• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Herbisida Triklopir Dan Fluroksipir Untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar Di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional Baluran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas Herbisida Triklopir Dan Fluroksipir Untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar Di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional Baluran"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS HERBISIDA TRIKLOPIR DAN FLUROKSIPIR

UNTUK PENGENDALIAN GULMA BERDAUN LEBAR DI

KAWASAN SAVANA BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN

RINNY SAPUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Herbisida Triklopir dan Fluroksipir untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional Baluran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Rinny Saputri

(4)

RINGKASAN

RINNY SAPUTRI. Efektifitas Herbisida Triklopir dan Fluroksipir untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Dibimbing oleh YULIANA MARIA DIAH RATNADEWI, SOEKISMAN TJITROSOEDIRDJO, dan TITIEK SETYAWATI.

Taman Nasional Baluran merupakan kawasan pelestarian alam di Indonesia dengan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan pariwisata. Taman Nasional Baluran memiliki savana yang dihuni herbivor langka yang merupakan ciri dan ekosistem khas dari Taman Nasional Baluran. Savana ini sekarang diinvasi oleh Acacia nilotica dengan berbagai tingkat invasi. Pada tempat-tempat

tertentu tingkat invasi A. nilotica sangat rapat dan membentuk kanopi yang rapat,

sehingga menganggu pertumbuhan rumput di bawahnya karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Akibatnya produksi rumput menurun karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Di samping itu, di area savana dengan tutupan kanopi A. nilotica lebih terbuka juga ditemukan beberapa gulma berdaun

lebar, antara lain Bidens biternata, Thespesia lampas, dan Abutilon indicum.

Gulma berdaun lebar mampu tumbuh di bawah naungan dengan morfologi daunnya yang lebar dapat beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah dan mampu menggunakan cahaya secara efisien untuk tumbuh dan berkompetisi dengan rumput. Invasi gulma berdaun lebar di kawasan savana Taman Nasional Baluran mulai menganggu dan menekan pertumbuhan jenis rumput lokal yang menjadi sumber pakan satwa herbivor. Rumput seperti Dichantium caricosum

sudah jarang ditemukan dan digantikan oleh Brachiaria reptans rumput yang

lebih tahan naungan, tetapi tidak disukai oleh herbivor. Jika tidak dikendalikan, maka dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan drastis produksi rumput. Upaya pengendalian gulma berdaun lebar telah diusahakan sejalan dengan pengendalian A. nilotica. Triklopir dan fluroksipir merupakan herbisida selektif

yang mampu mematikan gulma berdaun lebar tetapi tidak mematikan rumput. Pemakaian herbisida mempunyai dampak negatif bagi lingkungan, sehingga penelitian ini juga mencakup studi tentang residu herbisida.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yakni: (1) untuk mengamati dinamika perubahan komposisi gulam akibat herbisida selektif triklopir dan fluroksipir (2) untuk menemukan dosis herbisida yang tepat dan aman untuk mengendalikan gulma berdaun lebar; (3) untuk mengestimasi residu herbisida di tanah.

(5)

dan rumput total serta kadar residu herbisida di tanah. Analisis vegetasi mengunakan metode kuadrat dan dihitung nilai Summed Dominance Ratio (SDR).

Data SDR dianalisis dengan analisis gerombol dengan NTSYS4WIN (UPGMA) untuk menentukan keragaman komposisi vegetasi yang ada. Sampel spesies gulma dan rumput segar diambil dua kali saat sebelum dan setelah perlakuan untuk dihitung bobot keringnya. Residu herbisida di tanah dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sebelum perlakuan komposisi vegetasi savana didominasi oleh gulma berdaun lebar. Komposisi vegetasi setelah perlakuan herbisida berubah menjadi didominasi oleh rumput. Perlakuan herbisida triklopir dan fluroksipir menunjukkan efektifitas sebagai herbisida selektif dengan menurunkan bobot kering gulma total, sehingga memberikan ruang, ketersediaan cahaya, air dan unsur hara untuk rumput dapat tumbuh. Bobot kering rumput meningkat pada 28 hari setelah perlakuan. Pemakaian herbisida triklopir lebih efektif daripada fluroksipir untuk mengendalikan gulma berdaun lebar. Aplikasi triklopir dosis rendah memiliki efektifitas yang tidak berbeda dengan fluroksipir dosis tinggi serta meninggalkan residu rendah di antara perlakuan herbisida lainnya. Triklopir dan fluroksipir memiliki persistensi yang rendah di tanah dengan waktu paruh 10 hari, lebih rendah dari kriteria Kementerian Pertanian yaitu 90 hari.

(6)

SUMMARY

RINNY SAPUTRI. Effectiveness of Herbicide Triclopyr and Fluroxypyr for Broadleaved Weeds Control in Savanna Bekol of Baluran National Park. Guided

by YULIANA MARIA DIAH RATNADEWI, SOEKISMAN

TIJTROSOEDIRDJO, and TITIEK SETYAWATI.

Baluran National Park is a conservation area in Indonesia with original ecosystem, managed by the zoning systems utilized for research, education, and tourism. Baluran National Park has savanna inhabited by rare herbivores that are characteristic of Baluran National Park ecosystems. Savana is invaded by Acacia nilotica in various levels of invasion. In certain places the level of invasion is

several and form a dense canopy, thus disrupting the growth of grass due to lack of sunlight intensity. As a result, some grass can not live under it due to lack of sunlight intensity. In addition, in the savanna areas with a canopy cover of more open A. nilotica also found some broadleaved weeds found such as Bidens biternata, Thespesia lampas, and Abutilon indicum. Broadleaved weeds can grow

in the shade with a wide leaf morphology can adapt to the conditions of low light intensity and were able to use light efficiently to grow and compete with the grass. Invasion of broadleaved weeds in the savanna of Baluran National Park began to disrupt and suppress the growth of grass types of local food resources herbivores.

Dichantium caricosum grasses such as is rarely found and are replaced by Brachiaria reptans more shade tolerant grass, but it does not ate by herbivore. If

not controlled, it is feared will cause a drastic reduction in grass production. Efforts to control broadleaved weeds as same as the control of A. nilotica.

Triclopyr and fluroxypyr is selective herbicide that can kill broadleaved weeds but does not kill the grass. Herbicide use has a negative impact on the environment, so this research also includes studies of residues of herbicides.

This study has three main objectives (1) to observe the changes in the weed composition due to selective herbicide triclopyr and fluroxypyr (2) to find the best rate of herbicide to control broadleaved weeds in the savanna and; (3) to determine the soil residue of herbicide used.

The research conducted in the savanna Bekol - Baluran National Park, East Java, from January 2015 until March 2015. The experimental design was a randomized block with six treatments and four replications. The treatments were herbicide applications consisting of (1) Triclopyr at 670 g a.i ha-1 (TA), (2) Triclopyr at 1340 a.i ha-1 (TB), (3) Fluroxypyr at 200 g a.i ha-1 (FA), (4) Fluroxypyr at 400 g a.i ha-1 (FB), (5) Manual Weeding (PM) and (6) Control (K). Variables observed were vegetation composition of savanna before and after treatment, dry weight of weeds and grass in total and residues of herbicides in the soil. Vegetation analysis using quadrat method and calculated values by Summed Dominance Ratio (SDR). Data of SDR were analyzed by clump analysis with NTSYS4WIN (UPGMA) to determine the diversity of the composition of the vegetation. Sample fresh broadleaved weeds and grasses were measured twice at the time before and after treatment for the dry weight. Herbicide residues in soil were analyzed by using High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

(7)

herbicide treatments become dominated by grasses. Application of triclopyr and fluroxypyr shown to be effective as a selective herbicide with decreasing total weed dry weight, thus providing space, the availability of light, water and nutrients to the grass can grow and develop. Grass grows and the dry weight increases of up to 28 days after treatment. Triclopyr more effective than fluroxypyr to control broadleaved weeds. Application of triclopyr low doses effective as same as high doses of fluroxypyr and generate residues lowest among other herbicide treatments. Triclopyr and fluroxypyr have a low persistence in soil are 10 days, lower than the standard of 90 days from Ministry of Agriculture.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang–Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

EFEKTIFITAS TRIKLOPIR DAN FLUROKSIPIR UNTUK

PENGENDALIAN GULMA BERDAUN LEBAR DI KAWASAN

SAVANA BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN

RINNY SAPUTRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil terselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Maret 2015 ini diberi judul Efektifitas Triklopir dan Fluroksipir untuk Pengendalian Gulma Berdaun Lebar di Kawasan Savana Bekol Taman Nasional Baluran.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Yuliana Maria Diah Ratnadewi, Dr. Ir. Soekisman Tjitrosoedirdjo, M.Sc dan Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, saran dan masukan bermanfaat selama proses penelitian hingga penulisan tesis. Terimakasih kepada Ditjen Dikti atas beasiswa BPPDN 2013 untuk biaya pendidikan dan FORIS INDONESIA untuk biaya penelitian. Penulis juga mengucapkan segenap rasa terimakasih kepada Balai Besar Taman Nasional Baluran dan seluruh staf yang telah memberi izin penelitian, fasilitas dan telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan, serta staf laboratorium Fisiologi Tumbuhan IPB yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terimakasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayahanda Sadak Seran (alm), Ibunda Lusy, adik Dinda Ayu Putri Sejati dan Maseli Annisa, terkasih Tri Nanda Satria, seluruh keluarga dan sahabat atas doa restu yang tulus, didikan, kasih sayang, dorongan semangat dan motivasi bagi penulis selama menempuh pendidikan di IPB.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Oktober 2016

(13)

DAFTAR ISI

Taman Nasional Baluran 3

Savana 3

Gulma 5

Pengendalian Gulma Secara Kimiawi 5

Herbisida 6

Dampak Residu Herbisida pada Tanah 8

METODE PENELITIAN 10

Waktu dan Tempat Penelitian 10

Alat dan Bahan 10

Prosedur Penelitian 10

Rancangan Penelitian 10

Analisis Vegetasi 10

Bobot Kering 11

Aplikasi Herbisida 11

Pengambilan Sampel Tanah 11

Analisis Residu Herbisida 12

Analisis Data 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Kondisi Sebelum Aplikasi Herbisida 14

Kondisi Setelah Aplikasi Herbisida 14

Bobot Kering Gulma Total 19

Bobot Kering Calopogonium mucunoides 20

Bobot Kering Thespesia lampas 22

Bobot Kering Bidens biternata 23

Bobot Kering Merremia emarginata 26

Bobot Kering Abutilon indicum 28

Persentase Kematian Gulma 30

Bobot Kering Rumput Total 31

Residu Herbisida 33

SIMPULAN DAN SARAN 35

DAFTAR PUSTAKA 36

(14)

DAFTAR TABEL

1 Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) hasil analisis vegetasi pada kondisi

awal dan akhir setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan 16 2 Bobot kering Calopogonium mucunoides sebelum dan setelah aplikasi

herbisida 20

3 Bobot kering Thespesia lampas sebelum dan setelah aplikasi herbisida 22

4 Bobot kering Bidens biternata sebelum dan setelah aplikasi herbisida 24

5 6 7

Bobot kering Merremia emarginata sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Bobot kering Abutilon indicum sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Kematian gulma total pada 28 hari setelah aplikasi herbisida

27 28 30 8 Pengaruh perlakuan herbisida terhadap bobot kering rumput total 32 9

10

Laju penurunan kadar residu dan waktu paruh triklopir di tanah Laju penurunan kadar residu dan waktu paruh fluroksipir di tanah

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia komponen triklopir 7

2 Struktur kimia komponen fluroksipir 8

3 Kondisi savana; A. Kondisi savana sebelum aplikasi herbisida; B. Kondisi

savana 28 hari setelah aplikasi herbisida 14

4 Dendrogram komposisi penyusun komunitas di savana sebelum aplikasi herbisida di bakal petak perlakuan. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

15

5 Dendrogram komposisi jenis penyusun komunitas savana 4 minggu setelah aplikasi herbisida. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

18

6 Bobot kering gulma total pada hari ke 0 dan ke 28 setelah aplikasi herbisida. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

19

7 Kondisi Calopogonium mucunoides setelah aplikasi herbisida; A. Daun layu

dan mengalami epinasti 2 jam beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Daun layu dan menguning pada hari pertama, C. Daun dan batang menjadi cokelat pada hari ketiga, D. Gulma mengalami kematian pada hari kelima.

21

8 Kondisi Thespesia lampas setelah aplikasi herbisida; A. Daun terbalik dan

layu beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Daun mengalami leaf cupping pada hari pertama, C. Daun mengalami klorosis dan batang

bengkak dan layu pada hari ketiga, D. Daun klorosis dan nekrosis pada hari kelima.

23

9 Kondisi Bidens biternata setelah aplikasi herbisida, A. gulma menjadi layu

dan menunduk beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Epinasti pada daun dan batang pada hari ketiga, C. Daun bagian atas mengalami klorosis pada hari keempat, D. Batang menjadi bengkak dan terjadi inisiasi akar pada batang pada hari ketujuh, E, F. Daun berubah warna menjadi merah dan epinasti dari hari ke 10 hingga ke 21.

25

10 Kondisi Bidens biternata pada akhir pengamatan, A. Beberapa individu

yang mengalami kematian pada hari ke 28, B. Individu yang masih bertahan hidup hingga hari ke 28.

26

11 Kondisi Merremia emarginata setelah aplikasi herbisida. A. kondisi hari

ketujuh pada petak perlakuan dosis rendah, B. Kondisi hari ketujuh pada petak perlakuan dosis tinggi, C. Daun mengalami klorosis pada petak perlakuan dosis rendah pada hari ke 24, D. Individu yang mati pada petak perlakuan dosis tinggi di hari ke 24.

(16)

12 Kondisi Abutilon indicum setelah aplikasi herbisida, A. Gulma mengalami leaf cupping pada hari pertama, B. Daun klorosis pada hari ketiga, C.

Batang menjadi layu dan mengalami nekrosis pada hari kelima, D. Gulma mengalami kematian pada hari kesepuluh.

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan kalibrasi herbisida 40

2 Indeks similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID) seluruh petak

perlakuan sebelum dan setelah aplikasi herbisida 41

3 Kurva Standar Fluroksipir 42

(18)
(19)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Baluran merupakan kawasan pelestarian alam di Indonesia dengan ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan pariwisata. Taman Nasional Baluran memiliki savana yang dihuni herbivor langka seperti, banteng (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), kijang (Munticus muntjak), kerbau liar (Bubalus bubalis) dan predatornya seperti anjing ajak (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera pardus), disamping berbagai aves seperti, merak yang dilindungi (Pavo muticus) (TNB 2016).

Savana ini diinvasi oleh Acacia nilotica dengan berbagai tingkat invasi. Setiabudi et al. (2013) mengemukakan ada 7 tingkat tutupan vegetasi terkait untuk A. nilotica (1) A. nilotica dengan kanopi tertutup (611.12 Ha); (2) A. nilotica dengan kanopi terbuka menengah (208.35 Ha); (3) Campuran A. nilotica dan semak belukar tua yang mengalami pertumbuhan kembali (1396.88 Ha); (4) Campuran A. nilotica dan savana (532.16 Ha); (5) Campuran savana dengan A. nilotica yang jarang (921.48 Ha); (6) Campuran savana dengan A. nilotica dan semak belukar tua yang mengalami pertumbuhan kembali (2018.41 Ha); dan (7) Campuran semak belukar, A. nilotica dan semak belukar tua yang mengalami pertumbuhan kembali (533.82 Ha).

Pada tempat-tempat tertentu tingkat invasi A. nilotica sangat rapat dan membentuk kanopi yang menutup, sehingga menganggu pertumbuhan rumput di bawahnya karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Akibatnya beberapa jenis rumput tidak dapat hidup di bawahnya karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Di samping itu, di area savana dengan tutupan kanopi A. nilotica lebih terbuka juga ditemukan beberapa gulma berdaun lebar yang ditemukan antara lain Bidens biternata, Thespesia lampas, dan Abutilon indicum. Menurut Anderson et al. (1995) gulma berdaun lebar mampu tumbuh di bawah naungan dengan morfologi daunnya yang lebar dapat beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah dan mampu menggunakan cahaya secara efisien untuk tumbuh dan berkompetisi dengan rumput.

(20)

2

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perubahan komposisi gulma akibat herbisida selektif triklopir dan fluroksipir dari aplikasi dosis yang berbeda dan mendeteksi residu herbisida di tanah.

Manfaat Penelitian

(21)

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional Baluran (TNB)

Taman Nasional Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Secara geografis terletak antara 7o 45’-7o 15’ LS, serta antara 114o 18’-114o 27’ BT, sebelah Timur laut Pulau Jawa. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Bajulmati, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah Barat Laut berbatasan dengan Sungai Klokoran. Kawasan konservasi sumber daya alam tersebut ditetapkan secara definitif sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984. Pada awalnya kawasan TNB merupakan suakamargasatwa untuk melindungi satwa-satwa seperti banteng (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalus), babi hutan (Sus sp), rusa (Cervus timorensis), kijang (Mutiacus munjak), dan anjing ajak (Coun alpinus). Namun, seiring perkembangan jaman, diperlukan perlindungan terhadap seluruh potensi kawasan baik flora, fauna maupun lingkungannya, sehingga ditetapkanlah kawasan ini menjadi taman nasional. Sebagai kawasan pelestarian alam, potensi TNB dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, budaya, pariwisata dan rekreasi (Djufri 2006).

Secara geologi TNB memiliki jenis tanah pengunungan yang terdiri dari tanah vulkanik dengan kondisi tanah berbatu-batu dan lereng gunung yang tinggi dan curam, sampai tanah aluvial yang dalam di dataran rendah. Tanah hitam meliputi kira-kira setengah luas dataran rendah, ditumbuhi rumput savana. Tanah ini membentuk daerah subur, kaya mineral tetapi miskin bahan organik. Kesuburan fisik yang rendah karena sebagian besar tanah berpori dan tidak dapat menyimpan air dengan baik. Ciri khas tanah ini mudah longsor dan berlumpur saat musim hujan, sebaliknya pada musim kemarau permukaan tanah pecah-pecah (BTNB 2000).

Topografi TNB dapat dibagi dalam kategori: datar dengan ketinggian 0-124 m dpl, bergelombang dengan ketinggian 125-900 m dpl, dan terjal pada ketinggian lebih dari 900 m dpl. Pada garis pantai di Mesigit, Balanan dan Montor terdapat hamparan batu karang yang terjal. TNB memiliki beberapa tipe ekosistem yang tersebar mulai dari ketinggian 0-1247 m dpl. Tipe ekosistem tersebut meliputi hutan pantai, hutan bakau, savana, hutan hijau sepanjang tahun (evergeen forest), dan hutan musim. Savana merupakan tipe vegetasi yang dijumpai hampir di seluruh bagian kawasan TNB dan merupakan habitat utama satwa yang dilindungi (Djufri 2006).

Savana

(22)

4

melimpah di musim penghujan dan berkurang pada musim kemarau (Sabarno 2002).

Savana merupakan ekosistem khas di TNB dan hampir 40% luas kawasan TNB merupakan ekosistem savana. Savana sering mengalami kebakaran terutama di musim kemarau. Tumbuhan paling dominan adalah jenis rumput seperti lamuran putih (Dichantium caricosum) dan rayapan (Brachiaria reptans). Sebagian besar populasi satwa liar herbivor seperti banteng, kerbau liar, rusa, kijang dan satwa liar lainnya seperti anjing ajak, merak, dan ayam hutan dapat dijumpai di savana (Djufri 2002; Sabarno 2002).

Tipe ekosistem savana di daerah ini dapat dibedakan ke dalam dua subtipe, yaitu savana datar (flat savana) dan savana bergelombang (undulating savana). Savana datar tumbuh pada tanah aluvial berbatu-batu. Sub tipe savana ini terdapat di bagian tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan Bekol. Savana bekol memiliki luas wilayah 420 Ha. Sebagian besar populasi banteng, rusa, maupun kerbau liar mempergunakan areal ini untuk merumput (feeding gound). Jenis-jenis rumput dominan di daerah ini adalah Dichantium caricosum, Heteropogon contortus, dan Barchiaria reptans. Jenis pohon yang dijumpai di savana ini antara lain pilang (Acacia leucophloea), kesambi (Schliechera oleasea) dan bidoro bukol (Zyzipus rotundifolia) (Djufri 2005). Savana bergelombang tumbuh pada tanah hitam berbatu-batu. Sub tipe savana ini membujur dari sebelah utara hingga timur laut dengan luas 8000 Ha. Dareah ini kurang disukai oleh banteng, rusa maupun kerbau liar. Jenis-jenis rumput yang dominan adalah Dichantium caricosum. Pohon yang dijumpai di daerah ini antara lain pohon kesambi (Schleichera oleasea), pilang (Acacia leucophloea) dan bidoro bukol (Zizyphus rotundifolia) tumbuh secara terpencar pada savana ini (BTNB 2000).

Pada saat ini savana Baluran mengalami penurunan kualitas karena terinvasi oleh Acacia nilotica, tumbuhan eksotik yang mengganggu pertumbuhan rumput sebagai pakan satwa. Selain itu, akibat dari pertumbuhan akasia mengawali tumbuhnya gulma berdaun lebar yang lama kelamaan juga menginvasi area savana. Gulma berdaun lebar tidak disukai satwa herbivor. Kondisi ini merupakan ancaman bagi keseimbangan ekosistem savana (Muttaqin 2002; Djufri 2004). Keberadaan tumbuh-tumbuhan lain selain dari pakan ternak di padang rumput, terutama di padang rumput alam, apabila populasinya sudah sangat tinggi sehingga menekan pertumbuhan dan populasi rumput pakan yang ada, maka tumbuhan tersebut sudah berubah menjadi gulma (Prawiradiputra 2007).

(23)

5

Sekitar 70 Ha berupa savana yang sudah berubah fungsi menjadi hutan A. nilotica berumur 3-4 tahun, tinggi pohon berkisar 5 – 6.5 m, dengan kerapatan pohon A. nilotica mencapai > 4000-5500 pohon/ha. Di lantai hutan A. nilotica ini relatif bersih karena hanya di jumpai beberapa spesies saja yang mampu hidup dan kerapatannya sangat rendah, misalnya Eleuntheratha ruderalis, Thespesia lanpas, Brachiaria reptans, Stachytarpeta indica dan Themeda arguens. Kondisi yang sama dijumpai di savana Kramat dan Balanan (Djufri 2012).

Gulma

Gulma didefinisikan sebagai tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki manusia. Hal itu berarti bahwa tumbuhan tersebut merugikan baik secara langsung atau tidak langsung (Tjitrosoedirdjo et al. 1984). Gulma mempunyai sifat genetic plasticity yang besar dimana gulma dapat dengan mudah beradaptasi dengan tempat lingkungan tumbuhnya. Beberapa sifat gulma adalah : (1) mampu berkecambah dan tumbuh pada kondisi zat hara dan air yang sedikit, biji tidak mati dan mengalami dorman apabila kondisi lingkungan kurang mendukung pertumbuhannya, (2) tumbuh dengan cepat dan mempunyai masa reproduktif yang relatif singkat, apabila kondisi menguntungkan, (3) dapat mengurangi hasil tanaman budidaya walaupun dalam populasi sedikit, (4) mampu berbunga dan menghasilkan biji yang banyak, (5) mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, terutama yang berkembang biak secara vegetatif. Biji gulma memiliki masa dormansi yang panjang (Mercado 1979).

Gulma dibedakan berdasarkan tempat hidup, siklus hidup dan morfologinya. Menurut Mercado (1979), secara morfologi gulma dibedakan atas gulma golongan daun lebar, gulma golongan rumput dan golongan teki. Golongan gulma berdaun lebar pada umumnya adalah tumbuhan dikotil dan beberapa tumbuhan monokotil dengan daun yang lebar, seperti Chromolaena odorata. Golongan rumput adalah gulma dari famili Poaceae. Tumbuhan ini biasanya bervariasi ukurannya; tegak ataupun menjalar; tumbuhan perenial ataupun annual. Batangnya jelas terbagi menjadi ruas dengan buku-buku pada setiap antar ruas. Daun terdiri dari dua bagian yakni pelepah daun dan helai daun, seperti Brachiaria reptans. Gulma golongan teki adalah anggota dari famili Cyperaceae, mirip dengan golongan rumput namun dapat dibedakan melalui batangnya yang berbentuk segitiga dan tidak memiliki umbi atau akar rimpang di dalam tanah, seperti Cyperus rotundus (Tjitrosoedirdjo et al. 1984).

Pengendalian Gulma Secara Kimiawi

(24)

6

Pengendalian gulma secara kimiawi menggunakan senyawa-senyawa beracun terhadap gulma. Herbisida merupakan senyawa phytotoxic yang mampu mematikan tumbuhan tertentu. Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), pengendalian dengan menggunakan herbisida memiliki beberapa keuntungan yaitu penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit dan lebih mudah dan cepat dalam pelaksanaan pengendaliannya. Salah satu pertimbangan yang penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma tetapi tidak merusak tumbuhan lain. Keberhasilan aplikasi suatu herbisida dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : jenis herbisida, formulasi herbisida, ukuran butiran semprot, volume semprotan dan waktu pemakaian (pra pengolahan, pra tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh). Faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan aplikasi herbisida adalah sifat kimia herbisida yang dipakai, iklim, kondisi tanah dan aktivitas mikroorganisme. Teknik penyemprotan dan pelarut yang digunakan juga mempengaruhi efektivitas herbisida yang diaplikasikan.

Herbisida

Pestisida adalah zat kimia, zat pengatur tumbuh, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk melindungi tanaman. Secara harfiah, pestisida berarti zat pembunuh organisme pengganggu (pest: organisme pengganggu, cide: membunuh). Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk menekan atau membunuh vegetasi yang tidak diinginkan. Banyak jenis pestisida, yang meliputi insektisida, fungisida, rodentisida, dan lain-lain. Herbisida digunakan untuk menekan populasi gulma di lahan pertanian, hutan, dan banyak kondisi lainnya seperti pinggir jalan, di mana pertumbuhan gulma menjadi masalah. Herbisida juga digunakan untuk membantu dalam pengelolaan dan pemulihan daerah yang sebelumnya diserang oleh tanaman invasif (Radosevich et al.. 2007).

Menurut Moenandir (1990) herbisida dapat diklasifikasikan menurut beberapa cara, yaitu menurut cara kerja, tipe gulma, waktu aplikasi, struktur kimiawi, formulasi dan keselektifannya. Herbisida dapat dibedakan menjadi herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak dapat merusak bagian tumbuhan yang terkena langsung dan tidak ditranslokasikan pada bagian lain, sedangkan herbisida sistemik dapat ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan, sehingga pengaruhnya luas. Herbisida dapat menghambat fotosintesis, respirasi, perkecambahan dan pertumbuhan target herbisida. Dan berdasarkan selektivitas dibagi menjadi herbisida selektif dan non selektif.

(25)

7

asam fenoksi asetat (contohnya, 2,4-D), asam benzoat (contohnya, dikamba), asam piridin (contohnya, triklopir dan fluroksipir), dan asam karboksilat quinoline (contohnya, quinclorac dan quinmerac) yang juga memiliki aktivitas seperti auksin (Grossmann 2010).

Kriteria penting dalam memilih pestisida adalah efektif terhadap gulma sasaran, mempunyai selektivitas tinggi terhadap tanaman pokok, murah dan aman terhadap lingkungan termasuk terhadap manusia dan hewan serta persistensinya pendek sampai medium sehingga tidak merugikan tanaman pada pola tanam berikutnya, tidak bersifat antagonis bila dicampur dengan herbisida lain dan tahan terhadap perubahan kondisi cuaca dalam jangka waktu terbatas (Pane & Jatmiko 2009).

Triklopir

Triklopir adalah herbisida sistemik yang bersifat selektif digunakan untuk mengendalikan herba berdaun lebar di padang rumput dan taman. Herbisida tidak menimbulkan dampak buruk pada rumput. Triklopir merupakan herbisida auksin golongan piridin, mematikan gulma berdaun lebar dengan meniru cara kerja hormon auksin, menyebabkan tanaman tidak terkendali pertumbuhannya. Ada dua formulasi dasar yakni, trikopir, garam trietilamina dan butoksi etil ester (Gambar 1). Di tanah, kedua formulasi menurunkan ke senyawa induk, asam triklopir. Degradasi terjadi terutama melalui metabolisme mikroba, fotolisis dan hidrolisis (Jhonson et al.. 1995). Pada penelitian ini, herbisida yang dipakai mengandung bahan aktif butoksi etil ester.

asam triklopir garam trietilamina butoksi etil ester

Gambar 1 Struktur kimia komponen triklopir

Fluroksipir

(26)

8

fluroksipir meptil ester

Gambar 2 Struktur kimia fluroksipir

Dampak Residu Herbisida pada Tanah

Herbisida di lingkungan diserap oleh beberapa komponen lingkungan terutama tanah. Dalam aplikasi di lapangan, herbisida akan jatuh dan terakumulasi serta meninggalkan residu di tanah. Herbisida mengalami proses adsorbsi dan dekomposisi sampai akhirnya terakumulasi menjadi residu di dalam tanah. Adsorbsi herbisida ke dalam tanah merupakan proses koloid yang melibatkan partikel muatan negatif dari tanah dan bahan organik tanah. Proses ini diikuti desorpsi dengan melepaskan molekul herbisida ke dalam larutan tanah. Adsorbsi dan desorpsi merupakan suatu bentuk keseimbangan yang mengatur jumlah herbisida pada koloid tanah dan larutan tanah. Jumlah herbisida teradsorbsi ke tanah tergantung pada jumlah bahan organik, kelembaban, dan sifat ionisasi setiap jenis herbisida. Proses terakhir adalah dekomposisi, yakni penghancuran molekul herbisida dan mengakibatkan herbisida kehilangan aktivitas. Setelah degradasi, bagian dari struktur molekul bahan aktif herbisida akan terurai menjadi molekul organik sederhana. Proses degradatif ini selain terjadi di dalam tanah; dapat pula terjadi di air, udara, tanaman, mikroba dan hewan. Proses degradasi herbisida digunakan untuk menghitung waktu paruh bahan aktif herbisida. Namun, waktu paruh herbisida tidak mutlak karena hal itu tergantung pada jenis tanah, suhu, dan konsentrasi herbisida (Radosevich et al.. 2007).

Dalam praktek sehari-hari, Keputusan Kementerian Pertanian No 39 tahun 2015, menentukan bahwa herbisida yang boleh dipakai di Indonesia tidak boleh mempunyai waktu paruh lebih dari 90 hari. Residu herbisida di dalam tanah ada yang bersifat cepat terdegradasi (non-persistent) dan ada yang membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi (persistent). Kebanyakan molekul organik herbisida bersifat degadable sehingga tidak terakumulasi di dalam tanah, memiliki waktu paruh berkisar hanya beberapa hari sampai beberapa bulan. Triklopir dan fluroksipir merupakan herbisida yang cepat terdegradasi. Proses degradasi herbisida di dalam tanah bisa terjadi melalui fotodegradasi dan dengan bantuan mikroba di dalam tanah. Beberapa herbisida mengalami reaksi fotokimia saat terkena sinar matahari, misalnya triklopir. Formulasi asam triklopir, ester dan garam dari triklopir mudah terdegradasi di bawah sinar matahari. Sebuah studi dari fotolisis menyebutkan bahwa waktu paruh asam triklopir di tanah di bawah sinar matahari pertengahan musim panas adalah dua jam (McCall & Gavit 1986).

(27)

9

(28)

10

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Savana Bekol Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur pada bulan Januari-Maret 2015. Analisis residu herbisida untuk sampel tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Pasca Panen, Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang dijadikan sampel adalah tanah, gulma berdaun lebar, dan rumput yang tumbuh di Savana Bekol Taman Nasional Baluran serta herbisida berbahan aktif fluroksipir dan triklopir yang diproduksi oleh PT DOW Agoscience.

Alat yang digunakan adalah semprotan punggung semi otomatis dengan tekanan udara 1 kg/cm2 (15-20 psi) merk Solo, nozel T-jet warna biru, oven, dan perangkat HPLC (High Performance Liquid Chromatogaphy) untuk deteksi residu herbisida di tanah.

Prosedur Penelitian

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan terdiri dari 6 perlakuan dengan masing perlakuan terdiri dari 4 kelompok sebagai ulangan sehingga terdapat 24 petak percobaan. Perlakuan yang diberikan untuk petak percobaan terdiri atas:

TA : Triklopir butoksi etil ester (triklopir) 670 g b.a/Ha; setara dengan 1 L/Ha. TB : Triklopir butoksi etil ester (triklopir) 1340 g b.a/Ha; setara dengan 2 L/Ha. FA : Fluroksipir 200 g b.a/Ha; setara dengan 1 L/Ha.

FB : Fluroksipir 400 g b.a/Ha; setara dengan 2 L/Ha.

PM : Penyiangan manual, dengan cara mencabut gulma sampai ke akarnya. K : Kontrol, pembanding tanpa penyiangan dan perlakuan apapun.

Variabel yang diukur meliputi komposisi vegetasi savana sebelum dan setelah perlakuan herbisida, bobot kering gulma dan rumput total, serta residu herbisida di tanah.

Analisis Vegetasi

(29)

11

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu spesies (ind/Ha) Luas seluruh petak

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu spesies x 100% Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi (F) = Jumlah petak ditemukan suatu spesies x 100% Jumlah seluruh petak

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu spesies x 100% Frekuensi seluruh spesies

Summed Dominance Ratio (SDR) = KR + FR

2

Data SDR dianalisis dengan analisis gerombol untuk menentukan keragaman komposisi vegetasi saat sebelum dan setelah aplikasi herbisida. Indeks similaritas (IS) dan indeks desimilaritas (ID) dihitung dengan menggunakan rumus similaritas Sorensen (Krebs 1978):

Indeks Similaritas (IS) = 2 W A + B

Keterangan: W = Jumlah jenis yang ada pada kedua lokasi A = Jumlah jenis yang hanya ada di lokasi A B = Jumlah jenis yang hanya ada di lokasi B

Indeks Desimilaritas (ID) = 1 – IS

Bobot Kering

Sampel spesies gulma dan rumput segar diambil di awal dan akhir penelitian pada hari ke 28 setelah aplikasi herbisida. Sampel diambil pada petak contoh ukuran 0.25 m2 di dalam petakan kecil 2 x 2 m2 di semua petak utama ukuran 7 x 7 m2. Gulma dan rumput segar yang ada di dalam petakan tersebut dipotong pada permukaan tanah lalu dipisahkan antara masing-masing spesies yang berbeda. Kemudian dimasukkan ke dalam kantong kertas yang telah diberi label dan nama masing-masing spesies. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama ± 24 jam atau sampai bobotnya konstan kemudian ditimbang.

Aplikasi Herbisida

(30)

12

Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah diambil dua kali, yakni 2 jam setelah aplikasi herbisida saat hari ke 0 dan hari ke 28. Sampel tanah diambil menggunakan ring sampler dengan diameter 5 cm dan tinggi ring 5 cm hingga kedalaman 20 cm. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 5 titik di setiap petak masing-masing perlakuan kemudian dijadikan satu sampel komposit. Tanah diambil sebanyak 100 g dan disimpan dalam kantong plastik diberi label dan tanggal, lalu dianalisis di laboratorium dan dihitung kadar residunya.

Analisis Residu Herbisida

Instrumentasi dan analisis kondisi

Analisis residu herbisida dilakukan menggunakan alat HPLC (High

Performance Liquid Chromatogaphy) merk Varian 940 tahun 2009 dengan PC

integrator pada suhu ruangan 20 oC. Alat ini menggunakan detektor UV-Visible dan kolom fase diam C18 ukuran 250 x 4.6 mm. Fase gerak dengan asetonitril 80% laju alir 1 mL/menit pada panjang gelombang 254 nm.

Pembuatan Larutan dan Kurva Standar a. Pembuatan Larutan Standar

Larutan standar yang digunakan adalah larutan yang dibuat dari bahan aktif fluroksipir dan triklopir. Larutan standar masing-masing bahan aktif dibuat dengan melarutkan fluroksipir dan triklopir masing-masing sebanyak 0.05 g ke dalam labu takar 100 mL sampai tanda tera dengan metanol. Kemudian dihomogenkan dengan vortex hingga larut sehingga diperoleh larutan stok 500 ppm.

b. Pembuatan Kurva Standar

Masing-masing triklopir dan fluroksipir standar dilarutkan dengan metanol 80%, kemudian dibuat seri larutan standar triklopir dan fluroksipir dengan konsentrasi 0.1 ppm, 1 ppm, 2.5 ppm, dan 5 ppm untuk membuat kurva standar triklopir dan fluroksipir. Larutan disaring dengan membran filter sartorius PTFE 0.45 µm dan diinjeksikan ke HPLC.

Ekstraksi Tanah

Sampel tanah dikeringanginkan selama satu hari lalu diambil sebanyak 50 g dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Diklorometan dan aseton ditambahkan ke dalam labu dengan perbandingan 1:1 sebanyak 100 mL, kemudian dikocok dengan shaker selama 30 menit kecepatan 100 rpm dan didiamkan semalam. Ekstrak tanah disaring ke dalam labu rotavapor dan dievaporasi pada suhu 40 oC selama 2 menit.

. Pemurnian

(31)

13

reaksi lalu ditambahkan metanol 60% sampai mencapai volume 10 mL, kemudian disaring dengan filter membran Sartorius PTFE 0.45 µm dan diinjeksikan ke HPLC. Residu triklopir terdeteksi pada waktu retensi 5.52 menit dengan luas area 137.5 dan fluroksipir pada waktu retensi 4.53 menit dengan luas area 256.4.

Perhitungan Konsentrasi Residu Herbisida

Konsentrasi residu herbisida ditentukan berdasarkan hasil rekaman yang tercatat dalam kromatografi. Hasil rekaman berupa kromatogram dengan retention time dan luas peak area kemudian luas area herbisida dimasukkan ke dalam persamaan regresi area standar sehingga diketahui konsentrasi residu herbisida yang dihasilkan.

Perhitungan Laju Penurunan Residu dan Waktu Paruh

Laju penurunan residu dihitung berdasarkan persamaan eksponensial. Perhitungan penurunan eksponensial tersebut diturunkan dari persamaan sebagai berikut:

C1 = C0.e-rt ln C1 = ln C0 – rt - ln C0 + ln C1 = - rt

r = ln(C0) – ln(C1)

t

waktu paruh dihitung dengaan rumus :

C1 = C0.e-rt C1 = ½ C0 ½ C0 = C0.e-rt ½ = e-rt ln 0.5 = - rt t½ = ln 0.5

r

keterangan: r = laju degradasi (ppm); C0 : konsentrasi residu awal (ppm); C1: konsentrasi residu setelah waktu t (ppm); t : waktu pengamatan, t½ : waktu paruh.

Analisis Data

(32)

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sebelum Aplikasi Herbisida

Pada kondisi awal komponen vegetasi menunjukkan bahwa jumlah jenis gulma berdaun lebar lebih banyak daripada rumput. Hasil analisis vegetasi pada awal dan akhir pengamatan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis vegetasi awal diketahui bahwa terdapat 23 jenis tumbuhan, yakni 2 jenis rumput dan 21 jenis gulma berdaun lebar. Vegetasi yang mendominasi area savana adalah

Thespesia lampas (21.70%) dan Calopoginium muconoides (18.82%) yang memiliki

persentase lebih tinggi daripada SDR rumput Brachiaria reptans (12.56%) dan

Schleracne punctata (8.84%). Hal ini menunjukkan bahwa kompoisisi vegetasi

savana pada awal pengamatan sebelum aplikasi herbisida didominasi oleh gulma berdaun lebar. Kondisi ini menunjukkan bahwa gulma berdaun lebar mendominasi savana. Kondisi savana pada awal penelitian sudah diserang oleh gulma berdaun lebar (Gambar 3A). Pada seluruh petak percobaan didominasi oleh gulma berdaun lebar, sehingga penutupan rumput sudah tergeser oleh gulma berdaun lebar.

Gambar 3 Kondisi savana; A. Kondisi savana sebelum aplikasi herbisida; B. Kondisi savana 28 hari setelah aplikasi herbisida

Hasil perhitungan indeks similaritas (IS) dan Indeks desimilaritas (ID) seluruh petak perlakuan sebelum aplikasi herbisida disajikan pada Lampiran 2. Hasil analisis gerombol sebelum perlakuan menunjukkan bahwa seluruh petak percobaan mempunyai indeks similaritas (IS) >50% (Gambar 4), sehingga vegetasi di dalam seluruh bakal petak perlakuan secara ekologis dianggap seragam dan dapat diberikan perlakuan aplikasi herbisida. Menurut Setiadi (2005) secara ekologi stasiun pengamatan yang mempunyai indeks similaritas yang tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas tersebut relatif sama, terutama petak perlakuan yang mencapai nilai IS > 75%. Kemiripan komposisi vegetasi penyusun komunitas pada petak perlakuan triklopir 670 g b.a/Ha dengan petak perlakuan fluroksipir 400 g b.a/Ha adalah sebesar 96%, dan petak perlakuan penyiangan manual memiliki kemiripan sebesar 89% dengan kedua petak perlakuan tersebut. Petak kontrol memiliki kemiripan sebesar 82% dengan ketiga petak tersebut. Petak perlakuan triklopir 1340 g b.a/Ha memiliki kemiripan sebesar 78% dengan keempat petak tersebut dan petak perlakuan fluroksipir 200 g b.a/Ha memiliki kemiripan sebesar 73% dengan semua petak perlakuan.

(33)

15

Gambar 4 Dendrogam komposisi penyusun komunitas di savana sebelum aplikasi herbisida di bakal petak perlakuan. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

Kondisi Setelah Aplikasi Herbisida

(34)

16

Tabel 1 Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) hasil analisis vegetasi pada kondisi awal dan akhir setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan

No Nama Tumbuhan Golongan Gulma

Triklopir 670 g b.a/Ha

Triklopir 1340 g b.a/Ha

Fluroksipir 200 g b.a/Ha

Fluroksipir 400 g b.a/Ha

Penyiangan

Manual Kontrol

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal akhir

1 Brachiaria reptans Rumput 10.09 47.46 12.8 46.60 12.1 45.75 14.01 41.69 11.1 13.96 17.3 10.92

2 Sclerachne punctata Rumput 7.51 33.34 8.3 42.11 7.92 34.57 10.13 43.22 9.28 11.95 10.23 11.88

3 Brachiaria ramose Rumput 0 10.85 0 5.7 0 5.46 0 8.46 0 0 0 0

4 Thespesia lampas Daun lebar 23.01 0 18.82 0 21.03 0 20.79 0 19.51 12.23 23.28 19.87

5 Calopogonium mucunoides Daun lebar 14.82 0 22.59 0 20.84 0 18.59 0 20.18 15.4 17.28 14.19

6 Merremia emarginata Daun lebar 8.16 2.74 7.5 0 8.01 7.01 9.17 0 9.55 6.2 10 6.05

7 Bidens biternata Daun lebar 6.9 4.43 6.09 5.59 3.7 2.51 5.53 2.49 7.24 5.4 4.35 4.09

8 Anakan Acacia. nilotica Daun lebar 1.12 0 0.52 0 0 2.24 1.98 2.87 1.42 3.95 3.82 3.37

9 Anakan Azhadiracta indica Daun lebar 0 0 1.25 0 0 2.41 2.07 1.26 0.68 4.03 1.5 3.07

10 Mimosa invisa Daun lebar 4.12 0 4.4 0 5.81 0 6.27 0 3.99 5.03 5.53 4.18

11 Hyptis suaveolens Daun lebar 2.1 0 0 0 3.28 0 1.98 0 0 1.96 0 5.38

12 Abutilon indicum Daun lebar 6.65 0 2.31 0 2.63 0 1.88 0 4.8 4.01 2.29 3.03

13 Phyllanthus virgatus Daun lebar 0 0 1.64 0 0 0 0 0 0 2.83 0.71 2.99

14 Cleome viscosa Daun lebar 8.15 0 2.45 0 0 0 2.3 0 5.27 2.8 0 0.45

15 Flemingea linneata Daun lebar 0.69 0 1.84 0 1.38 0 0.72 0 1.7 0.98 1.5 2.13

16 Indigofera sumatrana Daun lebar 4.65 0 1.9 0 0.79 0 2.33 0 1.42 1.72 1.34 0.38

17 Aeschynomene americana Daun lebar 0 0 0.86 0 0 0 0 0 0 0 0 1.75

18 Chorchorus aestuans Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.41 0 1.22

19 Zyzyphus rotundifolia Daun lebar 0 0 0.59 0 0 0 0 0 0 1.08 0 0.77

(35)

17

Tabel 1 Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) hasil analisis vegetasi pada kondisi awal dan akhir setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan (lanjutan)

No Nama Tumbuhan Golongan Gulma

Triklopir 670 g b.a/Ha

Triklopir 1340 g b.a/Ha

Fluroksipir 200 g b.a/Ha

Fluroksipir 400 g b.a/Ha

Penyiangan

Manual Kontrol Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal akhir Awal Akhir

21 Achyranthes aspera Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.85 0 0.38

22 Cleome espera Daun lebar 0 0 0 0 4.08 0 0 0 1.08 0.61 0 0.48

23 Eleuntheranthera ruderalis Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.94 0 0

24 Elephanhopus scaber Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.83

25 Hedyotis pinifolia Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.55 0 0

26 Melothria maderaspatana Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.47 0 0

27 Euphorbia hirta Daun lebar 0 0 0 0 1.24 0 0 0 0 0 0 0.42

28 Amaranthus gacilis Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.42

29 Abelmoschus ficulneus Daun lebar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.42

30 Chromolaena odorata Daun lebar 0.69 0 2.72 0 3.3 0 0.8 0 0.68 0.42 0.87 0

31 Phyllanthus urinaria Daun lebar 1.25 1.18 1.45 0 3.36 0 1.44 0 2.1 2.21 0 0

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

(36)

18

Gambar 5 Dendrogram komposisi jenis penyusun komunitas savana 4 minggu setelah aplikasi herbisida. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

Perubahan dominansi vegetasi ini disebabkan oleh aplikasi herbisida yang dilakukan untuk petak perlakuan herbisida. Aplikasi herbisida dapat menekan pertumbuhan gulma berdaun lebar dan sebagai herbisida sistemik dapat menghambat perkecambahan biji gulma, sehingga biji gulma jenis baru pun yang masih dalam fase dorman tidak dapat tumbuh di petak perlakuan herbisida, sedangkan pada petak Kontrol dan Penyiangan Manual mengalami penambahan gulma jenis baru. Hal ini diduga karena perbanyakan gulma tersebut dengan biji secara generatif dan rizom secara vegetatif yang masih dalam fase dorman atau masih dalam fase kecambah, sehingga tidak ikut tersiangi pada awal pengamatan. Pada akhir pengamatan di hari ke 28 setelah aplikasi herbisida, biji dan rizom tersebut sudah tumbuh menjadi tunas baru atau anakan gulma karena jika kondisi lingkungan menguntungkan gulma akan melepas masa dormannya.

(37)

19

Bobot Kering Gulma

Bobot Kering Gulma Total

Bobot kering gulma total pada semua petak perlakuan menunjukkan perbedaan penurunan pada setiap perlakuan (Gambar 6). Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan herbisida dan penyiangan manual serta kontrol menunjukkan hasil yang berbeda. Petak kontrol menunjukkan peningkatan dari hari ke 0 hingga ke 28, sedangkan pada petak herbisida menunjukkan penurunan. Perlakuan penyiangan manual memberikan penurunan bobot kering yang rendah karena pada petak tersebut masih banyak gulma yang kembali tumbuh dan ada juga gulma baru yang tumbuh (Tabel 1). Berdasarkan grafik bobot kering gulma total menunjukkan bahwa perlakuan herbisida menurunkan bobot kering gulma berdaun lebar lebih besar daripada perlakuan penyiangan manual dan kontrol pada hari ke 28. Aplikasi triklopir menunjukkan efektifitas yang lebih tinggi dalam menekan bobot kering gulma total pada hari ke 28 daripada fluroksipir. Triklopir 670 g b.a/Ha menurunkan bobot kering gulma total hingga tersisa 0.91 g dan triklopir 1340 g b.a/Ha sebesar 0.48 g sedangkan fluroksipir 200 g b.a/Ha sebesar 2.19 g dan fluroksipir 400 g b.a/Ha sebesar 0.87 g.

Gambar 6 Bobot kering gulma total pada hari ke 0 dan ke 28 setelah aplikasi herbisida. Keterangan: TA = Triklopir 670 g b.a/Ha, TB = Triklopir 1340 g b.a/Ha, FA = Fluroksipir 200 g b.a/Ha, FB = Fluroksipir 400 g b.a/Ha, PM = Penyiangan gulma secara manual, K = Kontrol.

Perlakuan dosis yang diberikan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada perlakuan triklopir dan fluroksipir. Namun, perlakuan fluroksipir dosis tinggi tidak berbeda nyata dengan triklopir dosis rendah. Hal ini menunjukkan bahwa triklopir dalam dosis rendah memiliki efektifitas yang sama dengan fluroksipir dosis tinggi. Triklopir lebih efektif dalam menekan bobot kering gulma total hingga hari ke 28. Triklopir mampu mematikan pertumbuhan jenis gulma yang tidak dapat dikendalikan dengan fluroksipir seperti anakan Acacia nilotica dan Azadirachta indica.

(38)

20

pada petak percobaan. Dari 21 jenis gulma dominan tersebut diambil 5 jenis gulma dengan SDR tertinggi untuk diamati perubahan morfologi dan dihitung bobot keringnya hingga akhir pengamatan. Spesies gulma tersebut meliputi Calopogonium mucunoides, Thespesia lampas, Bidens biternata, Merremia emarginata dan Abutilon indicum.

Bobot Kering Calopogonium mucunoides

Aplikasi herbisida triklopir dan fluroksipir berpengaruh nyata terhadap bobot kering Calopogonium mucunoides. Hal ini ditunjukkan saat hari ke 28 setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan herbisida sudah tidak ditemukan lagi gulma jenis ini, sedangkan pada Kontrol terjadi peningkatan bobot kering sebesar 1.23 g dari hari ke 0 hingga hari ke 28. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dominansi Calopogonium mucunoides pada Kontrol. Pada petak penyiangan manual masih ditemukan, dengan bobot kering yang tersisa sebesar 0.86 g dan hanya mampu menekan bobot kering gulma sebesar 1.16 g dari hari ke 0 hingga ke 28. Secara statistik, Kontrol dan Penyiangan Manual menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan herbisida (Tabel 2).

Tabel 2 Bobot Kering Calopogonium mucunoides sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT, α = 5%.

(39)

21

kemampuan yang lebih baik dalam mengendalikan Calopogonium mucunoides daripada fluroksipir.

Beberapa saat setelah aplikasi herbisida, Calopogonium mucunoides menunjukkan perubahan penampilan pada daun. Daun menjadi layu dan mengalami epinasti (Gambar 7A). Kemudian daun berubah menjadi kuning mengalami degradasi klorofil pada hari pertama (Gambar 7B) dan semakin menguning, layu, serta mulai berubah warna menjadi cokelat (Gambar 7C) yang lama kelamaan menjadi cokelat dan kering pada hari ketiga (Gambar 7D) hingga mengalami kematian pada hari kelima untuk triklopir 670 g b.a/Ha dan 1340 g b.a/Ha serta fluroksipir 400 g b.a/Ha. Untuk herbisida fluroksipir 200 g b.a/Ha, Calopogonium mucunoides baru mengalami kematian pada hari ketujuh.

Gambar 7 Kondisi Calopogonium mucunoides setelah aplikasi herbisida; A. Daun layu dan mengalami epinasti 2 jam beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Daun layu dan menguning pada hari pertama, C. Daun dan batang menjadi cokelat pada hari ketiga, D. Gulma mengalami kematian pada hari kelima.

(40)

22

Bobot Kering Thespesia lampas

Perlakuan aplikasi herbisida triklopir dan fluroksipir berpengaruh nyata terhadap bobot kering Thespesia lampas. Hal ini ditunjukkan saat hari ke 28 setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan herbisida sudah tidak ditemukan lagi gulma jenis ini, sedangkan pada kontrol terjadi peningkatan bobot kering sebesar 1.65 gr pada hari ke 28 (Tabel 3). Pada petak penyiangan manual mampu menurunkan bobot kering sebesar 2.31 g, sehingga secara statistik penyiangan manual menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan herbisida (Tabel 3). Aplikasi semua jenis herbisida mampu menekan bobot kering Thespesia lampas dan mematikan gulma jenis ini pada minggu pertama setelah aplikasi herbisida. Namun, perlakuan fluroksipir 200 g b.a/Ha efektif mematikan Thespesia lampas pada minggu kedua. Hal ini menunjukkan bahwa triklopir lebih efektif mengendalikan Thespesia lampas, triklopir 1340 g b.a/Ha mampu menurunkan bobot kering paling tinggi sebesar 4.03 g, sehingga menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan herbisida lainnya.

Tabel 3 Bobot Kering Thespesia lampas sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Perlakuan Sebelum aplikasi

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT, α = 5%.

(41)

23

gula sepanjang mikrofibril selulosa terjadi oleh mekanisme (enzimatik atau non-enzimatik) yang mengkatalisis kerusakan dan reformasi ikatan hidrogen, sehingga struktur glukan berorientasi sepanjang mikrofibril selulosa. Tingkat dimana polimer gula meningkat pada pH rendah. Dinding sel menjadi longgar menyebabkan tekanan turgor menjadi rendah, sehingga terjadi peningkatan volume sel dan peregangan dinding sel. Peristiwa peregangan sel ini menyebabkan dinding sel daun yang kaku dan tegak menjadi longgar dan mengatup terbentuk seperti cup.

Gambar 8 Kondisi Thespesia lampas setelah aplikasi herbisida; A. Daun terbalik dan layu beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Daun mengalami leaf cupping pada hari pertama, C. Daun mengalami klorosis dan batang bengkak dan layu pada hari ketiga, D. Daun klorosis dan nekrosis pada hari kelima.

Selanjutnya daun menjadi cokelat dan layu, batang berubah warna menjadi merah seperti terbakar pada hari ketiga setelah aplikasi (Gambar 8C). Kemudian menjadi semakin layu dan kering (Gambar 8D). Thespesia lampas mengalami kematian pada hari kelima untuk perlakuan triklopir semua dosis dan fluroksipir dosis 400 g b.a/Ha. Daun menjadi cokelat kering, batang menjadi merah, kering atau layu. Pada perlakuan fluroksipir 200 g b.a/Ha, kematian Thespesia lampas terjadi pada hari kedelapan.

Bobot Kering Bidens biternata

Pada penelitian ini, perlakuan herbisida fluroksipir dan triklopir semua dosis menunjukkan efek yang lambat dalam menekan bobot kering Bidens biternata. Secara statistik, perlakuan herbisida menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan penyiangan manual. Namun, penyiangan manual tidak berbeda nyata dengan triklopir dosis rendah. Fluroksipir dosis rendah

A B

(42)

24

menunjukkan efektifitas yang lebih baik daripada triklopir dosis rendah (Tabel 4). Pada petak kontrol terjadi peningkatan bobot kering sebesar 0.58 g pada hari ke 28, sedangkan pada semua petak perlakuan herbisida mengalami penurunan bobot kering pada hari ke 28. Aplikasi triklopir 1340 g b.a/Ha paling efektif di antara perlakuan herbisida lainnya karena mampu menekan pertumbuhan Bidens biternata dan menurunkan bobot kering sebesar 1.72 g hingga hanya menyisakan bobot kering sebesar 0.48 g pada hari ke 28.

Tabel 4 Bobot Kering Bidens biternata sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Perlakuan Sebelum aplikasi

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT, α = 5%.

Bidens biternata merupakan gulma yang paling sulit dikendalikan dibandingkan dengan jenis gulma berdaun lebar lainnya. Kehadiran Bidens biternata masih ditemukan hingga akhir pengamatan. Gulma ini mampu mempertahankan diri dari cekaman perlakuan herbisida yang diberikan. Setelah aplikasi herbisida, Bidens biternata mengalami perubahan sama seperti gulma dominan lainnya, yakni menjadi layu dan merunduk (Gambar 9A). Pada hari ketiga setelah aplikasi herbisida, gulma ini mengalami epinasti, sehingga daun melengkung dan terpelintir ke dalam (Gambar 9B). Epinasti disebabkan oleh efek aplikasi triklopir dan fluroksipir yang meniru kerja auksin. Sifat umum auksin mendorong produksi etilen yang merupakan hormon pemicu epinasti pada tumbuhan. Menurut Salisbury & Ross (1995), etilen menyebabkan epinasti dengan cara mendorong pemanjangan sel di jaringan dewasa dan menghambat pembelahan dan pemanjangan sel pada daerah meristematik. Pertumbuhan yang tidak sama mengakibatkan pemilinan yang disebabkan oleh terhambatnya salah satu bagian dan terpacunya pertumbuhan pada bagian lain. Keseluruhan pertumbuhan akan terlambat dan akhirnya akan berhenti bila semakin banyak herbisida yang diserap dan diangkut.

(43)

25

oleh gulma. Menurut Grossmann (2000) herbisida auksin menyebabkan penyumbatan floem, hambatan pertumbuhan, dan pembengkakan pada batang. Pada jaringan meristematik, tingginya tingkat herbisida auksin menghambat sintesis RNA dan pertumbuhan.

Gambar 9 Kondisi Bidens biternata setelah aplikasi herbisida, A. gulma menjadi layu dan menunduk beberapa menit setelah aplikasi herbisida, B. Epinasti pada daun dan batang pada hari ketiga, C. Daun bagian atas mengalami klorosis pada hari keempat, D. Batang menjadi bengkak dan terjadi inisiasi akar pada batang pada hari ketujuh, E, F. Daun berubah warna menjadi merah dan epinasti dari hari ke 10 hingga ke 21.

Sebaliknya, pada jaringan dewasa dapat merangsang RNA dan sintesis protein. Stimulasi ini di daerah batang menyebabkan sel parenkim membelah dalam jaringan dewasa. Hal ini sering menyebabkan pertumbuhan yang tidak terkendali dan produksi jaringan kalus. Ekspansi volume jaringan dewasa agak dibatasi oleh adanya sel yang menebal pada dinding sel sekunder, seperti kolenkim dan serat. Akibatnya, pembelahan sel yang berlebihan pada jaringan ini dapat menyebabkan batang membengkak dan kerusakan jaringan pembuluh angkut. Hal ini terjadi karena jaringan kalus yang baru terbentuk akibat pembelahan sel yang tak terkendali menghancurkan floem dan korteks, akhirnya mengakibatkan pecahnya epidermis.

A B

C D

(44)

26

Kondisi seperti ini bertahan hingga minggu kedua setelah aplikasi herbisida. Daun bagian atas pada pinggirannya berubah warna menjadi cokelat seperti terbakar (Gambar 9E). Pada minggu ketiga seluruh daun bagian atas mengalami perubahan warna menjadi merah tetapi batang tetap kokoh walau seluruh batang telah dipenuhi bintil-bintil merah serta ujung batang tetap mengalami epinasti sehingga terpelintir ke dalam (Gambar 9F). Bintil-bintil merah pada batang merupakan inisiasi akar, bila batang menyentuh atau jatuh tergeletak di tanah maka bintil akan tumbuh menjadi cabang baru (Chaitanya et al.. 2013). Pada hari ke 28 setelah aplikasi herbisida, gulma ini masih belum seluruhnya mati (Gambar 10A). Pada petak perlakuan masih ditemukan Bidens biternata yang masih segar walau sudah mengalami perubahan kondisi menjadi merah dan seluruh batang dipenuhi bintil-bintil merah (Gambar 10B).

Gambar 10 Kondisi Bidens biternata pada akhir pengamatan, A. Beberapa individu yang mengalami kematian pada hari ke 28, B. Individu yang masih bertahan hidup hingga hari ke 28.

Bobot Kering Merremia emarginata

Aplikasi perlakuan herbisida memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering Merremia emarginata. Sedangkan petak kontrol mengalami peningkatan bobot kering sebesar 0.97 g hingga hari ke 28. Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan herbisida pada dosis rendah mampu menekan pertumbuhan Merremia emarginata dengan nilai bobot kering yang hampir 0 pada 28 hari setelah aplikasi herbisida untuk kedua jenis herbisida yang digunakan, sedangkan perlakuan dengan dosis tinggi mampu mematikan Merremia emarginata pada minggu kedua. Secara statistik, perlakuan fluroksipir dosis rendah menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan semua perlakuan herbisida. Fluroksipir 200 g b.a/Ha masih menyisakan bobot kering sebesar 0.17 g pada hari ke 28 setelah aplikasi herbisida, sedangkan fluroksipir 400 g b.a/Ha sudah tidak ditemukan lagi. Fluroksipir 400 g b.a/Ha menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan triklopir semua dosis. Hal ini menunjukkan bahwa triklopir memiliki efektifitas yang lebih baik daripada fluroksipir karena triklopir dengan dosis rendah memiliki efektifitas yang sama dengan fluroksipir dosis tinggi. Perlakuan penyiangan manual belum efektif untuk mengendalikan pertumbuhan Merremia emarginata karena pada petak penyiangan manual masih menyisakan bobot kering sebesar 0.25 g pada hari ke 28.

(45)

27

Tabel 5 Bobot Kering Merremia emarginata sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT, α = 5%.

Gulma jenis ini termasuk gulma yang sulit dikendalikan karena sifatnya sebagai penutup tanah yang merambat di permukaan tanah sehingga tertutupi oleh tumbuhan lain yang tegak. Oleh karena itu, saat aplikasi herbisida Merremia emarginata tidak langsung menunjukkan perubahan perilaku karena terhalang oleh spesies lain sehingga bahan aktif tidak langsung mengenai spesies ini. Bahkan dalam pengendalian secara manual, gulma ini sering tidak ikut tersiangi karena tidak terlihat oleh pekerja.

(46)

28

Gambar 11 Kondisi Merremia emarginata setelah aplikasi herbisida. A. kondisi hari ketujuh pada petak perlakuan dosis rendah, B. Kondisi hari ketujuh pada petak perlakuan dosis tinggi, C. Daun mengalami klorosis pada petak perlakuan dosis rendah pada hari ke 24, D. Individu yang mati pada petak perlakuan dosis tinggi di hari ke 24.

Bobot Kering Abutilon indicum

Aplikasi herbisida memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan bobot kering Abutilon indicum, sedangkan pada petak kontrol mengalami peningkatan bobot kering sebesar 2.75 g pada hari ke 28 (Tabel 6). Aplikasi triklopir mampu mematikan Abutilon indicum pada semua dosis, sedangkan untuk perlakuan fluroksipir 200 g b.a/Ha belum mampu mematikan gulma ini, sehingga

Tabel 6 Bobot Kering Abutilon indicum sebelum dan setelah aplikasi herbisida

Perlakuan Sebelum aplikasi

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT, α = 5%.

A B

(47)

29

secara statistik fluroksipir 200 g b.a/Ha berbeda nyata dengan fluroksipir 400 g b.a/Ha dan triklopir semua dosis.

Perlakuan fluroksipir 200 g b.a/Ha hanya mampu menurunkan bobot kering sebesar 2.8 g, sehinga masih menyisakan bobot kering sebesar 1.13 g pada hari ke 28 sedangkan perlakuan penyiangan secara manual mampu menekan bobot kering sebesar 3.24 g dan hanya menyisakan bobot kering sebesar 0.48 g pada hari ke 28. Hal ini menunjukkan bahwa penyiangan manual lebih efektif dalam menekan pertumbuhan Abutilon indicum daripada fluroksipir 200 g b.a/Ha, sedangkan fluroksipir 400 g b.a/Ha mampu menekan bobot kering hingga 0 gr pada hari ke 28 dan menunjukkan efektifitas yang paling tinggi untuk mengendalikan gulma Abutilon indicum karena mampu menekan bobot kering sebesar 5.15 g hingga hari ke 28 setelah aplikasi herbisida. Hal ini membuktikan bahwa fluroksipir mampu mengendalikan Abutilon indicum pada dosis yang tinggi.

Sama seperti gulma jenis lainnya, Abutilon indicum menunjukkan perubahan perilaku beberapa menit setelah aplikasi herbisida, daun mengalami epinasti. Daun membentuk cup terbalik pada hari pertama setelah aplikasi herbisida (Gambar 12A). Perubahan sebagian daun pada batang yang sama mengalami perubahan warna daun menjadi kuning pada hari ketiga di semua perlakuan herbisida (Gambar 12B). Pada hari kelima, warna daun menjadi cokelat dan kering serta bagian tangkai daun menjadi layu (Gambar 12C) pada perlakuan triklopir 670 g b.a/Ha. Untuk perlakuan lainnya masih kuning sebagian. Pada hari ke 10 Abutilon indicum mengalami kematian (Gambar 12D) pada perlakuan triklopir 1340 g b.a/Ha . Kematian terjadi pada hari ke 15 untuk perlakuan triklopir 670 g b.a/Ha dan fluroksipir 400 g b.a/Ha.

Gambar 12 Kondisi Abutilon indicum setelah aplikasi herbisida, A. Gulma mengalami leaf cupping pada hari pertama, B. Daun klorosis pada hari ketiga, C. Batang menjadi layu dan mengalami nekrosis pada hari kelima, D. Gulma mengalami kematian pada hari kesepuluh.

A B

(48)

30

Persentase Kematian Gulma

Persentase kematian gulma dihitung pada akhir pengamatan di hari ke 28. Perlakuan penyiangan secara manual memberikan persentase yang lebih rendah daripada perlakuan aplikasi herbisida, sehingga secara statistik penyiangan manual menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan herbisida (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi herbisida lebih efektif dalam mengendalikan gulma daripada metode penyiangan secara manual. Aplikasi fluroksipir dosis tinggi menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan fluroksopir dosis rendah tetapi menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan triklopir dosis rendah. Hal ini menunjukkan bahwa triklopir lebih efektif dalam meningkatkan persentase kematian gulma.

Aplikasi herbisida menunjukkan efek yang berbeda-beda pada setiap jenis gulma. Efektivitas herbisida dalam mematikan gulma ditunjukkan setelah herbisida masuk ke dalam jaringan tumbuhan. Herbisida masuk ke dalam jaringan tumbuhan melalui daun untuk penyemprotan herbisida secara foliar. Molekul herbisida melewati kutikula yang mencakup lapisan lilin sel epidermis yang bersifat lipofilik (Moenandir 1990). Kemampuan daun menyerap molekul pestisida melalui lapisan lilin kutikula tergantung pada dua faktor, yakni partisi bahan kimia untuk masuk ke dalam lapisan lilin (koefisien partisi) dan mobilitasnya dalam lapisan lilin epikutikular (koefisien difusi) (Schonherr & Baur 1994). Sama dengan pestisida, herbisida non polar (lipofilik) seperti formulasi ester, sangat permeabel dan mobile di lapisan lilin. Senyawa ini dapat dengan mudah bergerak secara difusi dan menembus lapisan lilin epikutikular (Bukovac & Petracek 1993).

Tabel 7 Kematian gulma berdaun lebar total pada 28 hari setelah aplikasi herbisida

Perlakuan Dosis (g b.a/Ha) % Kematian Gulma

Kontrol - 0e

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT, α = 5%.

Setelah molekul herbisida menembus kutikula, maka akan masuk ke lapisan dinding sel. Dinding sel memberikan stabilitas mekanik dan perlindungan kepada sel tumbuhan. Komponen utama penyusun dinding sel adalah selulosa, yang sangat berpori, sehingga molekul herbisida polar dan non-polar dapat dengan mudah bergerak diantara serat selulosa (DiTomaso 1999). Lapisan terakhir yang harus dilalui adalah membran sel. Gerakan herbisida menembus membran sel dapat melalui dua proses, yakni secara difusi bebas dan diserap oleh protein pembawa (Bukovac & Petracek 1993).

Gambar

Gambar 4 Dendrogam komposisi penyusun komunitas di savana sebelum aplikasi
Tabel 1 Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) hasil analisis vegetasi pada kondisi awal dan akhir setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan
Tabel 1 Nilai Summed Dominance Ratio (SDR) hasil analisis vegetasi pada kondisi awal dan akhir setelah aplikasi herbisida pada petak perlakuan (lanjutan)
Gambar 5 Dendrogram komposisi jenis penyusun komunitas savana 4 minggu
+7

Referensi

Dokumen terkait