• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geomorfologi gunungapi guntur (Garut, Jawa Barat) dan analisis aliran lava menggunakan data synthetic aperture radar polarimetri Penuh (fully polarimetry)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Geomorfologi gunungapi guntur (Garut, Jawa Barat) dan analisis aliran lava menggunakan data synthetic aperture radar polarimetri Penuh (fully polarimetry)"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

BARAT) DAN ANALISIS ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN

DATA

SYNTHETIC APERTURE RADAR

POLARIMETRI

PENUH (

FULLY POLARIMETRY

)

LULUK DWI WULAN HANDAYANI A14062537

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

LULUK DWI WULAN HANDAYANI. Geomorfologi Gunungapi Guntur (Garut, Jawa Barat) dan Analisis Aliran Lava Menggunakan Data Synthetic Aperture Radar Polarimetri Penuh (fully polarimetry). Dibawah bimbingan

BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Indonesia merupakan negara yang dilalui oleh jalur gunungapi aktif (Ring of fire) sehingga memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 130 diantaranya termasuk dalam kategori gunungapi aktif. Persebaran gunungapi yang merata hampir diseluruh wilayah merupakan konsekuensi dari tumbukan lempeng tektonik. Letusan gunungapi adalah salah satu gejala alam yang berbahaya bagi makhluk hidup di sekitar gunungapi tersebut, meskipun gunungapi juga banyak memberikan manfaat bagi manusia seperti abu vulkanik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Gunungapi Guntur yang berada di Kabupaten Garut memiliki karakteristik produk aliran lava yang dominan dan jelas terlihat secara visual dibandingkan aliran lava gunungapi lainnya. Oleh karena itu, identifikasi dan pemetaan aliran lava penting dikaji untuk studi geomorfologi dan pemetaan bahaya gunungapi. Hal ini dapat dilakukan melalui analisis geomorfologi dan pemanfaatan teknologi geospasial, yaitu dengan penginderaan jauh optik maupun non optik (radar).

Sejak tahun 1980, data optik telah banyak digunakan untuk pemetaan gunungapi. Namun jenis data ini memiliki keterbatasan informasi dikarenakan adanya penutupan awan. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan data radar yaitu SAR Polarimetri band L sehingga perlu dilakukan penelitian yang mengetengahkan pemanfaatan data SAR polarimetri untuk mengidentifikasi karakteristik hamburan (scattering) aliran lava yang dipadukan dengan analisis geomorfologi pada G. Guntur sehingga dapat dilakukan pencirian (signature) pada obyek.

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah : 1) Geomorfologi bentuklahan G. Guntur dengan menggunakan citra optik IKONOS, 2) Geomorfologi bentuklahan G. Guntur dengan menggunakan citra non optik PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) polarimetri penuh dan membandingkannya dengan data optik IKONOS, 3) Kombinasi sinyal polarisasi ganda yang efisien untuk identifikasi aliran lava menggunakan radar polarimetri band-L, dan 4) Klasifikasi obyek menggunakan teknik klasifikasi Pohon Keputusan (decision tree) dengan algoritma QUEST.

(3)

(Degraded Lower Slope Volcanic Cone) akibat proses geomorfik antropogenik sedangkan interpretasi pada citra PALSAR dapat diidentifikasi 6 bentuklahan aliran lava dan 1 bentuklahan kawah. Perbedaan hasil interpretasi ini dipengaruhi oleh panjang gelombang dan resolusi spasial yang dimiliki masing-masing citra. Namun pada data polarimetri penuh dapat ditentukan nilai hamburan balik (backscatter) dari permukaan bentuklahan.

Hasil klasifikasi pohon keputusan dengan algoritma QUEST dan analisis keterpisahan spektral menunjukkan bahwa polarisasi HV dan VV berperan sebagai kombinasi terbaik dalam identifikasi aliran lava. Keterpisahan spektral ditunjukkan dengan metode Transformed Divergence (TD) pada data training. Hasilnya, bentuklahan kawah memiliki keterpisahan yang tinggi (nilai mendekati 2) dan demikian pula dengan bentuklahan aliran lava termuda sehingga dapat diidentifikasi dengan mudah. Sedangkan bentuklahan aliran lava 1, aliran lava 3, dan aliran lava tua tidak terpisah dengan cukup baik (nilai mendekati 0). Pada nilai statistik deskriptif ini dapat ditunjukkan bahwa bentuklahan aliran lava termuda memiliki nilai rataan tertinggi pada polarisasi HV dibandingkan bentuklahan aliran lava lainnya.

Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa nilai akurasi yang cukup baik yaitu 51,80 % dengan nilai koefisien Kappa sebesar 0,43. Hal ini menunjukkan bahwa identifikasi aliran lava menggunakan polarisasi linier dipadukan dengan klasifikasi pohon keputusan memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik.

(4)

LULUK DWI WULAN HANDAYANI. Geomorphology Guntur Volcano (Garut, Jawa Barat) and Lava Flow Analysis Using Synthetic Aperture Radar Fully Polarimetry Data. Under supervision of BOEDI TJAHJONO and

BAMBANG H. TRISASONGKO.

Indonesia is a country which is traversed by ring of fire, it has more than 400 volcanoes and 130 of them are in category of active volcanoes. Equitable distribution of volcanoes in nearly all region consequently impacts tectonic plates. Volcanic eruption is one of the natural phenomena considered harmful to inhabitants around the volcano. Although the volcano also provides many benefits to human such as volcanic ashes that could increase soil fertility. Mt. Guntur in Garut Regency dominantly characterize by lava flows and visually distinctive toother volcans. Identification and mapping of the lava flows is important to study geomorphological aspect and mapping of volcanic hazardous materials. This can be done through geomorphological analysis and utilization of geospatial technologies, i.e. remote sensing with optical and non-optical (Radar) sensors.

Since 1980, the optical data has been widely used for mapping the volcano. However, this kind of data have limited information due to cloud cover. This can be subsituted by using radar data, especially L-band SAR Polarimetry. Therefore a research to explore the use of SAR Polarimetry data for identifying the characteristic of scattering lava flows combined with analysis of geomorphology is needed.

This study aims to examine : 1) Landform geomorphology of Mt. Guntur using optical IKONOS imagery, 2) landform geomorphology of Mt. Guntur using non optical PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) fully polarimetry and comparison with IKONOS optic data, 3) The combination of an efficient dual polarization signal for the identification of the lava flow using L-band radar polarimetry, and 4) Classification of object using decision tree (QUEST) algorithm.

(5)

combination in the identification of lava flows. Spectral separability was shown by transformed divergence (TD) method on the training data. The result indicated that crater had high separation (close to 2), as well as the youngest lava flow that was easly identified. Meanwhile, landforms of lava flow 1, lava flow 3, and an old lava flow did not separate well (close to 0). Descriptive statistics on the feature showed that the youngest lava flow ranked highest average value at HV polarization, compared to other lava flows.

Classification showed a fairly good accuracy, around 51,80% with kappa coefficient value of 0,43. This suggested that the identification of lava flows using linear polarization combined with a classification decision tree produced fairly good level of confidence.

Keywords : Geomorphology,Landform, Lava Flow, SAR Polarimetry, Mt. Guntur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(6)

RADAR POLARIMETRI PENUH (FULLY POLARIMETRY)

LULUK DWI WULAN HANDAYANI

A14062537

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Aperture Radar Polarimetri Penuh (Fully Polarimetry) Nama Mahasiswa : Luluk Dwi Wulan Handayani

Nomor Pokok : A14062537

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Boedi Tjahjono Ir. Bambang H. Trisasongko, M. Sc. NIP : 19600103 198903 1 002 NIP : 19700903 200812 1001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Sc. NIP. 19621113 198703 1 003

(8)

Penulis lahir di Sumbawa Besar pada tanggal 1 Mei 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Y. Yoyok Sutarto, S.Pd (alm) dan Aisyah S. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis berawal dari SD Negeri 1 Sumbawa Besar (1994-2000). Selepas Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Sumbawa Besar (2000-2003) dan SMA Negeri 1 Sumbawa Besar (2003-2006). Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan sumberdaya Lahan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan sebagai Public Relation BEM KM IPB Departemen Informasi dan Komunikasi (2006-2007), anggota International Association of Agriculture and Science (IAAS) IPB, staf pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah IPB divisi PSDM dan Pengembangan & Penelitian (2007-2009), dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) IPB. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra 2008/2009, mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap 2008/2009, dan mata kuliah sistem Informasi Geografis 2009/2010. Selain itu juga aktif di beberapa kepanitiaan lain yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, dan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Penulis juga menjadi juara III dalam lomba “GISIC 2010-GIS for natural Disaster” di ITB. Selain itu penulis juga menjadi juara poster terbaik dalam Seminar Nasional Geomatika Bakosurtanal tahun 2011.

 

 

 

 

   

 

(9)

Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penlis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Geomorfologi Gunungapi Guntur (Garut, Jawa Barat) dan Analisis Aliran Lava Menggunakan Data Synthetic Aperture Radar Polarimetri Penuh (Fully Polarimetry). Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Boedi Tjahjono dan Bambang H. Trisasongko, M. Sc. selaku

pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini.

3. Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Direktorat jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia yang telah membantu penulis dalam memberikan data yang sangat dibutuhkan selama pelaksanaan karya ilmiah ini.

4. Pusat Perencanaan, Pengembangan dan Pengkajian Wilayah LPPM IPB atas kesempatan yang telah diberikan untuk memperoleh ilmu dalam pelaksanaan karya ilmiah ini.

5. Orang tua tercinta Mama dan Almarhum Papa, Ieke Wulan Ayu, Heru TS dan adik Reyga Yhosa N yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, restu, kepercayaan serta dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

6. Keluarga besar Bpk Tjejep Hasmitha atas doa, restu dan dukungannya selama ini

7. Sheila N, Sri Malahayati, Irma N, Emma P, Ida S, dan Ina F atas kesabaran, doa dan dukungannya selama ini.

(10)

Anief, Putri, Uli, Handris, Okky, Lili, Ranti, anak-anak pondok Amanah B dan C atas dukungannya selama ini.

10. Keluarga besar Bagian Penginderaan Jauh IPB dan seluruh mahasiswa MSL angkatan 43 atas dukungannya selama ini.

11. Dwi Shanty, Annisa N, Agi M, Reni K, Topan L, Ricky, Gusmaini, Febria, Vanesza, Rani Y, Afifah, Sri M, dan Bu Nina atas bantuan dan dukungannya selama ini.

Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Namun, penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2011

Luluk Dwi Wulan Handayani

 

 

 

 

 

 

 

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Geomorfologi ... 6

2.2. Citra Satelit ... 6

2.3. Radar ... 7

2.4. SAR Polarimetri ... 8

2.5. Hamburan Balik (Backscatters) ... 9

2.6. Satelit ALOS ... 10

2.7. Data Mining ... 13

2.8. Metode Decision Tree ... 15

2.9. Algoritma QUEST ... 16

2.10.Gunung Api ... 17

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 19

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 19

3.3. Metode Penelitian ... 19

3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data ... 20

3.3.2. Tahap Pengecekan Lapang ... 20

3.3.3. Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data... 20

3.3.4. Tahap Analisis Hasil ... 23

IV. KEADAAN UMUM LOKASI ... 25

4.1. Letak Geografis ... 25

4.2. Topografi ... 25

4.3. Iklim ... 29

4.4. Geologi ... 31

(12)

4.7. Penggunaan dan Penutupan Lahan... 37

4.8. Geomorfologi G. Guntur ... 38

4.8.1. Satuan Morfologi Lereng Tertoreh Sedang... 39

4.8.2. Satuan Morfologi Lereng Tertoreh Lemah ... 39

4.8.3. Satuan Morfologi Aliran Lava ... 39

4.9. Sejarah Letusan G. Guntur ... 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1. Analisis Geomorfologi ... 41

5.1.1. Kawah (Crater) ... 45

5.1.2. Kubah Lava (Lava Dome) ... 45

5.1.3. Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Terdegradasi ... 47

5.1.4. Aliran Lava (Lava Flow) ... 47

5.1.5. Tubuh Kerucut Vulkanik ... 51

5.2. Interpretasi Geomorfologi dari Citra PALSAR ... 52

5.3. Keterpisahan Spektral ... 60

5.4. Analisis Keterpisahan Statistik ... 61

5.5. Klasifikasi... ... 66

5.6. Akurasi... ... 69

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 79

   

 

 

 

 

 

 

(13)

No. Teks Halaman

1. Karakteristik Citra IKONOS ... 7

2. Panjang Gelombang dan Frekuensi Radar ... 8

3. Spesifikasi ALOS ... 12

4. Spesifikasi ALOS PALSAR ... 14

5. Komposisi Kandungan Unsur Mayor pada Batuan ... 34

6. Penggunaan Lahan (BPN 2007) ... 37

7. Sejarah Letusan G. Guntur ... 40

8. Interpretasi Penutupan Lahan pada Citra PALSAR ... 55

9. Ukuran Transformed Divergence (TD) ... 60

10. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST…………...……… 69

11. Akurasi Klsifikasi Maximum Likelihood ... 71

 

 

 

(14)

No. Teks Halaman

1. Diagram Komponen Sistem Pencitraan Radar……… ... 7

2. Polarisasi Energi Radar ... 9

3. Pantulan Radar dari Berbagai Permukaan ... 10

4. Satelit ALOS (JAXA EORC 1997) ... 13

5. Instrumen PALSAR ... 14

6. Prinsip Geometri PALSAR ... 15

7. Diagram Alir Penelitian ... 21

8. Lokasi Penelitian ... 26

9. Peta Kelas Kemiringan Lereng Kabupaten Garut ... 27

10. Peta Elevasi Kabupaten Garut ... 28

11. Curah Hujan Tahunan Stasiun Nariewatie Tahun 2004-2008 ... 30

12. Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Nariewatie Tahun 2004-2008..…30

13. Peta Geologi G. Guntur ... 32

14. Batuan Skorea di G. Guntur ... 34

15. Peta Tanah Kabupaten Garut ... 36

16. Tipe Penggunaan Lahan Sekitar G. Guntur pada Citra IKONOS ... 38

17. Kegiatan Penambangan Bahan Galian di G. Guntur tahun 2010 ... 38

18. Citra IKONOS Google Earth... 43

19. Peta Bentuk Lahan G. Guntur Hasil Analisis Citra IKONOS GE ... 44

20. Kawah G. Guntur ... 46

21. Kubah Lava G. Guntur ... 46

22. Degraded Lower Slope Volcanic Cone G. Guntur ... 47

23. Aliran Lava (Lava Flow) 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 ... 49

24. Aliran Lava (Lava Flow) tua, 1840 dan 1847 ... 51

25. Tubuh Kerucut G. Guntur pada Citra IKONOS GE ... 53

26. Citra PALSAR G. Guntur ... 55

27. Hasil Interpretasi Citra PALSAR G. Guntur ... 59

28. Kekasaran Permukaan Aliran Lava G. Guntur, Garut ... 60

29. Perbandingan Nilai Polarisasi Aliran Lava G. Guntur ... 62

30. Analisis Visual Kombinasi Polarisasi Citra PALSAR G. Guntur ... 65

(15)

33. Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood Citra PALSAR G. Guntur ... 68

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(16)

I.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh proses alami. Salah satu contoh fenomena alami yang melahirkan bencana alam adalah letusan gunungapi. Seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang dilalui oleh jalur gunungapi aktif yang disebut cincin api pasifik atau ring of fire. Oleh karena itu, Indonesia memiliki lebih dari 400 gunungapi dan 130 diantaranya masuk ke dalam kategori gunungapi aktif. Dengan demikian Indonesia menjadi negara dengan jumlah gunungapi aktif terbanyak di dunia, dimana sebagian besar gunungapi tersebut berada di pulau Sumatera dan Jawa.

Letusan gunungapi merupakan gejala alam yang sangat berbahaya bagi semua makhluk hidup yang berada di sekitarnya karena material yang dikeluarkan terdiri atas gas, piroklastika, dan lava yang mempunyai suhu yang tinggi. Lava merupakan salah satu material yang dikeluarkan pada suatu periode letusan yang dapat merusak semua obyek yang dilaluinya. Sehingga fenomena ini cukup berbahaya bagi manusia. Walaupun demikian, aktifitas gunungapi banyak memberikan manfaat bagi manusia karena abu vulkanik yang disemburkan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, bentang alam gunungapi dapat menjadi aset untuk wisata alam, lokasi konservasi air, cagar alam, margasatwa dan bahkan material dari lava dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan galian untuk bahan bangunan hingga bahan industri kimia.

(17)

vulkanik yang terjadi sebelumnya atau sejarah letusannya, dan jenis-jenis produk letusan yang dominan.

Penyebaran gunungapi di Indonesia terbentang dari barat ke timur mengikuti busur gunungapi Indonesia, sehingga kegiatan-kegiatan identifikasi, pemantauan lapang, dan mitigasi bahaya gunungapi memerlukan waktu dan biaya yang besar. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi geospasial berupa penginderaan jauh sangat dibutuhkan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa studi gunungapi melalui pendekatan penginderaan jauh cukup baik, efektif dan efisien serta menghemat biaya untuk pemetaan produk-produk vulkanik seperti piroklastik, aliran lava dan sebagainya (Crowley et al., 2003).

Pemanfaatan data penginderaan jauh saat ini telah berkembang pesat baik penggunaan data hyperspectral maupun multispectral. Namun demikian, dikarenakan Indonesia merupakan daerah tropik maka tutupan awan seringkali menjadi kendala dalam pemanfaatan data penginderaan jauh optik. Gangguan awan dan bayangannya pada umumnya tidak dapat diperbaiki. Dalam penginderaan jauh gangguan ini direpresentasikan sebagai data yang hilang (missing data) dalam analisisnya, sehingga memerlukan proses masking dalam keseluruhan analisis (Tjahjono et al., 2009). Oleh karena itu, pemanfaatan Radar (SAR) cukup menarik untuk dapat menjadi salah satu alternatif guna mengatasi masalah tersebut.

(18)

obyek lava pada gunungapi yang dikaitkan dengan aspek geomorfologi (Handayani et al., 2011).

Secara umum, SAR (Synthetic Apreture Radar) merupakan penginderaan jauh aktif yang terdiri atas komponen pemancar (transmitter), penerima (receiver), antena, dan sistem elektronik untuk memproses dan merekam data. Rekaman data SAR dapat disimpan dalam berbagai format yang mengandung informasi tentang amplitudo dan beda fase (phase). Untuk mendapatkan hasil dengan tingkat reabilitas tinggi, maka diperlukan beragam dimensi parameter (multi parameter) yang bisa didapatkan dengan pendekatan data multi-temporal, multi-frekuensi, dan multi-polarisasi.

(19)

morfologi permukaan aliran lava. Jika hasil hamburan dibandingkan dengan pengamatan lapang yang konsisten maka akan memperlihatkan bahwa perilaku hamburan berkorelasi dengan kekasaran permukaan yang mengindikasikan bahwa Radar sensitif terhadap perubahan kekasaran. Selain itu, Dierking dan Haack (1998) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pencirian suatu aliran lava dapat dilakukan dengan polarisasi penuh band L citra EMISAR dari kompleks gunungapi di Islandia utara. Dalam penelitiannya, ditunjukkan bahwa perbedaan beda fase antara polarisasi VV dan HH dapat menyediakan informasi mengenai vegetasi penutup pada aliran lava.

SAR polarimetri dapat digunakan untuk menentukan respon sasaran (obyek) atau hamburan balik (backscatters) dengan menggunakan citra SAR polarisasi penuh (fully polarimetry) berdasarkan keempat polarisasi (HH, VV, HV dan VH). Selain itu analisis data polarisasi penuh dapat menggunakan teknologi sintesis polarisasi (polarization synthesys), yaitu teknik pengolahan sinyal polarisasi dasar baik vertikal (V) maupun horizontal (H) menjadi berbagai bentuk polarisasi turunannya (linear, ellips dan circular) yang didapatkan pada modifikasi fasenya. Oleh karena itu, sangat bermanfaat jika dilakukan penyajian suatu metode grafis untuk memvisualisasikan respon dari suatu sasaran (obyek) sebagai fungsi dari polarisasi datang dan hamburan balik (backscatters). Salah satu visualisasi yang dapat disajikan adalah melalui penciri polarisasi (polarization signature) dari suatu obyek.

Beberapa penelitian yang menggunakan citra SAR polarisasi penuh umumnya menghasilkan suatu keakuratan klasifikasi yang cukup tinggi. Namun sering bersifat khas untuk daerah tertentu (site-specific). Hal ini disebabkan hamburan balik (backscatters) dipengaruhi oleh faktor sifat khas geometris yang terkait dengan kekasaran permukaan dan sifat khas dielektrik masing-masing obyek. Oleh karena itu, metode yang sama belum tentu dapat diterapkan untuk daerah lainnya.

(20)

dilakukan. Selain itu, penelusuran literatur menunjukkan bahwa telaah mengenai identifikasi aliran lava dengan menggunakan SAR polarimetri untuk daerah tropis seperti Indonesia masih sangat minim. Untuk itu dalam kaitan dengan pengembangan aplikasi data Radar perlu dilakukan penelitian yang mengetengahkan analisis geomorfologi yang dipadukan dengan teknologi pemanfaatan data SAR polarimetri untuk mengidentifikasi karakteristik hamburan (scattering) dari aliran lava G. Guntur sehingga dapat dilakukan pencirian pada obyek gunungapi tersebut

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Melakukan analisis geomorfologi bentuklahan G. Guntur menggunakan citra Optik IKONOS.

2. Melakukan analisis geomorfologi bentuklahan G. Guntur menggunakan citra non optik PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) polarimetri penuh dan membandingkannya dengan data optik IKONOS

3. Menentukan kombinasi sinyal polarisasi penuh yang efisien untuk identifikasi aliran lava dengan menggunakan Radar polarimetri band L.

4. Melakukan klasifikasi obyek dengan menggunakan teknik klasifikasi pohon keputusan (decision tree) dengan algoritma QUEST.

   

 

 

 

 

 

 

 

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geomorfologi

Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi mencakup proses terbentuknya bentuklahan, sifat-sifatnya, perkembangannya dan komposisi material yang menyusunnya. Dengan kata lain kajian geomorfologi merupakan pemerian (description) dan penjelasan (explanation) bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya. Selain itu, geomorfologi merupakan suatu dieliktika antara geologi, topografi, proses geomorfik dan iklim (Wiradisastra dan Tjahjono, 1998).

2.2. Citra Satelit

Citra adalah gambaran kenampakan bumi hasil penginderaan pada spektrum elektromagnetik tertentu yang ditayangkan pada layar atau disimpan pada media rekam/cetak. Citra satelit adalah citra hasil penginderaan suatu jenis satelit tertentu (Departemen Kehutanan, 2009).

Jenis citra satelit berdasarkan tingkat resolusi spasial ;

• Citra resolusi rendah memiliki resolusi spasial antara > 30 m Contoh : citra satelit Landsat 1-3 MSS, Landsat TM, Landsat ETM • Citra resolusi sedang memiliki resolusi spasial antara 2,5 - 10 m

Contoh : citra satelit SPOT

• Citra resolusi tinggi memiliki resolusi spasial antara 0,6 – 1 m Contoh : citra satelit IKONOS dan Quickbird

(22)

Tabel 1. Karakteristik Citra IKONOS (Geoeye, 2006)

Karakteristik

Resolusi Spasial 4 m (Multispektral)

1 m (Pankromatik)

Resolusi Spektral

Band 1 (Blue) 0,445-0,516 µm

Band 2 (Green) 0,506-0,595 µm

Band 3 (Red) 0,632-1,698 µm

Band 4 (NIR) 0.757-0,853 µm

Pankromatik 0,526-0,929 µm

Resolusi Temporal 3 hari pada latitude 40° dan

elevation > 60°

Tinggi Orbit 681 km

Ukuran Scene Maksimum 11x13 km

2.3. Radar

Radar merupakan sistem penginderaan jauh aktif karena dapat menyediakan sendiri sumber energinya. Sistem mengiluminasi medan dengan energi elektromagnetik, mendeteksi pantulan energi dari medan, dan mencatat pantulan energi sebagai sebuah citra. Sistem Radar beroperasi secara bebas pada berbagai kondisi pencahayaan dan umumnya tidak tergantung pada cuaca. Radar merupakan singkatan dari “radio detection and ranging” bekerja pada spektrum elektomagnetik dengan panjang gelombang 1 mm - 1 m (Sabins, 2007). Komponen sistem pencitraan Radar disajikan pada Gambar 1.

 

(23)

Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), Radar merupakan suatu cara penggunaan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya. Prosesnya meliputi transmisi gelombang pendek dan atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari “echo” atau pantulan yang diterima objek dalam sistem medan pandang. Tabel 2 dibawah menunjukkan panjang gelombang dan frekuensi Radar yang digunakan dalam penginderaan jauh.

Tabel 2. Panjang Gelombang dan Frekuensi Radar (Sabins, 2007)

No Band Panjang Gelombang (λ) Frekuensi (v)

cm GHz

1 K 0.8-2.4 40.0-12.5

2 X (3.0 cm) 2.4-3.8 12.5-8.0

3 C (6 cm) 3.8-7.5 8.0-4.0

4 S (8.0 cm, 12.6 cm) 7.5-15.0 4.0-2.0

5 L (23.5 cm, 25.0 cm) 15.0-30.0 2.0-1.0

6 P (68 cm) 30.0-100.0 1.0-0.3

Panjang gelombang sinyal Radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Efek atmosferik yang parah pada sinyal Radar terbatas pada gelombang lebih pendek (kurang dari 3 cm) (Lillesand dan Kiefer 1990). Gelombang Radar dapat menembus lapisan pelindung yang tipis seperti abu dan aeolian deposit (Carter et al., 2006). Besar kecilnya panjang gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra yang diperoleh. Semakin besar panjang gelombang maka semakin kuat daya tembus gelombang (Sabins, 2007).

2.4. SAR Polarimetri

(24)

gelombang (tenaga yang tidak terpolarisasi menyebar kesemua arah tegak lurus arah perambatannya)

 

Gambar 2. Polarisasi Energi Radar (Sabins, 2007)

Satu sinyal SAR (Synthetic Aperture Radar) dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Jadi terdapat empat kemungkinan kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim Horizontal diterima Horizontal (HH), dikirim Horizontal diterima Vertikal (HV), dikirim Vertikal diterima Horizontal (VH), dan dikirim Vertikal diterima Vertikal (VV). Citra dengan polarisasi searah (parallel polarization) dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang (cross polarization) dihasilkan dari paduan HV atau VH (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berbagai obyek dapat mengubah polarisasi energi Radar yang dipantulkan sehingga bentuk polarisasi sinyal sangat mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan (Sabins, 2007)

2.5. Hamburan Balik (backscatters)

Koefisien hamburan balik (backscatter coefficient) adalah ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang balik ke antena. Hamburan balik Radar banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan seperti kekasaran permukaan

Z   Magnetic Field

X

(25)

(Sabins, 2007). Oleh karena itu, hasil interpretasi Radar ditentukan oleh hamburan balik (backscatter) dari obyek yang diterima kembali oleh sensor.

Ada dua parameter yang mempengaruhi sinyal balik yaitu parameter sistem sensor yang meliputi panjang gelombang, polarisasi, dan sudut pancaran (incident angle, depression angle, look angle dan look direction) sedangkan parameter permukaan obyek meliputi kekasaran permukaan (roughness surface), efek geometri permukaan, dan sifat dieletrik obyek. Permukaan yang memiliki kekasaran yang sama atau lebih besar dari panjang gelombang akan tampak kasar karena permukaan yang kasar akan bertindak sebagai pemantul baur dan memencarkan tenaga yang datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Permukaan halus pada umumnya akan memantulkan sebagian besar energi Radar dengan sudut pantul yang sama menjauhi sensor dan mengakibatkan hamburan balik (backscatter) menjadi rendah namun apabila orientasi obyek mengarah ke sensor maka hamburan balik yang dihasilkan akan sangat kuat . Untuk permukaan dengan kekasaran permukaan yang sedang, akan memantulkan sebagian kecil energi Radar melalui hamburan balik (backscatter) secara acak (Hemphill, 2007).

Efek geometri obyek dan intensitas sinyal hasil balik Radar akan berpadu dengan efek kekasaran permukaan. Adapun kekasaran permukaan obyek merupakan fungsi dari variasi relief yang berkaitan dengan panjang gelombang pantulan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

 

Gambar 3. Pantulan Radar dari Berbagai Permukaan (Lillesand dan Kiefer, 1990)

Keterangan :

(26)

Mengingat gelombang datang dapat dibuat dari berbagai jenis polarisasi, dan matriks hamburan adalah 4 bilangan kompleks (VV, HH, VH, dan HV), maka sangatlah bermanfaat jika mempunyai sebuah metode grafis untuk dapat memvisualkan respon dari suatu sasaran sebagai fungsi dari polarisasi datang dan hamburan balik. Visualisasi tersebut salah satunya diberikan oleh penciri polarisasi (polarization signature) (Susilo, 2007).

Incident angle juga mempengaruhi hamburan balik ke antenna. Incident angle merupakan sudut yang terbentuk antara pancaran gelombang dengan garis yang tegak lurus pada permukaan obyek. Permukaan obyek yang halus akan memantulkan sinyal secara sempurna pada sudut lebih kecil 20°, namun sebaliknya pada permukaan kasar dengan sudut lebih kecil dari 20°, sebagian besar sinyal akan dipancarkan secara acak sehingga total hamburan balik yang diterima antena lebih rendah dibandingkan dengan permukaan halus dengan sudut yang sama (Hemphill, 2007).

2.6. Satelit ALOS

Satelit ALOS (Advanched Land Observing Satelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada tanggal 24 Januari 2006. Satelit ini adalah satelit generasi lanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS). ALOS merupakan satelit terbesar yang dikembangkan oleh JAXA dan diluncurkan dari Tanegashima Space Center Jepang dengan menggunakan wahana peluncuran H-IIA. Satelit ini memiliki periode kunjungan ulang (revisiting period) 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat, maka satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. ALOS dapat digunakan untuk kartografi, observasi regional, pemantauan bencana dan peninjauan sumberdaya. Tabel 3 berikut ini menyajikan spesifikasi dari satelit tersebut (EORC JAXA, 1997).

ALOS merupakan salah satu satelit terbesar untuk pengamatan permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan antara lain :

(27)

2. Melakukan pengamatan regional untuk “pembangunan berkelanjutan”, yaitu

kesesuaian antara lingkungan bumi dengan pembangunan (Regional

Observation).

3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring).

4. Melakukan survei sumberdaya alam (Resources Surveying).

5. Mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan bumi masa

depan (Technology Development).

Tabel 3. Spesifikasi ALOS

No Tipe Karakteristik

1 Bobot 4 ton

2 Jangka Waktu 3-5 Tahun

3 Ketinggian Orbit 691, 65 km (di khatulistiwa)

4 Periode Orbital 98,7 menit

Approx. 7 kW (pada akhir operasional)

Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS (diakses 22 Februari 2010)

Satelit ALOS memiliki tiga jenis sensor, yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping) untuk pemetaan elevasi digital, AVNIR-2 (Advanched Visible and Near Infrared Radiometer type 2) untuk pengamatan penutupan lahan, dan PALSAR (Phased Array type L-Band Synthetic Aperture Radar) untuk pengamatan lahan sepanjang siang-malam pada berbagai kondisi cuaca. Satelit ALOS ditunjukkan pada Gambar 4. ALOS dirancang dengan dua teknologi maju, pertama adalah mempunyai kecepatan tinggi dan memiliki kapasitas penyimpanan data yang besar, dan kedua adalah mempunyai presisi tinggi terhadap posisi pesawat ruang angkasa dan kemampuan penentuan ketinggian.

(28)

Hal ini memberikan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan Synthetic Aperture Radar (SAR) JERS-1.

Gambar 4. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997)

Salah satu mode observasi PALSAR, yaitu ScanSAR yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih luas, yaitu 250 - 350 km. Pembangunan PALSAR merupakan proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Tabel 4 menyajikan spesifikasi sensor PALSAR dan Gambar 5 menyajikan bentuk dari instrument PALSAR.

Sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah yang berada diluar posisi geografis berikut : 87,8° Lintang Utara dan 75,9° Lintang Selatan ketika off-nadir mempunyai sudut 41,5°. Hal ini dikarenakan terbatasnya konsumsi daya yang mengakibatkan waktu operasi sensor dibatasi. Fine mode bekerja pada incident angle dengan sudut 34,3°, ScanSAR mode pada incident angle dengan sudut 34,1° dan Polarimetric Mode pada incident angle dengan sudut 21,5° (EORC JAXA, 1997). Gambar 6 menyajikan prinsip geometri PALSAR.

2.7. Data Mining

(29)

kemudian untuk memvalidasi temuan dengan menerapkan pola terdeteksi subset data baru (Elektronik Statistik, 2011)

Tabel 4. Spesifikasi ALOS PALSAR

No Mode

Fine Resolution

Mode

ScanSAR Mode Polarimetric

(Experimental mode)*

1 Frekuensi

Pusat Tipe L-Band 1270 mHz

2 Chrip

Bandwidth 28 MHz 14 MHz

14 MHz, 28

MHz 14 MHz

3 Polarisasi HH/VV HH+HV/VV+VH HH/VV HH+VH+HV+VV

4 Incident

angle 8-60° 8-60° 18-43° 8-30°

5 Range

Resolution 7-44 m 14-88 m

100 m

(multilook) 24-89 m

6 Observation

Swath 40-70 km 40-70 km 250-350 km 20-65 km

7 Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3-5 bit

8 Date Rate 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps 240 Mbps

240 Mbps

Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS (diakses 22 Februari 2010)

Sumber : RESTEC (2010)

(30)

Sumber : RESTEC (2010)

Gambar 6. Prinsip Geometri PALSAR

Data mining dapat diaplikasikan pada representasi data seperti domain data spatial berbasis teks dan multimedia (citra) (Seiner, 1999). Data mining melakukan pencocokan model atau menentukan pola dari data yang diobservasi. Ada dua pendekatan matematis yang digunakan dalam pencocokan model statistik yang memberikan efek non-deterministik dan logik yang murni determinstik (Seiner, 1999). Data mining merupakan himpunan algoritma yang sangat besar. Berbagai teknik dapat ditemui pada himpunan tersebut, seperti jaringan syaraf tiruan (artificial neural network), support vector machines, analisis gerombol (clustering), dan pohon keputusan (decision tree).

2.8. Metode Decision Tree

(31)

pembuatan keputusan (rule). Namun demikian, kesederhanaan ini tidak identik dengan ketidakakuratan. Penelitian pendahuluan dari Panuju dan Trisasongko (2008) menunjukkan bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak terlalu signifikan, namun kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasik seperti algoritma kemungkinan maximum likelihood classification.

2.9. Algoritma QUEST

(32)

2.10. Gunungapi

Gunungapi adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung (Bakosurtanal, 2010).

Gunungapi diklasifikasikan berdasarkan dua sumber erupsi yaitu erupsi pusat dan erupsi samping. Erupsi pusat adalah erupsi yang keluar melalui kawah utama dan erupsi samping adalah erupsi yang keluar dari lereng tubuhnya. Erupsi samping dapat dibedakan menjadi erupsi celah dan erupsi eksentrik. Erupsi celah adalah erupsi yang muncul pada retakan atau sesar yang memanjang sampai beberapa kilometer. Erupsi eksentrik adalah erupsi samping tetapi magma yang keluar bukan dari kepundan pusat yang menyimpang kesamping melainkan melalui kepundan tersendiri. Struktur cekungan gunungapi dapat dibedakan menjadi struktur kawah, kaldera, rekahan dan graben serta depresi vulkano-tektonik (Bakosurtanal, 2010). Bahaya langsung akibat letusan gunungapi dapat berupa :

• Leleran Lava

Leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas yang dapat merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung dari kekentalan magmanya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 800-1200° C.

• Aliran Piroklastik (awan panas)

Aliran piroklastik dapat terjadi sebagai akibat runtuhan tiang asap erupsi, seperti yang terjadi pada erupsi tipe plinian. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau lava. Kecepatan aliran dapat mencapai 150-250 km/jam atau lebih.

• Jatuhan Piroklastik

(33)

• Lahar Letusan

Lahar letusan terjadi pada gunungapi yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam dalam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung apabila terjadi letusan sehingga akan menumpahkan lumpur panas.

• Gas Vulkanik Beracun

Gas beracun umumnya muncul pada gunungapi aktif berupa CO, CO2, HCN, H2S, SO2 dan lain-lain. Konsentrasi gas ini jika melebihi ambang batas maka akan dapat berbahaya bagi makhluk hidup di sekelilingnya.

(34)

III. METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dengan luas ± 1.060 ha. Secara geografis G. Guntur terletak pada 07°11'55,2767'' Lintang Selatan dan 107°51'39,1195'' Bujur Timur. Penelitian ini dimulai dari bulan September 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. Analisis data dilakukan di laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Satelit yaitu ALOS PALSAR (Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar) fully polarimetric yang diakuisisi pada tanggal 30 Maret 2009 dengan look angle 21,5 degree. Citra tambahan yang digunakan adalah Citra Satelit IKONOS Google Earth diakuisisi pada tanggal 28 Juni 2006. Data tambahan lainnya yang digunakan yaitu Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25.000 lembar Samarang (1208-641) yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) tahun 1999 dan Peta Geologi Gunungapi Guntur, Jawa Barat skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia tahun 1998.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Envi 4.5 disertai program (toolbox) tambahan, ASF MapReady 2.3.6, Google Earth versi 6.0, ArcView GIS versi 3.3 disertai program (toolbox) tambahan, ArcGIS versi 9.3, GPS, Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007, Microsoft Visio 2007, kamera digital, dan alat tulis menulis.

3.3. Metode Penelitian

(35)

pengecekan lapang, 3) tahap pengolahan dan interpretasi data, dan 4) tahap analisis hasil. Adapun diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 7.

3.3.1. Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data

Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data baik yang berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini. Data penunjang yang diperlukan antara lain : berbagai jurnal ilmiah, prosiding seminar, artikel ilmiah dan buku teks yang terkaitan dengan penelitian. Selain itu, melakukan eksplorasi perangkat lunak (software) Envi 4.5, ASF MapReady 2.3.6, dan Google Earth. Pada tahapan ini juga dilakukan identifikasi bentuklahan vulkanik pada data IKONOS Google Earth.

3.3.2. Tahap Pengecekan Lapang

Tahap pengecekan lapang dilakukan pada tanggal 27 September 2010. Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel / titik (x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian (Region of Interest) dengan menggunakan perangkat GPS. Pada lokasi G. Guntur ditentukan 9 titik koordinat. Jumlah titik koordinat dipengaruhi oleh terbatasnya waktu dan akses perjalanan menuju puncak G. Guntur. Selain pengambilan titik pada setiap lokasi tersebut dilakukan pengamatan kekasaran permukaan untuk mendapat data secara kualitatif. Pengamatan kekasaran permukaan ini dilakukan dengan menggunakan millimeter block dengan satuan pengukuran per 5 cm sehingga didapatkan gambaran dari kekasaran permukaan lava (Gambar Lampiran 1). Pengamatan daerah sekitar lokasi pengambilan titik koordinat juga dilakukan seperti bentukan aliran lava (Gambar Lampiran 2), pengamatan batuan (Gambar Lampiran 3), serta pengamatan vegetasi (Gambar Lampiran 4).

3.3.3. Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data

(36)

 

(37)

(Universal Tranverse Mecator) pada zona 48 S. Proses ini menggunakan perangkat lunak ASF Mapready 2.3.6 dan ENVI 4.5.

Analisis citra ini juga menghasilkan data hamburan balik (backscatters) yang terdiri dari beberapa polarisasi linear, yaitu VV (dikirm Vertikal diterima Vertikal) dan HH (dikirim Horizontal diterima Horizontal) yang merupakan polarisasi paralel (parallel-polarized), VH (dikirim Vertikal diterima Horizontal) dan HV (dikirim Horizontal diterima Vertikal) yang merupakan polarisasi silang (cross-polarized). Mengingat sistem pencitraan yang digunakan adalah monostatik maka berlaku teori reciprocity dimana VH = HV sehingga polarisasi yang digunakan yaitu HH, VH dan VV.

(38)

spekel. Jenis filter ini cukup efektif dalam menghilangkan spekel terutama pada daerah homogen atau memiliki varian rendah (Moloney and Ju, 1998)

Pengambilan data sampling dilakukan pada setiap jenis bentuklahan. Pengambilan data sampling berupa data pembangun (training set) sebanyak 100 piksel untuk data masukan pada metode klasifikasi dan data penguji akurasi (testing) sebanyak 75 piksel pada tiap kelas. Hal ini dilakukan agar pada tahap pengkajian akurasi dihasilkan bias yang minimum.

3.3.4. Tahap Analisis Hasil

Sebelum melakukan klasifikasi numerik perlu dilakukan pengkajian keterpisahan spektral. Keterpisahan spektral pada berbagai sensor merupakan isu yang penting dikaji sebelum metode klasifikasi diterapkan (Panuju et al., 2010).

Metode pengkajian keterpisahan spektral dapat dilakukan dengan menggunakan metode Transformed Divergence (TD) dengan persamaan sebagai berikut :

TDij = 2[1exp(Dij/8)]………..………....…(2-1) dimana TDij = parameter TD dan Dij adalah parameter yang diperoleh dari

persamaan berikut :

(39)

separability) dengan selang nilai 1,0 – 1,9 yang mengindikasikan bahwa pencirian dua kelas dapat dipisahkan pada suatu tingkat tertentu, dan (3) Keterpisahan baik (good separability) dengan selang nilai 1,9 – 2,0 yang mengindikasikan bahwa pencirian dua kelas dapat dipisahkan secara lengkap (Richards, 2006).

Selain melalui analisis keterpisahan jarak, keterpisahan spektral juga dapat ditunjukkan melalui analisis statistik. Pada penelitian ini analisis statistik ditunjukkan melalui analisis boxplot. Analisis boxplot memuat ringkasan sampel yang disajikan secara grafis yang menggambarkan bentuk distribusi data (skewness), ukuran tendensi sentral dan ukuran penyebaran keragaman data pengamatan. Dalam boxplot terdapat lima ukuran statistik yang dapat dibaca antara lain nilai observasi terkecil (minimum), nilai observasi terbesar (maksimum), kuartil terendah atau pertama (Q1), median atau nilai pertengahan (Q2), dan kuartil tertinggi atau kuartil ketiga (Q3). Selain itu juga dapat ditampilkan ada tidaknya nilai outlier dan nilai ekstrim dari data pengamatan.

Klasifikasi aliran lava merupakan salah satu kegiatan pembangunan basis data spasial yang dapat dikaji dengan menggunakan metode klasifikasi numerik. Metode klasifikasi ini telah banyak digunakan baik melalui pendekatan analisis klasifikasi terbimbing maupun tak terbimbing. Dalam penelitian ini, digunakan algoritma klasifikasi terbimbing pohon keputusan (decision tree) dengan pendekatan QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees) yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 dengan toolbox tambahan. Telaah dengan menggunakan pendekatan algoritma ini telah digunakan sebelumnya antara lain oleh Kim and Loh (2001); Panuju dan Trisasongko (2008); Syafril (2009). Selain itu dilakukan klasifikasi terbimbing lainnya sebagai klasifikasi pembanding yaitu Klasifikasi Maximum Likelihood.

(40)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

4.1. Letak Geografis

Kompleks G. Guntur terdiri atas beberapa kerucut, yaitu Gunung Masigit (2249 m) sebagai kerucut tertinggi dan pada bagian tenggara terdapat kerucut Gunung Parukuyan (2135 m), kerucut Gunung Kabuyutan (2048) dan kerucut Gunung Guntur (1956 m). G. Guntur lebih dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan G. Gede. G. Guntur merupakan gunungapi tipe Strato yang terletak pada 07° 08' 30''LS dan 107° 20'BT dengan ketinggian 2.249 m dpl dan secara administratif terletak pada wilayah administrasi Kabupaten Garut, Jawa Barat (Gambar 8). Menurut Volcanological Survey of Indonesia (VSI), G. Guntur dikelaskan ke dalam Gunungapi tipe A yaitu gunungapi tercatat pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah 1600. Secara keruangan batas-batas wilayah penelitian, yaitu : sebelah utara berbatasan dengan Desa Leles, sebelah timur berbatasan dengan Desa Banyuresmi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tarogong, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Samarang.

Gunungapi Guntur (G. Guntur) merupakan salah satu tubuh gunungapi yang terletak di sekitar kompleks pegunungan vulkanik, yaitu kompleks pegunungan Leles dan Pegunungan Garut bersambungan dengan deretan pegunungan lain yang terdiri dari Gunung Kunci, Kawah Kamojang, Gunung Sanggar, Gunung Rakutak dan diakhiri dengan kompleks Gunungapi Papandayan. Permukiman di sekitar G. Guntur pada umumnya berada pada ketinggian 600 – 1000 m dpl, dimana sebagian besar terpusat di kaki gunung bagian tenggara dan selatan sedangkan sebagian kecil tersebar di kaki gunung bagian timur dan utara.

4.2. Topografi

(41)
(42)

 

(43)

 

(44)

dan dataran piroklastik. Peta kelas kemiringan lereng berdasarkan Peta Sistem Lahan RePPProt tahun 1989 disajikan pada Gambar 9.

Secara umum, daerah penelitian didominasi oleh lereng yang sangat curam yaitu lebih dari 40%, daerah ini tersebar hampir diseluruh bagian selatan Kabupaten Garut. Sedangkan daerah datar yaitu < 2% terletak di bagian tengah dan daerah pesisir yang agak landai didominasi oleh kelas lereng 9-15%. Relief dan elevasi juga merupakan faktor penting dalam menggambarkan bentuk permukaan bumi. Peta Elevasi Kabupaten Garut disajikan pada Gambar 10. Secara umum daerah penelitian didominasi oleh daerah dengan ketinggian lebih dari 300 m. Dibagian selatan didominasi oleh daerah dengan ketinggian 11-50 m dan 51-300 m.

4.3. Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses geomorfik dalam modifikasi bentuk muka bumi atau bentanglahan (landscape). Iklim dapat mempengaruhi tingkat pelapukan batuan khususnya batuan vulkanik hasil letusan gunungapi. Unsur-unsur iklim yang berpengaruh pada proses tersebut antara lain curah hujan, kelembaban udara, dan temperatur.

(45)

terletak pada koordinat geografis sekitar 07° 15' LS dan 108° 00' BT dan berada pada elevasi 295 m, Kabupaten Garut.

Gambar 11. Curah Hujan Tahunan Stasiun Nariewatie Tahun 2004-2008

Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa curah hujan tahunan yang jatuh di sekitar G. Guntur mempunyai curah hujan tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 3.866 mm dan terendah pada tahun 2006 sebesar 2.228 mm. Untuk curah hujan rata-rata bulanan yang jatuh di wilayah G. Guntur disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Nariewatie Tahun 2004-2008

 

2004 2005 2006 2007 2008

Curah Hujan Tahunan (mm)

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sept Oct Nov Dec

(46)

Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa curah hujan bulanan yang jatuh di wilayah tersebut relatif tinggi pada musim hujan dan relatif rendah pada musim kemarau. Sehingga fluktuasi curah hujan bulanan yang jatuh pada musim hujan dan musim kemarau cukup besar. Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 477,76 mm. Sedangkan curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 14,12 mm.

Unsur iklim yang lain seperti temperatur dan kelembaban udara juga merupakan unsur yang penting dalam proses geomorfik. Temperatur maksimum pada tahun 2004-2008 rata-rata berkisar 21,92° C pada tahun 2005 dan temperatur minimum rata-rata berkisar pada suhu 21,25° C pada tahun 2006 dengan kelembaban udara maksimum sebesar 87,8% dan kelembaban minimum sebesar 86,5%.

4.4. Geologi G. Guntur

Berdasarkan Peta Geologi Gunungapi Guntur, Jawa Barat skala 1 : 25.000 (Gambar 13), tatanan dan urutan batuan penyusun di wilayah G. Guntur di bagian utara di dominasi oleh material vulkanik yang berasosiasi dengan letusan atau erupsi. Erupsi ini berlangsung beberapa kali secara sporadik selama periode Kuarter (1,81 juta tahun) lalu sehingga menghasilkan material vulkanik baik berupa breksi, dan tufa yang banyak mengandung kuarsa maupun lahar. Catatn kejadian erupsi tertua terjadi pada tahun 1690 dan catatan erupsi terakhir terjadi pada tahun 1847. Deposit yang dihasilkan G. Guntur antara lain aliran lava, jatuhan piroklastika, aliran piroklastika, longsoran gunungapi, lahar dan alluvial (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998).

(47)

 

(48)

mengalir kearah tenggara dan berakhir di daerah Cipanas. Aliran ini membentuk tanggul pada bagian tepinya dan cekung pada bagian tengahnya. Aliran lava ini berkompisisi basaltis (SiO2 51,56%), porfiritik dengan olivine, augit, hipersten plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas. Bagian tengah tampak berbongkah-bongkah dengan sudut tajam dan bervesikular (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Berdasarkan kandungan SiO2, batuan lava hasil erupsi 1840 agak mirip dibandingkan dengan lava hasil erupsi tahun 1847. Bagian selatan G. Guntur didominasi oleh lahar yang terkonsentrasi pada bagian kaki gunungapi. Lahar ini tersusun atas blok-blok lava andesit dan basaltis, berukuran kerakal-bongkah, membundar dengan ukuran sedang, tertanam dalam matriks pasir kasar.

4.1.Geokimia Batuan

Pada penelitian ini akan ditunjukkan analisis geokimia batuan G. Guntur terkait dengan geomorfologi gunungapi tersebut. Telaah mengenai petrology dan geokimia pada komplek gunungapi Guntur telah dilakukan oleh penelitian pendahulu (Purbawinata, 1990). Letusan G. Guntur pada tahun 1840 menghasilkan semburan deposit vulkanik yang mengandung Low-K tholeiites dan hampir menutupi kawasan sekitarnya. Aliran lava muda mengalir membentuk lidah panjang yang sempit sepanjang 100 - 500 m. Pada Tabel 5 ditunjukkan komposisi unsur utama batuan pada G. Guntur.

(49)

Tabel 5. Komposisi Kandungan Unsur Mayor pada Batuan (Purbawinata, 1990)

Unsur

Jumlah (%) Unsur Jumlah (%)

oxida wt %

SiO2 50,96 Ba 121

TiO2 0,98 Sr 302

Al2O3 19,17 Pb 8

Fe2O3 3,49 Rb/Sr 0,03

FeO 6,2 Y 25

MnO 0,17 Th 1

MgO 4,99 Unsur 4

CaO 9,69 Zr 80

Na2O 2,8 Nb 2

K2O 0,44 Cr 19

P2O5 0,17 Y 238

Mg/Mg+Fe2+ 58,92 Ni 9

FeO 9,69 Cu 62

FeOMgO 1,942 Zn 68

Rb 10

Ga 17

Gambar 14. Batuan Skori (scoria) di G. Guntur (27 September 2010)

4.1. Tanah

(50)

Inceptisol terdiri dari Great Grup Dystrandepts, Humitropepts, Hydrandepts, Eutropepts, Humitropepts, Eutrandepts, Tropaquepts, dan Dystropepts. Jenis tanah ini mempunyai solum yang cukup tebal, teksturnya agak bervariasi yaitu liat berdebu, liat, dan lempung berliat, struktur gumpal bersudut, sedang konsistensinya adalah gembur sampai teguh. Kandungan bahan organik umumnya sangat rendah. Reaksi tanah (pH) sekitar 6,0 - 7,5. Kadar unsur hara yang terkandung umumnya tinggi, tetapi banyak tergantung kepada bahan induknya. Daya menahan air dan permeabilitasnya sedang. Kepekaan terhadap erosi adalah sedang hingga besar. Tanah ini mempunyai sifat-sifat fisik yang sedang sampai baik dan sifat kimia umumnya baik, sehingga nilai produktivitas tanah ini sedang sampai tinggi.

Entisol terdiri dari Great Grup Tropopsamments dan Tropoquents. Jenis tanah dengan Great Grup Tropopsamments terbentuk pada daerah dengan bentuk fisiografi dataran banjir. Bahan-bahan endapan yang dibawa oleh sungai kemudian diendapkan dan terakumulasi pada daerah ini. Proses pengendapan yang berlangsung berulang-ulang menyebabkan tanah yang terbentuk berlapis-lapis sehingga berlapis-lapisan tersebut tidak mencirikan suatu horison tertentu. Lapisan-lapisan tanah tersebut umumnya lebih bervariasi baik warna maupun distribusi ukuran butir bahan penyusunnya. Tekstur tanah ini didominasi oleh pasir. Jenis tanah dengan Great Grup Tropoquents terbentuk dari bahan induk abu dan pasir vulkan intermedier. Bentuk wilayahnya berombak sampai bergunung. Konsistensi lepas sampai gembur dan memiliki pH sekitar 6,0 – 7,0.

Ultisols terdiri dari Great Grup Tropudults, Paleudults, dan Tropohumults. Jenis tanah ini bersifat gembur dan mempunyai perkembangan penampang dan cenderung tidak teguh, peka terhadap pengikisan. Sedangkan Alfisol terdiri dari Great Grup Tropoudalfs yang memiliki kejenuhan basa lebih dari 35% pada kedalaman 1,8 m dari permukaan dan umumnya memiliki selaput liat (Hakim et al., 1986). Penyebaran tanah-tanah tersebut disajikan pada Gambar 15.

(51)

 

Gambar 15. Peta Tanah Kabupaten Garut 

26

(52)

4.5. Penggunaan dan Penutupan Lahan

Penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam proses geomorfik. Penggunaaan lahan di Kabupaten Garut bagian utara digunakan untuk persawahan sedangkan Garut bagian selatan didominasi oleh penggunaan lahan perkebunan dan hutan. Tipe Penggunaan lahan Kabupaten Garut tahun 2007 disajikan pada Tabel 6 dibawah ini :

Tabel 6. Tipe Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2007

No Penggunaan lahan Luas (Ha) Proporsi (%)

12 Penggunaan lahan lainnya 2.907 0,95

Jumlah 306.519 100,00

Sumber : BPN Kabupaten Garut (2007)

Penggunaan lahan di daerah G. Guntur dan kawasan sekitarnya antara lain didominasi oleh penambangan, lokasi pemandian air panas, pemukiman, semak belukar, tegalan, sawah dan hutan (Gambar 16). Penambangan di daerah G.Guntur berupa penambangan beberapa jenis bahan galian (Gambar 17). Penambangan dilakukan oleh masyarakat setempat yang dikelola oleh perorangan maupun beberapa perusahaan swasta. Pengelolaan perorangan dilakukan secara tradisional dan dengan peralatan yang sederhana sedangkan pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan menggunakan peralatan yang lebih modern. Bahan galian gunungapi di daerah G. Guntur antara lain: sirtu (pasir dan batu), batuan beku (andesit-basaltis), tanah lempung (hasil pelapukan batuan vulkanik), pasir sungai serta obsidian. Bahan galian ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk

(53)

kepentingan pembuatan rumah, jalan, jembatan, dan bahan campuran untuk keperluan industri.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 16. Penggunaan Lahan Sekitar G.Guntur pada Citra IKONOS (a) Sawah, (b) Lokasi Pemandian Air Panas, (c) Tegalan, dan (d) Pemukiman

Gambar 17. Kegiatan Penambangan Bahan Galian di G.Guntur Tahun 2010

4.6. Geomorfologi G. Guntur

Bentangalam (landscape) Kabupaten Garut bagian utara terdiri atas dua bentang alam, yaitu (1) dataran dan cekungan antar gunung berbentuk tapal kuda membuka ke arah utara, dan (2) rangkaian gunungapi aktif yang mengelilingi

(54)

dataran dan cekungan antar gunung seperti komplek G. Guntur, G. Kamojang, G. Papandayan, G. Cikuray, G. Talagabodas, G. Galunggung sebelah timur dan sebelah selatan terdiri dari dataran dan hamparan pesisir pantai dengan garis pantai sepanjang 80 km.

Bentukan asal gunungapi merupakan morfologi yang pembentukannya sangat jelas berasal dari aktivitas gunungapi dan relatif muda. Menurut Suhadi et al. (2001), morfologi G. Guntur dapat dipisahkan menjadi satuan morfologi lereng tertoreh sedang, satuan morfologi lereng tertoreh lemah, dan satuan morfologi aliran lava.

4.8.1. Satuan Morfologi Lereng Tertoreh Sedang

Satuan morfologi ini merupakan bagian dari lereng G. Guntur yang tersebar di sebelah selatan dan tenggara dengan kemiringan sekitar 30 - 45° dan berada pada ketinggian 1.700 - 800 m dpl. Pola aliran sungai yang terdapat adalah sub radier dan sub paralel, tertoreh sedang dengan lembah berbentuk V berkedalaman maksimum antara 25 - 30 m. Batuan penyusunnya adalah lava dan piroklastik dengan tutupan lahan berupa kebun dan alang-alang.

4.8.2. Satuan Morfologi Lereng Tertoreh Lemah

Morfologi ini berada pada lereng bagian bawah G. Guntur yang tersusun oleh batuan lava dan piroklastik. Kenampakan morfologinya memperlihatkan kemiringan yang relatif landai hingga sedang dengan torehan yang lemah. Lembah-lembah sungai yang terbentuk berkedalaman antara 5 - 10 meter dan berbentuk huruf V dangkal. Morfologi ini berada pada ketinggian 800 - 750 m dpl dengan kemiringan lereng maksimum sekitar 10° - 20°. Tutupan lahan morfologi ini berupa pemukiman, kebun dan persawahan.

4.8.3. Satuan Morfologi Aliran Lava

Morfologi ini dibangun oleh aliran lava produk gunungapi Guntur yang terletak pada lereng tengah dan lereng bawah dengan kemiringan berkisar 15 - 45°. Tutupan lahannya berupa kebun, alang-alang dan pemukiman.

(55)

4.9. Sejarah Letusan G.Guntur

Letusan Gunung Guntur tercatat pertama kali pada tahun 1690. Saat itu terjadi letusan besar yang banyak mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa. Pada umumnya kegiatan Gunung Guntur hanya terbatas pada letusan abu yang terkadang kuat hingga sekeliling menjadi hitam oleh abu letusan selanjutnya. Tabel 7 dibawah ini menunjukkan ringkasan sejarah letusan G. Guntur.

Tabel 7. Sejarah Letusan G. Guntur (Padang, 1979)

 

Tahun Aktivitas

1690 Terjadi suatu letusan yang mengakibatkan kerusakan cukup besar di

daerah sekitar gunung api dan korban manusia

1770 Terjadi kegiatan, keterangan lebih lanjut tidak ada

1777 Letusan terjadi, keterangan jelas tidak ada

1780 Terjadi letusan dengan aliran lava pijar

1800 Terjadi letusan eksplosif pada tengah kawah, dengan aliran pijar (panjang

aliran tidak diketahui)

1803 Suatu letusan terjadi antara 3-15 April pada pusat kawah. Baha letusan

utama gas dan abu gunung api

1807 Letusan terjadi pada tanggal 1-6 september

1809 Letusan terjadi pada tanggal 9 Mei

1815 Letusan terjadi pada 15 Agustus di tengah kawah

1816 Letusan pada 21 September

1818 Pada 21-24 Oktober terjadi letusan berupa letusan gas, abu gunung api

dan semburan hancuran lava pijar

1825 Terjadi letusan pada 14 juni dan mengakibatkan kebakaran hutan

1828 Letusan terjadi pada tanggal 15 Mei dan 8 Juli

1829 Terjadi letusan merusak beberapa kampung dan banyak korban manusia

1832 Terjadi letusan pada tanggal 16 Januari dan 8-13 Agustus

1833 Terjadi letusan pada tangga 1 September

1834 Terjadi letusan pada bulan Desember

1840 Pada tanggal 24 Mei, tampak tiang asap dan muncul api dari kawah,

disusul aliran lava pijar mengalir ke arah Cipanas. Letusan disertai suara ledakan dahsyat dan lemparan bom vulkanik.

1841 Terjadi letusan sangat besar pada 14 November

1843 Terjadi letusan besar dengan suara Guntur dahsyat disusul tiang asap

hitam tebal dari kawah menjulang tinggi ke angkasa

1847 Terjadi letusan gas dan abu pada 16-17 Desember

1885 Tidak ada keterangan lebih lanjut

1887 Tidak ada keterangan lebih lanjut

(56)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Geomorfologi

Interpretasi geomorfologi G. Guntur melalui studi bentuklahan didasarkan pada aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi serta struktur dan litologi penyusunnya. G. Guntur merupakan kerucut termuda kompleks G. Guntur-Gandapura yang terletak di sebelah baratlaut-tenggara. Kompleks gunung api ini terdiri dari beberapa pusat erupsi antara lain Windu-Malang-Putri, Kancing, Gandapura, Randukurung, Putri-Katomas-Cikakak, Pasir Malang, Gajah, Agung, Cidadali, Ayakan-Wayu-Laja, dan Picung termasuk beberapa lubang Cileungsing, Pasir Panggulaan, Pasir Laku, Masigit dan yang terkecil yaitu Batususun dan Guntur (Purbawinata 1990). Banyak kerucut vulkanik yang terbentuk di sekitar G. Guntur yang membuktikan bahwa erupsi gunungapi ini tidak selalu terjadi pada lokasi yang sama (Sutawidjaja et al., 1998).

G. Guntur adalah gunungapi yang berumur kuarter (1,8 juta tahun lalu) dan letusan yang tercatat mengalami erupsi pertama kali adalah letusan tahun 1690. Erupsi G. Guntur menghasilkan produk vulkanik antara lain berupa kerucut vulkanik dan kawah beserta aliran yang dihasilkan pada setiap aktivitasnya. Kebanyakan produk dari G. Guntur seperti aliran lava dan pyroklastik mengalir ke arah tenggara (Purbawinata, 1990).

Di bagian bawah yaitu pada lereng-lereng kaki G. Guntur yang landai tersusun oleh deposit lahar yang terbentang luas. Dataran lahar ini tersusun atas blok-blok lava andesit dan basaltik baik yang berukuran kerakal hingga bongkah-bongkah, membentuk sudut yang tumpul dengan ukuran sedang hingga kecil dan tertanam dalam matriks pasir kasar. Deposit lahar berasal dari abu yang jatuh dari puncak pada saat terjadinya erupsi atau yang meluncur pada lereng yang terjal saat musim hujan. Menurut Purbawinata (1990) lahar yang terdapat di bagian sisi selatan kerucut G. Guntur sebenarnya berasal dari abu G. Galunggung saat terjadi letusan pada tahun 1982. Gunungapi ini berlokasi 60 km di sebelah tenggara dan lahar yang dihasilkan bercampur dengan material piroklastik G. Guntur. Lokasi deposit lahar saat ini dimanfaatkan sebagai pemukiman dan lokasi wisata oleh penduduk sekitar G. Guntur.

(57)

G. Guntur bagian barat bersebelahan dengan G. Putri-Katomas dimana hasil letusan G. Guntur berupa pyroklastik dan material lainnya menutupi bagian puncak dari gunungapi ini. Selain itu, bagian selatan G. Guntur bersebelahan dengan G. Kabuyutan. Pada bagian timur G. Guntur dapat ditemukan endapan aluvial yang tersusun atas fragmen batuan beku dalam dengan matriks pasir yang bersifat lepas. Daerah ini terdapat di sepanjang aliran sungai Citiis, Cimanuk kawah Gandapura dan danau Pangkalan.

Morfologi komplek G. Guntur memiliki kemiringan yang sangat bervariasi antara 2° - 75°. Kemiringan landai 10° sampai 30° umumnya terdapat pada dareah pemukiman seperti kota Garut, Kadung Ora, Leles, Taragong dan Cipanas sedangkan untuk kemiringan terjal terdapat disekitar puncak G. Guntur

Analisis geomorfologi menjadi aspek penting dalam identifikasi bentuklahan melalui interpretasi citra. Identifikasi bentuklahan pada citra didasarkan pada aspek morfologi terkait dengan bentuk dan ukuran dari obyek yang terdapat di G. Guntur. Sebagai contoh, bentuklahan aliran lava dapat ditentukan berdasarkan bentuk aliran lava yang memanjang menyerupai lidah yang mungkin bertampalan dan berselang-seling dan berasosiasi dengan kawah Gunungapi. Lava yang kental akan membentuk aliran yang tebal dengan tepi yang terjal dan menonjol sedangkan lava cair membentuk aliran yang tipis kurang dari 15 m. selain melalui bentuk, identifikasi bentuklahan lava pada citra dapat didasarkan pada warna/rona yang ditampilkan citra. Secara umum, rona pada aliran lava baru yang belum lapuk dan belum tertutup vegetasi akan berwarna gelap. Aspek morfogenesis didominasi oleh proses-proses vulkanik, sedangkan aspek morfokronologi lebih memperlihatkan kronologi aliran-aliran lava mengikuti struktur atau susunan lava dari atas hingga dibawahnya termasuk yang diketahui umurnya melalui tahun letusan. Untuk aspek litologi lebih didominasi oleh batuan lava basaltik produk dari aktivitas G. Guntur. Intrepretasi geomorfologi ini dapat dilakukan secara visual menggunakan citra yang beresolusi tinggi, yaitu citra Optik IKONOS yang dipadukan dengan data hasil pengamatan langsung di lapang.

Interpretasi visual citra IKONOS yang diunduh dari perangkat lunak Google Earth menghasilkan 17 jenis bentuklahan, yaitu 3 bentuklahan kawah, 1

(58)

 

Gambar 18. Citra IKONOS Google Earth G. Guntur, Garut

(59)

 

Gambar 19. Peta Bentuklahan G. Guntur Hasil Analisis Citra IKONOS Google Earth

(60)

bentuklahan kubah lava, 9 bentuklahan aliran lava, 3 bentuklahan tubuh kerucut, dan 1 bentuklahan terdegradasi. Citra IKONOS Google Earth yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 18 dan hasil interpretasi disajikan pada Gambar 19.

5.1.1. Kawah (Crater)

Kawah G. Guntur merupakan hasil dari erupsi eksplosif yang terjadi berkali-kali dengan tipe letusan strombolian (tampak lebih dominan) yang dicirikan dengan banyaknya endapan lapilli berbentuk skori. Pada gunungapi ini terdapat 3 bentuklahan kawah yaitu Crater 1, Crater 2, dan Crater 3. Untuk Crater 1 hasil dari letusan G. Guntur yang lebih tua dibandingkan dengan kawah-kawah lainnya dan terletak di sebelah barat dari puncak kerucut. Bentukan ini ditandai oleh tekstur dinding kawah yang lebih halus dan telah ditumbuhi oleh vegetasi berupa semak belukar. Bentuk kawah ini sudah tidak lagi berbentuk lingkaran sempurna karena tertutup oleh bentukan kawah baru lainnya. Crater 2 merupakan bentukan hasil letusan berikutnya setelah kawah 1 terbentuk. Kawah ini terletak di bagian utara puncak kerucut dan ditandai dengan tekstur dinding kawah yang agak halus namun hanya ditumbuhi oleh vegetasi berupa rumput-rumputan. Crater 3 merupakan bentukan hasil letusan terbaru sehingga bentukan lingkar kawah sangat terlihat dengan jelas. Kawah ini ditandai dengan tekstur batuan pada dinding kawah yang masih sangat kasar dan membentuk cekungan yang agak dalam. Bagian dalam dari cekungan tersebut telah ditumbuhi oleh beberapa jenis vegetasi seperti semak dan rumputan. Menurut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998), di bentuklahan kawah G. Guntur terdapat beberapa titik solfatara dan fumarol yang mengeluarkan CO2, H2O dan oksida belerang (SO2 dan SO3). Gambar kawah (crater) G. Guntur disajikan pada Gambar 20.

5.1.2. Kubah Lava (Lava Dome)

Bentuklahan ini merupakan hasil akumulasi lava di dalam kawah gunungapi. Citra memperlihatkan bahwa tekstur pada batuan dinding kubah agak kasar dan telah ditumbuhi oleh vegetasi jenis semak di bagian tengah kubah. Menurut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998) di kubah lava G. Guntur ditemukan batuan berkomposisi gelas pada bagian tepi tubuh kubah lava. Hal ini juga terlihat pada

(61)

citra yang ditunjukkan oleh garis setengah melingkar dengan rona terang dan bertekstur halus yang terletak pada tepi kubah.

 

(a) (b)

Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur

(c) (d)

Gambar 20. Kawah G. Guntur (a), crater 1 (b), crater 2 (c), dan crater 3 (d) pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800

Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur

Gambar 21. Kubah Lava G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800

Gambar

Gambar 6. Prinsip Geometri PALSAR
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
Gambar 8. Lokasi Penelitian
Gambar 9. Peta Kelas Kemiringan Lereng Kabupaten Garut
+7

Referensi

Dokumen terkait