• Tidak ada hasil yang ditemukan

Survivorship and Growth Rate of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) and Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) on Degraded Land in the Upstream of Cisadane Watershed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Survivorship and Growth Rate of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) and Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) on Degraded Land in the Upstream of Cisadane Watershed"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SINTAS DAN LAJU PERTUMBUHAN

RASAMALA (Altingia excelsa Noronha), PUSPA (Schima wallichii (DC.) Korth.), DAN JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) PADA

LAHAN TERDEGRADASI DI HULU DAS CISADANE

NURUL HIDAYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Daya Sintas dan Laju Pertumbuhan Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), dan Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) pada Lahan Terdegradasi di Hulu DAS Cisadane adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

(4)

DAYA SINTAS DAN LAJU PERTUMBUHAN

RASAMALA (Altingia excelsa Noronha), PUSPA (Schima wallichii (DC.) Korth.), DAN JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) PADA

LAHAN TERDEGRADASI DI HULU DAS CISADANE

Nurul Hidayah

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

Judul Tesis : Daya sintas dan Laju pertumbuhan Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.), dan Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) pada Lahan Terdegradasi di Hulu DAS Cisadane

Nama : Nurul Hidayah

NIM : G353090141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ibnul Qayim Dr. Ir. Didik Widyatmoko, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Daya Sintas dan Laju Pertumbuhan Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), dan Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) pada Lahan Terdegradasi di Hulu DAS Cisadane ini dilaksanakan dari bulan April 2010 sampai dengan Februari 2011 di Resort Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sukabumi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ibnul Qayim, Dr. Ir. Didik Widyatmoko, M.Sc. selaku dosen pembimbing, serta Dr. Ir. Miftahudin, M.Si selaku Ketua Mayor Biologi Tumbuhan, dan Ir. Iwan Hilwan, M.S selaku Penguji Luar Komisi. Penulis juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa Peningkatan Mutu Guru Madrasah kepada penulis melalui Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Pihak Kebun Raya Cibodas LIPI atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 13 Februari 1973 dari ayah

Rochmat (alm.) dan ibu Lutfi’ah. Penulis merupakan putri ke 3 dari 4 bersaudara. Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Drs. Agus Nandar dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Radix Cita Mafngula Nandar, Achsyania Cahya Rachmadia Nandar dan satu orang Putra bernama Moch. Haidar Alwan nandar.

(9)

ABSTRACT

NURUL HIDAYAH. Survivorship and Growth Rate of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) and Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) on Degraded Land in the Upstream of Cisadane Watershed. Under supervision of IBNUL QAYIM and DIDIK WIDYATMOKO.

Changes in land use often threaten biodiversity. A slow primary succession can, however, be accelerated by conducting a restoration program. The aims of this study were to i) obtain data of survivorship and growth rate and ii) assess the influences of environmental factors on the growth of Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), and Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) on a degraded land in the upstream of Cisadane watershed. Observations were carried out two times: 6 and 12 months after planting. Survivorship percentages at different slopes were obtained by dividing the amount of living species during the period of the observation with the total amount of plants planted at the beginning of the observation. A PCA biplot analysis was used to assess the interaction between biotic and abiotic factors influencing the survivorship. Growth rate was done by measuring the height, diameter, and canopy spread of individual plants. Assessments of biotic and abiotic environment that influence the growth rates were also conducted. The results showed that the survivorship percentages of Rasamala, Puspa, and Jamuju were 87,18%, 82,05%, and 77,14%, respectively. On the 40° slopes, the survivorship of Rasamala was 93,75%, while those of Puspa and Jamuju were 84,61% and 66,67% respectively. On the 60% slopes, the survivorship was 82,25% for Rasamala, 81,81% and 64,70% for Puspa and Jamuju respectively. Higher growth rate was found in Jamuju, followed by Puspa and Rasamala. Environmental factors (both biotic and abiotic) significantly influenced the three species survivorship. Plant height, diameter and canopy area had significant correlations with plant growth rates.

(10)

RINGKASAN

NURUL HIDAYAH. Daya sintas dan laju pertumbuhan Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.), dan Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) Pada lahan terdegradasi di hulu DAS Cisadane. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM, DIDIK WIDYATMOKO.

Bencana alam seperti tanah longsor dan banjir makin sering terjadi di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan laju deforestasi dari 2,3% menjadi 4,5% per tahun selama periode tahun 1999-2000. Peningkatan laju deforestasi tersebut mengakibatkan luas lahan terdegradasi di Jawa Barat meningkat hingga mencapai 33,6%. Berdasarkan pertimbangan di atas perlu dilakukan restorasi ekologi dengan menggunakan spesies asli sebagai bagian dari upaya pemulihan ekosistem (habitat). Indikator keberhasilan restorasi bisa diukur melalui suatu penelitian tentang daya sintas tumbuhan yang ditanam. Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii) dan Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) merupakan spesies-spesies asli yang mempunyai nilai konsevasi dan juga ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan spesies dengan daya hidup dan laju pertumbuhan terbaik pada ketiga spesies yang diamati, serta menentukan karakteristik lingkungan yang mempengaruhi daya sintas dan laju pertumbuhan dari ke tiga spesies tersebut.

Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2010 sampai dengan Februari 2011 berlokasi di lahan restorasi Kebun Raya Cibodas LIPI, dengan kondisi kemiringan 0-60° di Resort Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bahan tanaman yaitu Rasamala (A. excelsa), Puspa (S. wallichii), dan Jamuju (D. imbricatus). Alat yang digunakan antara lain Environment Meter Lutron LM- 8000, clinometer, ring sampel tanah, pisau, sekop, kertas label, peta lokasi penanaman, tagging (penanda), meteran, tongkat ukur, jangka sorong (kaliper), kamera, kuas cat, dan buku identifikasi tumbuhan. Pengambilan data dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat 6 bulan dan 12 bulan setelah tanam (bulan setelah tanam). Parameter – parameter yang diamati meliputi daya sintas tanaman, tingkat kesehatan, kekokohan tanaman, pertumbuhan tanaman, serta faktor biotik dan abiotik. Data dianalisis dengan mengukur daya sintas tanaman secara umum dan daya sintas berdasarkan kemiringan lahan.

(11)

dari dua spesies lainnya, yaitu sebesar 0,45 cmbln-1. Laju pertumbuhan diameter tertinggi terjadi pada S. wallichii yaitu 0,62 cm bln−1. Korelasi antara ukuran awal tanam dengan laju pertumbuhan, pada A. excelsa untuk semua parameter memiliki korelasi negatif, sedangkan pada S. wallichii berkorelasi negatif dengan ukuran awal tanam terjadi pada parameter tinggi tanaman, diameter dan luas tajuk. Pada spesies D. imbricatus korelasi tidak nyata dengan ukuran awal tanam terjadi pada tinggi tanaman, sedangkan korelasi positif terjadi pada diameter serta luas tajuk. Kandungan unsur hara tanah pada tempat penelitian relatif rendah walaupun belum menunjukkan pengaruh nyata terhadap daya sintas dan laju pertumbuhan tanaman sampai pada akhir pengamatan (12 bst).

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 2

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 4

II TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Lahan Terdegradasi... 5

2.2. Ekologi Rasamala (Altingia excelsa Noronha )... 6

2.3. Ekologi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth )... 7

2.4. Ekologi Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub)... 8

III METODE PENELITIAN... 10

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 10

(13)

3.3. Data Penelitian... 10

3.3.1. Jenis Data... 10

3.3.2. Pengumpulan dan Analisis

Data...

11

3.3.2.1. Daya Sintas

Tanaman...

11

3.3.2.2. Pertumbuhan Tanaman... 13

3.3.2.3. Laju Pertumbuhan Relatif Tanaman... 3.3.2.4. Indeks Penampilan

Relatif...

13

14

3.3.2.5. Faktor Biotik dan

Abiotik...

14

3.3.3. Analisis Komponen

Utama...

16

3.3.4. Analisis Laju Pertumbuhan Tanaman ...

17

3.3.5. Iklim Mikro dan Iklim

Lokal...

17

3.3.6. Diagram Alir

Penelitian...

19

IV KEADAAN UMUM LOKASI

PENELITIAN...

20

4. 1. Lokasi

Penelitian...

(14)

4.2.

Topografi...

21

4.3.

Iklim...

21

4.4.

Tanah...

21

V HASIL DAN

PEMBAHASAN...

22

5.1. Analisis Daya Sintas

Tanaman...

22

5.1.1. Secara

Umum...

23

5.1.2. Berdasar Kemiringan

Lahan...

25

5.1.3. Kesehatan

Tanaman...

26

5.1.4. Kekokohan

Tanaman...

2

5.2. Analisis Laju Pertumbuhan

Tanaman...

28

5.2.1. Tinggi

Tanaman...

29

5.2.2. Diameter

Tanaman...

31

5.2.3. Luas Tajuk

Tanaman...

(15)

5.3. Laju Pertumbuhan Relatif dan Indeks Penampilan Relatif...

34

5.4. Analisis Faktor Lingkungan Sebagai Komponen Utama...

36

5.4.1. Interaksi Dengan Komponen Biotik...

36

5.4.2. Interaksi Dengan Komponen Abiotik...

41

5.4.2.1. Interaksi Tanaman Dengan Paramater Lingkungan ...

41

5.4.2.2. Kriteria Analisis

Tanah... 5.4.2.3. Komponen

Iklim...

48

51

VI SIMPULAN DAN

SARAN...

55

DAFTAR PUSTAKA... ....

57

LAMPIRAN...

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Rata-rata kesehatan tanaman

...

25

2 Rata-rata kekokohan

tanaman...

26

3 Nilai ciri matriks korelasi persentase hidup terhadap faktor lingkungan...

27

4 Pertambahan pertumbuhan tinggi, diameter, dan luas tajuk 3 spesies tanaman

pengamatan pada 12 bulan setelah

tanam...

33

5 Laju pertumbuhan relatif dan Indeks Penampilan relatif tanaman...

34

6 Hubungan ukuran awal penanaman dengan laju pertumbuhan tanaman...

36

7 Spesies tumbuhan bawah yang ditemui pada pengamatan ke dua...

38

8 Nilai ciri korelasi A. excelsa dengan faktor lingkungan...

41

9 Nilai ciri korelasi S. wallichii dengan faktor lingkungan...

43

10 Nilai ciri korelasi D. imbricatus dengan faktor lingkungan...

45

(17)

lingkungan...

12 Kriteria penilaian hasil analisis

tanah...

49

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Titik pengambilan sampel

tanah...

15

2 Diagram alir

penelitian...

19

(18)

...

4 Persentase daya sintas 3 spesies tanaman secara umum...

22

5 Persentase daya sintas 3 spesies tanaman berdasar kemiringan lahan...

23

6 Persentase hidup 3 spesies tanaman dengan beberapa parameter lingkungan...

28

7 Pertumbuhan tinggi 3 spesies tanaman pengamatan...

30

8 Pertumbuhan diameter 3 spesies tanaman pengamatan...

31

9 Pertumbuhan luas tajuk 3 spesies tanaman pengamatan ...

32

10

Tiga spesies tanaman pengamatan dan tumbuhan bawah...

40

11

Interaksi spesies Altingia excelsa dengan faktor lingkungan ... ...

42

12

Interaksi spesies Schima wallichii dengan faktor lingkungan ...

44

13

Interaksi spesies Dacrycarpus imbricatus dengan faktor lingkungan ...

45

14

Interaksi 3 spesies tanaman dengan faktor lingkungan ...

47

15

Kurva periodik iklim Bodogol pada tahun 2009 – 2011...

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis PCA spesies Altingia

excelsa...

62

2 Analisis PCA spesies Schima

wallichii...

63

3 Analisis PCA spesies Dacrycarpus

imbricatus...

64

4 Analisis PCA persentase hidup tiga spesies

tanaman...

65

5 Analisis interaksi tiga spesies tanaman dengan lingkungan...

66

6 Analisis laju pertumbuhan

tanaman...

67

(20)

tanaman...

8 Analisis pertumbuhan

tanaman...

70

9 Analisis daya

sintas...

71

10 Analisis kekokohan

tanaman...

72

11 Data rata-rata

iklim...

73

12 Kriteria sifat kimia

tanah...

(21)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan terdegradasi dan rawan longsor merupakan masalah lingkungan yang serius, terutama pada daerah dengan curah hujan tinggi (>3000mm/tahun), kemiringan lahan antara 5° – 45°, dan merupakan kawasan gempa. Selain itu, perubahan pemanfaatan lahan dan hutan oleh manusia baik untuk ditempati maupun ditanami (arable land) juga mengakibatkan lahan dan hutan semakin rusak dan rawan longsor, sekaligus mengancam keanekaragaman hayati (Sala et al. 2000). Sebagian besar wilayah di daerah tropis yang merupakan habitat alami berbagai macam tumbuhan, telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan sebagian menjadi lahan kritis. Laju deforestasi di daerah tropis ini pada tahun 1997 berkisar antara 1 – 4 % per tahun (Dobson et al. 1997).

Tingkat deforestasi di Indonesia cenderung naik; dari 2,3% per tahun menjadi 4,5% per tahun dalam periode 1990-2000 (Koh & Wilcove 2007; Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan 2008). Kerusakan lahan dan hutan di Indonesia telah mencapai 59,2 juta ha dengan laju deforestasi 1,19 juta/tahun dan khusus di Jawa Barat luas lahan terdegradasi telah mencapai 33,6% (Dephut 2009).

Peristiwa lahan terdegradasi banyak ditemui dan menjadi masalah khas pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Sekitar 83% dari 141 DAS di Pulau Jawa kondisinya telah rusak (Dephut 2008). Khusus di daerah Jawa Barat, luas total lahan DAS terdegradasi (Citarum, Ciliwung, dan Cisadane) mencapai 127.977,10 ha atau 16,89 % (Dephut 2008). Keberadaan DAS sangat vital karena merupakan kawasan tangkapan air (catchment area) serta pusat pertumbuhan ekonomi, energi, pendidikan dan wisata, sekaligus sebagai penyangga wilayah ibu kota negara Jakarta.

Kerusakan lahan dapat mengakibatkan bencana bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Penanganan lahan kritis dan terdegradasi memerlukan strategi yang tepat dan terarah serta upaya nyata secara berkelanjutan, yang salah satunya adalah melalui restorasi ekosistem.

(22)

dengan kondisi pada saat belum terganggu, baik secara komposisi, struktur maupun fungsi (Sitorus 2003). Restorasi memiliki tujuan membentuk ekosistem alami kembali tanpa melibatkan faktor-faktor dari luar ekosistem itu sendiri (SER 2004). Ekosistem hasil pembentukan restorasi ekologi diharapkan bisa menjadi ekosistem yang kondisi relatif sama dengan ekosistem alami sebelumnya.

Kawasan lindung (seperti Taman Nasional) merupakan salah satu pilihan yang efektif untuk menghentikan pembukaan lahan dan melindungi keanekaragaman hayati tropis (Bruner et al. 2001). Pembentukan kawasan lindung di Indonesia dapat mengurangi deforestasi berskala besar seperti illegal logging dengan menggunakan alat-alat mekanik besar tetapi bukan deforestasi akibat perambahan pertanian (Gaveau et al. 2007). Kawasan lindung yang terjaga baik mampu mendukung pembentukan hutan kembali, walaupun memerlukan waktu lama (lambat). Proses penghutanan kembali dapat dipercepat dengan intervensi manusia melalui metode restorasi ekologi (Dobson et al. 1997).

Penutupan lahan oleh vegetasi yang sesuai merupakan kunci keberhasilan kegiatan restorasi dan rehabilitasi, sehingga pemilihan spesies menjadi salah satu faktor penentu. Salah satu strategi yang sering digunakan untuk mengembalikan ekosistem alami seperti kondisi sebelumnya adalah dengan cara mendatangkan kembali hewan-hewan pemakan biji, sehingga dapat menyebarkan biji-bijian dari tanaman hasil restorasi ekologi yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada pemulihan ekosistem alami. Metode ini disebut dengan metode framework species (Tucker & Murphy 1997; Elliott et al. 2000; Alvarez-Aquino et al. 2004; Ramirez-Marcial et al. 2010).

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang daya sintas dan laju pertumbuhan spesies-spesies tumbuhan asli dalam proses restorasi ekologi sebagai bagian dari upaya membentuk kembali ekosistem alami.

1.2. Perumusan Masalah

(23)

menggunakan spesies-spesies introduksi sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas lahan dan habitat tidak dapat pulih seperti semula. Penggunaan spesies-spesies tanaman asli dinilai sangat tepat dan masih jarang dilakukan dalam kegiatan restorasi lahan. Informasi ilmiah tentang daya sintas dan laju pertumbuhan spesies-spesies asli pada restorasi lahan sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan kegiatan tersebut. Informasi-informasi ilmiah yang perlu dikuasai meliputi:

1. Bagaimana daya sintas tumbuhan pada kondisi lahan terdegradasi?

2. Spesies tumbuhan apa yang mempunyai daya sintas tinggi? Mengapa demikian?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesintasan tumbuhan? 4. Bagaimana laju pertumbuhan tanaman yang mampu bertahan hidup?

5. Apakah laju pertumbuhan tanaman yang mampu bertahan hidup seragam? Mengapa demikian?

6. Apa yang menyebabkan tanaman tidak mampu bertahan hidup pada lahan terdegradasi?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menentukan daya sintas tanaman Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), dan Jamuju ( Dacrycarpus imbricatus).

2. Menentukan spesies yang mempunyai daya hidup terbaik dan laju pertumbuhan tertinggi dari ketiga spesies yang diamati.

3. Menentukan karakter lingkungan yang mempengaruhi daya sintas dan laju pertumbuhan ketiga spesies pengamatan.

1.4. Manfaat Penelitian

(24)

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Terdegradasi

Degradasi lahan adalah proses menurunnya kapasitas dan kualitas lahan untuk mendukung suatu kehidupan (FAO 1993). Degradasi lahan mengakibatkan hilang atau berkurangnya kegunaan dan potensi lahan (Sitorus 2003). Pada lahan terdegradasi, komponen yang tergabung dalam suatu unit biotik maupun abiotik sangat tidak stabil sehingga mengakibatkan terjadinya erosi.

Erosi sangat dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan yang terdegradasi harus dikonversi kembali sesuai dengan kemampuan dan karakteristik lahan tersebut. Konservasi lahan dengan memilih jenis-jenis tanaman yang sesuai dapat mengendalikan laju erosi secara efektif dan sekaligus memelihara keanekaragaman hayati. Konservasi lahan yang optimal umumnya melalui beberapa tahapan, yaitu pengidentifikasian lahan kritis, pemilihan berbagai jenis tanaman dan lokasi tumbuh tanaman yang sesuai, penyusunan alternatif rencana penggunaan lahan, serta pemilihan rencana penggunaan lahan yang sesuai berdasarkan laju erosi terkecil dan tidak melebihi batas erosi yang diperbolehkan (Sitorus 2003).

Kawasan DAS Cisadane merupakan bagian hutan hujan tropik dan merupakan salah satu ekosistem kompleks yang disusun oleh berbagai komponen yang saling terkait. Salah satu unsur penting penyusun ekosistem hutan adalah tegakan yang berkembang secara dinamis melalui penambahan dimensi, pengurangan dan penambahan spesies penyusun dari waktu ke waktu (Davis & Johnson 1987).

(26)

2.2. Ekologi Rasamala (Altingia excelsa)

Rasamala (Altingia excelsa) merupakan salah satu jenis tumbuhan hutan famili Hamamelidaceae. Tinggi pohon Rasamala dapat mencapai 50 meter dengan tinggi batang bebas cabang 15-30 m, diameter sampai 150 cm, namun pada umumnya tingginya berkisar antara 40 – 50 meter dengan diameter 80 – 110 cm. Kulit luar berwarna coklat muda atau kelabu merah, dan sedikit mengelupas. Pada umur yang agak tua, batang berbanir. Kulit batang memiliki tebal ± 1 cm, agak rapuh dan keras, agak licin, berwarna abu-abu sampai abu-abu kuning atau abu-abu coklat. Kulit batangnya ada yang mengelupas dalam bentuk potongan-potongan panjang dan tipis, retak-retak melintang, berwarna merah coklat atau coklat kuning. Kayu segar berbau asam dan mengandung sedikit damar yang apabila dibakar mengeluarkan bau harum (Sunarno & Rugayah 1992).

Tajuk rasamala pada saat muda berbentuk kerucut, runcing, dan rapat, sedangkan pada umur yang lebih tua menjadi gepeng dan jarang, serta beberapa hari sebelum berbunga akan gundul. Daunnya tunggal, tersebar dan berbentuk bulat telur dengan pinggir bergerigi (Prosea 1995). Woodland (1997), menguraikan sistematika Altingia excelsa sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Hamamelidales

Famili : Hamamelidaceae

Genus : Altingia

Spesies : Altingia excelsa Noronha

(27)

selalu lembab. Spesies ini merupakan pohon besar dengan akar menjulur keluar, mempunyai bentuk kanopi menyerupai kembang kol. Bau daun cukup menyengat. Daun muda rasamala biasanya dikonsumsi atau digoreng, damar (getah) pohon ini dapat digunakan sebagai bahan pewangi (Sunarno & Rugayah 1992).

2.3. Ekologi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth)

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth) termasuk dalam familli Theaceae. Pohon puspa dapat mencapai tinggi 40 m dengan tinggi batang bebas sampai 25 m, diameter sampai 250 cm, tidak berbanir, dan batangnya tegak dan lurus. Kulit luarnya berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas. Kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah. Tajuknya bulat sampai lonjong, lebat, berwarna hijau tua dan daunnya tunggal, tebal. Permukaan daun atas hijau kebiru-biruan berbentuk jorong (Martawijaya et al. 1989).

Sistematika Schima wallichii (DC.) Korth menurut Woodland (1997), sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Theales

Famili : Theaceae

Genus : Schima

Spesies : Schima wallichii (DC.) Korth.

Puspa memiliki nama daerah seru (Jawa) dan merang sulau (Kalimantan). Puspa tumbuh di lingkungan tanah kering, tidak memilih keadaan tekstur dan kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi pada lahan alang-alang, belukar dan tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah sampai daerah pegunungan dengan ketinggian 100 - 1000 m dpl. Pada daerah-daerah yang terbuka atau lahan bekas terbakar di Sumatera Selatan sering ditumbuhi puspa (Sunarno & Rugayah 1992).

(28)

Tumbuhan ini berkelompok membentuk tumbuhan primer atau sekunder, kadang tersebar didaerah yang yang selalu lembab. Di Jawa Barat puspa merupakan vegetasi asli. Kayunya mudah dikerjakan dan mempunyai permukaan yang halus. Kayu puspa banyak digunakan untuk bahan bangunan perumahan atau jembatan, kertas, kayu lapis dan venir, tetapi kurang baik untuk dibuat papan karena mudah berubah bentuk / melengkung (LBN 1980).

2.4. Ekologi Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.)

Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) pernah memiliki nama Podocarpus imbricatus, Podocarpus cupressina, dan Podocarpus javanicus. Jenis ini termasuk dalam famili Podocarpaceae yang merupakan kelompok tanaman berdaun jarum/konifer (Prosea 1995). Woodland (1997) menguraikan sistematika D. imbricatus sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Pinotsida

Ordo : Pinales

Famili : Podocarpaceae Genus : Dacrycarpus

Spesies : Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub

(29)

sampai 1.800 m dpl. Tegakan hutan alam D. imbricatus yang relatif murni sering terdapat pada ketinggian 2.000 sampai 2.500 m dpl. D. imbricatus dapat tumbuh di berbagai daerah pada ketinggian 700 m sampai 3.000 m dpl (Syamsuwida et al. 2007).

(30)
(31)

III. BAHAN DAN METODE

3.1.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2010 sampai dengan Februari 2011 bertempat di kawasan restorasi Kebun Raya Cibodas LIPI di Resort Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama dalam penelitian ini adalah tanaman Rasamala (A. excelsa), Puspa (S. wallichii), dan Jamuju (D. imbricatus) yang telah ditanam oleh Kebun Raya Cibodas – LIPI dari bibit siap tanam pada Nopember 2009. Bibit-bibit berumur sekitar 1,5 thn, berasal dari green house Pembibitan Kebun Raya Cibodas dan unit persemaian Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Peralatan yang digunakan untuk mengamati masing-masing spesies meliputi:

Perlengkapan pencatatan data lingkungan:

1. Environment Meter Lutron LM- 8000 (4 in 1 digital, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan intensitas cahaya), clinometer (pengukuran kemiringan lahan) dan kamera.

2. Peralatan sampling tanah: ring sampel, pisau, sekop, dan kertas label.

3. Perlengkapan pengukuran daya sintas tanaman: peta lokasi penanaman, tagging (penanda) tanaman.

4. Perlengkapan pengukuran laju pertumbuhan penanaman: meteran, tongkat ukur, jangka sorong (kaliper), dan kamera digital, serta kuas cat.

5. Perlengkapan identifikasi tumbuhan bawah dan pembuatan herbarium.

3.3. Data Penelitian 3.3.1. Jenis data

Data primer berupa data daya sintas dan laju pertumbuhan tanaman dari 0 bulan (awal tanam) hingga 12 bulan setelah tanam, tanpa adanya penyulaman,

(32)

serta data faktor lingkungan yang mempengaruhi daya sintas dan laju pertumbuhan tanaman.

Faktor biotik adalah jenis tumbuhan bawah, faktor abiotik adalah iklim (intensitas cahaya, suhu, kelembaban), kemiringan lahan dan komposit tanah yang dilakukan langsung pada saat pengamatan. Data klimatologi yang merupakan data sekunder (suhu, penyinaran, curah hujan, tekanan udara, penguapan, dan kelembaban) diperoleh dari Badan Klimatologi dan Geofisika Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Data sekunder dari Kebun Raya Cibodas berupa data tanaman pada awal penanaman, meliputi tinggi, diameter, dan luas tajuk tanaman mewakili pengamatan ke 1 (0 bulan).

3.3.2. Pengumpulan dan analisis data

Pemasangan tagging dilakukan terhadap ke tiga spesies pengamatan (rasamala, puspa dan jamuju) sebelum pengambilan data, yaitu pada awal bulan April 2010. Pengambilan data dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pertama pada bulan Juli 2010, saat tanaman berumur 6 bulan setelah tanam mewakili bulan kering, kedua pada saat tanaman berumur 1 tahun (12 bulan setelah tanam) pada bulan Januari 2011 mewakili bulan basah.

3.3.2.1. Daya sintas tanaman a. Daya sintas tanaman secara umum

Daya sintas tanaman secara umum dilakukan dengan menghitung persentase tanaman sampel yang dapat bertahan hidup dan tidak dapat bertahan hidup (mati). Daya sintas tanaman diperoleh dengan formula sebagai berikut:

Dsu =

x100

... (1)

Keterangan:

Dsu = Daya Sintas Secara Umum

(33)

b. Daya Sintas Tanaman berdasarkan tingkat kemiringan lahan

Daya sintas tiap spesies pada tiap kemiringan dilakukan dengan cara menghitung persentase tanaman sampel yang hidup pada tiap kemiringan lahan. Daya sintas tanaman berdasarkan kemiringan lahan diperoleh dengan formula sebagai berikut:

Dsk =

1

1

x100

... (2) Keterangan:

Dsk = Daya Sintas berdasarkan kemiringan lahan

A1 = Jumlah tanaman diakhir pengamatan pada kemiringan tertentu. B 1 = Jumlah tanaman diawal pengamatan pada kemiringan tertentu. Suatu jenis pohon dikatakan berhasil mencapai daya sintas baik bila mencapai lebih dari atau sama dengan 80% (Mangold 1997).

c. Kesehatan tanaman / Live Crown Ratio (LCR)

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya sintas suatu spesies tanaman adalah kesehatan tanaman. Tingkat kesehatan tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria kesehatan tanaman / LCR (Mangold 1997). Tanaman dapat dikatakan sehat jika memiliki nilai LCR > 30.

Nilai kesehatan tanaman diketahui dengan formula:

LCR=

x100

... (3) Keterangan:

LCR = Live crown ratio/ kesehatan tanaman. Tt = Tinggi Tajuk Tanaman.

TT = Tinggi Tanaman. d. Kekokohan tanaman

(34)

Nilai kekokohan tanaman diketahui dengan formula:

KkT =

x 100

... (4) Keterangan:

KkT = kekokohan tanaman TT = tinggi tanaman D = diameter tanaman

3.3.2.2. Pertumbuhan tanaman (tinggi, diameter batang, dan luas tajuk).

Pengukuran tinggi pohon dilakukan dengan menggunakan tongkat ukur yang bertujuan memudahkan melakukan pengukuran terhadap tinggi pohon muda. Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan jangka sorong (kaliper). Pengukuran diameter batang dilakukan pada titik 10 cm di atas permukaan tanah. Pengukuran luasan tajuk dilakukan dengan cara mengukur diameter tajuk menggunakan meteran. Tiap tajuk tanaman diukur dua kali secara tegak lurus kemudian dihitung rataannya.

Nilai luas tajuk didapat dengan formula (Mangold 1997):

L T =

r ² × 100

... (5) Keterangan:

L T = Luasan Tajuk � = 3,14 (konstanta) r = Diameter tanaman

3.3.2.3. Laju pertumbuhan relatif tanaman / Relative Growth Rates (RGR) Kecepatan pertumbuhan diketahui dengan menghitung pertambahan tinggi, diameter dan luas tajuk tanaman. Pertumbuhan relatif tanaman didapatkan dengan formula (Alvarez-Aquino et al. 2004):

=

� �1 − � �0

Interval pengamatan ...(6)

Keterangan:

RGR = nilai Pertumbuhan relatif yang diinginkan

(35)

Interval pengamatan = 12 bulan waktu pengamatan

3.3.2.4. Indeks penampilan relatif / Relative Performance Index (RPI)

Nilai penampilan relatif spesies pengamatan (RPI) didapatkan dengan cara menganalisis kombinasi antara nilai kesintasan pada masing-masing spesies dengan nilai RGR pada masing-masing parameter pengamatan (tinggi, diameter, dan luas tajuk tanaman). Indeks penampilan relatif merupakan formula untuk mengetahui spesies yang memiliki tingkat penampilan relatif paling tinggi. Penghitungan RPI (Elliot et al. 2000 dimodifikasi):

=

��.

tRGR ��.�

dRGR

��.

ljRGR

��.�

100

... (7)

Keterangan:

RPI = indeks penampilan relatif tanaman S = daya sintas tanaman

tRGR = laju pertumbuhan tinggi relatif dRGR = laju pertumbuhan diameter relatif ljRGR = laju pertumbuhan luas tajuk relatif max = 100

Hubungan/korelasi antara ukuran (tinggi, diameter, luas tajuk) spesies pada awal penanaman dengan laju pertumbuhan tanaman dilakukan analisis korelasi antara nilai tinggi, diameter, dan luas tajuk pada awal penanaman dengan nilai laju pertumbuhan tanaman (RGR).

3.3.2.5. Faktor biotik dan abiotik a. Faktor biotik

(36)

b. Faktor abiotik yang diamati adalah: 1. Tanah (komposit tanah)

Pengamatan sifat tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengambilan data. Contoh tanah komposit diambil pada setiap satuan lahan

homogen sebanyak 1 sampel, dengan jumlah keseluruhan sampel tanah sebanyak 3 buah. Analisis kimia tanah dilakukan dengan mmengambil contoh tanah menggunakan sekop pada lapisan topsoil dengan kedalaman 10 cm (Hardjowigeno 2010). Contoh tanah untuk keperluan analisis fisika tanah diambil dengan menggunakan ring sampel tanah. Tempat pengambilan sampel tanah dilakukan pada titik-titik yang tersebar (BPT 2008) Gambar 1.

Gambar 1 Titik-titik pengambilan sampel tanah (o)

2. Iklim

Temperatur dan kelembaban udara relatif di sekitar spesies yang diamati diukur dengan menggunakan lutrom LM 8000 (digital 4 in 1). Pengukuran dilakukan berdasar pada kesamaan kondisi lingkungan yang ditemui pada area pengamatan. Data iklim lokal (suhu, kelembaban, intensitas cahaya, kecepatan angin, curah hujan, penguapan) diperoleh dari Stasiun Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Citeko Bogor.

2. Kemiringan lereng lahan

(37)

3. Naungan

Pengaruh naungan terhadap daya sintas dan laju pertumbuhan tanaman diketahui dengan penghitungan persentase naungan, berdasarkan kriteria naungan di kelompokkan berdasarkan intensitas naungan (Synnott 1979 dalam Moravie et al. 1999):

D : 4 = Naungan penuh dari atas. C : 3 = Naungan sebagian dari atas. B : 2 = Naungan sebagian dari samping. A : 1 = Tanpa naungan (terbuka).

3.3.3. Analisis komponen utama

Dalam proses pertumbuhannya, spesies A. excelsa, S. wallichii dan D. imbricatus memiliki interaksi antara ke tiga tanaman tersebut dengan komponen abiotik. Komponen abiotik yang dimaksud adalah faktor iklim dan tanah.

Interaksi antara ke tiga spesies dengan komponen-komponen abiotisnya, dapat diketahui dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Components Analysis/PCA) (Supranto 2004). Secara teknis analisis komponen utama merupakan suatu teknik untuk mereduksi data/variabel menjadi lebih sedikit, tetapi tetap dapat menyerap sebagian besar jumlah varian (keragaman) dari data awal. Salah satu output dari hasil analisis ini adalah diagram loading plot.

(38)

Eigenvalues (akar ciri) sebagai skor PC (skor komponen) dan eigenvector (vektor ciri) dapat ditentukan besarnya kontribusi suatu faktor (Dewi 2005 & Marzuki 2007), kontribusi faktor iklim, tanah dan kemiringan lahan terhadap pertumbuhan tanaman dapat ditentukan. Melalui pendekatan ini dapat diketahui kontribusi masing-masing variabel pada setiap faktor terhadap kecepatan pertumbuhan dan daya sintas tanaman dan dapat pula ditentukan total kontribusi setiap faktor.

3.3.4. Analisis laju pertumbuhan tanaman.

Analisis laju pertumbuhan meliputi pertumbuhan tinggi, diameter dan luas tajuk tanaman dilakukan dengan menggunakan model linear umum SPSS (Statistical Package for the Social Sciences ) versi 16.0 untuk software Windows. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis ragam dan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test). Hubungan antar parameter pertumbuhan dikaji dengan uji regresi korelasi, apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan pula uji DMRT.

3.3.5. Iklim mikro dan iklim lokal.

Pengukuran suhu iklim mikro dilakukan sebanyak tiga kali: pukul 06.00 - 07.00, 12.00 -13.00, dan pukul 17.00 – 18.00 (Aswandi 2006). Data ini kemudian diambil rataanya untuk mendapatkan data harian. Temperatur dan kelembaban udara relatif ditetapkan dengan menggunakan rumus berikut:

T

=

� 7.30 �2 + � 13.30 +(�17.00)

4

RH

=

7.30 �2 + 13.30 + ( 17.00)

4

Keterangan:

T = Temperatur udara (°C);

RH = relative humidity atau kelembaban udara relatif (%).

(39)

Iklim Lokal

Selain dilakukan pengamatan parameter iklim mikro, dikumpulkan pula data iklim lokal, meliputi curah hujan, temperatur, kelembaban, penguapan, penyinaran matahari, tekanan udara, dan kecepatan angin. Data iklim lokal diperoleh dari Stasiun Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Citeko Bogor. Semua data yang meliputi parameter iklim tersebut dipergunakan untuk menjelaskan kondisi ilkim terutama iklim mikro daerah tempat pengamatan dan ditampilkan dalam bentuk kurva periodik. Kurva periodik komponen iklim (suhu, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, penguapan, tekanan udara dan lama penyinaran) tahun 2009/2010 dan 2010/2011 dibuat untuk melihat kondisi iklim pada saat pengamatan. Kurva periodik dibuat sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Little dan Hills (1977). Dalam pembuatan kurva periodik diperlukan 2 P value yang dinamai PU1(∑U1Y) dan PV1(∑V1Y)

Keterangan:

Y = komponen iklim bulanan, U1 = cos CX

V1 = sin CX (di mana C = ½ x 360° dan X adalah bulan, di mana Januari adalah bulan ke-0, Februari adalah bulan ke-1, dan seterusnya).

Kurva periodik membutuhkan PU1 dan PV1 untuk kurva first degree, serta PU2 dan PV2 untuk kurva second degree. Persamaan kurva first degree adalah:

Ŷ1 = ao + a1 cosCX + b1 sin CX Keterangan:

ao = ∑ Y/n a1 = 2 PU1/n b1 = 2 PV1/n

Persamaan kurva second degree adalah:

Ŷ2 = ao + a1 cos CX + b1 sin CX + a2 cos 2 CX + b2 sin 2 CX Keterangan:

a2 = 2 PU2/n b1 = 2 PV2/n

(40)

3.3.6. Diagram Alir Penelitian

Secara ringkas, alur dari penelitian yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

[image:40.595.46.491.112.703.2]

Gambar 2 Diagram alir penelitian

Analisis laju pertumbuhan Analisis daya

sintas tanaman

Analisis faktor lingkungan

Kemiringan lahan Tumbuhan

bawah

Pengolahan data keseluruhan

o Daya sintas dan laju pertumbuhan tiga spesies asli

o Pedoman restorasi dengan menggunakan spesies asli

Suhu, Intensitas cahaya,

kelembaban.

(41)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian

Secara administratif lahan penelitian terletak di Desa Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis lahan terletak antara 06°46' 241˝ S; 106°50' 44˝ E. Sebagian dari daerah ini adalah lahan pertanian aktif dan sisanya adalah lahan pertanian yang ditinggalkan.

Tanah pertanian di daerah ini milik TNGGP dan merupakan lahan eks Perum Perhutani III. Peta lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

Sumber: Peta Kerja Balai Besar TNGGP

Gambar 3 Peta lokasi Penelitian Bodogol (tanda panah menunjukkan Lokasi Penelitian)

[image:41.595.77.463.45.763.2]
(42)

Ketiga spesies tanaman terpilih dalam penelitian adalah (A. excelsa, S. wallichii dan D. imbricatus) merupakan spesies yang memiliki kelebihan dari

segi ekologi maupun ekonomi. Dua dari tiga spesies tanaman terpilih yaitu S. wallichii dan D. imbricatus merupakan tumbuhan yang hampir langka karena hanya dapat dijumpai pada habitat tertentu yang merupakan habitat alaminya. Seluruh tanaman dalam keadaan sehat dan di tanam dengan jarak tanam 5 meter. Salah satu faktor yang membedakan dari ketiga bibit tersebut adalah rata-rata tinggi bibit tanaman pada saat ditanam. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposif dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Lokasi penelitian mempunyai fungsi penting, selain sebagai area penyangga dan resapan air agar tidak terjadi banjir dan erosi, juga merupakan kawasan budidaya dari sejumlah tanaman pangan.

2. Kondisi tanah di lokasi penelitian telah mengalami degradasi bahkan sudah pada tahapan kritis akibat penebangan seluruh jenis pohon dan tanaman keras yang terdapat pada lahan tersebut.

4.2. Topografi

Keadaan lapangan berada pada ketinggian antara 620 m sampai dengan 709 m dpl dengan luas 4 hektar dan memiliki kemiringan 0° hingga 60°. 4.3. Iklim

Berdasarkan hasil pengamatan cuaca Stasiun Klimatologi dan Geofisika Citeko, wilayah Bodogol termasuk dalam katagori tipe iklim A (iklim basah) berdasarkan pengklasifikasian menurut Schmidt & Ferguson, dengan curah hujan rata-rata 3500 - 4500 mm/tahun, dan jumlah hari hujan antara 240-320 hari/tahun. 4.4. Tanah

(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Daya Sintas

5.1.1. Daya Sintas tanaman secara umum

Pengukuran daya sintas pada lahan restorasi Bodogol secara umum dapat dikatakan berhasil walaupun mengalami penurunan seiring dengan interval waktu pengamatan. Secara umum urutan daya sintas tanaman dari tertinggi hingga terendah adalah spesies A. excelsa, S. wallichii, dan D. imbricatus (Gambar 4).

[image:43.595.62.472.21.805.2]

Gambar 4 Persentase daya sintas tiga spesies tanaman secara umum A. excelsa S. wallichii D. imbricatus

Persentase daya sintas ke tiga spesies tanaman di lahan terdegradasi Bodogol pada pengamatan pertama (6 bulan setelah tanam) tiga spesies tanaman memiliki kemampuan hidup relatif tinggi. Persentase daya sintas seluruh spesies tanaman di atas 90%. Spesies A. excelsa dengan persentase daya sintas sebesar 97,43% (tertinggi) dibandingkan S. wallichii 94,87% dan D. imbricatus 91,43%. Pada pengamatan kedua (12 bulan setelah tanam), A. excelsa memiliki daya sintas 87,18%, S. wallichii 82,05% dan D. imbricatus dengan daya sintas 77,14%. Tingkat kesintasan kedua spesies tanaman yaitu A. excelsa dan S. wallichii (lebih tinggi dibanding pada D. imbricatus). Persentase daya sintas kedua spesies dapat

dikatakan baik dan berhasil karena memiliki nilai daya sintas ≥ 80%. Proses

100 97.43 87.18 100 94.87 82.05 100 91.43 77.14 0 20 40 60 80 100 120

0 6 12

Per sen tase D ay a S in tas (% )

(44)

restorasi pada lahan terdegradasi dapat dikatakan berhasil mencapai daya sintas

baik apabila daya sintas dari penanaman tersebut ≥ 80%.

Persentase rata-rata daya sintas ke tiga spesies tanaman sebesar 82,12%. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari pemilihan jenis tanaman. Pada lahan kritis (terdegradasi) salah satu aspek teknis dalam penanggulangan lahan kritis adalah (rehabilitasi) atau menanam pohon jenis yang cocok dan cepat tumbuh. Ditinjau dari segi ekologi, spesies pohon lokal/asli setempat (pohon yang berasal dari daerah itu sendiri (Sunarno & Rugayah 1992)) merupakan spesies terbaik untuk ditanam kembali pada habitat asli/asalnya (Alvarez-Aquino et al. 2004, Ramirez-Marcial et al. 2010). Penanaman kembali spesies asli pada habitatnya diharapkan dapat beradaptasi dengan baik sehingga ke tiga spesies tumbuh baik dengan cepat dan dapat segera mengembalikan fungsi lahan dan ekosistem seperti semula.

5.1.2. Berdasarkan kemiringan lahan

Kemampuan kesintasan pada spesies tanaman tergantung pada banyak faktor. Salah satu faktor yang memengaruhi daya sintas suatu spesies tanaman adalah faktor lingkungan. Topografi tanah (kemiringan lahan) tempat spesies hidup sangat berpengaruh terhadap kemampuan spesies mempertahankan daya sintasnya. Semakin tinggi tingkat kemiringan lahan semakin besar tingkat erosi yang akan terjadi, berdampak pada kesuburan lahan dan daya sintas tanaman (Sitorus 2003).

Gambar 5 Persentase daya sintas berdasar kemiringan lahan A. excelsa S. wallichii D. imbricatus

100 93.75 82.35 100 84.61 81.81 100 66.67 64.7 0 20 40 60 80 100 120

0 - 20 21 -40 41 - 60

Per sen tase d ay a si n tas (% )

(45)

Tingkat kemiringan lahan sangat mempengaruhi daya sintas masing-masing tanaman. Kemiringan lahan 0° - 20° belum menunjukkan perbedaan persentase daya sintas, seluruh spesies memiliki daya sintas sebesar 100%. Pada tingkat kemiringan lahan 21°– 40°, persentase daya sintas menunjukkan perubahan. Spesies A. excelsa dan S. wallichii memiliki daya sintas masing-masing sebesar 93,75% dan 84,61%, sedangkan D. imbricatus memiliki persentase kesintasan sebesar 66,67%. Pada tingkat kemiringan lahan 41°-60°, kesintasan spesies tanaman mengalami penurunan. A. excelsa dan S. wallichii menurun hingga 82,25% dan 81,81%, sedangkan D. imbricatus mengalami penurunan daya sintas menjadi 64,7%.

Perbedaan daya sintas pada spesies tanaman disebabkan oleh banyak faktor, termasuk lama penyinaran dan kapasitas penyerapan CO2 (proses fisiologis) yang berlainan pada tingkat kemiringan lahan yang berbeda, terutama pada umur tertentu (Tantra 1981). D. imbricatus memerlukan cahaya yang cukup pada masa pertumbuhan, dan tidak tahan terhadap naungan (Sunarno & Rugayah 1992). Selain itu pada lahan dengan kemiringan tinggi kesintasan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah dan unsur-unsur hara yang tersedia. Pada tanah-tanah miring, bahan organik dan serasah lantai lahan lebih cepat tercuci atau tererosi dibandingkan dengan lahan dengan kemiringan lebih kecil atau pada lahan datar. Penanaman D. imbricatus pada lahan dengan tingkat kemiringan lahan > 40° nampak tidak sesuai dengan preferensi tumbuh spesies ini. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Resort Cibodas) yang merupakan habitat alaminya, tidak ditemukan lagi D. imbricatus pada lahan/hutan dengan kemiringan ≥40°. D. imbricatus mulai hadir pada daerah-daerah dengan kelerengan 6° sampai 36° di Resort Cibodas (Bramasto 2008).

(46)

5.1.3. Kesehatan tanaman / Live Crown Ratio (LCR)

[image:46.595.72.487.21.767.2]

Proses pengembalian fungsi ekosistem lahan terdegradasi dan rawan longsor menjadi ekosistem alami seperti sebelumnya sangat ditentukan oleh kesintasan tanaman hasil restorasi yang telah dilakukan. Kesintasan tanaman sangat tergantung pada tingkat kesehatan tanaman, sehingga perlu dilakukan pengukuran kesehatan tanaman. Tanaman dikatakan sehat jika memiliki nilai kesehatan >30% (Mangold 1997). Terdapat perbedaan yang nyata untuk tingkat kesehatan tanaman pada ke tiga spesies (Tabel 3).

Tabel 1 Kesehatan tanaman / Live Crown Ratio (LCR) pada ke 3 spesies tanaman Spesies Pertumbuhan

tajuk

Interval Pengamatan (Bulan)

0 6 12

A. excelsa

S. wallichii

Normal

Normal

73,90 ± 1,47 b

50,45 ± 3,77 a

59,93 ± 2,04 b

49,99 ± 3,39 a

70,32 ± 2,15 a

71,51 ± 3,41 a

D. imbricatus Normal 71,15 ± 1,01 b 80,11 ± 1,85 c 76,65 ± 2,25 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji DMRT

Secara umum nilai tingkat kesehatan tanaman atau LCR dikatakan baik. Hal tersebut terlihat dari seluruh nilai rata-rata LCR yang berada di atas 30% pada semua spesies. Tanaman akan memperlihatkan perkembangan yang maksimal apabila memiliki daya dukung yang memadai dan sesuai dengan komponen-komponen yang dibutuhkan oleh tanaman itu sendiri. Daya dukung yang dimaksud antara lain adalah tingkat kesesuaian unsur hara tanah, kesesuaian faktor iklim, kemampuan beradaptasi dan lainya.

(47)

Pada pengamatan kedua (12 bst) seluruh spesies mempunyai nilai kesehatan tanaman yang tidak berbeda nyata yaitu A. excelsa 70,32, S. wallichii 71,51 dan D. imbricatus 76,65. Pengamatan 12 bst menunjukkan tingkat kesehatan tanaman relatif bagus. Kondisi tingkat kesehatan tanaman akan tetap optimum apabila kondisi lingkungan misalnya kompetisi antara spesies dengan lingkungannya (tumbuhan bawah) relatif kecil. Semakin banyak jenis tumbuhan bawah, persaingan perebutan unsur hara tanah dan cahaya matahari semakin tinggi, sehingga tingkat kesehatan tanaman akan terganggu yang berdampak pada menurunnya laju pertumbuhan tanaman.

5.1.4. Kekokohan tanaman

[image:47.595.72.480.19.763.2]

Selain pengukuran pertumbuhan tinggi, diameter, luas tajuk dan kesehatan tanaman, penentuan kualitas tanaman juga dilakukan melalui penentuan kekokohan pohon. Karakter penunjang ini dipakai untuk menilai sifat morfologi kekokohan tanaman muda (Jayusman 2005). Indikator ini sangat penting untuk menunjang kriteria spesies yang memiliki daya sintas dan laju pertumbuhan tanaman yang baik (Tabel 2).

Tabel 2 Rata-rata kekokohan tanaman pada ke 3 spesies tanaman

Spesies Interval Pengamatan (Bulan)

0 6 12

A. excelsa S. wallichii D. imbricatus

18,33 ± 15,25 b 24,02 ± 8,65 a 10,88 ± 3,20 a

24,13 ± 12,21 b 12,22 ± 4,12 a 9,97 ± 2,35 a

10,62 ± 18,14 b 9,83 ± 21,10 a 9,30 ± 20,97 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji DMRT.

(48)

bahwa kualitas tanaman muda berdasarkan kriteria tersebut baik. Pada Tabel 2 nilai kekokohan tanaman muda pada awal penanaman hingga 12 bulan setelah tanam berkisar antara 9,30 hingga 24,13.

Pada awal penanaman (0 bulan) hingga akhir pengamatan (12 bulan setelah tanam) masing-masing spesies memiliki kekokohan yang relatif konstan. Kekokohan pohon di awal tanam (0 bulan) nampak tidak beda nyata antara D. imbricatus dan A. excelsa. Hal tersebut terjadi hingga pada akhir pengamatan yaitu D. imbricatus sebesar 9,30, A. excelsa 9,83 dan S. wallichii sebesar 10,62.

Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) daya sintas tanaman dengan faktor lingkungan menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data lingkungan sebesar 100%. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman atau penciri lingkungan terhadap daya sintas masing-masing sebesar 56,3% dan 43,7% (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai ciri matriks korelasi persentase hidup terhadap faktor lingkungan

Komponen Nilai ciri Presentase

keragaman

Akumulasi presentase Keragaman

PC1 5,62 0,563 0,563

PC2 4,37 0,437 1,00

Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor lingkungan yaitu tinggi dan suhu. Sementara PC2 secara dominan dicirikan oleh variabel kemiringan lahan dan luas tajuk tanaman.

Hasil analisis PCA pada Gambar 5 menggunakan loading plot menjelaskan, terjadinya korelasi negatif antara variabel luas tajuk dengan kemiringan lahan dan intensitas cahaya. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh plot luas tajuk dengan kedua variabel. Variabel persentase hidup berada berdekatan dengan keberadaan titik merah A. excelsa dan ini mengandung pengertian bahwa spesies A. excelsa memiliki persentase hidup yang lebih tinggi dari pada spesies lainnya.

(49)

dari jumlah garis vektor yang berdekatan dengan keberadaan spesies ini (Gambar 5). 3 2 1 0 -1 -2 -3 3 2 1 0 -1 -2 Komponen Utama K o m p o n e n K e d u a Persen Hidup LCR Kemiringan Naungan Kelembaban suhu Intensitas cahaya L.Tajuk Diameter Tinggi bakteri

Gambar 5 Interaksi tiga spesies tanaman dengan beberapa parameter lingkungan

Kemampuan memaksimalkan persentase hidup terjadi karena potensi yang dimiliki organ tanaman A. excelsa, berupa diameter, tinggi, dan kesehatan tanaman, serta ditambah faktor kesesuaian tingkat naungan yang menyebabkan spesies A. excelsa memiliki daya sintas lebih besar daripada spesies lainnya. Potensi organ tanaman berupa tinggi (dimulai dari awal penanaman), A. excelsa mampu berkompetisi dengan tumbuhan bawah untuk mendapatkan cahaya matahari yang maksimal untuk melakukan proses fotosintesis.

Cahaya matahari yang diperoleh merupakan sumber energi untuk melakukan reaksi anabolik fotosintesis yang berpengaruh terhadap laju fotosintesis. Secara umum, fiksasi CO2 maksimum terjadi jika intensitas cahaya mencapai puncaknya. Penutupan cahaya matahari oleh tanaman lain ataupun oleh awan juga akan mengurangi laju fotosintesis (Syamsuwida et al. 2007).

Spesies S. wallichii merupakan tumbuhan pioner pada lahan bekas terbakar (Setyorini 2002), salah satu spesies tanaman cepat tumbuh, suka cahaya dan mampu tumbuh pada kondisi tanah miskin hara (Wibowo 2005). S. wallichii memiliki daya sintas cukup baik karena memiliki kemampuan beradaptasi tinggi

D. imbricatus

S. wallichii

(50)

terhadap berbagai kondisi lingkungan, misalnya adaptasi terhadap perubahan iklim yang berlangsung di lingkungan sekitarnya karena habitatnya telah terdegradasi. Hal itu dapat dilihat dari kedekatan vektor-vektor iklim, membentuk sudut lancip, mengindikasikan adanya korelasi positif. S. wallichii merupakan spesies pohon yang dapat tumbuh pada kisaran iklim habitat dan tanah yang luas, kebutuhan cahaya sedang hingga tinggi dan terdapat pada dataran tinggi, sampai dataran rendah (Sunarno & Rugayah 1992).

5.2. Analisis pertumbuhan tanaman

Pertumbuhan organisme yang baik dapat tercapai bila faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan seimbang dan menguntungkan. Bila salah satu faktor lingkungan tidak seimbang dengan faktor lain, faktor ini dapat menekan atau kadang-kadang menghentikan pertumbuhan organisme. Lingkungan dapat menjadi pembatas terhadap kehadiran dan keberhasilan suatu organisme pada suatu habitat terestrial (Odum 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, secara luas dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (genetik) (Taiz & Zieger 2002). Faktor eksternal meliputi iklim (intensitas cahaya, suhu, kelembaban), edafik (tanah) meliputi bahan organik tanah, tekstur, KTK, pH, biologi (tumbuhan bawah). Faktor internal meliputi ketahanan terhadap tekanan iklim dan laju fotosintesis.

Menghadapi kondisi lingkungan yang beragam, masing-masing spesies tanaman memiliki strategi berbeda-beda dalam menggunakan unsur hara ataupun merespons perubahan yang terjadi di sekitarnya (Alder 1983; Taiz & Zieger 2002), sehingga pertumbuhan tanaman dapat maksimal. Tanaman mempunyai tingkat sensitivitas yang berbeda, sering tidak menunjukkan adanya gangguan pada fase vegetatif meskipun faktor pendukung tanaman berbeda-beda. Tanaman A. excelsa dan S. wallichii memperlihatkan pertumbuhan yang relatif konstan dari awal penanaman hingga 12 bst.

5.2.1. Tinggi tanaman

(51)

penanaman sampai 12 bst. Berbeda dengan S. wallichii dan D. imbricatus, pada pengamatan awal (0) bulan hingga 6 bst (pengamatan ke 2), S. wallichii memiliki tinggi 81,9 cm lebih unggul dibanding D. imbricatus 74,87 cm. Pada pengamatan ke 3 (12 bst) D. imbricatus memiliki rata-rata tinggi tanaman 112,17 cm lebih unggul dibanding S. wallichii 100,5 cm (Gambar 7).

Gambar 7 Pertumbuhan tinggi tiga spesies tanaman pada lahan terdegradasi di Bodogol ( A. excelsa, S. wallichii, D. imbricatus)

A. excelsa, S. wallichii dan D. imbricatus merupakan jenis yang mudah tumbuh dan dapat memberikan respons yang baik terhadap kondisi tempat hidupnya. Ketiga spesies tanaman ini memiliki kecepatan pertumbuhan normal hingga cepat (Meijer 1974). Kecepatan pertumbuhan pada faktor tinggi tanaman merupakan strategi yang gunakan spesies D. imbricatus agar dapat bersaing dengan tumbuhan bawah untuk mendapatkan cahaya yang lebih besar sebagai bahan untuk melakukan proses fotosintesis.

Perbedaan tinggi tanaman dapat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berupa luas, sempit, dan tebal atau tipis daun akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Fotosintesis sangat ditentukan faktor lingkungan salah satunya penyerapan cahaya. Penampilan daun yang luas ataupun tidak, tebal atau tipis, tinggi rendahnya penyerapan cahaya akan mempengaruhi pertambahan tinggi spesies tanaman. Pertumbuhan tinggi adalah salah satu strategi yang digunakan tanaman agar tanaman mencapai lapisan kanopi yang bebas dari tanaman lainnya.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

0 6 12

Ti

n

g

g

i

tan

am

an

(Cm

)

(52)

5.2.2. Diameter tanaman

[image:52.595.52.470.48.744.2]

Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang pada spesies A. excelsa, lebih besar dari dua spesies lainya, yaitu D. imbricatus dan S. wallichii tampak tidak berbeda nyata. Hal itu terlihat dari posisi standar error yang saling berdekatan antara kedua spesies (Gambar 8).

Gambar 8 Pertumbuhan diameter batang tiga spesies tanaman pada lahan terdegradasi di Bodogol.

( A. excelsa, S. wallichii, D. imbricatus).

Pertumbuhan diameter tanaman (Gambar 8) pada waktu pengamatan 0 - 12 bst, spesies A. excelsa sejak awal penanaman (0 bulan) telah memiliki rata-rata diameter batang paling besar 0,55 cm, tetap mampu mempertahankan tingginya pada 6 sampai 12 bulan setelah tanam. Berbeda dengan S. wallichii dan D. imbricatus, pada pengamatan awal (0 bulan), S. wallichii memiliki diameter batang 0,39 cm sedangkan D. imbricatus 0,32 cm. Pada pengamatan ke dua (6

bst) D. imbricatus memiliki diameter batang 0.74 lebih besar dibanding S. wallichii 0,67 cm. Demikian pula pengamatan ke tiga (12 bst), D. imbricatus

memiliki rata-rata diameter batang 1,17 cm (lebih besar dibanding S. wallichii 1,1 cm).

Pertambahan diameter batang tidak tergantung pada pertumbuhan pucuk tanaman melainkan hasil dari pembelahan sel-sel kambium batang ke arah samping. Pembelahan tersebut menghasilkan sel xilem dan floem yang bertambah kearah dalam dan luar batang menyebabkan diameter tanaman bertambah (Taiz & Zieger 2002).

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2

0 6 12

D

iam

e

te

r

tan

am

an

(

cm)

(53)

5.2.3. Luas tajuk

Hasil pengukuran luas tajuk tanaman menunjukkan bahwa antara D. imbricatus dan A. excelsa tidak berbeda nyata, terlihat dari standar error saling

berdekatan, sedangkan pada spesies S. wallichii nampak memiliki luas tajuk yang lebih kecil dari dua spesies lainnya (Gambar 9)

(Gambar 8).

[image:53.595.49.481.19.779.2]

Gambar 9 Pertumbuhan luas tajuk tiga spesies tanaman pada lahan terdegradasi di Bodogol ( A. excelsa, S. wallichii, D. imbricatus).

Gambar 9 memperlihatkan bahwa luas tajuk tanaman pada interval pengamatan satu sampai tiga (0 - 12 bst) masing-masing spesies tanaman tetap berada dengan urutan luas tajuk yang sama. A. excelsa dengan luas tajuk 21,46 cm2, 33,11 cm2, 56,73 cm2 pada urutan pertama, D. imbricatus 16,36 cm2, 37,31 cm2, 51,1 cm2 pada urutan kedua, dan S. wallichii berada pada urutan ketiga dengan luas tajuk 7,73 cm2, 18,78 cm2 dan 23,7 cm2.

Tanaman dapat memiliki luas tajuk maksimal, bila terjadi pertambahan percabangan. Salah satu faktor penting meningkatkan pemaparan sistem tunas ke lingkungan dengan menambah jumlah percabangan. Tunas aksiler mulai tumbuh jika ada kesesuaian dengan kondisi alaminya. Pertambahan tunas aksiler akan menambah jumlah daun dan memperbesar luasan tajuk (Campbell et al. 2003). Terdapat perbedaaan yang nyata pada pertambahan tinggi, diameter dan luas tajuk tanaman antara ke tiga spesies tanaman (Tabel 4).

0 10 20 30 40 50 60 70

0 6 12

Lu

as

Taj

u

k

Tan

am

an

(

cm

²)

(54)

Tabel 4 Pertambahan tinggi, diameter dan luas tajuk pada spesies A. excelsa, S. wallichii, D. imbricatus di akhir pengamatan (12 bst)

Spesies Parameter Pengamatan

Tinggi(cm) Diameter(cm) Luas Tajuk(cm2) A. excelsa

S. wallichii D. imbricatus

113,4 ± 4,39 c 72,08 ± 3,66 b 57,68 ± 4,19 a

0,98 ± 0,050 b 0,65 ± 0,050 a 0,60 ± 0,040 a

37,41 ± 3,31 b 16,88 ± 2,20 a 34,02 ± 3,16 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji DMRT.

Pada Tabel 4 terlihat tinggi tanaman ke tiga spesies memiliki rata-rata tinggi yang berbeda, D. imbricatus dengan rata-rata tinggi 54,68 cm , S. wallichii dengan rata-rata 72,08 cm dan A. excelsa rata-rata tinggi 113,4 cm. Pada diameter tanaman D. imbricatus dengan rata-rata diameter 0,60 cm , S. wallichii dengan rata-rata 0,65 cm dan A. excelsa rata-rata diameter 0,98 cm. Rata-rata luas tajuk tanaman D. imbricatus 34,02 cm², S. wallichii rata-rata 16,88 cm², dan A. excelsa rata-rata luas tajuk 37,41 cm².

(55)

persaingan antara spesies tanaman dan tumbuhan bawah untuk memperebutkan unsur hara tanah dan cahaya matahari.

5.3. Laju Pertumbuhan Relatif/Relative Growth Rate (RGR) dan Indeks Penampilan Relatif/Relative Performance Indeks (RPI)

Laju pertumbuhan relatif pada ke tiga spesies tanaman tampak saling bersaing untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Spesies D. imbricatus memiliki laju pertumbuhan relatif pada tinggi tanaman yang lebih besar dari pada dua spesies yang lain. Pada laju pertumbuhan relatif diameter batang, yang memiliki laju pertumbuhan terbesar adalah S. wallichii, sedangkan pada pertumbuhan luas tajuk ke tiga spesies memiliki laju pertumbuhan relatif luas tajuk yang tidak signifikan.

Pada Tabel 5 telihat interval pengamatan selama 12 bulan setelah tanam, D. imbricatus memiliki laju pertumbuhan relatif lebih tinggi yaitu 0,45 cm bln-1 dibanding dengan A. excelsa 0,33 cm bln-1 dan S. wallichii 0,2 cm bln-1. Laju pertumbuhan relatif diameter tanaman paling besar adalah S. wallichii 0,62 cm bln-1 kemudian D. imbricatus 0,48 cm bln-1 dan A. excelsa 0,44 cm bln-1. Pada parameter luas tajuk ketiga spesies tanaman memilliki laju pertumbuhan relatif yang tidak berbeda nyata (Tabel 5).

Tabel 5 Laju pertumbuhan relatif dan Indeks penampilan relatif

Spesies Daya sintas (%)

RGR Tinggi ( −1bln−1)

RGR Diameter ( −1bln−1)

RGR Luas Tajuk

(cm−1bln−1)

RPI

A. excelsa 87,18 0,20 ± 0,02 a 0,44 ± 0,02 a 0,48 ± 0,07 a 3,68

S. wallichii 82,05 0,33 ± 0,02 b 0,62 ± 0,03 b 0,54 ± 0,07 a 8,77

D. imbricatus 77,14 0,45 ± 0,03 c 0,48 ± 0,02 a 0,57 ± 0,07 a 8,90

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (5%) berdasarkan uji DMRT.

(56)

rendah, namun memiliki luas tajuk yang cukup besar. Laju pertumbuhan yang signifikan yaitu pada 0 bulan luas tajuk 16,43 cm², 6 bulan 40,19 cm² dan pada 12 bst sebesar 73,63 cm².

Dengan memiliki luas tajuk besar berarti tanaman memiliki jumlah daun lebih banyak sehingga proses fotosintesis dapat menghasilkan unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang lebih besar pula (Lambers et al. 1998), sehingga memiliki laju pertumbuhan tinggi lebih besar dari pada tanaman lainnya (terutama laju pertumbuhan tinggi tanaman).

Kecepatan pertumbuhan tinggi tanaman merupakan akibat pertumbuhan tunas muda, umumnya dipusatkan pada bagian apeks (ujung) yang terdapat tunas terminal (terminal bud). Pertumbuhan yang lebih tinggi pada dominansi apikal merupakan suatu adaptasi evolusioner untuk meningkatkan pemaparan terhadap cahaya matahari utamanya pada habitat yang sesuai atau lokasi yang padat (Campbell et al. 2003).

Pada pertumbuhan diameter batang tanaman, laju pertumbuhan paling tinggi terjadi pada S. wallichii sebesar 0,62 cm bln-1. S. wallichii merupakan tumbuhan pioner (Seytorini 2002) dan memiliki kemampuan beradaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan ekstrim (Mansur 2010). Salah satu strategi yang dilakukan S. wallichii dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungannya adalah dengan memperbesar diameter batang. Perluasan sel di meristem pada batang tanaman dikendalikan oleh sifat plastis dan elastis dari dinding sel. Pemecahan material dinding sel terjadi setelah sel sudah mencapai ukuran tertentu sehingga dinding sel menjadi lebih tebal. Penebalan dinding sel berdampak pada proses peningkatan ukuran diameter batang (Campbell et al. 2003).

(57)

Tabel 6 Hubungan ukuran awal penanaman dengan laju pertumbuhan tiga spesies tanaman

Spesies Tinggi awal vs

RGR Tinggi

Diameter awal vs

RGR Diameter

Luas tajuk awal vs

RGR Luas Tajuk

Semua Jenis A. excelsa

-0,649٭ -0,494٭

0,179 -0,521٭

0,184 -0,521٭

S. wallichii -0,488٭ 0,330 0,005

D. imbricatus 0,320 0,573٭ 0,469٭

Keterangan: * menunjukkan P < 0,05

Tabel 6 memperlihatkan bahwa tinggi semua spesies tanaman saat awal penanaman memiliki korelasi negatif yang nyata dengan RGR tinggi, sedangkan diameter dan luas tajuk berkorelasi positif tidak nyata dengan RGR diameter dan luas tajuk. Pengukuran awal untuk semua parameter dari A. excelsa memiliki korelasi negatif yang nyata dengan RGR-nya. Sedangkan pada S. wallichii korelasi negatif yang nyata hanya terjadi pada tinggi tanaman.

D. imbricatus berkorelasi positif namun tidak nyata untuk tinggi tanaman awal dengan RGR-nya, sedangkan diameter dan luas tajuk berkorelasi positif nyata. Korelasi negatif pada parameter uji tinggi awal tanaman vs RGR tinggi memiliki pengertian semakin tinggi tanaman pada awal penanaman semakin rendah laju pertumbuhan tanaman, demikian juga korelasi negatif parameter-parameter lain. Diameter awal tanam vs RGR diameter dan luas tajuk awal tanam vs RGR luas tajuk tanaman spesies D. imbricatus berkorelasi positif artinya semakin besar diameter dan luas tajuk pada awal penanaman semakin besar dan luas pula laju pertumbuhannya.

5. 4. Analisis Faktor Lingkungan Sebagai Komponen Utama 5.4.1. Interaksi dengan komponen biotik

[image:57.595.58.486.25.792.2]
(58)

mengganggu atau tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Kondisi lingkungan/habitat, selalu terjadi interaksi menguntungkan ataupun merugikan antar spesies tumbuhan, antara satu spesies dengan spesies tumbuhan lain.

Faktor-faktor ekologi a

Gambar

Gambar 2  Diagram alir penelitian
Gambar 3  Peta lokasi Penelitian Bodogol (tanda panah menunjukkan
Gambar 4  Persentase daya sintas tiga spesies tanaman  secara umum
Tabel 1  Kesehatan tanaman / Live Crown Ratio (LCR) pada ke 3 spesies tanaman
+7

Referensi

Dokumen terkait