PERFORMA DAYA TAHAN LARI 5 KM
PADA ATLET MAHASISWA
WILDA WELIS
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pengaruh Pemberian
Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda Terhadap Stres Oksidatif dan Performa
Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa” adalah karya saya dengan arahan
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Wilda Welis
RINGKASAN
WILDA WELIS. Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik berbeda Terhadap Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km Pada Atlet Mahasiswa. Dibimbing oleh : RIMBAWAN, HADI RIYADI dan AHMAD SULAEMAN
Karbohidrat merupakan zat gizi penyedia energi utama dalam berbagai aktifitas fisik termasuk olahraga, karena karbohidrat segera dapat digunakan sebagai fungsi pergerakan otot, fungsi otak, fungsi hati, dan sel darah merah. Penggunaan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya intensitas olahraga. Namun konsumsi makanan tinggi karbohidrat sebelum melakukan kegiatan olah raga, tanpa memperhatikan indeks glikemik berdampak terhadap ketidaknyamanan, efek metabolik dan insulinemik yang kurang menguntungkan terhadap performa daya tahan atlet. Makanan indeks glikemik rendah diharapkan dapat mengatasi ketidaknyamanan dan efek yang kurang menguntungkan dari mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan olahraga dan dapat memperbaiki performa atlet. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap stres oksidatif dan performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan mengetahui profil indeks massa tubuh (IMT), persen lemak tubuh, hemoglobin, hematokrit, VO2maks, performa daya
tahan lari, kadar glukosa darah, insulin serum, kadar laktat darah, creatine kinase dan MDA serum pada; menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km, stres oksidatif dan respon metabolik (glukosa darah, creatine kinase, insulin serum, kadar laktat darah dan FFA serum) pada atlet mahasiswa.
Penelitian ini menggunakan disain eksperimen acak terkontrol. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 22 orang terdiri dari 7 orang kelompok IG rendah I, 8 orang kelompok IG rendah II dan 7 orang kelompok IG tinggi. Makanan intervensi diberikan tiga kali sehari selama 2 minggu. Makanan intervensi mengandung 1000 kalori sekali makan, yang terdiri dari 70% karbohidrat, 15% protein dan 15% lemak. Pengukuran performa dan pengambilan darah dilakukan pada hari ke 1 (awal) dan hari ke 15 (akhir) intervensi.
IPB. Pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik terhadap performa daya tahan lari 5 km, kadar laktat darah, creatine kinase serum dan parameter stres oksidatif (MDA serum) diuji dengan uji t. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap glukosa darah, FFA serum dan insulin serum dianalisis dengan uji Anova.
Kadar glukosa, creatine kinase, kadar MDA serum, kadar FFA dan kadar insulin sebelum dan sesudah intervensi dilakukan termasuk kategori normal. Performa lari 5 km lebih baik pada kelompok IG rendah (23.9+1.5 dan 23.8+1.6 menit) dibandingkan kelompok IG tinggi (27.5+2.2 dan 26.9+3.1 menit). Ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05). Pada hari ke 1 intervensi, ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap rata-rata kadar insulin postprandial antar kedua perlakuan (p<0.05), pada hari ke 15 intervensi ada kecenderungan rata-rata kadar insulin perlakuan IG tinggi lebih tinggi daripada IG rendah, namun secara statistik tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar insulin antar kedua perlakuan (p>0.05). Ada kecenderungan kadar glukosa darah setelah lari 5 km lebih tinggi pada perlakuan IG rendah baik hari ke 1 maupun hari ke 15 intervensi. Namun tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar glukosa darah antar perlakuan (p>0.05). Konsentrasi asam lemak bebas cenderung lebih tinggi pada kelompok IG rendah dibandingkan dengan kelompok IG tinggi, meskipun secara statistik tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar asam lemak bebas (p>0.05). Tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar laktat baik pada hari ke 1 dan hari ke 15 intervensi (p>0.05). Kadar laktat darah berbeda secara nyata setelah lari 5 km baik pada kelompok IG tinggi dan kelompok IG rendah (p<0.05).
Terjadi peningkatan kadar MDA setelah lari 5 km baik pada kelompok IG rendah maupun pada kelompok IG tinggi. Peningkatan kadar MDA yang signifikan terjadi pada kelompok IG tinggi. Ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap peningkatan kadar MDA serum pada hari ke 1 intervensi (p<0.05), tapi tidak ada pengaruh IG berbeda terhadap peningkatan kadar MDA serum setelah lari 5 km pada hari ke 15 intervensi (p>0.05). Komposisi makanan IG rendah dengan kandungan aktifitas antioksidan yang relative tinggi akan lebih baik menurunkan kadar MDA setelah lari 5 km pada atlet.
ABSTRACT
WILDA WELIS. The Effects of Feeding with Different Glycemic Indexes on the Oxidative Stress and Endurance Performance of the College Athletes Running 5 km. Under supervision of RIMBAWAN, HADI RIYADI and AHMAD SULAEMAN.
Carbohydrate may play an important role in the energy preparation for physical competition. However, consuming food with high carbohydrate before exercising may cause unexpected metabolic effect to the endurance of exercise, but depend on glycemic index. This study aims at finding the effects of feeding with different glycemic indexes on oxidative stress parameter and exercise endurance performance of college athletes that running 5 km. A randomized controlled experiment applied on this study. About 22 male college athletes were requirement and were divided three group i.e. low glycemic index (LGI) I (n=7), low glycemic index II (n=8) and high glycemic index (HGI) (n=7). All subjects received meal intervention three times a day for two weeks. The meal containing 1000 calories that was prepared for energy single meal was composed 70% carbohydrate, 15% protein, and 15% fat. The subject performance measurement and blood collection were done at the first day and the fifteenth day of the intervention. Before intervention, the average of run time for 5 km distance for the LGI and HGI trials are 23.8± 1.6 minutes and 27.5±2.2 minutes. After intervention, the average of run time for 5 km distance for the LGI and HGI trials are 23.9±1.5 minutes and 26.9±3.1 minutes. There was a significant effect of glycemic index on the endurance of 5 km - running performance (p<0.05). The result showed that serum MDA levels increase in LGI and HGI groups. The average of serum MDA level in HGI group higher than serum MDA level in LGI group. There was a significant effect of glycemic index on serum MDA level on the first day intervention, but on the last day measurement, there is no significant effect of glycemic index on serum MDA level. Inconclusion, there was significant effects of feeding with different glycemic indexes on the oxidative stress and endurance performance of the college athletes running 5 km.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS
GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF DAN
PERFORMA DAYA TAHAN LARI 5 KM
PADA ATLET MAHASISWA
WILDA WELIS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi/Mayor Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. drh. Adi Winarto, PhD
2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya pada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi yang
berjudul “Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda terhadap
Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa”.
Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang
telah mempermudah penulis dalam menyelesaikan studi ini yaitu sebagai berikut.
1. Dr. Rimbawan sebagai ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir.
Ahmad Sulaeman, MS dan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku anggota
pembimbing atas semua arahan, motivasi, saran dan contoh teladan yang
diberikan kepada penulis sejak awal penggalian ide penelitian hingga
pelaksanaan dan penulisan disertasi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MSi dan drh. Adi Winarto, PhD. sebagai
dosen penguji dalam ujian prelim lisan dan dosen penguji dalam ujian
tertutup serta Dr. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes. dan drh. M. Rizal M.
Damanik, M.RepSc., PhD sebagai dosen penguji dalam ujian terbuka atas
segala kritik dan saran serta masukannya untuk perbaikan disertasi ini.
Sekali lagi penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Evy
Damayanthi, MSi sebagai dosen pembahas dalam kolokium yang telah
banyak memberikan koreksi dan masukan pada proposal penelitian.
3. Seluruh staf pengajar, Pengelola Pascasarjana (drh. M. Rizal M. Damanik,
M.RepSc, PhD dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN) serta staf administrasi
di FEMA dan Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah banyak
memberikan ilmu yang bermanfaat dan kelancaran administrasi kepada
penulis.
4. Rektor Universitas Negeri Padang, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan,
Ketua Jurusan Kesehatan dan Rekreasi FIK UNP yang telah mengijinkan
dan menugaskan penulis untuk studi lanjut.
5. Ditjen Dikti atas bantuan beasiswa BPPS yang telah mendukung penuh
biaya pendidikan dan sebagian biaya penelitian.
6. Pimpinan Pusat Kebugaran Jasmani IPB, Laboratorium Fisik Terpadu,
Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya dan Gymnasium IPB atas ijin
yang diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian.
7. Kepada adik-adik mahasiswa IPB yang menjadi subjek penelitian saya,
terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala kebaikan, keikhlasan,
waktu dan pengorbanannya. Kepada Ahyar, Mbak Santi, Mbak Ari, Mbak
Tyas, Bu Ita dan Bu Tri terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan
dan waktu yang telah diberikan untuk membantu proses penelitian.
8. Teman-teman seangkatan di Program Studi Ilmu Gizi Manusia 2007, Mas
Anis, Pak Kamal, Bu Susi, Bu Yakti, Bu Eliza, Bu Mellova, Bu Tiurma,
Pak Is, Pak Marudut dan kakak kelas angkatan 2006 (mbak Dr. Ir. Diah
Utari, M.Kes dkk) atas segala dorongan semangat, kebersamaan, motivasi
dan saling membantu sehingga proses pendidikan penulis jadi lebih
bermakna serta rekan-rekan mahasiswa GMA angkatan 2008 hingga 2011
yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
9. Saudara penulis : Rudi, Nel, Santi dan Buyung beserta seluruh
keluarganya; saudara penulis di Jawa yang selalu memberikan dukungan
dan dorongan serta doa dengan tulus agar penulis tetap bersemangat
menyelesaikan pendidikan.
10.Orang tua dan mertua penulis yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan
dan kelancaran dalam penyelesaian studi penulis.
11.Suami tercinta Ir. Suramin Diro atas restu, doa serta dukungan materil
sehingga memungkinkan penulis melaksanakan pendidikan S3 ini; serta
anak-anak Hasna, Fatia dan Kayla yang dengan sabar menemani dan
menguatkan hati penulis untuk menyelesaikan pendidikan secepatnya.
Semoga Allah SWT senatiasa melimpahkan pahala yang melimpah atas
segala kebaikan, kemudahan, pengorbanan dan waktu yang telah diberikan kepada
penulis. Masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan
disertasi ini. Namun penulis berharap disertasi sederhana ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan bagi pengembangan keilmuan bidang gizi olahraga.
Bogor, Agustus 2012
Judul Disertasi : Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda Terhadap Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa
Nama : Wilda Welis
NIM : I 162070031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Dr. Rimbawan
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Ilmu Gizi Manusia
drh.Rizal M.Damanik, MRepSc, PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 12 Mei 1970 dari ayah
Mawardi Dt. Angkai Adie dengan ibu Rosnida. Penulis adalah putri pertama dari
lima bersaudara.
Pada tahun 1995 penulis menamatkan pendidikan sarjana pada Jurusan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan program strata-2 di Program
Studi Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia dan memperoleh gelar Master Kesehatan tahun 2003. Pada tahun 2007
penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor pada
Program Studi Ilmu Gizi Manusia Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa
BPPS Dirjen Dikti Depdiknas. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Universitas Negeri Padang sejak tahun 1999.
Selama menempuh pendidikan doktor, penulis berkesempatan untuk
mengikuti Program Sandwich selama 3.5 bulan di International Islamic University
Malaysia (IIUM) atas biaya Dirjen Dikti Depdiknas. Karya ilmiah yang
merupakan bagian dari disertasi berjudul ”Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh
dan VO2maks dengan Performa Lari 5 Km” akan dimuat dalam Media Gizi
Indonesia Vol 2 No 9 Edisi Agustus-Desember 2012 dan artikel “Perubahan
Kadar Laktat, FFA Serum dan MDA Setelah Lari 5 Km” akan dimuat dalam
DAFTAR ISI
Manfaat Penelitian ... 6
TINJAUAN PUSTAKA ... 7
Metabolisme Karbohidrat ... 7
Metabolisme Asam Lemak ... 12
Hormon Insulin ... 13
Metabolisme Energi dalam Otot ... 15
Penggunaan Zat Gizi Selama Olahraga ... 17
Enzim Creatine Kinase (CK) ... 21
Kadar Laktat Darah ... 22
Ambilan Oksigen Maksimal (VO2maks ) ... 22
Indeks Glikemik dan Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik ... 23
Stres Oksidatif dan Daya Tahan ... 26
Antioksidan ... 28
Indeks Glikemik dan Performa Daya Tahan ... 32
Kerangka Pemikiran... 35
Definisi Operasional ... 37
PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP PERFORMA DAYA TAHAN LARI 5 KM PADA ATLET MAHASISWA Abstrak ... 38
Abstract ... 38
Pendahuluan ... 39
Metode Penelitian ... 41
Kesimpulan dan Saran ... 74
Daftar Pustaka ... 76
PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF PADA ATLET MAHASISWA Abstrak ... 86
Abstract ... 86
Pendahuluan ... 87
Metode Penelitian ... 88
Hasil dan Pembahasan ... 92
Kesimpulan dan Saran ... 101
PEMBAHASAN UMUM ... 102
KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 118
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Efek Insulin pada Berbagai Jaringan ... 14
2. Kriteria VO2maks untuk Laki-laki ... 21
3. Jenis Olahraga dan Sistem Energi ... 23
4. Jenis Antioksidan Berdasarkan Sumber Produksi ... 29
5. Klasifikasi Antioksidan Berdasarkan Peranan, Cara Kerja dan Kelarutan ... 30
6. Indeks Glikemik Makanan Campuran... 45
7. Karakteristik Subjek ... 50
8. Rata-rata Kadar Laktat Darah ... 66
9. Sebaran Rata-Rata Kadar Creatine Kinase ... 69
10. Performa Daya Tahan Lari 5 km ... 71
11. Profil Makanan Intervensi ... 91
12. Karakteristik Subjek ... 93
13. Sebaran Rata-rata Kadar MDA (Ppm) Subjek Kelompok IG Rendah I dan IG Tinggi ... 94
14. Rata-rata Kadar MDA Serum antara Kelompok IG Rendah II dan IG Tinggi ... 95
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Proses Pengaturan Kadar Glukosa Sesudah Makan ... 9
2. Kontribusi Berbagai Substrat Terhadap Energi ... 10
3. Mekanisme Kerja Insulin ... 15
4. Kontribusi Berbagai Substrat Terhadap Energi ... 19
5. Persentase Energi Dari Berbagai Substrat ... 20
6. Lokasi Beberapa Jenis Antioksidan ... 31
7. Kaitan antara Konsumsi Makanan Tinggi Karbohidrat dengan Respon Glikemik, Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan ... 35
8. Desain dan Tahapan Penelitian ... 49
9. Rata-rata Kadar Glukosa Darah Subjek pada Hari Ke 1 ... 54
10. Rata-rata Kadar Glukosa Darah Subjek pada Hari Ke 15 ... 55
11. Profil Kadar Glukosa Darah Postprandial Setelah Konsumsi Makanan Intervensi Hari Ke 1 dan Hari Ke 15 ... 58
12. Rata-rata Kadar Insulin Serum pada Hari Ke 1 ... 59
13. Rata-rata Kadar Insulin Serum pada Hari Ke 15 ... 60
14. Rata-rata Kadar FFA Serum pada Hari Ke 1 ... 62
15. Rata-rata Kadar FFA Serum pada Hari Ke 15 ... 63
16. Mekanisme Pembentukan Radikal Bebas Dalam Mitokondria ... 100
17. Homeostasis Kadar Glukosa ... 104
18. Proses Pengaturan Lipolisis ... 118
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Persetujuan Etik ... 123
2. Persetujuan untuk Mengikuti Penelitian (Informed Consent) ... 124
3. Kuesioner Penelitian ... 125
4. Hasil Pengukuran IG ... 128
5. Analisis Kandungan Gizi Penyusun Makanan Intervensi ... 132
6. Formulir Tes Lari Multi Tahap (Bleep test) ... 133
7. Prosedur Tes Lari Multi Tahap (Bleep Test) ... 134
8. Hasil Uji TKarakteristik Subjek Penelitian ... 136
9. Hasil Uji ANOVA Kadar Insulin ... 136
10. Hasil Uji TSelisih Kadar Insulin Serum ... 137
11. Hasil Uji ANOVA Kadar Glukosa Darah ... 137
12. Hasil Uji TSelisih Kadar Glukosa Darah ... 138
13. Hasil Uji ANOVA Kadar FFA Serum ... 138
14. Hasil Uji T Selisih Kadar FFA Serum ... 139
15. Hasil Uji T Independent antara MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I ... 139
16. Hasil Uji T Dependent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I ... 139
17. Hasil Uji T Dependent antara Selisih Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I ... 140
18. Hasil Uji T Independent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II ... 140
19. Hasil Uji T Dependent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II ... 140
20. Hasil Uji T Independent antara Selisih Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II ... 141
21. Hasil Uji T Independent antara Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah ... 141
22. Hasil Uji T Dependent antara Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I ... 141
24. Hasil Uji T Independent antara Kadar Laktat Darah pada IG Tinggi
dan IG Rendah ... 142
25. Hasil Uji T Dependent antara Kadar Laktat Darah pada IG Tinggi
dan IG Rendah ... 142
26. Penelitian Kaitan antara Indeks Glikemik dengan Performa
Daya Tahan ... 143
27. Hasil Uji T Independent antara Selisih Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah ... 145
28. Hasil Uji T Independent antara Performa Daya Tahan Lari 5 km pada IG Tinggi dan IG Rendah ... 145
29. Hasil Uji T Dependent antara Performa Daya Tahan Lari 5 km
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Upaya peningkatan prestasi olahraga di Indonesia perlu terus dilakukan,
mengingat prestasi olahraga negara kita terus mengalami kemunduran. Atlet
yang dapat mencapai prestasi tinggi masih terbatas, baik di tingkat internasional
maupun regional. Ada beragam faktor penentu dalam mencapai prestasi olahraga
yang optimal. Prestasi atlet ditentukan antara lain oleh faktor teknik, taktik,
pembinaan mental dan strategi yang baik, metode latihan dan sarana serta
prasarana yang memadai. Namun yang tak kalah pentingnya adalah penanganan
kondisi atau status gizi atlet yang baik. Pencapaian prestasi atlet yang optimal
sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan status gizi, melalui asupan zat gizi yang
seimbang. Makanan yang dipilih dengan baik akan memberikan zat gizi yang
dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih
dengan baik, sehingga tidak memadai jumlah dan mutunya maka tubuh akan
mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu (Almatsier 2001).
Karbohidrat merupakan zat gizi penyedia energi utama dalam berbagai
aktifitas fisik termasuk olahraga, karena karbohidrat segera dapat digunakan
sebagai fungsi pergerakan otot, fungsi otak, fungsi hati, dan sel darah merah.
Penggunaan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya intensitas olahraga.
Penurunan simpanan karbohidrat berhubungan erat dengan munculnya kelelahan
otot, karena menurunnya level piruvat untuk memicu terjadinya siklus Krebs yang
menghasilkan ATP (McConell et al. 1999). Permasalahan yang dihadapi atlet
adalah bagaimana mempertahankan suplai karbohidrat ke otot dan memperlambat
penurunan simpanan glikogen otot, sehingga memperlambat timbulnya kelelahan.
Selama ini atlet sudah dianjurkan untuk mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat
sebelum bertanding atau berlatih, namun kenyataan bahwa kemampuan daya
tahan atlet untuk menyelesaikan pertandingan masih belum optimal. Makanan
yang kaya karbohidrat dianjurkan bagi atlet yang melakukan kegiatan olahraga
yang bersifat ketahanan fisik (Sukmaniah & Prastowo 1992). Namun pemberian
makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan tanpa mempertimbangkan indeks
hiperinsulinemia yang kurang menguntungkan untuk performa daya tahan atlet
(Jeukendrup & Gleeson 2004).
Peningkatan insulin plasma akan menekan metabolisme lemak,
meningkatkan oksidasi karbohidrat yang menyebabkan penurunan konsentrasi
glukosa plasma untuk latihan selanjutnya. Di sisi lain hiperglikemia akut
kemungkinan meningkatkan produksi radikal bebas yang berimplikasi pada proses
berbagai penyakit degeneratif. Menurut Ceriello et al. (1997) peningkatan akut
konsentrasi glukosa darah menghasilkan radikal bebas melalui nonenzymatic
glycation dan melalui ketidakseimbangan rasio NADH terhadap NAD dalam sel.
Hasil penelitian epidemiologi oleh Hu et al. (2006) melaporkan bahwa
mengonsumsi makanan tinggi indeks glikemik secara kronis dapat meningkatkan
stres oksidatif. Disamping itu kegiatan latihan olahraga juga menghasilkan
reactiveoxygen spesies (ROS), yang juga memicu stres oksidatif. Stres oksidatif
berkaitan dengan peningkatan proses-proses patologis penyakit, pertukaran nitrit
oksida (nitric oxide turnover) dan kerusakan otot setelah latihan olahraga
(McAnulty et al. 2007). Bukti langsung hasil penelitian pada subjek normal dan
diabetes menunjukkan bahwa hiperglikemia atau asupan makanan yang disertai
peningkatan glukosa dapat menyebabkan stres oksidatif dan menurunkan
perlawanan antioksidan, serta peningkatan stres oksidatif lebih besar secara
signifikan setelah memakan makanan yang memproduksi derajat hiperglikemia
lebih besar (Ceriello et al. 1999). Hasil penelitian Miles et al. (2007)
menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dalam bentuk glukosa diketahui
meningkatkan peradangan dengan berbagai kejadian, sebagai efek terbentuknya
interleukin 6 pada aliran peradangan.
Diperlukan suatu strategi untuk meminimalkan efek konsumsi makanan
tinggi karbohidrat untuk mencapai daya tahan optimal, mengingat latihan
fisik/olahraga berat juga dapat meningkatkan level stres oksidatif. Jenkins et al.
pada tahun 1981 telah mengembangkan konsep yang berhubungan dengan
karbohidrat yang dikenal dengan indeks glikemik. Indeks glikemik didefinisikan
sebagai peningkatan daerah di bawah kurva respon glukosa setelah mengonsumsi
50 gram karbohidrat dari makanan yang diuji dibandingkan daerah di bawah
1981). Menurut konsep ini karbohidrat dalam bahan pangan yang dipecah dengan
cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, respon glukosa darah terhadap jenis
pangan ini cepat dan tinggi, sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat
memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah
dengan lambat (Rimbawan & Siagian 2004). Menurut FAO (1998) makanan
yang mengandung karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan
glukosa darah postprandial dan respon insulin. Dengan demikian konsep indeks
glikemik ini melemahkan konsep tentang klasifikasi karbohidrat berdasarkan
struktur dan derajat polimerisasi. Berdasarkan strukturnya karbohidrat
dikategorikan atas gula sederhana dan karbohidrat komplek. Menurut Burke et
al. (1998) klasifikasi karbohidrat berdasarkan kategori gula sederhana dan
karbohidrat komplek ini kurang akurat bila dilihat dari segi gizi berkenaan dengan
pengaruh karbohidrat terhadap respon glukosa darah dan insulin yang
sebernarnya.
Konsep indeks glikemik mengatasi permasalahan keberagaman individu
dalam respon glikemik dari makanan dan lebih menggambarkan laju pencernaan
dan penyerapan makanan kaya karbohidrat. Konsep indeks glikemik sudah
banyak digunakan dalam penelitian epidemiologi dan klinik di negara-negara
maju terutama terkait dengan penyakit degeneratif. Hasil ulasan penelitian
menunjukkan bahwa makanan indeks glikemik rendah menurunkan resiko
penyakit jantung, diabetes, obesitas, menurunkan trigliserida dan meningkatkan
HDL (Augustin et al. 2002; Jenkins DA et al. 2002)
Penelitian indeks glikemik pada atlet sepeda terlatih yang dilakukan
Thomas et al. (1994) menemukan bahwa atlet yang diberikan makanan rendah
indeks glikemik (lentils) mempunyai daya tahan 20 menit lebih lama
dibandingkan atlet yang diberikan makanan tinggi indeks glikemik. Demikian
pula hasil penelitian Wu dan Williams (2006) menyimpulkan bahwa waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan latihan lebih singkat pada orang yang
mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik dibandingkan tinggi indeks
glikemik, sedangkan laju oksidasi lemak lebih tinggi pada orang yang
mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik dibandingkan tinggi indeks
peningkatan waktu yang signifikan dalam performa setelah mengonsumsi
makanan rendah glikemik dibandingkan setelah mengonsumsi makanan tinggi
glikemik, serta konsentrasi glukosa darah pada titik kelelahan lebih tinggi secara
signifikan setelah mengonsumsi makanan indeks glikemik rendah bila
dibandingkan setelah mengonsumsi makanan indeks glikemik tinggi. Penelitian
ini juga menyimpulkan terjadi peningkatan waktu yang signifikan dalam performa
setelah mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik berkaitan dengan
peningkatan ketersediaan glukosa untuk kerja otot, berkontribusi untuk tambahan
oksidasi karbohidrat dan kemungkinan menghemat simpanan glikogen otot dan
hati.
Namun hasil penelitian Mitchell et al. (1997) menunjukkan pemberian
karbohidrat sebelum latihan tidak mempengaruhi daya tahan selama latihan.
Stannard et al. (2000) juga tidak menemukan perbedaan signifikan efek konsumsi
makanan indeks glikemik rendah dan tinggi terhadap waktu mencapai kelelahan.
Penelitian lain yang dilakukan Chen et al. (2008) juga tidak menemukan
perbedaan yang signifikan waktu untuk menyelesaikan lari 10 kilometer antara
perlakuan indeks glikemik tinggi dan indeks glikemik rendah. Berdasarkan uraian
sebelumnya, hasil-hasil penelitian tentang indeks glikemik kaitannya dengan daya
tahan pada atlet masih belum konsisten dan penelitian tentang pengaruh indeks
glikemik terhadap pembentukan stres oksidatif pada kegiatan olahraga belum
banyak dilakukan di Indonesia, maka diperlukan penelitian untuk memperkuat
temuan-temuan yang sudah ada.
Perumusan Masalah
Prestasi atlet Indonesia belum mencapai optimal. Salah satu faktor yang
berpengaruh adalah masalah gizi. Pengaturan makanan untuk prestasi atlet
biasanya terfokus pada makanan tinggi karbohidrat. Padahal pemberian makanan
tinggi karbohidrat sebelum latihan kurang menguntungkan untuk performa atlet
karena menimbulkan peningkatan kadar insulin dan glukosa darah yang tinggi.
Hiperglikemia (kadar glukosa tinggi) akut dapat menyebabkan stress oksidatif
yang merupakan salah satu patogenesis berbagai penyakit degeneratif. Di sisi lain
radikal bebas akibat proses kontraksi otot yang meningkatkan jumlah konsumsi
oksigen dalam sel. Karena adanya efek metabolik konsumsi karbohidrat tinggi
sebelum latihan yaitu hiperinsulinemia dan hiperglikemia, menarik dikaji lebih
mendalam strategi meminimalkan perubahan glukosa plasma dan insulin sebelum
latihan. Apakah ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda
terhadap tingkat stres oksidatif pada atlet mahasiswa? Apakah ada pengaruh
pemberian pangan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari
pada atlet mahasiswa?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian
pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap stres oksidatif dan performa
daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kadar glukosa darah, insulin serum, kadar laktat darah,
creatine kinase dan MDA serum pada atlet mahasiswa
1. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda
terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa
2. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda
terhadap stres oksidatif pada atlet mahasiswa.
3. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda
terhadap respon metabolik (glukosa darah, creatine kinase, insulin, kadar
laktat darah dan FFA).
Hipotesis Penelitian
1. Performa daya tahan lari 5 km lebih baik setelah pemberian pangan
dengan indeks glikemik rendah dibandingkan pangan dengan indeks
glikemik tinggi
2. Pemberian pangan dengan indeks glikemik rendah lebih bermanfaat
3. Ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda
terhadap respon metabolik (glukosa darah, creatine kinase, laktat darah,
insulin dan FFA)
Manfaat Penelitian
Temuan penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu menu yang
baik untuk mendukung pencapaian performa daya tahan lari pada atlet, namun
dapat mencegah stres oksidatif. Hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan
masukan kepada para atlet, pelatih dan pembina serta pengambil kebijakan
prestasi olahraga tentang strategi pemberian makanan yang tepat untuk mencapai
daya tahan dan kesehatan optimal. Penelitian ini juga diharapkan memberikan
kontribusi yang signifikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang gizi
TINJAUAN PUSTAKA
Metabolisme Karbohidrat
Karbohidrat dapat dikategorikan berdasarkan struktur dan jumlah molekul
gula yaitu monosakarida seperti galaktosa, glukosa dan fruktosa yang
mengandung satu molekul gula; disakarida seperti sukrosa mengandung dua
molekul gula. Kedua karbohidrat ini disebut juga sebagai karbohidrat sederhana.
Polisakarida adalah karbohidrat dengan banyak molekul gula yang berikatan,
dikenal sebagai karbohidrat kompleks, seperti pati, dekstrin dan serat (Braun &
Miller 2008). Secara tradisional, penggunaan istilah karbohidrat sederhana dan
kompleks seringkali kurang akurat bila dikaitkan dengan efek makanan tinggi
karbohidrat tersebut terhadap level glukosa darah dan insulin. Sebagai contoh
mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat yang dominan mengandung glukosa
seperti buah dan produk susu menghasilkan kurva glukosa darah yang datar,
sebaliknya makanan tinggi karbohidrat kompleks seperti roti dan kentang
menghasilkan respon glukosa darah yang tinggi sama dengan konsumsi glukosa.
Selanjutnya keberadaan serat makanan tidak selalu menunda absorpsi dan
meratakan kurva glukosa darah postprandial (Burke et al. 1998).
Glukosa memegang peranan sentral dalam metabolisme karbohidrat.
Kelebihan glukosa akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen. Bila
persediaan darah menurun, hati akan mengubah sebagian dari glikogen menjadi
glukosa dan mengeluarkannya ke dalam aliran darah. Glukosa akan dibawa oleh
darah ke seluruh bagian tubuh yang memerlukan. Sel-sel otot juga menyimpan
glukosa dalam bentuk glikogen. Glikogen hanya digunakan sebagai energi untuk
keperluan otot saja dan tidak dikembalikan sebagai glukosa ke dalam aliran darah
(Almatsier 2001). Sekitar sepertiga (34%) bagian glukosa dari hasil pencernaan
akan dibawa ke hati, 33% akan didistrubusikan ke otot dan jaringan adiposa serta
33% glukosa akan didistribusikan ke sel darah merah dan sistem syaraf pusat
(Moore et al. 2012).
Sebelum glukosa digunakan oleh sel tubuh, glukosa melewati membran
plasma dan masuk ke dalam sitosol. Absorpsi glukosa dalam saluran usus dan
Glukosa masuk ke dalam sel tubuh lain paling banyak melalui molekul GluT,
kelompok transporter yang membawa glukosa masuk melalui difusi. Peningkatan
level insulin yang tinggi disisip salah satu tipe GluT yaitu GluT4, masuk ke dalam
membran plasma ke sel tubuh, dengan demikian peningkatan laju memudahkan
difusi glukosa ke dalam sel. Pada neuron dan hepatocyte, juga terdapat GluT tipe
lain dalam membran plasma, sehingga glukosa masuk merupakan ’turned on’
(Tortora & Derrickson 2006). Menurut Gropper et al. (2009) pencernaan
polisakarida dimulai di dalam mulut menjadi gula sederhana dibantu oleh enzim α-amilase. Enzim α-amilase menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosida menghasilkan dekstrin. Proses pencernaan dilanjutkan di dalam lambung yang memiliki pH rendah sehingga aktifitas α-amilase terhambat. Dalam lambung dekstrin tidak mengalami pencernaan, dekstrin selanjutnya dicerna di dalam usus kecil oleh α -amilase dari pankreas menghasilkan maltosa dan maltotriosa. Hasil hidrolisis α -amilase terhadap amilopektin menghasilkan glukosa dan maltosa. Pencernaan
disakarida terjadi di usus halus bagian atas dengan aktivitas enzim disakaridase
terkonsentrasi dibagian mikrovilli sel mukosa usus. Enzim laktase, sukrase,
maltase dan isomaltase adalah beberapa enzim yang terdapat di mukosal sel.
Laktase berperan dalam mengkatalisis laktosa menjadi galaktosa dan glukosa.
Sukrase menghidrolisis sukrosa untuk mendapatkan glukosa dan fruktosa.
Sedangkan maltase menghidrolisis maltosa untuk mendapatkan dua unit glukosa, isomaltase (α-dextrinase) berperan menghidrolisis ikatan α-1,6 isomaltosa (ikatan pada disakarida dari pemecahan amilopektin yang tidak sempurna). Glukosa dan
galaktosa hasil hidrolisis diserap oleh mukosa sel melalui transpor aktif yang
dipermudah oleh SGLT1 (sodium-glucose transporter 1), sedangkan fruktosa
diserap dengan bantuan GLUT5. SGLT1 adalah suatu protein komplek yang
tergantung terhadap pompa Na+/K+-ATPase dan membutuhkan energi untuk
membawa gula melewati sel mukosa. GLUT merupakan transporter protein yang
tidak tergantung dengan Na+.
Di dalam tubuh karbohidrat disimpan sebagai unit glukosa rantai panjang
yang disebut glikogen, didalam otot dan hati. Jumlah glikogen yang disimpan
dalam hati kira-kira 100 gram atau kira-kira 70-110 mmol per kilogram berat otot
glikogen yang diuraikan untuk suplai glukosa darah pada periode puasa dan
jumlah glukosa yang disuplai ke hati setelah mengonsumsi makanan.
Berdasarkan itu, glikogen hati meningkatkan cadangan setelah makan, tetapi akan
menurun pada antara waktu makan, terutama malam hari, dimana hati secara tetap
mengirim glukosa ke dalam darah untuk memelihara level glukosa darah normal.
Level glukosa darah dalam selang normal adalah penting karena glukosa darah
adalah sumber energi utama untuk sistem syaraf (Burke & Deakin et al. 1994).
Gambaran proses pengaturan glukosa sesudah makan dapat dilihat pada Gambar
1.
Gambar 1 Proses pengaturan kadar glukosa sesudah makan (Aronoff 2004).
Selama latihan fisik jumlah metabolit dan rangsangan hormonal akan
berperan untuk meningkatkan ambilan glukosa darah dengan kerja otot untuk
menyediakan bahan bakar untuk kontraksi otot. Untuk menghindari level glukosa
darah turun dibawah nilai normal fisiologi, hati akan dirangsang pada saat
bersamaan untuk mensuplai glukosa ke darah. Suplai ini terutama berasal dari
pool glikogen hati dan sebagian kecil dari proses glukoneogenesis (sintesis
glukosa de novo) oleh sel hati dari prekursor seperti asam amino. Jadi
ketersediaan glikogen hati adalah faktor kunci untuk memelihara level glukosa
glukosa dan translokasi GLUT4 selama kontraksi otot dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2 Mekanisme peningkatan transpor glukosa dan translokasi GLUT4 selama kontraksi otot (Rose & Richter 2005).
Jumlah glikogen yang disimpan dalam otot di seluruh tubuh adalah
kira-kira 300 gram pada orang tidak terlatih dan kemungkinan meningkat menjadi 500
gram pada orang terlatih dengan kombinasi latihan dan konsumsi makanan tinggi
karbohidrat. Laju glikogen otot dimobilisasi untuk memproduksi energi yang
dibutuhkan untuk kontraksi otot tergantung pada status latihan atlet, lama dan
intensitas latihan. Laju penggunaan glikogen selama latihan ditentukan oleh
berbagai faktor, meliputi intensitas latihan, kondisi fisik, cara latihan, temperatur
lingkungan dan makanan sebelum latihan (Hargreaves 1991). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sangat sedikit pool fosfat kaya energi yang segera tersedia
kerja otot akan dipenuhi dari mobilisasi dan selanjutnya metabolisme subsrat dari
karbohidrat dan pool lemak pada otot, hati dan jaringan adipose (Brouns 2002).
Karbohidrat berperan penting dalam persiapan pertandingan, karena
asupan karbohidrat beberapa hari sebelum kompetisi akan mengisi kembali
simpanan glikogen otot, dan sebaliknya asupan karbohidrat beberapa jam sebelum
kompetisi akan mengoptimalkan simpanan glikogen hati. Bila atlet tidak
mengonsumsi karbohidrat secara cukup setiap hari, simpanan glikogen otot dan
hati akan menurun. Penurunan simpanan glikogen akan menurunkan daya tahan
dan performa. Ada hubungan yang sangat erat antara penurunan glikogen otot
dengan kelelahan pada latihan dengan intensitas sedang (Frail et al. 2000). Hasil
penelitian Coyle et al. (1985) menemukan bahwa konsumsi makanan kaya
karbohidrat 3-5 jam sebelum latihan meningkatkan level glikogen otot, sedangkan
hasil penelitian Neufer et al. (1987) menyebutkan bahwa konsumsi makanan kaya
karbohidrat 3-5 jam sebelum latihan meningkatkan performa exercise dan
meningkatkan transpor karbohidrat ke dalam otot selama latihan (Jeukendrup et
al. 2004). Konsumsi makanan tinggi karbohidrat 2-4 jam sebelum latihan dengan
porsi sedang, optimal untuk pemulihan glikogen hati dan otot (Chen et al. 2008).
Ada efek yang kurang menguntungkan mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat
yaitu terjadinya gangguan glikemik dan insulinemik yang mengiringi konsumsi
karbohidrat, sebaliknya kemungkinan mengurangi ketersediaan dan oksidasi asam
lemak bebas untuk kegiatan latihan berikutnya (Horowitz et al. 1997). Konsumsi
karbohidrat beberapa jam sebelum latihan memberikan tiga efek yang penting
yaitu penurunan sementara glukosa plasma pada awal latihan, meningkatkan
oksidasi karbohidrat dan mempercepat pemecahan glikogen dan menghentikan
mobilisasi asam lemak dan oksidasi lipid (Jeukendrup et al. 2004).
Lebih lanjut Jeukendrup et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi
karbohidrat sejam sebelum latihan mengakibatkan peningkatan glukosa plasma
dan insulin. Sebaliknya pada saat mulai latihan terjadi penurunan glukosa darah
dengan cepat. Penurunan ini disebabkan oleh kombinasi beberapa kejadian
metabolik yaitu hiperinsulinemia merangsang ambilan glukosa, ditambah lagi
kontraksi otot juga merangsang ambilan glukosa otot. Latihan menyebabkan
karbohidrat, meskipun penyerapan terus menerus dari karbohidrat yang
dikonsumsi. Peningkatan ambilan dan oksidasi glukosa darah oleh otot
menyebabkan peningkatan oksidasi karbohidrat setelah konsumsi karbohidrat,
serta peningkatan pemecahan glikogen otot. Peningkatan asam lemak plasma
pada saat latihan ditingkatkan setelah mengonsumsi karbohidrat sebelum latihan
sebagai akibat penghambatan lipolisis oleh insulin. Oksidasi lipid menurun tidak
hanya karena lebih rendahnya ketersediaan asam lemak plasma namun juga
karena oksidasi lipid otot juga dihambat (Horowitz et al. 1997). Karena adanya
efek metabolik konsumsi karbohidrat sebelum latihan yaitu hiperinsulinemia dan
hiperglikemia, menarik dikembangkan strategi meminimalkan perubahan glukosa
plasma dan insulin sebelum latihan. Strategi ini meliputi konsumsi fruktosa atau
karbohidrat tipe lain yang mempunyai indeks glikemik rendah, beragam beban
karbohidrat atau jadwal konsumsi, penambahan lipid dan latihan pemanasan.
Metabolisme Asam Lemak
Asam lemak dan gliserol di peroleh dari hasil pemecahan trigliserida
melalui proses lipolisis, karena asam lemak disimpan di dalam tubuh sebagai
triasilgliserol (trigliserida) dalam sel lemak yang menyusun jaringan adiposa.
Gliserol adalah ikatan 3 karbon seperti piruvat akan tetapi dengan susunan H dan
OH pada karbon yang berbeda. Setelah makan, lemak diserap dan dibawa ke
darah sebagai trigliserida dalam bentuk partikel lemak (HDL, VLDL, LDL,
kilomikron) atau sebagai asam lemak bebas yang terikat pada albumin (non
esterified fatty acid/NEFA).
Gliserol memasuki jalur metabolisme di antara glukosa dan piruvat dan
dapat diubah menjadi glukosa atau piruvat. Piruvat kemudian diubah menjadi
asetil KoA untuk kemudian memasuki siklus TCA. Asam lemak dipecah melalui
proses oksidasi ke dalam unit 2 karbon, unit 2 karbon mengikat satu molekul KoA
membentuk asetil KoA. Asetil KoA memasuki siklus TCA (tri carboxylic acid)
dan menghasilkan energi yang diikat dalam bentuk NADH dan FADH2 (Almatsier
2001).
Pada asam lemak dengan jumlah atom karbon ganjil, disamping
propionil KoA dan propionil KoA juga akan memasuki siklus TCA (Groff &
Gropper 2000). Bila oksidasi asam lemak meningkat akan menghambat laju
glikolisis dan konversi piruvat tahap pertama dalam siklus asam sitrat, akibatnya
oksidasi karbohidrat akan menurun. Sebaliknya bila metabolisme karbohidrat
meningkat seperti sesudah makan tinggi karbohidrat, akan menghambat lipolisis,
ketersediaan dan oksidasi asam lemak akan menurun (Brouns 2002). Kadar
glukosa darah dapat mempengaruhi lipolisis dan oksidasi asam lemak karena
kondisi hiperglikemi (glukosa tinggi) memicu pelepasan insulin yang
meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel termasuk sel adiposa dan memicu
proses lipogenesis. Sebaliknya kondisi rendah glukosa dalam darah seiring
dengan rendahnya insulin akan mendukung lipolisis dengan mengalirkan asam
lemak bebas ke dalam aliran darah. Rendahnya glukosa darah juga akan
merangsang laju oksidasi asam lemak. Lipolisis dirangsang oleh beberapa jenis
hormon seperti epineprin dan noreepineprin, adrenocorticotropic hormone
(ACTH), tyroid-stimulating hormone (TSH), glukagon, hormon pertumbuhan, dan
tiroksin (Groff & Gropper 2000; Horowitz 2003).
Selama latihan intensitas rendah (25% VO2 maks) lipolisis periferal lebih
tinggi dibandingkan dengan lipolisis trigliserida intramuskular. Laju mengalirnya
asam lemak ke dalam plasma dan oksidasi asam lemak paling tinggi pada
intensitas latihan 25% VO2 maks, dan menurun secara progresif dengan
meningkatnya intensitas latihan. Oksidasi lemak paling rendah pada saat latihan
dengan intensitas 85% VO2 maks.
Hormon Insulin
Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung 2 rantai asam amino
yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Terdapat perbedaan kecil dalam
komposisi asam amino molekul dari satu spesies ke spesies lain. Insulin dibentuk
di retikulum endoplasma sel β dan kemudian dipindahkan ke dalam aparatus
golgi. Waktu paruh insulin dalam sirkulasi pada manusia adalah sekitar 5 menit.
Insulin mempunyai efek hipoglikemik, efek transpor elektrolit dan asam amino,
dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa di membran sel. Efek
insulin pada berbagai jaringan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Efek Insulin pada berbagai jaringan
No Jaringan Efek Insulin
1 Adiposa - Meningkatkan masuknya glukosa
- Meningkatkan sintesa asam lemak
- Meningkatkan sintesis gliserol fosfat
- Meningkatkan pengenapan trigliserida
- Mengaktifkan lipoprotein lipase
- Menghambat lipase peka hormon
- Meningkatkan ambilan K+
2 Otot - Meningkatkan masuknya glukosa
- Meningkatkan sintesa asam amino
- Meningkatkan sintesa glikogen
- Meningkatkan sintesa protein
- Menurunkan katabolisme protein
- Menurunkan pelepasan asam amino glukogenik
- Meningkatkan ambilan keton
- Meningkatkan ambilan K+
3 Hati - Menurunkan ketogenesis
- Meningkatkan sintesisi protein
- Meningkatkan sintesis lemak
- Menurunkan pengeluaran glukosa akibat penurunan
glukoneogenesis dan peningkatan sintesis glikogen
4 Umum - Meningkatkan pertumbuhan sel
Sumber : Ganong 1999
Reseptor insulin adalah suatu protein komplek dengan berat molekul 340
000. Reseptor insulin dijumpai di berbagai jenis sel tubuh. Jumlah atau afinitas
reseptor insulin atau keduanya dipengaruhi oleh insulin dan hormon lain,
olahraga, makanan dan faktor lainnya. Pajanan ke insulin dalam jumlah yang
meningkat akan menurunkan konsentrasi reseptor (down regulation), dan pajanan
ke insulin dalam jumlah yang menurun akan meningkatkan afinitas reseptor
(Ganong 1999).
Menurut Aronoff et al. (2004) insulin membantu mengontrol glukosa
darah dalam tiga cara. Pertama insulin menyampaikan sinyal pada jaringan
periferal sensitif-insulin terutama otot agar meningkatkan ambilan glukosa , kedua
insulin bekerja pada hati untuk meningkatkan glikogenesis dan ketiga secara
simultan menghambat sekresi glukagon dari sel α pankreas. Keseluruhan aksi
disekresikan bila konsentrasi glukosa darah < 3.3 mmol/l. Mekanisme kerja
insulin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Mekanisme kerja insulin (http://www.rosehulman.edu/).
Metabolisme Energi dalam Otot
Serat otot skelet sering mengalami perubahan antara aktifitas rendah
ketika istirahat dengan menggunakan sedikit ATP, sebaliknya ketika aktifitas
tinggi pada kondisi kontraksi menggunakan banyak ATP. ATP dibutuhkan
untuk siklus kontraksi, yaitu memompa Ca2+ ke dalam retikulum sarkoplasma dan
untuk reaksi metabolik lainnya yang terlibat dalam kontaksi otot. Sedangkan ATP
yang terdapat dalam otot hanya mencukupi untuk kontraksi otot beberapa detik
saja. Jika olahraga dilakukan dalam waktu lama, otot memerlukan banyak ATP.
Otot mempunyai tiga mekanisme untuk memproduksi ATP yaitu : (1) melalui
creatine phosphate, pada kondisi otot istirahat, otot akan memproduksi ATP yang
berlebih daripada kebutuhan metabolisme saat istirahat. Kelebihan ATP ini akan
digunakan untuk membentuk creatine phosphate (CP) yaitu suatu molekul kaya
energi yang hanya terdapat dalam otot. Enzim creatine kinase (CK) merupakan
enzim yang mengkatalisis reaksi CP dengan mentransfer satu fosfat kaya energi
dari ATP ke creatine, membentuk creatine phosphate dan ADP. Creatine
dibandingkan ATP. Bila kontraksi otot dimulai dan kadar ADP mulai meningkat,
CK mengkatalis pemindahan fosfat kaya energi dari CP kembali ke ADP. Reaksi
fosforilasi ini membentuk molekul ATP baru dengan cepat. Secara bersamaan CP
dan ATP menyediakan energi untuk otot hanya cukup untuk kontraksi maksimal
15 detik, reaksi pembentukan ATP secara anaerobik adalah sebagai berikut :
CK
PCr + ADP + H+ ATP + Cr
Glikogen + 3 ADP + 3Pi 3 ATP + 2 laktat + 2 H+
AK
2 ADP ATP + AMP
AMP deaminase
AMP + H+ IMP + NH4
(2) proses anaerobik, yaitu reaksi pembentukan ATP tanpa membutuhkan
oksigen. Bila aktifitas olahraga dilakukan secara terus menerus dan pasokan CP
dalam otot mulai menurun, glukosa akan dirombak membentuk ATP dan glukosa
juga diproduksi dari proses pemecahan glikogen dalam otot. Pada proses
glikolisis ini glukosa akan dipecah dengan cepat menjadi dua molekul asam
piruvat. Asam piruvat dibentuk melalui glikolisis dalam sitosol dan masuk ke
mitokondria, tempat terjadi reaksi aerobik selular yang menghasilkan ATP dalam
jumlah yang lebih banyak. Pada kondisi oksigen tidak tersedia cukup, terjadi
reaksi anaerobik yang merubah sebagian besar asam piruvat menjadi asam laktat
dalam sitosol. Sebesar 80% asam laktat yang terbentuk akan dialirkan dari otot ke
darah dan sebagian dibentuk kembali menjadi glukosa. Proses anaerobik ini
cukup menyediakan energi untuk aktifitas selama 30 hingga 40 detik, (3) proses
aerobik, yaitu reaksi yang membutuhkan oksigen terjadi dalam mitokondria bila
aktifitas otot terjadi lebih dari setengah menit. Pada kondisi cukup oksigen maka
asam piruvat masuk ke dalam mitokondria dimana reaksi secara lengkap terjadi
menghasilkan ATP, CO2, air dan panas. Meskipun reaksi aerobik lebih lambat
molekul ATP setiap satu molekul glukosa. Proses reaksi aerobik menyediakan
cukup ATP untuk aktifitas yang lama dengan syarat tersedia cukup oksigen dan
zat gizi. Zat gizi yang dimaksud termasuk asam piruvat dari proses glikolisis
glukosa, asam lemak dari pemecahan trigliserida dalam sel adipose dan asam
amino dari pemecahan protein. Aktifitas otot yang lebih dari 10 menit sistem
aerobik menyediakan 90% dari ATP yag dibutuhkan (Tortora & Derrickson
2006). Pada 30 detik awal kontribusi system anaerobik dalam penyediaan ATP
adalah 80% sedangkan aerobik hanya 20%, sebaliknya setelah 120 hingga 192
detik sebagian besar (70%) penyediaan ATP oleh system aerobik dan 30% dari
sistem anaerobik. (Spriet 1995).
Penggunaan Zat Gizi Selama Olahraga
Menurut Gropper et al. (2009) ada tiga sistem energi yang menyuplai ATP
selama latihan yaitu : Sistem ATP-CP, sistem asam laktat dan sistem aerobik.
Pada sistem ATP-CP sel otot menggunakan ikatan phosphat berenergi tinggi
creatine phosphat (CP) dengan ATP. Sistim ATP-CP menyediakan energi siap
pakai yang diperlukan untuk permulaan aktifitas fisik dengan intensitas tinggi
seperti angkat berat, lari sprint 100 meter. Sumber energi diperoleh dari
pemecahan simpanan ATP dan PC yang tersedia dalam otot. Pada aktifitas
maksimum, sistem ini hanya dapat dipertahankan 6-8 detik karena simpanan ATP
dan PC sangat sedikit. Sistem asam laktat adalah meliputi jalur glikolitik dimana
ATP dihasilkan dalam otot skeletal oleh pemecahan glukosa secara anaerobik
menjadi 2 mol laktat. Sistem asam laktat terjadi bila suplai oksigen tidak
mencukupi. Pada sistem aerobik terjadi pemecahan karbohidrat, lemak dan
protein secara komplet. Adapun sumber energi utama selama latihan/olahraga
adalah ; glikogen, glukosa darah, asam lemak plasma dan gliserol intramuskular
(Coyle 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan zat gizi sebagai sumber energi. Besarnya sumbangan energi untuk latihan dari masing-masing substrat tergantung dari berbagai faktor yaitu intensitas dan lamanya latihan,
latihan (Gropper et al. 2009). Selain itu penggunaan substrat selama latihan juga
dipengaruhi oleh faktor lain yaitu gender, komposisi tubuh, umur dan diet
(Mittendorfer & Klein 2003).
Intensitas dan Lama Latihan. Latihan dengan intensitas rendah (25%-30% VO2maks) energinya berasal dari oksidasi triasilgliserol dan asam lemak
plasma dengan kontribusi dari glukosa plasma adalah kecil (Coyle 1995; Gropper
et al. 2009). Pada latihan dengan intensitas sedang (~65% VO2maks) setara lari
selama 1-3 jam, oksidasi lemak total meningkat meskipun penurunan laju
pelepasan asam lemak adiposit ke dalam sirkulasi. Sumbangan FFA plasma sama
dengan triasilgliserol otot terhadap pengeluaran energi. Bila intensitas latihan
meningkat sampai 85% VO2 maks, maka sumbangan oksidasi karbohidrat untuk
metabolisme meningkat sangat tajam. Pada latihan intensitas tinggi karbohidrat
dalam bentuk glukosa darah yang berasal dari glikogenolisis simpanan glikogen
hati dan glikogen otot menjadi pemasok energi utama (Coyle 1995; Gropper et al.
2009). Seperti juga glikogen otot, konsentrasi glukosa darah semakin turun
selama latihan berat dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan ambilan glukosa
oleh otot yang bekerja meningkat 20 kali atau lebih diatas kondisi istirahat,
sementara glukosa hati menurun dengan meningkatnya lama latihan. Pendapat
umum yang dipegang erat bahwa protein dalam bentuk asam amino sangat kecil
menyumbang terhadap energi, yaitu 3-6%. Asam amino khususnya branched
chain amino acid (BCAA) yaitu leusin, isoleusin dan valin dapat masuk ke siklus
asam sitrat melalui piruvat, asetil ko A atau titik lain (Wildman & Medeiros
2000). Selama latihan yang panjang, terutama bila simpanan glikogen rendah
sumbangan protein terhadap energi untuk latihan dapat mencapai 10%. Tidak
seperti karbohidrat dan lemak, dapat disimpan dalam bentuk struktural atau
fungsional, seluruh protein tubuh sulit disimpan, otot skeletal adalah tempat
penyimpan protein. Penggunaan protein sebagai energi harus diganti dengan
asupan protein dari makanan atau berakibat kehilangan jaringan otot tanpa lemak
(lean body mass) (Wolinsky & Judy 2008). Kontribusi berbagai substrat terhadap
pengeluaran energi pada latihan selama 30 menit dengan berbagai intensitas dapat
Gambar 4 Kontribusi berbagai substrat terhadap energi (Coyle 1995).
Tingkatan latihan (level of exercise training). Latihan daya tahan meningkatkan kemampuan atlet untuk melakukan kegiatan secara aerobik.
Beberapa faktor membantu dalam hal peningkatan ini. Daya tahan otot
menunjukkan peningkatan jumlah dan ukuran mitokondria; kapasitas jantung dan
paru meningkat dan hipotropi otot tipe 1. Aktifitas oksidatif enzim pada orang
yang terlatih daya tahannya menunjukkan 100% lebih besar dibandingkan orang
yang tidak terlatih pada 65% VO2maks. Latihan daya tahan mengakibatkan
peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi selama latihan
submaksimal. Pada otot, oksidasi lemak menghambat ambilan glukosa dan
glikolisis. Dengan alasan ini, atlet terlatih diuntungkan dari penghematan
karbohidrat karena oksidasi asam lemak selama pertandingan menyebabkan
rendahnya pengosongan glikogen otot dan glukosa plasma (Gropper et al. 2009).
Level glikogen otot (initial muscle glycogen level). Kemampuan mempertahankan latihan sedang sampai berat dalam waktu yang lama banyak
tergantung dari permulaan kandungan glikogen otot skeletal dan kehilangan
glikogen otot. Level glikogen otot skeletal yang tinggi memungkinkan latihan
berlanjut lebih lama pada beban sub maksimal. Bahkan tanpa pembebanan
karbohidrat, ada hubungan positif yang kuat antara level glikogen awal dengan
waktu kelelahan dan atau performa selama periode latihan lebih dari 1 jam.
Korelasi tidak terlihat pada level penggunaan rendah (25%-35% VO2maks) atau
bukan dibatasi oleh faktor ini. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya simpanan
awal glikogen otot berkaitan dengan ketidakmampuan glukosa dan asam lemak
melewati membran sel dengan cepat untuk menyediakan substrat yang mencukupi
untuk respirasi mitokondria (Gropper et al . 2009).
Suplementasi karbohidrat (carbohydrate supplementation). Glikogen otot telah dikenal sebagai faktor pembatas untuk kapasitas latihan dengan
intensitas 70%-85% VO2 maks, manipulasi diet untuk memaksimalkan simpanan
glikogen otot dilakukan secara natural. Untuk mendapatkan simpanan glikogen,
sejak dulu sudah dikenal diet superkompetisi ”carbohydrate loading”. Diet ini
banyak dilakukan oleh atlet pelari maraton (Gropper et al. 2009).
. Menurut Ivy dalam Horowitz et al. (1999) menyatakan bahwa konsumsi
karbohidrat selama latihan dengan intensitas rendah (25-45% VO2 maks)
menurunkan oksidasi lemak sampai kira-kira 40% dibawah level puasa.
Sebaliknya konsumsi karbohidrat selama latihan dengan intensitas sedang
(65-75% VO2maks) tidak menurunkan oksidasi lemak selama 2 jam latihan.
Menurut Coyle (1995) pemberian karbohidrat selama latihan dapat
menunda kelelahan 30-60 menit. Otot mengandalkan glukosa darah pada akhir
latihan. Pergantian penggunaan substrat selama latihan jangka panjang pada
intensitas 65-75 % VO2 maks bagi orang terlatih setelah puasa semalam dapat
dilihat pada Gambar 5.
Menurut Mittendorfer dan Klein (2003) faktor lain yang mempengaruhi
penggunaan substrat selama latihan adalah komposisi makanan, jenis kelamin,
usia dan komposisi tubuh. Tipe serat otot juga faktor penting yang menentukan
metabolisme substrat selama latihan, karena densitas mitokondria lebih besar pada
serat otot slow- twitch dibandingkan fast-twitch. Sumbangan sistem energi
terhadap beberapa jenis olahraga dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis olahraga dan sistem energi
Jenis Olahraga Kontribusi Sistem Energi (%)
ATP-CP Laktat Oksigen
Lari 100 m 39 56 5
Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim yang ada hampir diseluruh
jaringan tetapi yang paling banyak terdapat pada otot (skelet, jantung, otot polos)
dan pada otak, tidak disekresikan ke dalam darah. Meskipun demikian ada
sebagian kecil terdeteksi dalam plasma darah karena kebocoran dari sel yang
mengandung CK. Serum CK dominan ada dalam otot skelet dalam bentuk
isoform CK3 (CK-MM). Konsentrasi serum CK meningkat bila organ yang
mengandung enzim ini mengalami kerusakan seperti pada acute myocardial
infarction dan myopathies. Konsentrasi normal CK serum pada suhu 37oC untuk
laki-laki adalah 38 hingga 174 unit per liter dan untuk perempuan 26 hingga 140
unit per liter (Mougios 2006). Secara normal, total creatine kinase ada dalam otot
berbentuk fraksi MM dan umumnya dalam serum hanya ada CK-MM. Kadar CK
total tergantung pada umur, jenis kelamin, ras, massa otot, aktifitas fisik dan
hitam memiliki nilai CK yang lebih tinggi daripada Kaukasian. Kadar CK pada
saat istirahat lebih tinggi pada atlet dibandingkan pada orang yang sedentari.
Latihan olahraga pada kondisi dingin lebih menyebabkan kadar CK lebih tinggi
dibandingkan dengan latihan pada kondisi temperatur hangat (Brancaccio et al.
2007).
Kadar Laktat Darah
Laktat adalah produk akhir dari pemecahan karbohidrat secara anaerobik.
Konsentrasi laktat dalam otot dan darah meningkat secara drastis karena pengaruh
latihan olahraga. Pada kondisi istirahat konsentrasi laktat sekitar 1 mmol/liter,
setelah latihan maksimal bisa mencapai 20 mmol/liter. Selain dari parameter
latihan seperti intensitas, durasi dan program training, respon laktat dipengaruhi
oleh faktor genetik, zat gizi, jenis/kondisi training, dan usia. Seseorang dengan
persentase serat otot tipe IIA dan IIX mempunyai konsentrasi laktat yang lebih
tinggi selama latihan olahraga. Makanan kaya karbohidrat yang dikonsumsi
sebelum atau selama latihan olahraga meningkatkan konsentrasi laktat, bila lebih
banyak karbohidrat yang dipakai. Pada jenis latihan olahraga aerobik konsentrasi
laktat relatif lebih rendah. Konsentrasi laktat anak-anak lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa (Mougios 2006).
Ambilan Oksigen Maksimal (VO2maks)
Ambilan oksigen maksimal (VO2maks) adalah ambilan oksigen maksimal
yang dapat digunakan oleh tubuh seseorang per menit selama latihan atau latihan
fisik (Haskell & Kiernan 2000). Nilai VO2 maks merupakan ukuran seberapa bugar
(fit) seseorang yang dinyatakan dengan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh
per menit dengan satuan ml/kg/menit (Sharkey 1991). Jumlah oksigen yang
dikonsumsi berbanding lurus dengan intensitas latihan. Ambilan oksigen
maksimum (VO2maks) ini ditentukan oleh faktor genetik, umur, jenis kelamin dan
ketinggian tempat. VO2maks menurun dengan menurunnya usia dan apabila tidak
melakukan aktifitas fisik, dan 40% variasi VO2maks ditentukan oleh faktor genetik.
Latihan fisik teratur dapat meningkatkan VO2maks sebesar 5-30% (Wither et al.
Tabel 3 Kriteria VO2maks untuk laki-laki
No Klasifikasi Kelompok Umur 20-29 30-39 40-49 1 Baik sekali > 49 > 45 > 42
2 Baik 38-48 34-44 31-41
3 Sedang 31-37 28-33 24-30
4 Kurang 24-30 20-27 17-23
5 Kurang sekali < 23 < 19 <16
Sumber: Depdiknas 2000
Indeks Glikemik dan Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik
Indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah. IG mengklasifikasikan makanan kaya karbohidrat
berdasarkan respon glukosa darah mereka dibandingkan makanan standar
(biasanya roti atau larutan glukosa) (Jenkins et al . 1981). Nilai indeks glikemik
bervariasi dalam bahan pangan, nilai IG tinggi diatas 70, sedang antara 55-70 dan
rendah bila kurang dari 55. IG membantu seorang atlet memilih makanan yang
tepat untuk menunjang penampilan menurut jenis olahraga yang ditekuninya
(Rimbawan & Siagian 2004). Skor IG dihitung dengan membandingkan kurva
konsentrasi-waktu respon glukosa darah makanan yang diuji dengan kurva respon
glukosa darah makanan standar (roti atau glukosa) setelah puasa semalam
(Jenkins et al. 1981; Wolever et al. 1991; Wolever 2004). Formula untuk
perhitungan indeks glikemik yaitu :
Luas Daerah Di bawah Kurva Glukosa Makanan Uji
Luas Daerah Di bawah Kurva Glukosa Standar
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi indeks glikemik suatu bahan
pangan, yaitu :
a. Proses pengolahan. Pangan yang mudah dicerna dan diserap menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Makin kecil ukuran partikel maka IG
tergelatinisasi sempurna. Pangan yang mengandung pati tergelatinisasi penuh
memiliki IG tinggi (Siagian, 2006 ; Coyle, 1995). Hasil penelitian Brand et al.
(1985) menunjukkan bahwa makanan yang diolah seperti beras instan, brondong
beras, keripik jagung, cornflakes, kentang instan, dan keripik kentang mempunyai
indeks glikemik lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan asal yang hanya
sedikit mengalami pengolahan yaitu beras, jagung dan kentang yang direbus.
Liljeberg et al. (1992) mengatakan bahwa butiran utuh serealia, seperti gandum
menghasilkan respon glukosa dan insulin yang rendah. Sewaktu butiran tersebut
digiling sebelum direbus, maka respon glukosa dan insulin posprandial
mengalami peningkatan bermakna. Kenaikan kadar gula darah postprandial
tepung terigu halus lebih besar dibandingkan tepung terigu kasar, tepung terigu
kasar lebih besar dari pada biji gandum pecah, dan biji gandum pecah lebih besar
daripada biji gandum utuh.
b. Kadar amilosa dan amilopektin. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar
gula darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengonsumsi pangan berkadar
amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi, sebaliknya kadar
amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa, respon gula darah lebih tinggi
(Miller & Bramall diacu dalam Siagian 2006 ; Coyle 1995; Pi-Sunyer 2002).
c. Kadar gula dan daya osmotik pangan. Makin tinggi keasaman dan kekuatan osmotik (jumlah molekul per mililiter larutan) buah makin rendah
IG-nya (Pi-Sunyer 2002).
d. Kadar serat pangan. Pengaruh serat pada IG pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat
fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Hal ini menjadi
salah satu alasan mengapa kacang-kacangan atau tepung biji-bijian memiliki IG
rendah (30-40). Menurut Wolever (1990) serat makanan total berhubungan secara
signifikan dengan glikemik indeks (r = 0.461, p< 0.05). Kandungan energi per
unit bobot pangan adalah rendah. Penambahan serat pada diet efektif menurunkan
Pangan berserat tinggi juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang
berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang.
e. Kadar lemak dan protein pangan. Pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berkadar lemak
rendah (Siagian 2006 ; Coyle 1995). Temuan penelitian Brand et al. (1985)
menunjukkan bahwa meskipun potatos crisps telah mengalami pengolahan
sedemikian rupa, namun tetap memberikan respon glikemik yang lambat (indeks
glikemik rendah), karena dalam proses pengolahan potatos crisps dilakukan
penggorengan dengan menggunakan minyak. Peningkatan laju penyerapan
karbohidrat yang menyebabkan peningkatan indeks glikemik setelah
mengonsumsi pangan berkadar lemak rendah disebabkan karena tertundanya laju
pengosongan lambung oleh lemak (Rimbawan & Siagian 2004).
f. Kadar anti gizi pangan. Adanya zat antigizi mengakibatkan penurunan IG pangan karena dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di
dalam usus halus. Asupan asam fitat dan lektin menunjukkan korelasi negatif
terhadap respon glukosa darah (Yoon et al. 1983; Thompson et al. 1984). Lebih
lanjut Yoon et al. (1983) menyebutkan bahwa penambahan asam fitat pada
tepung terigu secara in vitro menunjukkan penurunan pelepasan glukosa secara
nyata. Asam fitat membentuk ikatan dengan mineral-mineral penting, seperti Zn,
Ca, Mg, dan Fe, menjadi bentuk yang tidak terlarut, sehingga menurunkan
bioviabilitasnya di dalam saluran pencernaan. Hasil penelitian Widowati (2007)
menyimpulkan bahwa daya cerna pati in vitro dan ekstrak teh hijau dengan kadar
7 % dalam pembuatan beras pratanak fungsional dan 4 % dalam pembuatan beras
instan fungsional berpengaruh nyata (p<0.05) dalam menurunkan indeks glikemik
beras.
Kecepatan peningkatan kadar gula darah berbeda untuk setiap jenis
pangan, dianjurkan meningkatkan konsumsi pangan dengan IG rendah dan
mengurangi konsumsi pangan dengan IG tinggi. Tujuannya adalah mengurangi
beban glikemik pangan secara keseluruhan. Beban glikemik bertujuan untuk