• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Jawa yang Egaliter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Jawa yang Egaliter"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Bahasa Jawa yang Egaliter

Tjahjono Rahardjo

Ternyata Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII adalah seorang yang berwajah cakep, ganteng, berkumis njlirit, tebal tapi kecil. Meskipun saya langsung merasakan wibawa beliau, wibawa itu tidak membuat orang merasa takut melainkan hormat. Saya terkejut mendengar kalimat beliau pertama kepada saya adalah dalam bahasa Belanda: “Hoe gat „t met U, Meneer Hardojo?”

Tulisan di atas dikutip dari novel “Para Priyayi” karya Umar Kayam (1993). Bagian ini menceritakan tentang Meneer Hardojo, seorang mantri guru sekolah desa di Wonogiri, yang diundang menghadap Mangkunegara VII. Hardojo terkejut, pleasantly surprised, karena semula menduga Mangkunegara VII, layaknya seorang raja Jawa kepada bawahannya, akan berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko kepadanya. Sapaan dalam bahasa Belanda membuat Hardojo merasa dihargai, diuwongake, dan diperlakukan setara. Apalagi, dengan berbahasa Belanda otomatis berjongkok dan bersembah juga tidak berlaku.

Di zaman Belanda memang sudah terlihat kecenderungan orang-orang Jawa yang menguasai bahasa Belanda memilih bahasa itu, dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa pengantar di antara mereka. Sedangkan di kalangan orang-orang Jawa yang tidak berbahasa Belanda, bahasa Melayu menjadi pilihan. Seperti telah diramalkan Soewardi Soerjaningrat dalam makalahnya pada Kongres Pengajaran Kolonial I di Den Haag, Agustus 1916: “Sebaliknja menurut penglihatan saja bahasa Melayu akan banyak dipakai oleh orang-orang Jawa, karena bahasa itu lebih demokratis daripada Bahasa Djawa jang indah itu.”

Dalam bahasa Melayu atau Belanda tingkat hormat cukup ditunjukkan dengan pilihan kata ganti orang. Sebaliknya, apabila berbahasa Jawa orang harus berhati-hati menimbang status sosial, usia, kedudukan, dan banyak hal lain dari lawan bicara, sebelum menentukan apakah akan

menggunakan bahasa Jawa Krama, Ngoko, Madya atau salah satu dari belasan variannya; kekeliruan memilih bisa berdampak sangat serius.

Tjipto Mangunkusumo, seorang yang sangat menentang budaya feodal Jawa, bahkan mengatakan bahasa Jawa harus “dibuang jauh-jauh”. Menurutnya, bahasa Jawa adalah hasil sistem perbudakan, dan dengan mempertahankannya masyarakat yang demokratis tidak mungkin terwujud. Meski ia seorang nasionalis, bagi Tjipto masih lebih baik menggunakan bahasa Belanda daripada

mempertahankan bahasa Jawa (Soerjaningrat, 1916 ).

(2)

Gerakan “Djawa Dipa”

Pada 1914 di Surabaya muncul gerakan “Djawa Dipa” yang berarti “Sinar Jawa.” Pelopornya adalah dua orang tokoh Serikat Islam Surabaya, Tjokrosoedarmo dan Tjokrodanoedjo. Gerakan ini

bertujuan meningkatkan martabat masyarakat Jawa melalu reformasi bahasa Jawa. Ketika

mendeklarasikan gerakan itu, Tjokrosoedarmo mengatakan bahwa “aturan bahasa Jawa, sekaligus tata kramanya, yang ada sekarang hanya membuat sengsara rakyat saja, dan menghambat

kemajuan bangsa Jawa.”

Gerakan “Djawa Dipa” menghendaki hapusnya bahasa Jawa Krama dan menjadikan bahasa Jawa Ngoko sebagai satu-satunya bentuk bahasa Jawa. Dengan pemakaian bahasa yang egaliter diharapkan muncul pula keberanian untuk melawan ketidakadilan. Selain itu, “Djawa Dipa” juga menghendaki semua gelar kebangsawanan diganti dengan sebutan „wira‟ untuk laki-laki, „wara‟ untuk perempuan bersuami, dan „rara‟ untuk perempuan lajang (Soyomukti, 2009).

Saat ini muncul keprihatinan karena bahasa Jawa semakin ditinggalkan penuturnya, terutama generasi muda. Sebenarnya, seperti diuraikan di atas, hal ini bukan gejala baru tapi telah berlangsung lama. Dan proses ini tidak akan berhenti, bahkan akan semakin cepat mengingat masyarakat kita juga semakin demokratis. Akibatnya, bahasa Jawa dalam bentuknya sekarang dengan hirarkinya yang rumit akan menjadi semakin tidak relevan dan anakronistik.

Sekarang, pertanyaannya apa yang harus kita lakukan. Apa kita biarkan saja bahasa Jawa mati dengan sendirinya, ataukah kita berusaha melestarikannya? Apabila pelestarian menjadi pilihan mau tidak mau bahasa Jawa harus direformasi agar sesuai dengan suasana zaman yang menghendaki kesetaraan di antara semua orang. Artinya, seperti telah dipelopori oleh gerakan “Djawa Dipa” bahasa Jawa harus disederhanakan dan unsur-unsur feodalnya dihilangkan.

Memang, ada sekelompok orang yang melihat adanya tingkatan dalam bahasa Jawa sebagai “keunggulan.” Mereka bahkan sering mengolok-olok penggunaan bahasa Jawa yang keliru, terutama oleh orang-orang muda, seperti misalnya kalimat: “Kula badhe dhahar”(“Saya mau makan”), yang seharusnya: “Kula badhe nedha.” Di sisi lain, mereka juga sering menggunakan bahasa Jawa yang rumit, yang sulit difahami orang kebanyakan, konon untuk menunjukkan “keindahan” bahasa Jawa. Namun, saya pikir itu semua kontra-produktif.

Kalau memang ingin mempertahankan eksistensi bahasa Jawa sebagai bahasa yang hidup, lebih baik segera dilakukan upaya untuk membuatnya lebih demokratis dan egaliter. Sebenarnya bahasa Jawa yang egaliter bukan hal baru asal kita tidak hanya berkiblat ke Surakarta atau Yogyakarta. Kita bisa menemukannya di Surabaya, Banyumas, Tegal, masyarakat Jawa di Suriname, komunitas Sedulur Sikep (Samin), kalangan anak-anak muda dengan bahasa Jawa „gaul‟ mereka, dan masih banyak lagi.

(3)

Kepustakaan:

Kayam, Umar (1993) Para Priyayi, Sebuah Novel, Jakarta: Pustaka Grafiti

Soerjaningrat, Soewardi (1916) Welke plaats behooren bij het onderwijs in te nemen, eensdeel de Inheemsche talen (ook het Chineesch en Arabisch), anderdeels het Nederlandsch?, makalah dipaparkan pada Kongres Pengajaran Kolonial I di Den Haag, 28 Agustus 1916

Soyomukti, Nurani (2009) Dari Surabaya Menuju Bahasa Persatuan, Kompas Jatim, 23 Oktober 2009

Referensi

Dokumen terkait