• Tidak ada hasil yang ditemukan

Economic Loss of Hydropower Caused by Sedimentation and Institutional Role for Cirata Dam Management

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Economic Loss of Hydropower Caused by Sedimentation and Institutional Role for Cirata Dam Management"

Copied!
444
0
0

Teks penuh

(1)

i

KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN

PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN

WADUK CIRATA - JAWA BARAT

MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kerugian Ekonomi PLTA

Akibat Sedimentasi dan Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan

Waduk Cirata - Jawa Barat” adalah karya saya dengan arahan komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2013

(4)
(5)

v

ABSTRACT

WIDIASTUTI. Economic Loss of Hydropower Caused by Sedimentation and Institutional Role for Cirata Dam Management. Under direction of ACENG HIDAYAT and SAHAT SIMANJUNTAK.

Cirata dam, a man made resource, included in the The Common Pool Resources (CPRs). Trend of CPRs are over use and produce externality. The impact of these externalities are the mass death of fish in pondfish, corrosive plant equipment, decreased production of hydroelectric power and the most important suistainability of dam. At least 3 sectors inside activity which contribute these sedimentation: fisheries, agriculture, and domestic activities. The objective of this study are to estimate which pollutant’s source that contribute to sedimentation by estimating the solid and liquid waste; estimating economic losses of hydropower and analyze appropriate institutional model as the CPRs dam management. Data analysis for estimating economic losses using benefit-cost analysis and for institutional analysis using Dolsak&Ostrom approach. The results showed that the main source of pollution comes from fisheries sector. The contribution from solid waste 742 ton/day and from domestic ativities 58 ton/day. The willingness to pay community for waste management program is Rp25.000/month for fisheries family and Rp6.175,00/month for non-fisheries family. Hydropower losses is Rp11 million comes from 8 years remain life time reservoir. Cost of enviromental improvement is Rp65 million. Institutional analysis showed that management of dam are low enforcement, high demand of dam product, no leading sector for collective action, and there is the political interest. The study emphazed the importance of institutional arrangement for dam suistainability management.

(6)

vii MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI. Kerugian Ekonomi PLTA Akibat Sedimentasi dan Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan Waduk Cirata,

Jawa Barat. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan SAHAT

SIMANJUNTAK

Sebagai sumber daya buatan, waduk termasuk dalam CPRs dimana ciri-ciri seperti multi stakeholder, open access, kurangnya pengaturan kelembagaan dan free rider banyak ditemui di waduk Cirata. Hal ini mengakibatkan pemakaian berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan eskternalitas. Eksternalitas waduk ditandai dengan kualitas air yang semakin memburuk, tingkat sedimentasi yang tinggi, dan terjadinya konflik kepentingan diantara multistakeholder. Akibat eksternalitas tersebut antara lain kematian ikan secara massal di sejumlah usaha budidaya perikanan (KJA), korosivitas alat pembangkit lebih cepat dari spesifikasinya, kerugian PLTA karena penurunan produksi listrik, biaya operasional yang semakin tinggi, dan berkurangnya keuntungan. Dampak eksternalitas ini menyebabkan waduk menjadi tidak lestari karena terjadinya pengurangan usia layanan waduk. Setidaknya terdapat 3 sektor inside (aktivitas di dalam waduk) yang diduga bertanggungjawab terhadap penurunan produksi listrik yang menjadi fungsi utama dibangunnya waduk, yaitu sektor perikanan, pertanian, dan aktivitas domestik. Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi sumber pencemar utama yang berkontribusi terhadap sedimentasi, mengestimasi kerugian ekonomi PLTA dan menganalisis model kelembagaan yang tepat dalam pengelolaan waduk sebagai CPRs.

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis sumber pencemar utama adalah dengan mengestimasi limbah padat dan cair yang berkontribusi terhadap sedimentasi di waduk dengan menggunakan analisis statistika deskriptive. Estimasi kerugian ekonomi PLTA menggunakan cost-benefit analysis dan analisis kelembagaan dengan menggunakan pendekatan Dolsak&Ostrom (2003).

(7)

viii

sektor perikanan berasal dari feses, pakan ikan mas dan nila, dan limbah padat/cair penunggu KJA sebesar 12.372.099 gram N dan 662.841 gram P. Aktivitas pertanian sebesar 903.360 gram N sedangkan untuk unsur P tidak ada yang terbuang ke perairan. Aktivitas domestik masyarakat di sekitar waduk menyumbangkan 451,68 gram N dan P. Sehingga total nutrien yang terbuang ke perairan waduk setiap harinya sebanyak 13 ton N dan 0,6 ton P. Akibat dari banyaknya kadar N dan P di perairan dapat mengakibatkan terjadinya blooming algae.

Kerugian yang ditanggung PLTA karena sedimentasi sebesar 11 milyar rupiah yang berasal dari profit yang berkurang karena hilangnya masa layanan waduk selama 8 tahun. Willingness to pay (WTP) menunjukkan kesediaan masyarakat dalam berkontribusi dalam mengatasi sedimentasi agar waduk lebih lestari. Variabel yang berpengaruh terhadap pemberian nilai WTP rumah tangga perikanan yaitu umur dan pendapatan, sedangkan untuk rumah tangga non perikanan yaitu pendapatan dan asal responden. Mean WTP untuk rumah tangga perikanan sebesar 25000 rupiah/bulan dan rumah tangga masyarakat yang tinggal di sekitar waduk sebesar 6000 rupiah/bulan. Jika nilai WTP masyarakat dijumlahkan selama 55 tahun yang merupakan sisa umur layan waduk, maka diperoleh biaya investasi sebesar 53 milyar rupiah. Nilai kerugian PLTA ditambah dengan WTP masyarakat merupakan biaya lingkungan yang dapat digunakan untuk mengatasi sedimentasi saat ini, sebesar 65 milyar rupiah.

Analisis kelembagaan pengelolaan waduk saat ini belumlah maksimal karena tidak ada kekuatan yang lebih besar untuk menekan free rider dan menegakkan peraturan. Konflik kepentingan terjadi karena dipengaruhi oleh karakteristik waduk yang besar sehingga sulit untuk mengatur tata kelolanya, faktor ekonomi karena demand yang tinggi terhadap produk perikanan dan pertanian, adanya kepentingan politis masing-masing daerah yang tergenangi waduk untuk memenuhi pendapatan daerahnya, tidak ada leading sector yang mampu menggerakkan massa untuk melakukan collective action dan lemahnya penegakan peraturan/kesepakatan yang sudah dibuat. Saran untuk analisis kelembagaan dalam tata kelola waduk adalah dibangunnya suatu wadah atau badan yang memiliki kewenangan lintas batas dan regional (trans boundry regime) yang menangani waduk serta aktivitas didalamnya dan dikukuhkan dalam peraturan yang jelas.

(8)

ix

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)
(10)

xi

MARIA MAGHDALENA DIANA WIDIASTUTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

xii

(12)

xiii Waduk Cirata - Jawa Barat

Nama : Maria Maghdalena Diana Widiastuti

NIM : H351100031

Program Studi : Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M. T

Ketua Anggota

Ir. Sahat M.H Simanjuntak, M. Sc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M. Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr

(13)
(14)

xv Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian tesis yang berjudul : KERUGIAN EKONOMI PLTA AKIBAT SEDIMENTASI DAN PERAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA - JAWA BARAT. Penelitian ini merupakan syarat dalam melakukan memperoleh gelar Magister Sains di sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Aceng Hidayat, M. T, dan Ir. Sahat Simanjutak, M. Sc atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dalam pembimbing penulis dari penulisan proposal sampai terselesaikannya laporan penelitian ini. Staf dan managemen PT. PJB Cirata dan BPWC yang telah membantu dalam pendanaan dan penyediaan data. Pihak Tanoto Foundation dan Pemerintah Kabupaten Merauke dimana penulis memperoleh beasiswa. Pihak di belakang layar yang senantiasa mendukung Mbak Sofia, rekan-rekan ESL 2010 (Ibu Ahya, Mas Slamet, Mbak Mia, Firin, Zul Edward, Yuyun, Rizky, Intan dan Iqbal), orang tua dan adik-adik tersayang, suami dan anak-anak tercinta, penulis ucapkan juga terimakasih sebesar-besarnya.

Penulis berharap hasil penelitian ini berguna dan mampu menjadi masukan dalam penentuan kebijakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Januari 2013

(15)
(16)

xvii Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Maret 1979 dari ayah bernama FX. Pairan dan ibu M. Suharlistiati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Pada tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih jurusan Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun 2001. Setelah menamatkan program Sarjana, penulis bekerja di salah satu International NGO bernama World Vision dan ditempatkan di daerah Merauke, Papua selama kurang lebih delapan tahun.

Bulan September tahun 2005 penulis menikah dengan Jeffry F. Pelamonia dan dikaruniai dua orang putra, Adiel Ananta Pelamonia dan Deogratias Destian Tiranes Pelamonia.

(17)
(18)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...13

2.1 Waduk dan Common Pool Resources ... 13

2.2 Property Right ... 23

2.3 Keramba Jaring Apung (KJA) ... 27

2.4 Eksternalitas ... 29

BAB 3. KERANGKA PEMIKIRAN ...33

BAB 4. METODE PENELITIAN ...37

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 37

4.3 Metode Pengambilan Sampel... 38

4.4 Metode Analisis Data ... 40

4.4.1 Estimasi Kerugian ... 40

4.4.2 Identifikasi Sumber Sedimentasi Utama ... 42

4.4.3 Analisis Kelembagaan... 44

BAB 5. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ...51

5.1 KABUPATEN BANDUNG BARAT ... 51

5.2 KABUPATEN CIANJUR... 52

5.3 KABUPATEN PURWAKARTA ... 53

5.4 PLTA CIRATA ... 54

BAB 6. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUMBER SEDIMEN ...57

6.1 Sektor Perikanan ...57

6.2 Sektor Pertanian ...66

6.3 Sektor Usaha Kecil...73

6.4 Sektor Domestik Masyarakat di Sekitar Waduk ...74

6.5 Willingness to Pay (WTP) Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah untuk Mengatasi Sedimentasi ...81

(19)

7.1 Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk terhadap

Sedimentasi... 92

7.2 Perhitungan Produksi Listrik ... 96

7.3 Perhitungan Estimasi Kerugian ... 100

7.3.1 Analisis Benefit ... 101

7.3.2 Analisis Cost ... 103

7.3.3 Analisis Kerugian ... 105

BAB 8. ANALISIS KELEMBAGAAN ... 113

8.1 Karakteristik Sumber Daya Waduk ... 113

8.2 Faktor Ekonomi ... 122

8.3 Faktor Politik ... 127

8.3.1 Kabupaten Purwakarta ... 127

8.3.2 Kabupaten Bandung Barat ... 129

8.3.3 Kabupaten Cianjur ... 130

8.4 Faktor Kebijakan ... 132

8.5 Faktor Teknologi ... 137

8.6 Karakteristik Pengguna Sumber Daya... 139

8.6.1 Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) ... 140

8.6.2 Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta ... 142

8.6.3 POKMASWAS (Kelompok Pengawas Masyarakat) ... 142

8.6.4 ASPINDAC (Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Waduk Cirata) ... 143

8.6.5 Kelompok Penjual Pakan (Agen, Sub Agen dan Bandar Ikan) ... 143

8.6.6 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat... 144

8.6.4 BPWC vs Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat ... 145

8.6.5 Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat vs Dinas Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur dan Purwakarta ... 146

8.6.6 Petani KJA vs Kelompok Penjual Pakan (Agen/Sub Agen) ... 146

8.7 Tata Kelola dan Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk……… 148

KESIMPULAN DAN SARAN ... 155

(20)

xx

1 Kualitas air di Inlet dan Outlet PLTA Cirata (2005-2010) …..……….. 3

2 Perkiraan Beban Pencemaran N dan P (ton/hari) ……… 3

3 Data Kematian Ikan di Waduk Cirata ……….… 6

4 Jumlah Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata…… ……… 8

5 Pola Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Cirata ……… 9

6 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode ………. 37

7 Pembagian Besarnya Jumlah Responden per-Unit Desa ……… 40

8 Daftar Kelompok Target Wawancara dan FGD ……… ……….. 40

9 Parameter yang Digunakan untuk Setiap Unit Analisis ……….. 47

10 Analisis Stakeholder ………... ……… 48

11 Analisis Konflik …………. ………. 48

12 Analisis Konten ………..…………. 49

13 Analisis Gap ………. ….…………..……… 49

14 Data Turbin PLTA Cirata ……….……… 54

15 Data Limbah Cair dari Aktivitas Domestik di Sektor Perikanan ………. 60

16 Data Limbah Padat dari Aktivitas Domestik di Sektor Perikanan …….. 62

17 Estimasi Nutrien dari Ikan, Pakan dan Aktivitas Domestik RTP ………. 65

18 Data Limbah Padat yang Dihasilkan Masyarakat Sekitar Waduk ……… 74

19 Data Limbah Cair yang Dihasilkan Masyarakat Sekitar Waduk ……….. 75

20 Perbandingan Limbah Padat Antara Aktivitas Domestik RTP dan RTM 79 21 Perbandingan Limbah Cair Antara Aktivitas Domestik RTP dan RTM... 79

22 Perbandingan Kontribusi N dan P yang terbuang ke Perairan …………. 80

23 Biaya Lingkungan Perbaikan Waduk dari WTP Masyarakat …………... 89

24 Perbandingan Kapasitas Tampungan Antara Perencanaan versus Pengukuran ………... 95

25 Data Produksi Listrik, Estimasi Produksi Listrik Netto dan Penjualan Listrik dari Tahun 1988-2011 ………... 102

26 Estimasi Cost Operasional&Maintenance vs Cost karena Sedimentasi... 103

27 Data Perhitungan Masa Layan Waduk yang Hilang Akibat Sedimentasi. 106 28 Analisis Financial Pembangunan Waduk Baru ……… 107

29 Gambaran Umum Waduk Kaskade ………. 113

(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Data Sedimentasi dari Tahun 1987 - 2007 …..……… 4

2 Framework Masalah Apropriation ……….. 18

3 Framework Masalah Provision ……… 20

4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan CPRs ……… 22

5 Kerangka Berpikir Penelitian……… 33

6 Metode Analisis Kelembagaan ………... 44

7 Mekanisme Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Air ………. 55

8 Komposisi Responden RTP Berdasarkan Kabupaten………... ………… 57

9 Komposisi Usia Responden RTP ………. 58

10 Komposisi Lama Pendidikan Responden RTP ………..…….. 59

11 Distribusi Zonasi Responden Rumah Tangga Pertanian ………. 67

12 Komposisi Jenis Kelamin Responden Sektor Pertanian ……….. 67

13 Komposisi Jumlah Anggota Rumah Tangga Pertanian… ……… 68

14 Komposisi Umur Responden Rumah Tangga Pertanian ……….. 68

15 Lama Pendidikan Responden Rumah Tangga Pertanian ……….. 69

16 Lama Usaha Pertanian Responden Rumah Tangga Pertanian ………….. 70

17 Pipa Pendingin Pembangkit yang Mengalami Korosi ……….. 78

18 Kurva Demand WTP untuk RT non Petani KJA ………. 86

19 Kurva Demand WTP untuk RT petani KJA ………. 88

20 Data Curah Hujan Rata-rata dari Tahun 1994 s/d 2011 ……….. 98

21 Data Produksi Gross Listrik Tahunan (1988 s/d 2011) ……… 98

22 Ilustrasi Umur Layan Waduk Setelah Pengukuran Sedimentasi 2007 .... 100

23 Perbandingan Biaya Penanggulangan Sedimentasi vs Total Biaya Operasional&Maintenance ………... 105

24 Alur Mekanisme Pembuatan Ijin Budidaya Perikanan ………. 134

(22)

xxii

Halaman

1 Peta Lokasi Penelitian …..……… 163

2 Tabel matriks keterkaitan tujuan, parameter, jenis dan sumber data ….. 164

3 Kuesioner Sektor Rumah Tangga ………... 167

4 Kuesioner Sektor Pertanian ……… 170

5 Kuesioner Sektor Perikanan ………... 171

6 Kuesioner Sektor Usaha ………... 173

7 Kuesioner FGD dan KII kelembagaan ……….... 175

8 Data Sensus KJA Tahun 2011 ………. 180

9 Gambar Bagian-bagian Pembangkit dan Foto Penelitian ……… 181

10 Ekstrapolasi Benefit ………. 183

11 Ekstrapolasi Cost ………. 184

12 NPV Benefit ……… 185

13 NPV Cost ……… 187

14 Analisis Konten dan Gap ……… 190

15 Analisis Stakeholder ……… 202

(23)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya bersumber dari air permukaan dan/atau air tanah. Waduk buatan dikenal dengan sebutan reservoir atau dam atau bendungan yang biasanya dibuat dengan tujuan khusus seperti pengaturan air bagi irigasi pertanian, perikanan, pembangkit listrik, pengendali banjir dan wisata alam (KLH, 2010).

Walaupun waduk pada umumnya adalah buatan manusia namun termasuk kategori barang sumber daya. Ostrom et al. (1994) membagi barang sumber daya dalam empat tipe berdasarkan substractibility dan excludability-nya yaitu private good, toll good, common pool resources dan open access. Sumber daya dengan substractibility yang tinggi dan tingkat excludability yang rendah merupakan ciri khas Common Pool Resources (CPRs). Artinya, dalam setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut; dan tingkat excludable yang rendah berarti sumber daya alam ini karena besarnya, sehingga akses terhadap sumber daya sulit dikontrol. Karakteristik inilah yang memungkinkan terjadinya penggunaan berlebihan, congestion atau bahkan kerusakan sumber daya pada CPRs.

Berdasarkan ciri-ciri diatas, waduk termasuk CPRs. Dolsak&Ostrom (2003) juga menegaskan bahwa sumber daya buatan (waduk, salah satunya) termasuk dalam CPRs. Karakteristrik common pool resources yang dicirikan oleh dua atribut diatas muncul karena setiap pengguna sumber daya dengan sikap oportunisnya ingin lebih banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya yang tersedia dan seringkali tanpa mempertimbangkan faktor negatif lingkungan akibat ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan. Situasi inilah yang terjadi pada Waduk Cirata saat ini.

(24)

yaitu Saguling dan Jatiluhur. Waduk ini dapat menampung sebanyak 2.165 juta m3 air, dengan luas waduk sebesar 71.395.641 m2. Oleh karena besarnya waduk Cirata, banyak pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi, hal ini dipermudah dengan tidak adanya kontrol yang ketat untuk ijin aktivitas penggunaan waduk. Indikasi ini sesuai dengan fenomena CPRs.

Bukti yang dapat dilihat dari fenomena CPRs adalah kondisi perairan waduk yang semakin tercemar, kualitas air yang terus menurun dan angka sedimentasi yang meningkat melebihi data design perencanaan waduk. Untuk mengetahui kualitas air, dapat dilihat dari kandungan COD dan BOD yang merupakan indeks oksigen yang dibutuhkan oleh bahan organik dalam melakukan respirasi. Chemical Oxigen Demad (COD) menggambarkan jumlah oksigen total yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, dengan oksidator kalium dikromat (CaCr2), baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis ( non-biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Selain COD, Biological Oxigen Demad (BOD) juga merupakan indikator lain pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologi dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik.

Zakiyah (2012) menyatakan bahwa pada sisi outlet waduk kandungan COD dan BOD tidak memenuhi baku mutu. Sepanjang tahun 2005-2010, konsentrasi COD melebihi ambang batas, walaupun dengan konsentrasi yang cenderung menurun setiap tahunnya. Konsentrasi BOD juga cenderung menurun pada tiga tahun terakhir, namun tetap tidak memenuhi baku mutu. Hal ini membuat perairan waduk termasuk kategori kurang sampai dengan buruk. Data kualitas air selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(25)

Tabel 1. Kualitas Air di Inlet dan Outlet PLTA Cirata Tahun 2005 - 2010

Keterangan : *) melewati baku mutu; **) kurang dari baku mutu

Tabel 2. Perkiraan Beban Pencemaran Nitrogen dan Fosfat (ton/hari)

Sumber Saguling Cirata Jatiluhur

N P N P N P

(26)

Senyawa fosfat, pada umumnya fosfat yang berada di waduk Cirata banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik dan anorganik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sumber utama fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat organik yang selanjutnya digunakan tanaman untuk membuat energi. Menurut Garno (2001), Nastiti (2001) dan Insan (2009), berdasarkan kadar fosfat di perairan, status trofik perairan Waduk Cirata termasuk eutrof yang berarti fosfat organik diperairan mengakibatkan melimpahnya nutrien yang mengakibatkan terjadinya blooming algae. Fenomena ini kurang menguntungkan bagi organisme lain karena fitoplankton/algae memerlukan oksigen untuk respirasi dan dekomposisi bagi penguraian limbahnya, terutama di malam hari yang mengakibatkan menurunkan kadar oksigen di badan air. Jika deplesi oksigen terlarut sampai mendekati nol, maka diduga dapat mengakibatkan kematian ikan secara massal.

Degradasi lingkungan waduk yang dicirikan melalui penurunan kualitas air waduk dan eutrofikasi, juga diindikasi mengalami peningkatan angka sedimentasi. Berikut ini data sedimentasi Waduk Cirata yang diperoleh dari PT. PJB :

(27)

Sedimentasi adalah kumpulan partikel-partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara luas dan tidak beraturan bentuknya (Duxbury, 1993 yang diacu Harijono, 2004). Data sedimentasi pada tahun 2007 diatas telah menunjukkan peningkatan endapan akumulasi sedimentasi dibandingkan dengan data perkiraan sedimentasi berdasarkan design perencanaan waduk. Data teknis pada saat pembangunan waduk pada tahun 1988 memperlihatkan kapasitas total waduk diperkirakan sebesar 2.165 Juta m3 . Pengukuran terakhir pada tahun 2007, daya tampung Waduk Cirata hanya tinggal 1.827 juta m3. Perbedaan daya tampung waduk tersebut disebabkan oleh besarnya akumulasi sedimen. Volume sedimentasi yang diukur dari perbedaan besarnya daya tampung waduk selama 20 tahun, antara tahun 1988 sampai dengan 2007 sebesar 146 juta m3. Jika dirata-rata secara analisis empiris laju sedimentasi per-tahun yang terjadi di Waduk Cirata adalah 4,38 juta ton/tahun.

Sedimentasi merupakan permasalahan yang sangat penting dalam perencanaan umur waduk dimana umur waduk ditentukan oleh berapa lamanya volume tampungan mati terisi endapan material sedimentasi. Sedimentasi yang mengendap diatas tampungan matinya akan mengurangi volume efektif waduk.

Sedimentasi di Waduk Cirata selain berasal dari erosi di hulu sungai Citarum, limpahan Waduk Saguling dan sungai-sungai kecil yang bermuara ke waduk juga berasal dari aktivitas perikanan KJA. Sedimentasi yang disebabkan oleh aktivitas perikanan diindikasikan berasal dari feses ikan dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan. Fred&Dobson (2002) yang diacu Puspaningsih (2011) menyatakan bahwa pada umumnya dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan mas, hanya 80 persen yang dapat diserap oleh ikan dan sisanya 20 persen akan terbuang ke perairan. Dari 80 persen pakan yang terserap oleh ikan mas tersebut, 10 persennya akan tersekresikan dalam bentuk feses. Sukimin (2008) dan Krismono (1989) yang diacu Insan (2009) menyatakan bahwa 20-30 persen pakan yang diberikan akan terbuang ke perairan.

(28)

memadai untuk budidaya dan pertumbuhan ikan. Berikut ini adalah data kematian ikan dari tahun ke tahun menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat (2011) :

Tabel 3. Data Kematian Ikan di Waduk Cirata

No Tahun Jumlah Ikan yang Mati (Kg) Kerugian (Rp)

1 2001 1.120.000 4.480.000 2 2002 422.536.531 3.860.308.100 3 2003 37.766.897 3.892.550.000 4 2004 114.159.864 2.390.856.570 5 2005 246.138.600 3.132.529.500 6 2006 348.529.428 3.399.682.000 7 2007 512.371.340 5.255.209.000 8 2008 28.951 370.042.300

Jumlah 1.682.651.611 22.305.657.470 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, 2011

Selain kasus kematian ikan, jasa layanan waduk akan berkurang, jika terjadi tekanan yang tinggi terhadap sumber daya. Hal ini dirasakan oleh PLTA sebagai pengguna utama waduk. Diindikasikan dengan tingginya angka H2S yang dapat menyebabkan korosivitas pada alat-alat pembangkit terutama pada alat-alat yang terbuat dari logam seperti turbin, reaktor dan air cooling. Apabila terjadi korosi pada instalasi ini, maka produk energi akan menurun. Korosi adalah peristiwa memburuk atau rusaknya logam yang terjadi ketika suatu material bereaksi dengan lingkungan atau dengan fluida yang dipindahkan atau dikandungnya. Logam struktural akan memburuk dengan adanya reaksi kelembaban, gas dan polutan atmosfer. Korosivitas ini tentu saja menambah beban biaya operasional dan perawatan dari PLTA, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerugian bagi PLTA.

(29)

Garno (2001) menyatakan bahwa limbah yang berasal dari outside berupa limbah industri, air lindi TPA Sari Mukti, limbah domestik, pertanian, erosi di hulu, perubahan tata guna lahan dan limbah buangan Waduk Saguling. Identifikasi aktivitas inside adalah sisa pakan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA, aktivitas domestik masyarakat, aktivitas usaha masyarakat, dan aktivitas pertanian pasang surut di sekitar waduk Cirata. Limbah pertanian dalam aktivitas inside berasal dari air buangan limbah pertanian yang mengandung sisa pestisida seringkali dibuang ke sungai dan akhirnya tertampung dalam waduk. Begitu juga bekas sampah aktivitas pertanian diletakkan di pinggiran waduk, sehingga ketika terjadi kenaikan air waduk, sampah tersebut terbawa mengotori waduk Cirata.

Limbah Air Lindi TPA Cigedig di desa Sarimukti juga merupakan penyumbang limbah organik (air lindi) yang berasal dari aktivitas outside. TPA Sarimukti menampung sampah untuk daerah Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. TPA ini menghasilkan air lindi sampah yang masuk ke dalam air tanah dan air permukaan sehingga berbahaya juga bagi organisme yang hidup di darat dan mengancam kehidupan ikan-ikan di Waduk Cirata. Jarak TPA dengan Waduk Cirata yang tidak terlalu jauh menyebabkan rembesan air dari tumpukan sampah akan mengalir ke waduk karena posisi waduk lebih rendah dibanding TPA.

Industri yang berada di kota Bandung berada pada hulu sungai Citarum, terutama pada daerah di sekitar Majalaya sampai Dayeuh Kolot yang merupakan sentra industri. Banyak sentra industri tersebut yang tidak menggunakan IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) dan membuangnya pada aliran sungai Citarum yang pada akhirnya menyebabkan pencemaran perairan Citarum dan waduk Cirata meningkat. Aktivitas industri di sepanjang sungai juga merupakan salah satu aktivitas outside yang mempengaruhi waduk. Limbah organik dari industri, baik yang dapat diuraikan secara kimiawi oleh bakteri maupun yang sukar diuraikan dapat menyebabkan pertumbuhan alga secara berlebihan serta mengubah kondisi ekologi perairan.

(30)

sungai dan bermuara di waduk. Limbah organik yang berasal dari dalam perairan waduk merupakan sisa aktivitas domestik masyarakat yang tinggal di sekitar perairan waduk Cirata maupun berasal dari aktivitas penunggu KJA yang tinggal di atas perairan waduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairan Waduk Cirata telah menyebabkan limbah sisa aktivitas domestik pada perairan waduk Cirata meningkat dan dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik lainnya yang masuk ke badan air.

Fenomena CPRs yang dicirikan dengan substractibility-nya yang tinggi terjadi salah satunya karena kegiatan budidaya perikanan yang jumlahnya sudah melebihi daya dukung lingkungan waduk. Sejak Waduk Cirata dibuka tahun 1988, sudah dijadikan tempat budidaya ikan air tawar, hingga tahun 2011 telah terjadi peningkatan jumlah petakan KJA seperti terlihat pada Tabel 4 dibawah ini : Tabel 4. Jumlah Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata

Tahun Jumlah KJA (Petak)

2002 33.000

2003 39.690

2007 51.418

2011 53.031

Sumber : Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC, 2011)

Aktivitas outside selain yang disebutkan diatas, ternyata juga sangat ditentukan oleh tingkat erosi dihulu dan limpahan dari Waduk Saguling. Waduk Saguling selain dibangun untuk PLTA, perairannya juga digunakan untuk budidaya perikanan KJA. Sebagai waduk kaskade, pencemaran yang terjadi di Waduk Saguling dapat turut mencemari perairan di Waduk Cirata. Garno (2001) menyebutkan bahwa limbah pertanian dan industri yang berasal dari waduk Saguling di hulu sungai, turut mencemari perairan Waduk Cirata.

(31)

lahan di Waduk Saguling dan Cirata. Konversi lahan terbesar terjadi dari hutan menjadi lahan perkebunan dan pemukiman yang dicirikan dengan penurunan luas hutan, lahan terbuka dan peningkatan areal pemukiman dan semak belukar. Perubahan luasan tutupan lahan seperti terlihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5. Pola Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Cirata Jenis

Penutupan Lahan

Luas Thn 2001 Luas Thn 2007 Perubahan

Ha % Ha % Ha Ha/Tahun %Tahun

Hutan 87.818 18,87 23.392 5,03 (64.425) (10.738) (12,2) Pemukiman 48.490 10,42 55.234 11,87 6.744 1.124 2,3

Sawah 135.217 29,06 135.349 29,09 132 22 0,0

Semak belukar 3.260 0,7 70.057 15,06 66.797 11.133 341,5 Lahan terbuka 6.935 1,49 191 0,04 (6.744) (1.124) (16,2) Pertanian

lahan kering 135.677 29,16 68.749 14,78 (66.928) (11.155) (8,2) Perkebunan 34.524 7,42 98.950 21,27 64.426 10.738 31,1

Rawa 840 0,18 840 0,18 (0) (0) (0,0)

Badan Air 11.534 2,48 11.534 2,48 (0) (0) (0,0)

TOTAL 464.295 100 464.295 100 Sumber : Zakiyah (2011)

(32)

1.2 Perumusan Masalah

Secara umum masalah yang terjadi di Waduk Cirata yaitu adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam (waduk). Pemanfaatan sumber daya oleh salah satu pihak ini ternyata menimbulkan masalah karena pemanfaatannya yang melebihi daya dukung lingkungan sehingga menimbulkan eksternalitas yang mengganggu kepentingan pihak lain. Eksternalitas negatif yang timbul membuat fungsi utama waduk, yaitu penghasil tenaga listrik menjadi terancam keberlanjutannya. Oleh karena itu upaya penyelamatan waduk menjadi sesuatu yang sangat penting.

Dari banyak penelitian yang telah dilakukan di Waduk Cirata, Ada tiga permasalahan penting dalam mengatasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya. Pertama, terjadinya penurunan kualitas air dan tingginya angka sedimentasi dikarenakan aktivitas yang terjadi baik dalam waduk (inside) maupun kontribusi aktivitas dari luar waduk (outside) yang melebihi daya dukung lingkungan. Aktivitas tersebut contohnya adalah kegiatan KJA, aktivitas rumah tangga, pertanian, industri, alih fungsi lahan di hulu, penebangan/penggundulan hutan di hulu dan lain sebagainya. Adanya aktivitas substractibility yang tinggi, menurut Fauzi (2004) disebabkan karena ketiadaan kelembagaan yang efektif atau kurang berfungsinya kelembagaan yang ada dalam mengatur alokasi sumber daya. Hal ini terkait dengan pengaturan akses untuk membatasi demand dari para pemilik modal dalam upaya menekan usaha perikanan dalam bentuk KJA; dan demand dari masyarakat dalam ekploitasi hutan dan alih fungsi lahan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam tentang kelembagaan yang terdapat di hulu sungai dan di Waduk Cirata dalam menjalankan perannya mengatasi masalah sedimentasi. Pertanyaan penelitian terkait dengan analisis kelembagaan tersebut yaitu : Kelembagaan apa saja yang menangani pengelolaan waduk? Bagaimana bentuk kekuatan yang dimiliki dan agenda lembaga tersebut? Bagaimana aktor-aktor sebagai pengguna CPRs menyepakati hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan lingkungan terutama untuk mengatasi sedimentasi? Bagaimana para aktor tersebut berinteraksi?

(33)

proses produksi listrik. Nilai kerugian ekonomi ini juga dapat memberikan masukan kepada pihak managemen pengelola waduk dan pembangkit dalam keputusan pembiayaan upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani sedimentasi dan penanganan aktivitas-aktivitas sekunder di atas waduk.

Ketiga, penelitian mengenai sedimentasi waduk mengarah kepada aktivitas budidaya perikanan KJA yang sudah melebihi daya dukung lingkungan, namun kajian mengenai sektor-sektor lain tidak diperhitungkan, padahal ada kemungkinan faktor lain yang menjadi penyumbang terbesar sedimentasi, misalnya sektor rumah tangga atau industri. Informasi yang tidak seimbang ini dapat menyebabkan keputusan yang salah dalam penanganan sedimentasi. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi sumber-sumber pencemar yang diperkirakan dapat berkontribusi terhadap peningkatan sedimentasi di waduk dan seberapa besar frekuensi masing-masing sektor memberikan kontribusi. Identifikasi dan analisis ini diperlukan agar upaya pencegahan atau perbaikan lingkungan akibat sedimentasi oleh lembaga-lembaga terkait dapat dilakukan secara tepat sasaran dan efektif.

Mengingat luasnya wilayah pengamatan, maka penelitian ini dibatasi hanya aktivitas yang berada di dalam perairan waduk atau aktivitas yang hanya terjadi di wilayah inside yaitu sektor aktivitas rumah tangga perikanan, rumah tangga masyarakat di sekitar waduk, sektor usaha di sekitar waduk, dan sektor pertanian di wilayah pasang surut waduk.

(34)

kelembagaan dan redesign kelembagaan dalam pengelolaan waduk diperlukan untuk menjaga keberlangsungan pasokan listrik, kehidupan petani KJA, petani pasang surut, nelayan dan masyarakat di sekitar waduk serta peningkatan ekonomi secara nasional.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan batasan penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis sumber sedimentasi utama yang berasal dari aktifitas didalam Waduk Cirata

2. Mengestimasi kerugian ekonomi PLTA Cirata

3. Menganalisis kelembagaan yang mengelola Waduk Cirata : - Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik SDA

- Mengidentifikasi dan menganalisis karakateristik pengguna SDA - Mengidentifikasi stakeholder dan menganalisis interaksi antar

stakeholder melalui analisis konflik

- Mengidentifikasi dan menganalisis kebijakan terkait pengelolaan Waduk Cirata

- Mengidentifikasi dan menganalisis unit variabel lain seperti faktor ekonomi, politik, aturan main dan teknologi

(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Waduk dan Common Pool Resources

Berdasarkan pembentukannya, ada waduk yang terbentuk secara alami (natural lake) dan buatan (man made lake/artificial lake). Waduk buatan dikenal dengan sebutan waduk (reservoir) atau bendungan, dan waduk kecil disebut situ seperti Situ Gintung, Situ Patenggang, Situ Bagendit. (KLH, 2010). Menurut Komisi Dam Dunia yang diacu dalam artikel pusat litbang sumber daya air (2005), bendungan/waduk dikatakan besar bila tinggi bendungan lebih dari 15 meter; sedangkan embung merupakan waduk kecil yang tinggi bendungannya kurang dari 15 meter. Pustaka yang sama menyatakan bahwa baik situ, embung maupun waduk umumnya memiliki peranan yang sama, secara ekologis, ekonomis, estetika, wisata alam maupun religi dan tradisi. Secara ekologis waduk mempunyai fungsi dan manfaat sebagai tempat penampungan air, daerah resapan, dan habitat kehidupan liar, penahan intrusi air laut, sedangkan secara ekonomis berfungsi atau bermanfaat sebagai sumber air irigasi, perikanan, wisata alam, dan transportasi. Secara umum fungsi dan manfaat ekosistem waduk yaitu sebagai sumber air baku (PDAM, industri), sumber air irigasi, sumber air kebutuhan rumah tangga, tempat perikanan tangkap dan perikanan budidaya, sumber energi air untuk PLTA yang dibangun pada outlet waduk, pengendali banjir (mampu menyimpan air di waktu musim hujan), obyek pariwisata, sumber plasma nutfah (flora dan fauna endemik), pengendali iklim mikro, sarana pendidikan dan penelitian dan prasarana transportasi.

(36)

air dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air waduk dan tata air drainase wilayah.

Menurut panduan valuasi ekonomi ekosistem danau/waduk (KLH, 2010), kerusakan ekosistem waduk adalah tidak atau berkurangnya fungsi ekosistem waduk dalam memberikan manfaat sebagai dampak dari adanya perubahan, baik secara fisik maupun non fisik terhadap ekosistem yang ada. Perubahan fisik yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem waduk seperti adanya pembangunan rumah hunian di bagian tanggul waduk, terjadinya sedimentasi yang berdampak terhadap semakin menyusutnya luasan waduk. Perubahan non fisik yang dapat berdampak terhadap kerusakan ekosistem waduk seperti pembuangan limbah yang dapat mengakibatkan pencemaran perairan, dan berkurangnya populasi endemik.

KLH (2010) juga menyatakan bahwa ada dua faktor penyebab terjadinya kerusakan ekosistem waduk, yaitu: karena faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem karena faktor alam adalah kerusakan ekosistem waduk yang disebabkan oleh adanya bencana alam yang berdampak terhadap terjadinya kerusakan ekosistem. Sedangkan kerusakan ekosistem karena faktor manusia adalah kerusakan ekosistem waduk yang diakibatkan oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia.

Ketersediaan sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya berdampak pada perekonomian yang terbatas pula. Hal ini mengakibatkan kondisi kemakmuran rakyat tidak tercapai. Sebagai aset suatu wilayah, danau/waduk perlu dikelola dengan bijak untuk mengurangi kerusakan ekosistem waduk agar memberikan jasa layanan yang optimal bagi kehidupan perekonomian masyarakatnya (Pusat litbang SDA, 2005).

(37)

mengetahui karakteristik waduk/danau untuk memahami tata kelola yang tepat dari sumber daya alam tersebut. Karakteristik ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai Common Pool Resources (CPRs).

Istilah Common Pool Resources diperkenalkan secara spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1990) yang menyebutkan bahwa CPRs merujuk pada sumber daya buatan manusia atau alami yang cukup luas dan untuk membuatnya membutuhkan biaya yang besar serta dibuat untuk tujuan terbatas dengan pengguna sumber daya yang terbatas pula. CPRs dicirikan dengan sifatnya yang rivalness/substractable dan non excludable. Rivalness/ketersaingan berarti dalam pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Contoh sumber daya dengan karakteristik rivalness seperti batubara, minyak bumi, sumberdaya yang dapat diperbaharui, ikan laut (ikan) serta udara.

Ostrom (1990) menyatakan bahwa untuk memahami proses pembentukan dan pengelolaan CPRs, sangat penting untuk memahami perbedaan resourse system dan resource units yang diproduksi oleh sistem yang satu sama lain memiliki ketergantungan. Resource system merupakan variabel stok yang dapat diterima dalam kondisi yang menguntungkan atau jumlah maksimum yang dapat diproduksi dari resource unit tanpa merugikan stok ataupun pengguna lain yang memanfaatkan resources system. Contoh resources system adalah bendungan/waduk, danau, saluran irigasi, padang rumput, laut dan lainnya. Resource unit adalah apa yang diambil oleh pengguna resource system. Contohnya adalah ikan yang diambil dari laut, rumput yang dikonsumsi oleh ternak di padang rumput, atau pun jumlah limbah yang diabsorp oleh sungai per tahunnya. Perbedaan antara stok sumber daya dan aliran resource unit berguna untuk melihat hubungan sumber daya yang dapat dibarui (renewable resources) dengan kemampuannya meregenerasi. Selama jumlah resources unit tidak melebihi daya regenerasinya, maka stok sumber daya tidak akan habis. Ketika sumber daya tidak lagi memiliki kemampuan untuk melakukan regenerasi, maka para penerima manfaat (beneficieries) tidak bisa lagi memanfaatkan resource unit dan akhirnya akan mati.

(38)

mengesktrak/memanfaatkan resource units dari resource system dalam istilah ekonomi dikenal dengan appropriation. Mereka yang mengambil/ mengekstrak/memanfaatkan/beneficieris disebut appropriators. Terminologi appropriator seterusnya akan digunakan untuk merujuk pada pengguna sumber daya seperti penggembala, nelayan, petani yang menggunakan irigasi, pembudidaya dan setiap orang/pihak/beneficiries yang memanfaatkan resource system. Secara sederhana, appropriator menggunakan atau mengkonsumsi resource unit yang mereka ambil (contohnya nelayan mengambil ikan untuk dikonsumsi), namun ada juga appropriator yang menggunakan resource unit sebagai input dari proses produksinya (contohnya petani yang menggunakan air untuk menghasilkan padi). Secara umum, appropriator juga bisa mentransfer kepemilikan resource unit kepada pihak lain, mereka juga disebut pengguna resource unit (contohnya nelayan menjual hasil tangkapannya kepada orang lain ketika tiba di pelabuhan).

Ostrom (1990) menyatakan bahwa mereka yang mengatur sumber daya CPRs dalam rangka menghindari terjadinya degradasi lingkungan biasa disebut providers. Sedangkan untuk mereka yang secara langsung membangun, memperbaiki atau mengambil langkah-langkah penggunaan resource system untuk jangka panjang disebut producer. Provider dan producer pada umunya adalah orang yang sama, namun tidak selalu demikian. Contohnya pemerintah menyediakan sistem irigasi dengan mengatur pembiayaan dan design pembangunan. Lalu pengelolaannya diserahkan kepada petani dan masyarakat setempat. Jika masyarakat setempat diberikan kewenangan untuk mengatur pengelolaannya, mereka menjadi provider sekaligus producers dalam pengelolaan CPRs.

(39)

alokasi output. Disisi lain, masalah provision berhubungan dengan menciptakan sumber daya, mengelola dan meningkatkan kemampuan produksi dari sumber daya atau menghindari terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan.

Diskusi tipe masalah yang berhubungan dengan alokasi sumber daya memerlukan kriteria untuk mengevaluasi alokasi sumber daya. Ostrom (1990) dalam bukunya Rules, Games and Common Pool Resources menggunakan konsep ekonomi efesiensi dan pareto optimal. Ekonomi efesiensi berkaitan dengan maksimisasi discounted net present value, sedangkan Pareto optimal termasuk alokasi sumber daya dimana tidak ada individu yang membuat lebih baik tanpa mengorbankan kepentingan individu lain.

Dalam masalah appropriation, bentuk fundamental untuk tingkat efisiensi appropriation dapat dilakukan dengan menyamakan marjinal cost appropriation dengan marjinal returns dari appropriation. Untuk menjawab persoalan approriation yang paling penting yaitu mencapai efesiensi. Efesiensi membutuhkan pemahaman waktu dan lokasi yang tepat, dan pemahaman bagaimana alternatif teknologi dapat mempengaruhi kepentingan yang lain. Berdasarkan pengalaman mengatasi masalah appropriation, maka diperoleh tiga bentuk masalah yang berkaitan dengan appropriation, yaitu : eksternalitas appropriation, masalah assignment dan teknologi eksternalitas. Untuk lebih memahami masalah appropriation dalam CPRs dapat dilihat pada Gambar 2.

(40)

Gambar 2.Framework Masalah Appropriation

Model yang sederhana untuk menggambarkan masalah eksternalitas appropriation seperti yang digambarkan oleh Gordon yang diacu oleh Ostrom et al. (1994). Gordon mengilustrasikan seorang nelayan yang mengambil ikan akan terus meningkatkan ekstraksinya selama biaya investasi (marjinal input) masih belum seimbang dengan hasil yang diperoleh (marjinal returns). Dalam teori pasar neoklasik, selama marjinal return lebih rendah dibandingkan marjinal costnya maka orang cenderung untuk mencari alternatif input lain untuk lebih mengefesiensikan alokasi. Pemanfaatan sumber daya oleh seseorang yang dapat mengurangi marjinal return semua appropriator termasuk eksternalitas. Keberadaan eksternalitas ini akan menyebabkan overinvestment terhadap pemanfaatan sumber daya.

(41)

membuat kesepakatan diantara pengguna dalam memanfaatkan lokasi yang menguntungkan dan lokasi yang tidak menguntungkan.

Masalah assignment akan menimbulkan inefisiensi jika tidak menemukan pemecahan masalah yang tepat. Dalam banyak kasus CPRs, konflik terjadi karena perebutan wilayah yang ―baik‖. Di berbagai tempat banyak digunakan aturan tradisi setempat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah ini (berdasarkan waktu, lokasi, tipe pengguna sumber daya dan atribute lainnya). Banyak aturan daerah yang tidak dikenal namun efektif untuk menyelesaikan assingment problems ini (Ostrom et al., 1994)

Jika seorang approprior sumber daya menggunakan suatu teknologi dan hal tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemanfaatan sumber daya pihak lain, maka hal tersebut menyebkan teknologi eksternalitas diantara pengguna CPRs. Banyak masyarakat pengguna mengatur pemakaian teknologi diantara mereka untuk mengurangi eksternal cost. (Ostrom et al., 1994)

Masalah provision terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi produksi CPRs. Provision ini memaksa dan mengarahkan user atau pengguna sumber daya agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan/penjagaan CPRs. Masalah ini terbagi dalam 2 identifikasi, yaitu dari sisi demand dan sisi supply. Sisi Demand berarti membatasi demand dengan pembatasan laju pemanfaatan sehingga tidak melebihi daya dukung kemampuan regenerasinya. Sedangkan yang dimaksud dengan sisi supply adalah rekonstruksi dan maintenance CPRs agar dapat memberikan jasa yang berkelanjutan. Untuk lebih memahami mengenai masalah provision, Gambar 3 dibawah ini akan memberikan gambaran mengenai kerangka masalah provision sesuai yang disampaikan Ostrom et al. (1994)

(42)

terjadi kepunahan spesies biologi sebagai konsekuensi peningkatan ekstraksi yang berlebihan dibandingkan pengambilan sumber daya yang ―aman‖.

Gambar 3.Framework Masalah Provision

Sumber masalah utama dari sisi supply adalah adanya insentif individu terhadap free rider dalam aktivitas ekstraksi sumber daya. Secara konseptual, sisi supply pada situasi CPRs paralel dengan teori dan literatur empiris tentang public good provision. Senada dengan pure public good provision, fasilitas CPRs tidak akan bersih dari free rider sebab sangat sulit untuk memonitor atau menjaga akses sumber daya. Masalah pengelolaan akan muncul berkaitan dengan ketersediaan/stok resource unit.

(43)
(44)

Secara umum penggunaan sumber daya tergantung pada faktor kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Menurut Dolsak&Ostrom (2003), hubungan antara faktor-faktor tersebut dan CPRs dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini :

Gambar 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan CPRs

(45)

Karakteristik spesifik untuk jenis CPRs tertentu dan penggunanya sangat mempengaruhi pengelolaan sumber daya tersebut. Semakin sama jenisnya, sederhana dan dalam skala yang kecil, maka semakin mudah untuk mendesign struktur kelembagan sehingga semakin terlindungi sumber daya tersebut dari degradasi dan penggunaan berlebihan. Sumber daya yang kompleks dengan berbagai interaksi dan eksternalitas negatif biasanya sangat sulit dikelola. Karakteristik individu pengguna CPRs, seperti preferensi, aset dan karakteristik dari kelompok (koherensinya, tingkat kepercayaan, homogenitas, besarnya kelompok) mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumber daya. CPRs kemudian dipengaruhi oleh kelembagaannya, pengelolaan kelembagaan itu sendiri dan ketersediaan teknologi (Dolsak&Ostrom, 2003)

2.2 Property Right

Menurut Hidayat (2010), property right atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut kepada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang (fisik), jasa, informasi/pengetahuan yang bersifat intangibel. Property sangat penting dalam perekonomian karena berkaitan dengan kepastian penguasaan faktor-faktor produksi dimana sumber daya alam merupakan salah satu dalam faktor produksi tersebut. Karakteristik property rights terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, Ekslusivitas, berarti pemanfaatan/nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara eksklusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut. Kedua, Tranferable, yang berarti seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik yang lain secara sukarela melalui jual beli, hibah, sewa dan lainnya. Ketiga, enforceability, yang berarti hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormasi dan dijamin dari praktek perampasan pihak lain.

(46)

property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Rezim kepemilikan negara (state property regime), memiliki ciri bahwa hak kepemilikkan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, dan individu tidak boleh memilikinya; dan rezim akses terbuka atau tanpa kepemilikan (open acces regime) yang berarti tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban. Biasanya open acces terjadi pada sumber daya dengan skala besar, dan sulit dijangkau untuk penegakkannya.

Sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah telah memberikan komitmen peluang usaha kepada penduduk yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk dan juga penduduk sekitar. Salah satu peluang usaha tersebut adalah KJA. Bentuk hak yang diberikan kepada pemerintah tersebut termasuk dalam Common Property regime, yang berarti hak kepemilikan sumber daya secara milik bersama, karena itu siapapun yang mengaku penduduk setempat dan sekitarnya dapat masuk berinvestasi dalam budidaya KJA di kawasan ini. Ostrom (1990) menyebut common property sebagai Common pool resources

(CPR‘s).

Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa masalah keterbatasan dalam mengkonsumsi sumber daya timbul karena adanya kecenderungan overuse (penggunaan yang berlebihan) sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse tersebut dapat menyebabkan congestion yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand pada waktu-waktu tertentu. Contoh di jalan raya terjadi kemacetan jalan, karena banyak mobil, sementara ruang jalan sangat terbatas. Sumberdaya ruang jalan tersedia secara jangka panjang (tidak cepat habis) akan tetapi pada waktu tertentu (pada pagi dan sore jam berangkat/pulang kerja) menjadi terbatas.

(47)

pada keberlanjutan sistem produksi. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan (overuse) dan adanya free rider merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumber daya-sumber daya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah atau menghindarinya (Rustiadi et al., 2009)

Ostrom (1990) menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan sumberdaya common-pool adalah biaya untuk membatasi/mencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap (free rider) dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturan-aturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian (social cost) masih lebih rendah dari manfaat (social benefit). Masalah tersebut seringkali muncul dalam pengelolaan sumber daya alam dan memberikan dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumber daya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung. Tingginya biaya tersebut tercermin dari faktor produksi yang lebih besar dari yang semestinya dalam mengeksploitasi sumber daya. Solusi untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas yakni memberikan hak pemilikan (assigning property rights), internalisasi dan pemberlakuan pajak (Pigouvian tax). Eksternalitas dan solusi yang ditawarkan akan dibahas pada sub bab Eksternalitas.

(48)

sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Pemindahan hak milik (penguasaan) kadang-kadang mengganggu keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, akibat berubahnya perilaku masyarakat atas sumberdaya dimana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi. Proses transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh masyarakat (adat) lokal menjadi sumberdaya miliki negara di berbagai negara telah mengarahkan pada: (1) penghilangan kelembagaan kearifan lokal; (2) terjadinya situasi dimana kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara menjadi lemah, terutama pada sumber daya-sumber daya yang berskala luas dan kompleks yang diklaim sebagai kekuasaan negara, dan (3) pemanfaatan sumber daya yang terjebak pada kondisi de facto open access dan kecenderungannya para pihak menjadi berlomba untuk memanfaatkan sumber daya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing. Sehingga pemilikan dan pengelolaan oleh pemerintah yang diduga merupakan satu-satunya solusi pelaksanaan secara universal untuk tragedy of the common secara serius terbantahkan oleh fakta-fakta ini.

Menurut Rustiadi et al. (2009), argumen Hardin didasarkan atas dua asumsi, yaitu: (1) pengawasan dengan sifat ―memaksa‖ dapat berjalan secara efektif melalui pembentukan norma-norma internal atau pembentukan kewajiban pada semua pemakaian sumberdaya, dan (2) kesepakatan dalam aturan yang dicapai dalam suatu negara, umumnya pada pemerintahan nasional, karena pada pemerintah lokal dan informal serta lembaga non pemerintah tidak dapat membangun cara yang efektif untuk melindungi atau memperbaiki keadaan yang mengarah pada tragedi. Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common-property yang dimiliki komunitas lokal menjadi properti pemerintahan negara telah terbukti menjadi preseden yang buruk bagi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya. Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering kali tidak memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumber daya.

(49)

pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan diatas. Oleh karena setiap sumber daya memerlukan penanganan yang spesifik, maka perlu hasil evaluasi tipe pengaturan kelembagaan baik yang berhasil dikembangkan maupun yang tidak sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi pengelolaan sumber daya di wilayah lain. Karenanya, rekonstruksi kelembagaan yang ada sangat penting untuk mengevaluasi kinerja dan output yang dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.

2.3 Keramba Jaring Apung (KJA)

Kolam budidaya jala terapung merupakan budidaya ikan intensif yang merupakan ciri penebaran ikan yang tinggi dan ditunjang dengan pemberian makan yang terencana. Tehnik budidaya jala terapung kini tidak hanya dikembangkan di laut tetapi juga di perairan air tawar seperti danau dan waduk. Metode dalam pemeliharaan ini, kantong jala merupakan pembatas ruang gerak ikan sedangkan masa air perairan merupakan media hidup. Pemeliharaan ikan terapung ini mula-mula diuji coba di waduk Jatiluhur pada tahun 1974. Budidaya ikan dalam keramba di Waduk Cirata secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 dan perkembangan paling pesat baru dimulai pada tahun 1988 (Fausia et al., 1996)

Fausia (1994) menyatakan lokasi yang tepat untuk budidaya ikan air tawar dengan menggunakan metode keramba jaring apung adalah danau, telaga, waduk atau rawa. Lokasi pemasangan keramba jaring apung harus memenuhi aspek tehnis dan aspek sosial ekonomis seperti : kedalaman perairan minimal 10 meter, kualitas air memenuhi persyaratan hidup ikan, bebas dari pencemaran air, bukan alur lalu lintas kapal, tidak merusak kelestarian lingkungan, kemudahan transportasi, ketersediaan bahan dan pakan, dekat dengan daerah pemasaran, kemudahan suplai benih, keamanan terjamin, legalitas lokasi budidaya, dan ketersediaan tenaga kerja. Waduk Cirata memenuhi kriteria aspek-aspek pembudidayaan keramba jaring apung tersebut sehingga mulai dikembangkan pada saat selesai dibangunnya waduk pada tahun 1988.

(50)

(rumah) yang digunakan sebagai rumah jaga, gudang pakan, peralatan atau tempat berteduh. Walaupun tidak terlihat dari permukaan, perbedaan yang jelas adalah bagian jaringnya. Pada budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata biasanya menggunakan dua lapis jaring, jaring bagian atas yang terdiri dari satu petak atau lebih dipergunakan untuk membesarkan ikan mas, kemudian dibawahnya dipasang jaring yang disebut jaring kolor untuk pembesaran nilai. Ukuran rangka luar kolam jaring apung 15,8 m x 15,8 m (250 m2). KJA terdiri dari dua lapis. Lapis pertama terdiri dari 4 kolam/jaring, lapis kedua terdiri dari 1 kolor. Lapor pertama diisi satu jaring ukuran 7 x 7 x 4 m3 dengan diameter mata jaring 0,75‖ dan tiga jaring ukuran sama dengan diameter mata jaring 1‖. Lapis kedua (kolor) yang digunakan berkurukuran sesuai luas rangka luar (250 m2) dengan kedalaman 6 m dan diameter mata jaring 1,25‖. Bagian-bagian keramba jaring apung : rakit/geladak, karamba, pelampung, rumah jaga, pemberat, dan jangkar.

Jenis ikan yang umum dibudidayakan di jaring terapung air tawar adalah ikan mas dan ikan nila, namun ada beberapa jenis lainnya dengan jumlah yang relatif sedikit, yaitu ikan patin (jambal siam), bawal dan gurame. Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial berupa pellet kering. Ikan mas biasanya diletakkan di jaring lapis pertama dan ikan nila yang lebih tahan penyakit diletakkan pada kolor/lapis kedua. Ikan nila ini pun tidak diberikan pakan, hanya memakan remah-remah dari lapis pertama dan makan peryphyton (sejenis alga) yang menempel pada jaring.

(51)

Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan waduk yang tersedia, kelestarian sumber daya, kemudahan dalam proses produksinya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomis. Penelitian Sudrajat (2009) menghasilkan surplus produsen yang diterima oleh RTP rata-rata sebesar Rp724.012.875,00/tahun. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya pihak luar yang menanamkan modalnya untuk bisnis KJA. Dibuktikan dengan semakin berkembangnya jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu. Hasil sensus terakhir yang dilakukan oleh BPWC pada tahun 2011, jumlah KJA mencapai 53.031 petak dengan jumlah pemilik sebanyak 2.511 RTP (rumah tangga petani), secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8 (Delapan). Dari hasil invetarisasi KJA di Waduk Cirata, telah terjadi peningkatan KJA sebanyak 39,17% jika dibandingkan dengan sensus pada tahun 2003, sedangkan jumlah pemilik menurun sebesar 3,87%. Hal ini dikarenakan beberapa kasus kematian ikan massal yang terjadi beberapa waktu lalu menyebabkan beberapa RTP yang hanya memiliki beberapa petak KJA mengalami kebangkrutan dan menjual asetnya kepada pihak lain yang memiliki lebih banyak petak KJA.

2.4 Eksternalitas

Adanya kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak yang mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak yang mempengaruhi tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak merupakan eksternalitasi (Fauzi, 2004). Eksternalitas merupakan fenomena yang sering dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini sangat penting untuk diketahui karena akan menyebabkan alokasi sumber saya yang tidak efesien. Efesiensi alokasi itu sendiri dimungkinkan terkait dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) yang ada di Waduk Cirata. Solusi untuk mengatasi eksternalitas seperti disebut diatas dapat dilakukan dengan cara memberikan hak kepemilikan, internalisasi, privatisasi atau pemberlakuan pajak.

(52)

kepemilikan tidak sepenuhnya menghilangkan eksternalitas, namun hanya menguranginya; pemberian hak ini akan efektif jika tahu persis siapa yang memberikan eksternalitas; pemberian hak ini akan mensejahterakan pemilik sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya eksternalitas. Pemberian hak kepemilikan hanya meningkatkan manfaat dari pertukaran (gain from trade) atas eksternalitas. Kerusakan bisa dihitung dan tawar menawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi.

Fauzi (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu instrumen ekonomi lain yang digunakan untuk menghilangkan eksternalitas adalah melalui internalisasi. Internalisasi merupakan upaya untuk ‗menginternalkan‘ dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. Pembayaran pajak juga bisa dilakukan dengan cara pencemar membayar akibat kegiatannya yang mencemari lingkungan.

Aktivitas KJA yang melebihi daya dukung lingkungan ternyata telah menghasilkan eksternalitas. Salah satu bentuk ekternalitas adalah sedimentasi dan menurunnya kualitas air yang berdampak terhadap budidaya perikanan itu sendiri maupun PLTA sebagai pengguna lain dari waduk. Walaupun sumber sedimentasi bisa berasal dari sektor hulu maupun aktivitas disepanjang DAS, namun jumlah KJA yang telah melebihi kapasitas asimilasi lingkungan perlu dikendalikan agar terjadi efesiensi alokasi sumber daya waduk. Penelitian Rahmani (2012) mengenai kajian biaya eksternalitas pada budidaya KJA telah memasukkan faktor lingkungan dalam proses produksinya. Biaya lingkungan yang dimasukkan berupa biaya pengerukan sedimentasi, hasil rata-rata biaya produksi 1 Kg ikan mas sebesar Rp11.776,27 tanpa biaya lingkungan dan Rp11.825,01 dengan biaya lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan biaya produksi tidak terlalu besar jika memasukkan faktor lingkungan yang dapat digunakan sebagai kompensasi kepada pihak PLTA untuk digunakan mengatasi masalah lingkungan. Namun hal ini masih perlu ditelaah lebih lanjut, apakah jumlah kompensasi yang diberikan oleh aktivitas KJA mampu memenuhi kerugian yang diderita oleh PLTA.

(53)
(54)
(55)

BAB 3

KERANGKA PEMIKIRAN

Dasar perencanaan penelitian untuk estimasi kerugian PLTA akibat sedimentasi dan analisis kelembagaan dapat dilihat dalam rangkuman kerangka pemikiran yang tertuang dalam diagram dibawah ini :

Gambar 5. Kerangka Berpikir Penelitian

(56)

Gubernur No. 41 Tahun 2002. Sehingga muncul budidaya perikanan air tawar dengan teknologi KJA di perairan Waduk Cirata.

Aktivitas perikanan di dalam waduk ternyata membawa keuntungan yang cukup besar dan tidak membutuhkan perijinan yang rumit sehingga mengakibatkan banyak pihak di luar masyarakat setempat yang tertarik untuk usaha budidaya ini. Ketiadaan kelembagaan yang mengatur perijinan dan proses memulainya usaha budidaya ini menyebabkan jumlah KJA semakin meningkat dari tahun ke tahun hingga menyebabkan masalah lingkungan yang cukup serius yaitu kualitas air yang semakin memburuk dan penumpukan sisa pakan dan feses ikan yang dapat menyebabkan sedimentasi. Hal ini terlihat dari data pengukuran sedimentasi waduk yang sudah melebihi design pembangunan Waduk Cirata.

Selain adanya akitivitas perikanan yang terdapat di dalam waduk, ternyata aktivitas outside pun memberi kontribusi terhadap sedimentasi di Waduk Cirata. Cirata sebagai waduk kaskade yang berada di antara Waduk Saguling di hulu dan Jatiluhur di hilir, pasti menerima air buangan dari Waduk Saguling. Aktivitas pertanian yang tinggi di Saguling dan limbah buangan pertanian yang banyak mengandung bahan kimia pestisida turun menuju waduk Cirata. Partikel-partikel sedimen yang diduga dapat terperangkap di Waduk Saguling dan membawa air yang relatif bersih ke Cirata ternyata tidaklah demikian, kenyataannya masih tingginya sedimentasi di Waduk Cirata. Hal ini bisa disebabkan karena tingginya tingkat erosi di hulu-hulu sungai yang bermuara di Waduk Cirata yang membawa partikel-partikel dan menumpuk di dasar waduk. Tingkat erosi ini disebabkan oleh tingginya konversi lahan dari hutan menjadi lahan pemukiman atau industri. Konversi lahan menjadi pemukiman menjadi indikasi pula bahwa semakin tingginya jumlah penduduk yang mendiami bantaran sungai. Akibat langsung dari indikasi tersebut adalah limbah rumah tangga yang biasanya langsung dibuang ke sungai, terbawa arus dan bermuara di waduk. Adanya aktivitas industri yang berada di sekitar DAS sungai-sungai yang bermuara di Waduk Cirata juga memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas air dan sedimentasi karena limbah industri yang tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu.

Gambar

Tabel 5. Pola Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Cirata
Gambar 2. Framework Masalah Appropriation
Gambar 3. Framework Masalah Provision
Gambar 5.  Kerangka Berpikir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait