• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi serbuk cangkang rajungan untuk pengendalian nematode puru akar Meloidogyne spp. pada tanaman tomat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi serbuk cangkang rajungan untuk pengendalian nematode puru akar Meloidogyne spp. pada tanaman tomat"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI SERBUK CANGKANG RAJUNGAN UNTUK

PENGENDALIAN NEMATODA PURU AKAR

Meloidogyne

spp. PADA TANAMAN TOMAT

APRILYANI

A44102023

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

APRILYANI. Potensi Serbuk Cangkang Rajungan untuk Pengendalian Nematoda Puru Akar Meloidogyne spp. pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh ABDUL MUIN ADNAN.

Penelitian dilakukan di laboratorium dari Mei sampai September 2006. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu faktor tanah dan faktor serbuk cangkang rajungan (SCR). Percobaan terdiri atas enam kombinasi perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas tanah yang disterilkan dan tidak disterilkan yang ditaburi SCR dengan dosis 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot dan tanpa SCR (kontrol). Sebelumnya tanah telah diinfestasi dengan 100 larva instar 2 (L2) Meloidogyne spp. Setelah diinkubasi selama satu minggu, tanah ditanami bibit tomat yang berumur 4 minggu setelah semai (MSS), kemudian tanaman dipelihara selama 6 minggu. Peubah yang diamati ialah bobot kering tajuk, bobot kering akar, jumlah puru/tanaman, jumlah paket telur/tanaman, jumlah L2 yang terekstrak, dan populasi mikroorganisme tanah (cendawan dan bakteri).

(3)

POTENSI SERBUK CANGKANG RAJUNGAN UNTUK

PENGENDALIAN NEMATODA PURU AKAR

Meloidogyne

spp. PADA TANAMAN TOMAT

APRILYANI

A44102023

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Penelitian : Potensi Serbuk Cangkang Rajungan untuk Pengendalian Nematoda Puru Akar Meloidogyne spp. pada Tanaman Tomat

Nama : Aprilyani

NRP : A44102023

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS. NIP 131 871 922

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, Magr.Sc NIP. 131 124 019

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 21 April 1984 sebagai anak ketujuh dari sepuluh bersaudara, dari keluarga Bapak Sutan Busman dan Ibu Cinenah.

Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan studinya di SMU Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

(6)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas Ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul Potensi Serbuk Cangkang Rajungan untuk Pengendalian Nematoda Puru Akar

Meloidogyne spp. pada Tanaman Tomat. Sholawat serta Salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabat, keluarga dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan tugas akhir berupa skripsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sajana Pertanian pada Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dari bulan Mei 2006 sampai bulan September 2006.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Muin Adnan MS selaku dosen pembimbing skripsi dan juga sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sebaik-baiknya, kepada Ir. Djoko Prijono MAgrSc. selaku dosen penguji tamu atas saran dalam perbaikan penulisan skripsi ini, kepada Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah atas bantuannya dalam pengolahan data penelitian, kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin atas bantuannya dalam mendokumentasikan foto, Dr Ir. Supramana atas saran-saran selama penelitian ini berlangsung, dan Dr. Ir. Widodo dan Dr. Ir. Suryo Wiyono yang telah mengijinkan penulis menggunakan Laboratorium Mikologi Tumbuhan untuk pembuatan media.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Gatut Heru Bromo yang banyak membantu selama penelitian berlangsung, Sdr. Dadang yang membantu selama pembuatan media, Sdr. Saefudin yang membantu dalam penyediaan media tanah, Sdr. Karto dan Sdri. Dewi yang membantu dalam pencarian pustaka dan pinjaman akhir pekan, juga kepada Sdri. Ita yang selalu bersedia untuk meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan.

Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih terutama kepada kedua orang tua (Bapa dan Mak Enoh), kakak-kakakku ( Uni, Aa, Mas Tamim), dan adik-adikku (Yadi, Eneng, Embi) yang telah banyak berkorban kepada sahabat-sahabatku yang selalu setia (Marni, Maya, Mia, Ela, Nisa, Sinta, Dede, Dewi, Meidy dan Lenni), juga kepada teman-teman seperjuanganku di Laboratorium Nematologi Tumbuhan (Erika, Iwa, Edu, Dhona, dan Ires), dan tak lupa kepada teman-teman HPT’39 yang telah memberikan bantuannya yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu juga kepada adik-adik kelasku, terima kasih banyak.

Bogor, 16 Mei 2007

(7)

DAFTAR ISI

Potensi Kitin sebagai Agens Pengendali... 6

(8)
(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perkembangan Meloidogyne spp. dengan perlakuan serbuk

cangkang rajungan ... 12 2. Tingkat efikasi SCR terhadap Meloidogyne spp. pada tanaman

tomat dengan media tanah disterilkan dan tidak disterilkan ... 13 3. Biomasa tanaman tomat dalam perlakuan serbuk cangkang rajungan

pada tanah disterilkan dan tidak disterilkan ... 14 4. Kepadatan mikroorganisme tanah dalam perlakuan SCR pada

tanaman tomat yang ditanam pada tanah disterilkan dan tidak

disterilkan ... 14 5. Jenis cendawan yang ditemukan pada tanah percobaan dengan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Koloni cendawan pada media agar martin dan koloni bakteri

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil analisis ragam jumlah puru per tanaman ... 21 2. Hasil analisis ragam jumlah paket telur per tanaman ... 22 3. Hasil analisis ragam persentase bertelur

Meloidogyne spp. yang terekstrak per tanaman ... 23 4. Hasil analisis ragam populasi akhir larva

instar 2 Meloidogyne spp. ... 24 5. Hasil analisis ragam populasi akhir larva

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tomat merupakan sayuran yang memiliki kandungan gizi yang tinggi

sehingga banyak diminati baik dalam bentuk buah segar maupun produk olahannya. Di Indonesia, tomat diproduksi di hampir seluruh provinsi. Berdasarkan data produksi tomat menurut provinsi tahun 2000-2004, produsen tomat terbesar di Indonesia ialah Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur

dengan produksi total pada tahun 2004 berturut-turut 240.605, 89.670, dan 54.819 ton (Deptan 2005).

Seperti tanaman budi daya lainnya, tomat merupakan tanaman yang tergolong rentan terhadap berbagai jenis hama dan patogen. Ada sekitar 60 jenis patogen yang menyerang tomat, 15 jenis di antaranya dikategorikan sebagai

patogen penting di daerah tropika (Siemonsa & Piluek 1994). Patogen-patogen tersebut berasal dari golongan cendawan, bakteri, virus, dan nematoda. Nematoda yang sering menimbulkan kerugian secara ekonomi adalah Meloidogyne spp., yang menyerang perakaran dengan gejala puru yang khas, sehingga nematoda tersebut sering disebut sebagai nematoda puru akar (NPA).

Terdapat empat spesies NPA yang sebaran dan perannya penting dalam dunia pertanian, yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, dan M. hapla. Di antara empat spesies tersebut, M. incognita merupakan patogen penting pada berbagai jenis tanaman di daerah tropika dan subtropika (Luc et al. 1995). Patogen ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar. Kerugian yang disebabkan oleh M. incognita pada tomat di Jawa Barat berkisar antara 20% dan 40%, bahkan bila nematoda dengan kepadatan populasi yang tinggi menyerang tanaman yang masih muda, dapat terjadi kematian tanaman (Hutagalung & Wisnuwardhana 1976 dalam Semangun 2001).

(13)

dilakukan untuk mencari pengendalian alternatif yang tidak menimbulkan hal-hal tersebut.

Pengendalian alternatif yang umum dilakukan adalah dengan cara kultur

teknis, diantaranya dengan penambahan bahan organik, solarisasi tanah, rotasi tanaman, penggunaan mulsa, penggenangan tanah, dan lain-lain (Brown & Kerry 1987). Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat mengurangi kepadatan nematoda, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kapasitas mengikat air. Di antara bahan organik tersebut, kitin termasuk yang sering digunakan dalam

pengendalian penyakit (Luc et al.1995).

Kitin merupakan komponen penyusun eksoskeleton artropoda, moluska, nematoda, protozoa, dan Crustaceae seperti udang, rajungan, dan kepiting. Penyusun kitin adalah N-asetil glukosamina, dan dapat terdeasetilasi menjadi kitosan (Smither & Kopperl 2001). Sumber kitin utama yang digunakan dalam

pertanian adalah limbah industri makanan laut komersial (Kokalis–Burelle 2001). Udang dan rajungan merupakan komoditas perikanan yang limbahnya sangat potensial untuk dimanfaatkan, salah satunya diolah untuk diambil kitinnya.

Kitin dapat diproses lebih lanjut menjadi kitosan yang juga dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit. Kitosan adalah senyawa turunan

kitin yang telah mengalami deasetilasi, yaitu penghilangan gugus asetat pada kitin. Menurut Benhamou et al. (1994), perlakuan kitosan pada tanaman tomat mampu meginduksi ketahanan tanaman tomat tersebut terhadap Fusarium oxysporum f.sp. radicis lycopersici.

Rajungan (Portunus sp.) adalah salah satu anggota Crustaceae yang cangkangnya mengandung kitin. Penggunaan tepung cangkang rajungan sebagai sumber kitin pernah diuji untuk mengendalikan Plasmodiophora brassicae

(Hidayah 2004). Penambahan tepung cangkang rajungan ke dalam tanah dapat merangsang perkembangan mikroorganisme yang diharapkan mampu berperan

(14)

peningkatan populasi mikrob kitinolitik dan penurunan cendawan tular tanah karena kondisi lingkungan menjadi sesuai bagi perkembangan mikrob antagonis yang dapat memarasit patogen baik secara langsung maupun dengan

mengeluarkan metabolit tertentu seperti toksin atau enzim yang dapat mematikan atau menghambat perkembangan patogen (Kokalis–Burelle 2001). Mengingat potensi yang dimilikinya, perlu dilakukan penelitian keefektifan penambahan serbuk cangkang rajungan untuk mengendalikan patogen tanah lainnya seperti

Meloidogyne spp. yang menyebabkan puru pada berbagai tanaman termasuk tomat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui keefektifan serbuk cangkang rajungan dalam mengendalikan nematoda puru akar. Selain itu dilakukan juga pengamatan terhadap jumlah dan keragaman jenis mikroorganisme dalam tanah yang

digunakan sebagai media tumbuh tanaman tomat.

Manfaat Penelitian

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Meloidogyne spp. Klasifikasi

Meloidogyne spp. termasuk ke dalam filum Nematoda, ordo Tylenchida, famili Heteroderidae, genus Meloidogyne (Agrios 1997). Berdasarkan gejala yang ditimbulkannya, Meloidogyne dikenal sebagai nematoda puru akar (NPA).

Meloidogyne memiliki lebih dari 50 spesies, empat di antaranya merupakan spesies berbahaya yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla (Luc et al. 1990).

Sebaran dan Arti Penting NPA

NPA tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropika dan subtropika dan ditemukan di rumah kaca di mana saja pada tanaman yang

dibudidayakan menggunakan tanah tidak disterilkan (Agrios 1997).

Di antara spesies-spesies NPA,M. incognita merupakan spesies yang paling dominan. Dari 1000 sampel lebih yang dikumpulkan dari 75 negara, ± 53% diidentifikasi sebagai M. incognita, ± 30% M. javanica, ± 8% M. arenaria, ± 8%

M. hapla, ± 2% M. exigua dan spesies lainnya (Jhonson & Fassuliotis 1984 dalam

Luc et al.1995).

Daerah sebaran utama M. incognita ialah Afrika, Australia, Amerika Tengah, Amerika Selatan, India, dan Amerika Serikat bagian selatan. Spesies ini juga ditemukan di beberapa negara lain seperti Belgia, Belanda, Bulgaria, Inggris, Perancis, Hungaria, Indonesia, Israel, Italia, Jepang, Polandia, Spanyol, Swedia,

dan Turki (Decker 1988).

M. incognita selain tersebar luas di seluruh belahan dunia, juga merupakan spesies yang paling berbahaya di antara spesies NPA lainnya (Decker 1988). Spesies ini merupakan salah satu patogen penting pada berbagai jenis tanaman di

(16)

berkisar antara 20% dan 40%, bahkan bila nematoda dengan kepadatan populasi yang tinggi menyerang tanaman yang masih muda, dapat menyebabkan kematian (Hutagalung & Wisnuwardhana 1976 dalam Semangun 2001).

NPA memiliki kisaran inang yang luas, lebih dari 2000 spesies tumbuhan, termasuk tanaman yang dibudidayakan dan menurunkan produktivitas sayuran dunia hingga 5%. Kerugian pada lahan secara individual umumnya lebih besar dari 5% (Agrios 1997).

Gejala

NPA menyerang pada bagian tanaman yang ada di bawah permukaan tanah terutama akar, umbi, dan polong. Gejala pada bagian tanaman tersebut dikenal dengan sebutan puru. Gejala pada bagian di atas permukaan tanah tampak seperti malnutrisi dan kekurangan air. Pada akar serangan nematoda ini menyebabkan berkurangnya volume dan efisiensi fungsi sistem perakaran. Akar yang terserang

berat lebih pendek daripada akar yang sehat dengan sedikit akar lateral dan rambut akar. Gangguan pada sistem perakaran ini menyebabkan berkurangnya penyerapan air dan nutrisi dari dalam tanah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (kerdil), daun layu pada siang hari, menguning, gugur dan akhirnya mengurangi jumlah bunga dan buah. Secara umum, keberadaan NPA

pada tanaman tidak mematikan tanaman, tetapi dapat mengundang patogen sekunder lain seperti cendawan dan bakteri untuk menyerang yang dapat mematikan tanaman. Ukuran puru bergantung pada tipe akar tempat masuknya nematoda pada akar, inang dan spesies NPA. Puru yang disebabkan oleh M. hapla lebih besar dibandingkan dengan puru yang disebabkan oleh M. incognita

dan M. javanica (Singh & Sitaramaiah 1994).

Kitin

Sumber Kitin

(17)

Sumber kitin yang utama yang digunakan dalam pertanian adalah dari limbah industri makanan laut komersial (Kokalis – Burelle 2001).

Potensi Kitin sebagai Agens Pengendali

Penambahan kitin ke dalam tanah efektif dalam pengendalian nematoda dan cendawan patogen tanaman. Tepung kitin dapat diaplikasikan secara langsung ke dalam tanah, sebagai pelapis benih (seed coating) atau diaplikasikan ke daun dalam bentuk suspensi koloidal kitin. Penambahan kitin ke dalam tanah dapat menyebabkan peningkatan populasi mikrob kitinolitik dan penurunan cendawan tular tanah karena kondisi lingkungan menjadi sesuai bagi perkembangan mikrob antagonis yang dapat memarasit patogen baik secara langsung maupun dengan mengeluarkan metabolit tertentu seperti toksin atau enzim yang dapat mematikan

atau menghambat perkembangan patogen (Kokalis – Burelle 2001).

Secara umum penambahan tepung kulit rajungan ke dalam tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam tanah baik bakteri, aktinomiset,

maupun cendawan. Penekanan pada tanaman yang diberi perlakuan tepung kulit rajungan dapat terjadi secara biologi yang berkaitan dengan terjadinya peningkatan populasi mikroorganisme tanah, terjadinya perubahan pada sifat kimia tanah, serta sebagai penginduksi terjadinya resistensi pada tanaman (Hidayah 2004).

Benhamou et al. (1994) menyebutkan bahwa kitosan yang merupakan turunan dari kitin yang mengalami deasetilasi dan diaplikasikan sebagai perlakuan benih (seed treatment)atau ditambahkan ke tanah dapat menyebabkan terjadinya induksi resistensi sistemik tanaman tomat terhadap Fusarium oxysporum f.sp.

radicis-lycopersici. Hirano (1997) mengemukakan bahwa pada tanaman, kitin dan kitosan serta turunannya dapat berperan sebagai elicitor yang akan menginduksi barbagai senyawa pertahanan tanaman terhadap patogen–patogen seperti fitoaleksin, inhibitor protein, dan lignin. Kitosan sebagai substrat tumbuh bagi mikrob antagonis juga dapat menginduksi katahanan inangnya apabila

ditambahkan langsung ke tanah (Singh et al. 1994).

(18)

berperan penting dalam pengendalian nematoda parasit tumbuhan dan akan menjadi lebih efektif apabila disertai juga dengan penambahan bakteri kitinolitik. Selanjutnya dikemukakan bahwa lima spesies bakteri kitinolitik yang selalu

berasosiasi dengan penekanan jumlah nematoda Heterodera glycines.

Penambahan kitin saja (0,4%-0,6% [w/w]) tanpa isolat bakteri memiliki pengaruh yang beragam terhadap reproduksi nematoda. Hal ini berkaitan dengan jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada di dalam tanah yang menyebabkan perbedaan laju degradasi kitin sehingga dosis amonia yang pada tingkat tertentu bersifat

(19)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari Mei 2006 sampai September 2006 di Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bahan dan Alat

Cangkang rajungan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi Nematoda yang digunakan adalah

Meloidogyne spp., yang didominasi oleh M. incognita, berasal dari perakaran tanaman gulma kalengsi (Synedrella sp.) dari Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Cianjur. Tanaman tomat yang digunakan sebagai tanaman uji adalah kultivar Ratna yang benihnya diperoleh dari kios pertanian Dramaga Tani, Bogor. Alat yang digunakan adalah seperangkat peralatan

laboratorium nematologi yaitu alat-alat untuk ekstraksi nematoda. Selain itu juga digunakan alat-alat untuk isolasi cendawan dan bakteri seperti cawan, pengocok (shaker), dan tabung erlenmeyer.

Metode Penelitian

Penyiapan Bahan Percobaan

Penyiapan serbuk cangkang rajungan. Cangkang rajungan yang telah dipisahkan dari dagingnya dicuci bersih kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering cangkang rajungan tersebut digerus dengan mortar

hingga halus, kemudian diayak dengan menggunakan pengayak 200 mesh, selanjutnya disebut serbuk cangkang rajungan (SCR).

Penyiapan inokulum nematoda. Larva-2 (L2) Meloidogyne spp. hasil ekstraksi dari perakarankalengsi dengan metode corong Baermann dalam ruang

pengabut dibiakkan pada tanaman tomat ’Ratna’. Bibit berumur 4 minggu setelah semai ditanam dalam polybag berisi 3,5 liter tanah yang telah disterilkan. Tiap

polybag ditanami satu bibit tomat. Pada 3 minggu setelah tanam, suspensi L2

(20)

Tanaman biakan nematoda ini dipelihara di halaman Laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman. Pemeliharaan dilakukan dengan cara penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit

pada bagian tajuk hingga tanaman berumur 6 minggu setelah inokulasi. L2

Meloidogyne spp. sebagai inokulum diperoleh dengan cara mengekstraknya dari perakaran tomat menggunakan corong Baermann dalam ruang pengabut. L2 hasil ekstraksi ini digunakan dalam pengujian.

Penyiapan tanaman. Benih tomat ’Ratna’ disemai dalam baki berukuran 15 cm x 20 cm berisi tanah yang telah disterilkan dalam autoklaf. Empat minggu setelah semai, bibit tomat dipindahkan ke dalam polybag dan siap digunakan dalam percobaan.

Penyiapan tanah. Tanah yang digunakan sebagai media tanam adalah tanah podsolik asal Cikabayan, Dramaga yang telah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 berdasarkan volume. Tanah tersebut kemudian dibagi menjadi dua, satu bagian disterilkan dan satu bagian yang lain tidak disterilkan. Sterilisasi tanah dilakukan dalam otoklav pada suhu 1210C dan tekanan 1,5 atm selama 6 jam. Setelah itu, tanah tersebut dimasukkan ke dalam

polibag berukuran 0,25 liter. Tiap poybag diisi 250 g tanah.

Uji Keefektifan SCR terhadap Meloidogyne spp.

Pengujian dilakukan dalam polybag berisi 250 g tanah dalam dua kondisi, yaitu tanah disterilkan dan tanah tidak disterilkan. Tanah dalam tiap polybag

diinfestasi dengan 100 L2 Meloidogyne spp. Dua jam kemudian setiap polybag

ditaburi 1,25 g/pot; 2,5 g/pot SCR dan tanpa SCR (sebagai kontrol), kemudian diinkubasi selama satu minggu. Selama masa inkubasi, tanah dipertahankantetap basah dengan penyiraman, setiap polybag disiram dengan 200 ml air setiap hari. Setelah masa inkubasi, tiap polybag ditanami bibit tomat berumur 4 minggu setelah semai yang telah disiapkan. Tiap perlakuan diulang empat kali dan tiap

ulangan terdiri dari tiga unit tanaman. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama dengan menggunakan Microthiol 720 F (bahan aktif belerang)untuk mengendalikan tungau dan Decis 2,5 EC (bahan aktif deltametrin) untuk mengendalikan Bemicia tabaci, Liriomyza

(21)

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu faktor tanah dan faktor SCR. Faktor tanah terdiri atas dua taraf, yaitu tanah disterilkan (S) dan tanah tidak disterilkan (TS). Faktor SCR terdiri atas tiga taraf

dosis yaitu kontrol (0); 1,25 g/pot (1); 2,5 g/pot (2). Percobaan mencakup enam kombinasi perlakuan, yaitu S0, S1, S2, TS0, TS1, dan TS2 Setiap perlakuan diulang empat kali, tiap ulangan terdiri atas tiga unit tanaman. Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf nyata 5% dengan program SAS for Windows versi 6.12.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 10 minggu setelah tanam terhadap jumlah puru dan paket telur per tanaman, jumlah L2/ polybag dari dalam tanah, bobot tajuk dan akar tanaman, dan kepadatan cendawan dan bakteri dalam tanah.

Bobot tajuk dan akar tanaman ditentukan berdasarkan bobot segar dan bobot kering udara dalam suhu kamar selama satu minggu. Puru dan paket telur dihitung dari akar yang telah diketahui bobot segarnya dan diwarnai dengan asam fukhsin.

Kerapatan nematoda dalam tanah dihitung setelah L2 diekstraksi dari tanah

tiap polybag. Ekstraksi nematoda dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi penyaringan, sentrifusi dan flotasi. Tanah (± 200 ml) ditambah air hingga mencapai volume 800 ml, kemudian diaduk selama 20 detik. Tanah tersebut dibiarkan mengendap selama 1 menit, kemudian disaring dengan menggunakan penyaring 50 dan 400 mesh dengan posisi saringan miring 300.

Nematoda yang tertahan pada saringan dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi dengan cara penyemprotan menggunakan hand sprayer, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 160 rpm selama 5 menit. Supernatan di dalam tabung dibuang dan endapan yang terdiri dari tanah dan nematoda disuspensikan dalam larutan gula 50%, lalu diaduk hingga partikel tanah dan nematoda tercampur rata dalam

larutan gula. Suspensi tersebut disentrifusi lagi dengan kecepatan 170 rpm selama 1 menit. Supernatan dalam tabung sentrifusi disaring dengan menggunakan penyaring 500 mesh, dan dibilas dengan aquades. L2 Meloidogyne spp. yang tersaring kemudian dipindahkan ke dalam botol film, diamati dan dihitung

(22)

suspensi sebanyak 1 ml, tiap perlakuan diamati tiga kali ulangan. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop stereo dengan perbesaran 40x. Kepadatan dan tingkat mortalitas L2 pada tiap perlakuan merupakan rataan dari tiga kali

pengamatan.

Pengamatan mikroorganisme dari tanah bertujuan mengetahui jenis dan

jumlah mikroorganisme dari setiap perlakuan. Sebanyak 5 g tanah dari setiap perlakuan dimasukkan ke dalam 45 ml air steril (pengenceran 10-1) kemudian dikocok dengan pengocok pada 105 rpm selama 10 menit. Suspensi diencerkan hingga 10-6. Pada enceran 10-3, 10-5, dan 10-6 masing-masing diambil 0,01 ml lalu disebar rata pada cawan yang telah berisi media agar martin (pengenceran 10-3),

King’s B (pengenceran 10-5), dan nutrient agar (pengenceran 10-6) kemudian diinkubasikan. Pengamatan dan penghitungan koloni cendawan pada media agar martin dilakukan setelah 7 hari inkubasi. Pengamatan cendawan dilakukan berdasarkan karakter dan warna koloni serta karakter hifa dan spora. Identifikasi mengacu pada Barnett and Hunter (1998). Bakteri diamati pada media King’s B

dan nutrient agar setelah 4 hari inkubasi. Pengamatan koloni bakteri meliputi bentuk, tepian, elevasi, dan warna. Jumlah koloni total dihitung dengan menggunakan rumus dalam Hadioetomo (1993) yaitu

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Tanaman

Tanaman tomat yang digunakan dalam percobaan pertumbuhan awalnya cukup baik, namun sejak 3 minggu setelah tanam (MST) mulai mengalami gangguan pertumbuhan oleh beberapa jenis hama, yaitu Liriomyza sp., trips, B. tabaci, dan tungau merah. Ketiga jenis hama yang disebut terakhir menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman. Selain itu, B. tabaci juga dapat menjadi vektor virus sehingga tanaman percobaan menunjukkan gejala serangan virus, yaitu tanaman menjadi kerdil, daunnya mengeriting,kemudianmengering.

Tanaman tomat uji yang ditanam pada kondisi tanah tidak disterilkan (TS) pertumbuhannya mengalami hambatan dibandingkan dengan tanaman yang

ditanam pada tanah disterilkan (S). Terhambatnya pertumbuhan tanaman pada kondisi TS tersebut disebabkan oleh serangan Liriomyza sp., trips, B. tabaci, dan tungau. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa makin dekat tanaman percobaan dengan tanaman bukan percobaan yang terserang hama tersebut makin merana pertumbuhan tomat percobaan.

Usaha pengendalian hama-hama tersebut telah dilakukan dengan cara menyemprotkan Mikrothiol 720 F (bahan aktif belerang) untuk mengendalikan tungau, dan Decis 2,5 EC (bahan aktif deltametrin) untuk mengendalikan trips dan

B. tabaci, namun hasilnya kurang efektif, sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal.

Pengaruh Serbuk Cangkang Rajungan terhadap Perkembangan NPA

Di antara peubah yang diamati, hanya jumlah puru dan jumlah paket telur per tanaman yang secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan serbuk cangkang

rajungan (SCR), sedangkan persentase nematoda yang bertelur tidak (Tabel 1). Jumlah puru pada kontrol di tanah disterilkan dan kontrol di tanah tidak disterilkan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Jumlah puru dan jumlah paket telur per tanaman pada perlakuan SCR 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot, baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak disterilkan masing-masing lebih rendah

(24)

Tabel 1 Perkembangan Meloidogyne spp. dengan perlakuan serbuk cangkang

a) Semua indikator perkembangan nematoda dihitung per pot tanaman

b)

S = tanah disterilkan; S0 = tanpa SCR; S1 = penambahan SCR 1,25 g/pot ; S2 = penambahan SCR 2,5 g/pot; TS = tanah tidak disterilkan;TS0 = tanpa SCR; TS1 = penambahan SCR 1,25 g/pot ; TS2 = penambahan SCR 2,5 g/pot

c)

Jumlah paket telur dibagi jumlah puru x 100%

d)

kepadatan akhir /kepadatan awal L2

Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Jumlah puru dan paket telur per tanaman pada perlakuan dosis SCR yang berbeda (1,25 dan 2,5 g/pot), baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak disterilkan, tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan SCR

dalam dosis 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot dapat menekan serangan Meloidogyne spp. dengan tingkat penekanan yang relatif sama walaupun pada dosis 2,5 g/pot memiliki penekanan yang relatif lebih kuat dalam menurunkan jumlah puru dan paket telur. Penekanan tersebut terjadi baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak disterilkan. Peningkatan kemampuan SCR dalam menekan jumlah

puru dan peket telur seiring dengan peningkatan dosis yang diberikan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin aktifnya mikroorganisme yang bersifat kitinolitik dalam menekan nematoda. Aktifnya mikroorganisme tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak tidaknya nutrisi (SCR) yang diberikan.

(25)

yang berhasil lolos dari pengaruh SCR dan berhasil menginfeksi akar, tetap tumbuh dan berkembang secara normal sampai mencapai fase bertelur.

Berbeda dengan jumlah puru dan paket telur yang mengindikasikan

keberadaan nematoda dalam tanaman, jumlah L2 yang terekstrak lebih banyak ditemukan pada tanah steril dibandingkan pada tanah tidak steril. Hal tersebut kemungkinan adanya predator dari Meloidogyne spp. yaitu tungau dan juga Collembola. Selain itu pensterilan tanah membunuh beberapa mikroorganisme tertentu yang bersifat parasit maupun predator bagi nematoda. Menurut Curl &

Truelove (1986), protozoa, nematoda, cendawan berspora, merupakan predator bagi nematoda parasit tumbuhan. Sedikit pengetahuan tentang potensinya sebagai agen pengendali hayati atau aktivitasnya di dalam rizosfer.

Sebenarnya SCR memiliki potensi yang cukup dalam mengendalikan

Meloidogyne spp. Tingkat efikasi relatif terhadap kontrol berdasarkan kepadatan akhir L2, menunjukkan bahwa perlakuan SCR 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot memiliki keefektifan yang cukup, yaitu berturut-turut 61,7% dan 54,4%, walaupun dalam penelitian ini hanya terjadi pada tanah disterilkan. Berdasarkan jumlah puru, SCR memiliki keefektifan yang cukup. Pada tanah disterilkan dalam dosis 2,5 g/pot tingkat efikasi SCR 46,7% dan pada tanah tidak disterilkan pada dosis 1,25 dan

2,5 g/pot keefektifannya berturut-turut 46,2% dan 52,6% (Tabel 2).

Tabel 2 Tingkat efikasi SCR terhadap Meloidogyne spp. pada tanaman tomat dengan media tanah disterilkan dan tidak disterilkan

(26)

dipengaruhi oleh kondisi tanah, disterilkan atau tidak disterilkan. Bobot tanaman pada tanah disterilkan baik pada kontrol maupun pada perlakuan SCR nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah tidak disterilkan. Perbedaan bobot

tanaman ini diduga sangat erat kaitannya dengan hampir semua performa indikator perkembangan Meloidogyne spp. yang diamati, kecuali persentase nematoda yang bertelur (Tabel 1). Empat jenis hama, yaitu Liriomyza sp., trips,

B. tabaci, dan tungau merah yang menyerang tanaman percobaan jelas memiliki kontribusi dalam rendahnya vigor tanaman dan secara tidak langsung juga

mempengaruhi perkembangan Meloidogyne spp. karena ketersediaan nutrisi bagi nematoda tersebut menjadi kurang optimum.

Selain itu, rendahnya vigor tanaman baik pada tanah yang disterilkan maupun pada tanah yang tidak disterilkan yang diberi penambahan SCR, kemungkinan disebabkan oleh adanya fitotoksisitas SCR terhadap tanaman. SCR

termasuk bahan organik yang dalam tanah mengalami degradasi oleh mikroorganisme tanah. Menurut Curl & Truelove (1986), pendegradasian secara mikrobiologi terhadap bahan-bahan organik yang ditambahkan dalam tanah melepaskan amonium-nitrogen, selanjutnya menghasilkan akumulasi nitrat melalui nitrifikasi dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, atau

akumulasi NH3 dan nitrit dapat menjadi toksik bagi tanaman.

Tabel 3 Biomasa tanaman tomat dalam perlakuan serbuk cangkang rajungan pada tanah disterilkan dan tidak disterilkana)

Perlakuan Bobot tajuk Bobot akar Bobot total tanaman

(27)

Faktor lainnya yang diduga juga memiliki kontribusi dalam performa indikator perkembangan Meloidogyne spp. adalah mikroorganisme tanah, terutama bakteri dan cendawan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan

SCR berpengaruh terhadap kepadatan komunitas cendawan dan bakteri (Tabel 4).

Tabel 4 Kepadatan mikroorganisme tanah dalam perlakuan SCR pada tanaman tomat yang ditanam pada tanah disterilkan dan tidak disterilkan

(Tabel 4). Kepadatan bakteri dengan penambahan SCR dalam dosis 2,5 g/pot pada tanah yang disterilkan paling tinggi di antara semua perlakuan. Namun sebaliknya pada tanah tidak disterilkan, pemberian SCR justru menurunkan kepadatan bakteri. Makin tinggi dosis SCR makin rendah kepadatan bakteri.

Ketidakmampuan SCR dalam meningkatkan mikroorganisme pada tanah yang tidak disterilkan kemungkinan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman

yang mungkin berpengaruh terhadap mikroorganisme tanah. Pada tanah yang tidak disterilkan, kondisi tanaman kurang optimum pertumbuhannya dibandingkan dengan tanaman pada tanah yang disterilkan. Hal ini membuat tanah menjadi tidak gembur sehingga mikroorganisme yang berada di sana menjadi

terbatas. Sehingga yang dapat tumbuh lebih banyak pada tanah yang tidak disterilkan adalah cendawan terutama yang bersifat saprofit.

Perkembangan Meloidogyne spp. tampaknya berkaitan dengan kepadatan komunitas cendawan, tidak dengan keragaman cendawan. Baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak disterilkan, perlakuan SCR 1,25 g/pot

(28)

puru dan faktor reproduksi Meloidogyne spp. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian SCR dapat meningkatkan kepadatan cendawan yang mungkin memiliki kontribusi dalam penekanan nematoda walaupun hanya terjadi pada

perlakuan SCR pada dosis 1,25 g/pot, tidak pada dosis 2,5 g/pot. Perlakuan SCR tampaknya berpengaruh terhadap keragaman cendawan yang berhasil diisolasi dengan menggunakan media agar martin (Tabel 5). Isolat A memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu konidia bersel 3, lonjong dan hialin, hifa tidak bersekat sedangkan penampakan makroskopis pada media agar martin yaitu miselium

berwarna putih dengan pusat koloni kuning. Lama kelamaan miselium mulai berwarna kuning kecoklatan, diameter bertambah besar. Isolat B memiliki ciri-ciri konidia bersel 4, agak kecoklatan, dan hifanya bersekat.

Tabel 5 Jenis cendawan yang ditemukan pada tanah percobaan dengan menggunakan media agar martin

Aspergillus spp., Fusarium spp. dan Penicillium spp. Cendawan A

Aspergillus spp. dan Dactylium spp.

Aspergillus spp., Fusarium spp., Dactylium spp. dan cendawan B. Cendawan A dan Fusarium spp.

Keragaman bakteri baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak

disterilkan tampaknya tidak dipengaruhi oleh perlakuan SCR (Tabel 6). Koloni bakteri yang ditemukan baik pada media King’s B dan media NA terbagi menjadi 8 kelompok berdasarkan morfologi dan warna koloninya. Bakteri dengan ciri bentuk rizoid, tepian seperti wol, elevasi cembung, warna putih dimasukkan

dalam kelompok B1; bentuk bundar, tepian licin, elevasi timbul, warna putih dimasukkan dalam kelompok B2; bentuk bundar, tepian licin, elevasi timbul, warna merah dimasukkan dalam kelompok B3; bentuk bundar, tepian licin, elevasi timbul, warna kuning dimasukkan dalam kelompok B4; bentuk keriput, tepian berombak, elevasi berbukit-bukit, warna krem dimasukkan dalam

(29)

tepian licin, elevasi datar, warna krem bersifat flouresens dimasukkan dalam kelompok B7; bentuk dosisentris, tepian berombak, elevasi datar, warna krem dimasukkan dalam kelompok B8.

Tabel 6 Keragaman bakteri yang ditemukan pada media King’s B dan NA

Macam bakteri yang ditemukan

baik secara langsung melalui parasitisme maupun secara tidak langsung melalui produk metabolitnya seperti toksin atau enzim yang dapat mematikan atau menghambat perkembangan patogen tanaman termasuk nematoda. Walaupun dalam penelitian ini, jumlah mikroorganisme tanah pada tanah yang diberi penambahan SCR tidak berbeda nyata dengan tanah yang tidak diberi

penambahan SCR (kontrol), namun mikroorganisme tersebut mampu menurunkan jumlah puru dan jumlah paket telur pada 2 kondisi tanah (disterilkan dan tidak disterilkan). Penurunan terhadap jumlah puru dan paket telur NPA menunjukkan bahwa pemberian SCR mampu menginduksi mikroorganisme yang bersifat

kitinolitik sehingga mampu mengendalikan nematoda tersebut.

Tian et al. (2000) mengemukakan bahwa pemberian kitin dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme kitinolitik penghasil kitinase yang berperan penting dalam pengendalian nematoda parasit tumbuhan dan akan menjadi lebih efektif apabila disertai juga dengan penambahan bakteri kitinolitik. Selanjutnya dikemukakan bahwa lima spesies bakteri kitinolitik yang selalu

berasosiasi dengan penekanan jumlah nematoda Heterodera glycines.

(30)

yang beragam terhadap reproduksi nematoda. Hal ini berkaitan dengan jumlah dan jenis mikroorganisme yang ada di dalam tanah yang menyebabkan perbedaan laju degradasi kitin sehingga dosis amonia yang pada tingkat tertentu bersifat

(31)

KESIMPULAN DAN SARAN

Serbuk cangkang rajungan memiliki potensi dalam pengendalian nematoda puru akar pada tanaman tomat. Tingkat efikasi berdasarkan kepadatan populasi akhir L2 Meloidogyne spp., penambahan SCR dengan dosis 1,25 g/pot – 2,5 g/pot cukup efektif dengan tingkat efikasi 54%-62 %, walaupun penekanannya terjadi hanya pada tanah disterilkan. Berdasarkan jumlah puru, hanya dosis 2,5 g/pot perlakuan SCR memiliki tingkat efikasi yang cukup tinggi yaitu 46,7% pada tanah yang disterilkan sedangkan pada tanah yang tidak disterilkan SCR dalam dosis 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot memiliki tingkat efikasi yang cukup tinggi yaitu

beturut-turut sebesar 46,2% dan 52,6%.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press. Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imferfect Fungi. Ed ke-4.

St. Paul (Minnesota): APS Press.

Benhamou N. 2001. Chitosan, disease suppression and SAR. Phytopathology

91:S168.

Brown RH, Kerry BR, editor. 1987. Principles and Practice of Nematodes Control in Crops. Academic Press.

Curl EA & Truelove B. 1986. The Rhizosphere. Berlin: Springer-Verlag. Decker H. 1988. Plant Nematodes and Their Control (Phytonematology). New

Delhi: Pauls Press.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2005. Produksi Tomat menurut Propinsi Tahun 2000-2004http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/horti/2005/produksi tomat1.htm. [10 Juni 2005].

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek; Teknik dan Prosedur DasarLaboratorium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hague NGM, Gowen SR. 1987. Chemical control of nematodes. Di dalam: Brown RH, Kerry BR, editor. Principles and Practice of Nematodes Control in Crops. Academic Press. hlm 131-178.

Hidayah N. 2004. Penggunaan tepung kulit rajungan sebagai sumber kitin dan ekstrak kompos untuk penegendalian penyakit akar gada. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. [tesis]

Hirano S. 1989. Production and application of chitin and chitosan in Japan. Dalam: Sanford P, Anthosen P, Skjak-Braek G. editor. Chitin and Chitosan; Chemistry, Biochemisty, Physical Properties and Application.

New York: Elsevier Science Publishing Co, Inc.

Hutagalung L, Wisnuwardhana W. 1976. Sinergisme nematoda bengkak akar

Meloidogyne spp. dan Pseudomonas solanacearum pada tanaman tomat. Di dalam Kongres Nasional IV PRI Bandung.

Hutagalung SG. 1988. Teknik Ekstraksi dan Membuat Preparat Nematoda Parasit Tumbuhan. Jakarta: Rajawali Press.

Johnson JT, Fassuliotis G. 1984. Nematode parasites of vegetable crops. Di dalam: Nickle WR, editor. Plant and Insect Nematodes. Marcel Decker inc., New York and Basel: hlm 323-372.

Kokallis-Burelle N. 2001. Chitin amendments for suppression of plant parasitic nematodes and fungal pathogens. Phytopathology 91:S168.

(33)

Luc M, Sikora RA, Bridge J. 1990. Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and Tropical Agriculture. Wallingford: CAB International.

Semangun H. 2001. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Siemonsa JS, Piluek K, editor. 1994. Plant Resources of South-East Asia Vegetables. Bogor: Prosea Foundation.

Singh RS, Sitaramaiah K. 1994. Plant Pathogens: The Plant Parasitic Nematodes. New York: International Science Publisher.

Singh PP, Shin YC, Park CS, Chung YR. 1999. Biological control of fusarium wilt of cucumber by chytinolytic bacteria. Phytopathology 89:92-99. Smither-Kopperl Ml. 2001. Chitin as biomass, its origin and role in nutrient

cycling. Phytopathology 91: S167.

Suptijah P. 2006. Deskripsi dan karakteristik fungsional chitin-chitosan. Di dalam: Seminar Nasional Chitin-Chitosan 2006.; Prospek Produksi dan Aplikasi Chitin-Chitosan sebagai Bahan Alami dalam Membangun Kesehatan Masyarakat dan Menjamin Keamanan Produk. Bogor; 16 Maret 2006.

(34)

LAMPIRAN

(35)

Dunc an Gr oupi ng Mean N dos i s

A 11. 375 8 0

B 7. 583 8 1, 25 B

(36)
(37)

The SAS Sy s t em The ANOVA Pr oc edur e

Dunc an' s Mul t i pl e Range Tes t f or pak et t el ur

Al pha 0. 05 Er r or Degr ees of Fr eedom 18 Er r or Mean Squar e 7. 736779

Number of Means 2 3 Cr i t i c al Range 2. 922 3. 066

Means wi t h t he s ame l et t er ar e not s i gni f i c ant l y di f f er ent .

Dunc an Gr oupi ng Mean N dos i s

A 7. 875 8 0 A

B A 5. 105 8 1, 25 B

(38)
(39)

Dunc an Gr oupi ng Mean N dos i s A 70. 606 8 2, 5 A

A 69. 658 8 0 A

(40)
(41)
(42)
(43)

Lampiran 7

a b c

Gambar

Tabel 1  Perkembangan Meloidogyne spp. dengan perlakuan serbuk cangkang rajungan a)
Tabel 2  Tingkat efikasi SCR terhadap Meloidogyne spp. pada tanaman tomat dengan media  tanah disterilkan dan tidak disterilkan
Tabel 3  Biomasa tanaman tomat dalam perlakuan serbuk cangkang rajungan pada tanah disterilkan dan tidak disterilkana)
Tabel 4  Kepadatan mikroorganisme tanah dalam perlakuan SCR pada tanaman tomat yang ditanam pada tanah disterilkan dan tidak disterilkan
+3

Referensi

Dokumen terkait

• Kata benda yang dibentuk dari kata kerja.. dengan menambahkan – ing

Simple past dengan past perfect tense. After the teacher had explained

[r]

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar FT4 dalam serum dengan kejadian tirotoksikosis pada wanita dewasa di daerah ekses yodium.. Diakses

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin merancang Boutique Hotel di Manado yang merupakan konsep baru dalam dunia perhotelan, yaitu suatu hotel yang memiliki bentuk

Sehingga, perlunya perancangan bangunan Kantor Imigrasi Kelas Provinsi Kalimantan Timur 1 di Samarinda dengan penekanan pada tata ruang dalam ini diharapkan

Oleh karena itu pembinaan moral dan agama dalam keluarga penting sekali bagi remaja untuk menyelamatkan mereka dari kenakalan dan merupakan cara untuk