Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
Fadly Khairuzzadhi
NIM: 1111044100056
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(Walter Bagehot)
menyusun skripsi yang diberikan judul Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah).
Masyarakat Lampung Pepadun Kecamatan Padang Ratu adalah salah satu masyarakat yang berada di Kabupten Lampung Tengah. Dahulu masyarakat Lampung Pepadun hanya mengenal perkawinan satu suku, dimana seorang yang bersuku Lampung Pepadun hanya menikah dengan pasangan yang bersuku Lampung Pepadun juga.
Namun seiring berjalannya zaman, banyak masyarakat Lampung Pepadun yang menikah dengan orang yang berlainan suku darinya. Dalam masyarakat Lampung Pepadun dikenal dengan proses pengangkonan
(pengangkatan anak) dimana jika seorang bersuku Lampung Pepadun yang ingin menikah dengan pasangan yang di luar suku Lampung Pepadun, maka harus diangkat dulu (dicarikan bapak angkat) oleh masyarakat asli suku Lampung Pepadun, khusus untuk seorang yang bukan asli Lampung Pepadun tersebut.
Permasalahan yang ingin penulis angkat adalah, bagaimana prosesi
pengangkonan (pengangkatan anak), juga kedudukan seorang anak yang telah
diangkon (diangkat) dalam masyarakat Lampung Pepadun di Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung Tengah. Lalu apa akibatnya jika
i
judul “Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat
Lampung Pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung
Tengah). Sholawat beriringkan salam penulis sampaikan kepada junjungan
alam Muhammad SAW, yang telah mengenalkan kepada manusia tentang
hakikat dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan
terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua prodi Hukum Keluarga dan Arip
Purkon, MA. selaku sekretaris prodi Hukum Keluarga yang senantiasa
memberikan motivasi untuk tidak menyerah dalam menyelesaikan kendala
dalam penulisan.
3. Selanjutnya, rasa terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada
Dr. Syahrul Adam, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
menjadi pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran,
perhatian dan ketelitian memberikan masukan hingga skripsi ini selesai.
Tanpa bimbingannya, akan sulit rasanya penulis dapat menyelesaikan
ii
yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga
ilmu pengetahuan yang diajarkan bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi
penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta
menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
5. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya tak akan pernah terlupa untuk
kedua orang tua saya H. Zulkifli Syukur, SH dan Hj. Dra. Elfy Julaeha,
mereka lah yang selalu senantiasa membantu dan berdoa yang terbaik
untuk penulis agar selalu kuat dan mampu menjalani segala masalah dan
kesulitan hidup ini. Dengan tekad yang kuat, kelak suatu saat nanti penulis
ingin membalas segala kebaikan dan pemberian yang telah diberikan oleh
kedua orang tua penulis. Rasa terimakasih juga saya ucapkan kepada
kakak saya Riska Aurisna Febriane, SH, MH dan Laka Ramadhan
Mubarak, serta adik saya Isye Mariza Fadila yang telah memberikan
motivasi kepada penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi
secepatnya.
6. Penulis ucapkan terimakasih kepada Camat Padang Ratu M. Saleh dengan
ramah meluangkan waktunya untuk diwawancarai, dan motivasi yang
beliau berikan kepada penulis, serta pemberian buku Padang Ratu Dalam
Angka dan buku adat Lampung yang mempermudah penulis dalam
sedalam-iii
Jakarta yang memberikan motivasi dan bantuan setulus hati, juga kepada
teman-teman KKN UIN Jakarta yang selalu mensupport dan memberikan
semangat pada penulis dalam penyelesaiaan skripsi. Rasa terima kasih
terkhusus kepada Ridfa Chairani yang selalu memberikan motivasi, doa,
dan selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, semoga Allah
SWT senantiasa menemani dan memberikan pertolongan di setiap
langkahnya, dan senantiasa meridhoi kebersamaan kita.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan
khususnya segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta 12 Juni 2015
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………. i
DAFTAR ISI……….. iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... 1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6
D. Metode Penelitian... 7
E. Review Studi Terdahulu... 8
F. Sistematika Penulisan... 9
BAB II PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Perkawinan... 11B. Syarat dan Rukun Perkawinan... 14
C. Perkawinan Menurut Adat Lampung Pepadun... 21
D. Pengertian Pengangkatan Anak... 23
E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat... 26
BAB III TATA CARA PENGANGKONAN DALAM
MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah... 28v
b. Pemerintahan... 34
c. Kependudukan... 36
d. Struktur Masyarakat Lampung Pepadun... 40
B. Proses Pelaksanaan Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda
Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun... 46
C. Kedudukan Seseorang Yang Telah Di Ngankon Pada
Masyarakat Lampung Pepadun... 50
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM
INDONESIA TENTANG PENGANGKONAN
A.
Ngangkon Menurut Tokoh Adat Lampung Pepadun... 53B.
Ngangkon Menurut Perspektif Hukum Islam... 55C.
Ngangkon Menurut Hukum Indonesia... 58BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 61
B. Saran-Saran... 62
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Manusia, Hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk Allah yang
diciptakan-Nya berpasang-pasangan. Hubungan antara pasangan-pasangan itu
membuahkan keturunan agar hidup di alam semesta ini berkesinambungan.
Dengan demikian penghuni dunia ini tidak pernah sunyi dan kosong, tetapi harus
berkembang dari generasi ke generasi. Secara etimologi, pernikahan berarti
persetubuhan, ada pula yang mengartikannya perjanjian. Secara terminologi
pernikahan menurut Abu Hanifah adalah aqad yang dikukuhkan untuk
memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.
Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan
ketetapan pembuatan syariah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh
dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar
untuk mendapatkan kenikmatan semata. 1
Menurut Hazairin, menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah
hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada
hubungan seksual.2
Menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi, diantaranya
adalah: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapan syara’ untuk
1
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), H. 11.
2
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), H. 61.
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki”3
Definisi yang dikutip oleh Zakiah Darajat:
“Akad yang mengandung ketentuan hukum hubungan seksual dengan
lafadzh nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya”. Perkawinan adalah
suatu yang diperintahkan oleh Allah yang disunnahkan.4
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
dengan tujuan agar kehidupan di alam dunia ini dapat terus berkembang biak.
Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi bisa juga terjadi pada
tanaman, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang
berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang
mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.5
Penciptaan setiap manusia laki-laki maupun perempuan disertai dengan
sifat-sifat dan keperibadiannya masing-masing. Dan setiap orang seorang laki-laki
dan perempuan yang telah membentuk ikatan pernikahan dalam sebuah wadah
yang disebut keluarga tetap akan membawa serta kepribadian tersebut. Perbedaan
sifat, pribadi, jenis kelamin, latar belakang keluarga, ekonomi dan semisalnya
3
Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subulu-salam, (Bandung: Dahlan,t.t), Jilid 2, H. 109. 4
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, H. 37. 5
merupakan fitrah niscaya bagi sebuah kehidupan. Walau terlihat berbeda, tetapi
itu adalah suatu keindahan yang saling melengkapi antara satu kepada lainnya.6
Perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh
kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya
sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang
suami bersama perempuan lainnya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan
disini merupakan hak berserikat antara para isteri.7
Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan
realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada satu sisi adalah sunnah
yang diakukan para nabi dan rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaiaan
Risalah Illahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung
keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata
rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.
Kesinambungan mata rantai sebuah keluarga amat penting bagi generasi
hadapan agar mereka berkaca dan menteladani hal-hal yang baik dan menjauhi
hal-hal yang buruk. Meskipun demikian tidak berarti diambil kesimpulan bahwa
menikah menjadi suatu yang mutlak adanya tanpa melihat beberapa kondisi
pendukungnya.
6
Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), H. 89.
7
Negara Indonesia yang notabene mempunyai beragam jenis adat,
khususnya adat tentang pernikahan kerap kali dipakai dalam melaksanakan
sebuah pernikahan, seperti adat pernikahan Betawi, Palembang, Lampung dan
lain-lainnya. Indonesia termasuk masyarakat yang majemuk, terdiri dari ratusan
suku-suku. Oleh karena itu lahirlah banyak pengertian nikah dalam suku-suku
tersebut. Dan karena dalam islam dijelaskan tata cara dan hukum menikah, maka
dalam masyarakat Indonesia yang terbagi menjadi ratusan suku ada pula
tatacaranya, inilah yang sering disebut dengan adat istiadat, karena lahir dari
kebiasaan. Kebiasaan inilah yang akhirnya menjadi hukum sendiri di kalangan
mereka. Dan hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari sudut tertentu,
sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi, dan lain sebagainya.8
Adat lampung misalnya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan penelitian.
Disebutkan bahwa pada Lampung Pepadun dikenal dengan pengangkonan
(pengangkatan anak). Masyarakat Lampung Pepadun memiliki prosedur yaitu
sebelum melakukan pernikahan, pihak yang bukan bersuku Lampung harus di
adopsi oleh keluarga suku Lampung yang sederajat dengan pasangannya9.
Latar belakang tersebut yang mendasari penulis tertarik untuk membahas
lebih dalam prosesi pengangkonan dalam bentuk penelitian skripsi yang berjudul:
PENGANGKONAN DALAM PERNIKAHAN BEDA SUKU PADA
8
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ,2003), H. 1.
9
MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN (Studi di Kecamatan Padang Ratu,
Kabupaten Lampung Tengah).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Dari beberapa persoalaan diatas, dan yang perlu terus diperhatikan,
menjadi fokus dalam pembahasan skripsi kali ini, agar lebih terarah dan tidak
melebar mengenai masalah yang akan dibahas, adalah mengenai pengangkonan
dalam masyarakat Padang Ratu, Lampung Tengah.
b. Perumusan Masalah
Dahulu masyarakat Lampung Pepadun hanya mengenal sistem
perkawinan satu suku, Oleh sebab itu maka perkawinan yang terjadi hanya di
antara mereka saja yaitu perkawinan sesama suku Lampung Pepadun, sehingga
menjadi sebuah kebiasaan yang timbul menjadi norma bahwa orang Lampung
Pepadun harus menikah dengan Lampung Pepadun saja.
Namun realita sosial saat ini banyak orang Lampung Pepadun yang
menikah dengan orang dari suku lain. Pada masyarakat Lampung Pepadun, jika
terjadi perkawinan antar suku maka calon istri atau calon suami yang berasal dari
suku lain harus di lakukan cara ngangkon dulu (pengangkatan).
Ngangkon ini hanya diperuntukan pada seseorang yang bukan asli
Lampung Pepadun. Jika Pasangan yang ingin menikah sama-sama bersuku
Berdasarkan rumusan di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pelaksanaan pengangkonan dalam pernikahan beda suku
pada masyarakat Lampung Pepadun ?
2. Apa akibatnya jika pengangkonan tersebut tidak dilaksanakan dalam
perkawinan beda suku Lampung Pepadun ?
3. Bagaimana pandangan tokoh adat Lampung Pepadun, hukum Islam dan
hukum Indonesia mengenai pengangkonan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui prosesi pelaksanaan pengangkonan dalam pernikahan beda
suku pada masyarakat Lampung Pepadun.
2. Untuk mengetahui makna yang tersirat dalam pelaksanaan pengangkonan.
3. Mengetahui kedudukan seseorang yang telah di ngangkon.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran dalam
masyarakat di Indonesia terkait dengan melaksanakan upacara adat khususnya
adat perkawinan Lampung Pepadun. Sehingga manfaat yang hendak di capai
dalam penelitiaan ini adalah:
1. Untuk menjadi pembelajaran serta pertimbangan baik dan buruknya bagi
2. Mengetahui pengangkonan ini apa mungkinkah sudah tepat dalam perspektif
hukum Islam dan hukum Indonesia.
3. Masyarakat Indonesia mengetahui pengangkonan, sehingga ngangkon ini
dapat di kenal luas oleh masyarakat di luar Lampung Pepadun.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari sumber-sumber yang diperoleh.
a. Jenis Data
1. Data primer: yaitu data yang diterima langsung dengan cara melakukan
wawancara dengan warga dan pemuka adat Lampung yang memahami
masalah pengangkonan.
2. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dan referensi
lain seperti buku, majalah, serta dari setiap artikel yang mengandung
informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas, dihimpun dari berbagai
perpustakaan.
b. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka: kajian pustaka yang digunakan untuk mencapai pemahaman.
Bahan yang digunakan untuk kajian pustaka ini yaitu buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, jurnal, artikel-artikel yang
2. Wawancara : Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya
jawab, di sini penulis mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan
yang akan diajukan melalui wawancara (pedoman wawancara). Selanjutnya
penulis melakukan wawancara kepada orang yang dapat dipercaya, dalam hal
ini penulis melakukan wawancara kepada tokoh adat Lampung Pepadun untuk
mendapatkan bukti yang kuat sebagai penguat argumentasi.
E. Review Studi Terdahulu
Sejauh ini peneliti baru menemukan karya ilmiah yang berbentuk skripsi
atau tesis yang bisa menjadi acuan peneliti dalam pembuatan karya ilmiah skripsi
tentang pengangkonan sebagai berikut:
Pertama, Skripsi yang di tulis oleh saudara Abiyati Atnan Nitiono dengan
judul skripsi “PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni,
Kecamatan. Amanuban Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur). Skripsi ini juga
membahas prosesi adat yang harus dilakukan sebelum melaksanakan akad nikah.
Juga masyarakat di dalam nya yang tidak melepaskan adat tersebut dan masih
melaksanakan sampai saat ini, skripsi ini membahas mengenai suatu adat dalam
pernikahan yang di lakukan di daerah NTT, sedangkan penulis melakukan
penelitian adat yang harus di laksanakan sebelum melakukan akad nikah dalam
masyarakat Lampung Pepadun di daerah Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten
Kedua, Tesis yang di tulis oleh Tesar Esanra dengan judul
“KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG
PEPADUN SI WO MI GO BUAI SUBING (Studi di Kecamatan Terbanggi Besar
Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung). Tesis ini juga membahas
tentang pengangkatan anak, namun yang membedakan adalah pengangkatan yang
dilakukan hanya sekedar mengangkat anak untuk di asuh. Sedangkan disini
penulis ingin meneliti pengangkatan anak yang akan dilakukan karena pernikahan
beda suku dalam masyarakat Lampung Pepadun. Proses pengangkatan juga
syarat-syarat dalam melakukan pengangkatan anak. Dimana seseorang yang
bukan asli Lampung Pepadun ingin menikah dengan seseorang yang asli
Lampung Pepadun. Sehingga di laksanakan pengangkonan (pengangkatan anak)
tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam pembuatan skripsi ini agar lebih jelas dan tertata
dengan rapih maka disusun dalam berbagai bab dari bab satu hingga bab lima.
Pada bab ke satu, dimana bab ini merupakan awal dari pembukaan pokok
permasalahaan yang akan dibahas. Dengan dituliskannya latar belakang,
pembahasan dan permusan masalah, manfaat, metode penulisan dari pembahasan
ini sebagai pengantar untuk pembaca agar mengetahui hal apa yang akan dibahas
dalam skripsi ini.
Pada bab ke dua, disajikan data-data hasil penelitian yang dikumpulkan
rukun perkawinan, perkawinan dalam masyarakat Lampung Pepadun, serta
pengertian pengangkatan anak.
Pada bab ke tiga, disajikan gambaran lokasi penelitian di kecamatan
Padang Ratu, proses pelaksanaan pengangkonan, dan kedudukan anak yang telah
di ngangkon.
Pada bab ke empat, berisi analisa tentang pengangkonan, menurut
pandangan tokoh adat Lampung Pepadun, perspektif hukum Islam, dan
pandangan hukum Indonesia.
Pada bab ke lima, merupakan kesimpulan dari pengangkonan ini, dan
saran dari penulis tentang hal yang menjadi bahan pembahasan dari prosesi
BAB II
PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian PerkawinanPerkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10
Dan dalam Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah
akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah
SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan salah satu Sunnatullah yang berlaku pada
semua makhluk-Nya, sebagai sesuatu yang paling baik yang dipilih Allah
SWT untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.11 Menurut Paul
Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.12
Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab 1
pasal 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan Lahir Batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
10
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1974 Tentang Perkawinan 11
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), H.9.
12
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), H. 4.
Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan
memiliki dua aspek yaitu:13
1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dengan ikatan lahir batin,
artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir
tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh
yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan.
2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya dan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani
tetapi unsur batinpun turut berperan penting.
Disamping itu, bila definisi perkawinan tersebut ditelaah maka
terdapat lima unsur perkawinan di dalamnya yaitu:
Pertama, “ikatan lahir batin” dimaksudkan bahwa antara ikatan lahir
dan ikatan batin itu saling berjalan dan tidak boleh terpisahkan. Karena pada
dasarnya ikatan lahir dan ikatan yang dapat dilihat maksudnya adalah
mengungkapkan adanya hukuman hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama, sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin
adalah suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, walau tidak nyata, tapi ikatan itu
harus ada. Karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.
Oleh karena itu terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan fondasi
dalam membentuk dan mebina keluarga yang bahagia dan kekal.14
13
Titik Triulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2010), H. 103.
14
Kedua, “Seseorang pria dengan wanita” mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolah
perkawinan sesama jenis.15
Ketiga, “Sebagai suami istri” Mengandung arti bahwa perkawinan itu
adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga.
Selanjutnya disebutkan pula tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal.
Maksudnya adalah perkawinan itu hendaknya dapat berlangsung seumur
hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluargayang
bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa.16
Selain Undang-Undang Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian yang berkenaan
dengan pengertian perkawinan yang sifatnya melengkapi Undang-Undang
perkawinan tersebut, yaitu:
Perkawinan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
Maksud dari ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan
merupakan penjelasan dari ungkapan “Ikatan Lahir dan Batin” yang
mengandung arti bahwa perkawinan bukan semata perjanjian yang bersifat
keperdataan saja. Dan ungkapan yang menyatakan bahwa “Untuk mentaati
15
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. III, (Jakarta: Kencana,2009), H. 40.
16
perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”, merupakan penjelasan
dari ungkapan” berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam undang
-undang perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya
atelah melakukan perbuatan ibadah.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat merupakan suatu hal yang menentukan perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama
dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam
suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal,
dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Tetapi dalam pengertiannya rukun dan syarat itu berbeda, Rukun adalah
sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah atau tidaknya suatu perkawinan,
dan sesuatu itu termaksud dalam rangkaian peerjaan itu, seperti adanya calon
laki-laki atau perempuan dalam pernikahan. Sedangkan Syarat adalah suatu
yang mesti ada yang menetukan sah dan tidaknya suatu perkawinan, tetapi
sesuatu itu tidak termaksud dalam rangkaian pekerjaan itu seperti calon
pengantin Laki-Laki/perempuan harus beragama Islam.17
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sama sekali
tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat
17
hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan18 yang di atur pada
pasal 6 sampai dengan pasal 12, yang meliputi syarat materil dan syarat
formil. Syarat materil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan sedangkan sarat-syarat formil adalah
tata cara atau prosedur perkawinan yang harus dipenuhi baik sebelum maupun
maupun pada saat perkawinan.19 Perlu di ingat selain harus memenuhi
persaratan perkawinan menurut undang-undang perkawinan, bagi mereka
yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan
perkawinan yang diatur oleh hukum Agamanya dan kepercayaan agamanya
masing-masing. Termaksud dalam ketentuan perundang-undangan lain yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan agamanya itu.
Persyaratan materil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak
melangsungkan perkawinan yaitu:20
a. Persyaratan orangnya
1. Berlaku umum bagi semua perkawinan
i. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai
ii. Calon mempelai sudah berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita
iii. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang
laki-laki yang beristri lebih dari seorang.
18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet III, (Jakarta: Kencana, 2006), H. 67.
19
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Cet. I, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), H. 65-66.
20
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
iv. Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau
masa iddah.
2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:
i. Tidak terkena larangan/ halangan melakukan perkawinan, baik
menurut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
b. Izin yang harus diperoleh
1. Izin orang tua atau Wali calon mempelai jika belum berumur 21 Tahun.
2. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang,
wali nikahnya adhal serta bagi calon mempelai yang belum berumur 16
tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (dispensasi nikah).21
Sedangkan syarat formal yang mengatur tentang tata cara melakukan
perkawinan diatur dalam pasal 10 dan 11 peraturan pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Tentang perkawinan jo Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975
tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.22
Syarat Formal yang mengatur tentang tata cara melakukan perkawinan
pada pasal 10 dan 11 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
21
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no.1 Tahun 1974 sampai KHI, Cet. III, (Jakarta: Kencana, 2006), H. 69.
22
pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan
adalah:23
1. Perkawinan dilangsungkan setekah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaskud dalam pasal 8 peraturan pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masinghukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatatan dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan:
1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, Kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercata secara resmi.
Bagi seorang yang beragama Islam pencatatan dilakukan di Kantor
Urusan Agama (KUA) dan bagi seorang yang beragama non muslim
pencatatan dilakukakan di Kantor Catatan Sipil (KCS).24
Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hanya
menyebutkan adanya syarat-syarat perkawinan, berbeda dengan Inpres No. 1
23
R. Subekti dan R Tjidrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Cet 40, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2009), H. 563-564.
24
Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan adanya rukun dan
syarat perkawinan yang diatur pada bab IV Kompilasi Hukum Islam.25 Rukun
perkawinan terdapat pada pasal 14 dan untuk syarat perkawinan yang
menjelaskan rukun-rukun perkawinan tersebut terdapat pada pasal 15 sampai
dengan pasal 29.
Rukun Perkawinan terdapat pada pasal 14 yang sesuai dengan Mazhab
Syafi’i26
yaitu:
Untuk Melaksanakan perkawinan harus ada:
1. Calon Mempelai Laki-laki 2. Calon Mempelai Perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pernikahan 4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul dilakukan suami
Untuk syarat perkawinan yang menjelaskan rukun-rukun perkawinan
tersebut diatur pada pasal 15 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum Islam
yaitu:27
Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam mengatur
tentang persyaratan seorang calon mempelai yang ingin melangsungkan akad
pernikahan yaitu:
1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No1 tahun 1974 yakni calon suami
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, H. 72. 26
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Cet I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), H. 34.
27
kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (Pasal 15 Ayat 1)
2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. (Pasal 15 Ayat 2)
3. Perkawinan di dasarkan atas persetujuan calon mempelai. (Pasal 16 Ayat 1)
4. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidka ada penolakan yang tegas. (Pasal 16 Ayat 2)
5. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah. (Pasal 17 Ayat 1)
6. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (Pasal 17 Ayat 2)
7. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. (Pasal 17 Ayat 3)
8. Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. (Pasal 18)
Pasal 19 sampai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, mengatur
tentang persyaratan seorang wali, bagi calon mempelai yang ingin
melansungkan akad pernikahan yaitu:
1. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. (Pasal 19) 2. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (Pasal 20 Ayat 1) 3. Wali nikah terdiri dari 2 bagian yaitu: a. Wali nasab, b. Wali hakim. (Pasal
20 Ayat 2)
4. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yag satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,
kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. (Pasal 21 Ayat 1)
5. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (Pasal 21 Ayat 2)
6. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah. (Pasal 21 Ayat 3)
7. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama-sama-sama kerabat seayah, mereka sama-sama-sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. (Pasal 21 Ayat 4)
8. Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. (Pasal 22)
9. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. (Pasal 23 Ayat 1) 10.Dalam hal wali adlal atau enggan maka waki hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. (Pasal 23 Ayat 2)
Pasal 24 sampai dengan pasal 26 Kompilasi Hukum Islam, mengatur
tentang persyaratan seorang saksi bagi calon mempelai yang ingin
melangsungkan akad pernikahan yaitu:
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (Pasal 24 Ayat 1)
2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. (Pasal 24 Ayat 2)
3. Yang ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adli, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu atau tuli. (Pasal 25)
Pasal 27 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum Islam, mengatur
tentang persyaratan Akad Nikah bagi seorang calon mempelai yang ingin
melangsungan akad pernikahan yaitu:
1. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. (Pasal 27)
2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. (Pasal 28) 3. Yang berhak mengucapkan kabul ialah ialah calon mempelai pria secara
pribadi. (Pasal 29 Ayat 1)
4. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (Pasal 29 Ayat 2)
5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. (Pasal 29 Ayat 3)
Rukun dan syarat perkawinan merupakan hal yang sangat penting oleh
sebab itu seorang yang ingin melangsungkan pernikahan hendaklah terlebih
dahulu memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut, jika seseorang tidak
memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka nikahnya dianggap tidak sah
dimata hukum dan perkawinannya itu dapat dibatalkan.
C. Perkawinan Menurut adat Lampung Pepadun
Perkawinan menurut adat Lampung Pepadun dapat ditempuh melalui
beberapa cara antara lain:
a. Rasan Sanak, yaitu hubungan cinta antara jejaka/bujang dan gadis melalui
surat-menyurat, atau bukti seperti adanya barang-barang dari pihak bujang
sebagai tanda cintanya terhadap gadis tersebut, yang menurut istilah
kedua belah pihak tidak turut berperan, karena itu disebut rasan sanak,
yang artinya perbuatan anak muda. Tanda Bekahago ini dapat berupa
barang, makanan, bahan pakaian, maupun perhiasan yang terbuat dari
emas ataupun perak. Barang sebagai tanda cinta ini dapat saja
dimanfaatkan sih gadis, dengan catatan barang barag pemberian yang
berupa makanan, biasanya tidak dikembalikan pada bujang seandainya
perkawinan tidak terlaksana karena lain hal. Barang-barang yang berwujud
bahan pakaian atau perhiasan biasanya berlaku ketentuan dapat
dikembalikan apabila bujang memintanya, umumnya karena kesalahan
berada pada pihak gadis, umpamanya dia menikah dengan bujang lain.
Dapat tidak dikembalikan dengan cara mengganti daengan gadis lain atau
adik dari gadis yang mengingkari janji tersebut dan atau mengikat tali
persaudaraan (mewaghei).
b. Rasan Tuho, Proses perkawinan yang sejak awal dirintis oleh orang tua
ataupun perwatin adat kedua belah pihak disebut tuho, Biasanya proses ini
diawali dengan Bekahago.
Yang dimaksud Bekahago adalah suatu usaha untuk menjajaki isi hati
gadis dan keluarganya. Pada umumnya kedua belah pihak baik bujang
maupun gadis memang telah saling mengenal. Tetapi pada zaman dulu
sebelum kemerdekaan dapat saja terjadi perkawinan dimana baik pria maupun
wanita belum saling mengenal, karena dijodohkan orang tua kedua belah
Apabila Bekahago dilakukan oleh orang tua bujang atau bujang itu
sendiri, maka ia harus mengutus seorang wanita untuk datang melihat dan
bertanya kepada gadis tersebut. Biasanya yang ditanyakan terhadap sigadis,
siap atau belumkah dia untuk berumah tangga, dan bagaimana pihak orang
tuanya apakah sudah setuju jika dia berumah tangga dan sebagainya.
Petugas yang menanyakan gadis tersebut dinamakan “Lalang” dan
kedatangannya ketempat gadis tidak resmi, masih bersifat rahasia
(giyap-giyep) antara keluarga yang terdekat saja. Kalau hasil giyap-giyep ini
memberikan titik terang , artinya adanya kesanggupan pihak keluarga gadis,
maka diadakan pertemuan yang semi resmi.28
D. Pengertian Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan
menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut
kepentingan orang-perorangan dalam keluarga. Pengangkatan Anak dalam
staatsbland nomor 129 tahun 1917 menjadi hukum tertulis yang mengatur
pengangkatan anak bagi kalangan masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku
bagi masyarakat Indonesia asli, maka bagi masyarakat Indonesia asli berlaku
hukum adat yang termasuk didalamnya adalah ketentuan hukm Islam. Karena
staatbsblad nomor 129 tahun 1917 yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda ini tidak sesuai dengan hukum Islam, mka yang boleh mengangkat
anak hanyalah orang-orang Tionghoa.
28
Sebelum lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014, sebenernya telah lahir
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka
perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak yang
di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak.
Pengertian anak angkat menurut Undang-Undang tersebut adalah anak
yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Dalam pasal 39 ayat (2) diatur bahwa pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya. Kemudian dalam ayat (3) diatur bahwa calon orang tua angkat
harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Namun
demikian, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak baru
diundangkan pada 3 oktober 2007, yaitu melalui PP Nomor 54 Tahun 2007.
Pengangkatan Anak yang berkembang di Indonesia merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “adoption” artinya mengangkat seorang
anak, yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak
sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.
Tabanni (Pengangkatan Anak) di negara-negara Barat, berkembang
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak anak-anak yang
disamping banyak pula anak-anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah.
Karena sistem hukum Barat (Belanda) berlaku di Indonesia, Tabanni
(Pengangkatan Anak) di Indonesia pada awalnya dijalankan berdasarkan
staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan ini
tabanni tidak hanya terbatas pada anak yang jelas asal-usulnya, tetapi juga
berlaku kepada anak yang lahir dari hubungan tidak sah.29
Umumnya anak angkat yaitu anak yang haknya dilahirkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan
penetapan pengadilan.30
Untuk memberikan pengertian tentang adopsi, kita dapat
membedakannya dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi
dan secara terminologi.31
a. Secara Etimologi
Adopsi berasal dari kata “Adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”
(adoption) bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.
Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus Hukum, berarti
“Pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi
disini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil
29
Abdul Azis Dahlan, ed., Eksiklopedi Hukum Islam, Jilid 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), H.28.
30
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), ED. I, H. 55. 31
pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara
literlijk, yaitu (adopsi) disadarkan ke dalam bahasa Indonesia berarti anak
angkat atau mengangkat anak.
b. Secara Terminologi
Para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi,
antara lain:
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu
“anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan:32 Adopsi suatu cara untuk mengadakan
hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
Perundang-undangan.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma:
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang
tua angkat dengan resmi oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum
adat setempat , dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.33
E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Pengangkatan anak dalam hukum adat adalah adalah suatu perbuatan
hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan (keturunan). Maksudnya
32
Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Sistem Hukum, H. 5. 33
anak angkat tersebut dalam hal biologis maupun sosial kedudukannya
disamakan dengan anak kandung, misalkan dalam hal waris adat.34
Konsepsi pengangkatan anak menurut hukum adat dikemukakan oleh
Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang yang memunggut anak dan anak yang dipunggut itu
timbl hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandungnya sendiri.35
Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak yaitu:
a. Pengangkatan anak secara terang tunai, artinya pengangkatan anak yang
dilakukan secara terbuka dihadiri oleh segenap keluarga, pemuka adat
(terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai).
b. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya
pengangkatan anak yang dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang
keluarga seluruhnya, hanya keluarga tertentu saja, tidak dihadiri oleh
pemuka adat/desa dan tidak dengan pembayaran uang adat.
Perbedaannya adalah:
a. Akibat hukum Pengangkatan anak secara terang dan tunai adalah anak
angkat tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya masuk
menjadi keluarga angkatnya serta mewaris dari orang tua asalnya.
34
Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), Ed. I H. 31.
35
b. Akibat hukum Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai anak
angkat tersebut tidak putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya
walaupun bertempat tinggal dan dipelihara keluarga orang tua angkatnya
BAB III
TATA CARA PENGANGKONAN DALAM MASYARAKAT
LAMPUNG PEPADUN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kecamatan Padang Ratu,
Kabupaten Lampung Tengah a. Geografi
Kecamatan Padang Ratu berdiri tahun 1903, berada di Kabupaten
Lampung Tengah Provinsi Lampung. Luas wilayah kecamatan Padang Ratu
17.933 km dengan jumlah penduduk 39.000 jiwa. Terdapat 92 dusun, 291 RT,
dan 15 kampung dalam Kecamatan Padang Ratu37. Untuk lebih terperinci
penulis akan memaparkan gambaran Kecamatan Padang Ratu dalam bentuk
Tabel sebagai berikut:
Klasifikasi, Status dan luas Wilayah Kampung di Kecamatan Padang Ratu
No Kampung Klasifikasi Status Luas(Hektar)
1 Purwosari Pedesaan Kampung 361
2 Mojokerto Pedesaan Kampung 1000
3 Sendang Ayu Pedesaan Kampung 1.310
4 Surabaya Pedesaan Kampung 665
5 Bandar Sari Pedesaan Kampung 600
6 Sri Agung Pedesaan Kampung 405
7 Kota Baru Pedesaan Kampung 517
37
Wawancara dengan M.Saleh, Camat Padang Ratu, 18 April 2015
8 Morgorejo Pedesaan Kampung 1.312
Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu38
Luas Wilayah Menurut Jenis Lahan di Kecamatan Padang Ratu (Hektar)
No Kampung Lahan Sawah Lahan Bukan
10 Kuripan 179 1.079 1.258
Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu
Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan di Kecamatan Padang Ratu
12 Padang Ratu 195 119 - 36 351
13 Karang Sari - - 6 78 84
14 Sumber Sari - - - 71 71
15 Purworejo - - - 96 96
Padang Ratu 196 614 101 1.298 2.209
13 Karang Sari 241 23 2 266
15 Purworejo 86 81 22 189
Padang Ratu 2.338 12.467 214 15.019
Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu
Sumber:UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu
b. Pemerintahan
Jarak Kampung dengan Ibukota Kecamatan, Ibukota Kabupaten, Kota Metro dan Ibukota Provinsi (Kilometer)
No Kampung Kades/
Banyaknya Pamong dan Perangkat Kampung Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Padang Ratu
No Kampung SD SLTP SLTA Jumlah
2 Mojokerto 6 3 4 13
Banyaknya Rumah Tangga dan Penduduk di Kecamatan Padang Ratu
3 Sendang Ayu 1.449 1.013 1.742 2.755
Sex Ratio Kepadatan Penduduk, Kepadatan Rumah Tangga dan Rata-Rata
4 Surabaya 102,62 484,68 116,39 4,16
5 Bandar Sari 106,46 781,91 202,00 3,87
6 Sri Agung `103,88 581,21 157,53 3,69
7 Kota Baru 104,59 676,24 181,04 3,74
8 Margorejo 110,66 299,25 80,26 3,73
9 Karang
Tanjung
100,31 484,55 137,94 3,51
10 Kuripan 104,73 378,68 93,02 4,07
11 Haduyang
Ratu
108,35 116,92 27,70 4,22
12 Padang Ratu 100,66 43,96 10,80 4,07
13 Karang Sari 108,94 582,20 156,00 3,75
14 Sumber Sari 103,89 335,73 86,75 3,87
15 Purworejo 103,65 887,64 215,34 4,12
Padang Ratu 105,33 269,67 69,14 3,90
Sumber: BPS Kabupaten Lampung Tengah
Banyaknya Bangunan Tempat Tinggal Menurut Status Bangunan di
Kecamatan Padang Ratu
No Kampung Permanen Semi
Permanen
Sederhana Jumlah
1 Purwosari 654 76 30 760
2 Mojokerto 642 75 30 747
3 Sendang Ayu 1.157 135 54 1.346
4 Surabaya 722 84 34 840
6 Sri Agung 562 65 26 653
Banyaknya Bangunan Tempat Tinggal Menurut Sumber Listrik yang
8 Margorejo 806 203 5 1.014
9 Karang
Tanjung
594 149 4 747
10 Kuripan 915 230 6 1.151
11 Haduyang
Ratu
595 150 4 749
12 Padang Ratu 509 128 3 640
13 Karang Sari 425 107 3 535
14 Sumber Sari 212 53 1 266
15 Purworejo 560 141 4 705
Padang Ratu 9.796 2.464 63 12.323
Sumber: Kantor Kampung
d. Struktur Masyarakat Lampung Pepadun
Pada dasarnya adat Lampung Pepadun dan adat Lampung Sai Batin
adalah sama, bahkan semula keduanya sama-sama mempunyai pepadun.
Namun dalam pelaksanaannya pada masyarakat Lampung Pepadun telah
terjadi perkembangan yang disesuaikan dengan dinamika zaman. Pada
masyarakat Lampung Pepadun memegang teguh norma-norma adat seteguh
mereka memeluk agama Islam, sehingga pada warga masyarakat Adat
Pepadun, adat dan agama jalin menjalin seimbang kuatnya.
Adat Lampung dibentuk dan dilaksanakan dengan cara perundingan
(berpadu) kesepakatan dan kebulatan kata dalam suasana kekeluargaan yang
penuh dengan keakraban. Dalam adat Lampung terdapat 3 bagian yaitu:
1. Adat Cepalo, berupa larangan-larangan guna membentuk akhlak yang baik
pribadi maupun keluarga, yang didalam bahasa Lampung dinamakan Pi’il
Pesengerei.
2. Adat Ngejuk-Ngakuk, merupakan sumber utama penjelmaan adat karena
keharusan manusia yang normal untuk kawin guna melanjutkan generasi,
dan ini perlu diatur dalam tata cara yang sebaik-baiknya.
3. Adat Kebumian, dimaksudkan untuk memastikan tempat kedudukan dan
sekaligus hak dan kewajiban seseorang dalam struktur masyarakat adat.
Ketiga segi keadaan diatas yaitu: Cepalo, Ngejuk-Ngakuk, dan
Kebumian disimpulkan dengan kata-kata singkat tapi bermakna luas yaitu:
Seruas Tigo Bukeu, Tigo Genop Wo Ganjil. Jadi layaknya Tungku Tiga
sejarangan yang tidak dapat dipisahkan, bila dilukiskan dapat dikatakan
bahwa: Cepalo selaku Tiang Sako, Ngejuk-Ngakuk sebagai tubuh dan
kerangka, Kebumian sebagai tempat kedudukan.
Identitas yang harus dimiliki orang Lampung asli adalah:39
1. Pi’il Pesengerei, yaitu harga diri dan nilai kehormatan.
2. Juluk Adek, yaitu gelar waktu masih muda dan tua.
3. Pik Trep, yaitu tempat seseorang dalam jurai keturunan.
4. Anjak pegegh, yaitu asal-usul keturunan, nenek, kakek, dan orang tua
laki-laki.
5. Weghei-Miyanak, yaitu saudara-saudara dan keluarga dekat yang
bersangkutan.
39
Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa adat pokok masyarakat
Lampung asli terdiri dari tiga unsur, yaitu: Adat Cepalo, Adat
Ngejuk-Ngakuk, dan Adat Kebumian. Ketiga unsur diatas dinamakan Seruas Tigo
Bukeu, Tigo Genep Wo Ganjil, artinya kalau ketiga unsur diatas dianut oleh
seseorang maka sempurnalah adatnya, sedangkan kalau salah satu unsur tidak
dilaksanakan mereka akan terlihat aneh.
Adapun ketentuan adat yang berasal dari hasil musyawarah Empat
Datu di Sekhalo Beghak (Bukit Pesagi) dinamakan Adat Ketaro (Ketaro Rajo
Niti). Datu empat tersebut adalah, Datu di Puncak, Datu di Pugung, Datu di
Belalau, Datu di pemanggilan.
Adat ketaro, yaitu suatu peraturan adat yang bersifat luwes dan
sederhana serta hanya merupakan konsep dasar, sesuai dengan jumlah dan
tingkat kemampuan berpikir masyarakat ketika itu.
Adat Keterem, mengingat perkembangan adat begitu pesat, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, maka diperlukan penjabaran dalam bentuk
konsep yang bersifat operasional sesuai dengan perikehidupan masyarakat
adat sehari-hari, yang tidak bertentangan dengan adat ketaro. Maka terciptalah
suatu Piagam Musyawarah dan Penyimbang (perwatin) adat yang dinamakan
Adat Keterem.
Adat Perattei, atau adat kebiasaan merupakan suatu norma adat yang
bersifat temporer (seketika) berdasarkan kesepakatan para perwatin adat (para
penyimbang) dalam menangani suatu kasus adat. Karena adat Perattei ini
pada masing-masing kebuaiaan. Adat yang kita bicarakan ini adalah Adat
Lampung Pepadun yang secara garis besar terdiri atas, Adat Pepadun Migo,
Adat Pepadun Bandar, Adat Pepadun Suku, Adat Pepadun Sumbai.
Adapun masing-masing kebuaiaan yang menganut keempat adat
Pepadun tersebut adalah sebagai berikut: 40
4. Marga Silamayang 5. Marga Tegamoan 6. Marga Buai Bulan 7. Marga Buai Umpu 8. Marga Aji
Umumnya masyarakat adat suku Lampung Pepadun menganut prinsip
garis keturunan bapak, dimana anak laki-laki tertua dari keturunan tertua
memegang keukuasaan adat. Setiap anak laki-laki adalah penyimbang, yaitu
anak yang mewarisi kepemimpinan ayah sebagai kepala keluarga atau kepala
kerabat seketurunan. Hal ini tercermin dalam sistem dan bentuk perkawinan
adat serta upacara-upacara adat yang berlaku. Kedudukan penyimbang begitu
di hormati dan istimewa, karena merupakan pusat pemerintahan kekerabatan,
baik yang berasal dari satu keturunan pertalian darah, satu pertalian adat atau
karena perkawinan.
Masyarakat Lampung Pepadun ditandai dengan upacara adat
pengambilan gelar kedudukan adat dengan upacara yang disebut Pepadun.
Pepadun merupakan singgasana yang dipergunakan dalam setiap upacara
pengambilan gelar adat. Oleh karena itu upacara disebut Cakak Pepadun.
Kelompok masyarakat ini pada umumnya mendiami daratan wilayah
Lampung yang jauh dari pantai Laut seperti daerah Abung Way Kanan
Secara kekerabatan masyarakat ini terdiri dari empat clan besar yang
masing-masing dibagi-bagi kedalam empat kelompok kerabat yang disebut
Buay, dengan uraian rincian sebagai berikut: 41
1. Abung Siwo Megou, yang wilayahnya meliputi way abung, way rarem,
way terusan, way pengubuan, dan way seputih. Terdiri dari
buay-buaynunyai, unyi, nuban subing, belituk, kunang, aji (toho), selagi dan
nuwat. Kebudayaan nuwat masuk ikatan adat Abung Siwo megou akan
tetapi marga nuwat adalah kesatuan teritorial. Orang –orang Abung
berpencar ditepi sungai dan wy sekampung, lalu terpencar dan
membangun marga-marga baru sampai di marga Labuan subbing
(meringgat didekat tepi laut sebelah timur Lampung).
2. Tulang Bawang Mego Pak
Meliputi wilayah tanah dari way Tulang Bawang Ilir.
3. Way Kanan Buwai Lima (lima keturunan) dan Sungkai, meliputi wilayah
tanah di daerah Way Kanan (Tulang Bawang Ulu, Way Umpu dan Way
Besai) dan Way Sungkai, mencakup buay-buay semenjuk.
4. Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku) meliputi wilayah di daerah Way
Sekampung dan Way Sekampung Ulu. Lazimnya dinamakan pula Pubian
Telu Suku, oleh karena terdiri dari 3 kebudayaan, yaitu masyarakat
Tambapupus dan Buku jadi.
B. Proses Pelaksanaan Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun
41
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Zaenal Abidin
Gelar Suttan Bandar Sebuai, ngangkon (pengangkatan) dilakukan dengan
alasan:
1. Ngangkon untuk melaksanakan perkawinan.
2. Tidak mempunyai anak sama sekali.
3. Tidak mempunyai anak lelaki.
Dahulu pada masyarakat Lampung Pepadun mengenal sistem
perkawinan yang tidak membolehkan seorang pria atau wanita menikah
dengan seseorang yang berasal dari luar suku Lampung Pepadun. Oleh sebab
itu maka perkawinan yang terjadi hanya di antara mereka saja yaitu
perkawinan sesama suku Lampung Pepadun, sehingga menjadi sebuah
kebiasaan yang timbul menjadi norma bahwa orang Lampung Pepadun harus
menikah dengan Lampung Pepadun saja.
Namun realita sosial saat ini banyak orang Lampung Pepadun yang
menikah dengan orang dari suku lain. Pada masyarakat Lampung Pepadun,
jika terjadi perkawinan antar suku maka calon istri atau calon suami yang
berasal dari suku lain harus di lakukan cara ngangkon dulu (pengangkatan).
Beliau mengutarakan bahwa arti ngangkon (pengangkatan) dilakukan
apabila orang Lampung Pepadun ingin menikah dengan suku lain, seperti
orang Lampung ingin menikah dengan orang Kalimantan. Ngangkon ini hanya
diperuntukan pada seseorang yang bukan asli Lampung Pepadun. Jika
Pasangan yang ingin menikah sama-sama bersuku Lampung Pepadun, maka
Masyarakat adat Lampung Pepadun memiliki aturan berdasarkan
aturan adat yang berlaku bahwa barang siapa berada di lingkungan rumah dan
bukan bagian dari kerabat merupakan suatu pelanggaran adat dan akan
dikenakan sanksi, sehingga untuk mereka yang bukan anggota kerabat agar
dapat bebas keluar masuk dalam rumah masyarakat adat Lampung Pepadun
tersebut maka perlu dilakukan ngangkon, agar keberadaan mereka diakui
sebagai bagian dari kerabat masyarakat adat Lampung Pepadun.
Adapun prosesi dari pelaksanaan upacara ngangkon dalam perkawinan
ini adalah sebagai berikut:42
1. Pemandai Kampung diawali dengan orang yang bersangkutan datang
kepada rukun tetangga untuk memberitahukan tentang perihal ngangkon
dan dipilih orang tua angkat, setelah keluarga yang akan mengangkon
mengetahui latar belakang yang akan diangken, maka keluarga yang akan
mengangkon tersebut memberitahukan kepada majelis perwatin, sekretaris
adat dan lid adat (anggota adat) atas maksud dan tujuan untuk
mengangkon dan meminta kepada sekretaris adat agar dibuatkan konsep
pengangkonan atas keputusan perwatin (hadirin) dan ingin mengangkon
mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang berkepentingan.
2. Sidang Adat Perwatin setelah pemberitahuan dilakukan oleh orang yang
akan mengangkon kepada majelis perwatin dan masyarakat adat, mereka
dikumpulkan dalam rapat perwatin di ruang yang telah ditentukan oleh
42
orang yang bersangkutan atau dibalai musyawarah. Acara ini pada
umumnya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat adat dan majelis
perwatin yang ada di tempat tersebut, atau dapat juga dihadiri oleh orang
yang berkepentingan saja seperti penyimbang adat dan lid adat (anggota
adat). Jalannya rapat dalam pengangkonan ini dimulai dengan tuan rumah
menunjuk salah seorang dari tokoh adat untuk menjadi juru bicara atas
perihal tersebut. Selanjutnya juru bicara dari tuan rumah bertanya kepada
majelis perwatin, kepada siapa lawan bicaranya (biasanya sudah ada yang
ditunjuk untuk mewakili) dan dilanjutkan dengan pertanyaan dari juru
bicara tuan rumah atas kedatangan mereka kepada majelis perwatin serta
menanyakan apakah perwatin setuju dengan maksud tersebut. Selanjutnya
perwatin meminta kepada sekretaris adat untuk mendapatkan konsep
keputusan perwatin, jika ada perubahan diperbaiki saat itu juga dan jika
tidak ada maka dilanjutkan dengan penandatanganan surat keputusan
perwatin tersebut dan dianggap selesai oleh majelis perwatin.
3. Penurunan Uno / Daw adat (dana anggaran wajib)
Selanjutnya setelah pengesahan surat keputusan perwatin dan telah di
anggap resmi oleh majelis perwatin maka acara selanjutnya adalah
dilakukan penurunan Daw adat yang merupakan syarat sah dalam
pelaksanaan pengangkonan yang harus dipenuhi serta dijalankan oleh
keluarga yang hendak melakukan pengangkonan.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam ngangkon adalah penurunan
majelis perwatin dari orang yang melakukan ngangkon, dan syarat-syarat atas
4. Pengangkenan dibidang sukeu (pengangkatan dibidang suku) : Rp. 24.000
5. Pengangkenan dilem sukeu (pengangkatan didalam suku) : Rp24.000
6. Penyapuran dibidang sukeu (penyampuran dibidang suku) : Rp. 24.000
7. Penyapuran dilem suku (penyampuran didalam suku) : Rp. 24.000
8. Penyapuran di mulei meghanei (penyampuran dimuda mudi) : Rp. 12.000
9. Galang silo (duduk bersama) : Rp. 12.000
10.Penerangan
: Rp. 24.000
11.Ngesaikan darah (penyatuan darah) : Rp. 24.000
12.Penglamoan
: Rp. 24.000
C. Kedudukan Seseorang Yang Telah Di Ngangkon Pada Masyarakat
Lampung Pepadun
Seperti yang telah di bahas sebelumnya bahwa ngangkon diawali
dengan pertemuan dan persetujuan untuk mengadakan kesepakatan
pengangkatan antara pihak yang ingin mengangkon dan yang diangkon.
Setelah kesepakatan telah terjadi lalu orang tua yang akan mengangkon
mengundang ketua-ketua kampung dan memberitahu bahwa calon orang tua
angkat tersebut akan mengangkat seorang anak. Kedudukan seseorang yang
telah diangkon adalah sama kedudukannya baik perempuan ataupun laki-laki
dengan anak kandung.44
Kemudian Bapak Zaenal Abidin menjelaskan Kedudukan seseorang
yang telah diangkon dalam masyarakat adat, antara lain:
1. Kedudukan mekhanai (bujang) yang diangkat didalam keluarga dan
didalam adat.
Seseorang yang telah diangkon (diangkat) merupakan kerabat dari
keluarga yang telah mengangkat seseorang yang berasal dari luar suku
Lampung Pepadun adalah sama kedudukannya dengan anak kandung dari
seseorang yang telah mengangkat tersebut didalam adat.
Namun lebih lanjut beliau menjelaskan apabila pada suatu saat orang
tua atau ayah dalam adat dari bujang tersebut meninggal dunia, dan anak
kandung dari orang tua dalam adat tersebut masih bujang atau belum menikah
dan belum mempunyai nama anak tuha (anak tertua), maka anak kandung
44