• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-sumber Agraria serta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam (Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-sumber Agraria serta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam (Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)"

Copied!
344
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)
(154)
(155)
(156)
(157)
(158)
(159)
(160)
(161)
(162)
(163)
(164)
(165)
(166)
(167)
(168)
(169)
(170)
(171)
(172)
(173)
(174)
(175)
(176)
(177)
(178)

POLA PENGATURAN PEMANFAATAN

SUMBER-SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA

PADA KEBERLANJUTAN KELOMPOK SOSIAL DAN

KELESTARIAN ALAM

(Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan

TNLL

Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)

Oleh :

Joula Olvy Maya Sondakh

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(179)

ABSTRAK

JOULA O.M. SONDAKH. F'ola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria serta lmplikasinya patja Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam (kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi T'engah). Dibawah bimbingan Dr. M.T. Felix Sitorus dan Dr. Endriatmo Soetarto.

Masyarakat sekitar kawasan TNLL, terutama di Kecamatan Palolo Kabupaten Dongala meruplakan masyarakat heterogen yang terdiri dari bermacam-macam suku. Ragam suku datang ke sana melalui program transmigrasi pemerintah maupun migrasi spontan. Penelitian ini berusaha mempelajari bagaimana masing-masing kelompok sosial kesukuan dalam pengaturan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria di desa-desa pinggiran hutan. Di samping itu beruseiha mempelajari aktualisasi dari keberadaan pola pengaturan pemanfaatan sulnber-sumber agraria tersebut mampu menjamin kelangsungan hidup warga masing-masing kelompok kesukuan termasuk kepentingan aspek kelestaria~n alamnya. Penelitian yang dilaksanakan di Desa Sintuwu dan Berdikari Kecarr~atan Palolo ini menerapkan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Seluruh informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode-metodt? pengamatan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen.

Desa-desa penelitiar~ terbentuk pada awal tahun 1960-an. Di Desa Sintuwu suku Kaili Taa merupakan perintis atau pembuka desa. Menyusul kemudian adalah suku-suku Bugis, Kulawi, Kaili Tara, Kaili Ledo, Kaili Ija, Manado, Cina, Mori, Sunda, Toraja, dan Bali. Sedangkan di Desa Berdikari suku Kulawi merupakan perintis pelnbukaan desa. Suku-suku Bugis, Toraja, Manado, Mori, Kaili Daa, Jawa, dan Bali kemudian datang menyusul.

Ego-etnis mulai terlihat dengan terjadinya pengelompokan eksklusif tiap kelompok sosial dalam pola pemukiman. Demikian juga tidak terlihat adanya perbauran adat istiadat sejak pembauran antar suku setempat. Masing-masing kelompok kesukuan menjalanltan adat istiadat asli dari desa lama.

Selain faktor kesukuan, kemajemukan juga muncul dalam tingkat perekonomian. Mayoritas warga suku Bugis memiliki tingkat perekonomian yang jauh lebih baik dari suku-suku lainnya. Suku ini memiliki etos ke rja tinggi, senang menabung, terbuka terhadap arus modemisasi, serta cenderung mengejar surplus dalam kegiatan pertanian dan perdagangan. Sebaliknya suku Kaili Taa dan Kulawi, yang merupakar~ suku-suku mayoritas di kedua lokasi penelitian, cenderung subsistensi walaupun saat ini mulai tampak sejak peralihan ke arah komersialisasi.

(180)

kegiatan penanaman sawah tampak setelah berbaur dengan suku Bugis yang memiliki inti budaya bersawat~ dari desa asal.

Di Desa Sintuwu, jika suku Kaili Taa dan Kulawi secara total meninggalkan kebudayaan peladang berpindah, maka begitu pula yang terjadi dengan suku Bugis. Suku ini secara total meninggalkan kebudayaan bersawah dengan berkebun kakao. Jika suku Kaili Taa dan Kulawi mengganti budaya peladang berpindah dengan bersawah karena alasan subsistensi dan komersialisasi, lain halnya tlengan suku Bugis yang memiliki tujuan utama komersialisasi dari pergantian~ usaha pertanian tersebut.

Hubungan sosial merupakan sarana akses memperoleh sumber daya sosial dan ekonomi. Hubungan sosial yang tampak pada kajian ini adalah pembentukan suatu pengatumn bersama terhadap pemanfaatan sumber-sumber agraria khususnya menyangkut penguasaan dan pengusahaan tanah serta hubungan produksi. Perangkat aturan ini mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Aturan-aturan tersebut mener~tukan tata cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaaitan sumber daya serta membantu mereka dalam menentukan hak serta kew'ajiban masing-masing. Pengaturan ini menjamin kehidupan sosial ekonomi petani dan keluarganya agar tetap bertahan dan menancapkan suatu solidarita~s komunitas. Karenanya, pada sebagian komunitas yang terlibat di dalamnya, mengandalkan sikap kepatuhan terhadap pengaturan sosial bersama ini. Karena t~egitu efektifnya maka mekanisme pengaturan itu telah melembaga dalam masyarakat.

Aturan penguasaan seperti kepemilikan dan cara memperoleh, sewa menyewa yang dikenal dengan istilah bapajak, sakap menyakap, hak pakai, serta berbagai pengaturan tczrhadap Taman Nasional Lore Lindu serta Hutan Produksi Terbatas. Sedangkian aturan pengusahaan menyangkut peruntukkan tanah, pergiliran tanaman, serta penggunaan teknologi. Sementara aturan hubungan kerja pertanian menyangkut hubungan kerja dalam kegiatan bapetak, bapalus, pembagian ke ja serta hubungan dengan pedagang dan pelepas uang. Pola pengaturan yarlg dijalankan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut menunjukkarr adanya ketidak teraturan. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai ketentuan yang berbeda dalam suatu aktifitas kelembagaan agraria yang dijalankan. Hal lainnya dalam kepemilikan tanah. Pada areal yang baru dibuka pertama kali, pada banyak kasus, telah menjadi tradisi bahwa rumah tangga petani yang membersihkan lahan

-

apakah lahan di daerah datar ataupun hutan yang diketahui belum dimiliki oleh seseorang- berhak untuk dimiliki, digunakan, bahkan dtwariskan kepada generasi berikutnya.

Jual

-

beli tanah, monjadi fenomena yang banyak terjadi dalam usaha memperoleh lahan. Hal demikian membuat keadaan semakin terdesak bagi penduduk sekitar hutan, sehirlgga daerah jangkauan pembukaan lahan semakin jauh masuk ke arah hutan yang telah diklaim pemerintah sebagai hutan TNLL di bagian Desa Sintuwu dan HF'T di Desa Berdikari. Faktor penjualan tanah akibat kegiatan seremonial dan akumulasi tanah untuk pewarisan menjadi salah satu penyebab terjadinya pembukaan hutan. Pemilikan individu terhadap tanah sangat tampak, baik milik peniduduk berdomisili maupun tanah guntai yang cukup mendominasi. Saat penelitian berlangsung, hak individu penduduk 'asli' mulai banyak bergeser ke para imigran yang mulai berada dalam jumlah yang besar.

Jaringan sosial bersifat horisontal terlihat pada kasus pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Jaringan ini terdiri dari jaringan kekerabatan. Hubungan keke~abatan tersebut berpengaruh nyata pada pemilihan tenaga kerja pertanian dan keterlibatan dalam kegiatan kelembagaan agraria.

(181)

melihat anggota berdasarkar~ suku. Namun tidak semua suku ingin bergabung ke kelembagaan yang telah dibentuk ini. Perbedaan status ekonomi telah menjadi jurang pemisah.

Hak pakai atau ha~k mengelola hutan yang diberikan kepala desa, berimplikasi terhadap perrlbukaan hutan dan di satu sisi menciptakan ketegangan sosial antar kelompok sosial. Ketegangan ini muncul karena izin hak pakai hanya diberikan pada suku tertentu yang memiliki jaringan sosial kekerabatan dengan kepala desa.

Pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria memiliki beberapa implikasi antara lain; ( I ) Akses masyarakat terhadap hutan TNLL dan HPT. Faktor demografi derlgan terjadinya tekanan penduduk terhadap tanah akibat arus migrasi masuk yang cukup besar, keterdesakan ekonomi, kegiatan sosial, serta faktor struktural sejak dari desa asal menjadi penyebab terjadinya perambahan terhadap hutani TNLL dan HPT. Keterbukaan pemanfaatan hutan tersebut juga dipengaruhi dengan adanya pemberlakuan hak pakai dari pemerintah desa. (2) lkatan terhadap tanah. Tanah telah dijadikan aset komersial yang diperjual-belikan untuk memenuhi kebutuhan seremonial pada suku Kaili Taa dan Kulawi, tanah sebagai faktor produksi untuk kehidupan subsistensi dan komersialisasi (semua suku), dan tanah sebagai aset warisan (suku Kulawi). (3) Diversifikasi tanaman. Lebih diakibatkan karena komersialisasi dalam bidang pertanian. (4) Diversifikasi ~~ekerjaan. Terjadi pada beberapa suku (Cina dan Bugis) yang tidak memiliki keinginan merambah hutan dengan menciptakan kelas pedagang dalam masyarakat yang memang telah menjadi referensi kebudayaan mereka sejak di desa asal, sebaliknya pada suku tertentu (Kaili Taa dan Kulawi) izin hak pakai terhadap hutan telah meciptakan kelas perambah hutan dalam masyarakat. dan (5) Teknologi lokal. Masih terjadinya sistem tebang-bakar terhadap pembukaan hutan untuk lahan pertanian yang memiliki kecenderungan negatif dari aspek kelestarian alam. Selain itu, teknologi lokal juga telah berlaku dalam kegiatan pengolahan pasca panen hasil hutan dalam

skala rumah tangga.

(182)

POLA PENG,ATURAN PEMANFAATAN

SUMBER-SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA PADA

KEBERLANJUTAN KELOM[POK SOSIAL DAN KELESTARIAN

ALAM

(Studi kasus pada masyariikat di dua desa di sekitar kawasan TNLL

Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)

Oleh

:

Joula Olvy Maya Sondakh

99141

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Pasc:a Sarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUD1 SOSIOLOGI PEDESAAN

PROGRQM PASCA SARJANA

(183)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan t~ahwa tesis yang berjudul :

POLA PENGATURAN F'EMANFAATAN SUMBER-SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA PADA KEBERLANJUTAN

KELOMPOK SOSIAL DAN KELESTARIAN ALAM

(Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)

Adalah benar merupakan ha~sil karya saya sendiri dan belum pernah

dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Pebruari 2002 .,

(184)

Judul Tesis : POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER- SUMBER AGRARIA SERTA IMPLIKASINYA PADA KEBERLANJUTAN KELOMPOK SOSIAL DAN KELEISTARIAN ALAM

(Studi kasus pada masyarakat di dua desa di sekitar kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tenga~h)

N a m a : JOULA O L W MAYA SONDAKH

Nomor Pokok : 99141

Menyetujui 1. Komisi Pe bimbing

K'

Dr. M.T. Felix Sitorus ~ r f ~ n c b a t h o b o e t a r t o Ketua

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

--Dr. M.T. Felix Sitorus

(185)

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 9 Juli 1969 dari ayah

bernama Johanis Alexander Sondakh dan ibu bemama Magrietje Anie Kasenda.

Pendidikan SD GMlM XXXlV IManado lulus 1982, SMP N. IV Manado lulus tahun 1985, SMA N.

V

Manado lulus tahun 1988 dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Perikanan Unsrat dan lulus Januari 1993.

Pada tahun 1993

-

1997 bekerja di IPPTP Kalasey Sulawesi Utara, dan tahun 1997 sampai sekaran~g bekerja di BPTP Biromaru Sulawesi Tengah.

Kedua instansi tersebut berlindung di Badan Litbang Departemen Pertanian.

Tanggal 3 April 1993 menikah dengan Dwi Kresjono Moeljono dan

tanggal 16 Januari 1995 dikaruniai seorang putri bemama Andrea Eka Magrie

(186)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa Yang Di Surga, atas cinta

kasih dan berkat-Nya sehinglga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini merupakan h~asil penelitian yang dilakukan pada masyarakt yang berada di pinggiran Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah sejak

pertangahan April 2001

-

akhir Juli 2001. Untuk itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih atas bimbingan, pengarahan serta masukan terutama kepada Bapak

Dr. M.T. Felix Sitorus dan Dr. Endriatmo Soetarto sebagai komisi pembimbing sejak pembimbingan proposal hingga penyelesaian tesis

ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bagian Proyek ARMP-II Badan Litbang F'ertanian atas dukungan seluruh dana sampai

selesainya masa perkuliaha~i, juga Kepala BPTP Biromaru, serta rekan-rekan kerja yang penulis rasakan sangat membantu selama masa studi berlangsung.

Ucapan yang sama penulis juga sampaikan kepada seluruh pengelola Proyek STORMA (Stability of Rain Forest Margin) proyek kerja sama penelitian

Indonesia (IPB-UNTAD) dan Jerman (Goettingen-Kassel University), atas bantuan dana penelitiannya, serta rekan-rekan yang turut membantu di lapangan selama kegiatan penelitian berlangsung. Masyarakat Palolo serta seluruh

petugas dari beberapa instar~si pemerintahan, beberapa LSM Sulawesi Tengah,

serta pengelola koran Mercusuar Palu yang semuanya sangat koperatif.

Rekan-rekan kost (Vlera, Otje dan Trie), rekan-rekan asrama Sulut di

Bogor, dan rekan lainnya yang telah sangat banyak membantu selama masa

studi. Terima kasih, semua itu tak mungkin kulupakan.

Rasa hormat dan sayang buat suamiku dan anakku Dea atas izin,

dorongan, doa, dan dananya selama studi dan untuk selalu terus. Buat mami dan papi tercinta yang tidak perniah lelah memberi kasih sayang serta dukungan doa

(dan juga dana), kakak-kakakku beserta keluarganya, dan adikku Lili. Juga

keluarga besar Moeljono. Aku mencintai kalian, selamanya.

Semoga tesis ini berrr~anfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Pebruari 2002

(187)
[image:187.576.82.475.35.752.2]

DAFTAR

IS1

...

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

PENDAHULUAN

...

Latar Belakang

Masalah Penelitian

...

...

Tujuan Penelitian

...

TINJAUAN PUSTAKA

...

Komunitas Sosial

Kehidupan Subsistensi dan Komersialisasi dalam

Pemanfaatan Sumber-sumber Agraria

...

...

Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria

...

Keberianjutan Masyaralqat dan Sumber-Sumber Agraria

...

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

...

Metode Penelitian

...

GAMBARAN UMUM WILAYAH

...

Kondisi Geografis dan Karakteristik Sumber-Sumber Agraria

...

Sejarah Migrasi Kelomplok Sosial dan Pembentukan

Desa Baru

...

Kondisi Demografis

...

Karakteristik Kelompok Sosial

...

(188)

POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER-SUMBER AGRARIA . 52

...

Latar Belakang Ekologi Budaya Tiap Kelornpok Sosial

...

Lahan Pertanian

...

Rangkurnan

IMPLlKASl POLA PENGATURAN PEMANFAATAN SUMBER SUMBER AGRARIA DAN KEEjERLANJUTAN KEHIDUPAN

KELOMPOK SOSIAL DAN KELESTARIAN ALAM

...

Akses Masyarakat terhatjap Taman Nasional Lore Lindu dan

...

Hutan Produksi Terbatas

...

lkatan Terhadap Tanah

Diversifikasi Tanarnan

...

...

Diversifikasi Pekerjaan

Teknologi Lokal

...

...

Rangkurnan

KESIMPULAN DAN SARAN

...

...

Kesirnpulan

...

Saran

DAFTAR PUSTAKA

...

...

(189)

DAFTARTABEL

'Te ks

--

Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian

...

Jumlah penduduk berdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari, tahun 2000

-

20001

...

Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Sintuwu, tahun 2000

...

Jumlah persil, pemilik; dan luas tanah keseluruhan di Desa Sintuwu dan Berikari, 2001

...

Luas dan distribusi kepemilikan tanah di Desa Sintuwu, 2001

...

Kepemilikan tanah di desa Berdikari, 2001

...

Pemilikan tanah guntai di desa Berdikari, 2001

...

Cara memperoleh tarlah setiap kelompok sosial di desa Sintuwu dan Berdikari, 2001

...

Karakteristik kelompolk sosial dalam bentuk penguasaan

...

tanah di desa Sintuwu, 2001

Karakteristik kelompolk sosial dalam bentuk penguasaan

...

tanah di desa Berdikari, 2001

Jenis peruntukan tanish setiap kelompok sosial di desa

...

Sintuwu dan Berdikari, 2001

Jenis dan jumlah alat mekanisasi pertanian di Desa

...

Sintuwu, 2001

Karakteristik kelompok sosial dalam bentuk hubungan kerja bapetak dan bapalus di Desa Sintuwu dan Berdikari, 2001

.

(190)
[image:190.584.83.491.51.800.2]

DAFTAR GAMBAR

Gambar

-

Teks Halaman

I. Tingkatan pembuatan keputusan dan kegiatan

. ..

..

. .

.

.

. . .

10

2. Alur kerangka pemikiran

...

...

... ...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

16 3. Keberadaan kelembalgaan masyarakat

...

...

...

... ...

...

...

...

..

49 4. Kawasan HPT dilihat ldari wilayah dusun 2 Berdikari

...

... ...

76

5. Kawasan HPT dilihat ldari wilayah dusun 2 Berdikari

... ... ...

76

6. Sistematika kegiatan bapetak di desa Sintuwu dan Berdikari 88

7. Sejarah penetapan TFJLL versi masyarakat dan

LSM

(191)

DAFTAR LAMPIRAN

[image:191.576.83.494.22.798.2] [image:191.576.102.496.36.660.2]

Lampiran Teks

.

Halaman

...

Peta lokasi pcenelitian penelitian (1)

Peta lokasi penelitian penelitian (2)

...

Peta paduserasi lokasi penelitian

...

Peta desa Sintuwu

...

...

Peta desa Berdikari

Karakteristik Uata guna lahan di Sintuwu dan Berdikari

.

Peta jenis koinoditas desa Sintuwu

...

...

Peta jenis ko~noditas desa Berdikari

Tabel sejarah migrasi Berdikari kelompok sosial di desa

...

Sintuwu dan Berdikari

Contoh surat masih berlakunya adat dalam rnasalah

perkawinan sluku Kulawi di Sintuwu dan Berdikari

...

Pola pemukinian eksklusif kelompok sosial di Sintuwu

.

Pola pemukin~an eksklusif kelompok sosial di Berdikari

...

Tabel struktur kepemilikan tanah di Sintuwu. 2001 Grafik kepem, ilikan tanah (1) di Sintuwu. 2001

...

Grafik kepem~ilikan tanah (2) di Sintuwu. 2001

...

....

Trend jual beli tanah di Sintuwu sejak 1995

-

2001

....

Tabel struktur kepemilikan tanah di Berdikari. 2001

...

.

Grafik kepemilikan tanah di Berdikari (1) 2001

...

.

Grafik kepem~ilikan tanah di Berdikari (2) 2001

...

Bentuk surat 1:ransaksi bapajak di Sintuwu

....

Gambar sejarah penetapan TNLL versi pemerintah

...

Klipingan koran tentang TNLL

...

(192)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia pada prinsipnya rnemiliki ketergantungan yang cukup tinggi

terhadap sumber-sumber agrarila, dalam ha1 ini menyangkut air, udara, tanah dan

semua kekayaan yang terkandung di dalamnya. Gambaran ketergantungan ini

semakin tampak dengan terjadinya perebutan terhadap sumber-sumber agraria

tersebut. Kerusakan lingkungan hidup tidak dapat dihindari. Hal tersebut

dilatarbelakangi dengan tinggir~ya laju pertumbuhan penduduk. Seperti yang

dikatakan Salirn (1993), pertambahan penduduk jelas memberi dorongan

terhadap penggunaan ruang dim tanah. Tjondronegoro (1 999: 103), juga turut

rnelihat kerusakan lingkungan~ seperti degradasi tanah berpangkal pada

kepadatan penduduk yang b~erlebihan, yang mengakibatkan pemanfaatan

berlebihan atas tanah yang ada.

Pada areal pemukimari penduduk diperkotaan yang semakin padat,

pemerintah mengambil suatu kebijakan mernindahkan penduduk ke daerah yang

belum menunjukkkan gejala tekianan penduduk yang cukup berarti saat itu. Hal

ini dilakukan sebagai langkah mengendalikan efek negatif pengembangan

sektoral lingkungan perkotaan. Sielain pengaturan pernerintah lewat transmigrasi,

perpindahan tempat tinggal (ress:etlement) spontan rnasyarakat banyak dilakukan

keternpat baru yang dirasakan rr~asih rnemberi peluang kehidupan lebih baik.

Selain akibat pertambahan penduduk, pengaruh negatif akibat

penggunaan sumber agraria yang cukup tinggi ini juga dipengaruhi oleh

kesalahan pernerintah dalam rnenentukan kebijakan (government failure).

Disarnping itu juga akibat harga pasar dunia yang menguntungkan pihak swasta

mengeksploitasi sumber-surnber tersebut, terutama yang sangat tampak saat ini

(193)

Proses perampasan tanah dan penggusuran terus-menerus menjadi

tanpa bisa dihentikan, tiadanya jaminan perlindungan hukum dan kepastian

hukum terhadap pemilikan tanah dan penguasaan tanah kepada masyarakat

desa, dan berbagai persoalan lain yang menyangkut sumberdaya agraria. Selain

pengaruh luar, dinamika sistern sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang ada

turut memberi pengaruh terhadap kondisi sistem ekologi.

Migrasi baik direncanakan maupun spontan dilakukan masyarakat,

umumnya menempati areal pertisnian yang saat itu masih memberi kesempatan

pemanfaatan cukup besar dan cenderung berbatasan dengan hutan. Seperti

dikatakan Mulatsih dan Pambuidy (1999), masyarakat yang tinggal di daerah

margin hutan, selalu berusaha mengeksploitasi sumberdaya yang tersedia

disekitamya untuk mempertahankan hidupnya. Cara-cara pemanfaatan yang

selama ini diterapkan masih bersifat tradisional dengan pengetahuan terbatas

dari generasi sebelumnya. Cara seperti ini cenderung mengarah kepada

overeksploitasi, degradasi, bahkian merusak elemen dari sumber daya alam.

Gejala di atas mulai tejadi pada masyarakat pinggiran hutan di sekitar

Taman Nasional Lore Lindu maupun Hutan Produksi Terbatas di Kecamatan

Palolo Propinsi Sulawesi Tengah. Survey pendahuluan awal2001, menunjukkan

bahwa masyarakat di sekitar hutan tersebut menunjukkan suatu pola

pemanfaatan ekslusif terhadap slumber-sumber agraria terutama hutan dan tanah

sebagai lahan pertanian dan pemukiman. Hal ini dapat dimaklumi bahwa desa-

desa di Kecamatan Palolo banyak merupakan desa bentukan akibat program

transmigrasi pemerintah dan tert~anyak akibat migrasi swakarsa.

Heterogenitas masyarakat yang berasal dari kelompok sosial berbeda ini

tentu saja berpengaruh terhaclap pengaturan pemanfaatan sumber-sumber

agraria yang ada. Apalagi ketilca akses mereka dan hak memanfaatkan hasil

(194)

pemerintah tentang sistem pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Tanah sebagai

modal dan sarana produksi penting yang semula dapat diusahakan secara bebas

(ad libitum) akhimya menjadi barang langka.

Hal ini akan terjadi ketika hutan telah dikembangkan untuk kawasan

taman nasional dalam ranglka kepentingan konservasi, pendidikan, ilmu

pengetahuan, penelitian, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam (Psl. 31

UU No. 5 Thn. 1990 tentang pemanfaatan taman nasional), hutan produksi

dalam ha1 ini lebih kepada perizinan untuk industrialisasi HPH, atau kepentingan

lain yang menjadikan hutan sebagai kawasan tertutup bagi masyarakat

sekitamya. Keadaan tersebut tak terkecuali terjadi pada masyarakat di pinggiran

hutan Lore Lindu sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah menjadikan

kawasan tersebut sebagai Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas 250.000 ha

(Salim, 1993), atau lebih tepatrlya seluas 229.000 ha berdasarkan SK.593lKpts-

1111993 tertanggal5 Oktober 1993 (TNC, 2000).

Kemungkinan konflik dalam masyarakat yang merupakan imbas negatif

akibat faktor penguasaan dan pengusahaan lahan dapat terjadi, yang

mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat lokal di pinggiran kawasan

hutan. Pergeseran nilai dan norma tampaknya mulai terjadi. Hal ini dipengaruhi

oleh ketimpangan struktur agraria yang muncul akibat ketidakadilan akses

sumber agraria yang ada. Namun kajian secara mendalam tentang ha1 ini belum

dilakukan. Oleh karenanya, perlelitian kali ini akan lebih melihat beke rjanya pola

pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria oleh kelompok sosial dalam

rangka keberlanjutan kehiduparl masyarakat di sekitar kawasan TNLL dan HPT.

Nlasalah Penelitian

(195)

1) Bagaimana pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria pada

kelompok-kelompok sosial kesukuan dalam masyarakat pinggiran hutan ?

2)

Apakah pola pengaturan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut

mampu menjamin keberlanjutan masyarakat pinggiran hutan ?

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusari masalah, tujuan penelitian ini adalah :

1) Mempelajari bagaimana pola-pola pengaturan pemanfaatan sumber-

sumber agraria di antara kelompok-kelompok sosial kesukuan di desa-

desa pinggiran hutan.

2)

Mempelajari bagaimana aktualisasi dari keberadaan pola pengaturan

pemanfaatan sumber-sumber agraria yang disebutkan pada butir 1 di

atas dapat menjamin kelangsungan hidup warga masing-masing

kelompok kesukuan tersebut, termasuk kepentingan aspek kelestarian

(196)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunitas Sosial

Keluarga dan masyarakat memiliki hubungan fungsional yang bersifat

timbal balik. Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan sosial terkecil

yang membentuk masyarakat. Sebagai pranata sosial yang usianya sudah

sangat tua, keluarga atau rumah tangga hanya dapat berfungsi dengan baik bila

mendapat dukungan masyarakat.

Suatu keluarga akan hidup di tengah suatu komunitas dan berusaha

mengembangkan suatu jaringan sosial sebagai landasan mencapai suatu

keteraturan sosial (social order). Dalam jaringan yang terbentuk, menurut

Kusnadi, 2000, hubungan sosial dan keanggotaannya melampaui batas-batas

teritorial (bordedess) dan keberadaan masyarakat yang bersangkutan

Komuniti atau kesatuan hidup setempat, merupakan suatu kesatuan

hidup manusia yang tidak pertama-tama ada karena ikatan kekerabatan tetapi

karena ikatan tempat kehidupan (Koentjaraningrat, 1974: 155). Masyarakat yang

hidup dalam satu kesatuan ini merupakan suatu kelompok yang saling bekerja

sama dan sangat kuat menjalankan aturan-aturan yang telah dibuat dan

disepakati bersama.

Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan, sebagai kesatuan manusia

mereka memiliki perasaan kesatuan yang amat keras sehingga rasa kesatuan itu

menjadi sentimen persatuan yang mengandung unsur-unsur rasa kepribadian

kelompok. Artinya, perasaan bahwa kelompok itu sendiri mempunyai ciri-ciri

(biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup) yang berbeda dengan

kelompok lain; perasaan bangga akan ciri-ciri kelompok itu sendiri; dan seringkali

juga perasaan negatif, ialah merendahkan atau paling sedikit menganehkan ciri-

(197)

wilayah, dan kepribadian kelompok itu. Masyarakat adat merupakan salah satu

kesatuan hidup setempat.

Kehidupan Subsistensi dan Komersialisasi dalam Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria

Terdapat dua indikator dari tiga indikator yang ditawarkan Suhendar dan

Winami (1998), (indikator satu dan dua disatukan karena memiliki motif yang

sama), yang dapat dipakai memahami pola subsistensi dan komersialisasi

petani, yaitu (!) Orientasi dan besar kecilnya skala usaha. Petani tidak bersikap

komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah, menganggap peningkatan produksi

tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarga. Sebaliknya jika

didasari oleh orientasi surplus dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk

petani komersial; (2) Jenis komoditas. Walaupun mengusahakan komoditas

kornersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya tergolong petani

subsistensi. Sedangkan petani komersial terlihat dari tujuan surplus terhadap

tanaman komersial.

Colter dalam Kasryno (1984:305), melihat perkembangan sistem

perekonomian pedesaan dalam 3 fase, yaitu fase sistem subsistensi, peralihan

dari subsistensi ke komersialisasi, dan fase sistem komersialisasi. Pada sistem

pertanian subsistensi produksi pertanian hanya ditujukan untuk keperluan

konsurnsi, dan pada fase ini kebutuhan akan dana kredit belurn berkembang.

Dalam sistem peralihan terlihat adanya spesialisasi produksi dengan masuknya

teknologi baru, sehingga kebutuhan masyarakat yang semula terbatas pada

bahan makanan pokok mulai berkembang kepada kebutuhan akan barang lain

dan sarana produksi. Kebutuhan ini umumnya berasal dari luar desa dan

(198)

Wolf (1985:19), melihat petani dari sudut pandang antropologis,

mengatakan ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya

berproduksi begitu kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Petani itu sendiri selalu

dibebani tiga kebutuhan dana yang haws dipenuhi, yaitu dana untuk kebutuhan

pokok mempertahankan suatu minimum kalori, dana penggantian alat-alat

produksi (replacement fund), dan dana seremonial (ceremonial fund).

Disamping itu terdapat dana lainnya yang akan mengikuti kehidupan

mereka diperhadapkan pada suatu posisi tertentu seperti dana sewa tanah.

Sebaliknya, orang luar akan memandang petani sebagai satu sumber tenaga

kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya (fund of power),

pada kasus ini muncullah apa yang disebut Wolf sebagai dilema petani. Lebih

jauh disebutnya unit petani pedesaan (peasant unit) dapat merupakan suatu unit

produksi sekaligus konsumsi.

Scott (1994), yang beraliran ekonomi moral, lebih melihat posisi petani

cenderung berada pada batas kehidupan yang sewaktu-waktu siap

menenggelamkannya. "Etika subsisten" disebutnya untuk menggambarkan

betapa petani selalu berada pada posisi penuh kekhawatiran terhadap segala

sesuatu yang mengancam kehidupannya. Mereka akan berusaha untuk

mengutamakan selamat (safety firsf). Sebagai unit ekonomi subsistensi, bagi

Scott, petani hanya memikirkan bagaimana hidupnya berlangsung walaupun

tanpa surplus produksi.dan investasi.

Sebaliknya Popkin (1983) memiliki pemikiran berlainan dengan Scott.

Baginya petani memiliki suatu "rasionalitas", yaitu akan terus berusaha

memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran sendiri tanpa mempedulikan

moral pedesaan. Petani diyakini pasti memiliki orientasi pasar dan akan selalu

berusaha meningkatkan produksi. Hal tersebut akan lebih meningkat bila desa

(199)

Tjondronegoro (1999:65), dalam menelusuri pemikiran Scott dan

Popkins, lebih melihat bahwa beberapa postulat yang mendasari pemikiran

mereka tidak berbeda, yaitu bahwa petani berpikir rasional. Seperti pada bagian

selanjutnya dijelaskan, bahwa konservatisme petani menurut persepsi Scott yang

artinya juga rasional yaitu menghindari biaya yang lebih besar daripada yang

dapat dipikulnya.

Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber Agraria

Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek

ideal kehidupan warga masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata

cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber

daya serta membantu dalam menentukan hak serta kewajiban masing-masing

(Hayami dan Kikuchi, 1982 dalam Kasryno 1984).

Sebuah keluarga tani agar bisa tetap suwive dan sekaligus menyumbang solidaritas komunitas agar tetap kuat, maka mereka berupaya

untuk patuh terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama. Mekanisme

pengaturan itu pada gilirannya akan melembaga dalam kehidupan masyarakat,

dalam arti mampu beperan aktif (Suhendar dan Winami, 1998).

Kasryno (1984) mengatakan bahwa untuk mencipta, membina, ataupun

mengubah kelembagaan, diperlukan suatu tindakan bersama dan sejumlah biaya

dikorbankan. Pada bagian lain disebutkan bahwa kelembagaan pedesaan dapat

berupa kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan

kelembagaan hubungan kredit. Selanjutnya Wiradi dan Makali dalam Kasryno

(1984:99), melihat kelembagaan hubungan kerja pertanian yang ada di 12 desa

di Jawa dan 3 desa di Sulawesi Selatan, yang terdiri dari empat macam, yaitu (a)

(200)

harian, (c) hubungan keja dengan sistem tukar-menukar tenaga keja, dan (d)

hubungan kerja dalam bentuk ceblokanlkedokan.

Uphoff (1 986:23) lebih menekankan bahwa peranan kelembagaan lokal

dalam kegiatan pengelolaan rnasyarakat, cenderung dibatasi dengan rendahnya

kemampuan masyarakat (local knowledge). Hal ini dapat berakibat golongan

masyarakat yang lebih kuat akan mengambil keuntungan dari masyarakat yang

lemah ini. Namun pada bagian lain dikatakan, ketika ada potensi konflik yang

multiragam dalam penggunaan sumber daya alam pada masyarakat lokal,

pemerintahan lokal (local government) menjadi ajang terbaik dalam penyelesaian

konflik antar golongan yang te jadi.

Batasan wilayah lokal, diambil Uphoff (1986:l I), berdasarkan "tingkat

sosial". Hal ini paling sedikit menurutnya terdapat tiga tingkatan lokalitas (6,7 dan

8) dari 10 tingkatan yang ada (Gambar 1). Baginya, di bawah atau di atas

tingkatan tersebut seseorang tidak sepakat lagi dengan apa yang seharusnya

dideskripsikan sebagai "lokal". Rumah tangga dan individu merupakan unit-unit

pengambilan keputusan dan aktivitas yang berbeda karena mereka lebih kecil

dan tidak berkonfrontasi dengan jenis problem yang sama diantara "tindakan

Gambar

GAMBARAN UMUM WILAYAH ...............................................................
Gambar - Teks
Tabel struktur kepemilikan tanah di Sintuwu. 2001
Gambar 1. Tingkatan Pembuatan Keputusan dan Kegiatan
+7

Referensi

Dokumen terkait