• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan absorbsi foton pada film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan menggunakan kristal fotonik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan absorbsi foton pada film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan menggunakan kristal fotonik"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN ABSORBSI FOTON PADA FILM TIPIS

SEMIKONDUKTOR BaxSr1-xTiO3 DENGAN MENGGUNAKAN

KRISTAL FOTONIK

ABD. WAHIDIN NUAYI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Peningkatan Absorbsi Foton pada Film Tipis Semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan Menggunakan Kristal

Fotonik” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(4)

RINGKASAN

ABD. WAHIDIN NUAYI. Peningkatan absorbsi foton pada film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan menggunakan kristal fotonik. Dibimbing oleh

HUSIN ALATAS dan IRZAMAN.

Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 (BST) untuk nilai x = 0.25, 0.35, 0.45 dan 0.55 dan konsentrasi 1

molar dengan menggunakan metode chemical solution depositon (CSD). Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bubuk barium asetat [Ba(CH3COO)2,

99%], stronsium asetat [Sr(CH3COO)2, 99%], titanium isopropoksida

[Ti(C12O4H28), 97.999%], galium tri oksida [Ga2O3], 2-metoksietanol

[H3COOCH2CH2OH, 99%] dan substratnya adalah kaca transparent conductive

oxide (TCO) berukuran 1 x 1 cm. Pembuatan film tipis BST dibuat sebanyak 2 kali

yaitu untuk film tipis BST yang didadah dengan galium 10% (BGST) sebagai lapisan tipe-p dan larutan BST murni sebagai tipe-n. Larutan BST untuk tiap nilai x dibuat dengan cara mencampurkan barium asetat [Ba(CH3COO)2, 99%],

stronsium asetat [Sr(CH3COO)2, 99%] dan titanium isopropoksida [Ti(C12O4H28)]

ke dalam pelarut, 2-metoksietanol [H3COOCH2CH2OH, 99%] sesuai dengan gram

massa yang telah ditentukan untuk tiap nilai x. Sedangkan larutan BGST dibuat dengan cara yang sama untuk larutan BST, hanya saja ditambahkan galium sebesar 10% dari massa BST yang digunakan. Setelah semua bahan dicampurkan, kemudian digetarkan dengan menggunakan ultrasonik selama 90 menit, kemudian diikuti dengan pelapisan film BGST/BST di atas substrat TCO. Setelah terbentuk lapisan, kemudian diannealing selama 15 jam pada temperatur 500 oC dengan kenaikan temperatur sebesar 1,67 oC/menit.

Karakterisasi film tipis BST baik yang tidak menggunakan kristal fotonik maupun ditandem dengan kristal fotonik meliputi karakterisasi absorbansi dan transmitansi pada spektrum cahaya tampak, serta karakterisasi fotokonduktivitas listriknya.

Hasil karakteristik film BST sebelum ditandem dengan kristal fotonik menunjukkan bahwa film tipis yang dihasilkan secara keseluruhan memiliki daerah absorbsi cahaya pada hampir seluruh rentang spektrum cahaya tampak (visible), bahkan sampai daerah inframerah dengan kisaran nilai absorbsi di atas dari 67.6%. Selain itu dapat dilihat bahwa absorbansi maksimum dari film tipis BST untuk keseluruhan fraksi mol barium berada pada rentang daerah spektrum cahaya biru sampai hijau, 457 nm ≤ ≤ 570 nm dan absorbansi minimum terletak pada daerah spektrum cahaya kuning sampai merah, 570 nm ≤ ≤ 678 nm.

(5)

80.12% dengan puncak absorbansi pada panjang gelombang 507.85 nm dan minimum pada panjang gelombang 608.79 nm. Selain itu dapat dilihat bahwa ketika fraksi mol barium ditambah, puncak maksimum absorbansi atau puncak minimum transmitansi bertambah besar dan mengalami pergeseran, meskipun masih berada pada rentang spektrum cahaya yang sama (hijau). Sedangkan puncak minimum absorbansi atau puncak maksimum transmitansi memiliki kecenderungan mengecil, meskipun masih pada rentang spektrum cahaya yang sama (biru dan merah).

Ketika ditandem dengan kristal fotonik terjadi peningkatan absorbsi pada film BST untuk setiap variasi nilai x yang berkisar antara 3.04 sampai 13.33%. Pada fraksi mol x = 0.25 rata-rata keseluruhan persentase absorbansi meningkat sebesar 3.96% dari 92.4 menjadi 95.68%. Pada fraksi mol x = 0.35 rata-rata peningkatan persentase absorbansi naik sebesar 7.07 menjadi 89.45% dari sebelumnya 83.55%. Selanjutnya rata-rata keseluruhan absorbansi film tipis BST pada fraksi mol x = 0.45, meningkat 3.04% dari sebelumnya 91.16 menjadi 93.93%, serta pada fraksi mol x = 0.55 mengalami peningkatan paling tinggi sebesar 13.33% dari rata-rata persentase absorbansi sebelumnya 80.13 menjadi 90.81%.

Karakterisasi yang dilakukan pada frekuensi 100 kHz menunjukkan bahwa semakin besar fraksi mol barium, nilai konduktivitas listrik film BST semakin meningkat, walaupun tidak secara linier dan ketika film tipis BST dikenai dengan cahaya, terlihat adanya penurunan nilai konduktivitas listriknya. Adanya perubahan nilai koduktivitas ini menunjukkan bahwa film tipis yang dihasilkan memiliki sifat fotokonduktiv. Hasil perhitungan konduktivitas listrik mendapatkan nilai konduktivitas listrik film tipis BST pada penelitian ini berada pada rentang nilai dari 0.22 x 10-1 sampai 0.57 x 10-1 S/cm. Bila merujuk pada literatur yang menggolongkan material berdasarkan nilai konduktivitas listriknya, material semikonduktor memiliki rentang nilai dari 10-8 sampai 103 S/cm, berdasarkan nilai ini maka film tipis BST pada penelitian ini masuk kedalam golongan material semikonduktor.

(6)

SUMMARY

ABD. WAHIDIN NUAYI. Enhancement of photon absorbtion on BaxSr1-xTiO3 thin

films semiconductor using photonic crystals. Supervised by HUSIN ALATAS and IRZAMAN.

In this research, has been conducted BaxSr1-xTiO3 (BST) thin films

manufacturing for mole fraction x = 0.25, 0.35, 0.45, and 0.55; and concentration of 1 molar using chemical solution depositon(CSD) method. The materials, which are used in this research, are barium acetate [Ba(CH3COO)2, 99%], strontium

acetate [Sr(CH3COO)2, 99%], titanium isopropoxide [Ti(C12O4H28), 97.999%],

gallium trioxide [Ga2O3], 2-methoxyethanol [H3COOCH2CH2OH, 99%] and 1 x 1

cm oftransparent conductive oxide(TCO) glass as substrate. Two BST thin films are made that for BST thin films which are doped by 10% galium (BGST) as p-type layer and pure BST solution as n-type. BST solution is made by reacting barium acetate [Ba(CH3COO)2, 99%], strontium acetate [Sr(CH3COO)2, 99%] and titanium

isopropoxide [Ti(C12O4H28)] into 2-methoxyethanol solvent [H3COOCH2CH2OH,

99%] in accordance with mass gram for each x value. While, BGST solution is made in the same way as BST solution, plus adding gallium at 10% of the mass of BST. Once all materials are reacted, then vibrated using ultrasonic for 90 minutes, and followed by coating BGST / BST on the TCO substrate. Once the layer is formed, then annealed for 15 hours at temperature of 500 °C with increasing rate of 1.67 oC/minute.

Characterizations of BST thin films with or without photonic crystals include the absorbance and transmittance in the visible light spectrum, as well as the electrical photoconductivity characterizations.

From BST thin films without photonic crystals indicate that our thin films have light absorption area on almost the entire range of the visible light spectrum even to the infrared range with absorption value over than 67.6%, in addition, it can be seen that the maximum absorbance of BST thin films for all mole fractions lie in blue to green light spectrum region, 457 nm ≤ ≤ 570 nm and the minimum in yellow to red light spectrum region, 570 nm ≤ ≤ 678 nm.

The largest absorbance is found at x = 0.25 with average absorbance value of 92.04% and maximum and minimum absorbance peaks at wavelength of 500.89 and 657.72 nm, respectively. At x = 0.35, average absorbance value decreased to 83.55% with maximum and minimum peaks at 505.73 and 613.68 nm, respectively. Then increased to 91.16% at x = 0.45 with maximum and minimum peaks at 506.04 and 618.56 nm, respectively. At x = 0.55, average absorbance value decreased to 80.12% with maximum and minimum peaks at 507.85 and 608.79 nm, respectively. Moreover, it can be seen that the addition of barium mole fraction leads to wider maximum absorbance or minimum transmittance peaks and narrower minimum absorbance or maximum transmittance peaks in the same range of the green and blue & red light spectrums, respectively.

(7)

thin films at x = 0.45 increased 3.04% from 91.16 into 93.93% and x = 0.55 has the highest average absorbance percentage that is 13.33% from 80.13 into 90.81%.

Characterizations which are performed at frequency of 100 kHz show that the larger barium mole fraction leads to the higher electrical conductivity of BST films, non-linear, and when it is subjected to the light, its electrical conductivity is decrease. This phenomenon shows that our BST thin films have photoconductivity property. In this research, electrical conductivity of BST thin films in the range of 0.22 x 10-1 into 0.57 x 10-1 S/cm. From several literatures, that of semiconductor

materials in the range of 10-8 int0 103 S/cm, based on this, our BST thin films can be classified as semiconductor materials.

By considering solar cell material ability in absorbing photons, we conclude that our BST material can be utilized as a solar cell material, however, further testing on other solar cell properties is required.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biofisika

PENINGKATAN ABSORBSI FOTON PADA FILM TIPIS

SEMIKONDUKTOR BaxSr1-xTiO3 DENGAN MENGGUNAKAN

KRISTAL FOTONIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Peningkatan Absorbsi Foton Pada Film Tipis Semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan Menggunakan Kristal Fotonik

Nama : Abd. Wahidin Nuayi NRP : G751110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Husin Alatas, MSi Ketua

Dr Ir Irzaman, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biofisika

Dr Agus Kartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Juli 2013 (tanggal pelaksanaan ujian tesis)

(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Peningkatan absorbsi foton pada film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3

dengan menggunakan kristal fotonik”. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Mayor S2 Biofisika di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua, adik serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan do’a, nasehat dan semangat serta kasih sayang kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Husin Alatas, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Irzaman, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Mamat Rahmat, M.Si yang telah memberikan masukan saran dan arahan demi penyempurnaan penulisan karya ilmiah ini, serta dorongan motivasi untuk segera menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan angkatan 2011 dan 2012 mahasiswa pascasarjana S2 Biofisika IPB, Endang, Farly, Otto, Idawati, Surianty, Sugianto, Nur Aisyah, Masrur, TB Gamma, Ridwan, Aminullah, Nurlaeli, Kania, dan Agus serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pengambilan dan pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 METODE 6

Bahan 6

Alat 6

Prosedur Penelitian 6

Pembuatan Film Tipis BST dan BGST 7

Persiapan Substrat 7

Pembuatan Larutan BST dan BGST 7

Penumbuhan Film Tipis 8

Proses Annealing 8

Pembuatan Kontak pada Film BST 9

Karakterisasi 9

Karakterisasi Sifat Optik 9

Karakterisasi Sifat Listrik 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Karakterisasi Sifat Optik 12

Absorbansi dan Transmitansi 12

Koefisien Absorbansi (α) dan Konstanta Peredaman (k) 20

Energi Band Gap 26

Karakterisasi Sifat Listrik 32

Konduktivitas Listrik dan Fotokonduktivitas 32

Kapasitansi dan Konstanta Dielektrik 35

4 KESIMPULAN DAN SARAN 36

Kesimpulan 36

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 41

(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Proses annealing 8

2. Struktur sel surya BST menggunakan kristal fotonik 9

3. Setup karakterisasi sifat optik 10

4. Hubungan antara panjang gelombang terhadap persentase absorbansi film tipis BST tanpa ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol, x = 0.25 (―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan x = 0.55 (―◊―) 13 5. Hubungan antara panjang gelombang terhadap persentase transmitansi

film tipis BST tanpa ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol, x = 0.25 (―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan x = 0.55 (―◊―) 14 6. Hubungan antara panjang gelombang terhadap persentase absorbansi

film tipis BST ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol, x = 0.25

(―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan x = 0.55 (―◊―) 15 7. Perbandingan antara absorbansi film tipis BST ketika tidak ditandem

(―∆―) dan ditandem dengan kristal fotonik (―○―) yang dinyatakan dalam bentuk persentase dengan memvariasikan fraksi mol barium sebagai fungsi panjang gelombang: (a) fraksi mol x = 0.25; (b) fraksi

mol x = 0.35 16

8. Perbandingan antara absorbansi film tipis BST ketika tidak ditandem (―∆―) dan ditandem dengan kristal fotonik (―○―) yang dinyatakan dalam bentuk persentase dengan memvariasikan fraksi mol barium sebagai fungsi panjang gelombang: (a) fraksi molx = 0.45; (b) fraksi

mol x = 0.55 17

9. Hubungan antara panjang gelombang terhadap koefisien absorbansi film tipis BST tanpa ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol x = 0.25 (―▲―), x = 0.35 (―■―), x = 0.45 (―●―) dan x = 0.55 (―♦―); untuk film yang ditandem dengan lapisan kristal fotonik untuk fraksi mol, x = 0.25 (―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan

x = 0.55 (―◊―) 21

10. Hubungan antara panjang gelombang terhadap konstanta peredaman film tipis BST tanpa ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol x = 0.25 (―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan

x = 0.55 (―◊―) 23

11. Hubungan antara panjang gelombang terhadap konstanta peredaman film tipis BST setelah ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol x = 0.25 (―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan x = 0.55

(―◊―) 24

12. Kurva energi gap terhadap (αhv)1/2 sebelum ditandem dengan

lapisan kristal fotonik: (a) fraksi mol x = 0.25; (b) fraksi mol x = 0.35 27 13. Kurva energi gap terhadap (αhv)1/2 sebelum ditandem dengan

lapisan kristal fotonik: (a) fraksi mol x = 0.45; (b) fraksi mol x = 0.55 28 14. Kurva energi gap terhadap (αhv)1/2 setelah ditandem dengan

lapisan kristal fotonik: (a) fraksi mol x = 0.25; (b) fraksi mol x = 0.35 29 15. Kurva energi gap terhadap (αhv)1/2 setelah ditandem dengan

(16)

DAFTAR TABEL

1. Beberapa penelitian tentang peningkatan absorbansi sel surya dengan

kristal fotonik (PC) 3

2. Massa setiap fraksi mol BST dengan menggunakan metode CSD 8 3. Pergeseran puncak panjang gelombang maksimum dan minimum

absorbansi dan transmitansi film BST akibat penambahan fraksi mol

barium 15

4. Persentase peningkatan rata-rata keseluruhan nilai absorbansi setiap fraksi mol tanpa lapisan kristal fotonik (TLPC) dan ditandem

lapisan kristal fotonik (DLPC) pada rentang spekrum cahaya tampak 19 5. Persentase penurunan relatif nilai koefisien absorbansi film BST

pengaruh penambahan fraksi mol barium pada panjang gelombang absorbansi maksimum (1,2) dan minimum (3,4) direntang spektrum

cahaya tampak 22

6. Persentase penurunan relatif konstanta peredaman film BST pengaruh penambahan fraksi mol barium pada panjang gelombang absorbansi maksimum (1,2) dan minimum (3,4) direntang spektrum cahaya

tampak sebelum ditandem lapisan kristal fotonik 23 7. Persentase penurunan relatif konstanta peredaman film BST pengaruh

penambahan fraksi mol barium pada panjang gelombang absorbansi maksimum (1,) dan minimum (2) direntang spektrum cahaya tampak

setelah ditandem lapisan kristal fotonik 26

8. Beberapa nilai energi gap (Eg) film BaSrTiO3 (BST) dengan

menggunakan beberapa metode 31

9. Nilai konduktivitas listrik (σ) film tipis BST pada frekuensi 100 kHz 33 10. Nilai konduktivitas listrik (σ) film tipis BST setelah dikenai cahaya

dengan intesitas lebih dari 2000 lux (kondisi terang) 34 11. Nilai kapasitansi dan konstanta dielektrik film tipis BST pada

frekuensi 100 kHz 35

DAFTAR LAMPIRAN

1. a. Data hasil pengukuran absorbansi dan transmitansi film tipis BST

sebelum ditandem dengan kristal fotonik 41

b. Data hasil pengukuran absorbansi dan transmitansi film tipis BST

setelah ditandem dengan kristal fotonik 44

2. a. Data hasil perhitungan nilai koefisien absorbansi (α) film tipis BST

sebelum ditandem dengan kristal fotonik 47

b. Data hasil perhitungan nilai koefisien absorbansi (α) film tipis BST

setelah ditandem dengan kristal fotonik 50

3. a. Data hasil perhitungan nilai konstanta peredaman (k) film tipis

BST sebelum ditandem dengan kristal fotonik 53 b. Data hasil perhitungan nilai konstanta peredaman (k) film tipis BST

(17)

4. Perhitungan ketebalan lapisan film tipis BST dengan menggunakan

metode volumetrik 59

5. Perhitungan nilai konduktivitas listrik dan konstanta dielektrik

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai salah satu negara tropis dengan limpahan cahaya matahari yang sangat melimpah dan mengingat kebergantungan akan masyarakat Indonesia terhadap sumber energi yang berasal dari fosil yang sangat tinggi, maka pengembangan devais sel surya sebagai energi sangat potensial. Yuliarto et al. (2007) memaparkan bahwa potensi energi surya di Indonesia sekitar 4.8 kWh/m2/hari. Nilai tersebut setara dengan nilai peak sun hour (PSH) sebesar 4.8 jam/hari, namun pemanfaatan untuk energi masih sangat rendah.

Berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia dan kajian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tercatat sampai tahun 2011 kapasitas panel surya yang terpasang di Indonesia baru 17 MWp. Jika dibandingkan dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia sebesar 33.7 GW, maka kontribusi tenaga surya untuk pembangkit listrik baru mencapai 0.05%. Nilai ini masih sangat kecil bila dibandingkan potensi tersebut, padahal pemanfaatan energi surya misalnya dalam bentuk solar home

system untuk daerah-daerah terpencil merupakan solusi andal untuk elektrifikasi

desa-desa tersebut.

Secara umum seperti yang dipaparkan oleh Bossert et al. (2000), Chopra et al. (2004), Guo et al. (2010), Torchynska et al. (2004) dan Wenas (2004), terdapat tiga material yang sedang dikembangkan secara intensif yaitu CulnSe2 (atau

paduannya seperti CulnS2 atau CulnGaSe2), CdTe dan silikon amorf. Dengan

tingkat efisiensi sekitar 10%, sel surya film tipis ini sudah layak untuk diproduksi massal dengan harga yang dapat bersaing dengan sumber energi listrik yang lain. Untuk ketiga material di atas hanya dibutuhkan ketebalan sekitar satu mikron untuk membentuk sel surya yang efisien. Ini disebabkan karena daya serap cahayanya yang besar.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa sel surya film tipis CdTe telah dapat diproduksi dalam bentuk modul percobaan dengan efisiensi sekitar 10%, jadi cukup layak untuk diproduksi secara massal. Namun, persoalannya adalah material ini belum dapat diterima dengan baik karena mengandung unsur cadmium. Bila rumah yang atapnya dipasang sel surya CdTe terbakar, unsur cadmium ini dapat menimbulkan polusi yang membahayakan. Selanjutnya, material CuInSe2 juga diharapkan dapat digunakan secara luas. Material dengan daya absorpsi cahaya yang besar ini, secara teoritik mempunyai efisiensi 20 %, bahkan lebih. Dalam skala laboratorium saat ini telah dibuat efisiensi di atas 15%, namun kesulitannya adalah sukarnya mengontrol komposisi dari ketiga unsur pembentukannya terutama saat diproduksi dalam ukuran yang besar secara massal, sehingga masih mengalami kesulitan dalam memproduksi modul dengan kualitas yang sama.

Material terakhir yang dikembangkan adalah adalah silikon amorf. Material ini juga dikenal sebagai bahan dasar pembuatan flat panel display untuk layar komputer atau televisi portabel. Ini dimungkinkan karena material ini dapat ditumbuhkan dalam ukuran besar dengan lebar lebih dari satu meter.

(19)

2

discharge) pada suhu yang relatif rendah (250 oC) (Beaucarne 2007). Secara teoritik,

sel surya yang dibuat dari film tipis silikon amorf dapat menghasilkan efisiensi sekitar 15%-16% (Bossert et al 2000), namun kelemahannya adalah adanya degradasi/penurunan efisiensi sekitar 30 hari harga awal, saat pertama kali disinari walaupun pada akhirnya menjadi stabil (efek Staebler Wronski) (Wenas 2004). Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa sel surya film tipis silikon amorf telah berhasil diproduksi dalam skala laboratorium dengan nilai efisiensi yang tidak jauh berbeda yaitu 13% (Bergaman 1999), 12% (Chopra et al. 2004; Torchynska dan Polupan 2004), dan 9,5% (Aberle 2009).

Meskipun stabilitas dan nilai efisiensi sel surya film tipis silikon amorf lebih rendah rendah bila dibandingkan dengan sel surya film tipis kristalin silikon yang dapat mencapai 20 sampai 30% dalam skala laboratorium, namun menurut Chopra

et al. (2004) sel surya film tipis silikon amorf masih akan menjadi pilihan untuk

terus diproduksi massal dalam skala megawatt untuk aplikasi khusus. Akan tetapi, menurut Yuliarto (2011) dan Wenas (2004) untuk produksi dalam negeri sendiri, teknologi yang dimiliki oleh Indonesia masih belum memungkinkan untuk membuat divais sel surya berbahan dasar silikon amorf, sehingga perlu alternatif pembuatan sel surya dalam bentuk kristal dengan bahan lain.

Salah satu material yang dapat dijadikan sebagai alternatif adalah material ferroelektrik. Secara teoritis, Itskovsky (1999) dan Yang et al. (2009) memaparkan bahwa sel surya dengan bahan dasar material ferroelektrik memiliki kisaran efisiensi antara 2.5 sampai 10%, dengan material ferroelektrik yang sudah diuji secara teoritis untuk dijadikan bahan sel surya diantaranya: triglycine sulphate (TGS), lithium tantalate (LiTaO3), sodium nitrite (NaNO2), dan bismuth ferrite

(BiFeO3 atau sering disebut BFO).

Selanjutnya, seperti yang dikemukakan oleh Kim et al. (2012) terdapat beberapa material ferroelektrik yang penting yang saat ini telah menjadi bahan kajian oleh para ahli, antara lain PbTiO3, Pb(ZrxTi1-x)O3, SrBiTaO3,

Pb(Mg1/3Nb2/3)O3, serta BaTiO3 yang menjadi dasar dari (Ba,Sr)TiO3. Disebabkan

sifat-sifat yang dimilikinya, material BaSrTiO3 merupakan salah satu material yang

beberapa tahun terakhir ini gencar dikaji dan dikembangkan. Salah satunya adalah dalam bentuk teknologi ferroelektrik film BST yang digunakan untuk aplikasi sensor cahaya yang kemudian dapat dikembangkan menjadi sel surya (Irzaman 2008). Hasil yang sama seperti ditunjukkan Ridwan (2010) dan Hastuti (2011) dan Hilaluddin (2011), dari hasil karakterisik yang dilakukan terhadap material barium

strontium titanate (BaSrTiO3) menunjukkan bahwa bahan ferroelektrik BST di atas

permukaan subsrat Si (100) tipe-p memiliki kemungkinan untuk digunakan sebagai bahan sel surya karena memiliki karakteristik seperti dioda p-n junction yang dapat berperilaku sebagai sel fotovoltaik.

Untuk pengembangan lebih lanjut sebagai material yang dapat digunakan untuk sel surya, material BST perlu dilakukan kajian lebih lanjut, misalnya dari segi kemampuan BST dalam mengabsorbsi foton, karena salah satu syarat material sel surya adalah material tersebut harus bersifat antireflektif, artinya bahwa material tersebut sedapat mungkin mengabsorbsi foton sebanyak-banyaknya.

Pada penelitian ini, dilakukan pengujian karakteristik fotokonduktivitas, konstanta dielektrik, konduktivitas listrik, absorbansi, koefisien absorbansi, konstanta peredaman dan energi gap film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan

(20)

3

chemical solution deposition (CSD. Kemudian diikuti dengan bagaimana pengaruh

lapisan kristal fotonik pada karakteristik-karakteristik tersebut, khususnya terhadap besaran absorbsi foton yang dihasilkan.

Pemilihan kristal fotonik (PC) sebagai substrat yang digunakan berdasarkan struktur dan sifat dari kristal fotonik. Sukhiovanov (dalam Mardanih 2010) menjelaskan bahwa kristal fotonik merupakan kumpulan lapisan medium optik dengan struktur yang tersusun secara alami. Adanya kumpulan lapisan medium optik dengan indeks bias yang berbeda ini, maka perambatan cahaya dengan frekuensi dan arah tertentu dapat dicegah, yang mana rentang daerah frekuensi tersebut dinamakan photonic band gap (PBG).

Dengan sifat ini, maka diharapkan foton yang diserap oleh BST lebih maksimal, sehingga berdampak pada meningkatnya konversi arus yang dihasilkan nanti. Ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penggunaan fotonik kristal yang ditandem pada silikon dapat meningkatkan absorbsi sinar matahari.

Beberapa penelitian yang menggunakan kristal fotonik sebagai devais sel surya diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bermel et al. (2007) dengan desain sel surya yang terdiri atas lapisan anti refleksi pada bagian atas dan Tabel 1 Beberapa penelitian tentang peningkatan absorbansi sel surya dengan

(21)

4

kristal fotonik pada bagian bawah yang dibuat dari kisi segitiga (triangular) 1D dari lubang udara pada silikon, dengan jari-jari r = 0375a, dengan a adalah periodisitas kisi. Hasilnya membuktikan adanya peningkatan absorbansi sebesar 26.3% (PC 1D) dan 26.5% (PC 3D).

Selanjutnya adalah Chutinan et al. (2009) yang menggunakan struktur sel surya konvensional dengan kisi penghambur yang terdiri atas lapisan anti refleksi pada bagian atas, kemudian lapisan c-Si yang seragam, dan pada bagian bawah berupa kisi penghambur dan sebuah reflektor. Kristal fotonik digunakan sebagai lapisan penyerap, yang mana untuk memberikan perubahan adiabatik dari lapisan seragam ke dalam struktur diskrit PC, dibuat kisi-kisi 1D yang ujungnya meruncing yang menghubungkan lapisan seragam anti refleksi ke kristal fotonik yang berbentuk persegi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan absorbsi sebesar 20.λ2% (ketebalan sel 2 m) dan 24.21% (ketebalan sel 10 m).

Park et al. (2009) juga melakukan hal yang sama dengan bentuk sel surya terdiri atas lapisan a-Si yang terpola pada substrat kaca yang merupakan struktur planar PC 1D . Nilai absorbsi yang didapatkan sebesar 16% pada lapisan a-Si berpola dan 14% pada lapisan a-Si yang tidak berpola.

Lebih lanjut, Gomard et al. (2010) mendapatkan nilai absorbsi sebesar 28% dengan desain sel surya yang terdiri dari lapisan perak (Ag), ZnO, a-Si-H yang dilapisi ITO. Dua lapisan terakhir sebagai kristal fotonik 2D dengan ukuran persegi. Chen et al. (2011) membuat sel surya yang terdiri atas lapisan anti refleksi (ARC) yang berupa lapisan mikrokristalin silikon ( c-Si atau kristal fotonik c-Si), substrat kaca yang ditutupi oleh sel surya c-Si pada keempat sisi dan sebuah reflektor pada bagian bawah. Dengan menggunakan tiga jenis opal berbasis PC (kubus sederhana SC, kubus berpusat badan BCC, dan kubus berpusat muka FCC) diperoleh absorbsi cahaya matahari untuk SC, BCC dan FCC masing-masing sebesar 18.7, 28.7 dan 27.4, 22.9%. Deinega dan John (2012) memperoleh peningkatan absorbsi sebesar 15 sampai 20% dengan desain sel surya yang terdiri atas lapisan Si, SiO2 dan ITO. Secara ringkas, ikhtisar penelitian yang dilakukan

oleh beberapa peneliti tersebut di atas, seperti terlihat pada Tabel 1.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik sifat optik dan listrik dari film tipis semikonduktor feroelektrik BaxSr1-xTiO3 (x = 0.25, 0.35, 0.45 dan 0.55) yang di tumbuhkan

pada substrat TCO baik yang tidak menggunakan maupun menggunakan (tandem) lapisan kristal fotonik?

2. Bagaimana pengaruh lapisan kristal fotonik terhadap karakteristik sifat optik dan listrik dari film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 (x = 0.25, 0.35, 0.45 dan

0.55)?

Tujuan Penelitian

(22)

5 2. Menguji efektivitas lapisan kristal fotonik dalam meningkatkan karakteristik sifat optik dan listrik film tipis semikonduktor feroelektrik BaxSr1-xTiO3 (x =

0.25, 0.35, 0.45 dan 0.55).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan material alternatif dalam pembuatan sel surya, sehingga ketergantungan terhadap satu material dasar dapat diminimalisir.

Ruang Lingkup Penelitian

Pembuatan dan karakteritik sel surya berbasis film tipis semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan variasi nilai x = 0.25, 0.35, 0.45 dan 0.55 dibuat dengan

menggunakan metode chemical solution deposition (CSD). Proses pembuatan dilakukan dalam dua tahapan. Pertama dengan menggunakan kaca transparant

conductive oxide (TCO) sebagai substrat penumbuhan film, dan yang kedua dengan

(23)

2

METODE

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bubuk barium asetat [Ba(CH3COO)2, 99%], stronsium asetat [Sr(CH3COO)2, 99%], titanium

isopropoksida [Ti(C12O4H28), 97.999%], galium tri oksida [Ga2O3], 2-metoksietano

[H3COOCH2CH2OH, 99%], etanol 96%, kaca TCO, kristal fotonik, aquades atau

di water (deionisasi water), pasta perak, kaca preparat dan alumunium foil.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca analitik model Sartonius BL6100, reaktor spin coater, mortar, pipet, pinset, gelas ukur, pinset, gunting, spatula, stopwatch, tabung reaksi, sarung tangan karet, cawan petris, isolasi, LCR meter tipe HIOKI 3522-50 LCR HiTester, spektrophotometer UV-VIS-NIR OceanOptics, masker, potensiometer, resistor, ultrasonik dengan model Branson 2.210, furnace model VulcanTM-3-130, dan kabel.

Prosedur Penelitian

Film BST dapat dibuat dengan menggunakan peralatan yang cukup sederhana, biaya murah dan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Material barium stronsium titanat (BST) memiliki potensi untuk menggantikan film tipis SiO2 pada

sirkuit semikonduktor (MOS,) namun konstanta dielektrik yang dimiliki oleh BST tersebut masih rendah dibandingkan dengan bentuk bulknya. Hal ini berkaitan dengan mikro butir yang baik, tingkat tekanan yang baik, kekosongan oksigen, formasi lapisan dan oksidasi pada silikon (Irzaman 2008, 2009, 2010).

Pembuatan film tipis BST dapat dilakukan dengan beberapa teknik seperti

metalorganic chemical vapor deposition (MOCVD) oleh Fitsilis et al. (2001)

metode sol-gel oleh Singh et al. (2008), Xin et al. (2011), Ibrahim et al. (2012) dan Verma et al. (2012), metode atomic layer deposition (ALD) oleh Tyunina et al. (2008), metode sintesis hidrotermal oleh Daojiang et al (2003), metal-organic

decomposition (MOD) oleh Kouttsaroff et al. (2003) dan Suherman et al (2009),

serta chemical solution deposition (CSD) oleh Iriani et al (2008), Irzaman et al (2011), Sirikultrat N (2011) dan Aygun et al (2011).

Pada penelitian ini, pembuatan film tipis BST dilakukan dengan menggunakan metode chemical solution deposition (CSD). Menurut Irzaman (2011), keunggulan dari metode CSD (Chemical Solution Deposition) adalah dapat mengontrol stokiometri film dengan kualitas yang baik, prosedur yang mudah dan membutuhkan biaya yang relatif murah.

Hamdani et al. (2009) menjelaskan bahwa metode chemical solution

deposition (CSD) merupakan metode pembuatan film tipis dengan pendeposisian

(24)

7 mana mula-mula aliran volumetrik cairan dengan arah radial pada substrat diasumsikan bervariasi pada permukaan substrat. Penggenangan awal dan pembasahan menyeluruh pada permukaan substrat terjadi pada saat t = 0, yang pada saat tersebut tegangan permukaan diminimalisasi (tidak ada getaran, noda kering dan sebagainya), selanjutnya piringan dipercepat dengan kecepatan rotasi yang spesifik, sehingga menyebabkan bulk dari cairan terdistribusi merata.

Pembuatan film tipis BST sendiri terdiri atas lapisan tipe-p yang terbuat dari BST yang didadah dengan galium 10% dan lapisan tipe-n yang terbuat dari BST, yang kemudian ditumbuhkan di atas substrat berupa kaca transparent conductive

oxyde (TCO) dan kristal fotonik.

Selanjutnya Irzaman (2009) menjelaskan bahwa dengan penambahan galium tri oksida menyebabkan semikonduktor BST yang semula merupakan tipe-n menjadi semikonduktor tipe-p. Hal ini disebabkan atom galium memiliki tiga elektron terluar dalam kulit terluarnya (trivalen). Penambahan (doping) galium yang merupakan atom-atom yang tidak murni ke dalam kristal intrinsik menyebabkan adanya perubahan daya konduksi listrik dari BST. Adanya penambahan atom trivalen ini, maka masing-masing hole akan membantu untuk menerima sebuah elektron bebas selama rekombinasi (atom akseptor).

Secara garis besar prosedur dalam penelitian ini terdiri atas 2 (dua) tahapan utama yang meliputi proses pembuatan dan karakterisasi sel surya berbasis film tipis semikonduktor ferroelektrik BST.

Pembuatan Film Tipis BST dan BGST Persiapan Substrat

Substrat yang digunakan berupa kaca TCO dan kristal fotonik satu dimensi, kemudian dipotong membentuk persegi dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Setelah proses pemotongan, kemudian dilanjutkan dengan pencucian dengan menggunakan berturut-turut aquadest dan etanol. Proses pencucian dilakukan selama 60 detik, dan bertujuan untuk membersihkan substrat dari kotoran yang ada.

Pembuatan Larutan BST dan BGST

Larutan BaxSr1-xTiO3 (BST) yang ditumbuhkan di atas substrat dengan

metode CSD dibuat dari asetat barium [Ba (CH3COOH)2, 99%], strontium asetat

Tabel 2 Massa setiap fraksi mol BST dengan menggunakan metode CSD

(25)

8

[Sr (CH3COOH)2, 99%)], titanium isopropoksida [Ti(C12O4H28), 99% ], dan 5 ml

2-metoksietanol [H3COOCH2CH2OH, 99%] sebagai pelarut. Keseluruhan bahan

tersebut dicampur dalam ultrasonik model Branson 2.210 selama 1 jam (campuran disebut prekursor). Sedangkan untuk pembuatan larutan BGST sama seperti dengan pembuatan BST, hanya saja ditambahkan galium tri oksida sebesar 10% dari BST. Larutan BST yang didopping dengan galium nantinya akan ditumbuhkan menjadi lapisan tipe-p dan larutan BST murni sebagai lapisan tipe-n. Massa dari masing-masing bahan untuk setiap fraksi mol diberikan dalam Tabel 2.

Penumbuhan Film Tipis

Proses penumbuhan film yang pertama kali dilakukan adalah penumbuhan lapisan tipe-p yang berupa larutan BST yang didadah galium dengan menggunakan reaktor spin coating. Substrat TCO yang telah dicuci sebelumnya, diletakkan di atas piringan reaktor spin coating yang telah ditempeli dengan doubletip pada bagian tengahnya. Setelah itu, 2/3 permukaan substrat silikon tipe-p yang telah ditempelkan pada permukaan piringan spin coating ditutupi dengan merekatkan

solatif. Perekatan solatif ini bertujuan untuk menghindari agar tidak semua

permukaan substrat TCO terlapisi atau tertutupi oleh larutan BST, dan penempelan

doubletip bertujuan agar substrat tidak terlepas saat piringan reaktor spin coating

berputar.

Substrat yang telah ditempatkan di atas piringan spin coating ditetesi larutan BST sebanyak 3 tetes, kemudian reaktor spin coating diputar dengan kecepatan 6000 rpm selama 30 detik. Proses penetesan dilakukan sebanyak 3 kali dengan jeda setiap ulangan adalah 60 detik. Setelah penetesan, substrat diambil dengan menggunakan pinset, kemudian dipanaskan di atas hot plate selama 15 sampai 20 menit untuk menguapkan sisa pelarut yang masih tersisa.

Untuk penumbuhan lapisan tipe-n yang berupa larutan BST murni dengan fraksi mol yang berbeda, dilakukan dengan cara yang sama seperti penumbuhan lapisan tipe-p, dan ditumbuhkan di atas lapisan tipe-p. Akan tetapi proses penumbuhan lapisan tipe-n ini dilakukan setelah lapisan tipe-p di annealing .

Proses Annealing

Proses annealing bertujuan untuk mendifusikan larutan BST dengan substrat. Proses annealing dilakukan dengan menggunakan furnace model VulcanTM-3-130 dan dilakukan secara bertahap. Pemanasan dimulai dari suhu ruang kemudian

(26)

9

dinaikkan hingga suhu annealing yang diinginkan yaitu sebesar 500 °C dengan kenaikan suhu pemanasan yang disesuaikan (1.67 °C/menit), kemudian suhu pemanasan tersebut ditahan konstan hingga 15 jam. Selanjutnya dilakukan furnace

cooling sampai didapatkan kembali suhu ruang. Pada penelitian ini waktu

penahanan yang digunakan selama 15 jam (Gambar 1). Cara yang sama dilakukan untuk lapisan tipe-n.

Pembuatan Kontak pada Film BST

Lubang kontak pada film tipis dibuat berbetuk persegi dengan ukuran 2 mm x 2 mm pada lapisan BST dan menutup bagian lain dari film BST yang tersisa dengan dengan menggunakan aluminium foil. Poses selanjutnya adalah metalisasi aluminium (Al) sebagai media kontak film yang dilakukan secara evaporasi pada ruang vakum udara. Langkah terakhir adalah pemasangan hidder dan kawat tembaga yang berukuran halus dengan menggunakan pasta perak.

Struktur film tipis semikonduktor ferroelektrik BST dengan menggunakan kristal fotonik seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.

Karakterisasi

Karakterisasi Sifat Optik

Karakterisasi sifat optik film tipis semikonduktor BST dengan tipe-p BST yang telah didadah dengan galium 10% pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan spektroskopi optik yang menggunakan alat VIS-NIR

spectrophotometer model ocean optics DT-mini-2. Karakterisasi optik yang

dilakukan meliputi pengukuran nilai absorbansi, transmitansi dan reflektansi film BST. Data yang diperoleh digunakan untuk menentukan nilai konstanta absorbansi dan konstanta peredaman, serta band gap dari film tipis BST yang dihasilkan.

Pengukuran sifat optik ini dilakukan dengan melewatkan sumber cahaya polikromatis (putih) ke lapisan semikonduktor, kemudian cahaya yang dipancarkan ditransmisikan dengan serat optik untuk kemudian diteruskan dan diolah oleh Ocean Optic USB 2000 Vis-Nir spectrophotometer Optic USB 2000 Vis-Nir

spectrophotometer yang terhubung ke komputer. Kemudian dengan menggunakan

perangkat lunak (software) khusus, data diekstrak dan diolah lebih lanjut menggunakan pengolah data tertentu (misalnya Microsoft Office Excell atau Sigma

Plot).

(27)

10

Prosedur pengambilan data yang pertama kali dilakukan adalah merekam data intensitas gelap/background (ID), kemudian merekam data intensitas referensi (I0)

dalam hal ini adalah intensitas transmisi gelas TCO dan kristal fotonik dan terakhir adalah merekam data intensitas sampel (I) (Maddu dan Timuda, 2010). Setup karakterisasi optik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Kemampuan suatu bahan dalam menyerap/mengabsorbsi radiasi disebut dengan absorbsitivitas yang dinyatakan dalam bentuk koefisien absorbansi (α), dan untuk nilai absorbsitivitas pada bahan atau material semikonduktor terletak pada rentang panjang gelombang tertentu. Maddu dan Timuda (2010) menyatakan besarnya absorbansi dan koefisien absorbansi dapat dihitung dari menurunkan persamaan persamaan

A= �II 0 (1) atau dapat dituliskan dalam bentuk lain,

A = � (�� − �0 − ��

�) (2)

dan pada lapisan film tipis berlaku hubungan

I0

I = �� (3)

Apabila persamaan (3) disubtitusikan ke persamaan (2), maka diperoleh persamaan matematis untuk menghitung nilai koefisien absorbansi

� = . � (4) dengan α adalah koefisien absorbansi, A adalah absorbansi (a.u), d adalah ketebalan lapisan film (cm), I0 merupakan intensitas awal, dan I adalah intensitas sampel.

Bila dihubungkan dengan transmitansi nilai koefisien absorbansi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

� =� [ /�] (5) dengan αmenyatakan koefisien absorbansi, T adalah nilai transmitansi dan d adalah ketebalan lapisan film (cm) ( Leng et al. 2006).

Nilai koefisien absorbansi (α) pada semikonduktor selain merupakan fungsi dari panjang gelombang yang terkait, juga merupakan fungsi dari energi foton, yang berturut-turut dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matematis

(28)

11 � = �(6) dan

� ∝ (ℎ� − ��)� (7)

dengan k merupakan koefisien peredaman (extinction), hv adalah energi foton (eV),

λ adalah panjang gelombang (nm), serta n adalah konstanta yang menyatakan transisi elektron pada semikonduktor (1/2 untuk transisi langsung dan 2 untuk transisi tidak langsung (Leng et al. 2006).

Dengan memperhatikan nilai koefisien absorbansi (α) dan menggunakan metode Tauc plot nilai energi gap film tipis BST pada penelitian ini dapat ditentukan, yaitu dengan melakukan ekstrapolasi pada bagian plot linier yang memotong absis dari kurva (αhv) 1/n terhadap hv (Pontes et al. 2002 dan Leng et al.

2006).

Karakterisasi Sifat Listrik

Sifat listrik dari film tipis BST salah satunya dapat diketahui dari karakterisasi konduktivitas listrik, fotokonduktivitas dan konstanta dielektrik. Karakterisasi konduktivitas listrik, fotokonduktivitas dan konstanta dielektrik dilakukan dengan mengukur nilai konduktansi (G) dan kapasitansi (C) dari film tipis semikonduktor BST. Pengukuran konduktansi dilakukan pada kondisi terang dan gelap, serta nilai kapasitansi diukur dengan menggunakan LCR meter tipe HIOKI 3522-50 LCR

HiTester. Data konduktansi digunakan untuk menentukan nilai konduktivitas listrik

dari film tipis semikonduktor BST dengan menggunakan persamaan

�= GlA (8) dengan σ menyatakan nilai konduktivitas listrik (S/cm), G adalah nilai konduktansi (S), l adalah ketebalan film (cm) dan A adalah luas permukaan film (cm2) (Giancoli 2001).

Nilai dari konduktivitas ini juga dapat digunakan untuk menguji apakah film tipis BST yang dihasilkan bersifat isolator, konduktor atau semikonduktor. Sedangkan pengukuran pada kondisi terang-gelap digunakan untuk mengetahui seberapa besar perubahan konduktivitas film tipis BST yang terbentuk terhadap perubahan intensitas cahaya yang jatuh pada film tipis BST tersebut (uji fotokonduktif).

Data kapasitansi (C) digunakan untuk menghitung besar nilai konstanta dielektrik dengan menggunakan persamaan

= Cd

�0A (λ)

dengan k menyatakan kontanta dielektrik, C adalah nilai kapasitansi (F), d adalah jarak antara kontak film (cm), A adalah luas permukaan film tipis (cm2) dan ε

0

(29)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Sifat Optik

Absorbansi dan Transmitansi

Karakterisasi sifat optik film tipis BST dilakukan pada rentang cahaya dengan panjang gelombang 400-800 nm. Dari karakterisasi sifat optik diperoleh data keluaran yang berupa hubungan antara panjang gelombang terhadap absorbansi yang dinyatakan dalam optical density (OD), serta transmitansi dan reflektansi yang dinyatakan dalam bentuk persen. Pada penelitian ini proses karakterisasi dan pengukuran sifat optik film tipis BST diamati pada empat variasi fraksi mol (x) BST yaitu x = 0.25, 0.35, 0.45 dan 0.55. Selain variasi fraksi mol barium, proses pengukuran dan perhitungan juga dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ada tidaknya pengaruh lapisan kristal fotonik pada nilai absorbansi serta parameter optik lain film tipis BST yang ditandem dan tidak ditandem dengan fotonik kristal.

Besarnya nilai absorbansi yang dinyatakan dalam bentuk persen dan transmitansi film tipis BST untuk masing-masing fraksi mol BST tanpa ditandem lapisan fotonik kristal seperti yang diperlihatkan oleh hubungan antara panjang gelombang terhadap persentase absorbansi dan transmitansi pada Gambar 4 dan 5. Untuk film tipis BST yang ditandem lapisan fotonik kristal seperti pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Peristiwa absorbansi terjadi pada saat foton masuk bertumbukan langsung dengan atom-atom material dan menyerahkan energinya pada elektron atom penyusun BST. Selanjutnya foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti, sehingga pancaran sinar yang keluar dari material berkurang dibanding saat masuk ke material. Absorbansi dari energi cahaya dapat menyebabkan elektron tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi apabila energi yang diabsorbsi tersebut lebih besar dari tingkat energi elektron tersebut, atau dengan kata lain proses absorbsi hanya terjadi jika spektrum cahaya dengan panjang gelombang yang datang memiliki energi yang bersesuaian dengan energi yang dibutuhkan oleh elektron yang terikat pada kulit atom BST untuk bertransisi ke tingkat energi yang lebih tinggi.

(30)

13

Absorbansi terbesar terdapat pada fraksi mol x = 0.25 dengan rata-rata keseluruhan nilai absorbansi mencapai 92.04% dengan puncak absorbansi maksimum pada panjang gelombang 502.76 nm dan dan minimum pada panjang gelombang 657.72 nm. Pada fraksi mol x = 0.35 rata-rata keseluruhan nilai absorbansi turun menjadi 83.55% dengan puncak maksimum pada panjang gelombang 506.42 nm dan minimum pada panjang gelombang 613.68 nm. Selanjutnya meningkat menjadi 91.16% pada fraksi mol x = 0.45 dengan puncak absorbansi maksimum pada panjang gelombang 507.76 nm dan minimum pada panjang gelombang 618.56 nm, serta pada fraksi mol x = 0.55 rata-rata keseluruhan nilai absorbansi turun lagi menjadi 80.12% dengan puncak absorbansi pada panjang gelombang 512.76 nm dan minimum pada panjang gelombang 608.79 nm.

Saat nilai absorbansi bernilai minimum, pada saat itu elektron tidak menyerap energi dari foton yang dipancarkan secara maksimal, artinya foton pada panjang gelombang tersebut lebih mampu mengeksitasi elektron atom penyusun BST, sehingga sebagian besar diteruskan atau dipantulkan. Pada kondisi ini nilai transmitansi maksimum dan nilai absorbansinya minimum, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai absorbansi merupakan kebalikan dari trasnmitansi.

Hasil penelitian seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5 menunjukkan terdapat dua titik puncak maksimum dari nilai transmitansi sebagai fungsi dari panjang gelombang, yaitu pada rentang daerah spektrum cahaya ungu sampai biru, 422.82 nm ≤ ≤ 472.7λ nm, dan pada rentang daerah spektrum cahaya kuning

(31)

14

Gambar 5 memperlihatkan pula bahwa nilai absorbansi maksimum memiliki nilai transmitansi terkecil pada fraksi mol x = 0.25 dengan rata-rata keseluruhan nilai transmitansi sebesar 3.79% dengan puncak transmitansi maksimum pada panjang gelombang 462.79 dan 637.66 nm serta minimum pada panjang gelombang 502.76 nm. Fraksi mol x = 0.35 rata-rata keseluruhan nilai transmitansi sebesar 8.25% dengan puncak transmitansi maksimum pada panjang gelombang 445.93 dan 612.68 nm, serta minimum pada panjang gelombang 506.42 nm. Pada fraksi mol x = 0.45 rata-rata keseluruhan nilai transmitansi sebesar 4.17% dengan puncak transmitansi maksimum pada panjang gelombang 452.79 dan 622.67 nm, serta minimum pada panjang gelombang 507.76 nm. Selanjutnya pada fraksi mol x = 0.55, rata-rata keseluruhan nilai transmitansi sebesar 9.88% dengan puncak maksimum transmitansi pada panjang gelombang 442.81 dan 607.69 nm, serta minimum pada panjang gelombang 512.76 nm.

Ketika fraksi mol barium ditambah, puncak maksimum absorbansi atau puncak minimum transmitansi bertambah besar dan mengalami pergeseran, meskipun masih berada pada rentang spektrum cahaya yang sama (hijau). Sedangkan puncak minimum absorbansi atau puncak maksimum transmitansi memiliki kecenderungan mengecil, meskipun masih pada rentang spektrum cahaya yang sama (biru dan merah). Hal ini dapat disebabkan dengan adanya penambahan fraksi mol barium menyebabkan perubahan jari-jari atom menjadi semakin besar dan terjadi perubahan struktur kisi dari BST. Semakin membesarnya jari-jari atom BST menyebabkan volume semakin besar pula, sehingga bagian (ruang) dalam struktur BST yang tidak ditempati oleh molekul semakin banyak. Dengan semakin

Panjang gelombang (nm)

(32)

15

banyaknya ruang kosong ini, maka jumlah foton yang diserap oleh film BST berkurang. Berkurangnya jumlah absorbsi foton akibat penambahan fraksi mol barium ditunjukkan oleh nilai absorbansi dari film tipis BST menurun, hal ini didukung dengan nilai transmitansinya semakin membesar (Tabel 3).

Perubahan nilai absorbansi yang signifikan terjadi ketika film BST ditandem dengan lapisan kristal fotonik (DLPC). Berdasarkan data yang diperoleh seperti Tabel 3 Pergeseran puncak panjang gelombang maksimum dan minimum absorbansi dan transmitansi film BST akibat penambahan fraksi mol barium

Fraksi mol Panjang gelombang, (nm)

Absorbansi Transmitansi

a menyatakan puncak maksimum; b menyatakan puncak minimum

Panjang Gelombang (nm)

(33)

16

pada Gambar 6, yang merupakan hubungan absorbansi (yang dinyatakan dalam persentase) sebagai fungsi dari panjang gelomban, apabila dibandingkan dengan Gambar 4, tampak adanya peningkatan persentase absorbansi pada setiap variasi fraksi mol (x) barium pada film tipis BST.

Gambar 7 dan 8 memperlihatkan terdapat perbedaan besar antara nilai persentase absorbansi film tipis BST yang tidak ditandem dan yang ditandem

%

A

b

so

rb

an

si

0 88 92 96

100

a

Panjang Gelombang (nm)

400 500 600 700 800

%

A

b

so

rb

an

si

0 75 80 85 90 95 100

b

(34)

17 dengan lapisan kristal fotonik. Jika sebelum ditandem dengan lapisan kristal fotonik daerah absorbansi film tipis BST berada pada rentang spektrum cahaya biru sampai hijau, 457 nm ≤ ≤ 570 nm dengan puncak maksimum terletak pada panjang gelombang tertentu (antara 502.76 sampai 512.76 nm) serta rata-rata keseluruhan besaran absorbansi berkisar antara 80.12 sampai 92.04%, maka setelah ditandem

%

A

b

so

rb

an

si

0 88 92 96 100 a

Panjang Gelombang (nm)

400 500 600 700 800

%

A

b

so

rb

an

si

0 70 75 80 85 90 95 100

b

(35)

18

dengan kristal fotonik, untuk fraksi mol tertentu terjadi peningkatan rata-rata keseluruhan nilai absorbansi dan daerah absorbsi (serapan) maksimum semakin bertambah lebar menjadi sepanjang spektrum cahaya tampak serta memiliki nilai serapan (absorbansi maksimum( yang hampir sama (seragam).

Rentang spektrum cahaya tampak yang dimaksud terletak pada kisaran panjang gelombang ( ) 400 sampai 625 nm (spektrum cahaya ungu sampai merah) dengan rata-rata keseluruhan persentase absorbansi di atas 92.67% (antara 92.67 sampai 97.09%). Sedangkan pada daerah spektrum cahaya merah sampai inframerah, 626 nm ≤ ≤ 800 nm, seperti tampak pada Gambar 6, terlihat bahwa untuk setiap fraksi mol tertentu, rata-rata keseluruhan persentase absorbansi oleh film BST turun menjadi antara 85.28 sampai 92.63%.

Besarnya peningkatan rata-rata keseluruhan absorbansi film tipis BST yang ditandem lapisan kristal fotonik pada film BST dengan variasi fraksi mol berkisar antara 3.04 sampai 13.33%. Pada fraksi mol x = 0.25 rata-rata keseluruhan persentase absorbansi meningkat sebesar 3.96% dari 92.4% menjadi 95.68% (Gambar 7a). Pada fraksi mol x = 0.35, rata-rata peningkatan persentase absorbansi naik sebesar 7.07% menjadi 89.45% dari sebelumnya 83.55% (Gambar 7b). Selanjutnya, rata-rata keseluruhan absorbansi film tipis BST yang ditandem lapisan kristal fotonik pada film BST pada fraksi mol x = 0.45 meningkat dari sebelumnya 91.16% menjadi 93.93% atau hanya meningkat sebesar 3.04% (Gambar 8a), dan pada fraksi mol x = 0.55 mengalami peningkatan paling tinggi sebesar 13.33% dari rata-rata persentase absorbansi sebelumnya 80.13% menjadi 90.81% (Gambar 8b).

Tabel 4 memperlihatkan peningkatan persentase nilai absorbansi film tipis BST untuk seluruh variasi fraksi mol setelah ditandem lapisan kristal fotonik pada semua rentang spektrum warna cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Peningkatan terbesar terdapat fraksi mol x = 0.55 dengan peningkatan tertinggi terdapat pada spektrum warna jingga sebesar 37.71%, disusul kemudian spektrum warna kuning yang mengalami peningatan sebesar 33.53%. Berikutnya setelah spektrum warna kuning adalah spektrum ungu, merah, biru dan hijau dengan besar peningkatan berturut-turut 17.85, 12.32, 11.24 dan 9.96%. Sedangkan peningkatan terendah terdapat pada fraksi mol x = 0.25 kecuali pada spektrum warna merah (fraksi mol x = 0.45). Persentase peningkatan terendah berada pada spektrum warna ungu dengan besar peningkatan hanya sebesar 0.39% diikuti oleh spektrum warna biru, hijau, merah, kuning dan jingga dengan besar persentase peningkatan berturut-turut sebesar 0.87, 2.08, 2.55, 6.44 dan 7.03%.

Terjadinya peningkatan absorbansi film tipis BST yang dinyatakan dalam bentuk persentase dengan besar yang bervariasi untuk setiap fraksi mol x pada penelitian ini jika dibandingkan dengan sebelum film tipis tersebut ditandem dengan lapisan kristal fotonik disebabkan oleh struktur dan karakterisasi lapisan kristal fotonik yang dipakai.

Kristal fotonik yang dipakai pada penelitian ini terbuat dari material gelas

borossicate crown atau yang biasa dikenal dengan BK-7 dengan indeks bias 1.52

dan terdiri atas 14 layer dengan dua material dielektrik yang berbeda (indek bias tinggi dan rendah). Dua material yang berbeda tersebut berupa OS-5 yang merupakan campuran ZrO2 dan TiO2 serta MgF2, dengan indeks bias

(36)

19

gelombang 485-614 nm dengan transmitansi tertinggi pada panjang gelombang 539.67 nm, artinya pada rentang panjang gelombang tersebut absorbansi minimum.

Proses peningkatan absorbsi foton pada film tipis BST ketika ditandem dengan lapisan kristal fotonik dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika sebuah cahaya polikromatik ditembakkan pada film BST yang telah ditandem dengan lapisan kristal fotonik, ada bagian cahaya dengan panjang gelombang tertentu yang diserap dan diteruskan oleh lapisan BST (Gambar 4 dan 5). Karena tidak semua bagian permukaan susbtrat dilapisi oleh BST, maka ada bagian cahaya polikromatik yang langsung kepermukaan lapisan kristal fotonik yang ditandem. Bagian cahaya yang langsung mengenai permukaan lapisan fotonik ditambah dengan cahaya dengan panjang gelombang tertentu yang diteruskan oleh lapisan BST, dipantulkan lagi oleh lapisan kristal fotonik ke BST. Total spektrum cahaya yang dipantulkan Tabel 4 Persentase peningkatan rata-rata keseluruhan nilai absorbansi setiap fraksi mol tanpa lapisan kristal fotonik (TLPC) dan ditandem lapisan kristal fotonik (DLPC) pada rentang spekrum cahaya tampak

Spektrum warna/

(37)

20

oleh lapisan kristal fotonik ini kemudian diserap lagi oleh lapisan BST yang berada di atasnya, sehingga cahaya yang diserap oleh BST makin bertambah besar. Semakin bertambahnya jumlah cahaya yang diserap oleh BST seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6 dan perbandingan besar serapan sebelum ditandem dengan lapisan kristal fotonik untuk masing-masing fraksi mol seperti yang ditampilkan pada Gambar 7 dan 8.

Disebabkan panjang gelombang yang ditransmisikan oleh BST maksimum pada rentang panjang gelombang 608 sampai 657 nm (Tabel 3) dan karakteristik lapisan kristal fotonik yang digunakan memiliki transmitansi maksimum pada rentang panjang gelombang 485-614 nm, maka spektrum cahaya yang dipantulkan kembali oleh lapisan kristal fotonik dan yang kemudian diserap lagi oleh BST, lebih besar pada rentang panjang gelombang tersebut.

Adanya penyerapan kembali cahaya ini, menyebabkan foton masuk yang bertumbukan langsung dengan atom-atom material dan kemudian menyerahkan energinya pada elektron atom semakin banyak. Disebabkan jumlah foton yang masuk kembali, dan juga menyebabkan elektron tereksitasi ke tinggkat energi yang lebih tinggi lebih banyak berasal dari panjang gelombang spektrum warna cahaya jingga dan kuning dibandingkan dengan spektrum warna cahaya lain, maka menyebabkan pertambahan besaran energi absorbansi yang lebih signifikan pada spektrum warna dengan panjang gelombang tersebut, yaitu spektrum warrna cahaya jingga dan kuning (Tabel 4).

Koefisien Absorbansi (α) dan Konstanta Peredaman (k)

Pada film tipis, koefisien absorbansi (α) memiliki pengaruh terhadap celah energi. Sebagai fungsi transmitansi, koefisien absorbansi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5). Sebelum menghitung koefisien absorbansi (α), terlebih dahulu menghitung nilai ketebalan (D) dari film tipis BST yang digunakan pada penelitian ini. Ketebalan film tipis BST diperoleh dengan menggunakan metode volumetrik, yaitu dengan membandingkan massa BST sebelum dan setelah

di annealing dengan rapat jenis dan luas permukaan substrat yang ditumbuhkan

BST. Dengan metode volumetrik ini, diperoleh nilai ketebalan (D) film BST sebesar 0.576 m.

Gambar 9 memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan, pada setiap rentang panjang gelombang tertentu memiliki besar koefisien absorbansi yang berbeda-beda. Disebabkan oleh koefisien absorbansi merupakan fungsi dari transmitansi, maka nilai koefisien absorbansi yang besar menunjukkan panjang gelombang dengan transmitansi minimum atau nilai absorbansinya maksimum. Jadi semakin besar nilai koefisien absorbansi pada panjang gelombang tertentu, maka transmisi cahaya pada panjang gelombang tersebut makin kecil atau nilai absorbansi cahayanya makin besar. Besarnya koefisien absorbansi pada transmitansi minimum atau absorbansi maksimum, kemudian digunakan untuk menentukan besarnya energi foton yang diserap pada panjang gelombang tersebut. Berikutnya, seperti halnya nilai absorbansi atau transmitansi yang diperoleh sebelumnya, penambahan fraksi mol barium yang merubah jari-jari atom barium pada film tipis BST bertambah besar, berakibat pada nilai koefisien absorbansinya yang berkurang.

(38)

21

mol barium ditambah. Dan bila dibandingkan dengan sebelum ditandemnya lapisan kristal fotonik, terjadi peningkatan besar nilai koefisien absorbansi seperti halnya yang diperlihatkan Gambar 9.

Pengamatan penurunan nilai koefisien absorbansi akibat penambahan fraksi mol barium pada film BST yang tidak ditandem maupun yang ditandem dengan lapisan kristal fotonik, dilakukan direntang panjang gelombang spektrum cahaya tampak dan difokuskan pada puncak dengan nilai maksimum (1,2) yang mencirikan nilai absorbansi/penyerapan energi cahaya maksimum (nilai transmitansinya minimum) serta pada puncak dengan nilai minimum (3,4) yang mencirikan penyerapan energi cahaya minimum atau nilai transmitansinya maksimum (Tabel 5).

Tabel 5 memperlihatkan bahwa dengan adanya penambahan fraksi mol barium menyebabkan penurunan persentase nilai koefisien absorbansi relatif terhadap fraksi mol x = 0.25 diatas 50% kali meskipun tidak secara linear. Fenomena yang sama juga terjadi pada film BST yang ditandem dengan lapisan kristal fotonik.

Pengamatan juga dilakukan daerah inframerah ( > 750 nm), akan tetapi berdasarkan Gambar 9, pada rentang daerah inframerah tidak terlihat puncak maksimum yang signifikan, sehingga pengamatan penurunan nilai koefisien absorbansi akibat penambahan fraksi mol barium tidak dilakukan.

Panjang gelombang (nm)

400 500 600 700 800

(

x

1

0

3 c

m

-1 )

0 40 60 80 100

(39)

22

Maddu dan Timuda (2010) mengemukakan, jika cahaya dengan panjang gelombang tertentu mengenai suatu material, maka intensitas gelombang cahaya tersebut akan mengalami atenuasi atau diredam pada jarak yang pendek. Pada kondisi ini amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial, dengan besar kecilnya pengurungan intensitas ini berbeda untuk setiap material. Hummel (2001) dalam Maddu dan Timuda (2010) memberikan contoh, misalnya pada material dielektrik seperti gelas, pengurangan intesitas kurang kuat bila dibandingkan pada logam yang pengurangannya kuat. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui efek peredaman tersebut adalah dengan mengetahui nilai konstanta peredamannya (k). Dengan menggunakan persamaan (6), maka nilai k pada penelitian ini dapat ditentukan.

Seperti halnya dengan material semikonduktor terdeposisi lainnya, lapisan yang berperan dalam proses penyerapan cahaya pada film tipis pada penelitian ini adalah lapisan BST yang ditumbuhkan atau dideposisikan pada substrat TCO. Banyaknya fraksi atau bagian dari energi cahaya yang diserap, tercermin pada nilai konstanta peredaman yang semakin besar (Maddu dan Timuda, 2010). Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semakin besar nilai absorbansi atau nilai transmitansi mengecil, maka besar nilai konstanta peredamannya juga semakin besar.

Gambar 10 memperlihatkan besar nilai konstanta peredaman sebagai fungsi panjang gelombang dari film tipis BST sebelum ditandem dengan lapisan kristal fotonik. Seperti halnya nilai koefisien absorbansi yang memiliki besaran tertentu pada panjang gelombang tertentu, konstanta peredaman juga memiliki besaran tertentu pada panjang gelombang tertentu. Dengan demikian, besar kecilnya nilai konstanta peredaman pada suatu panjang gelombang mencerminkan banyaknya Tabel 5 Persentase penurunan relatif nilai koefisien absorbansi film BST pengaruh penambahan fraksi mol barium pada panjang gelombang absorbansi maksimum (1,2) dan minimum (3,4) direntang spektrum cahaya tampak

A dilakukan relatif terhadap fraksi mol x = 0.25; a pengamatan pada panjang gelombang 402.84

nm; b pengamatan pada panjang gelombang 447.80 nm; c pengamatan pada panjang gelombang

(40)

23

bagian dari energi cahaya yang diserap atau ditransmisikan oleh panjang gelombang tersebut.

Tabel 6 memperlihatkan berdasarkan hasil perhitungan konstanta peredaman pada panjang gelombang spektrum cahaya tampak, terlihat dengan adanya penambahan fraksi mol barium, besar nilai konstanta peredaman mengalami penurunan.

Panjang gelombang (nm)

400 500 600 700 800

k

(

x

1

0

-2 )

0 10 15 20 25 30 35

Gambar 10 Hubungan antara panjang gelombang terhadap konstanta peredaman film tipis BST tanpa ditandem kristal fotonik untuk fraksi mol, x = 0.25 (―∆―), x = 0.35 (―□―), x = 0.45 (―○―) dan x = 0.55 (―◊―)

Tabel 6 Persentase penurunan relatif konstanta peredaman film BST pengaruh penambahan fraksi mol barium pada panjang gelombang absorbansi maksimum (1,2) dan minimum (3,4) direntang spektrum cahaya tampak sebelum ditandem lapisan kristal fotonik

Fraksi mol (x)

k (x 10-2) Persentase penurunan relatif k

(%)A

1 2 3 4 1 2 3 4

0.25 30.39a 29.89b 23.95c 24.63d 100 100 100 100 0.35 17.86a 22.67b 14.62c 16.36d 58.77 75.84 61.04 66.42 0.45 25.63a 28.20b 21.03c 23.13d 84.34 94.35 87.81 93.91 0.55 16.28a 20.70b 12.71c 14.57d 53.57 69.25 53.07 59.16

A dilakukan relatif terhadap fraksi mol x = 0.25; a pengamatan pada panjang gelombang 402.84

nm; b pengamatan pada panjang gelombang 512.75 nm; c pengamatan pada panjang gelombang

(41)

24

Pengamatan dilakukan pada panjang gelombang 402.84 dan 512.75 nm yang merupakan puncak dengan nilai maksimum dan mencerminkan adanya penyerapan energi cahaya paling banyak (1 dan 2), serta panjang gelombang 442.81 dan 602.69 nm yang merupakan puncak penyerapan energi cahaya paling sedikit yang dicirikan dengan nilai minimum terletak pada kedua puncak tersebut (angka 3 dan 4 pada Tabel 6).

Hasil perhitungan seperti yang ditampilkan Tabel 6 menunjukkan terjadi penurunan persentase relatif konstanta peredaman pada fraksi mol x = 0.35 terhadap fraksi mol x = 0.25 sebesar 58.77 dan 75.84% pada puncak yang mencirikan penyerapan energi cahaya maksimum, dan 61.04 dan 66.42 % pada puncak yang mencirikan penyerapan energi cahaya minimum. Berikutnya pada fraksi mol x = 0.45 terjadi penurunan relatif konstanta peredaman terhadap fraksi mol x = 0.25 pada puncak yang mencirikan penyerapan energi cahaya maksimum sebesar 84.34 dan 94.35% serta 87.81 dan 93.91% pada puncak yang mencirikan penyerapan energi cahaya minimum. Terakhir untuk fraksi mol x = 0.55 terhadap fraksi mol x = 0.25 mengalami penurunan relatif konstanta peredaman masing-masing sebesar 54.57 dan 69.25% serta 53.07 dan 59.16% berturut-turut pada puncak yang mencirikan penyerapan energi cahaya maksimum dan minimum.

Fenomena yang sama juga teramati pada nilai konstanta peredaman film BST setelah ditandem dengan lapisan kristal fotonik seperti yang terlihat pada Gambar 11. Penambahan fraksi mol barium, menyebabkan nilai konstanta peredamannya mengalami penurunan. Akan tetapi bila dibandingkan dengan sebelum ditandem lapisan kristal fotonik, nilai konstanta peredamannya lebih besar. Meningkatnya

Panjang gelombang (nm)

400 500 600 700 800

k

(x

1

0

-2 )

10 15 20 25 30 35 40

Gambar

Tabel 1  Beberapa penelitian tentang peningkatan absorbansi sel surya dengan
Tabel 2  Massa setiap fraksi mol BST dengan menggunakan metode CSD
Gambar 2  Struktur sel surya BST menggunakan kristal fotonik
Gambar 3  Setup karakterisasi sifat optik (Maddu, Timuda 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahan mentah yang didatangkan dari dalam negeri paling banyak adalah bijih besi untuk pembuatan semua metal equipment.. Bijih besi selalu didatangkan dari dalam negeri

Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang

Gambar 4: Kerangka Pikir - Model Ekosistem Pariwisata.. Berdasarkan data, mata pencaharian penduduk Desa Walahar yang paling banyak adalah bekerja sebagai karyawan perusahaan/buruh

Gambaran klinis bermula sebagai bercak/patch eritematosa yang gatal dan lama kelamaan semakin meluas dengan tepi lesi yang aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah

Pengujian bakteriologis dilakukan terhadap 13 sampel air minum isi ulang yang diambil dari depo air minum isi ulang yang tersebar di sekitar Lenteng Agung dan Srengseng Sawah

Dari selisih nilai mean yang cukup besar yakni 5,6 tersebut telah dapat dilihat bahwa kelompok eksperimen memiliki kemampuan mengingat yang lebih baik daripada

Dalam penelitian ini, ekstraksi minyak biji mangga dilakukan dengan metoda soxhlet yang menggunakan panas untuk waktu yang relatif panjang yaitu sampai dengan 18

121 12 Sumatera Utara 1207 Labuhan Batu P1207150101 Labuhan Bilik Jl.. Kesehatan Labuhan