• Tidak ada hasil yang ditemukan

Water use for potato plant (Solanum tuberosum, L) using aeroponics system

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Water use for potato plant (Solanum tuberosum, L) using aeroponics system"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KEBUTUHAN AIR TANAMAN KENTANG (

Solanum tuberosum, L

)

DENGAN SISTEM AEROPONIK

LORIS PANAHATAN SIMANGUNSONG

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

LORIS PANAHATAN SIMANGUNSONG (G24070046). Water use for potato plant (Solanum tuberosum, L) using aeroponics system. Supervised by Prof.Dr.Ir. Handoko, M.Sc and Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl.

Aeroponics is one solution to overcome the limitations of agricultural area. Aeroponics sytem has many advantages, one of them is the water usage efficiency. This study was conducted to calculate the water losses on potato plant using two lighting period treatments; 12 hours and 24 hours. The water losses from the 12 hours lighting period is about 0.12 mm/day, while the 24 hours loss 0.14 mm/day. The room temperature during the observation ranged from 19.00 C to 22.90 C. The measured temperature within 24 hours was 20.00 C–26.50 C. The low humidity affect the plant growth caused death of the plant. Air humidity that is measured within 24 hours was approximately 50%.

(3)

ABSTRAK

LORIS PANAHATAN SIMANGUNSONG (G24070046). Kebutuhan air pada tanaman kentang (Solanum tuberosum, L) dengan sistem aeroponik. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc dan Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl.

Aeroponik merupakan salah satu solusi untuk mengatasi lahan pertanian yang terbatas. Sistem aeroponik mempunyai banyak keuntungan, salah satunya penggunaan air yang efisien. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kehilangan air pada tanaman kentang dengan dua perlakuan periode pencahayaan; 12 jam dan 24 jam. Kehilangan air pada periode pencahayaan 12 jam ialah sekitar 0.12 mm / hari, sedangkan periode pencahayaan 24 jam hilang sebanyak 0.14 mm/ hari. Pengamatan suhu ruangan berada pada rentang dari 19.00 C sampai 22.90 C. Pengukuran suhu selama 24 jam ialah 20.00 C–26.50 C. Kelembaban udara yang rendah mempengaruhi pertumbuhan tanaman hingga menyebabkan tanaman mati. Kelembaban udara yang diukur selama 24 jam sekitar 50%.

(4)

KEBUTUHAN AIR PADA TANAMAN KENTANG (

Solanum tuberosum, L

)

DENGAN SISTEM AEROPONIK

LORIS PANAHATAN SIMANGUNSONG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana sains pada mayor meteorologi terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi

: Kebutuhan Air Pada Tanaman Kentang (

Solanum

tuberosum, L

) Dengan Sistem Aeroponik

Nama

: Loris Panahatan Simangunsong

NIM

: G24070046

Menyetujui

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr.Ir. Handoko, M. Sc

Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl.

NIP: 195911301 98303 1 003

NIP: 19640308 199403 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.

NIP: 19600305 198703 2 002

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselasikan. Judul yang dipilih dalam tulisan karya ilmiah ini adalah Kebutuhan Air Pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum, L) Dengan Sistem Aeroponik. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2011 hingga Agustus 2011.

Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini terutama kepada Tuhan Yesus dan kedua orang tua tercinta, ayahanda D.Simangunsong dan Ibunda D.Simarmata, adik – adik yang saya sayangi Rezekiana Agustiani br Simangunsong, rehulina Agustiana br Simangunsong, Saut hosea Fernando Simangunsong serta kepada

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc selaku pembimbing I dan bapak Ir. Bregas Budianto, Ass. dpl selaku pembimbing II.

2. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi dan seluruh dosen Geofisika dan Meteorologi yang telah memberi saya banyak ilmu. 3. Ibu Ana Turyanti selaku dosen pembimbing akademik saya.

4. Pemerinta provinsi Jambi yang telah memberikan beasiswa sehingga dapat mengikuti studi di IPB dari awal hingga selesai.

5. Teman–temanku GFM 44 terima kasih atas cerita indah kebersamaan yang sudah dilalui selama masa studi.

6. Teman–teman pelayanan KOPELKHU khusunya PELAWATAN atas kebersamaan dalam melayani Tuhan di IPB.

7. Pak Supono, Pak Udin, Pak Kaerun, Mas Nandang, Mas Azis, Bu Indah, Mba Icha, Mba Wanti terima kasih atas seluruh bantuannya.

8. Rini, Fitrie, Anies, Anto, Sriyo, Azim, Resa, Tika, Ike, Iyud, Nedy, Afdal, Winda, Rendra, Bambang,Joko, yasmin atas kebersamaan di Lab Agrometeorolgi

9. Teman – teman Istana Ceria dan Baskom (Bataks Community) Guntur, Eko, Tuek, Unduh, Sauqi, Fakhri, Christine, Daniel, Adit, Ega, Isma terima kasih atas keceriaan di kostan tercinta.

10. Seluruh kakak kelas dan adik kelas GFM.

11. Semua pihak yang banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bogor, Agustus 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di sebuah kota besar pulau Sumatera yaitu Medan pada tanggal 26 Oktober 1988 sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Penulis dibesarkan dengan penuh kasih sayang di keluarga yang sederhana yaitu pasangan D.Simangunsong dan D br Simarmata. Pada tahun 1995 penulis sekolah di SD RK 07 pematang Siantar selama 3 bulan kemudian pindah ke SD XAVERIUS II kota Jambi selama 3 bulan, kemudian pindah kembali ke SD PT DAFP DESA ARO kabupaten Batanghari hingga lulus. Pada tahun 2001 hingga 2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMP N 3 Batanghari hingga lulus dan akhirnya melanjutkan ke SMA N 1 Batanghari sejak tahun 2004–2007.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Tanaman Kentang (Solanum tuberosum, L) ... 2

2.1.1 Syarat tumbuh kentang ... 3

2.1.2 Pertumbuhan tanaman kentang ... 4

2.1.3 Varietas tanaman kentang ... 4

2.2 Sistem Aeroponik ... 4

2.3 Kehilangan Air ... 5

2.4 Nutrisi Tanaman ... 6

III.METODOLOGI ... 6

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 6

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 6

3.3 Metode Penelitian ... 6

3.3.1 Perlakuan Percobaan ... 6

3.3.2 Pembuatan Rangkaian Aeroponik ... 6

3.3.3 Pemberian Larutan Nutrisi ... 7

3.3.4 Persiapan dan Penanaman Kentang ... 7

3.3.5 Pengambilan Data ... 7

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

4.1 Lingkungan Tanaman ... 8

4.1.1 Pengaruh Suhu Udara ... 8

4.1.2 Pengaruh Kelembaban Udara ... 9

4.2 Pertumbuhan Tanaman Kentang ... 9

4.3 Kehilangan Air ... 11

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 12

5.1 Kesimpulan ... 12

5.2 Saran ... 13

DAFTAR PUSTAKA ... 13

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai Evapotranspirasi tanaman selama satu musim tanam ... 5

2 Nilai Kebutuhan air pada setiap fase pertumbuhan tanaman kentang ... 6

3 Komposisi nutrien aeroponik tanaman kentang menurut Farran dan Otazu ... 6

4 Nilai suhu pada termometer digital dan termometer air raksa ... 7

5 Kehilangan air tanaman kentang ... 12

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Fisiologis tanaman kentang ... 2

2 Umbi kentang Atlantis ... 4

3 Sistem aeroponik ... 4

4 Sistem kerja sprinkler ... 5

5 Kondisi akar saat pertumbuhan ... 5

6 Kalibrasi termometer ... 7

7 Variasi suhu udara harian ... 8

8 Pola variasi suhu dan kelembaban selama 24 jam ... 9

9 Laju penurunan jumlah daun varietas Atlantis ... 10

10 Laju Penurunan jumlah daun varietas Super John ... 10

11 Pola kehilangan air pada perlakuan pencahayaan 12 dan 24 jam ... 11

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Penyiapan alat dan bahan sebelum dilakukan pengamatan ... 16

2 Proses aklimatisasi ... 17

3 Kondisi tanaman dan perakaran pada lokasi penelitian ... 18

4 Pengambilan data ... 19

5 Denah penelitian ... 20

6 Data pengukuran suhu udara selama 50 hari setelah tanam ... 21

7 Data jumlah daun varietas atlantis dengan perlakuan pencahayaan 12 dan 24 jam selama 50 hari setelah tanam ... 22

8 Data jumlah daun varietas Super John dengan perlakuan pencahayaan 12 jam dan 24 jam selama 50 HST ... 24

9 Data pengukuran kelembaban 24 jam pada tanggal 3 Agustus 2011 ... 25

10 Nilai kelembaban nisbih ... 26

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor pembangunan yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, karena hampir setiap tahun luas lahan pertanian Indonesia mengalami penurunan karena lahan yang ada digunakan untuk pembangunan industri, pemukiman dan infrastruktur. Menurut kepala badan pusat statistik (BPS) lahan pertanian secara keseluruhan berkurang 27 ribu hektar setiap tahun (SETNEG 2011). Penurunan luas lahan pertanian yang terjadi tidak seimbang dengan kebutuhan pangan masyarakat yang meningkat. Hal ini menjadi motivasi para peneliti Indonesia untuk menciptakan sistem budidaya yang lain untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Tanaman Kentang (Solanum tuberosum. L) merupakan salah satu produk hortikultura yang mengandung sumber karbohidrat dan kaya protein. Tanaman kentang menjadi salah satu tanaman penunjang program diversifikasi pangan pemerintah. Menurut Dirjen Hortikultura (2009) tanaman kentang memiliki luas lahan 59.748 ha pada tahun 2006 dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 62.650 ha. Menurut data FAO (2007) rata– rata produksi tanaman kentang di Australia mencapai 35.9 ton per hektar, sedangkan produksi kentang di Indonesia masih lebih rendah yaitu 16.9 ton per hektar. Produktivitas yang rendah disebabkan oleh penggunaan bibit kentang bermutu yang terbatas di kalangan petani Indonesia. Sebagian para petani menggunakan bibit umbi kentang dari generasi berikutnya, yakni hasil panen yang dimanfaatkan sebagai bibit. Kondisi seperti ini disebabkan oleh bibit kentang yang bermutu relatif mahal. Jumlah pengusaha dan penangkar bibit kentang masih terbatas. Beberapa pengusaha, perguruan tinggi, dan instansi ada yang memproduksi bibit generasi vegetatif nol (G0), generasi vegetatif pertama (G1), dan generasi vegetatif kedua (G2). Jumlah penangkar benih kentang yang terbatas mengakibatkan kebutuhan benih kentang belum tercukupi. Kondisi seperti ini dapat diatasi oleh penangkar benih yang terbatas dengan menggunakan sistem budidaya yang lebih baik. Benih kentang yang memilik mutu baik, dapat diperoleh secara cepat dengan menggunakan sistem budidaya aeroponik.

Sistem budidaya aeroponik merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Sutiyoso (2003) meyatakana bahwa aeroponik berasal dari dua kata yaitu aero yang berarti udara dan ponus yang berarti daya, sehingga sistem aeroponik merupakan suatu teknik budidaya pertanian yang membiarkan akar tanaman tetap tergantung di udara dan larutan hara diperoleh dari sprinkler yang disemprotkan dari bawah agar hara dapat ditangkap dan diserap. Sistem aeroponik ini memiliki beberapa keunggulan yakni produksi lebih tinggi (sepuluh kali lipat dari cara konvensional), tidak menggunakan pestisida dalam jumlah banyak, tidak mencemari lingkungan, pemakaian unsur hara dan air lebih hemat karena dapat diatur, menghasilkan umbi yang sehat dan bersih, dan tidak tergantung dengan kondisi atmosfer (Gunawan dan Afrizal 2009).

Tanaman pangan seperti tanaman kentang cukup banyak membutuhkan air selama proses keberlangsungan hidupnya. Pada sistem budidaya konvensional atau budidaya di lapangan, air merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Air yang tersedia di lapangan sangat tergantung pada curah hujan wilayah. Budidaya pertanian dengan sistem aeroponik dapat menjadi salah satu solusi yang digunakan untuk mengatasi masalah kebutuhan air. Menururt Gunawan dan Afrizal (2009) pada sistem aeroponik, air yang digunakan sangat efektif karena air yang telah disemprotkan ke akar dan yang tidak terserap akar akan kembali ke bak penampungan (sistem sirkulasi). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kehilangan air yang terjadi pada tanaman.

1.2 Tujuan

(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Tanaman Kentang (Solanum tuberosum. L)

Kentang merupakan tanaman semusim yang berasal dari wilayah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia yang memiliki daun berbentuk menyirip majemuk dan lembar daun bertungkai dan berfungsi sebagai tempat melakukan proses fotosintesis yang kemudian hasil fotosintesis tersebut digunakan untuk pertumbuhan vegetatif, generatif, respirasi dan sebagian disimpan dan ditimbun pada bagian tanaman sehingga membentuk umbi. (Rismawati 2010).

Menurut Williams et al. (1993) kentang merupakan tanaman daerah yang memiliki iklim sedang (subtropis) dan dataran tinggi (1000-3000 m), yang secara taksonomi tanaman kentang dapat diklasifikasikan sebagai berikut

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotiledonae Family : Solanaceae Genus : Solanum

Spesies : Solanum tuberosum L.

Gambar 1 Fisiologis tanaman kentang. (Sumber:http://www.potato2008.org)

Samadi (2007) menyatakan bahwa kentang yang menjadi salah satu komoditas hortikultura ini merupakan sayuran umbi yang kaya akan vitamin C, karbohidrat dan protein. Samadi (2007) juga menyatakan bahwa dalam 100 gram kentang mengandung kalori 347 kal, protein 0.2 gram, lemak 0.1 gram, karbohidrat 85.6 gram, Ca 20 mg, P 30 mg, Fe 0.5 mg, vitamin B 0.04 mg. Selain mengandung zat gizi umbi tanaman kentang juga mengandung solanin yakni zat racun dan sangat berbahaya. Racun solanin ini sangat sulit hilang apabila umbi tersembul keluar dari tanah dan terkena sinar matahari.

Hasil panen tanaman kentang sangat beragam tergantung pada kultivar dan wilayah produksi serta umur tanaman. Umur tanaman kentang dapat dipanen yakni 90–160 hari setelah tanam (HST) dengan kriteria apabila daun tanaman telah berubah menjadi kuning (bukan karena serangan penyakit), batang tanaman mengering dan menguning, serta kulit umbi melekat dengan daging umbi dan tidak mengelupas saat ditekan (Samadi 2007). Tanaman kentang memiliki warna daun hijau muda sampai hijau tua kelabu dengan ukuran sedang dan rimbun, tangkai pendek, letak berselang–seling pada batang tanaman dimana daun pertama merupakan daun tunggal dan daun berikutnya merupakan daun imparipinnate (Setiadi 2009).

(14)

2.1.2Syarat Tumbuh Kentang 1. Ketinggian tempat

Ewing dan Struick (1982) menyatakan tanaman kentang secara umum tergolong dalam tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan ketinggian 800 – 1500 meter di atas permukaan laut, namun apabila masih tetap ditanam pada daerah dataran rendah (kurang dari 500 meter diatas permukaan laut) kentang akan sulit untuk menghasilkan umbi, kalaupun terbentuk umbi yang dihasilkan akan sangat kecil. Hal ini dikarenakan pada dataran rendah suhu udara tinggi, sehingga respirasi menjadi tinggi dan energi yang digunakan untuk membentuk umbi menjadi berkurang dan mengakibatkan umbi menjadi kecil. Tanaman kentang termasuk dalam tanaman berumur pendek dengan kisaran 100–160 hari (Sunarjono 2007).

2. Jenis tanah

Kesuburan tanah tergantung pada sifat fisik dan kimia serta fungsi, bahan organik yang terkandung, aktivitas biologi yang mendasar untuk mempertahankan produksi dan produktivitas pertanian (Lutaladio et al 2009). Secara umum kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, memiliki drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir, dan jenis tanah yang paling cocok ialah andosol (Sunarjono 2007). Kentang sangat toleran terhadap pH pada selang yang cukup luas yakni 4.5–8.0, tetapi pH yang baik untuk pertumbuhan dan ketersediaan unsur hara ialah 5.0–6.5 (Martodireso dan Suryanto 2001).

3. Kondisi Cuaca

a. Suhu dan Kelembaban

Tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu rendah yakni 15 sampai 20 0C, cukup sinar matahari dan kelembaban udara sekitar 80–90 %. Hal ini berarti kndisi cuaca seperti suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang (Sunarjono 2007).

Menurut Ashandi dan Gunadi (2006) daerah yang memiliki suhu udara maksimum 30 0C dan suhu udara minimum 15 0C adalah daerah yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman kentang daripada daerah yang memiliki suhu relatif konstan rata–rata 24 0C. Peningkatan suhu di lingkungan tumbuh tanaman kentang akan mempengaruhi aktivasi energi pada reaksi kimia seperti penggunaan energi hasil proses fotosintesis untuk proses

respirasi (Ashandi dan Gunadi, 2006). Respirasi tumbuhan akan meningkat dengan peningkatan suhu dan akan menurun saat suhu mencapai 400C dan pada suhu tersebut penyusun enzim akan mulai rusak (Sutcliffe 1977).

b. Curah hujan

Sulistiono (2005) menyatakan bahwa curah hujan yang dibutuhkan tanaman kentang sekitar 300–1000 mm / tahun. Apabila curah hujan terlalu tinggi akan mengakibatkan umbi kentang mudah terserang hama dan penyakit, karena tanah menjadi jenuh air dan untuk mengatasi hal ini tentu diperlukan sistem drainase yang baik sehingga tanah tidak jenuh. Oleh sebab itu curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Untuk mencapai hasil tanaman kentang yang baik dan tinggi maka perlu mengatasi saat kritis yaitu dengan menjaga kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56 % kapasitas lapang (Nonnecke 1989).

c. Angin

Angin merupakan faktor iklim yang dapat mempengaruhi tanaman secara tidak langsung. Angin akan mempengaruhi proses transpirasi yang berdifusi melalui stomata. Angin yang membawa udara lembab ke permukaan daun akan mengakibatkan perbedaan potensial air di dalam dan di luar stomata (Lubis 2000).

Menurut Chang (1968) laju pengaliran CO2 ke tanaman meningkat dengan nilai

kecepatan angin yang tinggi. Peningkatan laju aliran CO2 ini berarti meningkatkan laju

fotosintesis dan pertumbuhan tanaman.

d. Cahaya

Pengaruh cahaya matahari pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman ditentukan oleh sintesis hijau daun, kegiatan stomata, absorpsi mineral hara, laju pernapasan dan aliran protoplasma (Jumin 1994). Tidak semua cahaya matahari yang sampai ke bumi dapat diserap oleh tanaman dan yang yang dapat diserap ialah cahaya PAR (Photosynthetically Active Radiation) dengan panjang gelombang 0.38-0.68 µm (Handoko 1994). Penimbunan hasil bersih asimilasi CO2 sepanjang musim tanam akan

menghasilkan berat kering total. Asimilasi CO2 dipengaruhi oleh penyerapan energi

(15)

2.1.3 Pertumbuhan tanaman kentang Pertumbuhan dan Perkembangan tanaman dikategorikan menjadi beberapa tahap. Menurut Sulistiono (2005) pertumbuhan tanaman kentang dapat dibedakan menjadi tiga fase yakni fase pertumbuhan vegetatif (pre-emergence - emergence), fase pertumbuhan brangkasan (haulm growth) dan fase pertumbuhan umbi (tuber growth).

Milthrope dan Moorby (1975) mengatakan bahwa tunas mulai tumbuh setelah melewati atau mengakhiri masa dormansi dimana laju pertumbuhan tunas ini dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Apabila suhu pada pertumbuhan tunas diatas 200C tanaman akan memiliki pertumbuhan vegetatif yang baik, namun pertumbuhan umbi akan terhambat. Hal ini berarti tunas akan tumbuh dengan cepat saat suhu tinggi dan apabila kondisi tanah kering, umbi akan mengalami kehilangan bobot sehingga tunas akan tumbuh menjadi lebih lambat .

Menurut Lutaladio et al. (2009) proses perkembangan fisiologi tanaman kentang dari bibit umbi hingga siap tanam dibagi dalam lima tahap yakni periode dormansi (I), muncul tunas apikal (II), periode pertumbuhan normal (III), periode perkecambahan (IV) dan inkubasi hingga umbi tua atau umbi yang siap ditanam (V).

2.1.4 Varietas tanaman kentang

Pengembangan teknologi pemuliaan tanaman pada saat ini telah banyak menunjukkan kemajuan. Menururt Smith (1968) tanaman kentang diduga telah ada sekitar 70 varietas pada zaman dulu. Varietas tanaman yang terkenal saat itu ialah Russet Burbank yang diproduksi di Idaho dan diikuti dengan kemunculan varietas lain seperti Eigenheimer, Bevelander, Voran, profijit, Marinta, Pinpernal, dan Intje. Seiring dengan perkembangan teknologi genetika, varietas – varietas tanaman kentang baru banyak bermunculan sesuai dengan ketahanan terhadap penyakit. Menurut Balitsa (2008) varietas tanaman kentang yang sangat mendominasi untuk saat ini ialah Granola sebagai kentang sayur dan Atlantis sebagai kentang olahan.

Atlantis merupakan salah satu varietas tanaman kentang yang dilepaskan pada 16 Juli tahun 1976 oleh pusat penelitian pertanian United Stated, Florida, Virginia, dan New Jersey yang memiliki bentuk lonjong hingga bulat, panjang sekitar 79.1 ± 0.3 mm, lebar sekitar 73.2 ± 0.7 mm, dan tebal sekitar 60.7 ± 0.6 mm. Selain bentuk, varietas ini juga

memiliki karakter warna daun yang cerah, halus dan sangat muda, sedangkan karakter batang batang yang tebal dan hijau serta pigmen yang berwarna ungu (Webb et al. 1978).

Varietas Super john yang masih digunakan oleh petani di Sulawesi utara sejak tahun 1990-an hingga saat ini merupakan varietas hasil seleksi dari populasi varietas Donata yang dilakukan oleh seorang petani dengan cara memilih individu tanaman yang masih kekar serta lebih tinggi dari tanaman yang lain dengan produksi varietas tanaman Super John di sulawesi utara ini mencapai 30 ton/ha dan memiliki bunga yang berwarna ungu, serta berumur empat bulan (± 120 hari) (Taulu 2003).

Gambar 2 Umbi kentang Atlantis. (Sumber : Webb et al. 1978)

2.2 Sistem Aeroponik

Gambar 3 Sistem aeroponik.

(Sumber : Otazu 2010)

(16)

namun aeroponik memberi larutan nutrisi dengan cara disemburkan dalam bentuk kabut hingga mengenai akar tanaman secara berkala. Akar tanaman yang menyerap nutrisi ini dibiarkan menggantung di udara, kemudian air yang sisa akan kembali ke bak penampungan nutrisi. Teknologi seperti ini telah dikembangkan baik dalam skala penelitian maupun skala komersil, karena banyak sekali memberikan keuntungan, namun hal yang nyata yang telah dilakukan ialah untuk mengatasi lahan pertanian yang sempit dan efisiensi penggunaan air (Sutiyoso 2003)

Gambar 4 Sistem kerja sprinkler. (sumber : Farran et al. 2006)

Benih tanaman ditancapkan di atas media styrofoam yang telah dilubangi dengan menggunakan ganjal busa atau rockwool dan pada bagian bawah styrofoam diberikan sprayer untuk memancarkan kabut larutan nutrisi hingga mengenai akar tanaman dan umbi, sehingga umbi menjadi bersih dan akan jauh dari serangan cendawan (Sutiyoso 2003).

Gambar 5 kondisi akar saat pertumbuhan.

(sumber : Farran et al. 2006)

2.3 Kehilangan air

Menurut Bey (1991) air dan tanaman merupakan suatu fungsi linear yang sering

digunakan untuk menduga penurunan hasil tanaman pada saat tanaman mengalami stress air dan Murdiyarso (1991) menyatakan bahwa ketersediaan air tanaman tergantung pada iklim mikro di sekitar tanaman khususnya mempengaruhi evapotranspirasi. Kebutuhan air tanaman merupakan jumlah air yang digunakan untuk proses evapotranspirasi atau yang disebut sebagai kebutuhan konsumtif (consumptive use). Menurut Sosrodarsono (2003) nilai evapotranspirasi yang digunakan oleh suatu tanaman (ETc) dapat diduga dengan tiga pendekatan yaitu:

Pengaruh iklim terhadap kebutuhan air tanaman yang ditunjukkan oleh ETo (evapotranspirasi tanaman referensi) yaitu

“laju evapotranspirasi yang diukur diatas

permukaan rumput luas dengan ketinggian 8–

15 cm”. Metode seperti metode radiasi,

metode Blaney Criddle, metode Penman, dan Metode Panci sering digunakan untuk menduga nilai Eto dengan menggunakan data iklim harian selama peroide 10–30 hari.

Pengaruh karakteristik tanaman terhadap kebutuhan air yang ditunjukkan oleh nilai koefesien tanaman (Kc). Nilai–nilai Kc sangat beragam dan tergantung jenis tanaman, fase pertumbuhan dan kondisi cuaca.

Pengaruh kondisi lokal dan praktek pertanian terhadap kebutuhan air termasuk varietas lokal.

Tabel 1 Nilai Evapotranspirasi Tanaman selama satu musim tanam (Doorenbos dan Pruitt 1977)

Koefesien tanaman akan mempengaruhi penggunaan air. koefesien tanaman sangat beragam tergantung pada fase pertumbuhannya (Kurnia 2004).

ET-Tanaman

mm

ET-Tanaman

mm

(17)

Tabel 2 Nilai Kebutuhan Air pada setiap fase pertumbuhan tanaman kentang (Agus et al. 2002)

2.4 Nutrsi tanaman

Menurut Doorenbos et al (1979) air dan nutrisi pada tanaman merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, karena nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman akan diserap oleh akar dalam bentuk nutrisi yang sudah terlarut dalam air. Larutan yang berada dalam media tanam tidak seluruhnya dapat diserap,

sedangkan larutan yang dapat diserap oleh tanaman ialah larutan yang berada pada rentang kapasitas lapang (pF 2.54) sampai titik layu permanen (pF 4.2) yang disebut sebagai water holding capacity ( Doorenbos et al 1979).

Tabel 3 Komposisi nutrient aeroponik tanaman kentang menurut Farran dan Otazu (Otazu 2010)

*Fetrilon combi merupakan bubuk daun mikronutrien komersial yang memiliki formula sebagai berikut: 9% MgO, 3% S, 4% Fe, 4% Mn, 1.5% Cu, 1.5% Zn, 0.5% B, and 0.1 % Mo.

Terdapat beberapa ramuan nutrisi baku yang telah diperkenalkan para ahli yaitu larutan nutrisi stok A yang terdiri dari unsur N, K, Ca dan Fe dan Stok B yang terdiri dari

unsur P, Mg, S, B, Mn, Cu, Na, Mo, dan Zn. Stok A dan B ini dipisahkan dengan tujuan untuk menghindari reaksi pengendapan jika dicampurkan dalam kondisi pekat maka tidak ada hara yang tersedia bagi tanaman. Oleh sebab itu, pencampuran ke dua stok ini dapat dilakukan dalam kondisi konsentrasi rendah (Otazu 2010).

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi dan Workshop Instrument meteorologi. Waktu penelitian terdiri dari pembuatan alat di Workshop Instrument meteorologi selama bulan Februari 2011–April 2011. Penanaman, pengamatan dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi selama bulan Mei 2011–Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan yang digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah washer pump 5 buah, box plastik dengan ukuran 64 x 46 cm 10, ember plastik 3 buah, kabel, penggaris, selang plastik, sprinkler, thermometer, lampu TL, bor tangan, thermometer digital, timbangan (neraca) dan automtic timer. Bahan yang digunakan ialah benih tanaman kentang varietas Atlantis dan Super john, air dan larutan nutrisi Hidroponik A dan B, roton (perangsang akar), Agrep (Bakterisida), Microsoft word dan Microsoft excel.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1Perlakuan Percobaan

Perlakuan percobaan terdiri dari dua varietas tanaman kentang (Atlantis dan Super John) dan dua periode pencahayaan menggunakan lampu TL (12 dan 24 jam). Pada setiap perlakuan lampu TL terdapat empat box (dua box untuk Atlantis dan dua box untuk Super john) dengan tiap box terdiri dari 16 lubang tanam. Setiap perlakuan pencahayaan dipasang kertas alumunium pada bagian atas atau dekat lampu yang berfungsi sebagai reflektor.

3.3.2Pembuatan rangkaian Aeroponik Membuat rangkaian sprinkler dengan selang plastik.

Pembuatan lubang tanam pada box plastik.

awal Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan

Jagung

56

167

115

250

62

650

Kentang 70

160

220

150

50

650

Kedelai 30

165

292

41

41

575

Tomat

78

82

185

62

62

500

Tembakau 16

96

132

96

96

500

kebutuhan air (mm)

Total

Tanaman

Nutrien

Konsentrasi

Nutrien

Konsentrasi

KNO3

0.4 me/l

KNO3

5.4 me/l

Ca (NO3)2

3.1 me/l

NH4NO3

4.4 me/l

NH4NO3

4.4 me/l

Ca Superphosphate

2.6 me/l

KH2PO4

4.4 me/l

MgSO4

1.0 me/l

MgSO4

1.5 me/l

Fe (EDTA-Fe 6%)

8 ppm

B (Boron acid

1 ppm

Micro (Fertrilion*)

12 ppm

pH 5.7

pH 6.5

(18)

Pemasangan pompa pada bak atau ember penampung nutrisi.

Pembuatan automatic timer yang digunakan untuk pompa larutan nutrisi. Pemasangan rangkaian lampu percobaan.

3.3.3 Pemberian larutan nutrisi aeroponik

Larutan nutrisi aeroponik menggunakan larutan nutrisi yang sama seperti hidroponik yaitu larutan mix A dan B. Pemberian larutan nutrisi ini dilakukan dengan pemberian secara otomatis (menggunakan automatic timer). Pemberian larutan nutrisi dilakukan dengan pola waktu setiap 7 menit dilakukan penyemprotan air dan nutrisi ke akar selama 13 detik.

3.3.4 Persiapan dan Penanaman Kentang

Tanaman kentang varietas Super John dan Atlantis diperoleh melalui sistem kultur jaringan yang telah berusia tujuh hari. Tanaman yang berasal dari kultur jaringan tersebut kemudian ditanam pada box berukuran 46 cm x 64 cm, pada tanggal 08 Juni 2011 (Super John) dan 13 Juni 2011 (Atlantis). Setelah dilakukan penanaman pada media yang telah disediakan (tanah : cocopit : sekam : kompos / 3: 2: 2: 1) tanaman kentang diletakkan pada ruangan ber AC dengan kondisi box ditutup dengan gelas plastik.

Proses aklimatisasi pertama berlangsung selama tujuh hari di SEAMEO BIOTROP Bogor, kemudian tanaman dipindahkan ke Laboratorium Agrometeorologi untuk ditanam pada lokasi penelitian. Penanaman pada box penelitian tanaman kentang tetap diperlakukan seperti proses aklimatisasi yakni dengan menutup tanaman menggunakan gelas plastik agar penguapan yang terjadi tidak terlalu tinggi. Proses aklimatisasi yang kedua ini berlangsung selama 30 hari ( 08 Juni 2011–08 Juli 2011).

3.3.5Pengambilan data

a. Pengambilan data iklim mikro Data iklim mikro yang dibutuhkan pada penelitian ini yakni data suhu ruangan dan data kelembaban udara. Data suhu ruangan dan suhu di sekitar tanaman diperoleh setiap hari pada pukul 10:00 WIB. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan termometer digital (suhu disekitar tanaman) dan termometer alkohol (suhu ruangan). Agar diperoleh hasil yang sesuai maka kedua termometer ini dibandingkan hasil pembacaan suhunya pada pengukuran suhu udara yang

sama (kalibrasi alat). Kelembaban udara diukur dengan menggunakan termometer bola basah dan bola kering. Termometer bola basah yang digunakan ialah termometer digital yang di beri benang basah dan bola kering yang digunakan termometer alkohol. Termometer bola basah dikoreksi terlebih dahulu dengan persamaan kalibrasi termometer sebelumnya. Setelah diperoleh termometer bola basah dan bola kering yang telah terkalibrasi maka dihitung selisihnya kemudian digunakan bantuan tabel untuk perhitungan kelembaban relatif (RH).

Tabel 4 Nilai suhu pada termometer digital dan termometer alkohol

Tdigital Talkohol 14,0 14,1 19,0 20,7 19,5 21,6 25,5 28,1 26,0 27,6 27,5 30,4 31,5 32,8 32,0 34,9 32,5 35,7 33,5 36,8 42,0 45,4 43,5 46,7 44,5 47,8 46,0 49,3 47,0 50,0

Gambar 6 Kalibrasi termometer.

(19)

Gambar 7 Variasi suhu udara harian.

c. Pengambilan data kehilangan air Data kehilangan air diperoleh setiap hari dengan mengukur tinggi air pada ember penampung air menggunakan penggaris yang terpasang permanen pada ember tersebut. Pengukuran dilakukan tiap hari sekitar jam 10.00 WIB. Kehilangan air dihitung dari selisih tinggi muka air antar waktu pengukuran hari ini dengan hari sebelumnya. Kebutuhan air tanaman dihitung dengan persamaan

1) Evapotranspirasi tanaman (cm3 /tanaman)

aman jumlah tan ) (cm n penampunga bak dari air vol Kehilangan 3

2) Luas bidang penguapan (cm2 /tanaman) aman

jumlah tan box luas

3) Evapotranspirasi tanaman (mm)

/ tanaman) (cm penguapan bidang L. tanamanan) / (cm pertanaman pirasi evapotrans 2 3

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lingkungan Tanaman kentang 4.1.1 Pengaruh Suhu Udara

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang secara aeroponik pada penelitian ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitar tanaman. Kondisi lingkungan tersebut antara lain suhu udara, suhu disekitar tanaman, kelembaban dan cahaya.

Suhu udara menurut (Bey 1991) merupakan indikasi dari jumlah energi (heat)

yang berada dalam suatu sistem atau massa. Suhu udara ruangan Laboratorium Agrometeorologi telah di rekayasa dengan menggunakan Air Conditioner (AC) untuk memenuhi kebutuhan suhu tanaman kentang dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Suhu udara pada ruangan diukur setiap hari pukul 10.00 WIB dan diperoleh rentang suhu rata–rata per hari 19.00 C–22.90 C. Pola variasi suhu pada pukul 10.00 setiap hari dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada saat pengukuran di dalam ruangan terdapat banyak orang, suhu udara mulai meningkat, begitupun sebaliknya. Suhu udara akan rendah ketika ruangan tersebut dalam keadaan sepi. Kondisi suhu udara pada penelitian ini dipengaruhi oleh panas tubuh yang dikeluarkan oleh manusia ke lingkungan, sehingga ketika banyak manusia dalam ruangan maka suhu ruangan berubah. Selain itu, suhu minimum. Pada tanggal 4 Agustus (45 HST) terjadi karena pada saat pengukuran kondisi cuaca di luar ruangan sedang mendung dan tidak ada seorang pun di ruangan kecuali pengamat. Gambar 8 menunjukkan bahwa pola suhu udara ruang dalam satu hari (diurnal) yang mengikuti pola suhu udara di luar ruangan. Suhu diurnal pada penelitian ini menunjukkan rentang nilai 20.0

o

C sampai 26.5 oC. Rentang suhu harian masih berada dalam kisaran suhu yang masih sesuai untuk pertumbuhan tanaman kentang. Menurut Handoko (1994) laju perkembangan tanaman berbanding lurus terhadap suhu (T) diatas suhu dasar (T0). Hal ini berarti semakin

(20)

Gambar 8 Pola Variasi Suhu dan Kelembaban selama 24 jam.

4.1.2 Pengaruh Kelembaban Udara Kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Handoko (1994) kelembaban mengindikasikan bahwa terdapat kandungan uap air di dalam udara. Kelembaban yang diukur pada penelitian ini ialah kelembaban nisbih (Relative Humidity) agar memudahkan pengukuran. Pengukuran RH yang diukur pada penelitian ini hanya dilakukan satu kali selama 24 jam pada tanggal 3 Agustus (44 HST). Pengukuran kelembaban ini dilakukan karena melihat kondisi tanaman kentang yang perlahan– lahan mulai mati. Kelembaban tertinggi ( 53 %) terjadi pada pagi hari yakni pukul 06.00 pagi yaitu pada saat suhu udara terendah. Begitu juga dengan sebaliknya pada saat suhu udara meningkat hingga mencapai suhu maksimum, maka kelembaban udara pun menurun. Kelembaban minimum ( 48 %) diperoleh pada pukul 14.00 WIB. Kelembaban udara rata–rata selama 24 jam ialah 50%, sedangkan menurut Sunarjono (2007) kelembaban yang sesuai bagi tanaman kentang pada kondisi budidaya konvensional ialah 80 – 90 %. Nilai kelembaban yang rendah pada pengukuran terjadi karena lokasi penelitian berada di dalam ruangan dengan sistem rekayasa menggunakan Air Conditioner (AC). AC memang memberikan suhu yang sesuai bagi tanaman dengan pengaturan suhu rendah, namun udara yang dikeluarkan oleh pendingin ruangan ialah

udara kering dan mengakibatkan kelembaban udara menjadi rendah.

4.2 Pertumbuhan tanaman Kentang Pada penelitian tanaman kentang yang dilakukan, pertumbuhan yang diamati ialah jumlah daun. Tanaman kentang ditanam pada tanggal 21 Juni 2011. Tanaman kentang ini terlebih dahulu diberikan perlakuan aklimatisasi selama tujuh hari. Selama proses aklimatisasi hingga proses pemindahan tanaman ke media aeroponik, kondisi tanaman kentang masih baik. Pengambilan data jumlah daun dimulai sejak 19 hari setelah tanam. Pada empat hari pada awal pengambilan data, jumlah daun kentang varietas Atlantis dengan perlakuan 24 jam pencahayaan masih tetap dibandingkan dengan jumlah daun Super john, sedangkan untuk perlakuan 12 jam pencahayaan jumlah daun Super john dan Atlantis terus berkurang. Pada perlakuan dengan 24 jam pencahayaan, jumlah daun yang dihasilkan lebih baik daripada perlakuan 12 jam pencahayaan.

(21)

Gambar 9 Laju penurunan jumlah daun varietas Atlantis.

(Sumber : Ma’rufatin 2011)

Gambar 10 Laju penurunan jumlah daun varietas Super john.

(Sumber: Ma’rufatin 2011)

Pada pencahayaan 12 jam jumlah daun varietas Super John sempat meningkat dalam tiga hari, kemudian terjadi penurunan yang sangat tajam hingga pada 32 HST saat tanaman mati semua. Pada pencahayaan 24 jam, tanaman juga tetap mengalami penurunan dalam jumlah daun, namun penurunan yang terjadi tidak banyak hingga sampai 50 hari setelah tanam (HST) tanaman masih ada yang tersisa. Faktor intensitas cahaya yang diperoleh tanaman sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengukuran intensitas cahaya tanaman menerima rata–rata intensitas cahaya 9 Watt m-2hari-1. Angka ini sangat jauh di bawah intensitas yang diperoleh tanaman pada

sistem budidaya konvensional yaitu 1.200 foot candle atau setara dengan 102 watt m-2 hari-1 (Samadi 2007).

4.3 Kehilangan Air tanaman

(22)

Gambar 11 Pola Kehilangan air pada perlakuan pencahayaan 12 dan 24 jam

Kehilangan air yang terjadi pada sistem aeroponik didomonasi oleh proses penguapan dari tanaman, karena nilai evaporasi sangat kecil terjadi. Pada sistem aeroponik yang dilakukan kehilangan air berupa evaporasi dari media tanam dan transpirasi tanaman kentang. Dalam hal ini tidak dapat dipisahkan nilai masing-masing dari evaporasi dan transpirasi tersebut.

Gambar 11 menunjukkan bahwa perlakuan cahaya 12 jam dan 24 jam menunjukkan penggunaan air yang berbeda. Pada 27 HST kehilangan air pada perlakuan 24 jam pencahayaan sangat sedikit dibanding dengan kehilangan air pada perlakuan 12 jam pencahayaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor kesalahan seperti pada saat pengukuran ternyata air pada box dengan perlakuan 24 jam pencahayaan mengalami penyumbatan pada lubang keluaran air, sehingga terjadi penumpukan jumlah air

Pada 28 HST kondisi ini dapat ditangani dan data pengukuran ketinggian air kembali normal. Sejak pengukuran pada 34 HST, kehilangan air pada perlakuan 24 jam pencahayaan lebih tinggi dibandingkan dengan 12 jam pencahayaan. Hal ini dikarenakan jumlah tanaman mulai banyak yang mati. Namun demikian, kematian tanaman dalam jumlah yang banyak tidak menutup kemungkinan tidak terjadi kehilangan air. Pada 34 HST tanaman pada perlakuan pencahayaan 12 jam telah mati total, namun air yang hilang tetap terjadi. Kehilangan air ini disebabkan oleh proses

evaporasi. Proses evaporasi pada sistem penelitian ini dipengaruhi oleh kelembaban dari pendingin ruangan yang sangat rendah. Kelembaban yang rendah itu akan memaksa air pada media tumbuh tanaman untuk menguap ditambah dengan cahaya lampu sebagai sumber energi. Pada perlakuan 24 jam dan 12 jam pencahayaan kehilangan air terjadi melalui dua proses yakni proses transpirasi dan proses evaporasi. Proses transpirasi terjadi dari tanaman yang masih hidup, sedangkan proses evaporasi terjadi pada media tumbuh tanaman yang sudah mati.

Kehilangan air yang disebabkan oleh proses evaporasi tidak terlepas juga dari faktor durasi penyemprotan. Pada penelitian ini penyemprotan berlangsung selama 13 detik setiap 7 menit. Durasi penyemprotan ini cukup efisien namun masih dapat memberi kesempatan proses evaporasi terjadi. Jumlah air yang disemprotkan sprinkler juga memiliki pengaruh pada kecepatan proses evaporasi. Apabila air yang disemprotkan sedikit dengan rentang waktu cukup lama, maka air yang berada di media akan dengan cepat menguap karena kelembaban yang rendah.

Kehilangan air dalam penelitian ini yang berasal dari 64 lubang tanam menghabiskan rata – rata 0.12 mm/hari untuk perlakuan pencahayaan 12 jam dan kehilangan air pada perlakuan 24 jam pencahayaan sebesar 0.14 mm/hari. Kebutuhan air tanaman kentang sekitar 650 mm selama musim tanam, apabila umur tanaman 100 hari maka kehilangan air perhari hanya 6.5 mm/hari atau jika umur 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25

19 29 39 49

K e h il a n g a n a ir ( m m / h a ri )

Hari Setelah Tanam (HST)

24 jam pencahayaan

(23)

Gambar 12 Kehilangan air tanaman kentang per minggu

tanaman kentang 150 hari maka kehilangan air tanaman kentang menjadi 4.3 mm /hari. Apabila dibandingkan dengan kehilangan air rata–rata tanaman kentang pada sistem aeroponik, nilai kehilangan airnya cukup kecil. Hal ini dapat dikatakan bahwa penggunaan sistem aeroponik dapat menghemat penggunaan air yang sesuai dengan pernyataan Gunawan dan Afrizal (2009) yang mengatakan bahwa air yang digunakan dalam sistem aeroponik sangat efektif.

Selama penanaman kentang di lokasi penelitian, tanaman masih cenderung mengalami pertumbuhan vegetatif karena sampai 50 HST tanaman belum berbunga. Hal ini sesuai dengan Hajadi (2007) yang menyatakan bahwa tanaman kentang memiliki dua fase pertumbuhan dan perkembangan yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif. Fase vegetatif teridiri dari pertambahan jumlah daun, tinggi tanaman dan luas daun, sedangkan fase reproduktif terdiri dari pembentukan kuncup bunga, dan pembentukan umbi. Gambar 12 menunjukkan kehilangan air tanaman kentang untuk pencahayaan 24 jam pencahayaan terus meningkat, sedangkan untuk pencahayaan 12 jam meningkat hanya sampai empat Minggu Setelah Tanam ( 4 MST) dan setelah empat MST jumlah kehilangan air mengalami penurunan. Penurunan kehilangan air pada 12 jam pencahayaan disebabkan karena tanaman kentang mati. Kehilangan air pada tanaman kentang dengan pencahayaan 24 jam ini meningkat terus sampai memasuki fase pembungaan. Hal ini juga dinyatakan oleh

Agus et al. (2002) bahwa kehilangan air tanaman kentang meningkat hingga fase pembungaan dan kemudian akan turun kembali saat memasuik fase pembuahan dan pemasakan umbi.

Tabel 5 Kehilangan air tanaman kentang

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Rekayasa kondisi lingkungan pada tanaman kentang dengan sistem aeroponik ini masih perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini telah dilakukan rekayasa suhu udara agar sesuai dengan kebutuhan tanaman kentang dengan nilai 20.00 C – 26.50 C, namun kelembaban ruangan akibat dari penggunaan AC (Air Conditioner) yang bernilai rata–rata 50%, yang relatif rendah untuk pertumbuhan tanaman kentang.

Kehilangan air pada sistem aeroponik untuk pencahayaan 12 jam rata-rata 0.12 mm/hari dan untuk pencahayaan 24 jam rata - rata ialah 0.14 mm/hari. Penggunaan air pada sistem aeroponik sangat efisien.

12 jam

24 jam

3

0,72

0,84

4

1,02

0,95

5

0,90

0,98

6

0,77

1,02

(24)

5.2 Saran

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengamati kebutuhan air pada varietas yang berbeda dan melakukan penelitian mengenai rekayasa iklim mikro lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

[SETNEG]. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2011. Penyusutan luas lahan tanaman pangan perlu diwaspadai.

http://www.setneg.go.id/index.php?opt ion=com_content&task=view&id=461 7&Itemid=29 [10 Februari 2011]. [FAOSTAT]. Food and Agriculture

Organization of the United Nations. 2007. Food and agricultural commodities production.

http://faostat.fao.org/site/339/default.as px [08 Agustus 2011].

[BALITSA]. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 2008. Pelepasan tiga varietas kentang.

http://balitsa.litbang.deptan.go.id/ind/? q=content/pelepasan-3-varietas-kentang [09 Agustus 2011].

Agus, F., Surmaini E dan Sutrisno N. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi suplemen. hlm. 239 -264. Dalam teknologi pengelolaan lahan kering. Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan.pusat penelitian dan pengembangan tanah dan agroklimat, Bogor.

Agustina, RH. 2011. Pendugaan kehilangan air melalui perhitungan neraca air serta analisis pertumbuhan tanaman kentang (Solanum Tuberosum, L.) [Skripsi]. Bogor: Geofisika dan Meteorologi. Institut Pertanian Bogor.

Asandhi, AA., Gunadi N. 2006. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang. Dalam Buku Tahunan Hortikultura, Seri: Tanaman Sayuran. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta.

Bey, A. 1991. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. IPB press: Bogor

Chang, JW. 1968. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Aldine. Chicago.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2009. Statistik produksi komoditas sayuran di Indonesia periode tahun 2003-2008.

www.hortikultura.deptan.go.id

Doorenbos, J., Pruitt WO. 1979. Guidelines for crop water requirements. FAO Irrigation and Drainage. Paper.FAO, UN. Rome, Italy.

Ewing, PC., Struick EE. 1982. Crop Physiology of potato (Solanum tuberosum L): Respons to photoperiod and temperature relevant to crop modelling. London. Kluwer academic publisher. http://www.google.com/books?hl=id&l r=&id=iak56s694eoC&oi=fnd&pg=PA 41&dq=crop+physiology+of+potato% 28Solanum+tuberosum,L%29:+respon s+to+photoperiod+and+temperature+re levant+to+crop+modelling&ots=

[24 Agustus 2011]

Farran, I., Angel M. 2006. Potato Minituber Production Using Aeroponics: Density and Harvesting intervals. America Journal of potato 83:47-53.

Fitter, AH., Hay RKM. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Universitas Press, Yogyakarta.

Gunawan, OS., Afrizal D. 2009. Teknologi Aeroponik, Terobosan Perbanyakan cepat benih kentang. J. Iptek Hortikultura 5:16–19

Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. FMIPA.IPB.

Harjadi, SS. 1979. Pengantar Agronomi. Jakarta : Gramedia

Herlina, SN., Handoko, Nasir AA. 1993. Respon pertumbuhan vegetatif tanaman melon terhadap ketersediaan air. J. Agronomi Indonesia 1:53–60. Jumin, HB. 2005. Dasar – Dasar Agronomi.

Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Lubis, K. 2000. Tanggap tanaman terhadap

kekurangan Air.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/12 3456789/1109/1/fp-khairunnisa2.html

[08 Agustus 2010].

(25)

Martodireso, S., Suryanto WA. 2001. Terobosan teknologi Pemupukan dalam Era Pertanian Organik. Budidaya Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan. Kanisisus. Yogayakarta. 78hal.

Ma’rufatin, A. 2011. Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum, L) varietas atlantis dan superjohn dalam sistem aeroponik terhadap periode pencahayaan. Personal Communication. Departemen Geofisika dan Meteorologi. FMIPA-IPB

Muhibbudin, A. 2009. Pengembangan formulasi unsur hara pada produksi benih kentang hasil kultur jaringan dengan teknologi aeroponik. J. Sains dan Teknologi 9(2):87–96.

Murdiyarso, D. 1991. Kebutuhan air dalam Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi editor Ahmad Bey. Milthrope, FL., Morby J. 1997. Crop phsilogy

potato. Cambridge. Cambidge University press.

Nurmayulis. 2005. Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum Tuberosum L) yang diberi pupuk organik difermentasi, Azospirilium sp dan pupuk nitrogen di Pangalengan dan Cisarua [disertasi]. Bandung: Program pascasarjana. Universitas Padjajaran. Nonnecke, Ib L. 1989. Vegetable Production.

Van nostrand reinhold: USA.

Otazu, V. 2010. Manual on Quality Seed Potato Production Using Aeroponics. Tarea Asociacion Graficia Educativa. Peru.

Rismawati, L. 2010. Penanganan Pasca Panen Kentang (Solanum tuberosum L) di Hikmah Farm, Pangalengan Bandung.[skripsi]. Bogor: Agronomi dan Hortikultura. Insititut Pertanian Bogor.

Samadi, B. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta.Kanisius. 115hal.

Setiadi. 2009. Budidaya Kentang. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sihombing, D. 2006. Model Simulasi Pertumbuhan dan Perkembangan tanaman [skripsi]. Bogor: Geofisika dan Meteorologi. Institut Pertanian Bogor. Smith, O. 1968. Potatoes: Production,

Storing, Processing. Connecticut: the AVI Publishing Company, Inc. Sosrodarsono, S., Kensaku T. 2003. Hidrologi

untuk pengairan. Pradnya paramita: Jakarta.

Sulistiono, R. 2005. Model Simulasi Perkembangan penyakit tanaman berbasis Agroklimatologi untuk prediksi penyakit Hawar daun kentang (Phytophthora Infestans). [disertasi]. Bogor: Sekolah pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sunarjono. 2007. Petunjuk praktis budidaya kentang. Jakarta. Agromedia Pustaka.

Sutiyoso, Y. 2003. Aeroponik sayuran. Budidaya dengan sistem pengabutan. Jakarta. Penerbit Penebar Swadaya. Taulu LA., Krisen J. 2003. Main pest and

diseases on potato plant on mondoinding and modayak region north sulawesi. J. Eugina 9 (4) : 256 – 264.

Ummah, K. 2010. Produksi bibit kentang ( Solanum Tuberosum, L) di Hikmah Farm, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Webb, RE., Wilson DR, Shumaker JR, Graves

B, Henninger MR, Watts J, Frank JA, and Murphy HJ. 1978. ATLANTIC: A new potato variety with high solids good processing quality, and resistance to pests: J. American Potato 55:141-145.

(26)
(27)

Lampiran 1 Penyiapan alat dan bahan sebelum dilakukan penanaman (a) Pemberian Insektisidadan fungisida,(b) bak penampungan larutan nutrisi, (c) timer Automatic, (d) sistem pemberian cahaya lampu, (e) pemasangan sprinkler, (f) larutan nutrisi aeroponik dan Hidroponik, (g) kondisi perlakuan percobaan 12 jam dan 24 jam, (h) jenis Sprinkler yang akan digunakan, (i) persiapan pembuatan larutan insektisida dan fungisida.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h)

(28)

Lampiran 2 proses Aklimatisasi (a) kondisi tanaman setelah 7 hari proses pemindahan dari media kultur, (b) penyimpanan tanaman di rumah kaca, (c) Penyimpanan tanaman pada ruangan biasa.

(a)

(b)

(29)

Lampiran 3 Kondisi tanaman dan perakaran pada lokasi penelitian (a) kondisi tanaman atlantis dengan perlakuan 24 jam pada hari ke 7, (b) kondisi tanaman atlantis dengan perlakuan 12 jam pada hari ke 7, (c) kondisi tanaman Atlantis dengan perlakuan 12 jam pada hari ke 14, (d) kondisi tanaman Atlantis dengan perlakuan 24 jam pada hari ke 14, (e) kondisi perakaran tanaman Atlantis dengan perlakuan 24 jam pada 49 HST

(a) (b)

(c)

(30)

Lampiran 4 Pengambilan data (a) pengambilan data perubahan air, (b) pengambilan data Suhu dengan thermometer Digital. (c) pengambilan data suhu dengan Thermometer alkohol

(a)

(b)

(31)
(32)

Lampiran 6 Data pengukuran suhu udara selama 50 hari setelah tanam

Tanggal HST

Setelah Kalibrasi

Rataan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

09 Juli 2011 19 19.8 20.0 19.8 19.7 19.7 20.0 20.3 20.3 20.3 20.2 20.0

10 Juli 2011 20 20.8 21.1 21.0 21.0 21.1 21.2 21.3 21.3 21.3 21.3 21.1

11 Juli 2011 21 21.1 21.2 21.3 21.3 21.3 21.2 21.4 21.4 21.5 21.5 21.3

12 Juli 2011 22 21.1 21.4 21.3 21.4 21.4 21.8 21.9 21.8 21.7 21.9 21.6

13 Juli 2011 23 21.0 21.2 21.3 21.3 21.3 21.3 21.6 21.5 21.6 21.5 21.3

14 Juli 2011 24 20.7 20.7 20.7 20.6 20.5 20.6 20.7 20.7 20.7 20.7 20.7

15 Juli 2011 25 21.1 21.2 21.4 21.4 21.2 21.4 21.5 21.4 21.3 21.5 21.3

16 Juli 2011 26 20.8 20.8 20.8 20.7 20.8 21.0 21.0 21.0 21.0 21.0 20.9

17 Juli 2011 27 20.9 21.0 21.0 20.9 20.9 20.9 20.9 21.0 20.9 20.9 20.9

18 Juli 2011 28 20.1 20.1 20.1 20.0 20.0 19.9 20.0 20.0 20.0 20.1 20.0

19 Juli 2011 29 21.2 21.0 21.3 21.2 21.1 21.1 21.2 21.2 21.1 21.3 21.2

20 Juli 2011 30 20.3 20.3 20.6 20.5 20.6 20.4 20.5 20.6 20.5 20.4 20.5

21 Juli 2011 31 22.0 22.2 22.3 22.3 22.1 22.1 22.2 22.3 22.2 22.2 22.2

22 Juli 2011 32 22.7 22.7 22.7 22.7 22.7 22.8 22.8 22.8 22.8 22.8 22.7

23 Juli 2011 33 21.0 21.0 21.0 21.0 21.0 21.3 21.4 21.4 21.4 21.2 21.2

24 Juli 2011 34 20.7 20.7 21.0 21.0 20.9 20.9 21.0 21.0 21.1 21.0 20.9

25 Juli 2011 35 21.9 22.0 22.0 22.0 21.9 21.8 22.0 22.0 21.9 22.2 22.0

26 Juli 2011 36 20.6 20.6 20.5 20.5 20.5 20.6 20.9 20.9 21.0 21.0 20.7

27 Juli 2011 37 21.5 21.6 21.7 21.7 21.6 22.0 22.1 22.1 22.1 22.4 21.9

28 Juli 2011 38 21.8 22.2 22.1 22.1 22.0 22.0 22.2 22.2 22.1 22.1 22.1

29 Juli 2011 39 21.6 21.8 21.9 22.2 22.4 22.2 22.3 22.3 22.4 22.2 22.1

30 Juli 2011 40 21.7 21.8 22.0 22.0 21.8 21.9 22.1 22.2 22.2 22.2 22.0

31 Juli 2011 41 21.3 21.3 21.6 21.6 21.5 21.7 21.8 21.9 21.8 21.7 21.6

01 Agustus 2011 42 20.7 21.1 21.0 21.0 21.1 20.8 21.2 21.1 21.1 21.3 21.0

02 Agustus 2011 43 21.2 21.2 21.6 21.6 21.6 21.7 21.8 21.9 21.7 21.8 21.6

03 Agustus 2011 44 22.0 22.0 22.6 22.6 22.6 22.7 22.9 23.0 22.8 22.8 22.6

04 Agustus 2011 45 19.0 19.1 18.8 18.8 18.7 19.0 19.1 19.3 19.2 19.4 19.0

05 Agustus 2011 46 22.5 22.9 22.9 22.8 22.8 22.9 23.2 23.2 23.0 23.0 22.9

06 Agustus 2011 47 20.6 20.3 20.8 20.7 20.7 20.6 20.7 20.9 21.0 21.0 20.7

07 Agustus 2011 48 20.6 20.6 21.2 21.2 21.1 20.6 21.2 21.2 21.3 21.3 21.0

08 Agustus 2011 49 20.6 20.5 20.8 20.7 20.7 20.9 20.8 21.1 21.0 20.9 20.8

(33)

Lampiran 7 Data jumlah daun varietas Atlantis dengan perlakuan pencahayaan 12 jam dan 24 jam selama 50 HST

Tanggal HST

Pencahayaan 12 jam

Rataan

Pencahayaan 24 jam

Rataan

Box 1 Box 2 Box 3 Box 4

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6

(34)

30 Juli 2011 40 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0.8 12 7 0 0 12 9 11 17 19 12 0 25 10.3 31 Juli 2011 41 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0.6 12 8 0 0 12 9 12 16 19 13 0 23 10.3 01 Agustus 2011 42 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0.6 11 8 0 0 10 10 12 16 19 13 0 23 10.2 02 Agustus 2011 43 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0.5 12 9 0 0 12 9 12 17 20 14 0 21 10.5 03 Agustus 2011 44 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0.4 14 8 0 0 12 10 12 18 21 14 0 21 10.8 04 Agustus 2011 45 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0.4 12 8 0 0 12 10 12 18 21 15 0 21 10.8 05 Agustus 2011 46 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0.4 11 7 0 0 12 9 12 17 19 14 0 19 10.0 06 Agustus 2011 47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 11 7 0 0 13 9 13 17 19 14 0 18 10.1 07 Agustus 2011 48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 11 7 0 0 13 9 13 17 18 14 0 17 9.9 08 Agustus 2011 49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 11 0 0 0 13 9 13 17 19 14 0 17 9.4 09 Agustus 2011 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 10 0 0 0 14 10 13 17 19 14 0 17 9.5

(35)

Lampiran 8 Data jumlah daun varietas Super John dengan perlakuan pencahayaan 12 jam dan 24 jam selama 50 HST

.keterangan : angka nol menunjukkan bahwa tanaman sudah mati.

Tanggal HST

Perlakuan 12 jam

Rataan

Perlakuan 24 jam

Rataan Box 1 Box 2 Box 3 Box 4

(36)

Lampiran 9 Data pengukuran kelembaban 24 jam pada tanggal 03 Agustus 2011

Pukul TBK TBB TBB

terkoreksi TBK - TBB RH

1:00 21.5 16.9 15.6 5.9 48

2:00 21.0 16.8 15.5 5.5 51

3:00 21.0 16.8 15.5 5.5 51

4:00 20.5 16.4 15.1 5.4 53

5:00 20.5 16.5 15.2 5.3 53

6:00 20.0 15.8 14.6 5.4 53

7:00 20.0 16.1 14.9 5.1 53

8:00 20.5 16.3 15.0 5.5 50

9:00 21.5 16.9 15.6 5.9 48

10:00 22.0 17.3 16.0 6.0 48

11:00 22.5 18.1 16.7 5.8 49

12:00 24.0 19.5 18.0 6.0 50

13:00 24.5 19.8 18.3 6.2 50

14:00 25.0 20.0 18.5 6.5 48

15:00 26.0 21.1 19.5 6.5 49

16:00 26.5 21.6 20.0 6.5 49

17:00 25.0 20.2 18.7 6.3 51

18:00 24.5 20.2 18.7 5.8 51

19:00 24.0 19.8 18.3 5.7 50

20:00 23.0 18.5 17.1 5.9 49

21:00 22.5 17.9 16.5 6.0 49

22:00 22.0 17.6 16.2 5.8 48

23:00 22.0 17.5 16.2 5.8 48

(37)

Lampiran 10 Nilai kelembaban nisbih

Pembacaan termometer bola basah (C)

Selisih antar termometer bola kering dan bola basah

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7

0 100 90 80 71 63 56 49 43 37 32 28 23 20 16 13

1 100 90 81 72 65 58 51 45 40 35 30 26 22 19 16

2 100 90 82 74 66 59 53 47 42 37 33 29 25 22 19

3 100 91 82 75 67 61 55 49 44 39 35 31 27 24 21

4 100 91 83 75 69 62 56 51 46 41 37 33 30 26 24

5 100 91 84 76 70 64 58 53 48 43 39 35 32 29 26

6 100 92 84 77 71 65 59 54 49 45 41 37 34 31 28

7 100 92 85 78 72 66 61 56 51 47 43 39 36 33 30

8 100 92 85 79 73 67 62 57 52 48 44 41 37 34 32

9 100 93 86 79 74 68 63 58 54 50 46 42 39 36 33

10 100 93 86 80 75 69 64 59 55 51 47 44 41 38 35

11 100 93 87 81 75 70 65 60 56 52 49 45 42 39 36

12 100 93 87 81 76 71 66 61 57 54 50 47 43 41 38

13 100 94 88 82 76 71 67 63 58 55 51 48 45 42 39

14 100 94 88 82 77 72 68 63 59 56 52 49 46 43 40

15 100 94 88 83 78 73 68 64 60 57 53 50 47 44 42

16 100 94 88 83 78 74 69 65 61 58 54 51 48 45 43

17 100 94 89 83 79 74 70 66 62 59 55 52 49 46 44

18 100 94 89 84 79 75 70 67 63 59 55 53 50 47 45

19 100 94 89 84 80 75 71 67 63 60 56 54 51 48 46

20 100 95 89 85 80 76 72 68 64 61 57 55 52 49 47

21 100 95 90 85 80 76 73 68 65 62 58 55 53 50 47

22 100 95 90 85 81 77 73 69 66 62 58 56 53 51 48

23 100 95 90 86 81 77 73 70 66 63 59 57 54 51 49

24 100 95 90 86 82 78 74 70 67 63 60 58 55 52 50

25 100 95 90 86 82 78 74 71 67 64 61 58 56 53 50

26 100 95 91 86 82 78 75 71 68 65 62 59 56 54 51

27 100 95 91 87 83 79 75 72 68 65 62 59 57 54 52

28 100 95 91 87 83 79 75 72 69 66 63 60 57 55 52

29 100 95 91 87 83 79 76 72 69 66 63 60 58 55 53

30 100 96 91 87 83 80 76 73 70 67 64 61 58 56 53

31 100 96 91 87 83 80 76 73 70 67 64 61 59 56 54

32 100 96 91 88 84 80 77 73 70 67 65 62 59 57 54

33 100 96 92 88 84 80 77 74 71 68 65 62 60 57 55

34 100 96 92 88 84 81 77 74 71 68 65 63 60 58 55

(38)

Lampiran 11 Data kehilangan air dengan pencahayaan 12 dan 24 jam selama 50 HST.

Tanggal HST

12 jam pencahayaan 24 jam pencahayaan Selisih Ketinggian

air (cm)

mm / hari

selisih ketinggian air (cm)

mm / hari

09 Juli 2011 19 0.8 0.10 0.9 0.12

10 Juli 2011 20 0.7 0.09 0.6 0.08

11 Juli 2011 21 0.9 0.12 1.0 0.13

12 Juli 2011 22 1.0 0.13 1.0 0.13

13 Juli 2011 23 0.6 0.08 0.6 0.08

14 Juli 2011 24 0.8 0.10 1.0 0.13

15 Juli 2011 25 0.7 0.09 1.3 0.17

16 Juli 2011 26 0.9 0.12 1.2 0.16

17 Juli 2011 27 1.3 0.17 0.6 0.08

18 Juli 2011 28 1.7 0.22 1.0 0.13

19 Juli 2011 29 1.1 0.14 1.1 0.14

20 Juli 2011 30 1.2 0.16 1.2 0.16

21 Juli 2011 31 0.9 0.12 1.1 0.14

22 Juli 2011 32 1.1 0.14 1.1 0.14

23 Juli 2011 33 1.0 0.13 0.6 0.08

24 Juli 2011 34 1.6 0.21 1.6 0.21

25 Juli 2011 35 1.0 0.13 1.2 0.16

26 Juli 2011 36 0.9 0.12 1.2 0.16

27 Juli 2011 37 0.9 0.12 1.1 0.14

28 Juli 2011 38 0.8 0.10 0.9 0.12

29 Juli 2011 39 0.7 0.09 0.9 0.12

30 Juli 2011 40 1.0 0.13 1.3 0.17

31 Juli 2011 41 0.8 0.10 0.8 0.10

01 Agustus 2011 42 1.1 0.14 1.1 0.14

02 Agustus 2011 43 0.5 0.07 0.8 0.10

03 Agustus 2011 44 0.9 0.12 2.3 0.17

04 Agustus 2011 45 0.9 0.12 1.4 0.21

05 Agustus 2011 46 0.7 0.09 0.9 0.12

06 Agustus 2011 47 0.6 0.08 0.7 0.09

07 Agustus 2011 48 1.2 0.16 1.1 0.14

08 Agustus 2011 49 0.9 0.12 0.9 0.12

09 Agustus 2011 50 1.2 0.16 1.4 0.18

(39)

ABSTRACT

LORIS PANAHATAN SIMANGUNSONG (G24070046). Water use for potato plant (Solanum tuberosum, L) using aeroponics system. Supervised by Prof.Dr.Ir. Handoko, M.Sc and Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl.

Aeroponics is one solution to overcome the limitations of agricultural area. Aeroponics sytem has many advantages, one of them is the water usage efficiency. This study was conducted to calculate the water losses on potato plant using two lighting period treatments; 12 hours and 24 hours. The water losses from the 12 hours lighting period is about 0.12 mm/day, while the 24 hours loss 0.14 mm/day. The room temperature during the observation ranged from 19.00 C to 22.90 C. The measured temperature within 24 hours was 20.00 C–26.50 C. The low humidity affect the plant growth caused death of the plant. Air humidity that is measured within 24 hours was approximately 50%.

(40)

ABSTRAK

LORIS PANAHATAN SIMANGUNSONG (G24070046). Kebutuhan air pada tanaman kentang (Solanum tuberosum, L) dengan sistem aeroponik. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc dan Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl.

Aeroponik merupakan salah satu solusi untuk mengatasi lahan pertanian yang terbatas. Sistem aeroponik mempunyai banyak keuntungan, salah satunya penggunaan air yang efisien. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kehilangan air pada tanaman kentang dengan dua perlakuan periode pencahayaan; 12 jam dan 24 jam. Kehilangan air pada periode pencahayaan 12 jam ialah sekitar 0.12 mm / hari, sedangkan periode pencahayaan 24 jam hilang sebanyak 0.14 mm/ hari. Pengamatan suhu ruangan berada pada rentang dari 19.00 C sampai 22.90 C. Pengukuran suhu selama 24 jam ialah 20.00 C–26.50 C. Kelembaban udara yang rendah mempengaruhi pertumbuhan tanaman hingga menyebabkan tanaman mati. Kelembaban udara yang diukur selama 24 jam sekitar 50%.

(41)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor pembangunan yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, karena hampir setiap tahun luas lahan pertanian Indonesia mengalami penurunan karena lahan yang ada digunakan untuk pembangunan industri, pemukiman dan infrastruktur. Menurut kepala badan pusat statistik (BPS) lahan pertanian secara keseluruhan berkurang 27 ribu hektar setiap tahun (SETNEG 2011). Penurunan luas lahan pertanian yang terjadi tidak seimbang dengan kebutuhan pangan masyarakat yang meningkat. Hal ini menjadi motivasi para peneliti Indonesia untuk menciptakan sistem budidaya yang lain untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Tanaman Kentang (Solanum tuberosum. L) merupakan salah satu produk hortikultura yang mengandung sumber karbohidrat dan kaya protein. Tanaman kentang menjadi salah satu tanaman penunjang program diversifikasi pangan pemerintah. Menurut Dirjen Hortikultura (2009) tanaman kentang memiliki luas lahan 59.748 ha pada tahun 2006 dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 62.650 ha. Menurut data FAO (2007) rata– rata produksi tanaman kentang di Australia mencapai 35.9 ton per hektar, sedangkan produksi kentang di Indonesia masih lebih rendah yaitu 16.9 ton per hektar. Produktivitas yang rendah disebabkan oleh penggunaan bibit kentang bermutu yang terbatas di kalangan petani Indonesia. Sebagian para petani menggunakan bibit umbi kentang dari generasi berikutnya, yakni hasil panen yang dimanfaatkan sebagai bibit. Kondisi seperti ini disebabkan oleh bibit kentang yang bermutu relatif mahal. Jumlah pengusaha dan penangkar bibit kentang masih terbatas. Beberapa pengusaha, perguruan tinggi, dan instansi ada yang memproduksi bibit generasi vegetatif nol (G0), generasi vegetatif pertama (G1), dan generasi vegetatif kedua (G2). Jumlah penangkar benih kentang yang terbatas mengakibatkan kebutuhan benih kentang belum tercukupi. Kondisi seperti ini dapat diatasi oleh penangkar benih yang terbatas dengan menggunakan sistem budidaya yang lebih baik. Benih kentang yang memilik mutu baik, dapat diperoleh secara cepat dengan menggunakan sistem budidaya aeroponik.

Sistem budidaya aeroponik merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Sutiyoso (2003) meyatakana bahwa aeroponik berasal dari dua kata yaitu aero yang berarti udara dan ponus yang berarti daya, sehingga sistem aeroponik merupakan suatu teknik budidaya pertanian yang membiarkan akar tanaman tetap tergantung di udara dan larutan hara diperoleh dari sprinkler yang disemprotkan dari bawah agar hara dapat ditangkap dan diserap. Sistem aeroponik ini memiliki beberapa keunggulan yakni produksi lebih tinggi (sepuluh kali lipat dari cara konvensional), tidak menggunakan pestisida dalam jumlah banyak, tidak mencemari lingkungan, pemakaian unsur hara dan air lebih hemat karena dapat diatur, menghasilkan umbi yang sehat dan bersih, dan tidak tergantung dengan kondisi atmosfer (Gunawan dan Afrizal 2009).

Tanaman pangan seperti tanaman kentang cukup banyak membutuhkan air selama proses keberlangsunga

Gambar

Gambar 1  Fisiologis tanaman kentang.
Gambar 2 Umbi kentang Atlantis.  (Sumber : Webb et al. 1978)
Tabel 1 Nilai
Tabel 4 Nilai suhu pada termometer digital dan termometer alkohol
+7

Referensi

Dokumen terkait