• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shelf life and quality of edible coated fresh cut sapota (Achras zapota, L) cultivar sukatali ST1 stored in modified atmosphere packaging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Shelf life and quality of edible coated fresh cut sapota (Achras zapota, L) cultivar sukatali ST1 stored in modified atmosphere packaging"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

UMUR SIMPAN DAN MUTU IRISAN SEGAR BUAH SAWO

(Achras zapota, L) KULTIVAR SUKATALI ST1 BERLAPIS

EDIBEL DALAM KEMASAN ATMOSFER TERMODIFIKASI

SKRIPSI

IMANTA JOI BARNABAS PURBA

F14070101

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SHELF LIFE AND QUALITY OF EDIBLE COATED FRESH

CUT SAPOTA (

Achras zapota,

L

)

CULTIVAR SUKATALI ST1

STORED IN MODIFIED ATMOSPHERE PACKAGING.

Imanta Joi Barnabas Purba and Hadi K Purwadaria

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java

Indonesia.

ABSTRACT

Minimally processed fruit is one of the options that provide practical and ready to eat food for the urban people that has instant life style. Edible coating and low temperature are required to keep the quality and the shelf life of the minimally processed fruits. The objective of this study was to determine the influence of edible coating used for fresh cut sapota cultivar Sukatali ST1 on its quality and shelf life.

Preliminary experiment resulted in the selection of 0.5% glucomannan out of 0.5%, 0.55%, and 0.6% concentration for the edible coated fresh cut sapota due to its lowest respiration. Two treatments, storage temperature at three levels 5oC, 10oC, 15oC and atmosphere composition at also three levels 16-18% O2 & 2-4% CO2, 14-16% O2 & 2-4% CO2, and 14-16% O2 & 4-6% CO2 were

applied to the edible coated fresh cut sapota cultivar Sukatali ST1. The results indicated that storage temperature of 10 oC, and atmosphere composition of 14-16% O2 and 2-4% CO2 were favored

compared to the room condition. The packaging films appropriate for the selected condition were stretch film and polypropylene film.

The validation experiment concluded that edible coated fresh cut sapota cultivar Sukatali ST1 was best to be stored at 10 oC in a modified atmosphere packaging using stretch film, which was still accepted by consumers on the sixth day storage with an organoleptic score of 3-5 in the range of 1-5.

(3)

Imanta Joi Barnabas Purba. F14070101. Umur Simpan dan Mutu Irisan Segar Buah Sawo (Achras zapota, L) Kultivar Sukatali ST1 Berlapis Edibel Dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc. 2011.

RINGKASAN

Gaya hidup kota yang serba instan menuntut semuanya serba praktis. Buah-buahan juga mulai dijual umum dalam bentuk olahan minimal, yaitu buah telah dibuang bagian-bagiannya yang tidak dapat dimakan, dan sudah dibersihkan, sehingga bisa langsung dikonsumsi saat disajikan. Namun buah hasil olahan minimal berakibat pada umur simpan buah yang menjadi lebih cepat rusak. Pelapisan edibel bisa menjadi salah satu alternatif solusi untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu buah hasil olahan minimal.

Sawo merupakan buah yang cukup diminati. Pada umumnya buah sawo dijadikan sebagai buah meja. Salah satu kultivar lokal yang menjadi unggulan adalah kultivar Sukatali ST1. Sawo ini diminati karena rasanya yang manis, dan tidak mudah busuk. Produksi buah sawo di dalam negeri pun menunjukkan statistik yang terus meningkat sepanjang tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan pelapis edibel dalam mempertahankan umur simpan dan mutu dari irisan segar buah sawo kultivar Sukatali ST1 dalam kemasan atmosfer termodifikasi. Buah sawo yang digunakan yang sudah tua yaitu berumur 180 hari, sehat, tidak cacat atau luka, dan ukuran relatif seragam yaitu 8 buah per kg, berasal dari kebun sawo di desa Sukatali, Sumedang, Jawa Barat. Lapisan edibel dibuat dari pencampuran larutan glukomanan dan larutan CaCl2 (0.75%), yang kemudian ditambahkan dengan larutan

antioksidan dari asam sitrat 150 ppm yang dicampur dengan asam askorbat 150 ppm. Pencampuran dilakukan dengan tahapan dan prosedur yang sudah ditentukan.

Irisan segar buah sawo dilapisi glukomanan dengan tingkat konsentrasi yang berbeda yaitu 0.5%, 0.55%, dan , 0.6%, untuk selanjutnya dipilih yang terbaik untuk dipakai pada tahapan selanjutnya. Konsentrasi yang terpilih adalah konsentrasi 0.5% yaitu konsentrasi dengan laju repirasi terendah. Konsentrasi ini dipakai untuk tahap penelitian selanjutnya, yaitu penentuan suhu optimum. Suhu yang digunakan yaitu 5oC, 10oC, 15oC, dan suhu ruang. Dari pengujian terhadap suhu-suhu tersebut didapat suhu 10oC sebagai suhu optimum, yamg mampu mempertahankan umur simpan dan mutu irisan segar buah sawo sampai hari ke-6.

Selanjutnya dalam penentuan komposisi O2 dan CO2 optimum berdasarkan laju respirasi, digunakan tiga

taraf perlakuan yaitu 16-18% O2 & 2-4% CO2, 14-16% O2 & 2-4% CO2, dan 14-16% O2 & 4-6% CO2.

Pengamatan pada tahapan ini dilakukan pada beberapa parameter yaitu kekerasan, susut bobot, total padatan terlarut, warna, dan uji organoleptik. Dari hasil percobaan ditentukan komposisi atmosfer terpilih yaitu 14-16% O2 & 4-6% CO2. Jenis film kemasan yang sesuai dengan kemasan komposisi atmosfer tersebut adalah stretch

film dan polypropylene (dilubangi permukaannya seluas 5%). Dasar kemasan memakai plastic LDPE no.4 berukuran 12 cm x 20 cm.

(4)

UMUR SIMPAN DAN MUTU IRISAN SEGAR BUAH SAWO

(Achras zapota, L) KULTIVAR SUKATALI ST1 BERLAPIS EDIBEL

DALAM KEMASAN ATMOSFER TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

IMANTA JOI BARNABAS PURBA

F14070101

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul skripsi : Umur Simpan dan Mutu Irisan Segar Buah Sawo (Achras zapota, L) Kultivar Sukatali ST1Berlapis Edibel Dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi

Nama : Imanta Joi Barnabas Purba NIM : F14070101

Menyetujui,

Pembimbing Akademik,

(Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc) NIP. 19460821 1971061 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Desrial, M.Eng) NIP 19661201 199103 1 004

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : Umur Simpan dan Mutu Irisan Segar Buah Sawo (Achras zapota, L) Kultivar Sukatali ST1Berlapis Edibel Dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Yang membuat pernyataan

Imanta Joi Barnabas Purba

(7)

BIODATA PENULIS

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk menyelesaikan Tugas Akhir guna memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Mama, orang tua, dari penulis dan keluarga penulis atas segala doa dan dukungannya selama ini.

2. Prof. Dr. Ir. Hadi Karia Purwadaria, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan dukungan.

3. Bapak Sulyaden teknisi yang senantiasa membantu penulis selama melaksanakan penelitian dan selama pengurusan administrasi lab.

4. Reza Nur Rahman, Dhias Tanaya, Suryanta Karo-Karo, Wawat Rohdiawati, dan, Ryandra Erlangga yang selalu saling memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya.

5. Tri Yulni, Noni Lokasari, Ani Fatmawati, Nikita Putri Gabie, Ita Heruwati, Mba Dian, Ilah Fadilah, Erlanda Augupta Pane, Salsabil Thalib, Tetty Elisabet, Adi Nuryadi Parandica, Mudho Saksono, Daniel Pramudita, Dewi Istianah, Oktavianus Manurung, Anggi Kurniawan, Ririn Nurmawati dan semua teman-teman seperjuangan yang banyak membantu selama pelaksanaan penelitian dan dan penyusunan skripsi.

6. Temen-temen Wisma Alamanda Balebak, yang banyak membantu selama penelitian berlangsung.

7. Seluruh teman-teman teknik pertanian untuk pertemanan dan wawasan yang kalian berikan. 8. Dan untuk semua teman-seman, sahabat, kerabat, yang tidak dapat penulis tuliskan satu

persatu, banyak hal yang penulis pelajari dan penulis dapat dari kalian semua.

Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kekurangan yang muncul dalam penulisan skripsi ini bisa saja terjadi, karenanya penulis mengharapkan banyak masukan dari para pembaca sehingga dapat menjadi perbaikan dan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Bogor, Juli 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Buah Sawo ... 3

B. Laju Respirasi Buah-Buahan ... 4

C. Buah Terolah Minimal ... 5

D. Buah Terolah Minimal Dengan Lapisan Edibel ... 5

E. Penyimpanan Dalam Atmosfer Termodifikasi Pada Suhu Rendah ... 8

F. Pemilihan Jenis Kemasan ... 10

III. METODE PENELITIAN ... 11

A. Tempat Dan Waktu ... 11

B. Bahan Dan Alat ... 11

C. Prosedur Penelitian ... 11

D. Pengamatan Mutu ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

A. Penentuan Laju Respirasi Dengan Perlakuan Persentase Glukomanan ... 19

B. Laju Respirasi Pada Berbagai Perlakuan Suhu Penyimpanan ... 21

C. Penentuan Komposisi O2 Dan Co2 Dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi ... 23

D. Pemilihan Jenis Film Dan Validasi Kemasan Atmosfer TermodifikasI ... 31

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Simpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produksi Buah Sawo ... 1

Tabel 2 .Perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang ... 6

Tabel 3. Batas maksimum CO2 dan batas minimum penurunan O2 dari beberapa jenis buah ... 8

Tabel 4. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap umur simpan ... 9

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Sawo ... 3

Gambar 2. Sawo Sukatali ST1 ... 4

Gambar 3. Bagan alir SOP (standard operation procedure) pelapisan irisan segar buah

sawo... 12

Gambar 4. Bagan alir pengukuran laju respirasi irisan segar buah sawo dengan lapisan edibel ... 13

Gambar 5. Bagan alir penentuan komposisi O2 dan CO2 pada suhu terpilih ... 15

Gambar 6. Laju produksi CO2 irisan segar buah sawo pada berbagai konsentrasi lapisan edibel .. 20

Gambar 7. Laju konsumsi O2 irisan segar buah sawo pada berbagai konsentrasi lapisan edibel ... 20

Gambar 8. Laju produksi CO2 irisan segar buah sawo berlapis glukomanan 0.5% pada

berbagai suhu penyimpanan ... 22

Gambar 9. Laju konsumsi O2 irisan segar buah sawo berlapis glukomanan 0.5% pada

berbagai suhu penyimpanan ... 22

Gambar 10. Perubahan kekerasan irisan segar buah sawo berlapis edibel selama

penyimpanan pada suhu 10oC ... 24 Gambar 11. Perubahan susut bobot irisan segar buah sawo berlapis edibel

selama penyimpanan 10oC ... 24 Gambar 12. Perubahan nilai obrix sawo selama penyimpanan 10oC ... 25 Gambar 13. Perubahan nilai kecerahan (L) irisan segar buah sawo berlapis edibel selama

penyimpanan pada suhu 10oC ... 26 Gambar 14. Perubahan nilai kemerahan (a) irisan segar buah sawo berlapis edibel selama

penyimpanan pada suhu 10oC ... 27 Gambar 15. Perubahan nilai kekuningan (a) irisan segar buah sawo berlapis edibel selama

penyimpanan pada suhu 10oC ... 27 Gambar 16. Perubahan nilai organoleptik irisan segar buah sawo berlapis edibel selama

penyimpanan pada suhu 10oC ... 28 Gambar 17. Jenis film kemasan berdasarkan komposisi O2 dan CO2 terpilih untuk

sawo kultivar Sukatali ST1 ... 29

Gambar 18. Perbandingan antara keempat komposisi selama 6 hari ... 31

Gambar 19. Perubahan konsentrasi CO2 dan O2 pada kemasan stretch film selama

penyimpanan suhu 10oC ... 32 Gambar 20. Perubahan konsentrasi CO2 dan O2 pada kemasan polypropilene selama

(12)

Gambar 23. Perubahan nilai brix buah sawo selama penyimpanan suhu 10oC ... 35

Gambar 24. Perubahan nilai L buah sawo selama penyimpanan suhu 10oC ... 35

Gambar 25. Perubahan nilai a buah sawo selama penyimpanan suhu 10oC. ... 36

Gambar 26. Perubahan nilai b buah sawo selama penyimpanan suhu 10oC ... 37

Gambar 27. Perubahan nilai organoleptik irisan segar buah sawo berlapis edibel selama penyimpanan pada suhu 10oC ... 38

Gambar 26. Perbandingan tampilan sawo dengan kemasan atmosfer termodifikasi dengan film polypropilene dan stretch film selama penyimpanan ... 39

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Laju respirasi sawo terolah minimal pada berbagai konsentrasi glukomanan ... 45

Lampiran 2. Laju respirasi sawo terolah minimal berlapis glukomanan 0.5 % pada berbagai suhu

penyimpanan ... 46

Lampiran 3. Perubahan kekerasan, susut bobot, total padatan terlarut, perubahan warna dan uji

organoleptik sawo terolah minimal dan berlapis glukomanan 0.5% pada berbagai

komposisi atmosfer ... 48

Lampiran 4. Perubahan kekerasan, susut bobot, total padatan terlarut, perubahan warna dan uji

organoleptik irisan segar buah sawo kultivar Sukatali ST1 berlapis glukomanan 0.5%

pada berbagai film kemasan pada suhu 10oC ... 51 Lampiran 5. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kekerasan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% selama masa penyimpanan ... 52

Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan susut bobot irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% selama masa penyimpanan ... 57

Lampiran 7. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan total padatan terlarut irisan segar buah

sawo berlapis glukomanan 0.5% selama masa penyimpanan ... 60

Lampiran 8. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kecerahan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% selama masa penyimpanan ... 63

Lampiran 9. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kemerahan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% selama masa penyimpanan ... 66

Lampiran 10. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kekuningan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% selama masa penyimpanan ... 69

Lampiran 11. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kekerasan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% dalam kemasan selama penyimpanan ... 72

Lampiran 12. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan susut bobot irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% dalam kemasan selama penyimpanan ... 75

Lampiran 13. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahantotal padatan terlarut irisan segar buah

sawo berlapis glukomanan 0.5% dalam kemasan selama penyimpanan ... 78

Lampiran 14. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kecerahan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% dalam kemasan selama penyimpanan ... 81

Lampiran 15. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kemerahan irisan segar buah sawo

berlapis glukomanan 0.5% dalam kemasan selama penyimpanan ... 84

Lampiran 16. Analisis sidik ragam dan uji lanjut perubahan kekuningan irisan segar buah sawo

(14)

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil buah-buahan tropis. Beberapa diantaranya mangga, manggis, sawo, dan pisang. Buah-buah tersebut banyak diminati oleh masyarakat lokal maupun internasional.

Sawo sendiri merupakan buah yang cukup diminati. Salah satu kultivar lokal yang menjadi unggulan adalah kultivar Sukatali ST1. Sawo ini diminati karena rasanya yang manis, dan tidak mudah busuk. Selain itu, sawo ini terasa tidak lembek jika ditekan sehingga membuat konsumen sering terkecoh karena menyangka buah sawo masih mentah.

Produksi buah sawo di dalam negeri pun menunjukkan statistik yang terus meningkat sepanjang tahun, hingga tahun 2009, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi buah sawo

Tahun Produksi (Ton)

1997 54.99

1998 46.759

1999 44.664

2000 53.275

2001 63.011

2002 69.479

2003 83.877

2004 88.031

2005 83.787

2006 107.169

2007 101.263

2008 103.772

2009 127.876

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Buah sawo biasanya dikonsumsi sebagai buah segar dalam keadaan matang, atau biasa disebut buah meja. Karena itu pengolahan minimal sesuai dilakukan untuk buah sawo. Namun, dengan pengolahan minimal, buah akan mengalami penurunan mutu secara lebih cepat. Karena itu perlu pengemasan yang tepat, agar mutu buah sawo dapat terjaga lebih lama. Pelapisan edibel (edible coating) merupakan salah satu cara untuk mempertahankan masa simpan buah, dengan keuntungan, buah dapat langsung dimakan.

(15)

irisan buah, sehingga buah terjaga dari pencemaran dari luar, dan juga menahan laju respirasi dan atau penguapan dari dalam.

Pelapisan edibel dengan menggunakan glukomanan memiliki beberapa keuntungan yaitu sifatnya yang tembus cahaya dan tidak merubah warna permukaan buah yang terlapis, tidak memiliki rasa dan juga tidak berbau. Glukomanan juga memiliki sifat kedap air, sehingga mampu menahan penguapan yang terjadi pada permukaan irisan buah segar. Daya kembang glukomanan pun sangat baik, yaitu dari 138 persen sampai 200 persen.

B.

Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari penggunaan lapisan edibel pada irisan segar buah sawo kultivar Sukatali ST1 selama penyimpanan yang dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu buah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan konsentrasi glukomanan untuk pelapis edibel pada irisan segar buah sawo kultivar Sukatali ST1.

2. Menentukan komposisi O2 dan CO2 serta suhu untuk penyimpanan irisan segar buah sawo kultivar

Sukatali ST1 berlapis edibel.

3. Mengamati perubahan mutu irisan segar buah sawo kultivar Sukatali ST1 berlapis edibel yang terjadi selama penyimpanan.

4. Menentukan jenis film kemasan untuk penyimpanan irisan segar buah sawo kultivar Sukatali ST1 berlapis edibel dalam kemasan atmosfer termodifikasi.

(16)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Buah Sawo

Diduga tanaman sawo berasal dari Amerika Tengah, yakni Meksiko dan Indian Barat. Tanaman sawo telah menyebar luas di daerah tropik, termasuk Indonesia. Pohon sawo dapat mencapai tinggi 20 m (Sunarjono, 2007). Buah berukuran bulat lonjong dengan permukaan kasar berwarna kecoklatan. Daging buah lunak, manis berair, dan berbiji hitam kecoklatan sebanyak hingga enam buah (Ashari, 2006). Gambar Sawo dilihat pada Gambar 1.

Rasa buah sawo yang manis segar dikala ranum membuat buah ini banyak penggemarnya. Rasa manis ini disebabkan oleh kandungan gula dalam daging buah, yang kadarnya sekitar 16-20%. Bukan hanya gula, dalam daging buah sawo terkandung pula lemak, protein, vitamin A, B, dan C, juga mineral Fe, Ca, dan P (Nurcahyo, 1993). Buah sawo umumnya dikonsumsi sebagai buah meja, jarang yang diproses lebih lanjut. Buah dipetik sesudah memperlihatkan tanda matang atau tua benar. Sesudah diperam 2-3 hari buah sudah lunak dan beraroma menandakan sudah dapat dimakan segar (Ashari, 2006).

Gambar 1. Sawo (Sumber google.com)

Tanaman sawo dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)

Sub Divisi : Angiospermae (Berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledonae (Biji berkeping dua) Ordo : Ebenales

Famili : Sapotaceae

Genus : Achras atau Manilkara

(17)

Sawo Sukatali ST1

Sawo khas Desa Sukatali dikenal bukan hanya karena banyak warganya yang menanam buah itu, melainkan tipikal buahnya. Buah sawo asli Desa Sukatali memiliki sejumlah keistimewaan, antara lain, rasanya sangat manis dan tidak mudah busuk. Selain itu, jika ditekan, terasa tidak lembek. Konsumen sering terkecoh karena menyangka buah sawo masih mentah. Gambar sawo Sukatali ST1 dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.

Gambar 2a. Sawo Sukatali ST1 Gambar 2b. Sawo Sukatali ST1

Dahulu, buah sawo Desa Sukatali dikenal dengan nama Sawo Apel Kapas. Pada 2002, nama itu berubah menjadi Sawo Sukatali ST1. Kode “ST1” merupakan kepanjangan dari Sumedang Tandang 1.

B.

Laju Respirasi Buah-Buahan

Pada waktu masih berada di pohon, buah-buahan melangsungkan proses kehidupannya dengan cara melakukan pernapasan (respirasi), yaitu suatu proses biologis dimana oksigen diserap untuk digunakan pada proses pembakaran, yang menghasilkan energi dan diikuti oleh pengeluaran sisa pembakaran berupa gas karbondioksida dan air. Setelah dipanen pun buah-buahan masih melangsungkan proses respirasi ini. Secara sederhana proses respirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia berikut:

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kkal energi.

Pantastico (1986) menerangkan respirasi dibedakan dalam tiga tingkat : (1) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; (2) oksidasi gula menjadi asam piruvat; dan (3) transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, air, dan energi. Protein dan

lemak dapat pula berperan sebagai substrat dalam proses pemecahan ini. Menurut Pantastico (1986), besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah subtrak yang hilang, O2 yang

diserap, CO2 yang dihasilkan, panas yang dihasilkan dan energi yang timbul. Dalam praktek, biasanya

respirasi ditentukan dengan pengukuran CO2 dan O2, yaitu dengan pengukuran laju penggunaan O2

atau dengan penentuan laju pengeluaran CO2. Laju respirasi buah adalah perubahan jumlah volume

CO2 dan O2 setiap satuan waktu terhadap massa buah (ml/kg .jam). Laju respirasi merupakan

(18)

C.

Buah Terolah Minimal

Pengolahan minimal pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan bagian-bagian yang tidak dapat dikonsumsi, memperkecil ukuran, dan mengurangi limbah konsumsi. Konsumen pun akhirnya, hanya membeli apa yang dapat ia konsumsi tanpa harus meninggalkan limbah yang tidak berguna bagi konsumen. Produk buah segar terolah minimal pun menawarkan jaminan mutu dimana konsumen dapat melihat langsung kondisi buah yang tidak tertutup kulit.

Pengolahan minimum yang dilakukan terhadap buah-buahan pada umumnya meliputi perlakuan pencucian, sortasi, trimming, pengupasan, pengirisan, dan coring (pembuangan biji) yang cenderung tidak mempengaruhi kualitas produk dari keadaan segarnya (Shewfelt, 1987).

Produk olahan minimal lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan produk utuh (Krochta, 1992). Konsekuensi dari perlakuan pengolahan minimum terhadap buah segar adalah terjadinya perubahan fisiologi akibat kehilangan kulit sebagai lapisan pelindung. Perubahan-perubahan fisiologi tersebut akan menyebabkan buah segar terolah minimal semakin pendek masa simpannya. Pernyataan ini dibuktikan oleh hasil penelitian Kim et al. (1993) terhadap buah apel segar yang telah dikupas dan dipotong kemudian disimpan pada suhu 2oC dan RH 90% selama 12 hari, dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa laju respirasinya (produksi CO2) meningkat

menjadi 3.5-7.6 ml/kg.jam dibandingkan buah apel utuh yang hanya 1 ml/kg.jam.

D.

Buah Terolah Minimal dengan Lapisan Edibel

Umur simpan adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk suatu produk pangan mengalami penurunan mutu sampai produk tidak dapat dikonsumsi atau tidak diterima konsumen lagi. Untuk memperpanjang umur simpan buah terolah minimal diperlukannya penanganan yang tepat dan optimum. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat menekan laju penurunan mutu buah terolah minimal dan memperpanjang umur simpannya adalah melapisnya dengan suatu film yang dinamakan (edible coating) dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah. Oleh karena itu, penelitian mengenai lapisan edibel perlu dilakukan untuk memperoleh hasil dengan karakteristik dan spesifikasi yang jelas.

Lapisan edibel didefinisikan sebagai lapisan tipis yang melapisi bahan pangan dan aman untuk dikonsumsi. Bahan utama pembentuk film adalah biopolymer seperti protein, karbohidrat (pektin, gum, dan pati), lemak, dan campuran.

Bahan dasar pembentuk lapisan edibel sangat mempengaruhi sifat-sifat lapisan edibel itu sendiri. Lapisan edibel yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang baik terhadap gas O2

dan CO2 meningkatkan kekuatan fisik, namun ketahanan terhadap uap air rendah akibat sifat

hidroliknya. Oleh karena itu, protein dan polisakarida tidak dapat digunakan sebagai penahan (barrier) terhadap kelembaban pada permukaan yang mempunyai aktivitas air permukaan tinggi (Garnida, 2006). Hal ini menurut Wong et al. (1994), berarti lapisan hidrolik sebaiknya dihindari penggunaaannya untuk menyimpan buah pada kelembaban relatif yang tinggi.

Fungsinya untuk memberikan tahanan yang selektif terhadap transmigrasi gas dan uap air (Park et al., 1994). Lapisan edibel telah banyak digunakan pada bahan-bahan farmasi, manisan, beberapa produk daging, unggas, seafood. Namun, penelitian dan aplikasi kemasan ini pada umumnya dijumpai pada buah dan sayur segar terutama buah dan sayur siap hidang (minimally processed) (Choi et al., 2000). Selain itu, ada beberapa keuntungan yang didapat apabila produk dilapisi edibel coating, yaitu:

(19)

2. Dapat memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi lebih mengkilat. 3. Dapat mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah.

4. Dapat mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi dapat dihindari. 5. Sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami perubahan.

6. Dapat memperbaiki penampilan produk.

Menurut Grant dan Burns (1994), metode penggunaan lapisan edibel pada buah dan sayuran dapat berupa pencelupan (dip application), pembuihan (foam application), penyemprotan (spray application), penetesan (drip application), dan penetesan terkendali (controlled drip application). Cara pengaplikasiannya tergantung pada ukuran, jumlah, sifat produk, dan hasil yang diinginkan.

Pada penelitian ini, lapisan yang digunakan adalah glukomanan. Glukomanan merupakan polisakarida yang tersusun oleh satuan D-glukosa dan D-manosa dengan perbandingan dua banding satu (Smith & Srivasta 1956). Glukomanan banyak terdapat dalam tanaman iles-iles. Tepung konjak glukomanan merupakan serat alam kental yang paling mudah larut dan membentuk larutan yang sangat kental. Menurut Firmansyah (2010), keuntungan glukomanan adalah:

1. Merupakan serat yang secara alami dapat larut dalam air, tidak mengandung lemak, gula, tepung atau protein.

2. Bebas dari agendum.

3. Tidak mengandung/rendah kalori.

4. Tembus cahaya dan bersifat seperti agar-agar serta tidak berbau. 5. Dapat disimpan di bawah suhu ruangan selama sekitar satu tahun.

Menurut Budiman (1970), larutan glukomanan dapat membentuk lapisan tipis yang mempunyai sifat tembus pandang. Dengan penambahan gliserin atau NaOH akan terbentuk larutan tipis yang kedap air. Di dalam air, glukomanan memiliki kemampuan mengembang yang besar sekitar 138-200%. Glukomanan juga mempunyai sifat mencair seperti agar; sehingga dapat digunakan dalam pertumbuhan mikroba pengganti agar (Boelharisin et al., 1970).

Di dalam industri makanan, tepung manan dapat digunakan sebagai zat pengental, misalnya dalam pembuatan sirup, sari buah, dan sebagainya. Di Jepang, tepung manan telah secara luas digunakan untuk makanan tradisional dengan shirataki dan konyaku. Jika glukomanan dikonsumsi maka dapat berperan sebagai serat dietary yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Dekker et al., 1976). Pada Tabel 2 disajikan perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang.

Tabel 2. Perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang

Karakteristik Sanindo, Indonesia 1) Kyo-B Jepang2) Proposal Shimizu, Jepang2)

Warna Cokelat keabuan Putih Putih

Kekentalan (cps) < 10 000 28 000 10 000-100 000 Kadar

glukomanan

30-40 55 67

1)

Soewandhi et al,. 1995

2)

(20)

Glukomaman yang paling baik adalah glukomanan dengan kualitas A dengan kekentalan diatas 100 000 cps. Bila dilihat dari faktor harga dibandingkan dengan pelapis edibel lain, yaitu low methoxy pectin, maka harga glukomanan lebih murah. Harga glukomanan Rp 100 000, 00/ kg, sedangkan harga low mwthoxy pectin Rp 1 500 000, 00/ kg, dapat dilihat bahwa harga glukomanan jauh lebih murah. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding sel tanaman (dikotil dan beberapa monokotil). Sifat terpenting dari pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental.

Hasil penelitian Ariesty (2010) menyatakan bahwa buah pepaya California terolah minimal dan berlapis edibel mempunyai umur simpan 4 hari dengan kombinasi konsentrasi pelapis glukomanan 0.55% , komposisi atmosfer 2-4% O2 dan 8-10% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC.

Fisla (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa buah melon cantaloupe terolah minimal dan berlapis edibel mempunyai umur simpan 6 hari dengan kombinasi konsentrasi pelapis glukomanan 0.55% , komposisi atmosfer 3-5% O2 dan 8-10% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC.

Pase (2010) menyatakan bahwa buah naga terolah minimal dan berlapis edibel mempunyai umur simpan 4 hari dengan kombinasi kombinasi konsentrasi pelapis glukomanan 0.55%, komposisi atmosfer 2-4% O2 dan 7-9% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC.

Hasil penelitian Paramawati (1998), menyatakan bahwa suku salak segar berlapis film edibel mempunyai umur simpan 9.2 hari dengan kombinasi komposisi atmosfer 6 ± 1% O2 dan 14 ± 2% CO2

pada suhu 5oC.

Lintang (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salak pondoh berlapis edibel pektin dalam kemasan white stretch film pada suhu 10oC dengan komposisi atmosfer 4±1% O2 dan 14±2%

CO2 mempunyai umur simpan 8 hari.

Fardiaz et al. (1999) menyatakan bahwa buah mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel yang disimpan pada suhu 5oC dapat bertahan sampai pada hari ke-5, sedangkan jika disimpan pada suhu 10oC dapat bertahan sampai pada hari ke-4. Ratule (1999), memaparkan bahwa umur simpan buah mangga siap hidang terlapis film edibel adalah 6.6 hari.

Andina (2005), menyatakan bahwa perlakuan buah melon dengan pelapis edibel dari pektin mampu mempertahankan umur simpan dan mutu buah melon yang lebih baik sampai pada hari ke-18 penyimpanan dengan suhu 5oC dibandingkan tanpa pelapis edibel yakni buah melon hanya bertahan 10 hari.

Hasil penelitian Wong et al. (1994), menunjukan bahwa lapisan irisan buah apel dengan

derivate selulosa dan lipida dapat mengurangi kehilangan air sebesar 75% setelah penyimpanan pada suhu ruang dan RH 50% selama 72 jam.

Shih (1992), menyatakan bahwa baik protein yang berasal dari susu maupun dari kedelai sangat potensial sebagai bahan dasar pelapis edibel. Yoyo (1995), telah membuat pelapis edibel dari bahan protein kedelai dengan penambahan gliserol 6%, dimana pelapis tersebut dapat berfungsi sebagai barrier dalam menghambat berkurangnya flavor yang dikehendaki dan uap air, serta dapat membatasi perubahan gas O2 dan CO2.

Pengaplikasian dari lapisan edibel pada buah terolah minimal dilakukan pada buah mangga arumanis beserta karakteristiknya dilakukan oleh Rusmono et al. (1999), Setiasih et al. (1998) dan Wuryani et al. (1998). Purwadaria dan Wuryani (1999), mengembangkan model respirasi untuk mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel yang disimpan pada komposisi atmosfer di berbagai suhu.

(21)

Rusmono et al. (1998), menyatakan hubungan antara RO2max serta K1/2 terkadap suhu

penyimpanan mengikuti persamaan eksponensial dengan: RO2max.,T = 0.087 Exp (0.0286T); R2 = 0.9958

K1/2T = 0.011 Exp (0.0155T); R2 = 0.9962

Rusmono et al. (1999), memaparkan bahwa mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel dalam kemasan stretch film pada penyimpanan 10oC dapat bertahan sampai pada hari ke-5.

E.

Penyimpanan dalam Atmosfer Termodifikasi pada Suhu Rendah

Penyimpanan dengan atmosfer termodifikasi adalah penyimpanan dengan lingkungan udara yang mempunyai komposisi gas berbeda dengan udara normal (Smock, 1979). Penyimpanan dilakukan dalam kemasan plastik film yang mempunyai permeabilitas tertentu untuk mengontrol transmisi gas respirasi. Hasilnya adalah akumulasi gas CO2 dan penurunan jumlah gas O2 di sekitar

produk yang dapat memperpanjang umur simpan produk tersebut (Kader et al., 1977). Kandungan O2

rendah menghambat respirasi dan kandungan CO2 yang lebih tinggi dari kondisi normal menurunkan

laju respirasi, oksidasi, dan menurunkan pengaruh etilen. Menurut Ryall et al. (1974), pemberian sejumlah gas O2 yang cukup untuk terjadinya proses respirasi dibawah konsentrasi normal di udara

dapat memperlambat terjadinya pembusukkan dan kehilangan air pada buah dan sayuran. Batas peningkatan CO2 dan penurunan O2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Batas maksimum CO2 dan batas minimum penurunan O2 dari beberapa jenis buah

(Hasbullah, 1996)

Buah/ sayuran CO2 (%) O2 (%)

Apel 2 2

Pisang 8-May 5-Mar

Aprikot 2.5-3 3-Feb

Alpukat 10-Jun 5-Mar

Jambu biji 10-Aug 5-Mar

Rambutan 15-Dec 5-Mar

Belimbing 7-May 10-Mar

Nanas 10 5

Melon 15-Oct 5-Mar

Ada dua cara dalam penyimpanan atmosfer termodifikasi, yaitu aktif dan pasif. Cara pasif yaitu kesetimbangan antara CO2 didapat melalui pertukaran udara lingkungan dengan udara di dalam

kemasan melalui film kemasan. Jadi kesetimbangan tidak dikontrol pada awalnya, melainkan hanya mengandalkan permebealitas dari kemasan yang digunakan. Sedangkan cara aktif adalah penyimpanan dengan modifikasi atmosfer dimana pada awalnya udara dalam kemasan dikontrol dengan cara menarik semua udara di dalam kemasan untuk kemudian diisi kembali udara dengan konsentrasi CO2 dan O2 optimum menggunakan alat sehingga keseimbangan langsung tercapai.

(22)

etilen sehingga dapat memperlambat proses pemasakan. Penelitian menunjukkan pada 25 oC dan RH 30% akan menyebabkan produk mengalami kehilangan air 36 kali lebih cepat daripada temperatur 0

o

C dan RH 90%. Pada reaksi enzim katalis, setiap kenaikan suhu 10 oC laju reaksi berlangsung empat kali lebih cepat. Sebaliknya, setiap penurunan suhu 10 oC, laju reaksi juga menunjukkan penurunan yang sama dalam selang aktifitas biologis. Pada kebanyakan buah dan sayuran proses pemasakan terjadi pada selang suhu 10-30 oC dan titik beku jaringan pada 0-2 oC. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap umur simpan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap umur simpan (Thomson et al., 1996)

Komoditi Hortikultura Kondisi Optimal Umur Simpan Optimal (minggu) T (oC) RH (%)

Aprikot 0-5 90-95 4-Jan

Alpukat 13-May 100 12-Jun

Nanas 15-Oct 100 6-Apr

Pisang 15-Dec 85-90 1.5-2

Apel 0-1 90-95 12-Aug

Belimbing 6-Mar 90 3

Durian 4 85-90 8-Jun

Jambu biji 10-May 90 3-Feb

Melon 10-May 90 4-Jan

Nanas 13-Aug 90-95 3

Konsentrasi O2 rendah dan CO2 tinggi dalam penyimpanan atmosfer termodifikasi akan

menekan laju respirasi hingga memperlambat proses pematangan, memperlambat pembusukan, serta menekan berbagai perubahan yang berhubungan dengan pematangan. Namun, konsentrasi O2 yang

rendah dapat mengubah pola respirasi dari aerobik menjadi anaerobik yang akan menimbulkan berbagai kerusakan. Setiap produk memiliki batas minimum penurunan O2 dan batas maksimum

peningkatan CO2 agar produk tidak mengalami kerusakan fisik.

Harmen (2000) merekomendasikan penyimpanan salak pondoh pada suhu 10oC dengan konsentrasi gas masing-masing 2.76% O2 dan 10.30% CO2 selama 26 hari dengan berat bahan 0.93

kg. Andrianis (2001) merekomendasikan penyimpanan buah durian terolah minimal pada komposisi gas 3-5% O2 dan 5-8% CO2 dalam kemasan LDPE selama 12 hari pada suhu penyimpanan 5oC.

Quariesta (2001) merekomendasikan penyimpanan buah alpukat dengan komposisi udara 2-5% O2

dan 6-8% CO2 pada suhu 15oC selama 30 hari.

Yanti (2002) membuktikan bahwa komposisi udara terbaik untuk melon terolah minimal dengan atmosfer termodifikasi yaitu sebesar 3-5% O2 dan 10-15% CO2 dengan suhu penyimpanan

sebesar 5oC dalam plastik stretch film selama 16 hari. Martini (2005) merekomendasikan penyimpanan buah jambu biji terolah minimal selama 8 hari pada suhu 10oC dalam komposisi atmosfer 1-3% O2 dan 8-10% CO2.

Sukara (2007) menyatakan bahwa komposisi atmosfer untuk penyimpanan irisan sirsak terolah minimal adalah 11±1% O2 dan 2±1% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC. Pada kondisi seperti ini,

(23)

Menurut Fellows (2000), penyimpanan dengan atmosfer termodifikasi memiliki beberapa keuntungan dan keterbatasan. Keuntungannya antara lain:

1. Meningkatkan umur simpan 50 – 400%.

2. Hanya perlu sedikit atau bahkan tidak sama sekali pengawet kimia. 3. Memperbaiki penampilan.

4. Menurunkan biaya distribusi.

Sedangkan keterbatasannya adalah: 1. Menambah biaya pengemasan. 2. Memerlukan kontrol suhu.

3. Komposisi gas berbeda untuk tiap produk.

4. Memerlukan peralatan khusus dan operator yang dilatih.

F.

Pemilihan Jenis Kemasan

Mengatur interaksi antara bahan pangan dengan lingkungan sekitar, sehingga menguntungkan bagi bahan pangan, dan menguntungkan bagi manusia yang mengkonsumsi bahan pangan. Pengemasan bahan pangan harus memenuhi beberapa kondisi atau aspek untuk dapat mencapai tujuan pengemasan itu, yaitu bahan pengemasnya harus memenuhi persyaratan tertentu, metode atau teknik pengemasan bahan pangan harus tepat, pola distribusi dan penyimpanan produk hasil pengemasan harus baik (Anonim, 2009).

Film adalah plastik tipis yang fleksibel dimana ketebalannya kurang dari 0.0254 cm. Terdapat beragam jenis plastik yang biasa digunakan dalam pengemasan dengan atmosfer termodifikasi.

Poliethylen merupakan jenis film yang banyak digunakan pada industri pengemasan. High density polyethylene (HDPE) dibuat pada suhu 60°-160° dan pada tekanan 40 atm. Low density polyethylene

(LDPE) merupakan film dengan harga yang cukup terjangkau yang kuat dan jernih. Polypropylene

merupakan film yang lebih kaku, kuat dan lebih ringan dari polyethylene. Film ini memiliki permeabilitas uap air yang rendah, ketahanan yang cukup baik terhadap minyak, ketahanan terhadap suhu tinggi yang baik. Polyvinilchlorida biasa digunakan untuk daging atau olahan susu lainnya (Sacharow, 1980). Koefisien permeabilitas film kemasan terhadap hasil perhitungan dan penetapan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Koefisien permeabilitas film kemasan terhadap hasil perhitungan dan penetapan (ml.mm/m2.jam.atm)

Jenis Film Kemasan 10 °C 15 °C 25 °C

O₂ CO₂ O₂ CO₂ O₂ CO₂

Low density polyethylene

(LDPE) 1002 3600

Polipropilene 265 363 294 430 229 656

Stretch film 342 888 473 748 4143 6226

White stretch film 226 422 291 412 1464 1479

(24)

III.

METODE PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2011 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B.

Bahan Dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan adalah buah sawo (Achras zapota, L) kultivar Sukatali ST1 yang sudah tua yaitu berumur 180 hari, sehat, tidak cacat atau luka, dan ukuran relatif seragam yaitu 8 buah per kg. Buah sawo yang digunakan diperoleh dari perkebunan di desa Sukatali, Sumedang, Jawa Barat yang dibawa menggunakan mobil dalam karung plastik hitam untuk menghindari dari radiasi matahari, dan masing-masing buah dilapisi kertas pembungkus untuk menghindari lecetnya kulit. Bahan lain yang digunakan selain sawo adalah lapisan edibel dengan bahan glukomanan dari pabrik Rhado Gel, asam sitrat, lilin (malam) selang plastic ¼ inchi.

Peralatan yang digunakan dalm penelitian adalah continous gas analyzer merk Shimadzu tipe IRA-170 untuk mengukur konsentrasi CO2, continous gas analyzer merk Shimadzu tipe portable,

oxygen tester untuk keperluan komposisi O2, rheometer merk Sun model CP-300 untuk mengukur

kekerasan bahan, chromameter Minolta tipe CR-200 untuk uji warna, refractometer untuk mengukur total padatan terlarut, timbangan digital untuk mengukur berat, stopless, lemari pendingin, sendok, timbangan analitik, wadah plastik, talenan, pisau untuk mengiris bahan, sarung tangan dan masker.

C.

Prosedur Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang setiap pelaksanaannya diawali dengan penyiapan irisan segar buah sawo dan larutan lapisan edibel. Setelah melakukan tahapan persiapan tersebut, nantinya dilakukan proses pelapisan edibel, penyimpanan pada suhu rendah serta pengemasan dengan teknik atmosfer termodifikasi. Hasil dari setiap tahapan penelitian akan dijadikan sebagai patokan untuk melakukan tahapan-tahapan selanjutnya.

1. Tahapan Persiapan

a. Persiapan irisan segar buah sawo

(25)

b. Pembuatan lapisan edibel

Larutan yang harus dipersiapkan dalam penelitian ini, meliputi larutan antioksidan, CaCl2 (kalsium klorida), dan glokomanan. Pembuatan larutan glukomanan dengan

konsentrasi 0.5% diperlukan aquades sebanyak 1000 ml yang dituangkan ke dalam gelas ukur kemudian 5g glukomanan dilarutkan ke dalamnya sambil terus diaduk.

Untuk pembuatan larutan antioksidan, bahan yang digunakan adalah asam sitrat dan asam askorbat sebanyak 1.5 g dari masing-masing bahan dilarutkan ke dalam aquades 1000 ml sambil terus diaduk hingga merata. Untuk pembuatan larutan CaCl2 yaitu pada

konsentrasi 0.75% digunakan CaCl2 sebanyak 7.5 g yang dilarutkan dalam 1000 ml aquades

sambil terus diaduk hingga merata.

c. Pelapisan irisan segar buah sawo dengan lapisan edible

Buah sawo yang telah dilakukan pengolahan minimal kemudian akan dicelupkan dengan lapis edibel. Prosesnya menggunakan standard operational procedure (SOP) yang telah direkomendasikan oleh (Zulfebriadi, 1998) sebagai berikut:

Buah sawo utuh ↓

Pembersihan awal dan sortasi ↓

Pengupasan dan pemotongan dengan tebal 5 cm ↓

Pencelupan ke dalam larutan antioksidan yaitu campuran asam sitrat dan asam askorbat 150 ppm selama 30 detik

Penirisan selama 10 detik ↓

Pencelupan potongan sawo ke dalam larutan glukomanan selama 15 detik ↓

Penirisan selama 5 detik ↓

Pencelupan potongan sawo ke dalam laruatan CaCl2 selama 15 detik

Penirisan selama 5 detik ↓

Pencelupan potongan sawo ke dalam larutan glukomanan selama 15 detik ↓

Penirisan selama 5 detik ↓

Pencelupan potongan sawo ke dalam larutan CaCl2 selama 15 detik

Penirisan selama 5 detik ↓

Buah sawo dikeringkan pada tray berlubang

(26)

Pencelupan irisan segar buah sawo pada proses pelapisan menggunakan tray

berlubang. Untuk proses pelapisan glukomanan dan CaCl2 dilakukan dua kali, untuk

memastikan semua permukaan irisan segar buah sawo terlapisi. Dimana setelah pencelupan pertama posisi irisan segar buah sawo dibalik, untuk pelapisan berikutnya memastikan pada proses pelapisan seluruh permukaan irisan segar buah sawo terlapisi.

2. Tahapan Penelitian

a. Penentuan laju respirasi pada persentase konsentrasi glukomanan yang berbeda

Penentuan laju respirasi dengan konsentrasi glukomanan dilakukan untuk menentukan presentase konsentrasi yang tepat dalam menentukan laju respirsai. Perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi glukomanan dengan taraf perlakuan konsentrasi glukomanan adalah 0.5%, 0.55%, 0.6% dan tanpa konsentrasi lapisan edibel. Taraf konsentrasi dipilih merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai pelapisan edibel dengan menggunakan glukomanan. Pemilihan tersebut didasari oleh sifat kekentalan dari glukomanan yang dengan penambahan konsentrasi dari 0.5% menjadi 0.55% saja, sudah mengalami perubahan kekentalan yang cukup besar.

Taraf konsentrasi tersebut akan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Buah sawo yang sudah terolah minimal akan dilakukan pelapisan edibel dengan masing-masing konsentrasi tersebut. Setelah itu, buah tersebut dimasukan ke dalam stoples dengan berat buah sekitar ±200 g. Pada tahap pertama ini akan dilakukan penyimpanan pada suhu ruang. Pengukuran gas CO2 dan O2 dilakukan setiap 4 jam pada hari pertama, setiap 6 jam pada hari

kedua, setiap 12 jam pada hari ketiga dan hari selanjutnya pengukuran dilakukan setiap 24 jam sampai irisan sawo segar tersebut mengalami kerusakan/busuk. Berikut disajikan bagan alir mengenai proses pengukuran laju respirasi pada Gambar 4.

Pembelian dan sortasi sawo dari petani ↓

Standard operation procedure (SOP) penyiapan irisan segar buah sawo ↓

Sawo dipotong dengan tebal irisan 5 cm ↓

Standard operation procedure (SOP) penyiapan lapisan edibel pada sawo ↓

Penimbangan ± 200 g daging buah / stopless ↓

Penyimpanan dalam stopless kaca ↓

Pengukuran komposisi gas CO2 dan O2 setiap 4 jam sekali (hari pertama), setiap 6 jam sekali

(hari kedua), setiap 12 jam sekali (hari ketiga), dan setiap 24 jam sekali (hari selanjutnya) hingga irisan segar buah sawo berlapis edibel mengalami kebusukan / kerusakan.

Gambar 4. Bagan alir pengukuran laju respirasi irisan segar buah sawo dengan lapisan edibel

Pengukuran laju respirasi dilakukan secara open system yaitu dengan cara membuka lipatan selang plastik pada sisi stopless kemudian selang plastik dihubungkan dengan

(27)

mengukur komposisi gas O2. Setelah pengukuran dilakukan, penutup stoples dibuka dan

dihembuskan udara menggunakan kipas angin untuk mempercepat komposisi uadara dalam stoples kembali normal. Selanjutnya, stoples ditutup kembali dengan rapat dan ulir stoples dilapisi dengan malam serta selang plastik dilipat dan dijepit kembali untuk mencegah keluar masuknya udara dari luar. Laju respirasi irisan segar buah sawo dengan lapisan edibel dihitung berdasarkan persamaan (4) yang dikembangkan oleh Mannapperuma et al. (1989):

Dimana:

R = laju respirasi (ml CO2/kg.jam atau ml O2/kg.jam)

V = volume bebas wadah (ml) W = berat bahan (kg)

Dx/dt = laju perubahan komposisi CO2 dan O2 (%/jam)

b. Penentuan laju respirasi dengan suhu

Pada tahap ini dilakukan pengukuran laju respirasi dengan tiga taraf perlakuan suhu yaitu 5oC, 10oC dan 25oC (suhu ruang). Penentuan laju respirasi dengan suhu dilakukan untuk menentukan suhu yang tepat untuk penyimpanan irisan segar buah sawo berlapis edibel.

Irisan segar buah sawo dengan berat sekitar ±200 g kemudian dicelupkan ke dalam larutan antioksidan, dilapisi dengan larutan glukomanan, kemudian dicelupkan ke dalam larutan CaCl2. Irisan segar buah sawo berlapis edibel tersebut dimasukan ke dalam stoples

kaca kemudian ditutup dengan penutupnya yang dilengkapi dengan dua buah lubang untuk pengukuran komposisi CO2 dan O2. Lubang tersebut disambungkan dengan selang plastik

yang kemudian dijepit dengan klip. Stoples tersebut dimasukan ke dalam lemari pendingin dengan suhu yang berbeda-beda. Pada hari pertama, pengambilan data laju produksi CO2

dan konsumsi O2 dilakukan setiap 4 jam sekali kemudian pada hari kedua pengukuran

dilakukan setiap 6 jam sekali, pada hari ketiga 12 jam sekali, serta pada hari keempat dan seterusnya dilakukan pengukuran setiap 24 jam sekali. Pengukuran tersebut dihentikan jika irisan segar buah sawo berlapis edibel yang disimpan telah mengalami kerusakan fisik berupa timbulnya mikroba, terjadi perubahan warna dan terdapat bau yang tidak diinginkan.

c. Penentuan komposisi O2 dan CO2 dalam kemasan atmosfer termodifikasi

Irisan segar buah sawo seberat ±200 g dilapisi film edibel dengan bahan glukomanan dan CaCl2 yang sebelumnya telah dicelupkan ke dalam larutan antioksidan. Irisan segar buah

sawo berlapis edibel dimasukan ke dalam stoples kaca dengan tutup plastik yang dilengkapi dengan dua buah lubang untuk pengukuran O2 dan CO2. Lubang disambung dengan selang

plastik yang dapat ditutup dengan rapat. Pengaturan komposisi atmosfer sesuai perlakuan dilakukan dengan mixer, yaitu dengan mencampur gas O2, CO2, N2 menjadi satu, kemudian

gas tersebut disemprotkan ke dalam wadah stopless yang telah terisi irisan segar buah sawo berlapis edibel. Pembacaaan komposisi atmosfer yang diinginkan dilakukan menggunakan

continous gas analyzer dan portable oxygen tester. Setelah komposisi O2 mendekati batas

(28)

dihentikan. Kemudian bagian ujung selang ditutup rapat dengan malam dan selang dilipat serta dijepit untuk mencegah masuknya gas O2 dan CO2 dari luar. Setiap perlakuan dan suhu

dilakukan pengulangan sebanyak dua kali sebagai kelompok. Pengaturan komposisi O2 dan

CO2 dilakukan setiap 12 jam sekali umtuk mencegah adanya kelebihan dan kekurangan gas

O2 dan CO2. Pada hari pertama pengukuran gas O2 dan CO2 dilakukan setiap 4 jam sekali,

semakin sering pengukuran semakin baik karena langsung dapat diketahui perkembangan laju respirasinya. Pada hari kedua dilakukan pengukuran gas O2 dan CO2 setiap 6 jam sekali,

dan pada hari selanjutnya 12 jam sekali (semakin jarang), pengukuran dihentikan saat irisan buah tersebut rusak/berjamur.

Pengamatan dilakukan terhadap perubahan mutu fisik meliputi warna dan kekerasan, perubahan mutu kimia meliputi total gula dan uji tingkat kesukaan terhadap perubahan warna, aroma, kekerasan dan rasa. Pengamatan dilakukan pada keadaan awal, 2, 4, 6, 8 hari selama penyimpanan.

Pengolahan data statistik dilakukan dengan program SPSS. Data input berupa data dari setiap parameter kualitas produk. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh perlakuan yang satu dengan yang lainnya, maka dilakukan uji ANOVA. Berdasarkan hasil uji dapat disimpulkan apakah perlakuan tersebut berpengaruh nyata atau tidak berpengaruh nyata terhadap mutu produk dalam setiap periode pengamatan dan pengukuran. Uji statistik lanjut yang digunakan adalah analisis Duncan yang digunakan untuk menentukan nilai parameter dan mutu periode pengamatan dan pengukuran keberapa yang mempunyai perbedaan rata-rata yang tidak berbeda secara signifikan. Pengujian statistik yang dilakukan berdasarkan jumlah parameter menggunakan Anova-Duncan. Untuk pengujian statistik organoleptik menggunakan Mann-Whitney.

Standard operation procedure (SOP) irisan segar buah sawo dengan pelapis edibel

Sawo dipotong dengan ketebalan sekitar 5 cm ↓

Penimbangan ±200 g daging buah sawo/stoples ↓

Komposisi gas: 1) 14-16% O2 dan 2-4% CO2

2) 14-16% O2 dan 4-6% CO2

3) 16-18% O2 dan 2-4% CO2

Pengamatan komposisi gas setiap 4 jam pada suhu ruang dan setiap 24 jam pada suhu penyimpanan 10oC

Penyimpanan dalam respiration Chamber (suhu 10oC dan suhu ruang) ↓

Pengukuran laju susut bobot, laju kekerasan, laju total padatan terlarut, dan perubahan warna

Komposisi atmosfer terpilih

(29)

d. Penentuan Jenis Film Kemasan

Jenis film kemasan ditentukan setelah percobaan kadar kombinasi O2 dan CO2

yang optimum diketahui. Nilai permeabilitas bahan yang diperlukan dihitung berdasarkan kombinasi O2 dan CO2 optimum yang diperoleh dari penelitian sebelumnya

menggunakan plastik terpilih menggunakan persamaan (2) dan (3) di bawah ini (Deily dan Rizvi, 1981):

………..…..(2)

……….(3)

Di samping menggunakan jenis plastik film terpilih, plastik jenis lain dengan permeabilitas berbeda digunakan sebagai pembanding. Rancangan berupa berat produk optimal yang akan dikemas dapat diperoleh berdasarkan persamaan (4) sebagai berikut (Mannapperuma dan Singh, 1989):

...(4)

dimana:

W : berat bahan yang dikemas (kg)

Py : permeabilitas terhadap O2 (ml.mil/m2.jam.atm)

Pz : permeabilitas terhadap CO2 (ml. mil/m2.jam.atm)

ya : konsentrasi O2 udara normal (%)

y : konsentrasi O2 dalam kemasan (%)

A : luas permukaan kemasan (m2) za : konsentrasi CO2 udara normal (%)

z : konsentrasi CO2 dalam kemasan (%)

Ry : laju konsumsi O2 (ml.mil/m2.jam.atm)

Rz : laju konsumsi CO2 (ml.mil/m2.jam.atm)

b : tebal kemasan (mil)

Untuk pengamatan kadar O2 dan CO2 dalam kemasan, dibuat dua buah lubang pada salah

satu sisi kemasan yang dihubungkan dengan selang. Kemasan yang telah terisi produk ditutup rapat menggunakan mesin sealer serta kedua selang dihubungkan menggunakan konektor berbentuk huruf “L”. Pengukuran terhadap konsentrasi O2 dan CO2 dilakukan setiap hari,

(30)

D.

Pengamatan Mutu

1. Susut bobot

Laju penurunan susut bobot dilakukan berdasarkan presentase penurunan berat bahan awal penyimpanan hingga akhir masa penyimpanan. Berikut untuk menghitung susut bobot digunakan persamaan dibawah ini:

dimana: W1: bobot sampel pada awal penyimpanan (g) W2: bobot sampel pada akhir penyimpanan (g)

2. Uji warna

Dalam pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat chromameter

(Minolta CR200). Data warna yang dihasilkan dinyatakan dengan nilai L untuk kecerahan, nilai a untuk warna kromatik campuran merah-hijau, dan nilai b untuk warna kromatik biru-kuning. Nilai L menyatakan kecerahan yaitu cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam, bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Bila L yang semakin besar menunjukan irisan buah sawo semakin rusak karena warnanya semakin pucat. Nilai a menyatakan akromatik merah-hijau, bernilai +a dari 0-80 untuk warna merah dan bernilai -a dari 0-(-80) untuk hijau. Nilai b menyatakan akromatik kuning-biru, bernilai +b dari 0-70 untuk warna kuning dan bernilai –b dari 0-(-70) untuk biru. Pengujian yang dilakukan dengan menempelkan sensor alat tersebut pada irisan segar buah sawo berlapis edibel dan menembakan sinar pada tiga bagian yang berbeda.

3. Uji total padatan terlarut

Dalam pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat refractometer. Irisan segar buah sawo berlapis edibel yang diuji dihancurkan sehingga didapatkan sarinya yang kemudian dilakukan pengukuran kadar gula. Pengamatan mutu ini dilakukan dengan tiga kali ulangan terhadap masing-masing sampel. Besarnya padatan terlarut dinyatakan dalam satuan

o

Brix.

4. Uji kekerasan

(31)

5. Uji organoleptik

Uji subjektif berupa uji organoleptik (hedonik) dimaksudkan untuk menentukan perlakuan penyimpanan produk yang optimal, yaitu perlakuan dengan kondisi yang menghasilkan masa simpan terpanjang yakni mutunya masih diterima konsumen. Penilaian dilaukan berdasarkan tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, kekerasan, rasa, dan secara keseluruhan produk (total).

(32)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan

Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting yang dapat digunakan untuk mengukur laju respirasi adalah perubahan kandungan glukosa, jumlah ATP, O2 yang dikonsumsi dan CO2 yang diproduksi. Pengukuran laju

respirasi dengan mengitung produksi CO2 lebih sederhana dan praktis karena jumlah yang dihasilkan

selama proses respirasi relatif cukup banyak dan penggunaan alat ukur konsentrasi untuk CO2 dapat

ditampilkan secara digital sehinga keakuratan dari data CO2 yang diperoleh cukup baik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi ada dua: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi tingkat perkembangan, susunan kimia jaringan, ukuran produk, pelapis alami dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal antara lain suhu, etilen, O2 yang tersedia, zat-zat pengatur

pertumbuhan dan kerusakan buah.

Penentuan laju respirasi ditujukan agar dapat mengetahui konsentrasi glukomanan yang paling tepat yang akan digunakan untuk tahap selanjutnya untuk penyimpanan irisan segar buah sawo. Adapaun konsentrasi glukomanan yang akan diujikan ada empat macam yaitu 0.5%, 0.55%, 0.6% dan tanpa pelapis edibel. Penyimpanan untuk masing-masing konsentrasi dilakukan pada suhu ruang. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada empat konsentrasi yang berbeda didapatkan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 yang berbeda.

Pengukuran laju respirasi dilakukan hingga hari kedua sampai buah sawo yang terolah minimal mengalami kerusakan, contohnya telah muncul lendir, menimbulkan bau busuk/asam dan buah mengalami pelunakan. Pengukuran dilakukan bertahap, untuk dua puluh empat jam pertama pengukuran dilakukan setiap empat jam sekali, untuk dua puluh empat jam berikutnya pengukuran setiap enam jam sekali. Hal ini dimaksudkan agar respirasi irisan segar buah sawo dapat terlihat kenaikan atau penurunannya.

Hasil pengukuran laju produksi CO2 pada konsentrasi 0.5% ; 0.55% ; 0.6% dan tanpa edibel

berturut-turut adalah 75.292 ml/kg.jam, 82.764 ml/kg.jam, 69.618 ml/kg.jam dan 85.326 ml/kg.jam. Sedangkan laju konsumsi O2 pada konsentrasi 0.5% ; 0.55% ; 0.6% dan tanpa edibel berturut-turut

adalah 44.469 ml/kg.jam, 66.685 ml/kg.jam, 58.373 ml/kg.jam, 55.329 ml/kg.jam. Perubahan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 irisan segar buah sawo pada berbagai konsentrasi lapisan edibel,

(33)
[image:33.595.122.507.83.305.2]

Gambar 6. Laju produksi CO2 irisan segar buah sawo berbagai konsentrasi lapisan edibel

pada suhu ruang

[image:33.595.116.523.464.704.2]

Secara kasat mata buah sawo yang berlapis glukomanan bila dibandingkan dengan yang tanpa pelapis edibel kurang terlihat berbeda, karena permukaan daging buah sawo yang memang terlihat basah. Hanya saja buah sawo dengan pelapis edibel terlihat sedikit lebih mengkilap. Hal ini juga dikarenakan glukomanan yang digunakan encer, sehingga tidak menutupi warna asli dari buah sawo. Namun lapisan edibel yang diberikan tidak boleh terlalu encer, karena permukaan buah sawo tidak akan tertutup semua. Namun apabila lapisan edibel terlalu pekat juga akan membuat buah lengket dan berlendir sehingga pemberian lapisan harus optimal agar tidak mengurangi nilai tambah dari buah sawo itu sendiri.

Gambar 7. Laju konsumsi O2 irisan segar buah sawo berbagai konsentrasi lapisan edibel

(34)

Dari Gambar 6-7. dapat dilihat bahwa pola laju respirasi irisan segar buah sawo berlapis edibel pada konsentrasi 0.5%, 0.55%, 0.6% dan tanpa lapisan edibel memiliki pola yang hampir sama dengan nilai laju respirasi yang berbeda-beda, dengan perbedaan yang relatif kecil. Dapat dilihat semua konsentrasi menunjukan penururan laju respirasinya, terutama pada laju respirasi CO2, sedang

pada laju O2 lebih fluktuatif. Kemungkinan penurunan laju respirasi terjadi karena substrat yang

digunakan dalam respirasi berhenti bereaksi dalam enzim pada sel yang terdapat di permukaan potongan buah. Dari keempat konsentrasi yang memiliki laju respirasi terkecil adalah konsentrasi 0.5% sehingga nantinya konsentrasi ini dipilih untuk melapisi irisan segar buah sawo, dan digunakan untuk tahapan penelitian selanjutnya. Pada Gambar 7 terlihat laju respirasi O2 konsentrasi 0.55 % dan

0.6 %, laju respirasi meningkat tajam pada jam ke-42. Sementara pada konsentrasi 0.5 % dan tanpa pelapis, laju respirasi pada jam ke-42 menurun. Sementara pada Gambar 6, laju respirasi CO2, di

semua konsentrasi pada jam ke-42, laju respirasi mengalami kenaikan. Di jam ke-42 diperkirakan kerusakan buah terjadi. Hal ini diperkuat dengan perubahan fisik yang terjadi, seperti warna yang semakin gelap, timbul lendir, daging buah semakin lembek, dan mulai timbulnya bau asam.

B.

Laju Respirasi pada Berbagai Perlakuan Suhu Penyimpanan

Pada tahap kedua ini ditentukan suhu yang paling optimal untuk penyimpanan irisan segar buah sawo dengan konsentrasi glukomanan 0.5%. Adapun suhu yang digunakan untuk pengujian penyimpanan irisan segar buah sawo yaitu, 5oC, 10oC, 15oC dan suhu ruang. Sampel yang digunakan untuk masing-masing suhu sebanyak tiga buah stoples.

Pada pengukuran laju respirasi untuk suhu ruang irisan segar buah sawo berlapis edibel hanya bertahan selama empat puluh delapan jam, setelah lewat dua hari buah yang berada dalam stoples mengeluarkan bau yang kurang sedap serta terjadi pelunakan pada daging buah dan mulai muncul lendir. Setelah dilakukan perhitungan laju respirasi untuk suhu ruang, yang dilakukan selama dua hari, maka didapat nilai laju konsumsi O2 sebesar 145.963 ml/kg.jam dan laju produksi CO2 sebesar

205.887 ml/kg.jam. Sedangkan pengukuran laju respirasi irisan segar buah sawo berlapis edibel pada suhu 5oC dilakukan selama empatbelas hari dengan laju produksi CO2 13.215 ml/kg.jam, dan laju

konsumsi O2 7.427 ml/kg.jam. Pengukuran laju respirasi irisan segar buah sawo berlapis edibel pada

suhu 10oC dilakukan selama empatbelas hari, pada jam ke-240 mulai mengalami perubahan laju respirasi secara signifikan, baik CO2, maupun O2. Diduga pada jam ke-240, irisan segar buah sawo

berlapis edibel pada suhu 10oC mengalami kerusakan yang parah, namun dari pengamatan secara inderawi pada hari ketujuh mutu buah sudah menurun, terlihat dengan perubahan warna yang sudah menjadi semakin coklat dan aroma yang tidak segar. Pada suhu 10oC laju produksi CO2 38.116

ml/kg.jam, dan laju konsumsi O2 29.076 ml/kg.jam. Pada suhu 15oC laju produksi CO2 89.791

ml/kg.jam, dan laju konsumsi O2 77.157 ml/kg.jam, dan perubahan laju respirasi yang signifikan

terjadi setelah jam ke-72. Perubahan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2 irisan segar buah sawo

(35)
[image:35.595.108.514.48.842.2]

Gambar 8. Laju produksi CO2 irisan segar buah sawo berlapis glukomanan 0.5% pada

berbagai suhu penyimpanan

Gambar 9. Laju konsumsi O2 irisan segar buah sawo berlapis glukomanan 0.5% pada

berbagai suhu penyimpanan

Berdasarkan Gambar 8-9 laju respirasi untuk penyimpanan irisan segar buah sawo berlapis edibel pada suhu ruang sangat jauh berbeda dengan irisan segar buah sawo berlapis edibel pada suhu dingin, dan yang grafiknya paling berdekatan pada suhu 10oC dengan 5oC. Kerusakan sudah terjadi lebih awal pada penyimpanan suhu ruang dan suhu 15oC. Sementara pada suhu 10oC dan suhu 5oC bertahan lebih lama.

[image:35.595.117.513.83.306.2]
(36)

anaerob. Pada hari ketujuh penampakan warna terlihat sudah kurang menarik, dan ada kemungkinan buah sudah tercemar oleh mikroorganisme, dimana permukaan buah terlihat lebih basah. Energi yang dibutuhkan juga akan dihemat banyak dengan menggunakan penyimpanan suhu 10oC. Oleh karena itu, dipilih suhu 10oC dan konsentrasi 0.5% untuk penelitian berikutnya, yaitu penentuan komposisi atmosfer terbaik untuk buah sawo.

C.

Penentuan Komposisi O

2

dan Co

2

dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi

Pada suhu yang telah terpilih tahap selanjutnya, digunakan sebagai dasar dilakukannya tahap penentuan komposisi O2 dan CO2 kemasan atmosfiir termodifikasi. Tahap ini dilakukan pada suhu

yang didapatkan pada tahap sebelumnya yaitu 10oC, konsentrasi glukomanan yang dipilih untuk penelitian tahap ini adalah 0.5%. Adapun tiga konsentrasi yang akan diujikan pada penelitian ini adalah 21% O2 & 0.03% CO2, 16-18% O2 & 2-4% CO2, 14-16% O2 & 2-4% CO2, dan 14-16% O2 &

4-6% CO2. Wadah yang digunakan untuk penyimpanan buah sawo pada tahap penentuan komposisi

O2 dan CO2 dalam kemasan atmosfer termodifikasi adalah stoples.

Konsentrasi di dalam stoples-stoples diusahakan tetap sampai irisan segar buah sawo berlapis edibel mengalami kerusakan. Untuk itu dilakukan pengkomposisian ulang secara terus menerus sampai buah sawo mengalami kerusakan. Pada hari pertama dilakukan pengkomposisian ulang setiap duabelas jam, setiap 24 jam untuk hari-hari berikutnya. Setiap dua hari dilakukan uji kekerasan, uji warna, uji total padatan terlarut, dan perhitungan susut bobot. Serta dilakukan uji organoleptik untuk mengetahui nilai yang diberikan oleh konsumen terhadap irisan segar buah sawo berlapis edibel ini. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan asumsi umur simpan dari irisan segar buah sawo selama enam hari. Dari parameter susut bobot dan perubahan warna, komposisi yang dipilih ialah yang mempunyai rata-rata persentasi terkecil, sedangkan untuk uji organoleptik/hedonik dipilih yang memiliki nilai rata-rata terbesar.

1. Kekerasan

Proses respirasi yang menyebabkan hilangnya uap air tidak lantas membuat sawo menjadi kering dan semakin keras, dikarenakan wadah toples yang digunakan menahan uap air untuk keluar, dan menjaga uap air pada buah sawo. Pada Gambar 10 dapat dilihat perubahan kekerasan irisan segar buah sawo berlapis edibel selama penyimpanan pada suhu 10oC.

(37)
[image:37.595.116.502.81.303.2]

Gambar 10. Perubahan kekerasan irisan segar buah sawo berlapis edibel selama penyimpanan pada suhu 10oC

2. Susut Bobot

Jika dilihat dari Gambar 11. perubahan susut bobot maka untuk keempat konsentrasi mengalami kenaikan susut bobot yang tidak signifikan. Namun pada komposisi 16-18% O2 & 2-4% CO2 dan komposisi 14-16% O2 & 4-6% CO2, sempat terjadi kenaikan susut bobot yang signifikan, yaitu di hari ke-2 pada komposisi 14-16% O2 & 4-6% CO2 yaitu sebesar 0.99 %, dan di hari ke-4 pada komposisi 16-18% O2 & 2-4% CO2 yaitu sebesar 1.51 %. Sedangkan pada komposisi normal dan komposisi 14-16% O2 & 2-4% CO2, pola kenaikan cenderung konstan.

[image:37.595.116.504.470.732.2]
(38)

Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa peningkatan susut bobot terbesar adalah pada komposisi 14-16% O2 & 2-4% CO2 yaitu sebesar 0.48 %, dan dilanjutkan komposisi normal 0.47 %, komposisi 16-18% O2 & 2-4% CO2 0.45 %, dan komposisi 14-16% O2 & 4-6% CO2 dengan nilai susut bobot terkecil yaitu 0.39 %.

3. Total Padatan Terlarut

Bila dilihat pada Gambar 12, pada setiap komposisi terjadi kecenderungan nilai total padatan terlarut menurun, namun dengan pola grafik yang fluktuatif. Komposisi 14-16% O2 &

2-4% CO2, meskipun nilai akhir pengujian total padatan terlarut tidak paling tinggi, namun

penurunan nilai total padatan terlarut pada komposisi 14-16% O2 & 2-4% CO2 tidak begitu

signifikan, dan memiliki bentuk grafik yang paling stabil. Nilai total padatan terlarut pada komposisi 14-16% O2 & 2-4% CO2 pada hari ke-6 adalah 16.47 oBrix. Sementara pada

[image:38.595.129.501.327.552.2]

komposisi 16-18% O2 & 2-4% CO2 , komposisi 14-16% O2 & 4-6% CO2, dan komposisi normal berturut-turut adalah 17.53 oBrix, 17.02 oBrix, dan 15.8 oBrix. Dan pada awal pengukuran, nilai total padatan pada tiap komposisi sama yaitu 17.57 oBrix.

Gambar 12. Perubahan nilai oBrix sawo selama penyimpanan 10oC

4. Laju Perubahan Warna

Untuk pengukuran indeks perubahan warna dilakukan dengan alat cromatometer, nilai indeks warna yang akan diamati akan keluar dalam data L, a dan b.

a. Kecerahan Warna (L)

(39)
[image:39.595.125.502.176.392.2]

Setelah itu hari-hari beriktunya tingkat kecerahan cukup stabil. penurunan tingkat kecerahan bisa dikarenakan kehilangan kadar air dan perubahan karoten pada bagian daging buah. Secara kasat mata juga dapat terlihat semakin hari buah akan terlihat pucat. Gambar 13. menunujukkan perubahan nilai kecerahan (L) irisan segar buah sawo berlapis edibel selama penyimpanan pada suhu 10oC.

Gambar 13. Perubahan nilai kecerahan (L) irisan segar buah sawo berlapis edibel selama penyimpanan pada suhu 10oC.

b. Kemerahan Warna (a)

Perubahan nilai kemerahan warna (a) yang terlihat pada Gambar 14. cenderung konstan, namun fluktuatif, yaitu mengalami kenaikan/penurunan diawal, namun pada akhirnya kembali mendekati nilai awal. Pada komposisi 16-18% O2 & 2-4% CO2 dan komposisi 14-16% O2 &

2-5% CO2 nilai kemerahan warna naik sampai hari 4 kemudian turun mendekati awal di hari

ke-6. Sedangkan pada komposisi normalstabil sampai hari ke-2, kemudian turun di hari ke-4 dan kembali naik pada hari ke-6. Sedangkan untuk komposi

Gambar

Tabel 1. Produksi Buah Sawo ..........................................................................................................
Gambar 23. Perubahan nilai brix buah sawo selama penyimpanan suhu 10oC ..............................
Tabel 1. Produksi buah sawo
Gambar 1. Sawo (Sumber google.com)
+7

Referensi

Dokumen terkait

‘You look up,’ continued the Doctor, ‘you see in front of you the very thing you came here to get, the micro-circuit!’ Barbara rose and looked into the broken cabinet..

Berdasarkan kadar amonia yang terdapat dalam lateks pekat kita mengenal : Lateks pekat amonia rendah ( Low Ammonia ) adalah lateks pekat yang mengandung

Berdasarkan informasi dan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan terjadinya persepsi pasangan usia subur tentang

Hasil yang diperoleh dari penelitian dengan pengaruh C/N ratio berbeda terhadap efesiensi pemanfaatan pakan dan pertumbuhan udang windu ( Penaeus monodon ) pada media bioflok

melakukan pembiayaan di tempat lain, tetapi perilaku pembelian kebiasaan tidak terjadi pada anggota BTM BiMU yang berakad mudharabah, hal ini dapat dilihat dari anggota dalam

Jaya Perkasa memenuhi hak-hak para tenaga kerja perempuan?, kemudian Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai wanita yang bekerja untuk menafkahi keluarga?..

Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa kebersihan mulut yang jelek berisiko 2,3 kali menderita kanker rongga mulut, dalam penelitian tersebut yang

pola retak yang terjadi. Retak pada beton beralih/terjadi ke posisi yang tidak ada perkuatan GFRP. Hal tersebut membuat beton bertambah kedaktailanya. Dilihat dari pola