LAPORAN KASUS
IMPETIGO BULOSA PADA ORANG TUA
KHAIRINA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
I. PENDAHULUAN ... 1
II. LAPORAN KASUS... 2
III. DISKUSI ... 6
IMPETIGO BULOSA PADA ORANG TUA
I. PENDAHULUAN
Impetigo adalah penyakit kulit penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau oleh keduanya yang hanya terbatas pada epidermis. Terdapat dua bentuk
impetigo, yaitu impetigo bulosa dam impetigo krustosa.
Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Umumnya
organisme ini dapat dikultur dari cairan pada bula. Impetigo bulosa biasanya bersifat sporadik
dan sering terjadi dalam suatu keluarga atau kelompok lainnya. Impetigo bulosa dapat terjadi
pada semua umur, tetapi lebih sering pada masa anak-anak. Hal ini kemungkinan karena
hygiene anak lebih jelek pada dewasa dan kasus pada dewasa jarang dilaporkan. Adanya
abrasi yang ringan dan lesi kulit lainnya dapat rentan terhadap infeksi apabila kontak dengan
pasien impetigo bulosa.
1-3
Pada impetigo bulosa biasanya bula akan cepat membesar dengan diameter 1 – 2 cm
atau lebih besar dan dapat bertahan selama 2 atau 3 hari. Isi bula awalnya jernih dan lama
kelamaan akan menjadi keruh kekuningan. Setelah dinding bula ruptur, akan terbentuk krusta
datar kecoklatan kemudian dapat terbentuk central healing dan pinggiran lesi dapat
membentuk gambaran sirsinar. Meskipun daerah wajah paling sering terkena, tetapi lesi juga
dapat terjadi dimana saja dan dapat terdistribusi secara luas dan tidak teratur.
2
Diagnosis banding untuk impetigo bulosa adalah pemfigus vulgaris, pemfigoid bulosa
dan dermatitis kontak. Pemeriksaan penunjuang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan mikrobiologis, yaitu kultur dari eksudat yang diambil dari bula
yang utuh. Hasil kultur biasanya menunjukkan adanya bakteri Staphylococcus aureus gram
positif.
2-5
Penatalaksanaan impetigo bulosa adalah memperbaiki higien penderita. Apabila
infeksi ringan dan terlokalisasi dapat diterapi dengan antibiotika topikal, sedangkan untuk
infeksi yang luas dan berat dapat diberikan antibiotika oral.
2,3
Komplikasi pada impetigo bulosa jarang terjadi apabila tidak disertai dengan penyakit
sistemik atau malnutrisi.
2-5
Berikut ini dilaporkan sebuah laporan kasus impetigo bulosa pada seorang wanita
yang berumur 63 tahun.
3
II. LAPORAN KASUS
Seorang wanita, 63 tahun, datang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUP.H.Adam Malik Medan pada tanggal 27 Maret 2009 dengan keluhan utama
berupa gelembung-gelembung berisi cairan disertai rasa gatal ringan, sakit dan berbau pada
daerah bokong dan sela paha. Hal ini telah dialami pasien sejak 1 minggu ini. Awalnya
timbul kemerahan dan bentol kemudian gelembung berisi cairan yang lama kelamaan
membesar dan berisi cairan seperti nanah dan sebagian pecah dan menimbulkan koreng
kecoklatan. Demam ringan dijumpai, dan kondisi pasien lemah. Pasien mengaku kondisi air
di kampung tempat tinggalnya sangat kotor. Sebelumnya pasien pernah menderita penyakit
yang sama setelah diobati di puskesmas sembuh dan sering kambuh kembali. Tidak ada
anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, gizi baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 76 x / menit,
frekwensi nafas 20 x / menit, suhu tubuh afebris dan rasa sakit berada pada skala 4.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya bula-bula berdinding tipis, kendur,
berisi cairan purulen di atas kulit yang eritema pada regio inguinalis sinistra, krusta
kecoklatan dengan tepi meluas, erosi, ekskoriasi pada regio inguinalis dekstra, regio pubica,
regio glutea sinistra dan dekstra. Tanda Nikolsky tidak dijumpai.
Gambar 1. Pasien pada saat pertama kali datang tampak bula-bula berdinding tipis, kendur,
Gambar 2. Pasien pada saat pertama kali datang tampak krusta kecoklatan dengan tepi meluas
pada regio inguinalis dekstra, regio pubica.
Gambar 3. Pasien pada saat pertama kali datang tampak krusta kecoklatan dengan tepi
meluas, erosi, ekskoriasi pada regio glutea sinistra dan dekstra.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin, urine rutin, KGD ad random, kultur
pada pus (eksudat) yang diambil dari bula, dan sensitivitas terhadap antibiotik.
Pasien didiagnosis banding sebagai impetigo bulosa, ektima, pemfigus vulgaris dan
pemfigoid bulosa dan herpes simpleks dengan diagnosis sementara impetigo bulosa.
Penatalaksanaan untuk pasien adalah kompres NaCl 0,9% selama 15 menit dilakukan setiap
4 jam pada bula dan krusta. Terapi oral berupa ciprofloksasin 2 x 500 mg / hari selama 7 hari,
asam mefenamat 3 x 500 mg / hari, roboransia vitamin B complex 1 x sehari. Kemudian
pasien juga diberi penjelasan mengenai penyebab penyakit yang dideritanya dan perlunya
menjaga kebersihan diri dan lingkungannya serta tidak menggunakan air yang kotor tadi
untuk aktivitas sehari-hari.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 Maret 2009, Hb : 12,1 gr %,
Hasil kultur bakteri pada tanggal 31 Maret 2009 dijumpai biakan Staphylococcus
aureus. Hasil sensitivitas terhadap antibiotik :
Antibiotik Bakteri
Amikacin Sensitif
Amoxicillin / Clavulanic acid Sensitif
Ampicillin Hampir resisten
Cefotaxime Resisten
Ceftazidim Sensitif
Ceftriaxon Sensitif
Cefepime Sensitif
Cefoperazone / Sulbactam Sensitif
Ciprofloxacin Sensitif
Pasien didiagnosis kerja dengan impetigo bulosa.
Kontrol pertama pada tanggal 3 April 2009, keluhan gatal, nyeri dan berbau tidak
dijumpai lagi. Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai krusta kecoklatan dan tepi meluas,
erosi, ekskoriasi pada regio inguinalis sinistra, inguinalis dekstra, pubica, dan erosi,
ekskoriasi pada glutea sinistra dan glutea dekstra. Penatalaksaan pada pasien berupa kompres
NaCl 0,9% pada krusta, antibiotika topikal mupirocin krim 2 x sehari pada lesi yang kering
dan antibiotik sistemik dihentikan oleh karena secara klinis sudah mulai membaik. Terapi
oral berupa roboransia vitamin B complex 1 x sehari. Kemudian pasien dianjurkan untuk
kontrol ulang seminggu kemudian tetapi tidak datang dengan alasan sudah pulang ke
Gambar 4. Pada saat kontrol pertama tampak krusta kecoklatan dan tepi meluas, erosi, pada
regio inguinalis sinistra dan pubica.
Gambar 5. Pada saat kontrol pertama tampak krusta kecoklatan dan tepi meluas, erosi, pada
regio inguinalis dekstra.
Gambar 6. Pada saat kontrol pertama tampak erosi dan ekskoriasi pada regio glutea sinistra
dan glutea dekstra.
Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, quo ad sanationam dubia
III. DISKUSI
Diagnosis impetigo bulosa pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa kultur pada eksudat yang diambil dari
bula yang utuh.
Penderita adalah seorang wanita berusia 63 tahun. Pada kepustakaan dikatakan
impetigo bulosa dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada masa anak-anak. Hal
ini kemungkinan karena pada anak kurang memperhatikan kebersihan dan kasus pada dewasa
jarang dilaporkan.2 Dari anamnesis diketahui bahwa penderita memiliki keluhan berupa
gelembung-gelembung berisi cairan disertai rasa gatal dan berbau pada daerah bokong dan
sela paha yang dialami sejak 1 minggu ini. Awalnya timbul kemerahan dan bentol kemudian
gelembung berisi cairan yang lama kelamaan membesar dan berisi cairan seperti nanah dan
sebagian pecah dan menimbulkan koreng kecoklatan yang terasa sakit. Penderita mengaku
kondisi air di kampung tempat tinggalnya sangat kotor. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
dimana pada impetigo bulosa bula akan cepat membesar dengan diameter 1 – 2 cm atau lebih
besar dan dapat bertahan selama 2 atau 3 hari. Isi bula awalnya jernih dan lama kelamaan
akan menjadi keruh kekuningan. Setelah dinding bula ruptur, akan terbentuk krusta datar
kecoklatan kemudian dapat terbentuk central healing dan pinggiran lesi dapat membentuk
gambaran sirsinar.2-5
Sumber infeksi pada pasien ini kemungkinan karena kondisi air yang kotor. Pada
kepustakaan dikatakan faktor predisposisi impetigo bulosa antara lain adalah cuaca panas,
kelembaban tinggi, kebersihan yang buruk, daerah padat penduduk dan luka kecil yang
diabaikan.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya bula-bula berdinding tipis, kendur,
berisi cairan yang tampak purulen di atas kulit yang eritema pada regio inguinalis sinistra,
krusta kecoklatan dengan tepi meluas, erosi pada regio inguinalis dekstra, regio pubica, regio
glutea sinistra dan dekstra. Pada kepustakaan dikatakan meskipun daerah wajah paling sering
terkena, tetapi lesi juga dapat terjadi dimana saja dan dapat terdistribusi secara luas dan tidak
teratur. Pada orang dewasa, daerah yang paling sering terkena adalah aksila, sela paha dan
tangan.
4
2-5
Pada pemeriksaan kultur bakteri yang diambil dari eksudat bula yang utuh dijumpai
biakan Staphylococcus aureus. Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan umumnya organisme ini dapat dikultur dari cairan pada bula. Terdapat 3 tipe Pada kasus ini lesi terdapat pada regio inguinalis, pubica dan glutea kemungkinan
erupsi kulit akibat Staphylococcus aureus grup II terutama rantai 77 dan 55, yaitu : impetigo
bulosa, staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS), dan staphylococcal scarlet fever.
Pemeriksaan sensitivitas terhadap antibiotik dilakukan untuk membantu dalam hal pemberian
antibiotik yang sesuai. 2,3
Diagnosis banding ektima disingkirkan karena pada ektima awalnya lesi dapat berupa
pustul atau bula yang cepat membesar menjadi ulkus. Lesi mudah pecah dan berindurasi. Lesi
berbentuk bulat atau oval dengan diameter 1-3 cm, dikelilingi halo eritem dan edema. Ektima
ditutupi krusta tebal yang melekat dan berwarna coklat tua. Jika krusta diangkat terdapat
ulkus purulen seperti cangkir dengan pinggir menimbul. Ektima biasanya berlokasi di tungkai
bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma.
Diagnosis banding pemfigus vulgaris disingkirkan karena pada pasien ini tidak
dijumpai tanda Nikolsky. Pemfigus vulgaris ditandai dengan vesikel dan bula yang berdinding
kendur di atas dasar eritema. Bula yang terbentuk mudah pecah dan meninggalkan kulit yang
terkelupas diikuti dengan pembentukan krusta yang bertahan lama dimana pada
penyembuhan timbul hiperpigmentasi dan tanpa jaringan parut. Dengan menekan dan
menggeser kulit diantara dua bula akan meluas karena cairan didalamnya mengalami tekanan.
Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Nikolsky.
4,7
Diagnosis banding pemfigoid bulosa disingkirkan karena pada pemfigoid bulosa
ditandai dengan bula yang tegang pada dasar kulit yang normal atau eritematosa. Bula
biasanya berisi cairan jernih putih tapi mungkin juga cairan hemoragis.
6
Diagnosis banding herpes simpleks disingkirkan karena dari anamnesis penderita
tidak memiliki riwayat penyakit kelamin dan lesi pada bibir dan rongga mulut yang gatal atau
seperti rasa terbakar. Herpes simpleks biasanya terjadi pada usia reproduktif dan ditandai
dengan vesikel berkelompok di atas dasar kulit yang eritema. Lesi dapat soliter atau multipel
dan paling sering timbul pada atau daerah perbatasan muko-kutan. Sebelum timbul, biasanya
didahului rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi dan kemerahan pada kulit.
8
4,9
Penatalaksanaan terdiri dari pemberian penjelasan kepada penderita dan keluarganya
mengenai penyakit ini. Impetigo bulosa dapat menular sehingga untuk mencegah penularan
penderita dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan dirinya dan lingkungannya.
Pada impetigo bulosa, apabila infeksi ringan dan terlokalisasi dapat diterapi dengan
antibiotika topikal, sedangkan untuk infeksi yang luas dan berat dapat diberikan antibiotika
oral.2-5 Pada kasus ini diberikan antibiotika oral berupa Ciprofloksasin 2 x 500 mg / hari
karena lesi tidak terlokalisasi dan sudah berulang. Kompres diberikan untuk mengeringkan,
Prognosis pada kasus ini baik apabila penderita selalu menjaga kebersihan dirinya dan
lingkungan tempat tinggalnya. Masalah pada pasien ini adalah air yang kotor di tempat
tinggalnya, kepada pasien disarankan untuk menggunakan penyaring air atau mencari sumber
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke – 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2005. h. 55-61.
2. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Superficial
Cutaneous Infections and Pyodermas. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Lffell Dj, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw Hill Companies; 2008. h.1694-1709.
3. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial Infections. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. UK : Wiley
Blackwell; 2010. h. 30.1-30.82.
4. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, editor. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of
clinical dermatology, Edisi ke-5. New York : McGraw Hill Companies; 2005.
5. James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s diseases of the skin clinical
dermatology, Edisi ke-10. United States of America : Saunders Elsevier; 2006.
6. Stanley JR. Pemphigus. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Lffell Dj, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi
ke-7. New York : McGraw Hill Companies; 2008. h.459-67.
7. Sjahrial. Infeksi bakteri stafilokok dan streptokok. Dalam : Harahap M, penyunting.
Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates; 1998. h. 46 – 60.
8. Stanley JR. Bullous Pemphigoid. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Lffell Dj, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine.
Edisi ke-7. New York : McGraw Hill Companies; 2008. h.475-80.
9. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Dalam : Harahap M, penyunting. Ilmu Penyakit
Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates; 1998. h. 88 – 103.
10.Hamzah M. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke – 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran