• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengangkonan dalam pernikahan beda suku pada masyarakat lampung pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengangkonan dalam pernikahan beda suku pada masyarakat lampung pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

Fadly Khairuzzadhi

NIM: 1111044100056

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

(Walter Bagehot)

(3)
(4)
(5)
(6)

menyusun skripsi yang diberikan judul Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah).

Masyarakat Lampung Pepadun Kecamatan Padang Ratu adalah salah satu masyarakat yang berada di Kabupten Lampung Tengah. Dahulu masyarakat Lampung Pepadun hanya mengenal perkawinan satu suku, dimana seorang yang bersuku Lampung Pepadun hanya menikah dengan pasangan yang bersuku Lampung Pepadun juga.

Namun seiring berjalannya zaman, banyak masyarakat Lampung Pepadun yang menikah dengan orang yang berlainan suku darinya. Dalam masyarakat Lampung Pepadun dikenal dengan proses pengangkonan

(pengangkatan anak) dimana jika seorang bersuku Lampung Pepadun yang ingin menikah dengan pasangan yang di luar suku Lampung Pepadun, maka harus diangkat dulu (dicarikan bapak angkat) oleh masyarakat asli suku Lampung Pepadun, khusus untuk seorang yang bukan asli Lampung Pepadun tersebut.

Permasalahan yang ingin penulis angkat adalah, bagaimana prosesi

pengangkonan (pengangkatan anak), juga kedudukan seorang anak yang telah

diangkon (diangkat) dalam masyarakat Lampung Pepadun di Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung Tengah. Lalu apa akibatnya jika

(7)

i

judul “Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat

Lampung Pepadun (Studi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung

Tengah). Sholawat beriringkan salam penulis sampaikan kepada junjungan

alam Muhammad SAW, yang telah mengenalkan kepada manusia tentang

hakikat dan tujuan hidup yang sebenarnya.

Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan

terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua prodi Hukum Keluarga dan Arip

Purkon, MA. selaku sekretaris prodi Hukum Keluarga yang senantiasa

memberikan motivasi untuk tidak menyerah dalam menyelesaikan kendala

dalam penulisan.

3. Selanjutnya, rasa terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada

Dr. Syahrul Adam, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia

menjadi pembimbing penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran,

perhatian dan ketelitian memberikan masukan hingga skripsi ini selesai.

Tanpa bimbingannya, akan sulit rasanya penulis dapat menyelesaikan

(8)

ii

yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga

ilmu pengetahuan yang diajarkan bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi

penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta

menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

5. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya tak akan pernah terlupa untuk

kedua orang tua saya H. Zulkifli Syukur, SH dan Hj. Dra. Elfy Julaeha,

mereka lah yang selalu senantiasa membantu dan berdoa yang terbaik

untuk penulis agar selalu kuat dan mampu menjalani segala masalah dan

kesulitan hidup ini. Dengan tekad yang kuat, kelak suatu saat nanti penulis

ingin membalas segala kebaikan dan pemberian yang telah diberikan oleh

kedua orang tua penulis. Rasa terimakasih juga saya ucapkan kepada

kakak saya Riska Aurisna Febriane, SH, MH dan Laka Ramadhan

Mubarak, serta adik saya Isye Mariza Fadila yang telah memberikan

motivasi kepada penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi

secepatnya.

6. Penulis ucapkan terimakasih kepada Camat Padang Ratu M. Saleh dengan

ramah meluangkan waktunya untuk diwawancarai, dan motivasi yang

beliau berikan kepada penulis, serta pemberian buku Padang Ratu Dalam

Angka dan buku adat Lampung yang mempermudah penulis dalam

(9)

sedalam-iii

Jakarta yang memberikan motivasi dan bantuan setulus hati, juga kepada

teman-teman KKN UIN Jakarta yang selalu mensupport dan memberikan

semangat pada penulis dalam penyelesaiaan skripsi. Rasa terima kasih

terkhusus kepada Ridfa Chairani yang selalu memberikan motivasi, doa,

dan selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, semoga Allah

SWT senantiasa menemani dan memberikan pertolongan di setiap

langkahnya, dan senantiasa meridhoi kebersamaan kita.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan

khususnya segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta 12 Juni 2015

(10)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……….. iv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6

D. Metode Penelitian... 7

E. Review Studi Terdahulu... 8

F. Sistematika Penulisan... 9

BAB II PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Perkawinan... 11

B. Syarat dan Rukun Perkawinan... 14

C. Perkawinan Menurut Adat Lampung Pepadun... 21

D. Pengertian Pengangkatan Anak... 23

E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat... 26

BAB III TATA CARA PENGANGKONAN DALAM

MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah... 28

(11)

v

b. Pemerintahan... 34

c. Kependudukan... 36

d. Struktur Masyarakat Lampung Pepadun... 40

B. Proses Pelaksanaan Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda

Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun... 46

C. Kedudukan Seseorang Yang Telah Di Ngankon Pada

Masyarakat Lampung Pepadun... 50

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM

INDONESIA TENTANG PENGANGKONAN

A.

Ngangkon Menurut Tokoh Adat Lampung Pepadun... 53

B.

Ngangkon Menurut Perspektif Hukum Islam... 55

C.

Ngangkon Menurut Hukum Indonesia... 58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 61

B. Saran-Saran... 62

DAFTAR PUSTAKA

(12)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia, Hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk Allah yang

diciptakan-Nya berpasang-pasangan. Hubungan antara pasangan-pasangan itu

membuahkan keturunan agar hidup di alam semesta ini berkesinambungan.

Dengan demikian penghuni dunia ini tidak pernah sunyi dan kosong, tetapi harus

berkembang dari generasi ke generasi. Secara etimologi, pernikahan berarti

persetubuhan, ada pula yang mengartikannya perjanjian. Secara terminologi

pernikahan menurut Abu Hanifah adalah aqad yang dikukuhkan untuk

memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.

Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan

ketetapan pembuatan syariah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh

dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar

untuk mendapatkan kenikmatan semata. 1

Menurut Hazairin, menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah

hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada

hubungan seksual.2

Menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi, diantaranya

adalah: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapan syara’ untuk

1

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), H. 11.

2

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), H. 61.

(13)

membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki”3

Definisi yang dikutip oleh Zakiah Darajat:

Akad yang mengandung ketentuan hukum hubungan seksual dengan

lafadzh nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya”. Perkawinan adalah

suatu yang diperintahkan oleh Allah yang disunnahkan.4

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

dengan tujuan agar kehidupan di alam dunia ini dapat terus berkembang biak.

Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi bisa juga terjadi pada

tanaman, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang

berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang

mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.5

Penciptaan setiap manusia laki-laki maupun perempuan disertai dengan

sifat-sifat dan keperibadiannya masing-masing. Dan setiap orang seorang laki-laki

dan perempuan yang telah membentuk ikatan pernikahan dalam sebuah wadah

yang disebut keluarga tetap akan membawa serta kepribadian tersebut. Perbedaan

sifat, pribadi, jenis kelamin, latar belakang keluarga, ekonomi dan semisalnya

3

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subulu-salam, (Bandung: Dahlan,t.t), Jilid 2, H. 109. 4

Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, H. 37. 5

(14)

merupakan fitrah niscaya bagi sebuah kehidupan. Walau terlihat berbeda, tetapi

itu adalah suatu keindahan yang saling melengkapi antara satu kepada lainnya.6

Perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh

kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya

sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang

suami bersama perempuan lainnya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan

disini merupakan hak berserikat antara para isteri.7

Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan

realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada satu sisi adalah sunnah

yang diakukan para nabi dan rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaiaan

Risalah Illahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung

keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata

rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.

Kesinambungan mata rantai sebuah keluarga amat penting bagi generasi

hadapan agar mereka berkaca dan menteladani hal-hal yang baik dan menjauhi

hal-hal yang buruk. Meskipun demikian tidak berarti diambil kesimpulan bahwa

menikah menjadi suatu yang mutlak adanya tanpa melihat beberapa kondisi

pendukungnya.

6

Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), H. 89.

7

(15)

Negara Indonesia yang notabene mempunyai beragam jenis adat,

khususnya adat tentang pernikahan kerap kali dipakai dalam melaksanakan

sebuah pernikahan, seperti adat pernikahan Betawi, Palembang, Lampung dan

lain-lainnya. Indonesia termasuk masyarakat yang majemuk, terdiri dari ratusan

suku-suku. Oleh karena itu lahirlah banyak pengertian nikah dalam suku-suku

tersebut. Dan karena dalam islam dijelaskan tata cara dan hukum menikah, maka

dalam masyarakat Indonesia yang terbagi menjadi ratusan suku ada pula

tatacaranya, inilah yang sering disebut dengan adat istiadat, karena lahir dari

kebiasaan. Kebiasaan inilah yang akhirnya menjadi hukum sendiri di kalangan

mereka. Dan hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari sudut tertentu,

sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi, dan lain sebagainya.8

Adat lampung misalnya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan penelitian.

Disebutkan bahwa pada Lampung Pepadun dikenal dengan pengangkonan

(pengangkatan anak). Masyarakat Lampung Pepadun memiliki prosedur yaitu

sebelum melakukan pernikahan, pihak yang bukan bersuku Lampung harus di

adopsi oleh keluarga suku Lampung yang sederajat dengan pasangannya9.

Latar belakang tersebut yang mendasari penulis tertarik untuk membahas

lebih dalam prosesi pengangkonan dalam bentuk penelitian skripsi yang berjudul:

PENGANGKONAN DALAM PERNIKAHAN BEDA SUKU PADA

8

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ,2003), H. 1.

9

(16)

MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN (Studi di Kecamatan Padang Ratu,

Kabupaten Lampung Tengah).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Dari beberapa persoalaan diatas, dan yang perlu terus diperhatikan,

menjadi fokus dalam pembahasan skripsi kali ini, agar lebih terarah dan tidak

melebar mengenai masalah yang akan dibahas, adalah mengenai pengangkonan

dalam masyarakat Padang Ratu, Lampung Tengah.

b. Perumusan Masalah

Dahulu masyarakat Lampung Pepadun hanya mengenal sistem

perkawinan satu suku, Oleh sebab itu maka perkawinan yang terjadi hanya di

antara mereka saja yaitu perkawinan sesama suku Lampung Pepadun, sehingga

menjadi sebuah kebiasaan yang timbul menjadi norma bahwa orang Lampung

Pepadun harus menikah dengan Lampung Pepadun saja.

Namun realita sosial saat ini banyak orang Lampung Pepadun yang

menikah dengan orang dari suku lain. Pada masyarakat Lampung Pepadun, jika

terjadi perkawinan antar suku maka calon istri atau calon suami yang berasal dari

suku lain harus di lakukan cara ngangkon dulu (pengangkatan).

Ngangkon ini hanya diperuntukan pada seseorang yang bukan asli

Lampung Pepadun. Jika Pasangan yang ingin menikah sama-sama bersuku

(17)

Berdasarkan rumusan di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pelaksanaan pengangkonan dalam pernikahan beda suku

pada masyarakat Lampung Pepadun ?

2. Apa akibatnya jika pengangkonan tersebut tidak dilaksanakan dalam

perkawinan beda suku Lampung Pepadun ?

3. Bagaimana pandangan tokoh adat Lampung Pepadun, hukum Islam dan

hukum Indonesia mengenai pengangkonan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka yang

menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui prosesi pelaksanaan pengangkonan dalam pernikahan beda

suku pada masyarakat Lampung Pepadun.

2. Untuk mengetahui makna yang tersirat dalam pelaksanaan pengangkonan.

3. Mengetahui kedudukan seseorang yang telah di ngangkon.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran dalam

masyarakat di Indonesia terkait dengan melaksanakan upacara adat khususnya

adat perkawinan Lampung Pepadun. Sehingga manfaat yang hendak di capai

dalam penelitiaan ini adalah:

1. Untuk menjadi pembelajaran serta pertimbangan baik dan buruknya bagi

(18)

2. Mengetahui pengangkonan ini apa mungkinkah sudah tepat dalam perspektif

hukum Islam dan hukum Indonesia.

3. Masyarakat Indonesia mengetahui pengangkonan, sehingga ngangkon ini

dapat di kenal luas oleh masyarakat di luar Lampung Pepadun.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan

metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari sumber-sumber yang diperoleh.

a. Jenis Data

1. Data primer: yaitu data yang diterima langsung dengan cara melakukan

wawancara dengan warga dan pemuka adat Lampung yang memahami

masalah pengangkonan.

2. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dan referensi

lain seperti buku, majalah, serta dari setiap artikel yang mengandung

informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas, dihimpun dari berbagai

perpustakaan.

b. Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Pustaka: kajian pustaka yang digunakan untuk mencapai pemahaman.

Bahan yang digunakan untuk kajian pustaka ini yaitu buku-buku yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, jurnal, artikel-artikel yang

(19)

2. Wawancara : Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya

jawab, di sini penulis mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan

yang akan diajukan melalui wawancara (pedoman wawancara). Selanjutnya

penulis melakukan wawancara kepada orang yang dapat dipercaya, dalam hal

ini penulis melakukan wawancara kepada tokoh adat Lampung Pepadun untuk

mendapatkan bukti yang kuat sebagai penguat argumentasi.

E. Review Studi Terdahulu

Sejauh ini peneliti baru menemukan karya ilmiah yang berbentuk skripsi

atau tesis yang bisa menjadi acuan peneliti dalam pembuatan karya ilmiah skripsi

tentang pengangkonan sebagai berikut:

Pertama, Skripsi yang di tulis oleh saudara Abiyati Atnan Nitiono dengan

judul skripsi “PROSESI PERNIKAHAN SUKU ADAT ATONI DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Pada Masyarakat Atoni,

Kecamatan. Amanuban Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur). Skripsi ini juga

membahas prosesi adat yang harus dilakukan sebelum melaksanakan akad nikah.

Juga masyarakat di dalam nya yang tidak melepaskan adat tersebut dan masih

melaksanakan sampai saat ini, skripsi ini membahas mengenai suatu adat dalam

pernikahan yang di lakukan di daerah NTT, sedangkan penulis melakukan

penelitian adat yang harus di laksanakan sebelum melakukan akad nikah dalam

masyarakat Lampung Pepadun di daerah Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten

(20)

Kedua, Tesis yang di tulis oleh Tesar Esanra dengan judul

“KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG

PEPADUN SI WO MI GO BUAI SUBING (Studi di Kecamatan Terbanggi Besar

Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung). Tesis ini juga membahas

tentang pengangkatan anak, namun yang membedakan adalah pengangkatan yang

dilakukan hanya sekedar mengangkat anak untuk di asuh. Sedangkan disini

penulis ingin meneliti pengangkatan anak yang akan dilakukan karena pernikahan

beda suku dalam masyarakat Lampung Pepadun. Proses pengangkatan juga

syarat-syarat dalam melakukan pengangkatan anak. Dimana seseorang yang

bukan asli Lampung Pepadun ingin menikah dengan seseorang yang asli

Lampung Pepadun. Sehingga di laksanakan pengangkonan (pengangkatan anak)

tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam pembuatan skripsi ini agar lebih jelas dan tertata

dengan rapih maka disusun dalam berbagai bab dari bab satu hingga bab lima.

Pada bab ke satu, dimana bab ini merupakan awal dari pembukaan pokok

permasalahaan yang akan dibahas. Dengan dituliskannya latar belakang,

pembahasan dan permusan masalah, manfaat, metode penulisan dari pembahasan

ini sebagai pengantar untuk pembaca agar mengetahui hal apa yang akan dibahas

dalam skripsi ini.

Pada bab ke dua, disajikan data-data hasil penelitian yang dikumpulkan

(21)

rukun perkawinan, perkawinan dalam masyarakat Lampung Pepadun, serta

pengertian pengangkatan anak.

Pada bab ke tiga, disajikan gambaran lokasi penelitian di kecamatan

Padang Ratu, proses pelaksanaan pengangkonan, dan kedudukan anak yang telah

di ngangkon.

Pada bab ke empat, berisi analisa tentang pengangkonan, menurut

pandangan tokoh adat Lampung Pepadun, perspektif hukum Islam, dan

pandangan hukum Indonesia.

Pada bab ke lima, merupakan kesimpulan dari pengangkonan ini, dan

saran dari penulis tentang hal yang menjadi bahan pembahasan dari prosesi

(22)

BAB II

PERKAWINAN DAN PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10

Dan dalam Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah

akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah

SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan merupakan salah satu Sunnatullah yang berlaku pada

semua makhluk-Nya, sebagai sesuatu yang paling baik yang dipilih Allah

SWT untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.11 Menurut Paul

Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan

seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.12

Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab 1

pasal 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan Lahir Batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa.

10

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1974 Tentang Perkawinan 11

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), H.9.

12

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), H. 4.

(23)

Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan

memiliki dua aspek yaitu:13

1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dengan ikatan lahir batin,

artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir

tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh

yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan.

2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya dan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan

yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani

tetapi unsur batinpun turut berperan penting.

Disamping itu, bila definisi perkawinan tersebut ditelaah maka

terdapat lima unsur perkawinan di dalamnya yaitu:

Pertama, “ikatan lahir batin” dimaksudkan bahwa antara ikatan lahir

dan ikatan batin itu saling berjalan dan tidak boleh terpisahkan. Karena pada

dasarnya ikatan lahir dan ikatan yang dapat dilihat maksudnya adalah

mengungkapkan adanya hukuman hukum antara seorang pria dengan seorang

wanita untuk hidup bersama, sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin

adalah suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, walau tidak nyata, tapi ikatan itu

harus ada. Karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.

Oleh karena itu terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan fondasi

dalam membentuk dan mebina keluarga yang bahagia dan kekal.14

13

Titik Triulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2010), H. 103.

14

(24)

Kedua, “Seseorang pria dengan wanita” mengandung arti bahwa

perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolah

perkawinan sesama jenis.15

Ketiga, “Sebagai suami istri” Mengandung arti bahwa perkawinan itu

adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga.

Selanjutnya disebutkan pula tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal.

Maksudnya adalah perkawinan itu hendaknya dapat berlangsung seumur

hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluargayang

bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha

Esa.16

Selain Undang-Undang Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian yang berkenaan

dengan pengertian perkawinan yang sifatnya melengkapi Undang-Undang

perkawinan tersebut, yaitu:

Perkawinan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan

ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

Maksud dari ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan

merupakan penjelasan dari ungkapan “Ikatan Lahir dan Batin” yang

mengandung arti bahwa perkawinan bukan semata perjanjian yang bersifat

keperdataan saja. Dan ungkapan yang menyatakan bahwa “Untuk mentaati

15

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. III, (Jakarta: Kencana,2009), H. 40.

16

(25)

perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”, merupakan penjelasan

dari ungkapan” berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam undang

-undang perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam

merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya

atelah melakukan perbuatan ibadah.

B. Syarat dan Rukun Perkawinan

Rukun dan syarat merupakan suatu hal yang menentukan perbuatan

hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan

tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama

dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam

suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal,

dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Tetapi dalam pengertiannya rukun dan syarat itu berbeda, Rukun adalah

sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah atau tidaknya suatu perkawinan,

dan sesuatu itu termaksud dalam rangkaian peerjaan itu, seperti adanya calon

laki-laki atau perempuan dalam pernikahan. Sedangkan Syarat adalah suatu

yang mesti ada yang menetukan sah dan tidaknya suatu perkawinan, tetapi

sesuatu itu tidak termaksud dalam rangkaian pekerjaan itu seperti calon

pengantin Laki-Laki/perempuan harus beragama Islam.17

Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sama sekali

tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat

17

(26)

hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan18 yang di atur pada

pasal 6 sampai dengan pasal 12, yang meliputi syarat materil dan syarat

formil. Syarat materil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri

pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan sedangkan sarat-syarat formil adalah

tata cara atau prosedur perkawinan yang harus dipenuhi baik sebelum maupun

maupun pada saat perkawinan.19 Perlu di ingat selain harus memenuhi

persaratan perkawinan menurut undang-undang perkawinan, bagi mereka

yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan

perkawinan yang diatur oleh hukum Agamanya dan kepercayaan agamanya

masing-masing. Termaksud dalam ketentuan perundang-undangan lain yang

berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan agamanya itu.

Persyaratan materil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak

melangsungkan perkawinan yaitu:20

a. Persyaratan orangnya

1. Berlaku umum bagi semua perkawinan

i. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai

ii. Calon mempelai sudah berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi

wanita

iii. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang

laki-laki yang beristri lebih dari seorang.

18

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet III, (Jakarta: Kencana, 2006), H. 67.

19

M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Cet. I, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), H. 65-66.

20

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

(27)

iv. Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau

masa iddah.

2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:

i. Tidak terkena larangan/ halangan melakukan perkawinan, baik

menurut undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu.

b. Izin yang harus diperoleh

1. Izin orang tua atau Wali calon mempelai jika belum berumur 21 Tahun.

2. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang,

wali nikahnya adhal serta bagi calon mempelai yang belum berumur 16

tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki (dispensasi nikah).21

Sedangkan syarat formal yang mengatur tentang tata cara melakukan

perkawinan diatur dalam pasal 10 dan 11 peraturan pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

Tentang perkawinan jo Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975

tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.22

Syarat Formal yang mengatur tentang tata cara melakukan perkawinan

pada pasal 10 dan 11 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

21

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islamdi Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no.1 Tahun 1974 sampai KHI, Cet. III, (Jakarta: Kencana, 2006), H. 69.

22

(28)

pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan

adalah:23

1. Perkawinan dilangsungkan setekah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaskud dalam pasal 8 peraturan pemerintah ini.

2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masinghukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatatan dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan:

1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, Kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah yang mewakilinya.

3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercata secara resmi.

Bagi seorang yang beragama Islam pencatatan dilakukan di Kantor

Urusan Agama (KUA) dan bagi seorang yang beragama non muslim

pencatatan dilakukakan di Kantor Catatan Sipil (KCS).24

Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hanya

menyebutkan adanya syarat-syarat perkawinan, berbeda dengan Inpres No. 1

23

R. Subekti dan R Tjidrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Cet 40, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2009), H. 563-564.

24

(29)

Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan adanya rukun dan

syarat perkawinan yang diatur pada bab IV Kompilasi Hukum Islam.25 Rukun

perkawinan terdapat pada pasal 14 dan untuk syarat perkawinan yang

menjelaskan rukun-rukun perkawinan tersebut terdapat pada pasal 15 sampai

dengan pasal 29.

Rukun Perkawinan terdapat pada pasal 14 yang sesuai dengan Mazhab

Syafi’i26

yaitu:

Untuk Melaksanakan perkawinan harus ada:

1. Calon Mempelai Laki-laki 2. Calon Mempelai Perempuan

3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pernikahan 4. Dua orang saksi

5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul dilakukan suami

Untuk syarat perkawinan yang menjelaskan rukun-rukun perkawinan

tersebut diatur pada pasal 15 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum Islam

yaitu:27

Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam mengatur

tentang persyaratan seorang calon mempelai yang ingin melangsungkan akad

pernikahan yaitu:

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No1 tahun 1974 yakni calon suami

25

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, H. 72. 26

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Cet I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), H. 34.

27

(30)

kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (Pasal 15 Ayat 1)

2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. (Pasal 15 Ayat 2)

3. Perkawinan di dasarkan atas persetujuan calon mempelai. (Pasal 16 Ayat 1)

4. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidka ada penolakan yang tegas. (Pasal 16 Ayat 2)

5. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah. (Pasal 17 Ayat 1)

6. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (Pasal 17 Ayat 2)

7. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. (Pasal 17 Ayat 3)

8. Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI. (Pasal 18)

Pasal 19 sampai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, mengatur

tentang persyaratan seorang wali, bagi calon mempelai yang ingin

melansungkan akad pernikahan yaitu:

1. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. (Pasal 19) 2. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi

syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (Pasal 20 Ayat 1) 3. Wali nikah terdiri dari 2 bagian yaitu: a. Wali nasab, b. Wali hakim. (Pasal

20 Ayat 2)

4. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yag satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama,

(31)

kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. (Pasal 21 Ayat 1)

5. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (Pasal 21 Ayat 2)

6. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah. (Pasal 21 Ayat 3)

7. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama-sama-sama kerabat seayah, mereka sama-sama-sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. (Pasal 21 Ayat 4)

8. Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. (Pasal 22)

9. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. (Pasal 23 Ayat 1) 10.Dalam hal wali adlal atau enggan maka waki hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. (Pasal 23 Ayat 2)

Pasal 24 sampai dengan pasal 26 Kompilasi Hukum Islam, mengatur

tentang persyaratan seorang saksi bagi calon mempelai yang ingin

melangsungkan akad pernikahan yaitu:

1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (Pasal 24 Ayat 1)

2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. (Pasal 24 Ayat 2)

3. Yang ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adli, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu atau tuli. (Pasal 25)

(32)

Pasal 27 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum Islam, mengatur

tentang persyaratan Akad Nikah bagi seorang calon mempelai yang ingin

melangsungan akad pernikahan yaitu:

1. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. (Pasal 27)

2. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. (Pasal 28) 3. Yang berhak mengucapkan kabul ialah ialah calon mempelai pria secara

pribadi. (Pasal 29 Ayat 1)

4. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (Pasal 29 Ayat 2)

5. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. (Pasal 29 Ayat 3)

Rukun dan syarat perkawinan merupakan hal yang sangat penting oleh

sebab itu seorang yang ingin melangsungkan pernikahan hendaklah terlebih

dahulu memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut, jika seseorang tidak

memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka nikahnya dianggap tidak sah

dimata hukum dan perkawinannya itu dapat dibatalkan.

C. Perkawinan Menurut adat Lampung Pepadun

Perkawinan menurut adat Lampung Pepadun dapat ditempuh melalui

beberapa cara antara lain:

a. Rasan Sanak, yaitu hubungan cinta antara jejaka/bujang dan gadis melalui

surat-menyurat, atau bukti seperti adanya barang-barang dari pihak bujang

sebagai tanda cintanya terhadap gadis tersebut, yang menurut istilah

(33)

kedua belah pihak tidak turut berperan, karena itu disebut rasan sanak,

yang artinya perbuatan anak muda. Tanda Bekahago ini dapat berupa

barang, makanan, bahan pakaian, maupun perhiasan yang terbuat dari

emas ataupun perak. Barang sebagai tanda cinta ini dapat saja

dimanfaatkan sih gadis, dengan catatan barang barag pemberian yang

berupa makanan, biasanya tidak dikembalikan pada bujang seandainya

perkawinan tidak terlaksana karena lain hal. Barang-barang yang berwujud

bahan pakaian atau perhiasan biasanya berlaku ketentuan dapat

dikembalikan apabila bujang memintanya, umumnya karena kesalahan

berada pada pihak gadis, umpamanya dia menikah dengan bujang lain.

Dapat tidak dikembalikan dengan cara mengganti daengan gadis lain atau

adik dari gadis yang mengingkari janji tersebut dan atau mengikat tali

persaudaraan (mewaghei).

b. Rasan Tuho, Proses perkawinan yang sejak awal dirintis oleh orang tua

ataupun perwatin adat kedua belah pihak disebut tuho, Biasanya proses ini

diawali dengan Bekahago.

Yang dimaksud Bekahago adalah suatu usaha untuk menjajaki isi hati

gadis dan keluarganya. Pada umumnya kedua belah pihak baik bujang

maupun gadis memang telah saling mengenal. Tetapi pada zaman dulu

sebelum kemerdekaan dapat saja terjadi perkawinan dimana baik pria maupun

wanita belum saling mengenal, karena dijodohkan orang tua kedua belah

(34)

Apabila Bekahago dilakukan oleh orang tua bujang atau bujang itu

sendiri, maka ia harus mengutus seorang wanita untuk datang melihat dan

bertanya kepada gadis tersebut. Biasanya yang ditanyakan terhadap sigadis,

siap atau belumkah dia untuk berumah tangga, dan bagaimana pihak orang

tuanya apakah sudah setuju jika dia berumah tangga dan sebagainya.

Petugas yang menanyakan gadis tersebut dinamakan “Lalang” dan

kedatangannya ketempat gadis tidak resmi, masih bersifat rahasia

(giyap-giyep) antara keluarga yang terdekat saja. Kalau hasil giyap-giyep ini

memberikan titik terang , artinya adanya kesanggupan pihak keluarga gadis,

maka diadakan pertemuan yang semi resmi.28

D. Pengertian Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan

menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut

kepentingan orang-perorangan dalam keluarga. Pengangkatan Anak dalam

staatsbland nomor 129 tahun 1917 menjadi hukum tertulis yang mengatur

pengangkatan anak bagi kalangan masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku

bagi masyarakat Indonesia asli, maka bagi masyarakat Indonesia asli berlaku

hukum adat yang termasuk didalamnya adalah ketentuan hukm Islam. Karena

staatbsblad nomor 129 tahun 1917 yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia

Belanda ini tidak sesuai dengan hukum Islam, mka yang boleh mengangkat

anak hanyalah orang-orang Tionghoa.

28

(35)

Sebelum lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014, sebenernya telah lahir

Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka

perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak yang

di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak.

Pengertian anak angkat menurut Undang-Undang tersebut adalah anak

yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali

yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,

dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua

angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Dalam pasal 39 ayat (2) diatur bahwa pengangkatan anak tidak

memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua

kandungnya. Kemudian dalam ayat (3) diatur bahwa calon orang tua angkat

harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Namun

demikian, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak baru

diundangkan pada 3 oktober 2007, yaitu melalui PP Nomor 54 Tahun 2007.

Pengangkatan Anak yang berkembang di Indonesia merupakan

terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “adoption” artinya mengangkat seorang

anak, yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak

sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.

Tabanni (Pengangkatan Anak) di negara-negara Barat, berkembang

setelah berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak anak-anak yang

(36)

disamping banyak pula anak-anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah.

Karena sistem hukum Barat (Belanda) berlaku di Indonesia, Tabanni

(Pengangkatan Anak) di Indonesia pada awalnya dijalankan berdasarkan

staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan ini

tabanni tidak hanya terbatas pada anak yang jelas asal-usulnya, tetapi juga

berlaku kepada anak yang lahir dari hubungan tidak sah.29

Umumnya anak angkat yaitu anak yang haknya dilahirkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak

tersebut, ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan

penetapan pengadilan.30

Untuk memberikan pengertian tentang adopsi, kita dapat

membedakannya dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi

dan secara terminologi.31

a. Secara Etimologi

Adopsi berasal dari kata “Adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”

(adoption) bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.

Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus Hukum, berarti

“Pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi

disini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil

29

Abdul Azis Dahlan, ed., Eksiklopedi Hukum Islam, Jilid 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), H.28.

30

Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), ED. I, H. 55. 31

(37)

pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara

literlijk, yaitu (adopsi) disadarkan ke dalam bahasa Indonesia berarti anak

angkat atau mengangkat anak.

b. Secara Terminologi

Para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi,

antara lain:

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu

“anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.

Dalam ensiklopedia umum disebutkan:32 Adopsi suatu cara untuk mengadakan

hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan

Perundang-undangan.

Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma:

“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang

tua angkat dengan resmi oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum

adat setempat , dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau

pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.33

E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

Pengangkatan anak dalam hukum adat adalah adalah suatu perbuatan

hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan (keturunan). Maksudnya

32

Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Sistem Hukum, H. 5. 33

(38)

anak angkat tersebut dalam hal biologis maupun sosial kedudukannya

disamakan dengan anak kandung, misalkan dalam hal waris adat.34

Konsepsi pengangkatan anak menurut hukum adat dikemukakan oleh

Surojo Wignjodipuro bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan

mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,

sehingga antara orang yang memunggut anak dan anak yang dipunggut itu

timbl hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua

dengan anak kandungnya sendiri.35

Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak yaitu:

a. Pengangkatan anak secara terang tunai, artinya pengangkatan anak yang

dilakukan secara terbuka dihadiri oleh segenap keluarga, pemuka adat

(terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai).

b. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya

pengangkatan anak yang dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang

keluarga seluruhnya, hanya keluarga tertentu saja, tidak dihadiri oleh

pemuka adat/desa dan tidak dengan pembayaran uang adat.

Perbedaannya adalah:

a. Akibat hukum Pengangkatan anak secara terang dan tunai adalah anak

angkat tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya masuk

menjadi keluarga angkatnya serta mewaris dari orang tua asalnya.

34

Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), Ed. I H. 31.

35

(39)

b. Akibat hukum Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai anak

angkat tersebut tidak putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya

walaupun bertempat tinggal dan dipelihara keluarga orang tua angkatnya

(40)

BAB III

TATA CARA PENGANGKONAN DALAM MASYARAKAT

LAMPUNG PEPADUN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kecamatan Padang Ratu,

Kabupaten Lampung Tengah a. Geografi

Kecamatan Padang Ratu berdiri tahun 1903, berada di Kabupaten

Lampung Tengah Provinsi Lampung. Luas wilayah kecamatan Padang Ratu

17.933 km dengan jumlah penduduk 39.000 jiwa. Terdapat 92 dusun, 291 RT,

dan 15 kampung dalam Kecamatan Padang Ratu37. Untuk lebih terperinci

penulis akan memaparkan gambaran Kecamatan Padang Ratu dalam bentuk

Tabel sebagai berikut:

Klasifikasi, Status dan luas Wilayah Kampung di Kecamatan Padang Ratu

No Kampung Klasifikasi Status Luas(Hektar)

1 Purwosari Pedesaan Kampung 361

2 Mojokerto Pedesaan Kampung 1000

3 Sendang Ayu Pedesaan Kampung 1.310

4 Surabaya Pedesaan Kampung 665

5 Bandar Sari Pedesaan Kampung 600

6 Sri Agung Pedesaan Kampung 405

7 Kota Baru Pedesaan Kampung 517

37

Wawancara dengan M.Saleh, Camat Padang Ratu, 18 April 2015

(41)

8 Morgorejo Pedesaan Kampung 1.312

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu38

Luas Wilayah Menurut Jenis Lahan di Kecamatan Padang Ratu (Hektar)

No Kampung Lahan Sawah Lahan Bukan

(42)

10 Kuripan 179 1.079 1.258

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu

Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan di Kecamatan Padang Ratu

(43)

12 Padang Ratu 195 119 - 36 351

13 Karang Sari - - 6 78 84

14 Sumber Sari - - - 71 71

15 Purworejo - - - 96 96

Padang Ratu 196 614 101 1.298 2.209

(44)

13 Karang Sari 241 23 2 266

(45)

15 Purworejo 86 81 22 189

Padang Ratu 2.338 12.467 214 15.019

Sumber: UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu

(46)

Sumber:UPTD Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kecamatan Padang Ratu

b. Pemerintahan

Jarak Kampung dengan Ibukota Kecamatan, Ibukota Kabupaten, Kota Metro dan Ibukota Provinsi (Kilometer)

(47)

No Kampung Kades/

Banyaknya Pamong dan Perangkat Kampung Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Padang Ratu

No Kampung SD SLTP SLTA Jumlah

(48)

2 Mojokerto 6 3 4 13

Banyaknya Rumah Tangga dan Penduduk di Kecamatan Padang Ratu

(49)

3 Sendang Ayu 1.449 1.013 1.742 2.755

Sex Ratio Kepadatan Penduduk, Kepadatan Rumah Tangga dan Rata-Rata

(50)

4 Surabaya 102,62 484,68 116,39 4,16

5 Bandar Sari 106,46 781,91 202,00 3,87

6 Sri Agung `103,88 581,21 157,53 3,69

7 Kota Baru 104,59 676,24 181,04 3,74

8 Margorejo 110,66 299,25 80,26 3,73

9 Karang

Tanjung

100,31 484,55 137,94 3,51

10 Kuripan 104,73 378,68 93,02 4,07

11 Haduyang

Ratu

108,35 116,92 27,70 4,22

12 Padang Ratu 100,66 43,96 10,80 4,07

13 Karang Sari 108,94 582,20 156,00 3,75

14 Sumber Sari 103,89 335,73 86,75 3,87

15 Purworejo 103,65 887,64 215,34 4,12

Padang Ratu 105,33 269,67 69,14 3,90

Sumber: BPS Kabupaten Lampung Tengah

Banyaknya Bangunan Tempat Tinggal Menurut Status Bangunan di

Kecamatan Padang Ratu

No Kampung Permanen Semi

Permanen

Sederhana Jumlah

1 Purwosari 654 76 30 760

2 Mojokerto 642 75 30 747

3 Sendang Ayu 1.157 135 54 1.346

4 Surabaya 722 84 34 840

(51)

6 Sri Agung 562 65 26 653

Banyaknya Bangunan Tempat Tinggal Menurut Sumber Listrik yang

(52)

8 Margorejo 806 203 5 1.014

9 Karang

Tanjung

594 149 4 747

10 Kuripan 915 230 6 1.151

11 Haduyang

Ratu

595 150 4 749

12 Padang Ratu 509 128 3 640

13 Karang Sari 425 107 3 535

14 Sumber Sari 212 53 1 266

15 Purworejo 560 141 4 705

Padang Ratu 9.796 2.464 63 12.323

Sumber: Kantor Kampung

d. Struktur Masyarakat Lampung Pepadun

Pada dasarnya adat Lampung Pepadun dan adat Lampung Sai Batin

adalah sama, bahkan semula keduanya sama-sama mempunyai pepadun.

Namun dalam pelaksanaannya pada masyarakat Lampung Pepadun telah

terjadi perkembangan yang disesuaikan dengan dinamika zaman. Pada

masyarakat Lampung Pepadun memegang teguh norma-norma adat seteguh

mereka memeluk agama Islam, sehingga pada warga masyarakat Adat

Pepadun, adat dan agama jalin menjalin seimbang kuatnya.

Adat Lampung dibentuk dan dilaksanakan dengan cara perundingan

(berpadu) kesepakatan dan kebulatan kata dalam suasana kekeluargaan yang

penuh dengan keakraban. Dalam adat Lampung terdapat 3 bagian yaitu:

1. Adat Cepalo, berupa larangan-larangan guna membentuk akhlak yang baik

(53)

pribadi maupun keluarga, yang didalam bahasa Lampung dinamakan Pi’il

Pesengerei.

2. Adat Ngejuk-Ngakuk, merupakan sumber utama penjelmaan adat karena

keharusan manusia yang normal untuk kawin guna melanjutkan generasi,

dan ini perlu diatur dalam tata cara yang sebaik-baiknya.

3. Adat Kebumian, dimaksudkan untuk memastikan tempat kedudukan dan

sekaligus hak dan kewajiban seseorang dalam struktur masyarakat adat.

Ketiga segi keadaan diatas yaitu: Cepalo, Ngejuk-Ngakuk, dan

Kebumian disimpulkan dengan kata-kata singkat tapi bermakna luas yaitu:

Seruas Tigo Bukeu, Tigo Genop Wo Ganjil. Jadi layaknya Tungku Tiga

sejarangan yang tidak dapat dipisahkan, bila dilukiskan dapat dikatakan

bahwa: Cepalo selaku Tiang Sako, Ngejuk-Ngakuk sebagai tubuh dan

kerangka, Kebumian sebagai tempat kedudukan.

Identitas yang harus dimiliki orang Lampung asli adalah:39

1. Pi’il Pesengerei, yaitu harga diri dan nilai kehormatan.

2. Juluk Adek, yaitu gelar waktu masih muda dan tua.

3. Pik Trep, yaitu tempat seseorang dalam jurai keturunan.

4. Anjak pegegh, yaitu asal-usul keturunan, nenek, kakek, dan orang tua

laki-laki.

5. Weghei-Miyanak, yaitu saudara-saudara dan keluarga dekat yang

bersangkutan.

39

(54)

Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa adat pokok masyarakat

Lampung asli terdiri dari tiga unsur, yaitu: Adat Cepalo, Adat

Ngejuk-Ngakuk, dan Adat Kebumian. Ketiga unsur diatas dinamakan Seruas Tigo

Bukeu, Tigo Genep Wo Ganjil, artinya kalau ketiga unsur diatas dianut oleh

seseorang maka sempurnalah adatnya, sedangkan kalau salah satu unsur tidak

dilaksanakan mereka akan terlihat aneh.

Adapun ketentuan adat yang berasal dari hasil musyawarah Empat

Datu di Sekhalo Beghak (Bukit Pesagi) dinamakan Adat Ketaro (Ketaro Rajo

Niti). Datu empat tersebut adalah, Datu di Puncak, Datu di Pugung, Datu di

Belalau, Datu di pemanggilan.

Adat ketaro, yaitu suatu peraturan adat yang bersifat luwes dan

sederhana serta hanya merupakan konsep dasar, sesuai dengan jumlah dan

tingkat kemampuan berpikir masyarakat ketika itu.

Adat Keterem, mengingat perkembangan adat begitu pesat, baik secara

kualitatif maupun kuantitatif, maka diperlukan penjabaran dalam bentuk

konsep yang bersifat operasional sesuai dengan perikehidupan masyarakat

adat sehari-hari, yang tidak bertentangan dengan adat ketaro. Maka terciptalah

suatu Piagam Musyawarah dan Penyimbang (perwatin) adat yang dinamakan

Adat Keterem.

Adat Perattei, atau adat kebiasaan merupakan suatu norma adat yang

bersifat temporer (seketika) berdasarkan kesepakatan para perwatin adat (para

penyimbang) dalam menangani suatu kasus adat. Karena adat Perattei ini

(55)

pada masing-masing kebuaiaan. Adat yang kita bicarakan ini adalah Adat

Lampung Pepadun yang secara garis besar terdiri atas, Adat Pepadun Migo,

Adat Pepadun Bandar, Adat Pepadun Suku, Adat Pepadun Sumbai.

Adapun masing-masing kebuaiaan yang menganut keempat adat

Pepadun tersebut adalah sebagai berikut: 40

(56)

4. Marga Silamayang 5. Marga Tegamoan 6. Marga Buai Bulan 7. Marga Buai Umpu 8. Marga Aji

Umumnya masyarakat adat suku Lampung Pepadun menganut prinsip

garis keturunan bapak, dimana anak laki-laki tertua dari keturunan tertua

memegang keukuasaan adat. Setiap anak laki-laki adalah penyimbang, yaitu

anak yang mewarisi kepemimpinan ayah sebagai kepala keluarga atau kepala

kerabat seketurunan. Hal ini tercermin dalam sistem dan bentuk perkawinan

adat serta upacara-upacara adat yang berlaku. Kedudukan penyimbang begitu

di hormati dan istimewa, karena merupakan pusat pemerintahan kekerabatan,

baik yang berasal dari satu keturunan pertalian darah, satu pertalian adat atau

karena perkawinan.

Masyarakat Lampung Pepadun ditandai dengan upacara adat

pengambilan gelar kedudukan adat dengan upacara yang disebut Pepadun.

Pepadun merupakan singgasana yang dipergunakan dalam setiap upacara

pengambilan gelar adat. Oleh karena itu upacara disebut Cakak Pepadun.

Kelompok masyarakat ini pada umumnya mendiami daratan wilayah

Lampung yang jauh dari pantai Laut seperti daerah Abung Way Kanan

(57)

Secara kekerabatan masyarakat ini terdiri dari empat clan besar yang

masing-masing dibagi-bagi kedalam empat kelompok kerabat yang disebut

Buay, dengan uraian rincian sebagai berikut: 41

1. Abung Siwo Megou, yang wilayahnya meliputi way abung, way rarem,

way terusan, way pengubuan, dan way seputih. Terdiri dari

buay-buaynunyai, unyi, nuban subing, belituk, kunang, aji (toho), selagi dan

nuwat. Kebudayaan nuwat masuk ikatan adat Abung Siwo megou akan

tetapi marga nuwat adalah kesatuan teritorial. Orang –orang Abung

berpencar ditepi sungai dan wy sekampung, lalu terpencar dan

membangun marga-marga baru sampai di marga Labuan subbing

(meringgat didekat tepi laut sebelah timur Lampung).

2. Tulang Bawang Mego Pak

Meliputi wilayah tanah dari way Tulang Bawang Ilir.

3. Way Kanan Buwai Lima (lima keturunan) dan Sungkai, meliputi wilayah

tanah di daerah Way Kanan (Tulang Bawang Ulu, Way Umpu dan Way

Besai) dan Way Sungkai, mencakup buay-buay semenjuk.

4. Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku) meliputi wilayah di daerah Way

Sekampung dan Way Sekampung Ulu. Lazimnya dinamakan pula Pubian

Telu Suku, oleh karena terdiri dari 3 kebudayaan, yaitu masyarakat

Tambapupus dan Buku jadi.

B. Proses Pelaksanaan Pengangkonan Dalam Pernikahan Beda Suku Pada Masyarakat Lampung Pepadun

41

(58)

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Zaenal Abidin

Gelar Suttan Bandar Sebuai, ngangkon (pengangkatan) dilakukan dengan

alasan:

1. Ngangkon untuk melaksanakan perkawinan.

2. Tidak mempunyai anak sama sekali.

3. Tidak mempunyai anak lelaki.

Dahulu pada masyarakat Lampung Pepadun mengenal sistem

perkawinan yang tidak membolehkan seorang pria atau wanita menikah

dengan seseorang yang berasal dari luar suku Lampung Pepadun. Oleh sebab

itu maka perkawinan yang terjadi hanya di antara mereka saja yaitu

perkawinan sesama suku Lampung Pepadun, sehingga menjadi sebuah

kebiasaan yang timbul menjadi norma bahwa orang Lampung Pepadun harus

menikah dengan Lampung Pepadun saja.

Namun realita sosial saat ini banyak orang Lampung Pepadun yang

menikah dengan orang dari suku lain. Pada masyarakat Lampung Pepadun,

jika terjadi perkawinan antar suku maka calon istri atau calon suami yang

berasal dari suku lain harus di lakukan cara ngangkon dulu (pengangkatan).

Beliau mengutarakan bahwa arti ngangkon (pengangkatan) dilakukan

apabila orang Lampung Pepadun ingin menikah dengan suku lain, seperti

orang Lampung ingin menikah dengan orang Kalimantan. Ngangkon ini hanya

diperuntukan pada seseorang yang bukan asli Lampung Pepadun. Jika

Pasangan yang ingin menikah sama-sama bersuku Lampung Pepadun, maka

(59)

Masyarakat adat Lampung Pepadun memiliki aturan berdasarkan

aturan adat yang berlaku bahwa barang siapa berada di lingkungan rumah dan

bukan bagian dari kerabat merupakan suatu pelanggaran adat dan akan

dikenakan sanksi, sehingga untuk mereka yang bukan anggota kerabat agar

dapat bebas keluar masuk dalam rumah masyarakat adat Lampung Pepadun

tersebut maka perlu dilakukan ngangkon, agar keberadaan mereka diakui

sebagai bagian dari kerabat masyarakat adat Lampung Pepadun.

Adapun prosesi dari pelaksanaan upacara ngangkon dalam perkawinan

ini adalah sebagai berikut:42

1. Pemandai Kampung diawali dengan orang yang bersangkutan datang

kepada rukun tetangga untuk memberitahukan tentang perihal ngangkon

dan dipilih orang tua angkat, setelah keluarga yang akan mengangkon

mengetahui latar belakang yang akan diangken, maka keluarga yang akan

mengangkon tersebut memberitahukan kepada majelis perwatin, sekretaris

adat dan lid adat (anggota adat) atas maksud dan tujuan untuk

mengangkon dan meminta kepada sekretaris adat agar dibuatkan konsep

pengangkonan atas keputusan perwatin (hadirin) dan ingin mengangkon

mengumpulkan tokoh-tokoh adat yang berkepentingan.

2. Sidang Adat Perwatin setelah pemberitahuan dilakukan oleh orang yang

akan mengangkon kepada majelis perwatin dan masyarakat adat, mereka

dikumpulkan dalam rapat perwatin di ruang yang telah ditentukan oleh

42

(60)

orang yang bersangkutan atau dibalai musyawarah. Acara ini pada

umumnya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat adat dan majelis

perwatin yang ada di tempat tersebut, atau dapat juga dihadiri oleh orang

yang berkepentingan saja seperti penyimbang adat dan lid adat (anggota

adat). Jalannya rapat dalam pengangkonan ini dimulai dengan tuan rumah

menunjuk salah seorang dari tokoh adat untuk menjadi juru bicara atas

perihal tersebut. Selanjutnya juru bicara dari tuan rumah bertanya kepada

majelis perwatin, kepada siapa lawan bicaranya (biasanya sudah ada yang

ditunjuk untuk mewakili) dan dilanjutkan dengan pertanyaan dari juru

bicara tuan rumah atas kedatangan mereka kepada majelis perwatin serta

menanyakan apakah perwatin setuju dengan maksud tersebut. Selanjutnya

perwatin meminta kepada sekretaris adat untuk mendapatkan konsep

keputusan perwatin, jika ada perubahan diperbaiki saat itu juga dan jika

tidak ada maka dilanjutkan dengan penandatanganan surat keputusan

perwatin tersebut dan dianggap selesai oleh majelis perwatin.

3. Penurunan Uno / Daw adat (dana anggaran wajib)

Selanjutnya setelah pengesahan surat keputusan perwatin dan telah di

anggap resmi oleh majelis perwatin maka acara selanjutnya adalah

dilakukan penurunan Daw adat yang merupakan syarat sah dalam

pelaksanaan pengangkonan yang harus dipenuhi serta dijalankan oleh

keluarga yang hendak melakukan pengangkonan.

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam ngangkon adalah penurunan

(61)

majelis perwatin dari orang yang melakukan ngangkon, dan syarat-syarat atas

4. Pengangkenan dibidang sukeu (pengangkatan dibidang suku) : Rp. 24.000

5. Pengangkenan dilem sukeu (pengangkatan didalam suku) : Rp24.000

6. Penyapuran dibidang sukeu (penyampuran dibidang suku) : Rp. 24.000

7. Penyapuran dilem suku (penyampuran didalam suku) : Rp. 24.000

8. Penyapuran di mulei meghanei (penyampuran dimuda mudi) : Rp. 12.000

9. Galang silo (duduk bersama) : Rp. 12.000

10.Penerangan

: Rp. 24.000

11.Ngesaikan darah (penyatuan darah) : Rp. 24.000

12.Penglamoan

: Rp. 24.000

(62)

C. Kedudukan Seseorang Yang Telah Di Ngangkon Pada Masyarakat

Lampung Pepadun

Seperti yang telah di bahas sebelumnya bahwa ngangkon diawali

dengan pertemuan dan persetujuan untuk mengadakan kesepakatan

pengangkatan antara pihak yang ingin mengangkon dan yang diangkon.

Setelah kesepakatan telah terjadi lalu orang tua yang akan mengangkon

mengundang ketua-ketua kampung dan memberitahu bahwa calon orang tua

angkat tersebut akan mengangkat seorang anak. Kedudukan seseorang yang

telah diangkon adalah sama kedudukannya baik perempuan ataupun laki-laki

dengan anak kandung.44

Kemudian Bapak Zaenal Abidin menjelaskan Kedudukan seseorang

yang telah diangkon dalam masyarakat adat, antara lain:

1. Kedudukan mekhanai (bujang) yang diangkat didalam keluarga dan

didalam adat.

Seseorang yang telah diangkon (diangkat) merupakan kerabat dari

keluarga yang telah mengangkat seseorang yang berasal dari luar suku

Lampung Pepadun adalah sama kedudukannya dengan anak kandung dari

seseorang yang telah mengangkat tersebut didalam adat.

Namun lebih lanjut beliau menjelaskan apabila pada suatu saat orang

tua atau ayah dalam adat dari bujang tersebut meninggal dunia, dan anak

kandung dari orang tua dalam adat tersebut masih bujang atau belum menikah

dan belum mempunyai nama anak tuha (anak tertua), maka anak kandung

44

Gambar

Tabel sebagai berikut:
Grafika, 1995

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya untuk mengetahui berapa perbandingan rata-rata Diameter Hambat masing-masing konsentrasi dari fraksi n-heksan dan etil asetat propolis, maka dilakukan uji

(3) Untuk mengetahui apakah Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dikembangkan dapat meningkatkan hasil belajar materi pokok bangun ruang sisi datar siswa kelas VIII SMP Negeri

Hasil kajian juga menunjukkan walaupun tiada pasukan atau atlet Malaysia mengambil bahagian kejohanan sukan utama dunia, namun kedua-dua akhbar telah memberi laluan yang

Belum adanya tahap lanjut untuk membentuk secara resmi Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) di Provinsi Lampung, Ibu Noviria Indah Sari, S.E.,M.M selaku

Kitab itu berfungsi membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya yakni kandungan dari kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi sebelumnya, dan juga menjadi batu ujian

[r]

Prosedur dalam tahap-tahap pengembangan materi ajar dengan menggunakan model Educational Rekonstruksional telah dilakukan dan menghasilkan suatu produk yang sudah

: Kajian Empiris Keputusan Investasi, Pendanaan dan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan dengan Risiko Bisnis Sebagai Variabel Mediasi di Bursa Efek Indonesia2.