UJI EFIKASI BEBERAPA AGENSIA HAYATI TERHADAP HAMA
PERUSAK DAUN TEMBAKAU DELI
DI SAMPALI
SKRIPSI
ADE SETIAWAN 030302033
H P T
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UJI EFIKASI BEBERAPA AGENSIA HAYATI TERHADAP HAMA
PERUSAK DAUN TEMBAKAU DELI
DI SAMPALI
SKRIPSI
ADE SETIAWAN 030302033
H P T
Komisi Pembimbing :
( Ir. Mena Uly Tarigan MS. ) ( Ir. Yuswani P. Ningsih, MS. )
Ketua Anggota
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
ABSTRAK
ADE SETIAWAN “Uji Efikasi Beberapa Agensia Hayati Terhadap Hama Perusak
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Adapun judul dari Skripsi ini adalah “ Uji Efikasi Beberapa Agensia Hayati Terhadap Hama Perusak Daun Tanaman Tembakau Deli Di Sampali “ yang bertujuan untuk membandingkan kemampuan berbagai agensia hayati dalam mencegah hama-hama daun
untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman tembakau Deli. Dan juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Pada saat ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Mena Uly Tarigan MS. Sebagai ketua komisi pembimbing dan
Ir. Yuswani P. Ningsih, MS. Selaku anggota komisi pembimbing dan juga kepada pembimbing lapangan penulis yang telah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian
Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dami kesempurnaan Skripsi
ini nantinya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2008
DAFTAR ISI
3. Hipotesis Penelitian……….…………. 2
4. Kegunaan Penelitian……….……… 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Hama-hama Penting Tembakau Deli……….…………... 3
2. Klasifikasi dan Biologi Agensia Hayati………..………….. 4
2.1.Beauveria bassiana………..……… 4
2.2.Paecelomyces fumoso roseus………..………. 5
2.3.Bacillus thuringiensis………..………. 6
3. Mekanisme Kerja dan Gejala Infeksi Agensia Hayati………….………. 7
3.1.Beauveria bassiana……….………. 7
3.2.Paecelomyces fumoso roseus……….……….. 8
3.3.Bacillus thuringiensis……….……….. 9
4. Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Entomopatogen………..10
4.1.Beauveria bassiana……….10
4.2.Paecelomyces fumoso roseus………..10
4.3.Bacillus thuringiensis………. 11
III. BAHAN DAN METODE 1. Waktu dan Tempat Penelitian……….……….12
2. Bahan dan Alat……….………12
3. Metode Penelitian………....12
4.1.Persiapan Pembibitan……….……….14
4.2.Penanaman……….……….15
4.3.Penyediaan Agensia Hayati………16
4.4.Aplikasi Agensia Hayati……….16
5. Parameter Pengamatan……….17
5.1.Intensitas Serangan……… 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil……….18
1.1Intensitas Serangan Helicoverpa armigera………..18
1.2Intensitas serangan Valanga nigricornis………..20
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan………..24
2. Saran………24
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Hal
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Hal
1. Bagan penelitian………...26
2. Bagan tanaman sampel...………...……..27
3. Deskripsi tanaman Tembakau varietas F1-45………28
4. Intensitas Serangan Helicoverpa armigera Pada Pengamatan I………....29
5. Intensitas Serangan Helicoverpa armigera Pada Pengamatan II………...31
6. Intensitas Serangan Helicoverpa armigera Pada Pengamatan III……….33
7. Intensitas Serangan Helicoverpa armigera Pada Pengamatan IV……….35
8. Intensitas Serangan Helicoverpa armigera Pada Pengamatan V………..35
9. Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan I………37
10. Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan II………..39
11. Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan III……….41
12. Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan IV……….43
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tembakau pertama kali di budidayakan di daerah Deli oleh seorang pelopor Belanda
bernama Jacobus Nienhuys pada tahun 1864. Dalam tahun-tahun berikutnya, tembakau Deli menunjukkan prospek yang bagus. Tembakau Deli atau di Eropa dikenal sebagai Tembakau Sumatera merupakan tembakau kelas elit karena mempunyai keistimewaan dalam hal rasa,
aroma, elastisitas dan warna abu putih serta daya baker yang merata, sehingga sangat baik untuk digunakan sebagai pembalut cerutu. Keistimewaan yang dimiliki tersebut membuat
tembakau Deli tidak dapat digantikan posisinya dengan tembakau jenis lainnya ( Erwin dan Suyani N., 2000 ).
Salah satu hama yang paling merugikan tanaman tembakau adalah ulat pupus
(Helicoverpa armigera). Serangga ini merusak tanaman pada stadia ulat/larva, memakan daun sehingga daun menjadi berlubang-lubang dan tidak utuh. Oleh karena itu maka
Helicoverpa armigera merupakan hama yang serius di pertanaman tembakau ( Erwin, 2000 ).
Salah satu upaya untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan
insektisida kimia adalah dengan menggunakan insektisida biologis dengan bahan aktif bakteri yang dapat mematikan serangga hama. Bacillus thuringiensis adalah bahan aktif dari
insektisida biologi thuricide. Insektisida ini dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian secara terpadu karena efektif terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap parasitoid dan predator ( Nurdin, Dani dan Kiman,
Untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman ( OPT ) maka saat ini banyak agensia hayati yang digunakan dalam
pengendalian hayati berupa virus, jamur, bakteri, nematode dan sebagainya. Untuk itu penulis tertarik untuk membandingkan berbagai macam Agensia hayati yang saat ini sedang
digalakkan untuk mengendalikan hama perusak daun.
2. Tujuan Penelitian
Untuk membandingkan kemampuan Agensia Hayati Beauveria bassiana, Paecelomyces fumoso roseus, dan Bacillus thuringiensis dalam usaha penekanan tingkat kerusakan yang timbul akibat dari serangan hama-hama daun pada pertanaman Tembakau Deli.
3. Hipotesis Penelitian
- Diduga Beauveria bassiana, Paecilomyces, dan Bacillus thuringiensis mampu mengendalikan hama perusak daun tembakau Deli.
- Beauveria bassiana diduga memiliki kemampuan yang paling baik dalam mengendalikan hama-hama daun pada tanaman Tembakau Deli.
4. Kegunaan Penelitian
- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
- Sebagai salah satu bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan dan
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Hama Daun Tembakau Deli
Helicoverpa spp. (Lepidoptera, Noctuidae).
Gejala yang ditimbulkan adalah daun tembakau berlubang-lubang karena ulat memakan pupus dan daun atas. Pada saat memakan pupus kerusakan tidak nampak, tetapi setelah daun membesar, lubang daun terlihat jelas. Selain memakan daun, ulat juga
menggerek kapsul (buah) dan memakan biji (Subiyakto, 1999).
Selain tanaman tembakau, tanaman inang yang lain adalah kapas, jagung, tomat,
kedelai, buncis, gude, mawar, canthel, lobak, asparagus, dan jarak.
Hama ini biasanya meletakkan telurnya secara tunggal di permukaan bawah daun, telur berwarna krem atau kuning, bentuk oval, panjang berkisar 0,5 mm dan lebar 0,4 mm.
Telur menetas 3-8 hari. Ulat muda berwarna putih kekuningan, kepala berwarna hitam. Ulat yang sudah besar warnanya bervariasi, hitam, hijau kekuningan, hijau, hijau kecoklatan, atau
campuran dari warna-warna tersebut. Stadia ulat berlangsung 2-3 minggu. Pupa berada dalam tanah, berwarna coklat kekuningan, coklat kemerahan selanjutnya berwarna coklat gelap. Ukuran pupa Helicoverpa armigera lebih besar daripada pupa H. assulta. Panjang
pupa 15-22 mm dan lebarnya 4-6 mm. Stadia pupa lamanya10-14 hari. Ngengat jantan berwarna cerah. Lama hidup ngengat 2-15 hari dengan panjang 18 mm dan rentangan sayap
Valanga nigricornis Krauss. (Orthoptera, Acrididae).
Warna belalang kayu abu-abu kecoklatan, paha berwarna coklat dan betis kemerahan
atau ungu. Panjang tubuh betina 58-71mm, sedangkan jantan 49-63mm. tempat berkembang biak belalang kayu yang utama adalah hutan jati dan apabila tidak tersedia daun jati maka ia
akan berpindah ketanaman lain disekelilingnya (Rukmana, 1997).
Gejala serangan dari belalang kayu pada tanaman adalah termakannya daun yang biasanya dimulai dari bagian tepi daun menuju kedalam. Pada serangan berat dari serangga
ini dapat menyebabkan habisnya daun dan menyisakan tulang daun (Rukmana, 1997). Serangga dewasa berukuran panjang 49 – 71 mm dengan warna kecoklatan
sampai hijau kekuningan. Betina dewasa memiliki alat peletak telur atau yang disebut ovipositor. Telur dimasukkan kedalam tanah sedalam 5 –8 cm. telur tersebut dibungkus engan massa busa yang kemudian mengering dan memadat, berwarna coklat dengan panjang
2 –3 cm. setelah 5 – 7,5 bulan telur menetas, biasanya pada awal musim hujan (Oktober – November) (Sudarmo, 2000).
2. Klasifikasi dan Biologi Agensia Hayati
2.1 Beauveria bassiana.
Beauveria bassiana adalah jamur yang hidup di dalam tanah dan terdapat di seluruh dunia, dapat menyebabkan penyakit terhadap berjenis serangga karena bertindak sebagai
Italia Agostino bassi sebagai penyebab penyakit Muscardine pada ulat sutera (Anonim, 2007).
B. bassiana adalah jenis jamur yang tergolong dalam kelas Deuteromycetes (jamur tak sempurna). Jamur B. bassiana mempunyai percabangan yang pendek, dalam 32 jam
tabung kecambah dapat mencapai panjang 80 mikron. Bila konidia terbentuk banyak, konidia tersusun rapat pada konidiofor, hifa utama mempunyai percabangan pendek kesamping dan sering kali berupa sudut siku-siku terhadap poros utama. Strain-strain B. bassiana pada
periode yang sangat lama telah diketahui mampu mempertahankan virulensinya. Pemindahan yang sering dapat menurunkan virulensinya, untuk itu lebih baik menyimpan biakan tunggal
perioda yang lama daripada memindahkan berulang-ulang jika ingin mendapatkan jamur yang mempunyai virulensi yang tinggi (Sweetman, 1963).
Gbr. 1. Beauveria bassiana Sumber : Wikipedia
2.2. Paecilomyces fumoso roseus.
Paecilomyces adalah jamur yang bersifat kosmopolitan yang hidup di tanah, sisa tanaman yang telah membusuk, dan produk makanan. Beberapa jenis dari Paecilomyces dapat diisolasi dari serangga. Paecilomyces tidak hanya merupakan pencemar, tetapi dapat
juga menyebabkan infeksi/peradangan pada binatang dan manusia (Anonim, 2007).
bercabang sangat pendek. Konidiofor pada saat tumbuh panjangnya 7-15 mikron dan bergaris tengah 1,5-2 mikron. Koloni jamur dalam media PDA tumbuh lebih cepat yaitu 27-29 mm
dalam 7 hari dan 55-80 mm dalam 14 hari. Perkembangan jamur ini tidak terjadi pada suhu 80C, sangat lambat dan jarang pada suhu 100C– 140C. perkembangannya juga tidak terjadi
pada suhu 300C atau lebih dari suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur 23–250C (Brown and Smith, 1975).
Gbr 2. Paecilomyces fumoso roseus Sumber :
2.3. Bacillus thuringiensis
B. thuringiensis adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Sejak diketahuinya potensi dari protein kristal Bt sebagai agen pengendali
serangga, berbagai isolat Bt dengan berbagai jenis protein kristal yang dikandungnya telah teridentifikasi. Sampai saat ini telah diidentifikasi protein kristal yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura.
Kebanyakan dari protein kristal tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga yang bukan sasaran dan mudah terurai
B. thuringiensis menghasilkan toksin yang memiliki daya racun terhadap serangga hama tertentu. Spesifitas terhadap serangga tertentu dipengaruhi oleh komponen kimiawi
toksin sehingga kisaran serangga sasarannya sempit (Lay,1993).
Toksin yang dihasilkan dikenal sebagai delta toksin yangterdapat didalam protein
kristal serta tidak bersifat racun terhadap manusia dan vertebrata lainnya (Heimpel, 1967 dalam Lay 1993).
3. Mekanisme Kerja dan Gejala Infeksi Agens Hayati
3.1. B. bassiana
B. bassiana adalah jamur yang menginfeksi dengan menimbulkan warna putih pada serangga yang diserangnya. Ketika spora pada jamur ini melekat dengan bagian kutikula serangga yang mdah terkena, jamur ini berkecambah dan tumbuh secara langsung dari kutikula sampai bagian dalam dari inang. Jamur ini berkembang biak dalam tubuh serangga,
menghasilkan toksin dan menginfeksi saluran nutrisi, setelah itu serangga mati. Oleh karena itu cara menginfeksi patogen ini tidak sama dengan bakteri. B. bassiana dan patogen jamur
lainnya menginfeksi serangga dengan melakukan kontak dan tidak membutuhkan yang lainnya karena sudah melakukan infeksi (Anonim, 2006b).
Gejala serangga yang terinfeksi B. bassiana umumnya menunjukkan gejala tidak aktif
bergerak. Gejala ini terlihat 3-10 hari setelah infeksi mula-mula hifa muncul pada permukaan tubuh yang lunak atau pada antar segmen. Akhirnya seluruh tubuh ditutupi oleh serbuk
berwarna putih seperti kapur (Junianto, 1996).
Jamur B. bassiana mempunyai percabangan yang pendek. Dalam 32 jam tabung kecambah dapat mencapai panjang 80 mikron. Bila konidia terbentuk banyak, konidia
sering kali berupa sudut siku-siku terhadap poros utama. Strain-strain B. bassiana pada periode yang sangat lemah diketahui mampu mempertahankan virulensinya
(Sweetman,1963).
Gbr 3. Gejala infeksi B. bassiana pada ulat Sumber : Wikipedia
3.2. P. fumoso roseus
Infeksi P. fumoso roseus pada serangga dapat melalui kontak atau termakan masuk ke
lambung. Melalui kontak, konidia jamur yang menempel pada permukaan kulit akan berkecambah dan melakukan penetrasi kedalam tubuh inangnya. Didalam tubuh serangga jamur akan memperbanyak diri, hifa jamur berkembang dengan mengisi seluruh jaringan dan
akhirnya menyebabkan kematian pada serangga inangnya.
Serangga yang terinfeksi menunjukkan gejala gerakannya lambat, aktifitas makannya
berkurang dan akhirnya tidak mau makan. Serangga yang terinfeksi akhirnya mati dengan tubuh yang mengeras dan dalam keadaan lembab sebagian atau seluruh permukaan tubuh serangga akan diselimuti permukaan jamur yang berwarna putih yang akan berubah menjadi
kuning muda dan tampak seperti bertepung yang merupakan penampakan dari konidia yang terbentuk (Burgers, 1981).
Mekanisme penetrasi dimulai dengan pertumbuhan spora kutikula, selanjutnya hifa mengeluarkan enzim khitinase, lipase dan protease yang membantu dalam menguraikan kutikula serangga. Penetrasi kutikula berlangsung selama 12-24 jam di dalam epidermis.
peredarannya lambat dan akhirnya berhenti. Pada saat ini larva mengalami paralisis , tubuh melemah dan akhirnya mati (Moore and Landecker, 1996).
3.3. B. thuringiensis
B. thuringiensis telah diproduksi dengan nama dagang Dipel WP, bakteri ini sebagai bahan aktifnya. Insektisida biologi ini bekerja sebagai racun lambung, berbentuk tepung dan dapat disuspensikan dengan air yang berwarna coklat kekuning-kuningan dan bersifat selektif
untuk mengendalikan hama pada tanaman kubis dan tomat terutama jenis hama ulat (Indrago, 1991).
Cara kerja Dipel WP yaitu hama ulat yang memakan daun/bagian tanaman yang mengandung Dipel WP akan segera terganggu pencernaannya dan berhenti makan. Dalam waktu 1-3 hari kemudian ulat akan mati (Indrago, 1991).
Gejala luar infeksi B. thuringiensis pada Lepidoptera adalah penghilangan selera makan dan mobilitas larva berkurang dengan cepat setelh aplikasi. Larva kelihtan kurang
tanggap terhadap sentuhan. Setelah larva mati, larva kelihatan mengkerut dan perubahan warna pun semakin jelas terlihat. Tubuh serangga yang mati menjadi lunak dan mengandung cairan. Kadang-kadang terjadi penghancuran integumen (dinding tubuh serangga bagian luar)
Gbr 4.
Sumber : Wikipedia
4. Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Entomopatogen
4.1. B. bassiana
Efektivitas cendawan B. bassiana tersebut sangat tergantung pada keadaan patogen, inang dan faktor lingkungan yang selalu bervariasi. Hasilnya akan memuaskan bila
epizootiknya terjadi pada populasi serangga yang tinggi. Penularan cendawan dapat melalui saluran eksternal, integumen dan penularan oleh serangga betina melalui telur atau pda permukaan telur dan infeksi cendawan ini sangat dipengaruhi oleh sinar matahari, suhu,
kelembapan, dan derajat keasaman (pH) (Saranga dan Daud, 1993). 4.2. P. fumoso roseus
Terjadinya infeksi jamur P. fumoso roseus secara luas tergantung kepada besarnya populasidan kondisi iklim yang ideal (Poinar dan Thomas, 1984).
Di daerah tropis diketahui bahwa kelangsungan hidup konidia di permukaan tidak
sampai 100% dalam beberapa hari. Konidia P. fumoso roseus pada umumnya akan menjadi rusak oleh perlakuan sinar matahari langsung, halflifenya 1-2 hari akan menjadi rusak sama
4.3. B. thuringensis
B. thuringensis menjadi tidak aktif bila diespose langsung ke sinar matahari. Di lapangan, cahaya merupakan faktor merugikan bagi spora bakteri ini, lama penyinaran 1 menit pengaruhnya berkurang 12 persen, 2 menit berkurang 50 persen dan 10 menit
berkurang 99,9 persen (Falcon 1971 dalam Astuti, 1993).
Temperatur, berpengaruh terhadap spora bakteri, serangga dan perkembangannya. Spora B. thuringensis jika dibiarkan pada temperatur 50ºC kemampuan hidup spora berkurang dan 50% spora akan rusak.
Seleksi bakteri, efisiensi bakteri untuk mengendalikan hama dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berhubungan dengan species atau varietas bakteri yang dipilih. Seleksi bakteri adalah kekhususan inang, artiny bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja (Bugerjen dan Martouret, 1971 dalam Astuti, 1993).
B. thuringensis mempunyai sifat selektif tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak meninggalkan residu
III. BAHAN DAN METODE
1. Tempat dan waktu percobaan
Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan November 2007 di kebun percobaan BPTD Sampali. Dengan ketinggian tempat + 25 meter dpl.
2. Bahan dan Alat
Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Beauveria bassiana, Paecilomyces fumoso roseus, Bacillus thuringiensis sebagai bahan yang diuji, air, top soil, bibit tanaman tembakau varietas F1-45, pupuk mixed (NPK 12,5 : 7,5 : 10), KNO3, kompos, dan bahan-bahan pendukung lainnya.
Adapun alat yang digunakan adalah hand sprayer sebagai alat penyemprot, meteran, cangkul, tali plastik, plang nama, label nama, alat tulis, gembor, pacak dan alat-alat pendukung lainnya.
3. Metode
Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok ( RAK ) non faktorial dengan 9 perlakuan sebagai berikut :
K0 = kontrol
B1 = Beauveria bassiana dengan konsentrasi 100 gr/liter
B2 = Beauveria bassiana dengan konsentrasi 150 gr/liter
B3 = Beauveria bassiana dengan konsentrasi 200 gr/liter
P1 = Paecilomyces fumoso roseus dengan konsentrasi 100 gr/liter
P2 = Paecilomyces fumoso roseus dengan konsentrasi 150 gr/liter
P3 = Paecilomyces fumoso roseus dengan konsentrasi 200 gr/liter
T1 = Bacillus thuringiensis dengan konsentrasi 10 gr/liter
T2 = Bacillus thuringiensis dengan konsentrasi 15 gr/liter
Jumlah perlakuan ( t ) = 10 (t-1) (r–1) ≥ 15
(10-1) ( r – 1 ) ≥ 15 9r – 9 ≥ 15 9r ≥ 15 + 9 r ≥ 24 / 9 r ≥ 2,66 r ≈ 3 r ( ulangan ) = 3
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Setiap perlakuan terdiri dari 16 tanaman sehingga didapat jumlah tanaman 10 X 3 X 16 = 480 tanaman
Jumlah Plot : 10 x 3 = 30 plot Jarak antar plot : 50 cm
Jarak antar ulangan : 1 m Paret keliling : 30 cm
Ukuran plot : 210 cm x 195 cm
Jarak tanam : 50 X 45 cm Jumlah tanaman per plot : 16 tanaman
Jumlah tanaman sampel : 4 tanaman
Model linier yang digunakan :
Yij = µ + 1 + 1 + ij, i = 1, 2, ……..t
j = 1, 2, ……..b
Dimana : Yij = Respon atau nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum 1 = Pengaruh perlakuan ke-i
j = Pengaruh blok ke-j
ij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
t = Jumlah perlakuan
b = Jumlah kelompok / blok (Sastrosupadi, 2000).
4. Pelaksanaan Penelitian
4.1. Persiapan Pembibitan
Persemaian pembibitan dibuat bedengan dengan ukuran 1 m × 6 m dengan arah Utara-Selatan. Naungan pembibitan dibuat dengan arah Timur-Barat dan tinggi tiang sebelah Timur 80 cm dan sebelah Barat 60 cm.
Tanah yang digunakan dalam pembibitan yaitu tanah humus (top soil), pasir dan kompos terlebih dahulu disterilkan dengan cara memasak atau mengukusnya dalam drum
sampai mencapai 100° C, kemudian didinginkan. Setelah itu dicampurkan dengan perbandingan 5 : 3 : 2 top soil, pasir dan kompos kemudian diaduk sampai merata.
Permukaan bedengan dialasi dengan plastik lalu tanah yang telah dicampur tadi
lebih kurang 72 jam ditabur secara merata pada bedengan pembibitan dengan mencampurnya dengan air di dalam gembor, lalu pembibitan tersebut ditutupi dengan alang-alang. Selama 15
hari di pembibitan dilakukan penyiraman setiap pagi dan sore hari tergantung pada keadaan cuaca. Beberapa hari sebelum bibit dicabut untuk dipindahkan ke plot pembibitan, naungan
dibuka agar bibit dilatih untuk tahan terhadap terik matahari.
Plat pembibitan tersebut diisi dengan tanah. Bibit yang berumur 15 hari tadi ditanam pada plot pembibitan, juga dilakukan penyiraman pada pagi dan sore hari selama 30 hari di
plot pembibitan. Setelah 30 hari kemudian dipindahkan ke lapangan.
4.2. Penanaman
Setelah areal pertanaman selesai diolah dan bibit telah berumur 30 hari maka bibit tersebut dipindahkan ke lapangan. Untuk membuat barisan tanaman yang teratur digunakan
tali plastik yang telah diberi tanda sesuai dengan jarak tanam yang digunakan yaitu 45 cm × 50 cm. Plot dibuat berukuran 210 cm x 195 cm dengan lebar parit 30cm. Bibit dicabut
langsung dari permukaan tanah, dan waktu penanaman tanahnya ditekan sedikit agar tegak pertumbuhannya dan tidak mudah rebah.
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan setiap hari, yang dilakukan setiap pagi dan sore hari ataupun
Penyiangan dilakukan satu kali dalam dua minggu atau tergantung pada keadaan gulma di lapangan. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan cangkul atau dicabut secara
langsung.
Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pupuk ZA 21% 4 gram dan pupuk ZK 50% 6
gram per satu pokok. Pemberian pertama dilakukan 15 hari setelah tanam dan pemberian kedua 30 hari setelah tanam, sedang pupuk TSP 46% 6 gram diberikan sekaligus pada saat pertanaman dilakukan.
4.3. Penyediaan Agensia Hayati
Jamur B. bassiana dan P. fumoso roseus didapat dari BP2TP, berbentuk serbuk dan siap diaplikasikan. Jamur tidak dibiakkan lagi untuk mendapatkan patogenisitas yang optimal. Bacillus thuringiensis var. Kurstaki diperoleh dari produk biologi (Dipel). Proses inokulasi dilakukan langsung ke tanaman 10 hari setelah tanam.
Seluruh Agensia hayati yang digunakan diencerkan terlebih dahulu kedalam air
secukupnya kemudian disaring dengan kain muslin dan siap diaplikasikan.
4.4. Aplikasi Agensia Hayati
Aplikasi Agensia hayati diaplikasikan langsung ke tanaman 10 hari setelah tanam. Takaran agensia hayati per tanaman dihitung menurut kebutuhan air tanaman. Aplikasi
5. Parameter pengamatan
5.1. Intensitas Serangan
Pengamatan Intensitas Serangan Hama dimulai dari aplikasi pertama hingga 50 hari setelah tanam dengan interval waktu pengamatan 10 hari. Intensitas Serangan dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut : I = ∑(n x v) x 100% Z x N
Keterangan :
I = Intensitas Serangan
n = Jumlah daun yang diamati dari setiap kategori kerusakan
v = Nilai skala dari setiap kategori serangan
Z = Nilai skala dari setiap kategori kerusakan yang tertinggi N = Jumlah daun yang diamati
Skala untuk setiap kategori kerusakan : 0 : Tidak terdapat kerusakan pada daun
1 : Terdapat kerusakan lebih dari 0% - 20% 3 : Terdapat kerusakan lebih dari 20% - 40% 5 : Terdapat kerusakan lebih dari 40% - 60%
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Adapun hasil penelitian uji efikasi beberapa agensia hayati terhadap hama perusak
daun tembakau Deli di lapangan adalah sebagai berikut :
1. Intensitas Serangan
1.1 Hama Helicoverpa armigera
Hasil pengmatan Intensitas serangan Helicoverpa armigera mulai dari pengamatan I, II, III, IV dan V dapat dilihat pada lampiran 4.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diuji memberikan pengaruh
yang nyata dan sangat nyata terhadap populasi larva H. armigera kecuali pada pengamatan I (10 hst) memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena pada pengamatan
I baru dilakukan aplikasi atau penyemprotan agensia terhadap tanaman.
Rataan Intensitas serangan Helicoverpa armigera mulai dari pengamatan I, II, III, IV, dan V dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rataan Intensitas Serangan (%) Helicoverpa armigera pada pengamatan I,II,
III, IV, dan V.
Dipel WP yang berupa racun lambung apabila hama ulat yang memakan bagian tanaman yang mengandung Dipel WP akan segera terganggu pencernaannya dan dapat berhenti
makan (Indrago, 1991).
Begitu pula pada perlakuan Beauveria bassiana (B3). Intensitas serangan hama
relative kecil. Hal ini disebabkan karena cara kerja jamur B. bassiana yang dapat menginfeksi secara langsung ulat yang memakan ataupun terkena jamur ini melalui kutikula dan menyebabkan ulat tidak aktif bergerak sehingga kegiatan makan juga terhambat
(Junianto, 1996).
Pada perlakuan Bacillus thuringiensis terlihat kecendrungan rendahnya Intensitas serangan seiring dengan meningkatnya konsentrasi insektisida. Demikian juga halnya dengan Beauveria bassiana. Hal ini dapat dilihat padaseluruh waktu pengamatan menunjukkan pengaruh yang nyata. Semakin tinggi konsentrasi insektisida yang diberikan maka jumlah
larva yang terinfeksi semakin banyak.
Demikian menurut Huffaker dan Messenger (1989), bahwa dengan pemberian
inokulum secara sengaja, besarnya persentase serangga yang terkena pengaruhnya meningkat bersama dengan meningkatnya dosis.
Untuk lebih jelasnya hasil tersebut dapat dilihat pada histogram gambar
0 5 10 15 20 25
K0 T1 T2 T3 P1 P2 P3 B1 B2 B3
Intensitas serangan
Pada histogram diatas terlihat bahwa populasi larva semakin rendah seiring dengan meningkatnya konsentrasi insektisida yang diberikan ke tanaman tembakau.
1.2. Hama Valanga nigricornis
Pengamatan Intensitas serangan Valanga nigricornis dapat dilihat pada lampiran 9. Hasil sidikragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diuji memberikan pengaruh yang nyata terhadap intensitas serangan Valanga nigricornis kecuali pada pengamatan I
memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena pada pengamatan I baru dilakukan penyemprotan agensia.
Rataan intensitas serangan Valanga nigricornis pada pengamatan I, II, III, IV, dan V dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Rataan Intensitas serangan (%) Valanga nigricornis pada pengamatan I, II,
III, IV, dan V.
Keterangan : Perlakuan dengan notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan
Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol K0 memiliki intensitas serangan
mengendalikan hama Valanga sp. Adapun Belalang yang terinfeksi jamur ini akan menunjukkan gejala berupa terdapatnya misellium jamur berwarna putih dipermukaan tubuh.
Jamur tumbuh didalam tubuh serangga yang kemudian akan membunuh serangga (Anonimus, 2007).
Infeksi Beauveria bassiana pada belalang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gbr. 5 : Belalang mati oleh B. bassiana
Pada perlakuan Paecilomyces, perlakuan memang menunjukkan pengaruh nyata pada intensitas serangan Valanga nigricornis, tetapi relatif masih kurang efektif begitu juga pada perlakuan dengan Bacillus thuringiensis dibandingkan dengan perlakuan Beauveria bassiana
seperti terlihat pada tabel.
Tetapi, dalam intensitas serangan Hama belalang dapat dilihat bahwa tidak satupun
dari perlakuan yang sangat efektif untuk mengendalikan hama ini seperti terlihat pada tabel, bahwa intensitas serangan terkecil tidak selalu pada perlakuan yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh letak lahan yang dikelilingi oleh pertanaman jati yang mana
adalah tempat hidup utama belalang kayu. Mobilitas belalang kayu serta curah hujan yang relatif tinggi juga sangat berpengaruh terhadap tingginya intensitas serangan.
20g/l air) intensitas serangan Valanga nigricornis lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan T2 (Dipel WP 15g/l air) dan T1 (Dipel WP 10g/l air).
Untuk lebih jelasnya besarnya intensitas serangan Valanga nigricornis pada 50 hari setelah tanam (pengamatan V) dapat dilihat pada histogram gambar 6.
0 5 10 15 20 25 30
K0 T1 T2 T3 P1 P2 P3 B1 B2 B3
Intensitas serangan
Gbr. 6. Histogram Intensitas serangan Valanga nigricornis pada pengamatan V
Histogram pada gbr 6 menunjukkan bahwa intensitas serangan T3 terendah jika dibandingkan dengan T2 dan T1. Demikian pula P3 lebih rendah jika dibandingkan dengan
P1 dan P2. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan B3 yang lebih rendah jika dibandingkan dengan B1 dan B2. Hal ini menunjukkan bahwa B3 (Beauveria bassiana 200g/l air) adalah konsentrasi yang tepat untuk menekan serangan hama Valanga nigricornis,
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Beauveria bassiana, Paecilomyces fumoso roseus, dan Bacillus thuringiensis dapat menekan tingkat kerusakan yang timbul akibat dari serangan hama-hama daun pada
pertanaman Tembakau Deli.
2. Intensitas serangan hama Helicoverpa armigera tertinggi terdapat pada perlakuan K0 sebesar 24.85, menyusul P1= 14.66, B1=14.62, T1=14.37, P2=13.66, P3=13.4,
B2=13.00, T2=11.74, B3=11.66, dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan T3 sebesar 11.55.
3. Intensitas serangan hama Valanga nigricornis tertinggi terdapat pada perlakuan K0 sebesar 27.40, menyusul T1=19.22, P1=18.18, T3=17.92, P2=17.73, P3=17.70, T2=17.44, B1=17.37, B2=17.36, dan intensitas serangan terendah terdapat pada
perlakuan B3 sebesar 17.03.
4. Pemberian Agens Bacillus thuringiensis lebih baik dalam pengendalian hama ulat.
5. Agensia Beauveria bassiana memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menekan serangan Valanga nigricornis dibanding agensia lainnya.
6. Pemberian agens Paecilomyces fumoso roseus dapat menekan tingkat intensitas
serangan Helicoverpa armigera dan Valanga nigricornis.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut penggunaan Beauveria bassiana, Bacillus thuringiensis, dan Paecilomyces pada tanaman tembakau Deli untuk dapat
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. Capsid Bugs. University Collage London, Clarendon Press, Oxford. http://www.rosefinder.com/plantcare/capsidbug.html (7 Maret 2000)
______, 2006a, Bacillus thuringensis (bt
tanggal 3 April 2006.
______, 2006b, Integrated Pest Management Bulletin, Microbial Insectiside: Beauveria
bassiana. . Akses tanggal
3 April 2006.
Austi, R. 1993. Uji Pathogenitas Bacillus thuringensis terhadap Hymenia recurvalis F. Fakultas Pertanian, Universitas Medan Area.
Brown A.H.I and Smith, 1975. The Genus Paecilomyces Bainer and Its Perfect Stage Byssochamys Westling. Trans Brit. Mycol. Hal 40: 17-89.
Burgers H.D. and Tehsey, 1981. Mikrobial Control of Pest Disease. Academis Press. Yogyakarta. Hal 815.
Deoust R.A. and R.M. Pereira, 1986. Stability of Entomopatogenic of Fungi Beauveria bassiana and Metarrhizium anisopliae on Bettle Attacted to tubers and Cowpec Poliage in Brazil. Environ. Entomol. Hal 15.
Erwin dan Suryani N. 2000, Perlindungan Tanaman Tembakau Deli, Balai Penelitian Tembakau Deli, PTPN-II (Persero), Tanjung Morawa, Medan.
Erwin, 2000. Hama dan Penyakit Tembakau Deli. Balai Penelitian Tembakau Deli,PTPN-II (Persero), Tanjung Morawa, Medan.
Indrago Inc. 1991. Keterangan Singkat PT. Indrago Inc. (PT. Abbot), Jakarta.
Junianto Y.D., 1996. Pengenalan Agens Pengendalian Hayati dan Pemanfaatannya Pada Tanaman Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
Lay B.W. 1993. Serelogical Distribution of Bacillus thuringensis in Indonesian Jurnal of Tropical Agriculture. Bogor Agricultural University. Vol 3(2) hal. 29.
Messenger P.S. and Huffaker C.B. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Penerjemah Suprapto Mangundiharjo Kasumbogo Untung. Universitas Indonesia.
Nurdin F., J. Ghani dan Z. B. Kiman, 1993. Pengaruh beberapa konsentrasi Insektisida Biologi Thuricide HP Terhadap Mortalitas Ulat Grayak ( Spodoptera litura ) Pada Tanaman Kedelai. Prosiding Simposium Patologi Serangga I, Yogyakarta.
Poinar, G.O.Jr dan G.M. Thomas, 1984. Laboratory Guide to Natural Enemies in North America.
Rukmana, R. dan Sugandi, U., 1997, Hama tanaman dan teknik pengendalian. Kanisius, Yogyakarta.
Saranga A.P. dan I.D. Daud, 1993. Prospek Pemanfaatan Patogen Serangga Untuk Pengendalian Serangga Hama di Sulawesi Selatan. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta. Hal 86.
Sweetman, 1963. The Principles of Biological Control W.M.C. Brown Company Dubuque. Steinhaus E.A. 1951. Posible Use on B. thueingensis berliner As And In Aid in The
Biological Control of Alfalfa Caterpilar. Hilgardia. Hal 359-381.
Lampiran 2
BAGAN TANAMAN SAMPEL
185 cm
U
250 cm
S
Keterangan :
: Tanaman tembakau
: Tanaman sampel
25 cm
45 cm 50 cm
100 cm
Lampiran 3
DESKRIPSI TANAMAN TEMBAKAU DELI (Nicotiana tabacum L.)
Varietas : F1-45
Bentuk permukaan daun : Ovalis/rata
Urat daun : Halus Tepi daun : Rata
Warna daun : Hijau terang
Panjang daun pasir (cm) : 38,6 Panjang daun kaki I (cm) : 48,23
Panjang daun kaki II (cm) : 19,12 Lebar daun pasir (cm) : 22,43 Lebar daun kaki I (cm) : 28,61
Lebar daun kaki II (cm) : 28,92 Tebal daun pasir (cm) : 0,38
Tebal daun kaki I (cm) : 0,29 Tebal daun kaki II (cm) : 0,28 Tinggi tanaman (cm) : 215
Diameter batang (cm) : 2,3 Intermedia (cm) : 7,5
Jumlah daun perpokok (hl) : 42 Jumlah daun produksi (hl) : 26 Mulai tanaman berbunga (hr) : 55-60
Lampiran 4
Intensitas Serangan Helicoverpa armigera Pada Pengamatan I Ulangan Total 19.96 20.52 22.17 62.65
Rataan 2.00 2.05 2.22 2.09
Lampiran 5
Intensitas Serangan Helicoverpa armigera pada pengamatan II Ulangan
Uji Jarak Duncan Sy 0.44
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR 0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 1.31 1.38 1.42 1.44 1.46 1.48 1.49 1.50 1.50 5.59 Rataan 2.40 2.77 2.85 2.96 3.40 3.44 3.70 3.77 4.73 5.59 B3 T3 T2 P3 P2 B2 B1 T1 P1 K0
a
b
Lampiran 6
Intensitas Serangan Helicoverpa armigera pada pengamatan III Ulangan
Uji Jarak Duncan Sy 0.46
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR
0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR
0.05 1.36 1.43 1.47 1.50 1.52 1.53 1.54 1.55 1.56 11.55 Rataan 4.81 4.89 5.14 5.22 5.74 6.11 6.22 6.29 8.14 11.55 T3 T2 B2 B3 P2 T1 P3 B1 P1 K 0
.A
B
Lampiran 7
Intensitas Serangan Helicoverpa armigera pada pengamatan IV Ulangan Rataan 11.07 9.97 10.93 10.66
Uji Jarak Duncan
Sy 0.59
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR 0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 1.76 1.85 1.90 1.94 1.97 1.99 2.00 2.01 2.02 17.57 Rataan 7.92 8.33 8.37 8.99 10.11 10.48 11.33 11.51 11.96 17.57
T3 T2 B3 B2 P3 P2 P1 B1 T1 K0
.A
B
C
D
E
F
Lampiran 8
Intensitas Serangan Helicoverpa armigera pada pengamatan V Ulangan Total 142.74 151.41 136.39 430.54
Rataan 14.27 15.14 13.64 14.35
Uji Jarak Duncan Sy 0.63
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR 0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR 0.05 1.87 1.96 2.02 2.05 2.09 2.10 2.12 2.13 2.14 24.85 Rataan 11.55 11.66 11.74 13 13.4 13.66 14.37 14.62 14.66 24.85
T3 B3 T2 B2 P3 P2 T1 B1 P1 K0
.A B
C
D
E
Lampiran 9
Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan I Ulangan
Intensitas Serangan V. nigricornis Transformasi Arcsin Vx Ulangan Ulangan 2 46.688843 23.344 1.0314 tn 3.55 6.01 Perlakuan 9 392.93729 43.660 1.9289 tn 2.46 3.60
Galat 18 407.42 22.634
Total 29 847.04
Lampiran 10
Intensitas serangan Valanga nigricornis pada pengamatan II Ulangan
Uji Jarak Duncan Sy 0.52
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR
0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR
0.05 1.55 1.63 1.68 1.71 1.73 1.75 1.76 1.77 1.78 Rataan 4.18 4.33 4.81 5.07 5.11 5.44 5.88 6.18 8.59 B1 T2 P2 P3 B2 T1 P1 B3 K0
T3
.a
b
Lampiran 11
Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan III Ulangan
Uji Jarak Duncan Sy 0.55
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR
0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR
0.05 1.62 1.70 1.75 1.78 1.81 1.83 1.84 1.85 1.86 13.48 Rataan 7.48 7.73 8.03 8.14 8.44 8.85 9.03 9.59 9.63 13.48 B3 P3 T3 B2 T2 P2 B1 T1 P1 K0
.a
b
c
Lampiran 12
Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan IV Ulangan
Uji Jarak Duncan Sy 0.58
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR
0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR
0.05 1.74 1.82 1.88 1.91 1.94 1.96 1.97 1.98 1.99 15.63 Rataan 8.14 8.26 8.44 8.66 8.99 9.44 9.62 10.18 10.40 15.63 B3 P3 T3 B2 T2 P2 B1 T1 P1 K0
.A
B
C
Lampiran 13
Intensitas serangan Valanga nigricornis Pada Pengamatan V Ulangan
Uji Jarak Duncan Sy 0.50
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10
SSR
0,05 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 LSR
0.05 1.48 1.55 1.60 1.63 1.65 1.67 1.68 1.69 1.70 27.40 Rataan 17.03 17.36 17.37 17.44 17.70 17.73 17.92 18.18 19.22 27.40
B3 B2 B1 T2 P3 P2 T3 P1 T1 K0
.A
B
Lampiran 19