang dalam melaksanakan kegiatan yang

berhubungan dengan Pilgubsu 2013, seperti ikut kampanye, turut memberi sumbangan,

menjadi tim sukses salah satu calon pasangan, dan ikut memberikan suara.

d. Keikutsertaan memilih yaitu adanya keikutsertaan individu dalam memilih calon

gubernur Sumatera Utara 2013 di Rantau Prapat.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Fakta Sosial

Paradigma fakta sosial terdiri dari sekumpulan teori para teoritisi sosial yang

memusatkan perhatian atau menjadikan apa yang disebut Durkheim sebagai fakta sosial;

struktur dan institusi sosial berskala luas beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan

individu sebagai subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang masuk dalam

paradigma fakta sosial ini memusatkan pada struktur makro. Mereka mengasumsikan bahwa

terdapat situasi dalam kehidupan manusia dan di dalam situasi tersebut ada perubahan dalam

suatu waktu tertentu, serta tidak ada suatu fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta

penyebabnya.

Menurut Emile Durkheim, fakta sosial ialah barang (thing) yang berbeda dengan ide

yang menjadi obyek kajian seluruh ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipahami melalui

kegiatan mental murni (spekulatif), akan tetapi melalui pengumpulan data yang nyata di luar

pemikiran manusia. Menurutnya fakta sosial dapat dibagi menjadi dua, yakni dalam bentuk

barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi, contohnya adalah arsitektur,

norma, hukum, dan lainnya. Kedua dalam bentuk non-material, yakni fenomena yang

terkandung dalam diri manusia sendiri, hanya muncul dalam kesadaran manusia, contohnya

kelompok, egoisme dan sebagainya. (Zamroni, 1992: 24)

2.1.1 Teori Sistem Sosial

Menurut Parsons, sistem sosial merupakan jaringan hubungan antar aktor atau

kerangka hubungan interaktif. Ia menyediakan kerangka konseptual untuk berinteraksi antar

manusia dalam berbagai situasi sehingga sistem sosial dibentuk oleh norma, kepercayaan,

(27)

satu dengan yang lain dan menyediakan pola-pola yang sesuai. Jadi, sistem sosial dapat

diukur sebagai kelompok yang terpola dari peran-peran sosial yang dapat berjalan secara

baik. (Rachmad K. Dwi Susilo, 2008: 117)

Teori sistem sosial Talcot Parsons merupakan analisa melalui persyaratan-persyaratan

fungsional yang harus dimiliki sebuah sistem sosial atau sistem sosial dapat dikembangkan

jika memenuhi beberapa persyaratan fungsional dalam kerangka AGIL. Menurut Parsons

(Susilo, 2008: 121), pada dasarnya AGIL merupakan empat persyaratan fungsional yang

harus dimiliki oleh sistem sosial, yaitu:

1. Adaptation (adaptasi) yaitu melindungi dan mendistribusikan alat-alat bertahan dari

lingkungan atau menyesuaikan tuntutan dari lingkungannya. Setiap masyarakat harus

menemukan kebutuhan fisik dari anggota-anggotanya jika ingin siap.

2. Goal attainment (pencapaian tujuan) yakni menentukan, mengatur, dan memfasilitasi

pencapaian tujuan, dan kesepakatan. Konsekuensinya, ia harus memiliki alat dan sumber

daya untuk mengidentifikasi, menyeleksi, dan menetapkan tujuan kolektif termasuk

menyediakan susunan kultural untuk pencapaian tujuan ini.

3. Integration (integrasi). Hubungan sosial yang melindungi secara kooperatif dan

terkoordinasi dalam sistem. Jadi, ada koordinasi internal yang membangun cara yang

berpautan. Masyarakat harus menjamin ukuran koordinasi dan kontrol di elemen-elemen

internal dari berbagai bagian pada sistem sosial, layaknya peran dan status sosial yang

telah merumuskan mana yang boleh dan tidak.

4. Latency (laten) terdapat pemeliharaan pola yang di dalamnya terdapat motivasi perilaku

yang diinginkan. Sistem harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan

seimbang. Ide-ide sistem budaya membuat cita-cita dan nilai-nilai umum yang

(28)

Keempat persyaratan fungsional yang digambarkan dalam AGIL di atas menunjukkan

bahwa setiap sistem sosial harus bisa beradaptasi dalam menghadapi lingkungannya dan

harus memiliki tujuan sehingga setiap tindakan para anggota dalam sistem sosial itu berarah

pada tujuannya. Pada setiap sistem sosial juga harus memiliki persyaratan integrasi agar

sistem sosial dapat berfungsi secara efektif sebagai satu tujuan sehingga dalam sistem sosial

tingkat solidaritas di antara individu merupakan suatu keharusan dan integrasi menjadi

kebutuhan untuk menjamin adanya ikatan emosional. Dalam strategi mempertahankan pola

juga merupakan suatu keharusan bagi sistem sosial agar interaksi yang dibangun dalam

sistem sosial itu tetap masih dapat dipertahankan.

Soejono Soekanto (Natzir, 2008: 69) mengatakan bahwa secara kultural sistem sosial

memiliki unsur pokok yaitu sebagai berikut:

1. Kepercayaan, yaitu hipotesa tentang gejala yang dihadapi dan dianggap benar.

2. Perasaan, yakni sikap yang didasarkan pada emosi atau prasangka.

3. Tujuan yang merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses perubahan atau

dengan jalan mempertahankan sesuatu.

4. Kaedah, yaitu pedoman tentang tingkah laku yang pantas.

5. Kedudukan peranan dan pelaksanaan peranan yang merupakan hak dan kewajiban serta

penerapannya di dalam proses interaksi sosial.

6. Tingkatan atau jenjang, yaitu posisi sosial yang menentukan alokasi hak dan kewajiban.

7. Sanksi yaitu suatu persetujuan (sanksi positif) atau penolakan (sanksi negatif) terhadap

pola-pola perikelakuan tertentu.

8. Kekuasaan yang merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar dia

berbuat sesuai dengan kemauan pemegang kekuasaan.

(29)

Etnis Tionghoa merupakan jaringan dalam sistem sosial yang memiliki hubungan

interaktif. Mereka memiliki pandangan tentang alat serta tujuan yang didapat pada situasi

yang dibentuk oleh kepercayaan, norma, dan nilai yang diorganisasikan dalam harapan peran.

Mereka tidak menghadapi situasi sebagai individu, tetapi memiliki peran sosial yang

menghasilkan suatu tujuan.

Dalam perkembangan di Indonesia, aktivitas perpolitikan etnis Tionghoa mengalami

pasang surut. Adanya kebebasan bagi etnis Tionghoa setelah reformasi untuk ikut dalam

dunia politik membuat mereka memiliki peran. Indikasi ini dapat dilihat dengan membentuk

partai politik dan mencalonkan diri baik sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.

Keputusan mereka untuk membentuk partai politik bukan tanpa alasan. Adanya pengalaman

pahit yang mereka alami membuat etnis Tionghoa merasa harus bersatu dan membentuk

kelompok, yaitu partai politik. Walaupun belum mendominasi, tetapi etnis Tionghoa sudah

mulai tampak dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

2.2 Politik

Menurut Robert H. Soltau dalam karyanya “An Introduction to Politics”, menyatakan

bahwa politik merupakan hal yang berkaitan tentang tujuan dan maksud-maksud negara,

berkaitan dengan kajian tentang lembaga-lembaga yang akan merealisasikan tujuan dan

maksud tersebut. Selain itu, Iwa Kusuma Sumantri dalam karyanya “Pengantar Ilmu Hukum”

menjelaskan bahwa politik merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu ke arah usaha

penguasa negara dan alat-alatnya, mempertahankan kekuasaan atas negara untuk

(30)

2.3 Sejarah Perkembangan Politik dan Hubungannya dengan Sosiologi serta Masyarakat

Berdasarkan sejarah, diperoleh keterangan bahwa Yunani kuno sejak 450 SM telah

lahir pemikir-pemikir politik yang terkenal seperti Herodotus dan Plato. Dibelahan bumi Asia

juga terdapat karya pemikiran politik yang cemerlang seperti di India dan Cina dan di antara

mereka terdapat nama besar Confusius pada 500 SM. Pada perkembangan selanjutnya

pendekatan dalam politik juga berkembang ke arah pendekatan tingkah laku. Perkembangan

ini terjadi setelah berakhir Perang Dunia II. Gerakan dan perkembangan ini sangat

dipengaruhi oleh ahli-ahli seperti Max Weber dan Talcot Parson dengan basis sosiologi.

(Faturohman, 2004: 16)

Politik berhubungan dengan sosiologi dalam hal memahami dan menelusuri pola-pola

budaya dan segala hal yang berkaitan dengan interaksi masyarakat termasuk di dalamnya

kepentingan masyarakat akan organisasi negara dan hasrat berkuasa dengan perjuangan dan

kompetisi yang dilakukan. Sebagai salah satu contoh adalah pemahaman akan masyarakat

dengan segala variasinya akan membantu negara atau pemerintah dalam membuat kebijakan

publik untuk pembangunan. (Faturohman, 2004: 17)

Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah atau badan atau organisasi tertentu

biasanya pada tahap awal melakukan perencanaan yang matang agar dapat memperoleh hasil

yang baik. Adapun hal yang harus dilihat pada masyarakat dalam hal pembangunan politik

(Sahid, 2011: 27) antara lain:

1.7.1 Pola interaksi sosial dan pola interaksi politik. Dengan mengetahui pola interaksi

sosial dan politik yang ada dalam masyarakat, maka dapat digariskan kebijakan untuk

memperkuat pola interaksi yang mendukung. Pola interaksi yang didasarkan efisiensi

(31)

1.7.2 Kelompok sosial dan politik yang menjadi bagian masyarakat. Ada kelompok sosial

dan politik yang mendukung pembangunan dan mungkin juga ada yang kurang

mendukung, hal ini perlu diketahui untuk pengambilan garis kebijakan.

1.7.3 Kebudayaan yang berintikan nilai-nilai. Dalam masyarakat ada nilai yang mendukung

pembangunan dan tidak. Terhadap nilai kebudayaan yang menghalangi pembangunan

perlu proses dan diperlukan pendidikan politik.

1.7.4 Lembaga atau pranata sosial dan politik yang merupakan kesatuan kaidah yang

berkisar pada kebutuhan dasar manusia dan kelompok sosial atau politik.

1.7.5 Stratifikasi sosial untuk menentukan pihak mana yang dijadikan pelopor

pembangunan politik.

2.4 Budaya Politik

Secara konseptual, Almond dan Verba (Sahid, 2011: 150) mendefinisikan budaya

politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan

aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem tersebut.

Batasan ini memperlihatkan kepada kita akan adanya unsur individu, yakni warga negara dan

sistem politik serta keterkaitannya.

Terdapat tiga tipe-tipe dalam budaya politik menurut Gabriel A.Almond dan Sidney

(Sahid, 2011: 155) antara lain:

1. budaya politik parokial dengan ciri-ciri tidak adanya peran politik yang bersifat khusus,

kepala suku, kepala kampung yang bersifat politis dan keagamaan, tidak adanya harapan

terhadap perubahan oleh sistem politik. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik

(32)

2. budaya politik subjek dengan ciri-ciri para subjek menyadari adanya otoritas

pemerintahyang memungkinkan adanya suka atau ketidaksukaan masyarakat terhadap

sistem yang ada. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan Perancis.

3. Budaya politik partisipan dengan ciri-ciri anggota masyarakatnya cenderung memiliki

orientasi yang nyata terhadap sistem secara keseluruhan, struktur dan proses politik serta

administratif. Dengan kata lain, tipe budaya politik ini ditandai oleh masyarakat yang

memiliki pengetahuan dan kesadaran politik, perhatian, dan kepedulian.

2.5 Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan bagian penting dalam kehidupan suatu negara terutama

bagi negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Negara baru bisa disebut

sebagai negara demokrasi jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang

seluas-luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sebaliknya, warga

negara yang bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat partispasi politik yang cukup

tinggi. Jika tidak, maka kadar kedemorkatisan negara tersebut masih diragukan. Masalah

partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara,

melainkan lebih berkaitan dengan sifat dan karakter masyarakat suatu negara dan pengaruh

yang ditimbulkannya.

Partisipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “pars” yang artinya bagian dan “capere”

(sipasi), yang artinya mengambil. Bila digabungkan berarti "mengambil bagian". Dalam

Bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil

peranan. Jadi, partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas

atau kegiatan politik suatu negara. (Komarudin, 2011)

Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan

di dalam sistem politik. Aktivitas politik itu bisa bergerak dari ketidakterlibatan sampai

(33)

masyarakat dengan masyarakat lainnya, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari

konsep-konsep mengenai apa itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam

ketidakterlibatan dan keterlibatan mereka yang terbatas. (Suharno, 2004: 23)

Huntington dan Nelson mendefinisikan partisipasi politik sebagai "kegiatan warga

negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh

pemerintah". Dari pengertian tersebut, Surbakti (Suryadi, 2007: 130-131) menyebutkan

beberapa batasan partisipasi politik, antara lain:

1. partisipasi politik yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal

ini komponen-komponen subjektif seperti orientasi-orientasi politik yang meliputi

pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai

kompetisi dan keefektifan politik, dan persepsi-persepsi mengenai relevansi politik tidak

dimasukkan. Hal-hal seperti sikap dan perasaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu

yang berkaitan dengan bentuk tindakan politik, tetapi terpisah dari tindakan politik.

2. subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara, preman

(private citizen) atau lebih tepatnya orang per orang dalam peranannya sebagai warga

negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik seperti pejabat-pejabat

pemerintah, pejabat-pejabat partai, calon-calon politikus, lobi profesional. Kegiatan yang

disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya sebagai sambilan atau sebagai

pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat sekunder saja dibandingkan dengan

peranan-peranan sosial lainnya.

3. kegiatan dari apa yang disebut partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang

dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan

kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. Sasarannya

adalah untuk mengubah keputusan-keputusan para pejabat yang sedang berkuasa,

(34)

organisasi sistem politik yang ada dan aturan-aturan main politiknya. Tujuan-tujuan

itulah yang menjadi batasan partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak.

Karena itu aktivitas seperti misalnya protes-protes, huru-hara, demonstrasi, kekerasan,

bahkan pemberontakan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah merupakan

bentuk-bentuk partisipasi politik.

4. partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas

apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.

5. partisipasi politik mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan.

Partisipasi otonom adalah kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan

untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Menurut Almond (Damsar, 2010: 186), partisipasi politik dapat dibedakan atas dua

kelompok, yaitu:

1. partisipasi politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal dalam

demokrasi modern.

2. Partisipasi politik non-konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak

lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan ilegal, penuh

kekerasan dan revolusioner.

Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk

menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, dan kepuasan atau

ketidakpuasan warga negara. Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk

(35)

Konvensional Non-konvensional

 Pemungutan suara  Pengajuan Petisi

 Diskusi politik  Demonstrasi

 Kegiatan kampanye  Konfrontasi

 Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan

 Tindak kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan)

 Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif

 Tindakan kekerasan politik terhadap benda (perusakan, pemboman,

pembakaran)

 Mogok

 Perang gerilya dan revolusi

Sumber: Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981)

Selain itu, bisa dilihat sebagai suatu kegiatan partisipasi politk dapat dibedakan

menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga

negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan

yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi

kebijakan pemerintah, membayar pajak dan ikut dalam proses pemilihan pimpinan

pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan menaati peraturan/pemerintah,

menerima melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. (Sahid, 2011: 181)

Dalam penelitian ini, partisipasi politik yang dimaksud adalah kegiatan etnis

Tionghoa untuk ikut serta secara aktif dalam memilih calon gubernur pada Pemilihan

(36)

2.6Pemilu

Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi modern, yang menjalankan

kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk

menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakanlah pemilihan

umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk

di lembaga perwakilan rakyat serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara

dalam bidang politik (Syarbaini, 2002:80)

Dalam Undang-Undang Repubilik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang

penyelenggara pemilihan umum dinyatakan bahwa pemilihan umum adalah sarana

pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum (pemilu)

merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil sehingga dalam rangka

pelaksanaan hak-hak asasi menjadi suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan

pemilu. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus

dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya.

Pemilu yang merupakan ciri atau tanda demokrasi di suatu negara yang demokratis

menurut Ali Murtopo adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya

dan merupakan lembaga demokrasi.Tujuan utama pemilu biasanya adalah untuk memilih wakil

-wakil rakyat di parlemen. Dari -wakil-wakil rakyat inilah rakyat Indonesia secara keseluruhan

membebankan beban-beban kenegaraan di pundaknya. Wakil-wakil rakyat inilah yang punya

andil besar bersama dengan pemerintah dalam menentukan kemana arah akan berjalannya negeri

ini. Wakil-wakil rakyat ini kemudian duduk di lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD, ataupun

(37)

Dalam penelitian ini, kegiatan pemilu yang dimaksud adalah Pemilihan Gubernur

Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 yang diadakan di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat.

2.7Etnis Tionghoa

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “Tionghoa”

(sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok”

untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an. Etnis Tionghoa menurut Purcell adalah

seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup

budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang

mereka gunakan. (Suryadinata, 2002)

Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau

dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan

etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang

kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok. Menurut Liem (2000) etnis

Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak

generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk

setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia. (Suryadinata,

2002)

Penelitian ini akan fokus pada etnis Tionghoa dalam partisipasi politik mereka pada

Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 di Kec. Rantau Utara Kota Rantau

Prapat. Adapun beberapa kriteria etnis Tionghoa yang diteliti adalah sebagai berikut:

1. Memiliki darah keturunan Tionghoa

2. Yang sudah berumur di atas 17 tahun

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survey yang

bersifat kuantitatif. Dalam penelitian survey, informasi dikumpulkan dari responden dengan

menggunakan kuisioner. Umumnya, penelitian survey dibatasi pada penelitian yang datanya

dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Hal ini berbeda dari

sensus yang informasinya dikumpulkan dari seluruh populasi. (Singarimbun, 1989: 3)

Metode survey digunakan dalam evaluasi program dengan maksud mengumpulkan,

menggambarkan data, metode ini berguna mengungkap situasi atau peristiwa dari akumulasi

informasi yang deskriptif. Metode survey dapat menjadi bagian dari metode deskriptif dan

digunakan dalam evaluasi dengan mengumpulkan data dari sampel dengan menggunakan

instrumen pengumpulan data, yaitu angket sehingga hasil pengolahan data dapat mewakili

populasi yang relatif besar jumlahnya.

3.2 Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah di Kecamatan Rantau Utara Kota

Rantau Prapat. Alasan peneliti memilih Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat sebagai

lokasi penelitian adalah dikarenakan Kecamatan Rantau Utara menjadi daerah dengan jumlah

(39)

2.3 Populasi Dan Sampel

2.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh objek yang diteliti dan jika salah dalam menentukan populasi,

maka dalam penarikan sampelnya juga akan salah. (Suyanto dan Sutinah, 2007: 139) Dalam

setiap penelitian, populasi yang dipilih erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

Selain itu, populasi dapat juga diartikan sebagai keseluruhan objek penelitian yang dapat

berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap, dan hidup

sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian. (Bungin, 2005: 10) Dalam

penelitian ini, yang dimaksud dengan populasi adalah penduduk etnis Tionghoa di

Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat dengan jumlah sebanyak 7.389 jiwa.

2.3.2 Sampel

Sampel merupakan sebagian dari objek yang diteliti. Penarikan sampel yang baik

harus benar-benar bisa merefleksikan populasi dan dalam literatur metodologi penelitian

sering dikatakan bahwa suatu teknik penarikan sampel yang baik adalah dapat menghasilkan

deskripsi yang benar-benar dapat dipercaya untuk karakter populasi, dapat menentukan

presisi dari hasil penelitian, sederhana sehingga mudah dilakukan, dan dapat memberikan

data penelitian sebanyak mungkin, namun dengan biaya yang sekecil mungkin. Dalam

menentukan jumlah sampel, peneliti menggunakan rumus penarikan sampel Taro Yamane

dengan presisi 10% dan tingkat kepercayaan 90%. (Rakhmat, 2002: 82)

Dengan menggunakan rumus penarikan sampel Taro Yamane, maka diperoleh jumlah

sampel yang dijadikan responden pada penelitian ini yakni sebanyak 99 orang. Agar lebih

jelasnya, dapat dilihat dari perhitungan jumlah sampel sebagai berikut.

(40)

Keterangan:

n = sampel

N = populasi

d = presisi (10%)

Berdasarkan rumus tersebut maka penarikan jumlah sampel pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

n =

n =

. . ,

n =

. ,

n = 99

Untuk mengambil sampel yang akan dijadikan sebagai responden sebanyak 99 orang

yang telah ditentukan, maka teknik yang digunakan adalah metode purposive sampling atau

biasa juga disebut dengan judgmental sampling. Teknik ini digunakan dengan menentukan

kriteria khusus terhadap sampel, terutama orang-orang yang dianggap ahli. (Bambang

Prasetyo, 2005: 134)

2.4 Teknik Pengumpulan Data

Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang

berisi daftar pertanyaan serta pedoman wawancara untuk kepentingan kelengkapan

penjelasan (eksplanasi) data primer, termasuk untuk kepentingan pengamatan.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi dalam dua sumber, yaitu:

1. Data primer yaitu data mengenai variabel utama yang meliputi beberapa indikator

(41)

kuisioner) dengan responden yang merupakan etnis Tionghoa yang berada di Kecamatan

Rantau Utara Kota Rantau Prapat.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua yang kita butuhkan (Burhan

Bungin, 2004). Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu mengumpulkan

data atau informasi dari buku-buku, jurnal yang diperoleh dari perpustakaan maupun

situs internet, dan dokumen lain yang dianggap relevan dengan permasalahan dalam

penelitian ini.

2.5 Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan dipresentasikan. (Singarimbun, 1995: 263). Data yang diperoleh dari hasil

penelitian akan dianalisis dalam beberapa tahap analisis, yaitu:

a. Analisis tabel tunggal

Merupakan suatu analisa yang dilakukan dengan membagi-bagikan variabel penelitian

ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan

langkah awal dalam menganalisa data yang terdiri dari dua kolom yaitu kolom sejumlah

frekuensi dan kolom presentase untuk setiap kategori. (Singarimbun, 1995: 226)

b. Analisis tabel silang

Teknik yang digunakan untuk mengetahui apakah variabel yang satu mempunyai

hubungan dengan yang lain sehingga dapat diketahui apakah variabel tersebut bernilai positif

atau negatif. (Singarimbun, 1995: 273) Selanjutnya untuk memperoleh nilai yang jelas dari

variabel yang dimaksud, maka perlu terlebih dahulu ditabulasikan bentuk tabel atau

(42)

2.6 Jadwal Penelitian

No. Kegiatan

Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra observasi 

2. Acc judul 

3.

Penyusunan proposal

penelitian   

4.

Seminar proposal

penelitian 

5. Revisi proposal penelitian  

6. Penelitian lapangan   

7.

Pengumpulan dan anlisis

data  

8. Bimbingan   

9. Penulisan laporan akhir   

10. Sidang meja hijau 

(43)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Kota Rantau Prapat

Pada awalnya wilayah Kecamatan Rantau Utara merupakan bagian dari wilayah

Kecamatan Bilah Hulu. Pada waktu Kecamatan Rantau Utara masih menjadi bagian dari

Kecamatan Bilah Hulu, wilayah ini hanya terdiri dari tiga buah desa yang jaraknya sangat

dekat dengan Kota Rantau Prapat. Ketiga desa yang dimaksud, yaitu Rantau Prapat, Padang

Matinggi, dan Sirandorung yang berada di pinggir Kota Rantau Prapat.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Kota Rantau Prapat, maka banyak penduduk

yang bekerja di Rantau Prapat dan bertempat tinggal di ketiga desa ini sehingga desa ini

semakin lama semakin ramai dan menyebabkan penduduk pun meningkat dengan pesat.

Akhirnya daerah ini sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan lagi dengan kota Rantau

Prapat, walaupun secara administrasif masih merupakan wilayah dari Kecamatan Bilah Hulu.

Perkembangan ini juga ditunjang oleh kebijaksanaan pemerintah Kabupaten Labuhan Batu

yang cenderung memperluas Kota Rantau Prapat ke sebelah utara. Perluasan kota ke sebelah

utara ini sangat dimungkinkan karena topografi daerahnya yang merupakan dataran rendah

sehingga sangat cocok untuk dijadikan pemukiman ataupun untuk mendirikan berbagai

bangunan fasilitas umum.

Berdirinya Kecamatan Rantau Utara bersamaan dengan keluarnya surat keputusan

Mendagri No. 14/II/1983 sehingga berdirinya Kecamatan Rantau Utara akibat dari

peningkatan status Kota Rantau Prapat menjadi kota administratif. Dalam keputusan

Mendagri disebutkan bahwa kota administratif Rantau Prapat terbagi atas dua, yaitu

(44)

wilayahnya adalah Kecamatan Rantau Prapat sebelumnya sedangkan Kecamatan Rantau

Utara wilayahnya adalah sebagian dari wilayah kecamatan Bilah Hulu, yaitu wilayah dari tiga

desa yang disebutkan di atas (Rantau Prapat, Padang Matinggi, dan Sirandorung). Dari sejak

itulah Kecamatan Rantau Utara resmi berdiri sampai saat sekarang ini. Sejak dari berdirinya

kecamatan Rantau Utara 1983, camat yang memimpin kecamatan ini telah berganti sebanyak

sepuluh kali.

Demikian sejarah singkat dari berdirinya Kecamatan Rantau Utara sehingga pada saat

ini Kecamatan Rantau Utara sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan lagi dengan

Kota Rantau Prapat karena di kecamatan ini pada saat sekarang sudah banyak berdiri

berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Demikian juga dengan berbagai fasilitas umum

yang menunjang keberadaan Kota Rantau Prapat dan wilayah yang merupakan gabungan dari

tiga desa ini, lebih menonjol ciri-cirinya sebagai daerah urban (perkotaan) dibandingkan

dengan daerah pedesaan saat ini.

4.1.2 Letak dan Kondisi Lingkungan Alam Kota Rantau Prapat

Kecamatan Rantau Utara merupakan salah satu kecamatan dari 22 buah kecamatan

yang ada di kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu. Di kecamatan ini terletak ibukota

Kabupaten Labuhan Batu yaitu Rantau Prapat. Adapun batas-batas kecamatan Rantau Utara

adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Rantau Selatan

Tinggi Kecamatan Rantau Utara 0-2151 dari permukaan air laut, suhu udara cukup

(45)

34°C, sedangkan suhu minimum 25ºC. Jumlah hari dengan curah hujan yang terbanyak

mencapai 62 hari setahun. Biasanya musim penghujan terjadi pada bulan September sampai

Desember.

Topografi tanahnya rata-rata datar sampai berombak jumlahnya mencapai 83% dari

luas wilayah kecamatan. Berombak sampai berbukit 12% dari keseluruhan wilayah,

sedangkan yang berbukit dan bergunung hanya 5%. Dengan demikian, sebagian besar

topografi tanahnya adalah tanah datar sehingga sangat cocok untuk dijadikan lokasi

perkebunan, terutama kebun kelapa sawit.

Luas daerah Kecamatan Rantau Utara mencapai 112,47 Km2. Sebagian besar wilayah

ini adalah untuk pemukiman penduduk. Tanah yang digunakan untuk pemukiman ini

mencapai 41,61 Km2 atau 36,99% dari keseluruhan wilayah. Penggunaan tanah lainnya

adalah untuk perkebunan negara, perkebunan swasta, perkebunan rakyat, perladangan

penduduk, persawahan, rawa-rawa, lapangan olahraga, serta tanah wakaf atau perkuburan,

yang pembagian tanahnya dibagi atas tanah kering 45,86 Km2. Untuk lebih jelas tentang

komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Rantau Utara dapat dilihat dalam tabel dibawah

ini :

Tabel 4.1

Komposisi Berdasarkan Penggunaan Lahan

No. Penggunaan Lahan Luas (km2) Persentase

1. Pemukiman 41,61 36,99 %

2. Tanah kering 45,86 40,78 %

3. Tanah sawah 8,38 7,45 %

4. Dan lain-lain 16,62 14,78 %

Total 112,47 100 %

(46)

Dari tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar lahan-lahan yang tersedia

dipergunakan untuk pemukiman penduduk. Hal ini terjadi karena Kecamatan Rantau Utara

merupakan daerah perkotaan yang sedang berkembang dan mulai padat penduduknya. Selain

itu, ada juga terdapat perkebunan negara dan swasta. Umumnya areal ini ditanami kelapa

sawit sedangkan untuk perkebunan rakyat, persawahan, perladangan, lahan yang tersedia

sangat sempit sehingga ini memberikan penafsiran kepada kita bahwa di Kecamatan Rantau

Utara sangat sedikit penduduknya yang mata pencahariannya petani. Kecamatan ini dipimpin

oleh seorang camat yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat

II Labuhan Batu. Karena kecamatan Rantau Utara merupakan wilayah dari kota administratif

Rantau Prapat, maka unit pemerintahan yang terkecil adalah kelurahan. Masing-masing

kelurahan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah bertanggung jawab kepada camat kecamatan

Rantau Utara.

Kecamatan Rantau Utara terbagi atas sepuluh kelurahan. Adapun kelurahan tersebut

antara lain :

1. Kelurahan Kartini

2. Kelurahan Sirandorung

3. Kelurahan Padang Bulan

4. Kelurahan Rantau Prapat

5. Kelurahan Cendana

6. Kelurahan Binaraga

7. Kelurahan Siringo-ringo

(47)

9. Kelurahan Padang Matinggi

10. Kelurahan Pulo Padang

Kantor camat sebagai pusat pemerintahan di Kecamatan Rantau Utara terletak di jalan

Binaraga Kelurahan Siringo-Ringo. Kantor camat ini memiliki luas tanah 670m² dengan luas

bangunan 600m². Dari gedung inilah keseluruhan jalannya pemerintahan di Kecamatan

Rantau Utara diatur dalam kesehariannya.

4.1.3 Pola Pemukiman

Rantau Prapat adalah kota yang sedang berkembang baik dari segi kependudukan

maupun dari tempat tinggal serta bentuk bangunan rumah yang bermacam-macam. Banyak

bangunan rumah terdapat di Kecamatan Rantau Utara ini, baik yang terbuat dari beton

dengan menampilkan semi permanen pada aksen rumah, maupun yang menunjukkan

kemewahan dengan biaya untuk bangunan rumah 1 milyar rupiah, namun masih ada juga

yang sederhana, dengan dinding rumah berlapis papan. Bangunan rumah menurut kualitasnya

dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.2

Bangunan Rumah Berdasarkan Kualitasnya

No. Kualitas Rumah Jumlah

1. Permanen 4.599

2. Semi permanen 8431

3. Sederhana 2.299

Total 15.329

Sumber: Kantor Camat Kecamatan Rantau Utara 2013

4.1.4 Komposisi Penduduk Kecamatan Rantau Utara

Kepadatan penduduk Kecamatan Rantau Utara sangat tinggi dengan luas 112,47 km²

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siti Suryani, 5, Jumakir. ,fianto,

[r]

[r]

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk pertunjukan Kesenian Dames Group Laras Budaya di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, serta

[r]

[r]

Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Loyalitas Karyawan pada PT.. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah bahan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi