KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KEPITING
BAKAU (Scylla spp.) PADA HUTAN MANGROVE DI
KAWASAN SUNGAI SERAPUH KECAMATAN TANJUNG
PURA KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
OLEH:
MEYLAN P SIHOMBING
051202006/BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
MEYLAN P SIHOMBING: Abundance and Diversity of Mangrove Crab (Scylla spp.) On the River Mangrove Forest Area as fragile as Tanjung Pura Langkat District. Under the guidance ONRIZAL and ALEX TERNALA BARUS
River region as fragile as a district of Tanjung Pura Langkat mangrove forests on both sides of the river encountered mud crab (Scylla spp.). However, due to conversion of land into oil palm plantation and aquaculture area of distribution reduced the mangrove crab. This study aims to measure the diversity and abundance of mud crab (Scylla spp.) Under various conditions of forest stands of mangrove and identify the factors that influence the spread of mud crab (Scylla spp.) In the mangrove forest located in the River as fragile. This research was conducted from February-March 2010 in the area of mangrove forest in the River District as fragile as Tanjung Pura Kabnupaten Rare. Defined seven stations and is divided into two sub-stations.
Results Measurement of Physical-Chemical Parameters of Water and Substrate on the River area of mangrove forests as fragile as follows: the average
water temperature ranged from 28.00 to 29.00 ◦ C, the average pH of water
ranged from 6.80 to 7.00, average average pH of the substrate ranged from 4.90 to 5.40, the average water salinity ranged from 15.00 to 22.30 ‰, the average salinity of the substrate ranged from 18.50 to 19.50 ‰, and average water depth of about 13 0.10 to 42, 50 ‰. Substrate bottom waters in this region are classified in terkstur mud. The highest density of mangrove species at station III pohonadalah level of 1200-1500 ind / ha. Average litter weight obtained at each station ranged from 39.86 to 73.70 gr/m2. The results showed that the Scylla spp. found there are two types of S.serrata and S. oceanica. Mangrove crab abundance at all stations ranged from 41.67 to 241.67 ind / ha. The distribution pattern of mangrove crabs were classified to the clustered distribution. Scylla serrata are found abundantly in the area behind and goes down to the waterfront area. Scylla oceanica is found abundantly in the front area of forests and the less the rear area of mangrove forest. The measurement results also find that the female mud crab abundance found at each station
ABSTRAK
MEYLAN P SIHOMBING: Kelimpahan dan Keanekaragaman Kepiting Bakau (Scylla spp.) pada Hutan Mangrove di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan ONRIZAL dan ALEX TERNALA BARUS
Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat merupaan kawasan hutan mangrove yang di kiri kanan sungainya dijumpai kepiting bakau (Scylla spp.). Namun karena konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan daerah pertambakan mengakibatkan penurunan distribusi kepiting bakau. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur keanekaragaman dan kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) pada berbagai kondisi tegakan hutan mangrove dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran kepiting bakau (Scylla spp.) di hutan mangrove yang terdapat di Sungai Serapuh. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari-Maret 2010 di kawasan hutan mangrove pada Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabnupaten Langka. Ditetapkan 7 stasiun dan dibagi menjadi dua sub stasiun.
Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat pada hutan mangrove kawasan Sungai Serapuh sebagai berikut: suhu air rata-rata berkisar 28,00-29,00 ◦C, rata-rata pH air berkisar 6,80-7,00, rata-rata pH substrat berkisar 4,90-5,40, rata-rata salinitas air berkisar 15,00-22,30‰, rata-rata salinitas substrat berkisar 18,50-19,50‰, dan rata-rata kedalaman air berkisar 13,10-42,50‰. Substrat dasar perairan pada kawasan ini digolongkan dalam terkstur lumpur. Kerapatan jenis mangrove tertinggi untuk tingkat pohonadalah pada stasiun III sebesar 1200-1500 ind/ha. Rata-rata bobot serasah yang didapat pada tiap stasiun berkisar 39,86-73,70 gr/m2.
Hasil penelitian menunjukka n bahwa Scylla spp. yang ditemukan ada dua jenis yaitu S.serrata dan S. oceanica. Kelimpahan kepiting bakau pada seluruh stasiun berkisar 41,67-241,67 ind/ha. Pola distribusi kepiting bakau digolongkan kepada distribusi bergerombol. Scylla serrata dijumpai melimpah pada daerah belakang dan semakin menurun pada daerah tepi pantai. Scylla oceanica ditemukan melimpah pada daerah depan hutan dan semakin sedikit pada daerah belakang hutan mangrove. Hasil pengukuran juga mendapatkan bahwa kepiting bakau berjenis kelamin betina dijumpai melimpah pada tiap stasiun baik S.serrata
maupun S.oceanica.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Sempung Polling, Sidikalang pada tanggal 22
Mei 1986 dari bapak (Alm) Banggas Sihombing dan ibu Rusmala Simbolon.
Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 030285 Sidikalang pada tahun
1999, pada tahun 2002 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Sidikalang dan pada tahun 2005 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
1 Sidikalang. Melalui jalur tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswi di Program Studi Budidaya Hutan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (S1).
Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan
(P3H) di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Karo Sumatera Utara serta kegiatan
Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP). Penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan
Mahasiswa Sylva (HIMAS) Departemen Kehutanan. Selain itu Penulis juga aktif
dalam organisasi kemahasiswaan Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen Sumatera
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan karunia-Nya lah Penulis dapat menyelesaikan hasil
penelitian yang berjudul Kelimpahan dan Keanekaragaman Kepiting Bakau
(Scylla spp.) pada Hutan Mangrove di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan
Tanjung Pura Kabupaten Langkat dengan baik.
Dalam penyelesaian penelitian ini Penulis mengucapkan terima kasih
kepada bapak (Alm) Banggas Sihombing dan ibu Rusmala Simbolon yang selama
berlangsungnya penelitian sampai dengan selesai selalu member semangat dan
motivasi untuk menyelesaiakn penelitian ini. Kakak Naomi Sihombing, Abang
Baoadi Sihombing, Kikianna Sihombing, Lestari Esterina Sihombing, Veronika
Simanjuntak dan keponakanku Betshua Theovanny Sihombing yang selalu
memberi semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Kepada bapak
Onrizal S.Hut,M.Si dan Prof.Dr.Ing. Ternala A Barus, M.Sc selaku komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan arahan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada teman-teman
Budidaya Hutan 2005 dan teman – teman KTBku yang terus memotivasi dan
membantu Penulis dalam menyelesaiakn skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Untuk itu penulis dengan kerendahan hati menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ...vii
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis Penelitian ... 3
Pendekatan Masalah ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) ... . 4
Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) ... 4
Habitat dan Daur Hidup ... 5
Pengertian Ekosistem Hutan Mangrove ... 6
Vegetasi Hutan mangrove ... 8
Zonasi Hutan Mangrove ... 10
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ... 12
Alat dan Bahan Penelitian ... 12
Metode Penelitian... 12
Penentuan Kawasan Penelitian ... 12
Penentuan Stasiun Penelitian ... 12
Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya ... 16
Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau (Scylla spp.) ... 17
Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat ... 17
Pengukur an Kerapatan Jenis Mangrove ... 17
Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobenthos ... 17
Analisa Data ... 18
Kelimpahan kepiting Bakau serta Pola Distribusi, Kelimpahan Makrozoobenthos serta Kerapatan Jenis Mangrove ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisik – Kimia dan Substrat ... 21
Parameter Biologi... 23
Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.) ... 26
Kelimpahan Makrozoobenthos ... 29
Bobot Serasah ... 30
Kerapatan Jenis Mangrove ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 32
DAFTAR TABEL
Hal
1. Stasiun berdasarkan komunitas vegetasi kawasan sungai Serapuh ... 14
2. Parameter Biofisik yang Diukur serta Alat dan Metode yang Digunakan .. 16
3. Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat... 19
4. Kerapatan Jenis Mangrove pada Tingkat Pohon ... 27
5. Kerapatan Jenis Mangrove pada Tingkat Pancang... 28
6. Kerapatan Jenis Mangrove pada Tingkat Semai ... 29
7. Indeks Distribusi Kepiting Bakau Berdasarkan Jenis dan Kelas Ukuran.... 32
DAFTAR GAMBAR
Hal
1. Kepiting Bakau Betina (A) dan Kepiting Bakau Jantan (B) ... 5
2. Fungsi Hutan Mangrove sebagai Habitat Hidup Fauna (Alfiah, 2010) ... 12
3. Titik stasiun Penelitian... 15
4. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla spp) Berdasarkan Jenis pada Tiap Stasiun ... 21
5. Kelimpahan Kepiting Bakau Berdasarkan Kelas Ukuran per Jenis pada Tiap Stasiun ... 21
6. Kelimpahan Makrozoobenthos Pada Tiap Stasiun (Ind/m2) ... 22
7. Bobot Serasah pada Tiap Stasiun... 22
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kelimpahan Kepiting Bakau Merah (Scylla serrata) 2. Kelimpahan Kepiting Bakau Hijau (Scylla oceanica)
3. Kelimpahan Kepiting Bakau Hijau dan Kepiting Bakau Merah 4. Panjang Karapas Kepiting Merah
5. Kelimpahan Kepiting Bakau Merah Berdasarkan Kelas Ukuran
6. Panjang Karapas Kepiting Hijau
7. Kelimpahan Kepiting Bakau Hijau Berdasarkan Panjang Karapas
8. Kelimpahan Kepiting Bakau Hijau dan Kepiting Bakau Merah
Berdasarkan Panjang Karapas
9. kelimpahan makrozoobenthos
ABSTRACT
MEYLAN P SIHOMBING: Abundance and Diversity of Mangrove Crab (Scylla spp.) On the River Mangrove Forest Area as fragile as Tanjung Pura Langkat District. Under the guidance ONRIZAL and ALEX TERNALA BARUS
River region as fragile as a district of Tanjung Pura Langkat mangrove forests on both sides of the river encountered mud crab (Scylla spp.). However, due to conversion of land into oil palm plantation and aquaculture area of distribution reduced the mangrove crab. This study aims to measure the diversity and abundance of mud crab (Scylla spp.) Under various conditions of forest stands of mangrove and identify the factors that influence the spread of mud crab (Scylla spp.) In the mangrove forest located in the River as fragile. This research was conducted from February-March 2010 in the area of mangrove forest in the River District as fragile as Tanjung Pura Kabnupaten Rare. Defined seven stations and is divided into two sub-stations.
Results Measurement of Physical-Chemical Parameters of Water and Substrate on the River area of mangrove forests as fragile as follows: the average
water temperature ranged from 28.00 to 29.00 ◦ C, the average pH of water
ranged from 6.80 to 7.00, average average pH of the substrate ranged from 4.90 to 5.40, the average water salinity ranged from 15.00 to 22.30 ‰, the average salinity of the substrate ranged from 18.50 to 19.50 ‰, and average water depth of about 13 0.10 to 42, 50 ‰. Substrate bottom waters in this region are classified in terkstur mud. The highest density of mangrove species at station III pohonadalah level of 1200-1500 ind / ha. Average litter weight obtained at each station ranged from 39.86 to 73.70 gr/m2. The results showed that the Scylla spp. found there are two types of S.serrata and S. oceanica. Mangrove crab abundance at all stations ranged from 41.67 to 241.67 ind / ha. The distribution pattern of mangrove crabs were classified to the clustered distribution. Scylla serrata are found abundantly in the area behind and goes down to the waterfront area. Scylla oceanica is found abundantly in the front area of forests and the less the rear area of mangrove forest. The measurement results also find that the female mud crab abundance found at each station
ABSTRAK
MEYLAN P SIHOMBING: Kelimpahan dan Keanekaragaman Kepiting Bakau (Scylla spp.) pada Hutan Mangrove di Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan ONRIZAL dan ALEX TERNALA BARUS
Kawasan Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat merupaan kawasan hutan mangrove yang di kiri kanan sungainya dijumpai kepiting bakau (Scylla spp.). Namun karena konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan daerah pertambakan mengakibatkan penurunan distribusi kepiting bakau. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur keanekaragaman dan kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) pada berbagai kondisi tegakan hutan mangrove dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran kepiting bakau (Scylla spp.) di hutan mangrove yang terdapat di Sungai Serapuh. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari-Maret 2010 di kawasan hutan mangrove pada Sungai Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabnupaten Langka. Ditetapkan 7 stasiun dan dibagi menjadi dua sub stasiun.
Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat pada hutan mangrove kawasan Sungai Serapuh sebagai berikut: suhu air rata-rata berkisar 28,00-29,00 ◦C, rata-rata pH air berkisar 6,80-7,00, rata-rata pH substrat berkisar 4,90-5,40, rata-rata salinitas air berkisar 15,00-22,30‰, rata-rata salinitas substrat berkisar 18,50-19,50‰, dan rata-rata kedalaman air berkisar 13,10-42,50‰. Substrat dasar perairan pada kawasan ini digolongkan dalam terkstur lumpur. Kerapatan jenis mangrove tertinggi untuk tingkat pohonadalah pada stasiun III sebesar 1200-1500 ind/ha. Rata-rata bobot serasah yang didapat pada tiap stasiun berkisar 39,86-73,70 gr/m2.
Hasil penelitian menunjukka n bahwa Scylla spp. yang ditemukan ada dua jenis yaitu S.serrata dan S. oceanica. Kelimpahan kepiting bakau pada seluruh stasiun berkisar 41,67-241,67 ind/ha. Pola distribusi kepiting bakau digolongkan kepada distribusi bergerombol. Scylla serrata dijumpai melimpah pada daerah belakang dan semakin menurun pada daerah tepi pantai. Scylla oceanica ditemukan melimpah pada daerah depan hutan dan semakin sedikit pada daerah belakang hutan mangrove. Hasil pengukuran juga mendapatkan bahwa kepiting bakau berjenis kelamin betina dijumpai melimpah pada tiap stasiun baik S.serrata
maupun S.oceanica.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas yang terdapat di sepanjang
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang air laut. Mangrove
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar.
Biasanya tempat yang tidak ada muara sungainya hutan mangrove sedikit, namun
pada tempat yang mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran sungainya
banyak mengandung lumpur dan pasir, mangrove biasanya tumbuh meluas.
Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus
pasang-surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya
pengendapan lumpur dan pasir yang merupakan substrat yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan mangrove (Odum, 1996).
Mangrove merupakan kawasan pesisir yang berguna dan produktif, tetapi
hanya sekitar 7% dari daunnya dimakan oleh herbivora. Kebanyakan
produktifitasnya masuk ke dalam sistem energi sebagai bahan pelapukan organik
yang mati. Daun dan serasah akan berguguran sepanjang tahun, kemudian
dihancurkan oleh benthos dan mikroorganisme menjadi bagian-bagian kecil yang
merupakan bahan pelapukan yang kaya bahan organik. Selanjutnya bahan
pelapukan ini menjadi sumber makanan bagi kepiting, ikan , kerang, dan
invertebtara lainnya (Fitriyani, 2005).
Kawasan hutan mangrove merupakan komponen potensial dari wilayah
pesisir Indonesia terutama di bidang perikanan yang bila dikelola secara baik
komoditas ekspor yang bernilai ekonomis tinggi dan mendiami ekosistem hutan
mangrove adalah kepiting bakau (Scylla spp.) yang dikenal juga dengan nama
kepiting lumpur (mud crab). Hewan ini merupakan penghuni tetap kawasan hutan
mangrove sehingga dalam menjalani hidupnya sangat bergantung pada kondisi
hutan mangrove tersebut (Moosa et al. (1985) dalam
Kawasan Serapuh yang terletak di dua desa yaitu desa Pulau Banyak dan
desa Kuala Serapuh di kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat merupakan
kawasan sungai yang daerah kiri kanannya ditumbuhi komunitas mangrove. Pada
sepanjang sungai ini kepiting bakau hidup dan berkembang biak, akan tetapi
kawasan tersebut saat ini telah banyak terjadi konversi lahan dari hutan mangrove
menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambakan. Hal ini diduga
mengakibatkan penurunan populasi kepiting bakau yang keberlangsungan
hidupnya tergantung pada hutan mangrove. Dampak jangka panjang dari konversi
secara ekologis adalah terganggunya keseimbangan ekosistem mangrove secara
khusus dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu dampak lain yang ditimbulkan
kerusakan kawasan hutan mangrove ini adalah penurunan tingkat kesuburan
tanah, keberlangsungan makhluk hidup lain dan lain-lain. Penurunan kualitas dan
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengukur keanekaragaman dan kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) pada
berbagai kondisi tegakan hutan mangrove.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran kepiting
bakau (Scylla spp.) di hutan mangrove yang terdapat pada Sungai Serapuh.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan dalam
pembangunan hutan mangrove di sepanjang Sungai Serapuh Kecamatan
Tanjung Pura Kabupaten Langkat.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat lokal mengenai fungsi kepiting
bakau (Scylla spp.) dalam menjaga kualitas dan kuantitas kawasan hutan
mangrove.
Hipotesis Penelitian
Keanekaragaman dan kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.)
dipengaruhi oleh struktur komunitas mangrove serta karakteristik biofisiknya.
Pendekatan Masalah
Hutan mangrove yang terdapat di kawasan Sungai Serapuh merupakan tempat
Untuk mengetahui parameter yang menunjang kehidupan kepiting bakau
diperlukan pendekatan sebagai berikut:
1. Menetapkan kepiting bakau berdasarkan karakteristik biofisiknya.
2. Diamati jenis-jenis mangrove pada setipa habitat serta parameter yantg
berperan seperti parameter kualitas air dan substrat serta ketersediaan
makanan alami.
3. Dihitung jumlah kepiting bakau berdasarkan jenis, ukuran, dan kerapatan
nisbah jenis kelamin per jenis kemudian dianaliasis kelimpahan dan
distribusinya.
4. Dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan parameter yang berperan
terhadap kelimpahan dan keanekaragaman kepiting bakau (Scylla spp.)
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.)
Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting
bakau sebagai berikut;
Filum: Arthropoda
Sub Filum: Mandibulata
Kelas: Crustacea
Ordo: Decapoda
Sub Ordo: Pleocyemata
Famili: Portunidae
Genus: Scylla
Spesies: Scylla spp.
Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut:
karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah
duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat
enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna
kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu
kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya
Menurut Moosa et al. (1985) dalam Mulya (2002) mendeskripsikan
kepiting bakau sebagai berikut: karapas pipih dan agak cembung berbentuk
heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang,
karapas umumnya berukuran lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang
tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi anterolateral bergigi lima sampai
sembilan buah. Dahi lebar, terpisah dengan jelas dari sudut supra orbital, bergigi
dua samapi enam buah, sungut kecil terletak melintang atau menyerong. Pasangan
kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua ruas terakhirnya.
Perbedaan kepiting jantan dan betina terletak pada ruas abdomennya. Ruas
abdomen kepiting jantan berbentuk seperti segitiga sedang pada betina berbentuk
sedikit membulat dan lebih melebar (Gambar 1).
A B
Gambar 1. Kepiting Bakau Betina (A) dan Kepiting Bakau Jantan (B)
Habitat dan Daur Hidup
Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase yaitu
fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Selanjutnya Moosa et.al.
(1985) dalam Mulya (2002) menyatakan perkembangan Scylla spp. mulai dari
perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut antara lain tingkat zoea, tingkat
megalopa, tingkat kepiting muda dan tingakat kepiting dewasa, pada tingkat zoe
membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya berganti kulit menjadi megalopa yang
bentuk tunuhnya sudah mirip kepiting dewasa. Dari tingkat megalopa ke tingkat
kepiting muda membutuhkan waktu 11-12 hari.
Perairan di sekitar mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting
bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di
alam biasanya kepiting bakau yang besar akan memakan kepiting bakau yang
kecil, waktu makan kepiting bakau tidak beraturan tetapi malam hari lebih aktif
dibanding siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan
nocturnal yang aktif makan di malam hari
(Queensland Departement of Primary Industries, 1989).
Preferensi Kepiting Bakau terhadap Parameter Fisik-Kimia Air dan
Substrat
Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati
habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pada daur hidupnya. Untuk
mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau maka perlu diketahui parameter
fisik-kimia air dimana organisme ini berada.
Salinitas
Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau
terutama molting. Kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau
kondisi perariran yang bersalinitas redndah. Sebaliknya kepiting dewasa kawin
dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15‰ - 20‰
dan selanjutnya akan beruaya ke laut untuk memijah (Kasry, 1996).
Suhu
Suhu air mempengaruhi pertumbuhan (molting), aktifitas dan nafsu
makan kepiting bakau . Suhu air yang lebih rendah dari 20◦C dapat
mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis
(Queensland Departement of Primary Industries, 1989). Wahyuni dan Sunaryo
(1981) melaporkan di perairan Muara Dua, Segara Anakan kepiting bakau
didapatkan pada kisaran suhu 28◦C-36◦C.
Derajat Keasaman (pH)
Kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada
daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,50. Pendapat ini didukung oleh
Walsh (1967) dalam
Kedalaman Air dan Pasang Surut
La Sara (1994) yang menyatakan bahwa kepiting bakau
dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0, sedang Toro (1987) mendapatkan kepiting
bakau pada pH 6,16 – 7,50.
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat
terjadi perkawinan, namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada
perairan yang dangkal Mulya (2002). Wahyuni dan Ismail (1987) mendapatkan
kepiting bakau pada kedalaman 30-79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan
Kepiting bakau akan terlihat menuju ke perairan dangkal pada waktu
siang hari. Kepiting bakau tahap juvenile (first crab) mengikuti pasang tertinggi di
zona intertidal untuk mencari makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada
saat surut (Hutching dan Sesanger, 1987).
Substrat Dasar Perairan
Tekstur substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri dari lumpur
dan liat. Hal ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur dan liat mengendap
dengan cepat karena air disekitarnya relative tenang dan terlindungi. Substrat di
sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau terutama
dalam melangsungkan perkawinan, selanjutnya secara bertahap betina akan
beruaya menuju laut untuk memijah sedangkan yang jantan akan tetap tinggal di
perairan (Clough et.al. 1986.) Pagcatipunan (1972) menyatakan dalam
melangsungkan perkawinan, kepiting bakau terlebih dulu akan melepaskan
karapasnya (molting) dan sebelum molting kepiting tersebut akan masuk ke dalam
lubang yang mempunyai substrat lunak hingga karapasnya kembali mengeras.
Pengertian Ekosistem Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh
pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di
sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang
di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1992). Ekosistem hutan mangrove
bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena
habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya
termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai
kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation
yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk
kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan
(Kusmana, 2008).
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik
dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial
Karakteristik mangrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap
lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam
keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem
perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus
Rhizopora, akar napas (pneumatophores) pada genus Avicennia dan Sonneratia;
akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera, dan akan papan (plank roots) yang
dijumpai pada genus Xylocarpus (Arief, 2001).
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan,
mempunyai peranan fungsi multi guna baik jasa biologis, ekologis maupun
ekonomis. Peranan fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan
penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan, serta mampu menahan sampah
yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui system perakarannya.
Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan
gelombang, memperlambat arus pasang surut, menahan serta menjebak besaran
Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi
kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota
darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya
juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding dengan
tetumbuhan darat. Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan
tempat pemijahan, asuhan dan mencari makan bagi kehidupan berbagai jenis biota
perairan laut, wahana berbagai jenis satwa liar, seperti unggas (burung), reptil dan
mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasma nutfah
(Gunarto, 2004).
Vegetasi Hutan mangrove
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang
menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan
membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur
komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus
(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan
mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya
adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,
Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu
membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan
Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon,
Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,
Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.
Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove
tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan
mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya
bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi
oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan
Xylocarpus spp.
• Zona tanjang didominasi oleh Bruguiera spp. Terletak di belakang zona
bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan . keadaan berlumpur agak
keras, dan agak jauh dari garis pantai.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi
adalah :1)Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air
(water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat
langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase 3)
Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar
garam 4) Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species
intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia (Setyawan, 2002).
Hubungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Hutan Mangrove
Kepiting bakau (Scylla spp.) adalah salah satu biota perairan yang
bernilai ekonomis penting dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan
hutan mangrove. Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar tunjangnya
yang saling membelit dan padat serta cabangnya yang memanjang ke bawah
menjadikannya sebagai habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Hutan
mangrove juga dapat berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground),
pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) bagi
kepiting bakau terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alami yang
melimpah pada ekosistem tersebut (Mulya,2002). Keberadaan kepiting bakau juga
sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik-kimia air dan substrat ekosistem hutan
mangrovenya antara lain: salinitas air, salinitas substrat, pH air, pH substrat, suhu
air, kedalaman air, dan teksturr substrat dasar perairan. Faktor- faktor tersebut
dapat berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi kepiting bakau yang
terdapat di ekosistem hutan mangrove (Canicci, 2008). Hutan mangrove juga
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada hutan mangrove di kawasan Sungai Serapuh,
Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Identifikasi kepiting dan
makrozoobenthos dilakukan di Laboratorium Pengendalian Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Biologi. Analisis kimia substrat dilakukan di Laboratorium
Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian
dilakukan selama dua bulan mulai dari bulan Februari-Maret 2010.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tangkap (bubu),
tongkat berskala, sieve set, sieve shaker, petak pengamatan, pipa paralon, hand
refractometer, timbangan, oven, thermometer air raksa, buku identifikasi
makrozobenthos dan mangrove, botol sampel, ember plastik, kantong plastik,
kertas saring, kertas label, meteran, karet gelang, kertas tissue, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan mangrove,
kepiting bakau (Scylla spp), makrozobenthos, contoh air dan substrat, contoh
serasah, alkohol 70% dan formalin 4%.
Metode Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun penelitian ditentukan di kawasan ekosistem hutan mangrove di
berdasarkan pengamatan di lapangan tentang komunitas dan sebaran kepiting
bakau (Scylla spp.). Dengan demikain ditetapkan tujuh stasiun dimana tiap stasiun
mempunyai sub stasiun yaitu kiri kanan sungai.
Tabel 1. Stasiun berdasarkan komunitas vegetasi kawasan sungai Serapuh
Stasiun Sub Stasiun Deskripsi
I 1A
1B
Di sebelah kiri sungai yang didominir Avicenniamarrina
Di pemukiman penduduk desa kwala Serapuh
II 2A
2B
Di sebelah kiri sungai yang didominir A.marrina
Di sebelah kanan sungai Serapuh berupa komunitas A. marrina dan Nypafruticans
III 3A
3B
Di sebelah kiri sungai yang didominir Sonneratia casiolaris
Di sebelah kanan sungai berupa komunitas A.marrina dan N. fruticans
IV 4A
4B
Di sebelah kiri sungai yang didominir N.fruticans yang masihalami
Di sebelah kanan sungai berupa komunitas S.casiolaris dan N.fruticans
V 5A
5B
Di sebelah kiri sungai yang didominir N.fruticans yang masih alami
Di sebelah kanan sungai yaitu perkebunan kelapa sawit
VI 6A
6B
Di sebelah kiri sungai yang didominir N.fruticans yang masih alami
Di sebelah kanan sungai yaitu, daerah pertambakan
VII 7A
7B
Di sebelah kiri sungai yaitu lahan kosong dalam proses konversi ke perkebunan kelapa sawit
Di sebelah kanan sungai yang ditumbuhi N.fruticans yang masih alami
1 B 1 A
Gambar 3. Titik stasiun Penelitian(Skala 1 : 50 000)
Sumber : (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, 2010)
Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya
Pengumpulan data mencakup parameter yang diukur dan satuannya,
alat/metode pengukuran, tempat pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter Biofisik yang Diukur serta Alat dan Metode yang Digunakan
No. Parameter Satuan Alat/Metode
Pengukuran
Tempat Pengukuran 1. Kelimpahan Kepiting
2. Parameter Fisik-Kimia
4. Salinitas air dan Salinitas pipa paralon, sieve shaker
3. Vegetasi mangrove (pohon dan belta)
4. Analisis makanan alami kepiting bakau (Scylla
Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Contoh kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan bubu yang
ditempakan secara acak pada tiap sub stasiun (20mx20m) dengan 3 kali
pengulangan. Pada tiap stasiun ditempatkan 5 buah bubu , posisi bubu pada tiap
pengulangan selalu berubah sehingga diharapkan menempati seluruh petak
pengamatan. Selanjutnya kepiting bakau yang didapat diidentifikasi, dihitung
jumlah individu per jenis, diukur lebar karapasnya serta nisbah jenis kelamin per
jenis.
Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat
Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secar in-situ
(di lapangan), sedang untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil
sampel substrat pada tiap sub stasiun pengamatan, dikering anginkan lalu dibawa
ke laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
untuk dianalisa berdasarkan persaentase ukuran butiran. Pengukuran dilakukan
sesuai dengan penempatan bubu. Parameter Fisik – Kimia:
1. Suhu Air
Pengukuran suhu udara di kawasan Sungai Serapuh hutan mangrove ini
menggunakan Hydro meter. Setiap stasiun diukur suhu airnya.
2. pH Air
Pengukuran pH air pada setiap stasiun menggunakan pH meter. Pada
3. Salinitas Air
Pengukuran salinitas air menggunakan alat hand refractometer.
4. Kedalaman Air
Pengukuran kedalaman air dengan menggunakan tongkat berskala.
5. pH Substrat dan Salinitas Substrat
Pengukuran pH substrat dan salinitas substrat dilakukan di laboratorium.
Pengambilan substrat menggunakan pipa paralon.
Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove
Pengukuran kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan membuat petak
pengamatan berukuran 10mx10m untuk kategori pohon (diameter > 10cm) pada
tiap sub stasiun pengamatan, selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah
individu per jenisnya. Hal yang sama dilakukan pada kategori anakan (diameter
2-10 cm) dengan membuat petak pengamatan berukuran 5mx5m di dalam petak
pengamatan 10mx 10m tersebut.
Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobenthos
Pengambilan contoh serasah bersamaan dengan pengambilan contoh
makrozoobenthos pada tiap sub stasiun. Contoh serasah diambil dengan
menggunakan paralon berdiameter 10 cm sedang untuk makrozoobenthos dengan
menggunakan aeckmamn grab . Kedua contoh tersebut diambil di dalam petak
pengamatan 1m x 1m sebanyak 3 ulangan samapi kedalaman 20 cm. contoh
oven lalu ditimbang, sedang untuk makrozoobenthos disaring dengan
menggunakan sieve set berdiameter > 0,5 mm, diawetkan dengan formalin 4%
(Sasekumar, 1984) lalu diidentifikasi.
Analisa Data
Kelimpahan kepiting Bakau serta Pola Distribusi, Kelimpahan Makrozoobenthos serta Kerapatan Jenis Mangrove
Kelimpahan kepiting bakau, dan makrozoobenthos dapat diukur dengan menggunakan rumus:
N= A
ni
∑
Dengan N = Kelimpahan kepiting bakau jenis ke-i, dan makrozoobenthos jenis i
∑ni= Jumlah individu jenis ke i
A = Luas daerah pengambilan contoh
Selanjutnya dilakukan analisis pola distribusi kelimpahan kepiting bakau
dengan rumus Indeks Penyebaran Morisita sebagai berikut:
Id=
N = Jumlah total individu dalam total plot
∑x2
= Kuadrat jumlah individu perplot untuk total n plot
Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut: Jika Id = 1.0 (distribusi acak)
Id = 0 (disribusi normal)
Kerapatan jenis mangrove diukur dengan menggunakan rumus:
Ki Α =
∑
niDengan Ki = Kerapatan mangrove jenis ke i
∑ni = Jumlah jumlah individu jenis ke i
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Fisik – Kimia dan Substrat
Hasil pengukuran terhadap parameter fisik-kimia air dan substrat yang mencakup suhu air, pH air, salinitas air, kedalaman air, pH substrat, salinitas substrat dan fraksi substrat dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat
Stas
Keterangan : Sal air = Salinisitas Air pH Sub = pH Substrat
Ked Air =Kedalaman Air Sal Sub = Salinitas Substrat Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa rata-rata suhu air pada tiap
stasiun adalah berkisar antara 28,00◦C – 29,30◦C (Tabel 3). Suhu air tertinggi
dijumpai pada stasiun V sebesar 29,30◦C sedang suhu terendah dijumpai pada
stasiun III, VI dan VII yaitu 28,00◦C. Dilihat secara keseluruhan suhu udara
tersebut masih dalam batas toleransi untuk mendukung kehidupan dan
yang menyatakan kepiting bakau dapat dijumpai pada kisaran suhu 13,00◦C –
40,00◦C.
Hasil pengukuran pH yang telah dilakukan selama penelitian mendapatkan
nilai pH air dan pH substrat pada tiap stasiun di sepanjang Sungai Serapuh yang
ditumbuhi hutan mangrove. pH air pada hutan mangrove sepanjang Sungai
Serapuh berkisar antara 6,80-7,00 sedang pH substrat berkisar antara 4,90-5,90.
pH air tertinggi ditemukan pada stasiun I, II, IV, V, dan VII sebesar 7,00 sedang
pH air terendah ditemukan pada stasiun VI sebesar 6,80 . pH substrat tertinggi
dijumpai pada stasiun V sebesar 5,90 dan terndah ditemukan pada stasiun VI
sebesar 4,90. Toro (1987) dalam Tupan (2005) menyatakan kepiting bakau dapat
hidup pada kisaran pH air 6,16 -7,50.
Salinitas air dan salinitas substrat pada kawasan hutan mangrove Sungai
Serapuh bervariasi. Salinitas air berkisar antara 15,00 ‰- 22,30‰. Salinitas air
tertinggi dijumpai pada stasiun I sebesar 22,30‰ dan salisitas air terendah
dijumpai pada stasiun VI sebesar 15,00‰. Salinisitas substrat berkisar antara
18,50‰ – 19,50‰. Salinisitas tertinggi dijumpai pada stasiun VII sebesar
19,50‰ dan salinisitas terndah ditemukan pada stasiun I sebesar 18,50‰.
(Tabel 3). Keberagaman salinisitas ini disebabkan adanya sumber-sumber air
tawar yang terdapat pada lokasi penelitian seperti aliran sungai ketika terjadi
pasang ataupun surut air laut. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau dapat hidup
pada kisaran salinitas lebih kecil dari 15‰ dan lebih besar dari 30‰.
Hasil pengukuran kedalaman air yang dilakukan pada saat penangkapan
(Tabel 3). Kedalaman air tertinggi ditemukan pada stasiun V sebesar 42,50 cm
dan terendah pada stasiun I sebesar 13,10 cm. Wahyuni dan Ismail (1987) dalam
Fraksi substrat berupa lumpur terlihat hampir di seluruh stasiun diikuti
oleh liat dan kemudian pasir. Moosa et.al. (1985)
Tupan (2005) mendapatkan kepiting bakau pada kedalaman 32 -125 cm di muara
sungai dan pada kedalaman 30 -79 cm di perairan dekat mangrove.
dalam
Parameter Biologi
Mulya (2002)
menyatakan habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal, dekat hutan
mangrove yang bersubstrat lumpur.
Hasil pengukuran terhadap parameter biologi mencakup kelimpahan
kepiting bakau berdasarkan jenis maupun ukurannya, kelimpahan
makrozoobenthos, bobot serasah dan kerapatan jenis mangrove. Hasil kelimpahan
kepiting bakau merah berdasarkan jenis kelamin pada tiap stasiun dapat dilihat
pada Gambar 4.
Pada Gambar 4. dapat dilhat bahwa S.serrata jenis kelamin jantan tertinggi
dijumpai pada stasiun VII sebesar 208,33 ind/ha, sedang yang terendah dijumpai
pda stasiun IV sebesar 66,67 ind/ha. S.serrata yang berjenis kelamin betina yang
tertinggi dijumpai pada stasiun VII sebesar 241.67 ind/ha dan yang terendah
dijumpai pada stasiun II sebesar 83,33 ind/ha.
Hasil kelimpahan kepiting bakau hijau berdasarkan jenis kelamin pada
tiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kelimpahan Kepiting Bakau Hijau (Scyllaoceanica) Berdasarkan Jenis pada Tiap Stasiun.
Pada Gambar 5. Dapat dilihat bahwa S.oceanica jenis kelamin jantan
tertinggi ditemukan pada stasiun II sebesar 208,33 ind/ha dan yang terendah
ditemukan pada stasiun VI sebesar 41,67 ind/ha. S.oceanica jenis kelamin betina
yang tertinggi ditemukan pada stasiun I sebesar 158,33 ind/ha, sedang yang
Hasil kelimpahan distribusi kepiting bakau berdasarkan kelas ukuran pada
stasiun I sampai IVdapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kelimpahan Kepiting Bakau Berdasarkan Kelas Ukuran per Jenis pada Tiap Stasiun.
Kelimpahan distribusi kepiting bakau merah sesuai dengan kelas ukuran
dapat dilihat pada Gambar 5. Ukuran 9-12 cm paling banyak dijumpai di setiap
stasiun. Ukuran < 9 cm banyak di jumpai pada stasiun I yaitu sebesar 40 ind/ha,
ukuran 9 – 12 cm banyak dijumpai di stasiun VII sebesar 906,25 ind/ha, dan
ukuran >12 cm dijumpai pada stasiun VI sebesar 106,25 ind/ha. Kelimpahan
kepiting bakau hijau berdasarkan kelas ukuran lebih sedikit daripada kepiting
bakau merah. Ukuran < 9 cm terbesar dijumpai pada stasiun I sebesar
146,25 ind/ha, ukuran 9 – 12 cm terbesar dijumpai pada stasiun I sebesar
276,25 ind/ha, dan ukuran 12 cm yang terbesar dijumpai pada stasiun I dan II
Hasil kelimpahan makrozoobenthos pada tiap stasiun penelitian dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. kelimpahan Makrozoobenthos Pada Tiap Stasiun (Ind/m2).
Makrozoobenthos yang ditemukan di stasiun penelitian I sampai VII ada
7 jenis,yaitu Littorina, Holiotis, Telescopium, C.carnifer, Balanus, Perinereis dan
Neritidae. Makrozoobenthos yang ditemukan di setiap stasiun adalah Littorina
dan yang paling sedikit ditemukan adalah Perinereis yang ditemukan hanya pada
stasiun I dan II. C.carnifer yang terbanyak ditemukan pada stasiun VII sebesar
5 ind/ha. Tingginya kelimpahan makrozoobenthos mungkin berkaitan erat dengan
kelimpahan serasah yang terdapat pada daerah tersebut. Rangan dalam Siahanenia
(2000) menyatakan beberapa makrozoobenthos terutama kelas gastropoda banyak
hidup dan dijumpai pada daerah yang bersubstrat lumpur dan memakan serasah
Bobot serasah yang didapat di setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Bobot Serasah pada Tiap Stasiun.
Bobot serasah yang didapat pada setiap stasiun penelitian berbeda. Bobot
serasah tertinggi ditemukan pada stasiun I sebesar 73,70 gr/m2, sedang bobot
serasah terendah ditemukan pada stasiu VII sebesar 39,86 gr/m2.
Hasil kerapatan jenis mangrove pada tingkat pohon dapat dilihat pada
Tabel 4. Kerapatan pohon tertinggi ditemui pada stasiun pada stasiun III sebesar
1200 ind/ha – 1500 ind/ha, sedang kerapatan terendah adalah stasiun V sebesar
100 ind/ha – 900 ind/ha. Avicennia marina mempunyai kerapatan paling tinggi
dibanding dengan jenis lainnya. Selain mempunyai kandungan lumpur yang tinggi
juga dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan laut. Nybakken (1992)
menyatakan daerah yang berdekatan dengan laut sebagian besar didominasi oleh
Tabel 4. Kerapatan Jenis Mangrove pada Tingkat Pohon (Ind/Ha).
Stasiun Jenis Jumlah Individu K (Iind/ha)
IA Avicennia marrina 12 1200
IB Avicennia marrina 14 1400
IIA Avicennia marrina 8 800
IIB Avicennia marrina 14 1400
IIIA Avicennia alba 15 1500
IIIB Sonneratia caseolaris 12 1200
IVA Sonneratia caseolaris 11 1100
IVB Bruguiera gymnorhiza 8 800
VA Dolichandrone sphantaceae 1 100
Sonneratia caseolaris 9 900
VB Dolichandrone sphantaceae 1 100
Sonneratia caseolaris 1 100
VIA Terminalia catappa 1 100
Luminetzera littorea 1 100
VIB Sonneratia caseolaris 5 500
VIIA Terminalia catappa 1 100
Sonneratia caseolaris 2 200
Excoecaria agalocha 3 300
VIIB Sonneratia caseolaris 3 300
Hasil kerapatan jenis mangrove pada tingkat pancang berkisar antara 400
ind/ha- 5600 ind/ha. Kerapatan terbesar dijumpai pada stasiun I sebesar 4800
ind/ha- 5200 ind/ha yang didominasi A.marrina. Sama dengan pohon, pancang
kerapatan paling tinggi ditemukan pada stasiun I yang letaknya di tepi laut.
Kerapatan terendah dijumpai pada stasiun VI sebesar 400 ind/ha yang didominasi
tanaman Luminetzera littorea. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kerapatan Jenis Mangrove pada Tingkat Pancang (Ind/ha).
Stasiun Jenis
Jumlah
Individu K elimpahan (Ind/ha)
IA Avicennia marrina 12 4800
IB Avicennia marrina 13 5200
IIA Avicennia marrina 7 2800
IIB Avicennia marrina 13 5200
IIIB Sonneratia caseolaris 10 4000
IVA Sonneratia caseolaris 14 5600
IVB Bruguiera gymnorhiza 9 3600
VA Dolichandrone sphantaceae 1 400
Sonneratia caseolaris 5 2000
VB Sonneratia caseolaris 1 400
VIA Luminetzera littorea 1 400
VIB - -
VIIA Sonneratia caseolaris 2 800
VIIB - -
Hasil analisis vegetasi pada tingkat semai dapat dilhat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kerapatan Jenis Mangrove pada Tingkat Semai (Ind/ha).
Stasiun Jenis Kelimpahan (Ind/ha)
IA Avicennia marrina 170000
IB Avicennia marrina 190000
IIA Avicennia marrina 100000
IIB Avicennia marrina 300000
IIIA Avicennia alba 150000
IIIB Sonneratia caseolaris 180000
IVA Sonneratia caseolaris 140000
IVB Bruguiera gymnorhiza 20000
Nypa fruticans 60000
VA Nypa fruticans 150000
Acanthus ilifolius 90000
VB Nypa fruticans 200000
VIA Nypa fruticans 120000
Acanthus ilifolius 30000
Acrosticum aureum 30000
VIB Nypa fruticans 200000
VIIA Nypa fruticans 130000
Acrosticum aureum 80000
VIIB Sonneratia caseolaris 170000
Nypa fruticans 140000
Kerapatan jenis mangrove pada tingkat semai dalam Tabel 6. Yang
terbesar dijumpai pda stasiun IIB. Dalam tingkat semai ditemukan 7 jenis vegetasi
yaitu A. marina, A.alba, S. caseolaris, B. gimnorhyza, N. fruiticans, A. ilifolius
Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan dijumpai dua jenis
kepiting bakau yaitu kepiting bakau merah (Scylla serrata) dan kepiting bakau
hijau (Scylla oceanica) (Gambar 9).
A B
Gambar 9. (A) Scylla serrata, (B) Scylla oceanica.
Kedua jenis kepiting ini dijumpai pada semua stasiun penelitian,
Keadaan titik stasiun ternyata tidak terlalu mempengaruhi kelimpahan kepiting
bakau. S. serrata banyak dijumpai di stasiun I yang didominasi oleh tumbuhan
Avicennia marina dan kawasan yang dekat dengan pemukiman penduduk. Ukuran
karapas terbesar dari S. serrata adalah 16,50 cm dijumpai pada stasiun VI yang
didominasi oleh tumbuhan Nypa fruticans yang masih alami. Ukuran karapas
S. oceanica terpanjang 18,00 cm dijumpai pada stasiun IV yang merupakan
komunitas S.casiolaris dan N. fruticans. Menurut Hutcing dan Sasenger (1987)
kepiting bakau banyak dijumpai dan hidup di sekitar hutan mangrove dan
memakan akar-akarnya (pneumatophore), mangrove sangat cocok bagi kehidupan
kepiting bakau dikarenakan sumber makananya seperti benthos dan serasah
Kelimpahan kepiting bakau yang dijumpai sangat bervariasi berkisar
antara 62,50 ind/ha – 225,00 ind/ha. Kelimpahan S. serrata tertinggi dijumpai
pada stasiun VII yang didominasi oleh Nipa fruiticans yang masih alami serta
lahan yang baru dikonversi menjadi lahan kelapa sawit adalah sebesar
225,00 ind/ha, sedangkan kelimpahan terendah dijumpai pada stasiun IV yang
didominasi N.fruiticans dan S.caseolaris adalah sebesar 108,00 ind/ha.
Kelimpahan S. oceanica tertinggi di jumpai pada stasiun I yang didominasi oleh
A.marrina sebesar 216,00 ind/ha. Kelimpahan S.oceanica terendah dijumpai pada
stasiun VII yang didominasi oleh N.fruiticans dan lahan yg baru dikonversi
menjadi lahan perkebunan sawit sebesar 62,50 ind/ha (Gambar 2). Tingginya
kelimpahan dipengaruhi oleh kerapatan jenis mangrove, bobot serasah dan juga
makrozoobenthosnya pada tiap stasiun. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Siahainenia (2008) pada penelitiannya di Kabupaten Subang yang menemukan
bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah umumnya dijumpai pada zona
belakang hutan yang memiliki tingkat kerapatan vegetasi mangrove rendah, serta
berada di sekitar areal pemukiman penduduk atau mendapat tekanan akibat
tingginya aktifitas masyarakat
Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa kepiting dapat berkembang biak
pada vegetasi A.marrina yang letaknya dekat dengan tepi laut dan juga pada
komunitas N.fruiticans yang masih alami yang berada di sekitar aliran sungai.
Menurut Kasry (1996) kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan
hutan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan
telurnya yang betina akan beruaya ke laut dan berusaha mencari perairan yang
Dilihat dari distribusinya, kepiting bakau jenis S. serrata melimpah dan
menyebar pada daerah yang ditumbuhi oleh N.fruiticans yang masih alami dan
lahan yang baru dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini
menggambarkan kepiting bakau jenis ini mempunyai toleransi yang besar
terhadap perubahan lingkungan seperti salinitas, sedang S.oceanica banyak
ditemukan pada daerah tepi laut yang ditumbuhi A.marrina.
Pola distribusi kepiting bakau berdasrkan jenis dan kelas ukurannya
menurut Indeks Morisita dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Indeks Distribusi Kepiting Bakau Berdasarkan Jenis dan Kelas Ukuran
Scylla serrata Scylla oceanica
1.02 1.10
< 9 cm 9 – 12 cm >12 cm < 9 cm 9 – 12 cm >12 cm
0,85 1,13 1,08 1,26 1,23 0,82
Indeks distribusi di atas memperlihatkan bahwa pola distribusi kepiting
bakau berdasarkan jenis dan ukuran per jenis pada lokasi penelitian dapat
digolongkan dalam pola distribusi bergerombol (Id=n). Odum (1996) menyatakan
pola distribusi bergerombol merupakan pola yang paling umum dijumpai di alam.
Hal ini dikarenakan kepiting bakau dalam menjalani hidupnya cenderung mencari
tempat yang lebih sesuai untuk mendukung keberadaannya sehingga berpengaruh
Kelimpahan Makrozoobenthos
Hasil penelitian didapat 7 jenis makrozoobenthos yang terdiri atas
littorina, Holiotis sp, Telescopium, C.carnifer, Balanus, Neritidae dan Perinereis
(Gambar 6). Stasiun I yang ditumbuhi A.marrina dan merupakan tepi laut
sehingga ketujuh jenis makrozoobenthos ditemukan di tempat ini, besar
kelimpahannya 2,99 ind/ha. Hal ini sesuai dengan pernyataan Onrizal et al.,
(2009), menyatakan bahwa pada tegakan A. marrina yang memiliki kerapatan
rendah, memiliki kelimpahan makrozoobenthos yang tinggi terutama dari kelas
gastropoda. Dan apabila semakin tinggi kandungan pasir maka kandungan
makrozoobenthos akan meningkat. Dimana pasir dibutuhkan dalam kehidupan
makrozoobenthos ketika masuk ke dalam substrat
(Arief 2003, dalam
Sedang stasiun yang kelimpahan makrozoobenthosnya terendah adalah
stasiun V dan VI sebesar 1.81 ind/ha yang merupakan perpaduan N.fruiticans,
perkebunan kelapa sawit dan daerah pertambakan. Rangan (1996) Onrizal et al., 2009).
dalam
Telescopium, C.carnifer, Neritidae,Littorina merupakan makrozoobenthos
yang dijumpai di setiap stasiun penelitian. Holiotis sp dijumpai di stasiun,
Balanus di 5 stasiun dan yang terendah Perinereis di 2 stasiun. C.carnifex paling
Siahanenia (2000) menyatakan beberapa jenis makrozoobenthos terutama kelas
gastropoda banyak hidup dan dijumpai pada daerah yang bersubstrat lumpur dan
memakan serasah yang banyak terdapat di permukaan. Hal ini secara tidak
langsung menyebabkan kelimpahan kepiting bakau yang dijumpai pada daerah ini
banyak dijumpai, hal ini disebabkan hewan yang menyerupai kepiting ini dapat
hiudp di tanah yang berlumpur basah ataupun kering. Jati (2003) dalam
Bobot Serasah
Toirinse
(2009) menyatakan keadaan substrat merupakan faktor yang sangat menentukan
komposisi hewan bentos dalam suatu kawasan. Struktur substrat dasar akan
menentukan kemelimpahan dan komposisi jenis hewan makrozoobenthos.
Kelompok makrozoobenthos yang dominan di perairan bersubstrat lumpur adalah
Crustaceae.
Didapat hasil pengukuran selama penelitian bobot serasah berkisar antara
30,57 – 61,13 gr/m2. Bobot serasah tertinggi dijumpai di Stasiun II yang
ditumbuhi tanaman A.marrina dan terletak di tepi laut, bobot serasahnya sebesar
61,13 gr/m2. Untuk bobot serasah terendah dijumpai pada stasiun VII yang
didominasi tanaman N.fruitcans dan areal yang sedang dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit, besar bobot serasahnya 30,57 gr/m2. Stasiun I
merupakan tepi laut dan ditumbuhi tanaman A.marrina yang kerapatan jenisnya
lebih tinggi sehingga berbanding lurus dengan nilai bobot serasah. Halidah (2000)
dalam M. Siarudin (2008) menyatakan perbedaan produksi serasah mangrove
dapat juga dipengaruhi usia tanamannya. Produksi serasah daun setiapa jenis
mangrove berbeda, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang
saling berkaitan. Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya
beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi yaitu produktivitas, kesuburan
Kerapatan Jenis Mangrove
Hasil kerapatan jenis mangrove pada tingkat pohon berkisar antara
100 ind/ha - 1500 ind/ha. Kerapatan jenis mangrove pada tingkat pohon
memperlihatkan bahwa stasiun I, II, III dan IV (daerah yang ditumbuhi tanaman
A.marrina, A. alba, S. caseolaris dan B. gymnorhiza) mempunyai kerapatan
mangrove yang lebih tinggi. Kerapatan terbesar ditemukan pada stasiun III
sebesar 1200 ind/ha – 1500 ind/ha, sedang kerapatan terendah adalah stasiun V
sebesar 100 ind/ha – 900 ind/ha, areal ini ditemui Dolichandrone sphantaceae dan
Sonneratia caseolaris.
Hasil kerapatan jenis mangrove pada tingkat pancang berkisar antara
400 ind/ha- 5600 ind/ha. Kerapatan terbesar dijumpai pada stasiun I sebesar 4800
ind/ha- 5200 ind/ha yang didominasi A.marrina. Kerapatan terendah dijumpai
pada stasiun VI sebesar 400 ind/ha yang didominasi tanaman
Luminetzera littorea. Rendahnya kerapatan jenis mangrove pada stasiun VI
disebabkan lahan yang ada telah beralih fungsi menjadi tambak yang luas. Hasil
kerapatan untuk jenis mangrove tingkat semai berkisar antara 20000 ind/m2–
200000 Ind/m2. Jumlah semai di setiap stasiun hampir merata. Jenis semai yang
banyak dijumpai adalah A. marrina, A. alba, S. caseolaris, B. gymnorhiza,
Acanthus ilifolius dan A. aureum.. Nybakken (1992) menyatakan daerah yang
berdekatan dengan laut sebagian besar didominasi oleh tumbuhan mangrove jenis
Avicennia sp. Pernyataan ini sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan
Hubungan antara Kepiting Bakau dengan Karakteristik Biofisik
Hubungan antara kepiting bakau dengan karakteristik biofisik dapat dilihat pada Tabel 7. Bila dilihat secara keseluruhan, terlihat
bahwa distribusi kepiting bakau merata di setiap stasiun.
Tabel 8. Hubungan antara Kepiting Bakau dengan Karakteristik Biofisik
Stasi un
Parameter Biofisik Jenis dan Kelas
Ukuran Kepiting Bakau
Habitat
Fisik Kimia Mangrove Makrozoo
benthos
Serasah
I Suhu air tinggi, pH air dan pH substrat tinggi, salinisitas air
A. marrina Littorina
Holiotis sp
• Di sebelah kiri sungai
yang didominir
A. marrina,
• Di sebelah kanan
II Suhu air rendah, pH
A. marrina Littorina
Holiotis sp
• Di sebelah kiri sungai yang didominir
• Di sebelah kiri sungai yang didominir air dan pH substrat tinggi, salinitas air
• Di sebelah kiri sungai yang didominir
N.fruticans yang
masihalami
• Di sebelah kanan
lumpur rendah, Liat air dan pH substrat tinggi, salinitas air
• Di sebelah kiri sungai yang didominir air dan pH substrat rendah, salinitas air
• Di sebelah kiri sungai yang didominir air dan pH substrat
S. caseolaris Littorina Rendah SSb, SSs, SSk, • Di sebelah kiri sungai
tinggi, salinitas air rendah, salinitas substrat tinggi, kedalaman air tinggi, lumpur tinggi, liat tinggi
N. fruticans
T. catappa
E. agalocha
A. aureum
Holiotis sp
Telescopium
C.carnifer
Neritidae
SOb, SOs,SOk dalam proses konversi ke perkebunan kelapa sawit
• Di sebelah kanan
sungai yang ditumbuhi N.fruticans
yang masih alami Keterangan: SSb: S. serrata besar; SSs: S. serrat sedang; S. serrata kecil
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pola distribusi kedua jenis kepiting bakau (S.serrata dan S.oceanica) yang
ditemukan berdasarkan jenis, ukuran adalah pola distribusi bergerombol.
2. Variasi kelimpahan kepiting bakau di sepanjang Sungai Serapuh adalah 62,50
ind/ha – 225 ind/ha, Kelimpahan makrozoobenthos tertinggi sebesar 2,99
ind/ha dan kerapatan jenis mangrove tertinggi (Pohon) 1200-1400 ind/ha,
(Pancang) 4800 – 5200 ind/ha, dan (Semai) 20.000-200.000 ind/ha , bobot
serasah 30,57- 61,13 gr/m2.
3. Salinitas, suhu, kedalaman air, pH dan fraksi substrat berpengaruh dalam
penyebaran kepiting bakau di kawasan Sungai Serapuh.
Saran
1. Penambahan stasiun penelitian untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi.
2. Pola hidup kepiting bakau yang bergerombol seharusnya mempermudah
masyarakat dalam mengelola hutan mangrove karena apabila dikelola dengan
baik akan menjaga keberlangsungan ekosistem hutan mangrove dan juga
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.
Bengen, D. G. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel Multidimensi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 95p.
Canicci. S, D. Burrows, S.Fratini, T.J. Smith, J. Offenberg, dan F. Dahdough-Guebas et al. 2008. Fauna Impact on Vegetation Structur and Ecosystem Function in Mangrove Forest a Review. Elsevier Aquatic Botany.
Fitriani, Y. R. 2005. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas 72 Vol 7.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Daya Hayati Perikanan Pantai. [ 11 Desember 2010].
Halidah. 2000. Produksi dan Kecepatan Penguraian Serasah Rhizopora spp. Dan B.gimnorrhiza di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan. Makassar, 22 November 2000. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.
Hutching, B and. P. Sesanger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press. St. Lucia, London, New York. 388p.
Jati, W. N. 2003. Studi Komparasi Keanekaragaman Bentos di Waduk Sempor, Waduk kedungombo dan Waduk Gajah Mungkur Jawa Tengah .Fakultas Biologi. Universitas Atmajaya.Yogyakarta. hal 123-127.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhatara, Jakarta. 93p.
Kusmana. C, C. Wibowo, S. Wilarso Budi R, I. Z. Siregar, T. Tiryam, S. Sukardjo. 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia . Korea International Cooperation Agency (KOICA): The Project Rehabilitation Mangrove Forest and Coastal Area Damaged by Tsunami in Aceh. Jakarta.
La Sara. 1994. Hubungan Kelimpahan Kepiting Bakau Scylla serrata dengan Kualitas Habitat di Perairan Segara Anaka n, Cilacap. Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. 75 p.
Moosa, M.K, I. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata
Mulya, M. B. 2002. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla
spp.) di Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis Alih Bahasa Eidman, M., Koesoebiono, D. G. Bengen, M Hutomo, S. Sukardjo. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 459p.
Odum, E.P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Alih Bahasa. Cahyono,S. FMIPA IPB. Gadjah Mada University Press. 625p.
Onrizal, Simarmata, F., dan H. Wahyunigsih. 2009. Keanekaragaman Makrozoobenthos pada Hutan mangrove yang Direhabilitasi di Pantai Timur Sumatera Utara. Jurnal Natur Indonesia. 11(2): April 2009 : 94-103
Pangcatipunan, P. 1972. Observation on the Culture of Alimango, Scylla serrata at Camarines Norte (Philippines), p.362-365. In T.V .R. Pillay, ed. Coastal Aquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (Books). Manilla, Philippines.
Queensland Departement of Primary Industries. 1989. Life Cycle of Mud Crab
(Scylla serrata). QDPI leaflet. QL. 84002. Brisbane. 1p.
Sasekumar, A. 1984. Methods for Study of Mangrove Fauna. S. C. Sneadaker and J. G. Snedaker ed The Mangrove Ecosystem Research Methods. The Causer Press Ltd. United Kingdom.
Setyawan, A. D, A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai Selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256.
Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (S. serrata,
S.oceanica, dan S. tranquebarica, dan Hubungannya dengan
Karakteristik Habitat pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Barat-Maluku. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. 104p. Sulistiono, S. Watanabe and S. Tsuchida. 1992. Biology and Fisheries of Crab in
Segara Anakan Lagoon (Tidak Dipublikasikan). Makalah Hasil Penelitian Bersama antara Fakultas Perikanan IPB dengan Departement of Aquatic Bio Sciences, Tokyo University of Fisheries.
Tomlinson, PB. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. Massachusetts