POLA PENGATURAN PEMANFAATAN
SUMBER-SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA
PADA KEBERLANJUTAN KELOMPOK SOSIAL DAN
KELESTARIAN ALAM
(Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan
TNLL
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)
Oleh :
Joula Olvy Maya Sondakh
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
JOULA O.M. SONDAKH. F'ola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria serta lmplikasinya patja Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam (kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi T'engah). Dibawah bimbingan Dr. M.T. Felix Sitorus dan Dr. Endriatmo Soetarto.
Masyarakat sekitar kawasan TNLL, terutama di Kecamatan Palolo Kabupaten Dongala meruplakan masyarakat heterogen yang terdiri dari bermacam-macam suku. Ragam suku datang ke sana melalui program transmigrasi pemerintah maupun migrasi spontan. Penelitian ini berusaha mempelajari bagaimana masing-masing kelompok sosial kesukuan dalam pengaturan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria di desa-desa pinggiran hutan. Di samping itu beruseiha mempelajari aktualisasi dari keberadaan pola pengaturan pemanfaatan sulnber-sumber agraria tersebut mampu menjamin kelangsungan hidup warga masing-masing kelompok kesukuan termasuk kepentingan aspek kelestaria~n alamnya. Penelitian yang dilaksanakan di Desa Sintuwu dan Berdikari Kecarr~atan Palolo ini menerapkan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Seluruh informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode-metodt? pengamatan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen.
Desa-desa penelitiar~ terbentuk pada awal tahun 1960-an. Di Desa Sintuwu suku Kaili Taa merupakan perintis atau pembuka desa. Menyusul kemudian adalah suku-suku Bugis, Kulawi, Kaili Tara, Kaili Ledo, Kaili Ija, Manado, Cina, Mori, Sunda, Toraja, dan Bali. Sedangkan di Desa Berdikari suku Kulawi merupakan perintis pelnbukaan desa. Suku-suku Bugis, Toraja, Manado, Mori, Kaili Daa, Jawa, dan Bali kemudian datang menyusul.
Ego-etnis mulai terlihat dengan terjadinya pengelompokan eksklusif tiap kelompok sosial dalam pola pemukiman. Demikian juga tidak terlihat adanya perbauran adat istiadat sejak pembauran antar suku setempat. Masing-masing kelompok kesukuan menjalanltan adat istiadat asli dari desa lama.
Selain faktor kesukuan, kemajemukan juga muncul dalam tingkat perekonomian. Mayoritas warga suku Bugis memiliki tingkat perekonomian yang jauh lebih baik dari suku-suku lainnya. Suku ini memiliki etos ke rja tinggi, senang menabung, terbuka terhadap arus modemisasi, serta cenderung mengejar surplus dalam kegiatan pertanian dan perdagangan. Sebaliknya suku Kaili Taa dan Kulawi, yang merupakar~ suku-suku mayoritas di kedua lokasi penelitian, cenderung subsistensi walaupun saat ini mulai tampak sejak peralihan ke arah komersialisasi.
kegiatan penanaman sawah tampak setelah berbaur dengan suku Bugis yang memiliki inti budaya bersawat~ dari desa asal.
Di Desa Sintuwu, jika suku Kaili Taa dan Kulawi secara total meninggalkan kebudayaan peladang berpindah, maka begitu pula yang terjadi dengan suku Bugis. Suku ini secara total meninggalkan kebudayaan bersawah dengan berkebun kakao. Jika suku Kaili Taa dan Kulawi mengganti budaya peladang berpindah dengan bersawah karena alasan subsistensi dan komersialisasi, lain halnya tlengan suku Bugis yang memiliki tujuan utama komersialisasi dari pergantian~ usaha pertanian tersebut.
Hubungan sosial merupakan sarana akses memperoleh sumber daya sosial dan ekonomi. Hubungan sosial yang tampak pada kajian ini adalah pembentukan suatu pengatumn bersama terhadap pemanfaatan sumber-sumber agraria khususnya menyangkut penguasaan dan pengusahaan tanah serta hubungan produksi. Perangkat aturan ini mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Aturan-aturan tersebut mener~tukan tata cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaaitan sumber daya serta membantu mereka dalam menentukan hak serta kew'ajiban masing-masing. Pengaturan ini menjamin kehidupan sosial ekonomi petani dan keluarganya agar tetap bertahan dan menancapkan suatu solidarita~s komunitas. Karenanya, pada sebagian komunitas yang terlibat di dalamnya, mengandalkan sikap kepatuhan terhadap pengaturan sosial bersama ini. Karena t~egitu efektifnya maka mekanisme pengaturan itu telah melembaga dalam masyarakat.
Aturan penguasaan seperti kepemilikan dan cara memperoleh, sewa menyewa yang dikenal dengan istilah bapajak, sakap menyakap, hak pakai, serta berbagai pengaturan tczrhadap Taman Nasional Lore Lindu serta Hutan Produksi Terbatas. Sedangkian aturan pengusahaan menyangkut peruntukkan tanah, pergiliran tanaman, serta penggunaan teknologi. Sementara aturan hubungan kerja pertanian menyangkut hubungan kerja dalam kegiatan bapetak, bapalus, pembagian ke ja serta hubungan dengan pedagang dan pelepas uang. Pola pengaturan yarlg dijalankan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut menunjukkarr adanya ketidak teraturan. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai ketentuan yang berbeda dalam suatu aktifitas kelembagaan agraria yang dijalankan. Hal lainnya dalam kepemilikan tanah. Pada areal yang baru dibuka pertama kali, pada banyak kasus, telah menjadi tradisi bahwa rumah tangga petani yang membersihkan lahan
-
apakah lahan di daerah datar ataupun hutan yang diketahui belum dimiliki oleh seseorang- berhak untuk dimiliki, digunakan, bahkan dtwariskan kepada generasi berikutnya.Jual
-
beli tanah, monjadi fenomena yang banyak terjadi dalam usaha memperoleh lahan. Hal demikian membuat keadaan semakin terdesak bagi penduduk sekitar hutan, sehirlgga daerah jangkauan pembukaan lahan semakin jauh masuk ke arah hutan yang telah diklaim pemerintah sebagai hutan TNLL di bagian Desa Sintuwu dan HF'T di Desa Berdikari. Faktor penjualan tanah akibat kegiatan seremonial dan akumulasi tanah untuk pewarisan menjadi salah satu penyebab terjadinya pembukaan hutan. Pemilikan individu terhadap tanah sangat tampak, baik milik peniduduk berdomisili maupun tanah guntai yang cukup mendominasi. Saat penelitian berlangsung, hak individu penduduk 'asli' mulai banyak bergeser ke para imigran yang mulai berada dalam jumlah yang besar.Jaringan sosial bersifat horisontal terlihat pada kasus pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Jaringan ini terdiri dari jaringan kekerabatan. Hubungan keke~abatan tersebut berpengaruh nyata pada pemilihan tenaga kerja pertanian dan keterlibatan dalam kegiatan kelembagaan agraria.
melihat anggota berdasarkar~ suku. Namun tidak semua suku ingin bergabung ke kelembagaan yang telah dibentuk ini. Perbedaan status ekonomi telah menjadi jurang pemisah.
Hak pakai atau ha~k mengelola hutan yang diberikan kepala desa, berimplikasi terhadap perrlbukaan hutan dan di satu sisi menciptakan ketegangan sosial antar kelompok sosial. Ketegangan ini muncul karena izin hak pakai hanya diberikan pada suku tertentu yang memiliki jaringan sosial kekerabatan dengan kepala desa.
Pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria memiliki beberapa implikasi antara lain; ( I ) Akses masyarakat terhadap hutan TNLL dan HPT. Faktor demografi derlgan terjadinya tekanan penduduk terhadap tanah akibat arus migrasi masuk yang cukup besar, keterdesakan ekonomi, kegiatan sosial, serta faktor struktural sejak dari desa asal menjadi penyebab terjadinya perambahan terhadap hutani TNLL dan HPT. Keterbukaan pemanfaatan hutan tersebut juga dipengaruhi dengan adanya pemberlakuan hak pakai dari pemerintah desa. (2) lkatan terhadap tanah. Tanah telah dijadikan aset komersial yang diperjual-belikan untuk memenuhi kebutuhan seremonial pada suku Kaili Taa dan Kulawi, tanah sebagai faktor produksi untuk kehidupan subsistensi dan komersialisasi (semua suku), dan tanah sebagai aset warisan (suku Kulawi). (3) Diversifikasi tanaman. Lebih diakibatkan karena komersialisasi dalam bidang pertanian. (4) Diversifikasi ~~ekerjaan. Terjadi pada beberapa suku (Cina dan Bugis) yang tidak memiliki keinginan merambah hutan dengan menciptakan kelas pedagang dalam masyarakat yang memang telah menjadi referensi kebudayaan mereka sejak di desa asal, sebaliknya pada suku tertentu (Kaili Taa dan Kulawi) izin hak pakai terhadap hutan telah meciptakan kelas perambah hutan dalam masyarakat. dan (5) Teknologi lokal. Masih terjadinya sistem tebang-bakar terhadap pembukaan hutan untuk lahan pertanian yang memiliki kecenderungan negatif dari aspek kelestarian alam. Selain itu, teknologi lokal juga telah berlaku dalam kegiatan pengolahan pasca panen hasil hutan dalam
skala rumah tangga.
POLA PENG,ATURAN PEMANFAATAN
SUMBER-SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA PADA
KEBERLANJUTAN KELOM[POK SOSIAL DAN KELESTARIAN
ALAM(Studi kasus pada masyariikat di dua desa di sekitar kawasan TNLL
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)
Oleh
:Joula Olvy Maya Sondakh
99141
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Pasc:a Sarjana, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUD1 SOSIOLOGI PEDESAAN
PROGRQM PASCA SARJANA
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan t~ahwa tesis yang berjudul :
POLA PENGATURAN F'EMANFAATAN SUMBER-SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA PADA KEBERLANJUTAN
KELOMPOK SOSIAL DAN KELESTARIAN ALAM
(Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)
Adalah benar merupakan ha~sil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2002 .,
Judul Tesis : POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER- SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA PADA KEBERLANJUTAN KELOMPOK SOSIAL DAN KELEISTARIAN ALAM
(Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tenga~h)
N a m a : JOULA O L W MAYA SONDAKH
Nomor Pokok : 99141
Menyetujui 1. Komisi Pe bimbing
K'
Dr. M.T. Felix Sitorus ~ r f ~ n c b a t h o b o e t a r t o Ketua
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
--Dr. M.T. Felix Sitorus
Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 9 Juli 1969 dari ayah
bernama Johanis Alexander Sondakh dan ibu bemama Magrietje Anie Kasenda.
Pendidikan SD GMlM XXXlV IManado lulus 1982, SMP N. IV Manado lulus tahun 1985, SMA N.
V
Manado lulus tahun 1988 dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan Unsrat dan lulus Januari 1993.Pada tahun 1993
-
1997 bekerja di IPPTP Kalasey Sulawesi Utara, dan tahun 1997 sampai sekaran~g bekerja di BPTP Biromaru Sulawesi Tengah.Kedua instansi tersebut berlindung di Badan Litbang Departemen Pertanian.
Tanggal 3 April 1993 menikah dengan Dwi Kresjono Moeljono dan
tanggal 16 Januari 1995 dikaruniai seorang putri bemama Andrea Eka Magrie
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa Yang Di Surga, atas cinta
kasih dan berkat-Nya sehinglga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini merupakan h~asil penelitian yang dilakukan pada masyarakt yang berada di pinggiran Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah sejak
pertangahan April 2001
-
akhir Juli 2001. Untuk itu penulis mengucapkan banyakterima kasih atas bimbingan, pengarahan serta masukan terutama kepada Bapak
Dr. M.T. Felix Sitorus dan Dr. Endriatmo Soetarto sebagai komisi pembimbing sejak pembimbingan proposal hingga penyelesaian tesis
ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bagian Proyek ARMP-II Badan Litbang F'ertanian atas dukungan seluruh dana sampai
selesainya masa perkuliaha~i, juga Kepala BPTP Biromaru, serta rekan-rekan kerja yang penulis rasakan sangat membantu selama masa studi berlangsung.
Ucapan yang sama penulis juga sampaikan kepada seluruh pengelola Proyek STORMA (Stability of Rain Forest Margin) proyek kerja sama penelitian
Indonesia (IPB-UNTAD) dan Jerman (Goettingen-Kassel University), atas bantuan dana penelitiannya, serta rekan-rekan yang turut membantu di lapangan selama kegiatan penelitian berlangsung. Masyarakat Palolo serta seluruh
petugas dari beberapa instar~si pemerintahan, beberapa LSM Sulawesi Tengah,
serta pengelola koran Mercusuar Palu yang semuanya sangat koperatif.
Rekan-rekan kost (Vlera, Otje dan Trie), rekan-rekan asrama Sulut di
Bogor, dan rekan lainnya yang telah sangat banyak membantu selama masa
studi. Terima kasih, semua itu tak mungkin kulupakan.
Rasa hormat dan sayang buat suamiku dan anakku Dea atas izin,
dorongan, doa, dan dananya selama studi dan untuk selalu terus. Buat mami dan papi tercinta yang tidak perniah lelah memberi kasih sayang serta dukungan doa
(dan juga dana), kakak-kakakku beserta keluarganya, dan adikku Lili. Juga
keluarga besar Moeljono. Aku mencintai kalian, selamanya.
Semoga tesis ini berrr~anfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Pebruari 2002
DAFTAR
IS1
...
DAFTAR TABEL...
DAFTAR GAMBAR...
DAFTAR LAMPIRAN...
PENDAHULUAN...
Latar BelakangMasalah Penelitian
...
...
Tujuan Penelitian...
TINJAUAN PUSTAKA...
Komunitas SosialKehidupan Subsistensi dan Komersialisasi dalam
Pemanfaatan Sumber-sumber Agraria
...
...
Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria
...
Keberianjutan Masyaralqat dan Sumber-Sumber Agraria
...
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
...
Metode Penelitian
...
GAMBARAN UMUM WILAYAH
...
Kondisi Geografis dan Karakteristik Sumber-Sumber Agraria
...
Sejarah Migrasi Kelomplok Sosial dan Pembentukan
Desa Baru
...
Kondisi Demografis
...
Karakteristik Kelompok Sosial
...
POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER-SUMBER AGRARIA . 52
...
Latar Belakang Ekologi Budaya Tiap Kelornpok Sosial
...
Lahan Pertanian
...
Rangkurnan
IMPLlKASl POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER SUMBER AGRARIA DAN KEEjERLANJUTAN KEHIDUPAN
KELOMPOK SOSIAL DAN KELESTARIAN ALAM
...
Akses Masyarakat terhatjap Taman Nasional Lore Lindu dan
...
Hutan Produksi Terbatas
...
lkatan Terhadap Tanah
Diversifikasi Tanarnan
...
...
Diversifikasi Pekerjaan
Teknologi Lokal
...
...
Rangkurnan
KESIMPULAN DAN SARAN
...
...
Kesirnpulan
...
Saran
DAFTAR PUSTAKA
...
...
DAFTARTABEL
'Te ks
--
Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian
...
Jumlah penduduk berdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari, tahun 2000-
20001...
Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Sintuwu, tahun 2000...
Jumlah persil, pemilik; dan luas tanah keseluruhan di Desa Sintuwu dan Berikari, 2001...
Luas dan distribusi kepemilikan tanah di Desa Sintuwu, 2001...
Kepemilikan tanah di desa Berdikari, 2001...
Pemilikan tanah guntai di desa Berdikari, 2001...
Cara memperoleh tarlah setiap kelompok sosial di desa Sintuwu dan Berdikari, 2001...
Karakteristik kelompolk sosial dalam bentuk penguasaan...
tanah di desa Sintuwu, 2001
Karakteristik kelompolk sosial dalam bentuk penguasaan
...
tanah di desa Berdikari, 2001
Jenis peruntukan tanish setiap kelompok sosial di desa
...
Sintuwu dan Berdikari, 2001
Jenis dan jumlah alat mekanisasi pertanian di Desa
...
Sintuwu, 2001
Karakteristik kelompok sosial dalam bentuk hubungan kerja bapetak dan bapalus di Desa Sintuwu dan Berdikari, 2001
.
DAFTAR GAMBAR
Gambar
-
Teks HalamanI. Tingkatan pembuatan keputusan dan kegiatan
. ..
..
. .
.
.. . .
102. Alur kerangka pemikiran
...
...
... ...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
16 3. Keberadaan kelembalgaan masyarakat...
...
...
... ...
...
...
...
..
49 4. Kawasan HPT dilihat ldari wilayah dusun 2 Berdikari...
... ...
765. Kawasan HPT dilihat ldari wilayah dusun 2 Berdikari
... ... ...
76
6. Sistematika kegiatan bapetak di desa Sintuwu dan Berdikari 887. Sejarah penetapan TFJLL versi masyarakat dan
LSM
DAFTAR LAMPIRAN
[image:191.576.83.494.22.798.2] [image:191.576.102.496.36.660.2]Lampiran Teks
.
Halaman...
Peta lokasi pcenelitian penelitian (1)
Peta lokasi penelitian penelitian (2)
...
Peta paduserasi lokasi penelitian...
Peta desa Sintuwu
...
...
Peta desa Berdikari
Karakteristik Uata guna lahan di Sintuwu dan Berdikari
.
Peta jenis koinoditas desa Sintuwu
...
...
Peta jenis ko~noditas desa Berdikari
Tabel sejarah migrasi Berdikari kelompok sosial di desa
...
Sintuwu dan Berdikari
Contoh surat masih berlakunya adat dalam rnasalah
perkawinan sluku Kulawi di Sintuwu dan Berdikari
...
Pola pemukinian eksklusif kelompok sosial di Sintuwu
.
Pola pemukin~an eksklusif kelompok sosial di Berdikari...
Tabel struktur kepemilikan tanah di Sintuwu. 2001 Grafik kepem, ilikan tanah (1) di Sintuwu. 2001...
Grafik kepem~ilikan tanah (2) di Sintuwu. 2001
...
....
Trend jual beli tanah di Sintuwu sejak 1995
-
2001....
Tabel struktur kepemilikan tanah di Berdikari. 2001...
.
Grafik kepemilikan tanah di Berdikari (1) 2001
...
.
Grafik kepem~ilikan tanah di Berdikari (2) 2001
...
Bentuk surat 1:ransaksi bapajak di Sintuwu
....
Gambar sejarah penetapan TNLL versi pemerintah
...
Klipingan koran tentang TNLL
...
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia pada prinsipnya rnemiliki ketergantungan yang cukup tinggi
terhadap sumber-sumber agrarila, dalam ha1 ini menyangkut air, udara, tanah dan
semua kekayaan yang terkandung di dalamnya. Gambaran ketergantungan ini
semakin tampak dengan terjadinya perebutan terhadap sumber-sumber agraria
tersebut. Kerusakan lingkungan hidup tidak dapat dihindari. Hal tersebut
dilatarbelakangi dengan tinggir~ya laju pertumbuhan penduduk. Seperti yang
dikatakan Salirn (1993), pertambahan penduduk jelas memberi dorongan
terhadap penggunaan ruang dim tanah. Tjondronegoro (1 999: 103), juga turut
rnelihat kerusakan lingkungan~ seperti degradasi tanah berpangkal pada
kepadatan penduduk yang b~erlebihan, yang mengakibatkan pemanfaatan
berlebihan atas tanah yang ada.
Pada areal pemukimari penduduk diperkotaan yang semakin padat,
pemerintah mengambil suatu kebijakan mernindahkan penduduk ke daerah yang
belum menunjukkkan gejala tekianan penduduk yang cukup berarti saat itu. Hal
ini dilakukan sebagai langkah mengendalikan efek negatif pengembangan
sektoral lingkungan perkotaan. Sielain pengaturan pernerintah lewat transmigrasi,
perpindahan tempat tinggal (ress:etlement) spontan rnasyarakat banyak dilakukan
keternpat baru yang dirasakan rr~asih rnemberi peluang kehidupan lebih baik.
Selain akibat pertambahan penduduk, pengaruh negatif akibat
penggunaan sumber agraria yang cukup tinggi ini juga dipengaruhi oleh
kesalahan pernerintah dalam rnenentukan kebijakan (government failure).
Disarnping itu juga akibat harga pasar dunia yang menguntungkan pihak swasta
mengeksploitasi sumber-surnber tersebut, terutama yang sangat tampak saat ini
Proses perampasan tanah dan penggusuran terus-menerus menjadi
tanpa bisa dihentikan, tiadanya jaminan perlindungan hukum dan kepastian
hukum terhadap pemilikan tanah dan penguasaan tanah kepada masyarakat
desa, dan berbagai persoalan lain yang menyangkut sumberdaya agraria. Selain
pengaruh luar, dinamika sistern sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang ada
turut memberi pengaruh terhadap kondisi sistem ekologi.
Migrasi baik direncanakan maupun spontan dilakukan masyarakat,
umumnya menempati areal pertisnian yang saat itu masih memberi kesempatan
pemanfaatan cukup besar dan cenderung berbatasan dengan hutan. Seperti
dikatakan Mulatsih dan Pambuidy (1999), masyarakat yang tinggal di daerah
margin hutan, selalu berusaha mengeksploitasi sumberdaya yang tersedia
disekitamya untuk mempertahankan hidupnya. Cara-cara pemanfaatan yang
selama ini diterapkan masih bersifat tradisional dengan pengetahuan terbatas
dari generasi sebelumnya. Cara seperti ini cenderung mengarah kepada
overeksploitasi, degradasi, bahkian merusak elemen dari sumber daya alam.
Gejala di atas mulai tejadi pada masyarakat pinggiran hutan di sekitar
Taman Nasional Lore Lindu maupun Hutan Produksi Terbatas di Kecamatan
Palolo Propinsi Sulawesi Tengah. Survey pendahuluan awal2001, menunjukkan
bahwa masyarakat di sekitar hutan tersebut menunjukkan suatu pola
pemanfaatan ekslusif terhadap slumber-sumber agraria terutama hutan dan tanah
sebagai lahan pertanian dan pemukiman. Hal ini dapat dimaklumi bahwa desa-
desa di Kecamatan Palolo banyak merupakan desa bentukan akibat program
transmigrasi pemerintah dan tert~anyak akibat migrasi swakarsa.
Heterogenitas masyarakat yang berasal dari kelompok sosial berbeda ini
tentu saja berpengaruh terhaclap pengaturan pemanfaatan sumber-sumber
agraria yang ada. Apalagi ketilca akses mereka dan hak memanfaatkan hasil
pemerintah tentang sistem pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Tanah sebagai
modal dan sarana produksi penting yang semula dapat diusahakan secara bebas
(ad libitum) akhimya menjadi barang langka.
Hal ini akan terjadi ketika hutan telah dikembangkan untuk kawasan
taman nasional dalam ranglka kepentingan konservasi, pendidikan, ilmu
pengetahuan, penelitian, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam (Psl. 31
UU No. 5 Thn. 1990 tentang pemanfaatan taman nasional), hutan produksi
dalam ha1 ini lebih kepada perizinan untuk industrialisasi HPH, atau kepentingan
lain yang menjadikan hutan sebagai kawasan tertutup bagi masyarakat
sekitamya. Keadaan tersebut tak terkecuali terjadi pada masyarakat di pinggiran
hutan Lore Lindu sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah menjadikan
kawasan tersebut sebagai Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas 250.000 ha
(Salim, 1993), atau lebih tepatrlya seluas 229.000 ha berdasarkan SK.593lKpts-
1111993 tertanggal5 Oktober 1993 (TNC, 2000).
Kemungkinan konflik dalam masyarakat yang merupakan imbas negatif
akibat faktor penguasaan dan pengusahaan lahan dapat terjadi, yang
mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat lokal di pinggiran kawasan
hutan. Pergeseran nilai dan norma tampaknya mulai terjadi. Hal ini dipengaruhi
oleh ketimpangan struktur agraria yang muncul akibat ketidakadilan akses
sumber agraria yang ada. Namun kajian secara mendalam tentang ha1 ini belum
dilakukan. Oleh karenanya, perlelitian kali ini akan lebih melihat beke rjanya pola
pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria oleh kelompok sosial dalam
rangka keberlanjutan kehiduparl masyarakat di sekitar kawasan TNLL dan HPT.
Nlasalah Penelitian
1) Bagaimana pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria pada
kelompok-kelompok sosial kesukuan dalam masyarakat pinggiran hutan ?
2)
Apakah pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebutmampu menjamin keberlanjutan masyarakat pinggiran hutan ?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusari masalah, tujuan penelitian ini adalah :
1) Mempelajari bagaimana pola-pola pengaturan pemanfaatan sumber-
sumber agraria di antara kelompok-kelompok sosial kesukuan di desa-
desa pinggiran hutan.
2)
Mempelajari bagaimana aktualisasi dari keberadaan pola pengaturanpemanfaatan sumber-sumber agraria yang disebutkan pada butir 1 di
atas dapat menjamin kelangsungan hidup warga masing-masing
kelompok kesukuan tersebut, termasuk kepentingan aspek kelestarian
TINJAUAN PUSTAKA
Komunitas Sosial
Keluarga dan masyarakat memiliki hubungan fungsional yang bersifat
timbal balik. Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan sosial terkecil
yang membentuk masyarakat. Sebagai pranata sosial yang usianya sudah
sangat tua, keluarga atau rumah tangga hanya dapat berfungsi dengan baik bila
mendapat dukungan masyarakat.
Suatu keluarga akan hidup di tengah suatu komunitas dan berusaha
mengembangkan suatu jaringan sosial sebagai landasan mencapai suatu
keteraturan sosial (social order). Dalam jaringan yang terbentuk, menurut
Kusnadi, 2000, hubungan sosial dan keanggotaannya melampaui batas-batas
teritorial (bordedess) dan keberadaan masyarakat yang bersangkutan
Komuniti atau kesatuan hidup setempat, merupakan suatu kesatuan
hidup manusia yang tidak pertama-tama ada karena ikatan kekerabatan tetapi
karena ikatan tempat kehidupan (Koentjaraningrat, 1974: 155). Masyarakat yang
hidup dalam satu kesatuan ini merupakan suatu kelompok yang saling bekerja
sama dan sangat kuat menjalankan aturan-aturan yang telah dibuat dan
disepakati bersama.
Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan, sebagai kesatuan manusia
mereka memiliki perasaan kesatuan yang amat keras sehingga rasa kesatuan itu
menjadi sentimen persatuan yang mengandung unsur-unsur rasa kepribadian
kelompok. Artinya, perasaan bahwa kelompok itu sendiri mempunyai ciri-ciri
(biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup) yang berbeda dengan
kelompok lain; perasaan bangga akan ciri-ciri kelompok itu sendiri; dan seringkali
juga perasaan negatif, ialah merendahkan atau paling sedikit menganehkan ciri-
wilayah, dan kepribadian kelompok itu. Masyarakat adat merupakan salah satu
kesatuan hidup setempat.
Kehidupan Subsistensi dan Komersialisasi dalam Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria
Terdapat dua indikator dari tiga indikator yang ditawarkan Suhendar dan
Winami (1998), (indikator satu dan dua disatukan karena memiliki motif yang
sama), yang dapat dipakai memahami pola subsistensi dan komersialisasi
petani, yaitu (!) Orientasi dan besar kecilnya skala usaha. Petani tidak bersikap
komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah, menganggap peningkatan produksi
tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarga. Sebaliknya jika
didasari oleh orientasi surplus dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk
petani komersial; (2) Jenis komoditas. Walaupun mengusahakan komoditas
kornersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya tergolong petani
subsistensi. Sedangkan petani komersial terlihat dari tujuan surplus terhadap
tanaman komersial.
Colter dalam Kasryno (1984:305), melihat perkembangan sistem
perekonomian pedesaan dalam 3 fase, yaitu fase sistem subsistensi, peralihan
dari subsistensi ke komersialisasi, dan fase sistem komersialisasi. Pada sistem
pertanian subsistensi produksi pertanian hanya ditujukan untuk keperluan
konsurnsi, dan pada fase ini kebutuhan akan dana kredit belurn berkembang.
Dalam sistem peralihan terlihat adanya spesialisasi produksi dengan masuknya
teknologi baru, sehingga kebutuhan masyarakat yang semula terbatas pada
bahan makanan pokok mulai berkembang kepada kebutuhan akan barang lain
dan sarana produksi. Kebutuhan ini umumnya berasal dari luar desa dan
Wolf (1985:19), melihat petani dari sudut pandang antropologis,
mengatakan ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya
berproduksi begitu kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Petani itu sendiri selalu
dibebani tiga kebutuhan dana yang haws dipenuhi, yaitu dana untuk kebutuhan
pokok mempertahankan suatu minimum kalori, dana penggantian alat-alat
produksi (replacement fund), dan dana seremonial (ceremonial fund).
Disamping itu terdapat dana lainnya yang akan mengikuti kehidupan
mereka diperhadapkan pada suatu posisi tertentu seperti dana sewa tanah.
Sebaliknya, orang luar akan memandang petani sebagai satu sumber tenaga
kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya (fund of power),
pada kasus ini muncullah apa yang disebut Wolf sebagai dilema petani. Lebih
jauh disebutnya unit petani pedesaan (peasant unit) dapat merupakan suatu unit
produksi sekaligus konsumsi.
Scott (1994), yang beraliran ekonomi moral, lebih melihat posisi petani
cenderung berada pada batas kehidupan yang sewaktu-waktu siap
menenggelamkannya. "Etika subsisten" disebutnya untuk menggambarkan
betapa petani selalu berada pada posisi penuh kekhawatiran terhadap segala
sesuatu yang mengancam kehidupannya. Mereka akan berusaha untuk
mengutamakan selamat (safety firsf). Sebagai unit ekonomi subsistensi, bagi
Scott, petani hanya memikirkan bagaimana hidupnya berlangsung walaupun
tanpa surplus produksi.dan investasi.
Sebaliknya Popkin (1983) memiliki pemikiran berlainan dengan Scott.
Baginya petani memiliki suatu "rasionalitas", yaitu akan terus berusaha
memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran sendiri tanpa mempedulikan
moral pedesaan. Petani diyakini pasti memiliki orientasi pasar dan akan selalu
berusaha meningkatkan produksi. Hal tersebut akan lebih meningkat bila desa
Tjondronegoro (1999:65), dalam menelusuri pemikiran Scott dan
Popkins, lebih melihat bahwa beberapa postulat yang mendasari pemikiran
mereka tidak berbeda, yaitu bahwa petani berpikir rasional. Seperti pada bagian
selanjutnya dijelaskan, bahwa konservatisme petani menurut persepsi Scott yang
artinya juga rasional yaitu menghindari biaya yang lebih besar daripada yang
dapat dipikulnya.
Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber Agraria
Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek
ideal kehidupan warga masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata
cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber
daya serta membantu dalam menentukan hak serta kewajiban masing-masing
(Hayami dan Kikuchi, 1982 dalam Kasryno 1984).
Sebuah keluarga tani agar bisa tetap suwive dan sekaligus menyumbang solidaritas komunitas agar tetap kuat, maka mereka berupaya
untuk patuh terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama. Mekanisme
pengaturan itu pada gilirannya akan melembaga dalam kehidupan masyarakat,
dalam arti mampu beperan aktif (Suhendar dan Winami, 1998).
Kasryno (1984) mengatakan bahwa untuk mencipta, membina, ataupun
mengubah kelembagaan, diperlukan suatu tindakan bersama dan sejumlah biaya
dikorbankan. Pada bagian lain disebutkan bahwa kelembagaan pedesaan dapat
berupa kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan
kelembagaan hubungan kredit. Selanjutnya Wiradi dan Makali dalam Kasryno
(1984:99), melihat kelembagaan hubungan kerja pertanian yang ada di 12 desa
di Jawa dan 3 desa di Sulawesi Selatan, yang terdiri dari empat macam, yaitu (a)
harian, (c) hubungan keja dengan sistem tukar-menukar tenaga keja, dan (d)
hubungan kerja dalam bentuk ceblokanlkedokan.
Uphoff (1 986:23) lebih menekankan bahwa peranan kelembagaan lokal
dalam kegiatan pengelolaan rnasyarakat, cenderung dibatasi dengan rendahnya
kemampuan masyarakat (local knowledge). Hal ini dapat berakibat golongan
masyarakat yang lebih kuat akan mengambil keuntungan dari masyarakat yang
lemah ini. Namun pada bagian lain dikatakan, ketika ada potensi konflik yang
multiragam dalam penggunaan sumber daya alam pada masyarakat lokal,
pemerintahan lokal (local government) menjadi ajang terbaik dalam penyelesaian
konflik antar golongan yang te jadi.
Batasan wilayah lokal, diambil Uphoff (1986:l I), berdasarkan "tingkat
sosial". Hal ini paling sedikit menurutnya terdapat tiga tingkatan lokalitas (6,7 dan
8) dari 10 tingkatan yang ada (Gambar 1). Baginya, di bawah atau di atas
tingkatan tersebut seseorang tidak sepakat lagi dengan apa yang seharusnya
dideskripsikan sebagai "lokal". Rumah tangga dan individu merupakan unit-unit
pengambilan keputusan dan aktivitas yang berbeda karena mereka lebih kecil
dan tidak berkonfrontasi dengan jenis problem yang sama diantara "tindakan