• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI JAWA TENGAH 2004-2010

W A L U Y O

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan

Provinsi Jawa Tengah 2004-2010 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi

Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

WALUYO. The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010. Under direction of SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

The issues about the benefit of growth for the poor have been a priority in development policy. Poverty reduction can be achieved by income growth and distribution. The objectives of this study are to analize the relation between income percapita growth, unemployment and inequality on poverty reduction in Central of Java Province and to identify the determinant of those factors. Using Panel Two-Stage Least Square (2SLS), the results show that the income percapita growth is significantly influenced by the the rate of skilled labor growth, mean years schoolling of labor, the invesment, the quality of transportation and electrical infrastructure, and government spending on investment. The unemployment growth is positively influenced by the growth in skilled and unskilled labor supply and negatively by income percapita growth. The change in income inequality is positively influenced by income percapita growth, education inequality, price index and negatively affected by government spending on investment. The income percapita growth has the largest impact on poverty reduction, but its effectiveness reduced by the growth in unemployment and price index. In the period of 2004-2010, economic growth in Central of Java Province was not pro poor.

(6)
(7)

terhadap Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan tingkat kemiskinan. Setinggi apapun pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara selama distribusi pendapatan berjalan tidak merata maka tingkat kemiskinan akan tetap tinggi. Sebaliknya, meskipun distribusi pendapatan telah berjalan merata jika tidak didukung oleh pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka kemiskinan juga akan semakin meluas (Todaro dan Smith, 2006). Sudah menjadi konsensus bahwa pertumbuhan menjadi syarat yang diperlukan untuk menurunkan kemiskinan, namun belum menjadi syarat kecukupan. Pengentasan kemiskinan akan berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan mampu mendorong perluasan kesempatan kerja dan diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang akan membawa pada distribusi yang lebih merata (Bourguignon, 2004).

Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang memiliki permasalahan kemiskinan cukup kompleks. Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah selalu memiliki tingkat kemiskinan (HCI) di atas level nasional dan memiliki populasi penduduk miskin (HC) terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Hal ini menjadi sangat ironis karena secara administratif Jawa Tengah memiliki lokasi yang strategis, yakni berada di sentral Pulau Jawa yang dekat dengan pusat perekonomian dan kekuasaan sehingga menjadi modal yang baik bagi perkembangan perekonomian. Pencapaian target MDG’s dan RPJM sampai tahun 2011 masih jauh di atas sasaran. Kemiskinan menunjukkan tren menurun, namun penurunannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai. Permasalahan kemiskinan menjadi semakin kompleks karena alokasi sumber daya ekonomi, sumber daya manusia dan infrastruktur yang tidak tersebar secara merata antar kabupaten/kota, sehingga kinerja perekonomian dan pola kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, menganalisis dinamika pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah di Jawa Tengah. Kedua, menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Ketiga, menganalisis determinan dari pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.

(8)

kondisi awal dengan tren perubahannya. Ketimpangan pendapatan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren yang meningkat sehingga distribusi pendapatan semakin tidak merata. Kemiskinan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren yang menurun, meskipun terdapat beberapa daerah kota yang memiliki tren kemiskinan meningkat. Terdapat hubungan positif antara level pendapatan perkapita dan kemiskinan antar kabupaten/kota. Secara umum, manfaat hasil pertumbuhan selama periode 2004-2010 secara dominan dinikmati oleh 10% penduduk berpendapatan tertinggi, sehingga pertumbuhan selama periode tersebut belum bersifat pro poor.

Penelitian juga menghasilkan temuan determinan yang menjadi sumber pertumbuhan pendapatan perkapita terdiri dari pertumbuhan jumlah pekerja terampil, rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan jalan raya, perubahan stok kapita/investasi dan belanja pembangunan. Pertumbuhan jumlah penganggur dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan (SLTA ke atas dan SLTP ke bawah), sementara pertumbuhan pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif dalam menurunkan jumlah penganggur. Ketimpangan pendapatan antar penduduk memiliki hubungan yang searah dengan pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan indeks harga, tetapi tidak berhubungan searah dengan belanja pembangunan. Selama periode 2004-2010, pertumbuhan pendapatan perkapita menjadi determinan terpenting bagi penurunan jumlah penduduk miskin, namun efektivitasnya menjadi berkurang karena pertumbuhan juga membawa pada distribusi pendapatan yang semakin tidak merata. Kenaikan indeks harga dan jumlah penganggur juga turut mengurangi efektivitas pengentasan kemiskinan.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

(10)
(11)

PROVINSI JAWA TENGAH 2004-2010

W A L U Y O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama : Waluyo

NRP : H151104484

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Sri Hartoyo, M.S Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P.,M.Si Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

Ungkapan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas petunjuk, rahmat dan kekuatanNya penulis mampu menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Jawa Tengah 2004-2010”. Tesis ini menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Untaian terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Dr. Sri Hartoyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, bimbingan dan arahan selama masa penyusunan tesis serta Dr. Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku penguji wakil program studi atas kesediaannya menjadi penguji dan atas semua koreksi serta masukannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua dosen pengajar dan segenap pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan batch 3 Program Studi IE atas semua diskusinya serta rekan-rekan-rekan-rekan di BPS Provinsi D.I. Yogyakarta atas semua bantuannya.

Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Hj. Suminah (ibu), Tri Handayani (istri), Muhammad Shofwan Hanif (anak pertama), Syahran Zakiya Absyar (anak kedua) dan Rizal Aulia Hikmaturrahim (anak ketiga) beserta seluruh keluarga besar di Yogyakarta dan Temanggung atas doa, pengorbanan, dukungan dan kesabarannya.

Akhirnya, penulis berharap agar tesis ini menjadi bermanfaat dan mampu memberi kontribusi serta solusi terkait dengan persoalan kemiskinan di level regional Jawa Tengah maupun daerah lainnya.

Bogor, Agustus 2012 Penulis,

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Temanggung (Jawa Tengah) pada tanggal 4 Oktober 1977. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Nur Sarno (Alm) dan Hj. Suminah. Penulis menikah dengan Tri Handayani dan dikaruniai tiga orang putra, yakni Muhammad Shofwan Hanif, Syahran Zakiya Absyar dan Rizal Aulia Hikmaturrahim.

Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Mondoretno, Temanggung pada tahun 1990 dan selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 2 Temanggung pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Temanggung dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta Program Diploma III dan tamat pada tahun 1999. Sejak tahun 1999 penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta dan pada tahun 2002 penulis kembali melanjutkan pendidikan Program Diploma IV STIS, tamat pada tahun 2003 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST).

(18)
(19)

xiii DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 11

2.1.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pengukurannya ... 11

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 12

2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Harold Domar ... 12

2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Solow ... 13

2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen ... 16

2.2 Konsep dan teori Pengangguran ... 18

2.3 Teori Ketimpangan Pendapatan ... 21

2.3.1 Konsep Distribusi Pendapatan ... 21

2.3.2 Pengukuran Ketimpangan Pendapatan ... 22

2.4 Teori Kemiskinan ... 25

2.4.1 Definisi Kemiskinan ... 25

2.4.2 Pengukuran Kemiskinan di Indonesia ... 26

2.4.3 Indikator Kemiskinan ... 27

2.5 Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan ... 29

2.5.1 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis ... 29

2.5.2 Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan ... 31

2.5.3 Keterkaitan Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ... 32

(20)

xiv

2.6 Determinan Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan

dan Kemiskinan ... 37

2.7 Tinjauan Empiris Penelitian Terdahulu ... 39

2.8 Kerangka Pemikiran ... 43

2.9 Hipotesis Penelitian ... 44

III METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 45

3.2 Metode Analisis ... 46

3.2.1. Analisis Deskriptif ... 47

3.2.2 Analisis Regresi Data Panel ... 48

3.2.3 Regresi Data Panel Statis ... 51

3.2.4 Pemilihan Model (Hausman Test) ... 58

3.2.5 Persamaan Simultan dengan Error Component ... 59

3.2.6 Pengujian Parameter Model ... 60

3.2.7 Pengujian Asumsi ... 62

3.3 Spesifikasi Model ... 63

3.4 Definisi Operasional ... 65

IV DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN ... 69

4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah ... 69

4.1.1 Karakteristik Wilayah Administrasi... 69

4.1.2 Infrastruktur Wilayah ... 70

4.1.3 Karakteristik Perekonomian ... 73

4.1.4 Karakteristik Sumber Daya Manusia ... 76

4.2 Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan ... 79

4.2.1 Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita .. 79

4.2.2 Dinamika Angkatan Kerja dan Pengangguran ... 85

4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan ... 88

4.2.4 Dinamika Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah ... 93

4.3 Kuadran Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ... 96

4.3.1 Kuadran Pertumbuhan dengan Ketimpangan ... 97

4.3.2 Kuadran Ketimpangan dengan Kemiskinan ... 98

4.3.3 Kuadran Pertumbuhan dengan Kemiskinan ... 99

(21)

xv

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 105

5.1 Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita ... 105

5.2 Model Pencari Kerja/Pengangguran ... 109

5.3 Model Ketimpangan ... 113

5.4 Model Kemiskinan ... 116

5.5 Simulasi Kebijakan ... 120

5.5.1 Validasi Model ... 121

5.5.2 Dampak Kenaikan Belanja Pembangunan ... 121

5.5.3 Dampak Kenaikan Stok Kapita dan Indeks Harga ... 124

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

` 6.1 Kesimpulan ... 127

6.2 Saran dan Implikasi Kebijakan ... 128

6.2 Saran Lebih Lanjut ... 129

(22)

xvi

(23)

xvii DAFTAR TABEL

1. Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dan Nasional (Persen) ... 5 2. Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian ... 46 3. Kriteria Identifikasi Autokorelasi ... 63 4. IPM Jawa Tengah Beserta Komponennya, 2004-2010 ... 76

5. Penduduk Usia Kerja Provinsi Jawa Tengah menurut Status

Ketenagakerjaan, 2004-2010 ... 86 6. Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) Provinsi Jawa Tengah

menurut Wilayah, 2004-2010 ... 89 7. Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan dan Pertumbuhannya Menurut

Persentil dan Wilayah di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010 ... 101 8. Hasil Estimasi Model Pertumbuhan ... 105 9. Hasil Estimasi Model Pengangguran ... 110 10. Hasil Estimasi Model Ketimpangan ... 113 11. Hasil Estimasi Model Kemiskinan ... 117 12. Hasil Validasi Variabel Endogen Pada Model Estimasi ... 121 13. Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen ... 122 14. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APDB

Kabupaten/Kota Sebesar 18 Persen, 20 Persen dan 23 Persen ... 123 15. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen (Sim-c) dan

(24)

xviii

(25)

xix DAFTAR GAMBAR

1. Tingkat Kemiskinan (Head Count Index) dan Persebaran Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2009 (Persen) ... 4 2. Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun

2010 ... 6

3. Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan Terhadap

Kondisi Steady State ... 16 4. Bagan Pembagian Penduduk Menurut Status Ketenagakerjaan ... 19 5. Kekakuan Upah Riil dalam Memengaruhi Pengangguran ... 20 6. Kurva Lorenz ... 23 7. Model Pembangunan Dua Sektor Lewis ... 30 8. Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets ... 31 9. Keterkaitan Pertumbuhan dengan Kemiskinan ... 33 10. Segitiga Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ... 34 11. Perubahan Kemiskinan Akibat Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi ... 35 12. Kerangka Pemikiran ... 43 13. Ringkasan Prosedur Analisis ... 46 14. Estimasi Dengan Pendekatan Pooled Least Square (PLS) ... 53 15. Estimasi Dengan Pendekatan Within Group (WG) ... 54 16. Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/ Kota

Tahun 2010 (Jiwa/Km2) ... 69 17. Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa

Tengah Tahun 2010 ... 71 18. Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut

Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2004-2010 ... 72 19. Komposisi PDRB dan Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha

Tahun 2010 (Persen) ... 74 20. Sektor Dominan dan Pangsa Penduduk Bekerja (Persen) menurut

Lapangan Usaha dan Kabupaten/Kota Tahun 2010 ... 75 21. IPM Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 ... 77 22. Komponen IPM menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 ... 78 23. Level PDRB Perkapita Penduduk Jawa Tengah Atas Dasar Harga

Berlaku dan Konstan serta Pertumbuhannya Tahun 2000-2010 ... 80 24. Pola Perkembangan PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut

(26)

xx

25. Tren Pertumbuhan PDRB Perkapita 2004-2010 (Persen) dan Level PDRB Perkapita 2004 (Rp Juta) menurut Kabupaten/Kota ... 82 26. Pengelompokan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi

Klassen Tahun 2004 dan 2010 ... 83 27. Perubahan Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan

Tipologi Klassen, 2004-2010 ... 85 28. Tren TPT 2004-2010 dan Level TPT 2010 menurut Kabupaten/ Kota di

Jawa Tengah ... 87 29. Indeks Ketimpangan (Gini Rasio) menurut Kabupaten/Kota di Jawa

Tengah Tahun 2004-2010 ... 91 30. Tren Ketimpangan Distribusi Pendapatan menurut Kabupaten/Kota,

2004-2010 ... 92 31. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah (000 Jiwa) dan Persentase

Kemiskinan menurut Wilayah, 1999-2010 ... 93 32. Level Kemiskinan (P0) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun

2004-2010 (Persen) ... 94 33. Tren Perubahan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2004-2010 ... 96 34. Scatterplot Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (Persen) dangan Indeks

Ketimpangan Tahun 2004 dan 2010 ... 97 35. Scatterplot Ketimpangan dangan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010 ... 99 36. Scatterplot Pertumbuhan dan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010 ... 100 37. Poverty Growth Curve Jawa Tengah Periode 2004-2010 ... 102 38. Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan ... 112 39. Pangsa Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa

Tengah Tahun 2004 dan 2010 ... 114 40. Usia Rata-rata Lama Sekolah Penduduk menurut Kelompok Pengeluaran

(Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2010 ... 115 41. Kurva Distribusi Penduduk menurut Pengeluaran Perkapita di Jawa

(27)

xxi DAFTAR LAMPIRAN

1. PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 ... 135 2. Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka

(TPT) Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Persen) ... 136

3. Indeks Ketimpangan Pendapatan Penduduk Jawa Tengah menurut

Kabupaten/Kota, 2004-2010 ... 137 4. Indeks Ketimpangan Pendidikan di Jawa Tengah menurut Kabupaten/

Kota, 2004-2010 ... 138

5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah menurut

Kabupaten/Kota, 2004-2010 ... 139 6. Rata-rata Usia Lama Sekolah Penduduk Berusia Produktif di Jawa

Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010 ... 140 7. Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi

Klassen, 2004-2010 ... 141 8. Identifikasi Persamaan Struktural dengan Order Condition ... 142 9. Hasil Estimasi Model Pertumbuhan ... 142 10. Hasil Estimasi Model Pengangguran ... 143 11. Hasil Estimasi Model Ketimpangan ... 144 12. Hasil Estimasi Model Kemiskinan ... 145 13. Hasil Validasi Model Menggunakan Koefisien Determinasi (R2) ... 146 14. Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen di

Semua Kabupaten/Kota ... 148 15. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap

APBD Kabupaten/Kota Menjadi 18 Persen ... 149 16. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap

APBD Kabupaten/Kota Menjadi 20 Persen Menurut Tipologi Klassen ... 150 17. Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap

APBD Kabupaten/Kota Menjadi 23 Persen Menurut Tipologi Klassen ... 151 18. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen di Kabupaten/

Kota Menurut Tipologi Klassen ... 152 19. Hasil Simulasi Peningkatan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen di

(28)

xxii

(29)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses perbaikan secara multidimensional dan berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial menuju tatanan kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan tidak sekedar merepresentasikan aspek ekonomi dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, namun memiliki aspek yang lebih luas yakni menyangkut transformasi struktur perekonomian, sosial dan kultural, kelembagaan, serta sikap dan mental berfikir masyarakat. Tujuan terpenting dari proses pembangunan adalah meningkatkan standar kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan serta memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang membebaskan masyarakat dari sifat ketergantungan (Todaro dan Smith, 2006).

Aspek pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan memiliki hubungan yang sangat kompleks dan saling memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Setinggi apapun pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan yang dicapai oleh suatu negara selama distribusi pendapatan berjalan tidak merata maka tingkat kemiskinan akan tetap tinggi. Sebaliknya, meskipun distribusi pendapatan telah berjalan merata jika pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan rendah maka kemiskinan juga akan semakin meluas (Todaro dan Smith, 2006). Permasalahan yang terpenting bukan bagaimana cara menumbuhkan perekonomian, namun bagaimana kualitas dari pertumbuhan yang dihasilkan. Dalam perspektif yang lebih luas adalah siapa dan seberapa besar bagian dari penduduk yang terlibat dalam aktivitas perekonomian serta siapa yang memperoleh manfaat dari hasil pertumbuhan.

(30)

dengan kebijakan redistribusi pendapatan, aset, kekayaan serta ketrampilan yang akan membawa pada kondisi distribusi yang lebih merata (Bourguignon, 2004).

Fenomena umum yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian hanya digerakkan dan dikuasai oleh sebagian kecil dari penduduk, yakni para pemilik modal. Distribusi kepemilikan aset dan sumber daya yang tidak merata menyebabkan mayoritas penduduk hanya memiliki peran yang sangat kecil, bahkan tak jarang keberadaan mereka hanya berfungsi sebagai penonton. Hal ini sangat berpengaruh terhadap distribusi manfaat yang dihasilkan oleh proses pembangunan yang belum dapat dinikmati secara merata oleh semua golongan penduduk. Penduduk golongan atas masih lebih dominan dalam menerima manfaat hasil pertumbuhan, sementara mayoritas penduduk golongan bawah masih belum menerima manfaat secara luas. Akibatnya permasalahan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan serta diskriminasi masih terus terjadi dan belum menunjukkan penurunan secara signifikan.

Sejarah mencatat, strategi industrialisasi yang diterapkan pemerintahan Orde Baru melalui mobilisasi modal asing dan modal penduduk Indonesia yang berada di luar negeri pada tahap awal menunjukkan hasil yang sangat mengesankan. Hingga pertengahan dekade 1990-an, Indonesia mampu mencapai laju pertumbuhan ekonomi per tahun di atas 7 persen. Dalam kurun waktu yang bersamaan, pertumbuhan mampu mendorong penurunan tingkat kemiskinan dari 33,3 persen di akhir tahun 1978 menjadi 17,47 persen di tahun 1996.

(31)

masa tersebut tercatat sebesar 77,63 persen dan mendorong peningkatan kemiskinan menjadi 24,23 persen pada tahun 1998.

Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan telah menjadi fokus perhatian masyarakat baik di level nasional maupun internasional. Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) pada bulan September 2000 menempatkan pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan pertama dari delapan butir kesepakatan dalam deklarasi (UNDP, 2003). Target yang ingin dicapai adalah mengurangi hingga setengah dari jumlah orang yang berpenghasilan di bawah US $1 sampai US $2 per hari dan mereka yang menderita kelaparan di akhir tahun 2015. Guna mendukung tujuan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menuangkan penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu visi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan dipertajam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014 dengan sasaran utama mempercepat penurunan tingkat kemiskinan di level nasional secara bertahap hingga mencapai 7-10 persen di akhir tahun 2014. Dalam jangka pendek, strategi pembangunan dituangkan dalam konsep triple track strategy yakni pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (pro growth),

penciptaan kesempatan kerja (pro job) dan memberikan manfaat pada kaum miskin

(pro poor).

Pencapaian target MDG’s dan RPJP di level nasional sampai tahun 2011 berada di level 12,36 persen, artinya masih jauh di atas sasaran yang ditetapkan. Secara bertahap tingkat kemiskinan selama periode 1998-2011 menunjukkan tren yang semakin menurun dengan dengan rata-rata penurunan 0,394 persen per tahun. Namun, jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian nasional yang mampu tumbuh di atas 5 persen per tahun maka penurunan kemiskinan terkesan berjalan lambat. Salah satu penyebabnya adalah kompleksitas permasalahan kemiskinan di level regional yang sangat beragam, tetapi strategi pengentasasan kemiskinan yang dijalankan masih bersifat sentralistik, serba seragam serta kurang memperhatikan aspek nilai lokal, budaya dan partisipasi masyarakat.

(32)

miskin yang sangat bervariasi antar provinsi. Terdapat beberapa provinsi yang sudah memiliki level kemiskinan rendah di bawah 10 persen, namun masih banyak provinsi yang level kemiskinannya di atas 15 persen.

Sumber : BPS, 2009

Gambar 1 Tingkat Kemiskinan (Head Count Index) dan Persebaran Penduduk Miskin Menurut Provinsi, 2009 (Persen)

Salah satu provinsi yang memiliki permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks adalah Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang selalu memiliki tingkat kemiskinan (Head Count Index/HCI) di atas level nasional dan memiliki populasi penduduk miskin (Head Count/HC) terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Hal ini menjadi sangat ironis, karena secara administratif Jawa Tengah tepat berada di sentral Pulau Jawa yang dekat dengan pusat perekonomian maupun pusat kekuasaan sehingga menjadi strategis bagi perkembangan perekonomian. Dengan lokasi geografis yang strategis karena menjadi penghubung perdagangan dari Bagian Timur dan Barat Pulau Jawa dan dukungan infrastruktur fisik yang relatif lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa, Jawa Tengah justru menjadi wilayah yang memiliki populasi penduduk miskin sangat besar.

Jumlah penduduk miskin Jawa Tengah pada tahun 2011 tercatat sebanyak 5,26 juta jiwa atau 16,21 persen dari populasi penduduk (Tabel 1). Dengan jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 29,89 juta jiwa (12,36 persen), maka sebanyak 17,58 persen dari populasi penduduk miskin terdapat di Jawa Tengah. Pencapaian target MDGs dan RPJP di level Provinsi Jawa Tengah

(33)

sampai tahun 2011 juga masih jauh di atas sasaran secara nasional. Tingkat kemiskinan selama periode 1999-2011 menunjukkan tren yang menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 0,359 persen per tahun. Dibandingkan dengan tren penurunan kemiskinan di level nasional yang mencapai 0,394 persen maupun kinerja perekonomian Jawa Tengah yang mampu tumbuh di atas 5 persen per tahun, maka penurunan kemiskinan berjalan jauh lebih lambat. Lambatnya pengentasan kemiskinan disebabkan oleh pencapaian pertumbuhan yang tinggi belum dikompensasi oleh perbaikan dalam distribusi pendapatan. Selama periode tersebut, ketidakmerataan pendapatan yang diukur dengan Gini rasio nilainya berfluktuasi dan semakin meningkat dari 0,2524 di tahun 2001 menjadi 0,3087 di tahun 2010.

Tabel 1 Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dan Nasional (Persen)

Tahun

Jawa Tengah

Nasional Tahun

Jawa Tengah

Nasional

K D K+D K D K+D

1996 20,67 22,05 21,61 17,47 2006 18,90 25,28 22,19 17,75

1999 27,80 29,05 28,46 23,43 2007 17,23 23,45 20,43 16,58

2002 20,50 24,96 23,06 18,20 2008 16,34 21,96 19,23 15,42

2003 19,66 23,19 21,78 17,42 2009 15,41 19,89 17,72 14,15

2004 17,52 23,64 21,11 16,66 2010 14,33 18,66 16,56 13,33

2005 17,24 23,57 20,49 15,97 2011 14,67 17,50 16,21 12,36

Rata-rata Penurunan per Tahun (Persen) -0,394 -0,331 -0,359 -0,394 Keterangan : K = Dearah Perkotaan; D = Daerah Perdesaan

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan 2002-2010, BPS

(34)

kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam, meskipun keragaman dalam pola kemiskinan juga dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti kondisi sosial budaya, politik, tata kelola pemerintahan maupun kondisi geografis.

Gambar 2 mengilustrasikan keragaman pola kemiskinan antar kabupaten/ kota di Jawa Tengah pada tahun 2010. Berdasarkan Gambar 2, terdapat tujuh kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemiskinan sekitar 10 persen, artinya sudah mendekati sasaran MDGs dan RPJP. Ketujuh daerah tersebut adalah Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Semarang, Kudus dan Jepara. Sebaliknya, masih terdapat delapan kabupaten yakni Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Rembang, Pemalang, Brebes dan Banjarnegara yang memiliki tingkat kemiskinan yang di atas 20 persen dan masih jauh di atas sasaran MDGs maupun RPJP.

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2010

Gambar 2 Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, 2010

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, terdapat beberapa permasalahan yang diidentifikasi terkait dengan fenomena kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Pertama, tingkat kemiskinan di level provinsi dan beberapa kabupaten masih sangat tinggi dan penurunannya berjalan lambat meskipun pertumbuhan ekonomi yang dicapai sudah cukup tinggi (di atas 5 persen per tahun). Kedua, distribusi pendapatan pada level provinsi bergerak semakin timpang/tidak merata, artinya pertumbuhan yang dihasilkan semakin tidak berpihak pada golongan penduduk

(35)

berpendapatan rendah. Ketiga, terdapat keragaman yang cukup mencolok dalam potensi ekonomi, infrastruktur dan sumber daya manusia antar kabupaten/kota yang menyebabkan pola dan karakteristik kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam. Kemiskinan di kawasan perdesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perkotaan dan penurunannya juga berjalan lebih lambat. Kemiskinan di daerah yang berstatus kabupaten juga cenderung lebih tinggi dari daerah yang berstatus kota.

Keterkaitan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menjadi topik penelitian yang banyak dikaji secara lintas negara maupun lintas regional dalam suatu negara. Beberapa penelitian sebelumnya (Wodon, 1999; Ravallion, 2001; Dollar dan Kraay, 2002; Hajiji, 2010) menyimpulkan tidak ada

trade-off atau hubungan yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan ketimpangan distribusi pendapatan. Meskipun pendapatan perkapita secara-rata-rata meningkat, distribusi tidak mengalami perubahan secara signifikan. Artinya pertumbuhan lebih bersifat netral atau secara proporsional sama untuk semua golongan penduduk. Distribusi pendapatan yang tidak berubah tidak identik dengan tidak ada penurunan dalam kemiskinan. Tingkat kemiskinan tetap mengalami penurunan, namun tingkat kecepatan dalam penurunannya menjadi berkurang.

Beberapa penelitian sebelumnya mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan dengan membandingkan nilai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan, elastisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan. Secara eksplisit, penelitian tersebut belum mengkaji determinan apa yang mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita, perluasan kesempatan kerja maupun determinan yang menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan dengan tujuan akhir pengentasan kemiskinan. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian mengenai keterkaitan antara pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan disertai dengan identifikasi determinan dari masing-masing variabel menjadi menarik untuk dilakukan pada level regional Jawa Tengah.

(36)

1. Bagaimana dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah?

2. Mengapa penurunan kemiskinan berjalan lambat dan bagaimana keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dengan penurunan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?

3. Determinan apa saja yang memengaruhi pertumbuhan pendapatan perkapita, kesempatan kerja/pengangguran, ketimpangan pendapatan dan bagaimana pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian tesis dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis dinamika pertumbuhan ekonomi, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah di Jawa Tengah menggunakan análisis tren dan análisis kuadran.

2. Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dan kemiskinan di Jawa Tengah dengan análisis Poverty Growth Curve (PGC). 3. Menganalisis determinan yang memengaruhi pertumbuhan, pengangguran,

ketimpangan pendapatan dan besarnya pengaruh bagi pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah menggunakan model ekonometrika serta menganalisis dampak penerapan beberapa skenario kebijakan melalui peningkatan belanja pembangunan, investasi dan perubahan indeks harga.

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui penelitian adalah sebagai berikut:

(37)

2. Informasi mengenai PGC berguna untuk mengetahui distribusi manfaat hasil pertumbuhan bagi semua golongan penduduk, sehingga berguna sebagai bahan evaluasi dalam menentukan arah dan orientasi pembangunan agar lebih berpihak kepada golongan penduduk miskin.

3. Informasi mengenai determinan yang menjadi sumber pertumbuhan,

pengangguran, ketimpangan dan pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan sangat berguna sebagai bahan evaluasi kebijakan dan penentuan sasaran/ fokus kebijakan selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup análisis hanya mencakup tiga hal. Pertama, mengkaji dinamika pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah. Kedua, mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan dengan pengentasan kemiskinan. Ketiga, menggali informasi mengenai determinan pertumbuhan, ketimpangan, pengangguran dan pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan melalui model ekonometrika serta melakukan simulasi menggunakan beberapa skenario kebijakan.

(38)
(39)

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

2.1.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pengukurannya

Pertumbuhan ekonomi dalam perspektif ekonomi makro didefinisikan sebagai penambahan nilai PDB riil dari waktu ke waktu, atau dapat juga diartikan sebagai meningkatnya kapasitas perekonomian suatu wilayah (Dornbusch et al, 2008). Dalam kerangka regional, konsep PDB identik dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Nilai PDB atau PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran (Dornbusch

et al, 2008). Pendekatan produksi dan pendapatan merupakan pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply), sedangkan pendekatan pengeluaran merupakan pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand).

Produk Domestik Regional Bruto dari sisi produksi disebut PDRB sektoral didefinisikan sebagai penjumlahan Nilai Tambah Bruto (NTB) yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah tertentu selama periode tertentu (biasanya satu tahun). PDRB dengan pendekatan produksi disajikan dalam sembilan sektor lapangan usaha, yakni: pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; transportasi dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. PDRB dengan pendekatan pendapatan dihitung berdasarkan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh semua faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di semua sektor. Balas jasa atau pendapatan berupa upah/gaji untuk pemilik tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan serta keuntungan bagi pengusaha.

Dari sisi pengeluaran, PDRB dihitung sebagai penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), serta ekspor bersih (X-M) dan dirumuskan sebagai:

�= �+�+�+� − � (2.1)

(40)

negara lain maupun dengan wilayah (region) lain dalam satu negara.

Nilai PDRB dengan semua pendekatan biasa dihitung dan disajikan dalam dua bentuk yakni atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan pada tahun dasar tertentu. Nilai PDRB atas dasar harga konstan sering disebut sebagai PDRB riil dan mencerminkan nilai output yang dihitung dengan harga pada tahun dasar tertentu. Perubahan PDRB riil dari waktu ke waktu mencerminkan perubahan kuantitas dan sudah tidak mengandung unsur perubahan harga baik inflasi maupun deflasi. Nilai pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai perubahan nilai output (PDRB riil) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut :

�=�����− �����−1

�����−1 (2.2)

dimana : g merupakan pertumbuhan ekonomi atau persentase perubahan PDRB dari periode t-1 sampai periode ke-t.

Salah satu indikator yang merepresentasikan tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara/wilayah secara kasar adalah pendapatan nasional/regional perkapita. Nilai pendapatan nasional/regional perkapita dihitung dari jumlah pendapatan nasional/regional suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk pada waktu yang sama. Penghitungan pendapatan regional perkapita sangat rumit karena harus memperhatikan aspek pembayaran/penerimaan faktor produksi menurut daerah asalnya, depresiasi modal serta pajak tidak langsung. Karena itu, nilai pendapatan regional perkapita sering diproksi dengan pendekatan nilai PDRB perkapita yang dihitung dengan formula:

������������� =�����ℎ������������ (2.3)

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

(41)

persoalan lingkaran kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Strategi yang digunakan adalah meningkatkan akumulasi modal dengan memacu tingkat tabungan dan investasi baik yang berasal dari domestik maupun asing untuk keperluan industrialisasi di banyak bidang.

Model pertumbuhan Harrod-Domar dibangun menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, setiap perekonomian harus mencadangkan atau menabung (S) sebagian tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y) untuk menambah atau menggantikan barang modal yang telah rusak:

�=�� (2.4) Kedua, perekonomian berada dalam kondisi keseimbangan sehingga investasi yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan. Investasi didefinisikan sebagai perubahan kapital K atau �=∆�, sehingga:

� =�=∆� (2.5) Ketiga, investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional (∆�)

dan rasio modal output k yang dikenal dengan Incremental Capital Output Rasio

(ICOR) atau (�= � �⁄ �����= ∆� ∆�⁄ ), sehingga �= �= ��= ∆� =�∆�

dan dapat diringkas menjadi:

�� =�∆� ���� ∆�

� =

� (2.6)

Persamaan (2.6) mengilustrasikan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingkat tabungan s dan rasio kapital output k. Agar perekonomian dapat tumbuh pesat maka setiap perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin dari pendapatan nasional yang diperolehnya.

2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Solow

(42)

dan bagaimana pengaruhnya terhadap output agregat yang dihasilkan suatu negara (Mankiw, 2007).

Model Solow merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Peningkatan output perkapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi, namun fokus utama dari model hanya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Asumsi yang mendasari model Solow adalah perkembangan teknologi dianggap konstan atau tidak ada perkembangan teknologi. Hal tersebut berimplikasi, perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang dalam kondisi mapan (steady state). Kondisi steady state terjadi pada saat output dan modal perkapita bersifat konstan atau tidak ada lagi perubahan dalam ouput dan modal per pekerja.

Bentuk umum model Solow adalah �= �(�,�) atau output merupakan fungsi dari kapital (K) dan tenaga kerja (N). Dengan asumsi fungsi produksi bersifat Constant Return to Scale (CRS) maka dapat ditulis menjadi �� = �(��,��). Jika nilai z=1/N maka persamaan dapat diekspresikan sebagai:

� � =� �

�� �����= �(�) (2.7) Y/N merepresentasikan output per tenaga kerja sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja (K/N). Jika kemajuan teknologi dianggap sebagai variabel eksogen yang mampu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berproduksi sepanjang waktu maka bentuk umum model dapat dituliskan menjadi �=�(�,�,�) dan dapat diilustrasikan dengan persamaan:

��= � � �

��� �����= �(�) (2.8)

dimana: Y = Output; K = Kapital; N = Tenaga Kerja; A = Efektifitas Pekerja

y = �

�� = output per pekerja efektif; k = �

�� = kapital per pekerja efektif.

Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Jika output per pekerja efektif y merupakan penjumlahan dari konsumsi per pekerja efektif c dan investasi per pekerja efektif i, dan s

(43)

�= �(�) =�+� (2.9)

jika �= (1− �)�maka :

� = (1− �)�+� (2.10) �= �� =��(�) =�� � �

��� (2.11)

Persamaan (2.11) merepresentasikan investasi sebagai fungsi dari tingkat tabungan dan kapital per pekerja efektif. Perubahan kapital antar waktu merupakan selisih antara investasi dan break event investment (investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara) dapat dinyatakan sebagai:

∆�=��(�)−(�+�+�)� (2.12) ∆� menyatakan perubahan kapita; ��(�) menyatakan tingkat investasi; � menyatakan depresiasi kapital; � menyatakan kemajuan teknologi dan � menyatakan pertumbuhan tenaga kerja.

Fungsi produksi �=�(�) merupakan fungsi yang bersifat diminishing marginal product of capital, artinya semakin besar penambahan input kapital akan menghasilkan tambahan output yang semakin menurun. Diminishing marginal product merupakan penjelas mengapa perekonomian akan mencapai kondisi mapan (steady state) dan tidak tumbuh terus menerus. Jika tingkat tabungan lebih besar dari investasi yang dibutuhkan maka modal per pekerja dan output per pekerja akan meningkat, sebaliknya jika tingkat tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka output per pekerja dan modal per pekerja akan menurun. Tingkat pertumbuhan pada kondisi steady state tidak dipengaruhi oleh tingkat tabungan (Gambar 3).

(44)

(growth) akan semakin mendekati nol atau semakin konvergen. Kenaikan tingkat tabungan hanya akan menggeser konsisi steady state dari C menuju kondisi steady state yang baru di titik C’.

Sumber : Blanchard, 2009

Gambar 3 Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan terhadap

Kondisi Steady State

2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen

Ketidakpuasan terhadap teori pertumbuhan neo-klasik mulai muncul di akhir dekade 80-an sebagai akibat ketidakmampuannya dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan hanya menekankan pada pada faktor eksogen yang independen dengan kemajuan teknologi. Dalam pandangan neo-klasik, peningkatan pendapatan perkapita hanya dianggap sebagai fenomena sementara yang bersumber dari perubahan teknologi atau proses penyeimbangan jangka pendek dalam cadangan modal atau tenaga kerja selama perekonomian mendekati keseimbangan jangka panjang. Teori ini juga gagal menjelaskan bagaimana kemajuan teknologi dapat terjadi serta besarnya perbedaan residual Solow pada negara yang memiliki teknologi yang serupa (Todaro dan Smith, 1996).

(45)

endogen dari investasi publik dan swasta dalam kualitas sumber daya manusia sehingga mendorong peran aktif kebijakan publik dalam merangsang pembangunan ekonomi melalui investasi langsung maupun tidak langsung.

Teori ini juga menekankan bahwa modal fisik bersifat diminishing marginal return, tetapi modal pengetahuan (knowledge capital) justru memiliki marginal pengembalian yang semakin meningkat. Teori ini juga mampu menjelaskan aliran modal internasional yang turut memperparah ketimpangan antara negara maju dan negara yang sedang berkembang. Tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan kepada negara yang sedang berkembang dengan rasio modal per tenaga kerja akan berkurang dengan cepat karena tidak didukung dengan investasi sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur serta riset dan pengembangan (R&D) yang memadai (Todaro dan Smith, 1996).

Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian. Pemikiran yang pertama dikembangkan oleh Romer (1986) yang menempatkan stok ilmu pengetahuan menjadi sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi karena stok ilmu pengetahuan menjadi faktor produksi yang memiliki skala pengembalian semakin meningkat. Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh Lucas (1988) yang menekankan pada pentingnya

learning by doing dan human capital melalui model akumulasi human capital. Dalam pandangan Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi, sehingga variabel modal dalam model pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga unsur utama dalam model Romer adalah adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan; adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja; dan semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:

(46)

dimana: � adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal perusahaan

i, Li adalah tenaga kerja perusahaan i, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi

(technical knowledge) secara agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan.

Teori learning dikemukakan oleh Lucas dapat terjadi melalui akumulasi

human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal (on the job traning). Lucas berpendapat ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu akan menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia, rumusan adalah sebagai berikut:

�� =����(������)1−���� (2.14)

dimana: � adalah output produksi, � adalah konstanta, � adalah stok modal, � adalah tenaga kerja, � adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, � adalah kualitas dari human capital yang merepresentasikan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Jika � meningkat sejalan dengan � maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale

dimana � bersifat eksternal dan bergantung pada tingkat keterampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.

2.2 Konsep dan Teori Pengangguran

(47)

PENDUDUK

Konsep pengangguran yang digunakan di Indonesia selalu mengalami perkembangan dan perluasan dari waktu ke waktu. Pada awalnya, pengangguran terbuka didefinisikan sebagai bagian dari angkatan kerja yang berada dalam kondisi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Sejak tahun 2001, definisi pengangguran terbuka diperluas mengikuti rekomendasi International Labour Organization (ILO) menjadi bagian dari angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sudah putus asa), atau sudah mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (Gambar 4).

Tingkat setengah pengangguran didefinisikan sebagai bagian dari penduduk yang berstatus bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari jam kerja normal atau kurang dari 35 jam per minggu. Setengah pengangguran dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setengah pengangguran terpaksa yakni bekerja kurang dari jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan yang lain. Kedua, setengah pengangguran sukarela yakni bekerja kurang dari jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak menerima pekerjaan lain. Bagian ini sering disebut dengan istilah pekerja paruh waktu (part time).

Sumber : BPS, 2004

(48)

Jika L menyatakan jumlah angkatan kerja dan diasumsikan tetap, E

menyatakan jumlah angkatan kerja yang bekerja dan U menyatakan jumlah angkatan

kerja yang menganggur, maka hubungannya dapat dinyatakan dengan �=�+�.

Mankiw (2007) menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka U/L pada kondisi mapan atau pengangguran alamiah merupakan rasio antara tingkat pemutusan kerja s dengan penjumlahan tingkat pemutusan kerja s dengan tingkat perolehan kerja f dan diformulasikan sebagai:

� � =

� �+� =

1

1 +�/� (2.15)

Semakin tinggi tingkat pemutusan kerja maka tingkat pengangguran semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi tingkat perolehan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin rendah.

Sumber: Mankiw, 2007

Gambar 5 Kekakuan Upah Riil dalam Memengaruhi Pengangguran

Persamaan 2.15 bermanfaat untuk mengaitkan tingkat pengangguran dengan pemutusan kerja dan perolehan kerja, namun gagal menjelaskan mengapa masih terjadi pengangguran. Fenomena pengangguran juga disebabkan oleh adanya waktu yang diperlukan untuk mencari pekerjaan dan disebut dengan pengangguran friksional. penyebab yang lainnya adalah kegagalan tingkat upah dalam menyesuaikan jumlah penawaran dengan permintaan dalam pasar tenaga kerja atau disebut kekakuan upah (wage rigidity). Pengangguran jenis ini disebut dengan pengangguran struktural. Tingkat upah sangat berperan dalam

Tenaga Kerja, L Upah Riil,

W SL

DL

L* W*

W’

(49)

menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, namun terkadang upah tidak bersifat fleksibel. Gambar 5 mengilustrasikan ketika upah riil (W’) berada di atas upah keseimbangan dalam pasar tenaga kerja (W*) maka jumlah tenaga kerja yang ditawarkan (SL) melebihi jumlah permintaan (DL) sehingga perusahaan akan

lebih selektif dalam menjatah tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang terbatas dan jumlah pengangguran akan meningkat (U). Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan upah bersifat kaku, yakni kebijakan penetapan upah minimum, kekuatan monopoli serikat tenaga kerja dan upah efisiensi.

2.3 Teori Ketimpangan Pendapatan

2.3.1 Konsep Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Besarnya pendapatan yang diterima setiap individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam aktivitas perekonomian. Ada dua ukuran pokok dalam distribusi pendapatan, yakni distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi ukuran pendapatan atau distribusi pendapatan perseorangan dihitung dari jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperhatikan cara memperoleh maupun sumber pendapatannya. Distribusi fungsional melihat pangsa pendapatan menurut faktor produksi yakni menghitung total pendapatan yang diperoleh setiap faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, maupun modal. Dalam analisis ketimpangan, distribusi pendapatan perorangan lebih sering digunakan karena kemudahan dalam aspek data dan penghitungan.

2.3.2 Pengukuran Ketimpangan Pendapatan

(50)

dari persentase jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok dibagi dengan total pendapatan penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan ukuran kuintil dapat diturunkan beberapa indikator ketimpangan yang lain seperti rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini rasio.

Rasio Kuznets merupakan rasio jumlah pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk berpenghasilan tinggi dibagi dengan jumlah pendapatan 40 persen penduduk berpenghasilan rendah. Semakin tinggi nilai rasio Kuznets menunjukkan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin tinggi atau tingkat pemerataan yang semakin rendah. Hampir sama dengan rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia membagi pendapatan yang diterima penduduk menjadi tiga kelompok, yakni 40 persen penduduk berpenghasilan rendah, 40 persen penduduk berpenghasilan menengah, dan 20 persen penduduk berpenghasilan tinggi. Kategori ketimpangan ditentukan dengan melihat besarnya proporsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah. Kriterianya adalah ketimpangan tinggi jika proporsinya < 12 persen; ketimpangan sedang jika berkisar 12-17 persen; dan ketimpangan rendah jika >17 persen (Todaro dan Smith, 1996).

(51)

garis pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin meningkat.

Sumber : Todaro dan Smith (2006) Gambar 6 Kurva Lorenz

Indikator yang paling populer digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah Gini rasio. Gini rasio merupakan ukuran ketimpangan yang memenuhi empat prinsip pengukuran, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu maupun antar wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Keempat kriteria atau prinsip pengukuran tersebut didefinisikan sebagai berikut: 1. Prinsip anonimitas (anonimity principle), artinya ukuran ketimpangan

seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi atau apakah itu orang kaya atau miskin.

2. Prinsip independensi skala (scale independence pronciple), ukuran ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara dan cara mengukur pendapatannya. Artinya, tidak tergantung apakah kondisi negara kaya atau miskin serta diukur dalam dolar atau mata uang lainnya. 3. Prinsip independensi populasi (population independence principle), ukuran

(52)

4. Prinsip transfer Pique-Dalton (Pique-Dalton transfer principle), jika diasumsikan semua pendapatan lain konstan maka dengan mentransfer sejumlah pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin maka akan dihasilkan distribusi pendapatan yang baru dan lebih merata.

Nilai Gini rasio dihitung berdasarkan perbandingan luas daerah I dengan luas daerah (I+II) dalam kurva Lorenz (Gambar 6). Secara matematis, Ray (1998) menyajikan formula untuk menghitung Gini rasio sebagai berikut:

� = 1

2�2� � � �������− ���

�=1 �

�=1

(2.16)

dimana: �=1∑��=1 merupakan rata-rata pendapatan penduduk (total pendapatan dibagi dengan jumlah penduduk); n=jumlah penduduk; �=jumlah penduduk kelompok ke-j; �=jumlah penduduk kelompok ke-k; �= jumlah

pendapatan kelompok penduduk ke-j; �= jumlah pendapatan kelompok

penduduk ke-k.

Nilai Gini rasio (G) berkisar antara nol sampai satu, semakin mendekati nol menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika nilai Gini rasio semakin mendekati satu menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin tidak merata atau semakin timpang. Oshima (1970) membagi tingkat ketimpangan pendapatan menjadi tiga kriteria, yakni ketimpangan rendah jika Gini rasio kurang dari 0,3, ketimpangan sedang jika Gini rasio berada antara 0,3 sampai 0,4 dan ketimpangan tinggi jika lebih dari 0,4.

(53)

2.4 Teori Kemiskinan

2.4.1 Definisi Kemiskinan

Kemiskinan memiliki makna yang sangat luas dan bersifat multidimensional, sehingga definisi kemiskinan juga sangat multitafsir dan selalu mengalami perluasan seiring dengan kompleksitas faktor penyebab maupun permasahalan lain yang melingkupinya. Dimensi kemiskinan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga menyangkut dimensi sosial, kultural maupun politik. Kemiskinan dapat diukur melalui dua pendekatan yaitu pendekatan ekonomi atau income/kekayaan dan pendekatan non-ekonomi.

Sen dalam Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa status miskin atau tidaknya seseorang tidak dapat ditentukan oleh tingkat pendapatan atau utilitas yang dimiliki seperti dalam pandangan konvensional. Status miskin atau tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh kapabilitas untuk berfungsi (capabilities to function) dan pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting, namun tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Hal yang terpenting bukan pada besarnya pendapatan yang diperoleh atau utilitas seseorang terhadap suatu barang, tetapi apa yang dapat dilakukan orang dengan pendapatan atau barang yang dimilikinya. Kemiskinan dianggap bentuk kegagalan tidak berfungsinya beberapa kapabilitas dasar yang dimiliki seseorang, atau seseorang dikatakan miskin jika kekurangan kesempatan untuk mencapai atau mendapatkan kapabilitas dasar ini.

(54)

Amerika Serikat belum tentu miskin jika diukur dengan ukuran kemiskinan Indonesia, atau orang yang hidup miskin di Indonesia pada periode 2010 belum tentu miskin pada saat periode 1970-an.

Kemiskinan secara absolut didefinisikan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan bekerja secara layak (Todaro dan Smith, 2006). Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Permasalahan yang terjadi adalah sangat sulit untuk menentukan standar hidup minimum karena kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomi setiap orang berbeda-beda tergantung pada usia maupun karakteristik demografis lainnya. Perkiraan nilai kebutuhan dasar minimum disebut dengan istilah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting untuk menilai atau memperkirakan dampak dari kebijakan penanggulangan kemiskinan antar waktu dalam suatu wilayah. Angka kemiskinan antar wilayah dapat dibandingkan jika menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama.

2.4.2 Pengukuran Kemiskinan di Indonesia

(55)

Penghitungan garis kemiskinan di Indonesia yang dilakukan oleh BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Berdasarkan definisi BPS, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik makanan maupun non makanan yang mencakup kebutuhan pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan merepresentasikan nilai kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per hari yang mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978. Garis kebutuhan non makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS, 2008).

BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi nasional) modul konsumsi rumah tangga. Pada tahun-tahun yang tidak dilaksanakan kegiatan Susenas Modul, garis kemiskinan dihitung berdasarkan garis kemiskinan periode sebelumnya dengan mempertimbangkan aspek perubahan harga atau inflasi/deflasi. Garis kemiskinan juga dihitung di setiap daerah baik menurut provinsi maupun kabupaten/kota yang besarnya tergantung pada standar biaya hidup minimum dan kemampuan/daya beli penduduk di masing-masing daerah.

2.4.3. Indikator Kemiskinan

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Ray (1998) dan Todaro dan Smith (2006) mengemukakan beberapa ukuran kemiskinan, yakni adalah jumlah penduduk miskin (Head Count/HC); persentase penduduk miskin (Head Count Index/HCI); jurang kemiskinan total (Total Poverty Gap/TPG); jurang kemiskinan rata-rata (Average Poverty Gap/APG); dan Foster-Greer-Thorbecke (FGT).

Head Count menggambarkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (GK), sedangkan Head Count Index menggambarkan rasio antara HC dengan jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Total Poverty Gap (TPG) atau jurang kemiskinan

(56)

bawah garis kemiskinan. TPG juga dapat diartikan sebagai pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hingga tepat berada di garis kemiskinan atau di atasnya. Penghitungan TPG diformulasikan sebagai:

��� = ���− �

�=1

(2.17) ��= Garis Kemiskinan;�� = Pendapatan penduduk miskin ke-i.

Berdasarkan ukuran TPG dapat diturunkan beberapa indikator kemiskinan yang lain, yakni Average Poverty Gap (APG) atau jurang kemiskinan rata-rata (��� =

���/�); Normalized Poverty Gap (NPG) atau jurang kemiskinan yang telah dinormalisasi (��� =���/�); Average Income Shortfall (AIS) atau jurang kemiskinan total dibagi dengan jumlah penduduk miskin. Indikator AIS

menggambarkan besarnya rata-rata transfer atau pendapatan yang diperlukan untuk mengangkat seorang penduduk miskin ke atas garis kemiskinan (��� = ���/��).

Foster, Greer dan Thorbecke dalam Ray (1998) merumuskan suatu ukuran kemiskinan yang memenuhi empat prinsip dalam pengukuran. Keempat prinsip tersebut adalah anonimitas, independensi populasi, monotonisitas dan sensitivitas distribusi. FGT dirumuskan sebagai:

��=

1 � � �

� − ��

� �

� �

�=1

(2.18)

dimana:

α = 0, 1, 2 ; z = Garis Kemiskinan ; n = Jumlah Penduduk

yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada

di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,H), yi < z

H = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan Ukuran FGT dapat diturunkan menjadi tiga indikator sebagai berikut:

Jika α = 0, diperoleh nilai Head Count Index (P0) yang merepresentasikan

(57)

Jika α = 1, diperoleh indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index/P1)

yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks P1 maka

semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. P1

dirumuskan sebagai:

�1 =

1 � � �

� − ��

� � (2.19)

�=1

Nilai Poverty Gap Index/P1 sangat berguna untuk mengetahui seberapa besar

biaya yang diperlukan atau nilai yang harus ditransfer untuk mengangkat penduduk miskin hingga tepat berada di atas garis kemiskinan.

Jika α = 2, diperoleh Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index/P2). Indeks ini memberikan gambaran mengenai intensitas penyebaran

pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai indeks, maka ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin meningkat. P2

dirumuskan sebagai:

�2 =1� � �� − �� �� 2

(2.20)

�=1

2.5 Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran,

Ketimpangan dan Kemiskinan

2.5.1 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis

Model pembangunan dua sektor yang dikemukakan Lewis (Lewis two sector model) merupakan salah satu model pembangunan yang mengkaji proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga (Todaro dan Smith. 2006). Model ini menekankan pada aspek transformasi struktural dari perekonomian tradisional yang berbasis perdesaan atau sektor pertanian menuju perekonomian modern yang berbasis perkotaan atau sektor industri. Asumsi dasar yang digunakan adalah terdapat surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang ditandai oleh produktivitas marginal (MPLA) sama dengan nol dan produktivitas rata-rata (APLA) yang

(58)

(a) Sektor Modern (Industri) (b) Sektor Tradisional (Pertanian)

Sumber: Todaro dan Smith, 2006

Gambar 7 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis

Sektor industri modern diasumsikan memiliki produktivitas rata-rata (APLM) dan tingkat upah riil (WM) yang lebih tinggi produktivitas (APP) dan

tingkat upah riil (WP) di sektor pertanian tradisional. Asumsi ini memungkinkan

sektor modern untuk menampung surplus tenaga kerja dari sektor tradisional. Model ini fokus pada proses perpindahan tenaga kerja melalui mekanisme pertumbuhan output dan perluasan kesempatan kerja di sektor industri modern. Perluasan kesempatan kerja ditentukan oleh tingkat investasi, akumulasi modal serta reinvestasi sektor modern.

2.5.2 Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan

(59)

0

atau perubahan struktural dari sektor yang berbasis pertanian tradisional menuju sektor industri modern (Gambar 8).

Sumber : Todaro dan Smith (2006)

Gambar 8 Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets

Pada masa awal pembangunan ekonomi, pendapatan perkapita maupun ketimpangan pendapatan antar penduduk di kedua sektor masih rendah. Selama masa transisi, produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern menjadi lebih tinggi dibandingkan sektor tradisional, sehingga pendapatan perkapita yang diterima di sektor modern juga menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan ketimpangan pendapatan di kedua sektor tersebut semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan perkapita.

Setelah melampaui titik kulminasi atau titik puncak akan terjadi mekanisme trickle down effect yang melalui penciptaan dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern. Perluasan kesempatan sektor modern akan menyerap surplus atau kelebihan tenaga kerja di sektor tradisional. Mekanisme Trickle down effect akan meningkatkan pendapatan perkapita di sektor tradisional dan sektor modern serta membawa pada perbaikan distribusi sehingga ketimpangan pendapatan semakin menurun.

Gambar

Gambar 3 Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan terhadap
Gambar 6  Kurva Lorenz
Gambar 7  Model Pembangunan Dua Sektor Lewis
Gambar 8  Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets
+7

Referensi

Dokumen terkait