• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kejadian Stunting Dan Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Prestasi Belajar Siswa Smp Di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kejadian Stunting Dan Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Prestasi Belajar Siswa Smp Di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEJADIAN

STUNTING

DAN SOSIAL EKONOMI

KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP

DI KECAMATAN CIOMAS KABUPATEN BOGOR

DORA ANDRIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kejadian

Stunting dan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Belajar Siswa SMP Di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

DORA ANDRIANI. Hubungan Kejadian Stunting dan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Belajar Siswa SMP Di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan LILIK KUSTIYAH.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara kejadian stunting dan sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar siswa SMP di Kecamatan Ciomas, Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dengan subjek penelitian berjumlah 190 orang yang terdiri dari 95 contoh berstatus gizi stunting dan 95 contoh berstatus gizi normal. Prestasi belajar contoh diestimasi menggunakan nilai murni ujian tengah dan akhir semester yang diperoleh dari sekolah. Hasil analisis menunjukkan rata-rata berat badan, tinggi badan, status gizi (TB/U), besar keluarga, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan prestasi belajar pada contoh dengan status gizi stunting

signifikan lebih rendah dibandingkan contoh normal (p < 0.05). Terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan berat badan; besar keluarga dengan tinggi badan; besar keluarga dengan status gizi (TB/U); pendapatan keluarga dengan prestasi belajar; pendidikan ibu dengan prestasi belajar; pendidikan ayah dengan prestasi belajar; serta status gizi dengan prestasi belajar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin baik status gizi (TB/U) contoh, maka semakin baik pula prestasi belajarnya.

Kata kunci: Prestasi belajar, sosial ekonomi keluarga, stunting.

ABSTRACT

The aims of this study was to determine the association between stunting and family socio-economic condition with academic achievement of junior high school student in Ciomas, Bogor district. Ninety five stunting subjects and 95 normal subjects were included in this cross-sectional study. Academic achievement were estimated using score of mid- and final-term examination that available from school. The result showed that average subject’s weight, subject’s

height, subject’s nutritional status (H/A), family size, energy adequacy level, protein adequacy level and academic achievement in stunting subjects were significantly lower than normal subjects (p < 0.05). There was a significant

correlation between family size and subject’s weight; family size and subjects’s

height; family size and nutritional status (H/A); family income and academic

achievement; mother’s academic and academic achievement; father’s academic

and academic achievement; and also nutritional status (H/A)and academic achievement. Therefore, subjects with higher nutritional status (H/A) tend to have better academic achievement.

(6)
(7)

HUBUNGAN KEJADIAN

STUNTING

DAN SOSIAL EKONOMI

KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP

DI KECAMATAN CIOMAS KABUPATEN BOGOR

DORA ANDRIANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah stunting, dengan judul Hubungan Kejadian Stunting dan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Belajar Siswa SMP di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS dan Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan masukan untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Keluarga tercinta: bapak (Waridi), mama (Marsi) dan adik tersayang

(Izdihar Adinda Dwi Amany) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan kasih sayangnya.

4. Teman-teman satu perjuangan penelitian: Dyastuti Puspita, Nisya Dewi Prameita dan Rido Akbar atas kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

5. Teman-teman dekat: Ajeng, Fitriyah, Agung, Wahyu, Vieta, Mukhlas, Zulfadli, Ahsan, Kustarto, Nisfa, Rahma, Bahriyatul, Fahmi, Angga, Dian, Sakinah, Shabira, Intan, Eris, Tiara, Maya, Kamal atas segala perhatian, dukungan, semangat dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 6. Teman-teman seperjuangan ID dan KKP yang luar biasa: Asmi, Eksan,

Rindu, Dian, Sahl, Wafiqah, Ziyaadah, Aulia, Indah, Bayu.

7. Teman–teman (Gizi Masyarakat 48), teman (HIMAGIZI), teman-teman (ILMAGI), dan adik-adik (Gizi Masyarakat 49) yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas semangatnya.

8. Adik-adik siswa, guru, dan kepala sekolah SMP Ibnu Aqil dan SMPN 1 Ciomas yang telah bersedia membantu dan menjadi subjek dalam penelitian ini.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 2

Manfaat 3

Hipotesis 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 5

Desain, Tempat dan Waktu 5

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 5

Jumlah dan Cara Pengumpulan Data 7

Pengolahan dan Analisis Data 8

Definisi Operasional 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 10

Karakteristik Contoh 12

Sosial Ekonomi Keluarga 14

Konsumsi Pangan 16

Prestasi Belajar 21

Hubungan antar Variabel 24

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 32

(14)

vi

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 7

2 Pengkategorian variabel 8

3 Angka kecukupan energi dan zat gizi 9

4 Jenis variabel, kategori dan kriteria kecukupan gizi 9 5 Sebaran karakteristik contoh berdasarkan status gizi 12 6 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) 14 7 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan

status gizi 15

8 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi 17 9 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan

status gizi 17

10 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan zat

gizi serta status gizi 18

11 Rata-rata frekuensi konsumsi berdasarkan konsumsi pangan dan status

gizi 20

12 Rata-rata nilai UTS dan UAS berdasarkan mata pelajaran dan status

gizi 22

13 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai UTS dan UAS serta status

gizi 22

14 Koefisien korelasi antara besar keluarga dengan berat badan, tinggi

badan, dan status gizi (TB/U) 24

15 Koefisien korelasi antara pendapatan keluarga, pendidikan ayah, dan

pendidikan ibu dengan nilai UTS dan UAS 25

16 Koefisien korelasi antara status gizi dengan nilai UTS dan UAS 26

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran hubungan kejadian stunting dan sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar siswa SMP di kecamatan ciomas bogor 4

2 Bagan dan cara pengambilan contoh 6

3 Pengisian kuesioner SMPN 1 Ciomas 37

4 Pengisian kuesioner SMP Ibnu Aqil 37

5 Pengukuran tinggi badan 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji beda variabel data antar status gizi (stunting dan normal) 33 2 Uji hubungan (Spearman) antara karakteristik sosial ekonomi keluarga

dengan karakteristik contoh 34

3 Uji hubungan (Spearman) antara karakteristik sosial ekonomi keluarga

(15)

4 Uji hubungan (Spearman) antara karakteristik sosial ekonomi keluarga

dengan prestasi belajar 36

5 Uji hubungan (Spearman) antara status gizi dengan prestasi belajar 36

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan modal dasar bagi suatu negara dalam melaksanakan pembangunan dan agar dapat berkompetisi dengan negara-negara lainnya di dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Disamping menguasai IPTEK, SDM yang berkualitas juga harus memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima. Salah satu upaya dalam rangka peningkatan kualitas SDM di Indonesia adalah melalui program perbaikan gizi.

Terjadinya berbagai masalah gizi akan berimplikasi terhadap timbulnya gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Masalah gizi sendiri merupakan masalah yang sangat kompleks karena berbagai faktor ikut berkontribusi terhadap terjadinya masalah gizi. Salah satu masalah besar terkait gizi di indonesia adalah

stunting. Stunting merupakan salah satu bentuk gizi kurang pada anak yang dihitung berdasarkan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan nilai Z-score kurang dari -2 SD (standar deviasi) (WHO 2007). Stunting juga menggambarkan kejadian gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama dan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian hingga terhambatnya pertumbuhan mental (The Lancet 2008).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37.2% yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35.6%) dan 2007 (36.8%). Hasil prevalesi pendek menurut Riskesdas (2013) menunjukkan semua provinsi di Indonesia masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Angka tersebut masih dikategorikan

tinggi karena masih berada di atas target MDG‟s yaitu 32%.

Menurut Martianto dan Ariani (2004), semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan hewani cenderung semakin tinggi dan kebebasan untuk memperoleh dan memilih pangan juga semakin besar. Tingkat pendapatan yang semakin meningkat mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, seperti tingkat pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu dan pekerjaan orang tua.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan peran penting zat gizi tidak saja pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan. Menurut penelitian yang dilakukan Pradita (2009), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting

dengan skor IQ anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin. UNICEF (2001) juga menyebutkan bahwa anak yang stunting mempunyai rata-rata IQ 11 poin lebih rendah dibandingkan rata-rata anak yang tidak stunting.

(18)

2

memperbaiki permasalahan gizi yang terjadi saat masa anak sehingga memerlukan

intake gizi yang lebih baik.

Secara umum stunting terjadi terutama pada anak balita. Berdasarkan hal tersebut, sejauh ini banyak penelitian yang berfokus pada status gizi balita (Friedman et al. 2005). Masih terdapat asumsi bahwa anak-anak dan remaja tidak lagi rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Di Afrika, penelitian cross-sectional menunjukkan peningkatan prevalensi stunting sejalan dengan meningkatnya usia (Lwambo et al. 2000). Prentice et al. (2013) menyatakan bahwa usia sekolah-remaja dapat menjadi window of opportunity selain masa 1000 hari pertama kehidupan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara kejadian stunting dan sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar siswa SMP.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah karakteristik sosial ekonomi keluarga berhubungan dengan karakteristik contoh dan konsumsi pangan contoh stunting dan normal?

2. Apakah karakteristik contoh dan konsumsi pangan berhubungan dengan prestasi belajar contoh stunting dan normal?

3. Apakah sosial ekonomi keluarga berhubungan dengan prestasi belajar contoh

stunting dan normal?

Tujuan

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan kejadian stunting dan sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar siswa SMP di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.

Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status gizi, dan uang jajan) dan sosial ekonomi keluarga (besar keluarga, pendapatan keluarga, dan pendidikan orang tua) contoh stunting dan normal. 2. Mengidentifikasi konsumsi pangan dan prestasi belajar contoh stunting dan

normal.

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan karakteristik contoh dan konsumsi pangan contoh.

(19)

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran hubungan antara kejadian stunting dan sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar pada siswa SMP. Data hasil penelitian ini kemudian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan strategi dan kebijakan dalam penyusunan program pendidikan dan gizi dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan karakteristik contoh dan konsumsi pangan contoh stunting dan normal.

2. Terdapat hubungan antara karakteristik contoh dan konsumsi pangan dengan prestasi belajar contoh stunting dan normal.

3. Terdapat hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan dengan prestasi belajar contoh stunting dan normal.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kemiskinan dapat membuat masyarakat kekurangan akses terhadap pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Karakteristik sosial ekonomi keluarga seperti pendidikan orang tua, pendapatan orangtua, dan besar keluarga akan mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Kondisi sosial ekonomi yang rendah akan berpengaruh terhadap kurangnya ketersediaan pangan dalam keluarga. Kurangnya ketersediaan pangan dalam keluarga selanjutnya akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan anggota keluarga.

Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor penting status gizi. Kurangnya kuantitas konsumsi pangan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kurangnya asupan energi dan zat gizi. Bila hal tersebut terjadi secara berkelanjutan dapat menyebabkan kekurangan energi dan zat gizi kronis yang kemudian mempengaruhi kejadian status gizi kurang. Masalah gizi kurang jika terus berlanjut akan membentuk sumberdaya manusia yang mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan (stunting).

(20)

4

Keterangan:

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan kejadian stunting dan sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar siswa SMP di kecamatan ciomas bogor

Prestasi Belajar: nilai ujian

Karakteristik contoh:  Usia

 Jenis kelamin  Berat badan  Tinggi badan  Uang jajan

Status gizi (Stunting dan normal) Karakteristik sosial ekonomi:

 Pendidikan orang tua  Pendapatan keluarga  Besar keluarga

Konsumsi Pangan Kesehatan/Morbiditas

(21)

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Maret 2015 bertempat di SMP Negeri 1 Ciomas dan SMP Ibnu Aqil Bogor.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kabupaten Bogor merupakan daerah pedesaan, prevalensi stunting

pada daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan, dan telah mendapat izin dari pihak sekolah. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa- siswi kelas VII SMP tahun ajaran 2014-2015. Penelitian diawali dengan penentuan status gizi siswa-siswi dengan cara wawancara usia, pengukuran berat badan dan tinggi badan pada seluruh populasi penelitian. Pemilihan contoh dilakukan berdasarkan status gizi. Siswa-siswi yang memiliki z skor TB/U < -2 SD termasuk dalam contoh stunting sementara siswa-siswi yang memiliki z-skor TB/U ≥ -2 SD termasuk dalam contoh normal. Jumlah contoh minimal adalah 93 siswa-siswi yang diperoleh berdasarkan rumus:

Keterangan:

N = Jumlah sampel minimal yang diperlukan Zn2 = Tingkat kemaknaan 95% (1.96)

p = Proporsi/prevalensi stunting di Jawa Barat (35.3%) q = (1-p)

d = Presisi (limit error) = 10%

Cara menentukan jumlah contoh normal adalah, terlebih dahulu contoh dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, kemudian dilakukan pengacakan sampai diperoleh contoh normal dengan jumlah serta proporsi laki-laki dan perempuan yang sama dengan contoh stunting. Bagan jumlah dan cara pengambilan contoh dapat dilihat dari Gambar 2.

n = Zn2 x p x q d2

n = 1.962 x 0.353 x 0.689 0.12

(22)

6

Gambar 2 Bagan dan cara pengambilan contoh Jumlah seluruh siswa/siswi

kelas VII (N=596)

Tidak diteliti karena masuk kategori eksklusi :

 Tidak masuk sekolah  Tidak bersedia

Stunting (n=114)

Severe stunting (z-skor < -3SD)  Stunting (-3SD ≤ z-skor < -2SD)

Normal (z-skor ≥ -2SD)

Acak (Terstratafikasi)

Sampel terpilih (n=228)

Contoh Stunting

(n = 114)

Skrining TB/U (n=596)

Contoh Normal (n = 114)

Contoh Stunting

(n = 95)

(23)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran antropometri dan pengisian kuesioner.

Data antropometri yang digunakan untuk menentukan status gizi dilakukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan secara langsung. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur berat badan yaitu timbangan digital dengan kapasitas 150 kg dan ketelitian 0.1 kg. Untuk tinggi badan diukur dengan menggunakan

microtoise dengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm.

Pengisian kuesioner oleh contoh digunakan untuk melengkapi data karakteristik contoh (jenis kelamin, usia, dan uang jajan siswa) dan konsumsi pangan contoh (semi quantitative food frequency questionnaire). Sebelum melakukan pengisian kuesioner, contoh terlebih dahulu diberikan penjelasan oleh peneliti. Peneliti mendampingi dan memberikan arahan kepada contoh saat pengisian kuesioner. Pengisian kuesioner oleh orang tua contoh digunakan untuk melengkapi data karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga). Kuesioner sosial ekonomi keluarga dikirim kepada orang tua melalui contoh.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi hasil ulangan contoh, jumlah siswa, dan profil sekolah. Hasil ulangan contoh dan jumlah siswa diperoleh dari pihak sekolah. Profil sekolah diperoleh dari pihak sekolah serta melalui pengamatan langsung. Jenis dan cara pengumpulan data secara rinci selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Jenis Data Cara Penggumpulan Data

1 Status gizi secara

5 Konsumsi pangan - Semi Quantitative Food frequency questionnaire

Wawancara menggunakan alat bantu kuesioner

(24)

8

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang didapatkan berupa data kualitatif dan kuantitatif. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara statistik dan deskriptif dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2010 dan SPSS versi 16.0 for window.

Data yang didapat melalui kuesioner diolah sebagaimana dijelaskan berikut ini. Status gizi contoh dikategorikan dalam bentuk indikator tinggi badan menurut umur (TB/U). Selanjutnya berdasarkan nilai z-skor indikator TB/U tersebut, ditentukan status gizi contoh dengan batasan kategori yaitu sangat pendek (z-skor <-3), pendek (-3SD ≤ z-skor < -2SD) dan normal (z-skor ≥ -2) (WHO 2007). Data jenis kelamin contoh dikelompokkan menjadi laki-laki dan perempuan, kemudian dihitung persentasinya. Usia dan uang jajan dikelompokan berdasarkan rata-rata standar deviasi. Pendidikan orangtua dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu: tidak tamat SMA/Sederajat dan tamat SMA/Sederajat. Pendapatan keluarga dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu rendah (< Rp3 000

000) dan cukup (≥Rp3 000 000). Besar keluarga dikelompokan menjadi tiga

kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang) dan

keluarga besar (≥ 7 orang) (BKKBN 1997). Data prestasi belajar adalah data sekunder yang diperoleh dari sekolah, merupakan nilai Ujian Tengah Semester (UTS) semester genap dan Ujian Akhir Semester (UAS) semester ganjil. Nilai tersebut merupakan nilai murni (bukan nilai rapor) yang sudah direkap oleh guru wali kelas masing-masing. Nilai yang diambil merupakan nilai dari mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA dan IPS yang dapat mewakili kemampuan siswa secara umum. Nilai ujian kemudian dikategorikan menjadi sangat baik (80-100), baik (70-79), cukup (60-69), kurang (50-59) (Syah 2010). Cara pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2 Pengkategorian variabel

No Variabel Cara Penggumpulan Data Sumber

1. TB/U 1. Sangat pendek ((z-skor <-3) 5. Besar keluarga 1. Keluarga kecil (≤ 4 orang)

(25)

Data konsumsi pangan didapatkan melalui semi quantitative food frequency questionnaire. Data yang dikumpulkan direkap berdasarkan jenis makanan yang sering dikonsumsi selama satu bulan terakhir, kemudian data tersebut ditabulasi hingga diperoleh rata-rata frekuensi konsumsi per kelompok bahan pangan. Data konsumsi pangan yang telah didapatkan lalu dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal), protein (g), zat besi (mg), kalsium (mg), seng (mg), vitamin A (mcg), vitamin C (mg) merujuk pada daftar konversi bahan makanan (DKBM) 2004.

Tingkat kecukupan energi atau zat gizi

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi didapatkan dari perbandingan asupan zat gizi aktual dengan angka kecukupan gizi (AKG). Penentuan angka kecukupan gizi (AKG) contoh ditentukan dengan menyesuaikan langsung dengan AKG 2013. Angka kecukupan energi, protein dan zat gizi yang dianjurkan pada anak remaja berdasarkan AKG 2013 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Angka kecukupan energi dan zat gizi Kelompok

Tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi lima dan tingkat kecukupan vitamin A, Vitamin C, kalsium, zat besi, dan seng dikelompokan menjadi dua. Kategori dan kriteria kecukupan gizi dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4 Jenis variabel, kategori dan kriteria kecukupan gizi

No Jenis Variabel Kategori Kriteria

1 Tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 2003)

Defisit tingkat berat < 70% kebutuhan Defisit tingkat sedang 70-79% kebutuhan Defisit tingkat ringan 80-89% kebutuhan

Normal 90-119% kebutuhan

Lebih ≥ 120 % kebutuhan

2 Tingkat kecukupan vit A, vit C, kalsium, zat besi, seng (Gibson 2005)

Cukup ≥ 77% AKG

Kurang < 77% AKG

(26)

10

menggambarkan data karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, uang jajan), karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, besar keluarga), konsumsi pangan (Semi quantitative food frequency questionnaire), status gizi (TB/U), serta prestasi belajar (nilai ulangan). Analisis inferensia meliputi uji hubungan antar variabel.

Definisi Operasional

Contoh stunting adalah siswa atau siswi kelas VII SMP yang memiliki z-skor TB/U <-2 standar deviasi (SD).

Contoh normal adalah siswa atau siswi kelas kelas VII SMP yang memiliki

z-skor TB/U ≥-2 standar deviasi (SD).

Sosial ekonomi keluarga adalah karakteristik yang dimiliki sebuah rumah tangga dalam hal besar keluarga, pendapatan keluarga, dan pendidikan orang tua.

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yaitu ibu, ayah, anak, serta orang lain yang tinggal bersama dan biasanya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga yang dinyatakan dalam jiwa.

Pendapatan keluarga adalah pendapatan rata-rata perbulan yang dihasilkan oleh orang tua dan anggota keluarga lain yang dinilai dengan rupiah.

Pendidikan orangtua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh ayah dan ibu.

Konsumsi pangan adalah rata-rata jumlah dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya (protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, seng, dan zat besi) berdasarkan pangan yang dikonsumsi contoh yang diperoleh dari hasil

semi quantitativefood frequency questionnaire.

Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang diperoleh oleh masing-masing anak setelah mengikuti program pembelajaran yang dinyatakan dengan skor atau nilai yang diestimasi dengan nilai ujian tengah semester dan ujian akhir semester.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

(27)

terpadat di Kabupaten Bogor sekaligus luas wilayah terkecil di Kabupaten Bogor dengan luas wilayah hanya 16.3 km2.

Kecamatan Ciomas dahulu memiliki 3 wilayah bantu yang kini dikenal dengan kecamatan Ciomas, Dramaga dan Tamansari. Kini masing-masing wilayah tersebut telah memiliki kecamatan sendiri setelah pemekaran wilayah pada tahun 1997. Sejak tahun 1995 luas wilayah kecamatan Ciomas semakin menyusut, semula luas wilayah kecamatan ini lebih dari 70 km2, kini hanya 16.3 km2. Penyusutan itu dikerenakan pemekaran luas wilayah Kota Bogor di bulan September tahun 1995, lalu pemekaran wilayah baru kecamatan Dramaga pada tahun 1997 dan Tamansari pada tahun 2002. Jumlah kelurahan yang semula berjumlah 40, kini hanya menyisakan 11 kelurahan yaitu Kelurahan Ciapus, Ciomas Rahayu, Ciomas, Laladon, Mekarjaya, Padasuka, Pagelaran, Parakan, Sukaharja, dan Sukamakmur.

Karakteristik wilayah di Kecamatan Ciomas terdiri dari 60% wilayah pemukiman, 25% wilayah pertanian, 10% lahan kosong, dan 5% lain-lain. Wilayah pemukiman yang padat tercermin dari banyaknya perumahan yang ada di Kecamatan Ciomas. Terdapat 34 perumahan dari 11 kelurahan yang ada di Kecamatan Ciomas. Kepadatan penduduk yang tinggi diimbangi dengan sarana pendidikan yang juga memadai. Kecamatan Ciomas memiliki 51 SD/MI negeri dan swasta, 20 SMP/MTs negeri dan swasta, 3 SMA negeri dan swasta, 4 MA negeri dan swasta, 9 SMK negeri dan swasta, serta 1 perguruan tinggi. Salah satu contoh SMP negeri di Kecamatan Ciomas adalah SMP Negeri 1 Ciomas dan SMP swasta di Kecamatan Ciomas adalah SMP Ibnu Aqil (Kemdikbud 2015).

SMP Negeri 1 Ciomas, Kabupaten Bogor adalah sekolah menengah siswa 36-42 orang tiap kelas. Selain ruang kelas, fasilitas yang ada di SMP Negeri 1 Ciomas antara lain ruang guru, ruang kepala sekolah, unit kesehatan sekolah (UKS), ruang tata usaha (TU), koperasi siswa, koperasi sekolah, laboratorium bahasa, laboratorium IPA, ruang multimedia, kantin, toilet, lapangan upacara, lapangan olahraga, lapangan parkir, perpustakaan, ruang bimbingan konseling (BK), dan masjid.

(28)

12

Karakteristik Contoh

Karakteristik contoh yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, uang jajan, berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U). Contoh dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII yang memenuhi kriteria inklusi. Contoh yang diamati sebanyak 190 orang berasal dari dua sekolah yang berbeda, yaitu SMP Negeri 1 Ciomas dan SMP Ibnu Aqil. Jumlah contoh diambil berdasarkan data screening SMP Ibnu Aqil dan SMPN 1 Ciomas, yang menunjukkan prevalensi sebesar 21.03%. Menurut Riskesdas (2013), stunting

dapat menunjukkan masalah gizi jika berada pada prevalensi lebih dari 20%. Sebagian besar contoh adalah perempuan (63.2%). Prevalensi stunting

pada remaja perempuan lebih banyak daripada remaja laki-laki (36.8%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Andariah (2013) dan Vedlina (2014) yang menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada remaja perempuan lebih banyak daripada remaja laki-laki. Sebaran karakteristik contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Sebaran karakteristik contoh berdasarkan status gizi

Karakteristik Stunting Normal Total

p-value

Rata-rata±SD 33.0±5.8 39.7±6.5 36.4±7.0

Median(Min,Max) 31.8(19.1,50.1) 39.1(24.6,63.4) 35.9(19.1,63.4)

Tinggi Badan

Rata-rata±SD 138.7±4.1 148.8±5.7 143.7±7.1

Median (Min,Max) 138.9(126.3,146.4) 148.2(136.5,170.0) 142.8(126.3,170.)

TB/U

perbedaan signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

(29)

Arifin (2015) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia kelompok stunting dan normal. Friedman et al. (2005) dan Yasmin et al.

(2014) menyatakan bahwa peningkatan prevalensi kejadian stunting berbanding lurus dengan peningkatan usia. Hasil analisis Yasmin et al. (2014) menunjukkan semakin bertambah usia, maka rata-rata nilai z-skor TB/U akan semakin menjauh dari nilai mediannya. Hasil penelitian Friedman et al. (2005) di Kenya menunjukkan bahwa indeks TB/U semakin menjauh dari nilai median NCHS sejalan dengan peningkatan usia. Usia pada contoh stunting lebih dewasa dibandingkan dengan contoh normal dapat menunjukkan bahwa terdapat contoh

stunting yang mengalami keterlambatan usia masuk sekolah. Hal tersebut didukung oleh analisis Daniels dan Adair (2004) bahwa anak stunting

berhubungan dengan keterlambatan usia masuk sekolah, tidak naik kelas, prestasi belajar rendah, dan drop out. Hasil penelitian yang menunjukkan lebih tingginya prevalensi stunting sejalan dengan peningkatan usia umumnya terjadi pada anak di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah dimana setelah usia tiga bulan terjadi gangguan pertumbuhan yang secara persisten berjalan lambat sampai masa remaja. Penelitian cohort oleh Crookstoon et al. (2013) pada 8062 anak di Ethiopia, India, Peru, dan vietnam menunjukkan terdapat perbedaan usia masuk sekolah antara anak yang selama umur 1-8 tahun tidak pernah stunting, stunting di usia 1 tahun kemudian tidak stunting di usia 8 tahun, tidak stunting di usia 1 tahun dan stunting di usia 8 tahun, dan stunting 1-8 tahun. Anak dengan riwayat stunting

memiliki rata-rata usia masuk sekolah lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat stunting. Senbanjo et al. (2011) menyebutkan bahwa peningkatan prevalensi stunting sejalan dengan peningkatan usia telah dihubungkan dengan percepatan pertumbuhan (growth spurt) yang tidak terjadi atau lambat terjadi jika dibandingkan dengan anak normal. Penelitian di Ghana dan Tanzania menunjukkan bahwa stunting berhubungan kuat dengan terlambatnya anak masuk sekolah dasar dan lebih banyak anak stunting yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (Partnership for Child Development 1999).

Uang jajan merupakan uang yang diterima siswa dari orang tua sebagai pegangan untuk jajan di sekolah. Rata-rata uang jajan contoh secara keseluruhan adalah Rp 12 623.68±5411.80. Pengkategorian uang jajan contoh dibuat berdasarkan rataan dari seluruh contoh. Uang jajan contoh dibagi menjadi dua kategori, yaitu lebih kecil dari rata-rata (< Rp12 623) dan lebih besar sama dengan rata-rata (≥ Rp 12 623). Rata-rata uang jajan pada contoh stunting (Rp 12 421.05±4 781.57) lebih kecil dibandingkan contoh normal (Rp 12 826.32±5 995.02). Proporsi uang jajan pada contoh stunting yang termasuk ke dalam kategori kecil (56.8%) lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (46.3%). Hal tersebut diperkuat dengan rata-rata pendapatan keluarga pada contoh stunting

(30)

14

Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman 2000). Arisman (2008) menyebutkan bahwa penilaian status gizi dilakukan dengan penghitungan berdasarkan z-skor yang dilakukan dengan cara melihat distribusi normal nilai pertumbuhan orang yang diperiksa. berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Stunting dapat dinyatakan dengan nilai z-skor tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan WHO (2007). Tabel 5 menunjukkan bahwa contoh stunting memiliki rata-rata tinggi badan sebesar 138.7±4.1 cm adalah signifikan lebih rendah 10 (sepuluh) cm dari rata-rata tinggi badan contoh normal sebesar 148.8±5.7cm (p < 0.05).

Rata-rata berat badan contoh stunting (33.2 kg) juga signifikan lebih rendah 6 (enam) kg dari pada contoh normal (39.7 kg) (p < 0.05). Perbedaan berat badan antara contoh stunting diperkuat dengan pengukuran indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Indeks massa tubuh menurut umur dikategorikan kurus apabila z-skor kurang dari -2 SD, normal apabila -2 SD ≤ z-skor < +2 SD, dan gemuk apabila z-zkor ≥ +2 SD (WHO 2007). Tabel 6 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan IMT/U.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U)

Karakteristik Stunting Normal Total

n % n % n %

Tidak terdapat contoh dengan kategori gemuk pada contoh stunting

sedangkan pada contoh normal terdapat dua orang contoh dengan kategori gemuk. Sebaliknya tidak terdapat contoh dengan kategori kurus pada contoh normal dan terdapat satu orang contoh stunting dengan kategori kurus. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan proporsi status gizi (IMT/U) antara contoh stunting dan normal.

Rata-rata nilai z-skor TB/U contoh stunting (-2.4 SD) signifikan lebih rendah dari pada contoh normal (-0.9 SD) (p < 0.05). Hasil penelitian Arifin (2015) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tinggi badan contoh stunting dan contoh normal serta terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai z-skor TB/U contoh stunting dan contoh normal pada anak usia 10-13 tahun. Hasil yang serupa diperoleh Yasmin et al. (2014) yang menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan dan nilai z-skor TB/U contoh

stunting signifikan lebih rendah dari pada contoh normal pada anak usia 6-12 tahun di delapan provinsi di Indonesia.

Sosial Ekonomi Keluarga

(31)

Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang diamati dalam penelitian ini adalah pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Sebaran karakteristik sosial ekonomi keluarga berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan sosial ekonomi keluarga dan status gizi

Karakteristik Stunting Normal Total p-value

n % n % n %

perbedaan signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

Usaha perbaikan gizi diarahkan pada usaha peningkatan status gizi masyarakat dan usaha mencegah masalah gizi. Salah satu penyebab masalah gizi adalah masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat karena masyarakat sulit menerima pengetahuan yang diberikan. Pendidikan membuat orang tua mampu menyusun menu makanan keluarga sebagai modal utama peningkatan mutu keluarga. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu karakteristik penting yang dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga contoh.

Tabel 7 menyajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua. Contoh stunting memiliki tingkat pendidikan Ayah (41.8%) dan Ibu (28.4%) yang tamat SMA lebih sedikit dibandingkan contoh normal. Tabel 7 menunjukkan bahwa pendidikan Ayah dan Ibu pada contoh stunting cenderung lebih rendah dibandingkan pendidikan Ayah dan Ibu pada contoh normal. Meskipun demikian, hasil analisis uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar tingkat pendidikan orang tua kedua kelompok (p > 0.05). Hasil ini berbeda dengan kajian dari Arifin (2015) dan Yasmin (2014) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Ayah dan Ibu pada contoh stunting signifikan lebih rendah dari pada contoh normal. Senbanjo et al.

(32)

16

berpendidikan tinggi cenderung memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah (Engel et al. 1997).

Pendapatan keluarga merupakan gabungan dari hasil pendapatan Ayah, Ibu, dan anggota keluarga lain dalam satu bulan. Tingkat pendapatan akan berpengaruh terhadap pola makan, makanan apa yang dibeli, serta merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas makanan. Pendapatan keluarga dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu rendah (< Rp3 000 000) dan cukup (≥ Rp3 000 000). Proporsi pendapatan keluarga yang tergolong cukup pada contoh

stunting (26.9%) lebih sedikit dibandingkan pada contoh normal (37.3%). Namun demikian hasil analisis uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar rata-rata tingkat pendapatan keluarga kedua kelompok (p >0.05). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Andariah (2013) dan Arifin (2015) yang menunjukkan rata-rata pendapatan keluarga pada contoh

stunting signifikan lebih rendah dari pada contoh normal. Semba et al. (2008) menyatakan bahwa pendapatan yang rendah mengakibatkan keluarga tidak dapat mengakses makanan yang dapat memenuhi kebutuhan anak.

Besar keluarga menggambarkan jumlah keseluruhan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Besar keluarga merupakan faktor risiko terjadinya kurang gizi pada anak di negara berkembang. Tabel 7 menunjukkan bahwa pada contoh normal tidak ada keluarga yang masuk ke dalam kategori besar. Proporsi keluarga sedang pada contoh stunting (55.1%) lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (33.3%). Selain itu, proporsi keluarga kecil pada contoh stunting

(38.9%) lebih kecil dari pada contoh normal (66.7%). Hasil uji Mann-Whitney

menunjukkan perbedaan yang signifikan antar besar keluarga kedua kelompok (p <0.05). Hasil ini sejalan dengan Andariah (2013) dan Vedlina (2014) yang menunjukkan perbedaan signifikan antar besar keluarga kedua kelompok contoh. Hasil penelitian Yasmin (2014) juga menunjukkan bahwa rata-rata besar keluarga contoh stunting signifikan lebih besar dari pada contoh normal. Hasil analisis Senbanjo et al. (2011) juga menunjukkan bahwa prevalensi stunting signifikan lebih tinggi pada keluarga yang jumlah anggotanya banyak. Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Sediaoetama (2006) menambahkan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran pangan sehari-hari semakin sulit. Hal ini mengakibatkan kualitas dan kuantitas pangan yang diperoleh semakin tidak mencukupi untuk anggota keluarga.

Konsumsi Pangan

(33)

kuantitas akan menyebabkan masalah gizi. Konsumsi pangan dianalisis dari segi kuantitas konsumsi pangan yang dilihat dari rata-rata asupan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi.

Kuantitas Konsumsi Pangan

Keseluruhan rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh stunting lebih rendah dari pada contoh normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar asupan energi dan protein contoh stunting dan normal (p<0.05). Sebaran asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi

Energi dan zat gizi Stunting Normal p-value

Energi (Kal/hari) 1) 1 789±455 1 953±516 0.021*)

Protein (g/hari)1) 72.9±23.8 82.0±29.9 0.023*)

Kalsium (mg/hari)1) 601.1±281.8 675.2±317.0 0.090

Zat Besi (mg/hari)1) 22.0±7.8 23.4±9.5 0.253

Seng (mg/hari)2) 10.0±1.02 10.2±1.09 0.176

Vit A (mcg/hari)2) 1 069.8±765.3 1 211.0±894.5 0.270

Vit C (mg/hari)2) 83.0±65.3 98.5±94.2 0.661

1)

uji t; 2) uji Mann-Whitney

*)

perbedaan signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

Tabel 9 menunjukkan rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein contoh stunting signifikan lebih rendah dari pada contoh normal (p <0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Yasmin (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada contoh stunting signifikan lebih rendah dibandingkan contoh normal. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C contoh stunting juga lebih rendah dari contoh normal meskipun tidak berbeda nyata. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian arifin (2015) yang menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi, vitamin A, dan vitamin C pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal. Sedangkan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan kalsium adalah tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok contoh .

Tabel 9 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi

(34)

18

Rata-rata tingkat kecukupan energi pada contoh stunting sebesar 85.7% yang termasuk kategori defisit tingkat ringan, sedangkan rata-rata tingkat kecukupan energi pada contoh normal masuk dalam kategori normal (93.2%). Berbeda halnya dengan tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan protein pada contoh stunting masuk dalam kategori normal dan lebih pada contoh normal. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dan mineral kedua kelompok masih tergolong cukup (≥77%) kecuali rata-rata tingkat kecukupan kalsium yang masuk dalam kategori kurang pada kedua kelompok contoh. Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi terdapat pada tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta status gizi

Variabel Stunting Normal Total

n % n % n %

Tabel 10 menunjukkan bahwa proporsi contoh stunting dengan tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit berat (28.4%) lebih banyak dari pada contoh normal (21.1%). Proporsi contoh stunting dengan tingkat kecukupan protein yang tergolong normal (21.1%) juga lebih sedikit dari pada contoh normal (30.5%). Tingkat kecukupan vitamin dan mineral hampir keseluruhan dari kedua kelompok tergolong cukup, kecuali tingkat kecukupan kalsium. Hal ini didukung oleh kuesioner kebiasaan makan contoh yang menunjukkan rata-rata frekuensi minum susu contoh hanya satu minggu sekali.

(35)

83.2%. Begitu juga dengan tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok contoh yang tergolong cukup lebih dari 50%, namun proporsi tingkat kecukupan vitamin C contoh stunting (66.3%) lebih kecil dari pada contoh normal (68.4%). Vitamin A dan C mempengaruhi fungsi imunitas sehingga defisiensi vitamin A dan C dapat meningkatkan risiko stunting (Eckhardt 2006).

Hasil penelitian Lee et al. (2012) pada 143 anak usia 12-14 tahun di Korea Selatan menunjukkan bahwa asupan protein, lemak, kalsium, dan zat besi anak pendek lebih sedikit dari pada anak normal. Gibson et al. (2007) yang menganalisis 567 anak usia 6-13 tahun, anak laki-laki stunting memiliki rata-rata asupan energi, protein, kalsium, fosfor, dan seng yang lebih rendah dari pada anak laki-laki normal. Hal ini menunjukkan bahwa anak stunting cenderung memiliki konsumsi pangan sumber protein hewani yang lebih rendah. Pangan hewani dapat menyumbangkan asupan protein, kalsium, dan seng yang lebih tinggi dibanding pangan non-hewani. Protein, kasium, dan seng sangat penting untuk pertumbuhan linear dan kecerdasan otak. Konsumsi pangan sumber protein hewani memiliki pengaruh yang positif terhadap tinggi badan dan prestasi belajar.

Frekuensi Konsumsi Pangan

Distribusi kelompok pangan pada makanan pokok yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah nasi, mie, dan roti. Rata-rata frekuensi konsumsi makanan pokok pada kelompok contoh stunting lebih sering dari pada contoh normal. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor pendapatan keluarga yang rendah sehingga dapat menurunkan kualitas makanan dalam pemilihan pangan. Contoh stunting memiliki proporsi pendapatan keluarga dalam kategori rendah sebesar 74.1%. Hal tersebutlah yang menyebabkan kemungkinan terjadinya perilaku seringnya mengonsumsi mie instan. Namun demikian, rata-rata frekuensi konsumsi makanan pokok tidak berbeda signifikan antar kelompok stunting dan normal (p > 0.05).

Kelompok daging, ikan dan hasil olahan lainnya yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah ayam, sosis, dan nugget. Frekuensi konsumsi ayam (3 kali/minggu) dan sosis (3 kali/minggu) pada contoh stunting lebih rendah dari pada contoh normal, walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok (p >0.05). Frekuensi konsumsi telur yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah telur ayam dengan frekuensi konsumsi paling sering sebesar 6 kali/minggu. Mengingat telur merupkan pangan sumber protein hewani paling murah sehingga paling sering dikonsumsi oleh kedua kelompok, sehingga rata-rata frekuensi konsumsi konsumsi telur tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok (p >0.05). Hasil analisis yang sama ditemukan pada kelompok polong, kacang, dan biji-bijian serta pada berbagai jeroan (p >0.05). Contoh normal lebih banyak mengonsumsi tahu, tempe, dan oncom dibandingkan dengan contoh stunting. Hal ini semakin menguatkan bahwa contoh stunting lebih sedikit mengkonsumsi pangan sumber protein yang baik untuk tumbuh kembang dan kecerdasan.

(36)

20

kelompok adalah wortel, mangga, dan pepaya. Frekuensi konsumsi wortel, mangga, dan pepaya pada contoh normal lebih sering dibandingkan dengan contoh stunting. Rata-rata frekuensi konsumsi pangan disajikan pada tabel 11. Tabel 11 Rata-rata frekuensi konsumsi berdasarkan kelompok pangan dan status

gizi

1)

uji Mann-Whitney

Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu)

p-value1)

Telur bebek 0.06±0.38 0.22±1.47

Telur ayam 6.45±4.90 6.16±5.06

Telur puyuh 0.58±1.53 0.33±1.19

Polong, kacang, dan biji-bijian

Susu full cream 1.60±3.75 1.71±3.63

(37)

Rata-rata frekuensi konsumsi sayur dan buah sebagai sumber vitamin A pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p >0.05). Kelompok buah yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah pisang, rambutan, dan jeruk. Meskipun tidak berbeda signifikan (p >0.05) frekuensi konsumsi buah pada contoh stunting lebih sedikit dari pada contoh normal. Lee et al. (2012) menunjukkan bahwa konsumsi buah signifikan lebih rendah pada anak pendek dibandingkan anak normal. Frekuensi konsumsi buah juga terbukti berhubungan positif dengan pertumbuhan linier (Ntab et al. 2005).

Kelompok jeroan yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah hati, ampela, dan usus. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada konsumsi jeroan kedua kelompok contoh (p >0.05). Kelompok bahan pangan susu dan olahan lainnya yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok adalah susu full cream, ice cream, dan yoghurt. Rata-rata konsumsi susu full cream pada kedua kelompok adalah 1 kali/minggu. Hal ini menguatkan hasil tingkat kecukupan kalsium yang kurang pada kedua kelompok. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p >0.05) antara kedua kelompok.

Jenis makanan jajanan yang sering dikonsumsi kedua kelompok adalah donat, bakso, dan batagor. Kelompok minuman manis yang sering dikonsumsi kedua kelompok contoh adalah teh manis, pop ice, dan jus buah. Rata-rata frekuensi konsumsi makanan jajanan dan minuman manis tidak berbeda signifikan dikedua kelompok contoh (p >0.05).

Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah hasil belajar yang diperoleh oleh masing-masing anak setelah mengikuti program pembelajaran yang dinyatakan dengan skor atau nilai. Prestasi belajar merupakan output sekolah yang sangat penting, yang dijadikan alat ukur untuk mengukur kemampuan kognitif siswa. Proses belajar mengajar melibatkan berbagai aspek. Aspek tersebut dapat berasal dari diri siswa (internal) maupun dari luar diri siswa (eksternal). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan proses belajar mengajar tersebut adalah prestasi belajar siswa. Prestasi belajar dalam penelitian ini dinilai berdasarkan hasil tes belajar pada Ulangan Tengah Semester (UTS) semester genap dan Ulangan Akhir Semester (UAS) semester ganjil yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Prestasi belajar diukur melalui rata-rata nilai ujian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS. Rata-rata nilai tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang (50-59), cukup (60-69), baik (70-79), dan sangat baik (80-100) (Syah 2010).

(38)

22

Tabel 12 Rata-rata nilai UTS dan UAS berdasarkan mata pelajaran dan status gizi Nilai mata pelajaran Stunting (S) Normal (TS) Selisih (TS-S) P-value Nilai rata-rata UTS

perbedaan signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

Tabel 13 menunjukkan sebaran prestasi belajar UTS dan UAS contoh

stunting dan contoh normal. Proporsi prestasi belajar UTS dan UAS contoh

stunting yang tergolong sangat baik (9.5% dan 24.2%) lebih rendah hampir dua kali lipat dari pada contoh normal (17.9% dan 43.2%). Hal ini mengindikasikan bahwa contoh stunting memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan contoh normal. Hasil Analisis uji-t juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar UTS maupun UAS contoh stunting dan contoh normal.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai UTS dan UAS serta status gizi

Kategori Stunting Normal Total p-value

1)

perbedaan signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

(39)

dalam bentuk angka atau biasanya disebut nilai. Prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor lingkungan (sosio kultural, sosio ekonomi, kurikulum, cara guru mengajar dan fasilitas belajar) (Syah 2010). Agustini et al. (2013) mengatakan bahwa faktor lingkungan adalah faktor yang paling banyak berpengaruh pada prestasi belajar. Faktor lingkungan dapat berupa lingkungan dalam (keluarga) dan lingkungan luar (teman bermain). Faktor keluarga yang dapat berpengaruh diatntaranya adalah pendapatan keluarga. Menurut Puspitasari (2008) bahwa semakin tinggi pendapatan ayah maka pola asuh belajar yang diberikan orang tua semakin baik sehingga menjadi prestasi akademik anak semakin baik pula. Hal tersebut didukung dengan data pendapatan keluarga pada contoh stunting yang cenderung lebih rendah dibandingkan contoh normal. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pendapatan yang lebih tinggi, orang tua dapat menyediakan fasilitas belajar yang lebih baik dan memungkinkan anak mendapatkan kurikulum dan cara guru mengajar yang lebih baik.

Mata pelajaran yang digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif dalam penelitian ini adalah matematika, bahasa indonesia, bahasa inggris, IPA, dan IPS. Kelima mata pelajaran tersebut merupakan standar kompetensi pelajaran yang digunakan disekolah dan dapat mewakili kemampuan siswa secara umum. Mata pelajaran matematika dan IPA dapat merepresentasikan kemampuan penalaran untuk memecahkan masalah, dan bersikap ilmiah. Mata pelajaran IPS dapat merepresentasikan kemampuan berpikir dan bekerja. Mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dapat merepresentasikan kemampuan berbahasa (Depdiknas 2006). Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif memiliki enam jenjang atau aspek, yaitu; pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis), dan penilaian (evaluation). Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut (Syah 2010).

Contoh stunting pada penelitian ini memiliki rata-rata nilai Bahasa Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh normal. Menurut Kusumaningrum (2006), masa usia sekolah dibagi menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah yang berumur 6 sampai 9 tahun dan masa kelas tinggi 12 sampai 13 tahun. Sifat khas anak masa kelas tinggi antara lain berminat terhadap pelajaran khusus, minat pada kehidupan praktis yang konkret, realistis dan selalu ingin banyak tahu, gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama, membutuhkan orang dewasa untuk membimbing belajar, dan nilai rapor dianggap sebagai ukuran yang tepat terhadap prestasi belajarnya.

Stunting dapat menghambat prestasi akademik dan mengurangi produktifitas kerja sehingga mempengaruhi pendapatan. Stunting sangat kuat berhubungan dengan kemampuan belajar dan berkontribusi pada perkembangan ekonomi nasional (A&T Technical Brief 2010). Stunting mengakibatkan lebih sedikit masa sekolah dan gangguan perkembangan kognitif. Proses menjadi

(40)

24

fungsional pada otak sehingga memperlambat perkembangan fungsi kognitif bahkan kerusakan kognitif secara permanen (Kar et al. 2008).

Hubungan antar Variabel

Hubungan antara Karakateristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan Karakteristik Contoh

Karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Indikator karakteristik contoh yang diuji hubungannya antara lain uang jajan, usia, berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U). Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan adanya hubungan antara besar keluarga dengan berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U) (p <0.05). Koefisien korelasi antara besar keluarga dengan berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U) ditunjukkan oleh tabel 14.

Tabel 14 Koefisien korelasi antara besar keluarga dengan berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U)

Variabel p-value Koefisien korelasi (r)

Besar Keluarga

Berat Badan 0.006**) -0.237

Tinggi Badan 0.048*) -0.171

Status Gizi (TB/U) 0.014*) -0.213

**)

hubungan signifikan (p < 0.01) *)

hubungan signifikan (p < 0.05)

Hubungan antara besar keluarga dengan berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U) adalah signifikan negatif dengan kekuatan yang lemah (r ≤ 0.3). Hal ini berarti bahwa semakin banyak anggota keluarga semakin rendah berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U) contoh. Hasil ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga contoh stunting lebih banyak dibandingkan jumlah anggota keluarga contoh normal dan rata-rata berat badan contoh stunting lebih rendah dibandingkan contoh normal. Hasil ini selajan dengan penelitian Vedlina (2014) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara besar keluarga dengan status gizi. Hasil uji hubungan

Spearman menunjukkan bahwa pendapatan, pendidikan ibu, dan pendidikan ayah tidak berhubungan secara signifikan dengan berat badan, tingggi badan, uang jajan, dan status gizi (TB/U) (p > 0.05). Hasil ini berbeda dengan penelitian Andariah (2013) yang menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara pendidikan ayah dan pendidikan ibu dengan statuz gizi (TB/U) dan penelitian Vedlina (2014) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan positif antara pendapatan keluarga dengan status gizi. hasil penelitian Girma&Genebo (2002) di Ethiopia menunjukkan bahwa prevalensi stunting

paling tinggi terjadi pada anak dari rumah tangga yang sangat miskin.

Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan Konsumsi Pangan

(41)

menunjukkan bahwa pendapatan, pendidikan ibu, dan besar keluarga tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat kecukupan energi dan seluruh zat gizi (p > 0.05). Hal tersebut diduga karena variansi data yang homogen sehingga mengakibatkan hasil uji hubungan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi keluarga tidak dapat menjamin tingkat kecukupan energi dan seluruh zat gizi semakin baik pula. Hal ini sesuai dengan hasil analisis Arifin (2015) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Senbanjo et al. (2011) menyatakan bahwa semakin banyak anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, semakin kecil jumlah pangan yang diperoleh anak. Shi et al. (2005) menyatakan bahwa karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh (pendidikan) memiliki hubungan yang signifikan positif dengan asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Koefisien korelasi antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan konsumsi pangan dapat dilihat pada lampiran 3.

Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Belajar

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara pendapatan keluarga, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu dengan nilai UTS dan UAS (p <0.05). Koefisien korelasi antara pendapatan keluarga, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu dengan nilai UTS dan UAS ditunjukkan oleh tabel 15.

Tabel 15 Koefisien korelasi antara pendapatan keluarga, pendidikan ayah, dan pendidikan ibu dengan nilai UTS dan UAS

Variabel p-value Koefisien korelasi (r)

Pendapatan Keluarga

hubungan signifikan (p < 0.01) *)

hubungan signifikan (p < 0.05)

Hubungan antara pendapatan keluarga dengan nilai UTS dan UAS serta pendidikan ibu dengan nilai UAS adalah signifikan positif dengan kekuatan yang

(42)

26

Hubungan antara Status Gizi dengan Prestasi Belajar

Hubungan signifikan positif ditemukan dari hasil uji hubungan Spearman

antara status gizi dengan nilai UTS dan UAS contoh. Hubungan antara status gizi

dengan prestasi belajar adalah signifikan positif dengan kekuatan yang lemah (r ≤

0.3). Koefisien korelasi antara status gizi dengan nilai UTS dan UAS ditunjukkan oleh tabel 16.

Tabel 16 Koefisien korelasi antara status gizi dengan nilai UTS dan UAS

Variabel p-value Koefisien korelasi (r)

Status Gizi

UTS 0.011*) 0.218

UAS 0.009**) 0.225

**)

hubungan signifikan (p < 0.01) *)

hubungan signifikan (p < 0.05)

Hasil menunjukkan bahwa semakin baik status gizi seseorang maka semakin prestasi belajarnya akan semakin baik. Hasil ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa prestasi belajar contoh normal lebih baik dibandingkan prestasi belajar contoh stunting. Hasil ini selajan dengan penelitian Arifin (2015), Vedlina (2014), dan Legi (2012) yang menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara status gizi dengan prestasi belajar. Penelitian Crookstoon et al.

(2013) menunjukkan bahwa dibandingkan anak yang tidak pernah stunting, skor matematika yang pernah dan masih stunting menunjukkan hubungan yang signifikan lebih rendah. Selain skor matematika, kemampuan membaca dan berbahasa anak stunting juga signifikan lebih rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rata-rata usia baik pada contoh stunting dan normal adalah 12 tahun. Proporsi usia 14 tahun pada contoh stunting dua kali lipat lebih banyak dari pada contoh normal. Sebagian besar contoh adalah perempuan. Rata-rata uang jajan contoh stunting lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan pada uang jajan antar kedua kelompok. Contoh stunting memiliki rata-rata tinggi badan lebih rendah 10 cm dari rata-rata tinggi badan contoh normal. Rata-rata nilai z-skor TB/U contoh stunting berbeda signifikan lebih rendah dari pada contoh normal.

(43)

Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein contoh stunting signifikan lebih rendah dari contoh normal. Jenis makanan pokok yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah nasi, mie, dan roti. Jenis protein nabati yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah tahu, tempe, dan oncom. Kelompok protein hewani yang sering dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah ayam, sosis, dan nugget. Jenis sayuran hijau yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah bayam, kangkung, dan kol. Jenis buah yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah pisang, rambutan, dan jeruk. Jenis makanan jajanan yang paling sering dikonsumsi pada kedua kelompok adalah donat, bakso, dan batagor. Jenis minuman manis yang paling sering dikonsumsi pada kedua kelompok adalah teh manis, pop ice, dan jus buah. Secara keseluruhan, frekuensi konsumsi pangan pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Rata-rata nilai UTS maupun UAS pada contoh stunting cenderung lebih rendah dibandingkan contoh normal. Proporsi prestasi belajar UTS dan UAS contoh stunting yang tergolong sangat baik lebih rendah hampir dua kali dari contoh normal. Hasil Analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar UTS maupun UAS contoh stunting dan contoh normal.

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan adanya hubungan signifikan negatif antara besar keluarga dengan berat badan, tinggi badan, dan status gizi (TB/U). Hasil uji hubungan Spearman juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan pendidikan ayah dengan prestasi belajar. Hasil uji hubungan Spearman

menunjukkan adanya hubungan signifikan positif antara status gizi dengan prestasi belajar. Hal ini menunjukkan contoh dengan status gizi yang lebih baik cenderung memiliki prestasi belajar yang lebih baik.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar, Sebaiknya permasalahan stunting pada anak sekolah lebih diperhatikan agar dapat mendukung proses pertumbuhan linier, meningkatkan prestasi belajar, dan meningkatkan kualitas SDM. Informasi bagi orang tua dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan gizi. Selain pendidikan gizi, contoh riil dari keluarga berupa penyediaan makanan yang baik secara kualitas dan kuantitas juga perlu diterapkan. Sebaiknya pengukuran tinggi badan anak di sekolah rutin dilakukan berkala guna meminimalisir angka kejadian stunting pada anak usia sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1997. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN.

(44)

28

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional RI. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta (ID): Depdiknas RI.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka. Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2010. [internet]. [Diunduh 27 Mei 2015]. www.depkes.go.id

[Kemdikbud] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Daftar Satuan Pendidikan Per Kecamatan Ciomas. [internet]. [diunduh 28 Mei 2015]. http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php?kode=020507&level=3 [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Riset kesehatan dasar 2013. [internet].

[Diunduh 23 Maret 2014]. www.depkes.go.id

[UNICEF] United Nations Children's Fund. 2001. Early Chilhood Development. [internet]. [diunduh 27 Mei 2015]. http://www.unicef.org/dprk/ecd.pdf [WHO] World Health Organization. 2007. Growth reference 5-19 years [internet].

[diunduh 23 Maret 2014]. http://www.who.int/growthref/ who2007_height_for_age/en/

A&T Technical Brief. 2010. Insight why stunting matters [internet]. [diunduh 23 Maret 2014]. http://www.aliveandthrive.org

Agustini CC, Nancy SHM, Rudolf BP. 2013. Hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar anak kelas 4 dan 5 sekolah dasar di Kelurahan Maasing Kecamatan Tuminting Kota Manado [skripsi]. Manado (ID): Universitas Sam Ratulangi.

Arifin YN. 2015. Hubungan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan dengan status gizi dan prestasi belajar anak sekolah dasar stunting dan normal. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi Dalam Daur Kehidupan Edisi 2. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Crookston BT, Schott W, Cueto S, Dearden KA, Engle P, Georgiadis A, Lundeen EA, Penny ME, Stein AD, Behrman JR. 2013. Postinfancy growth, schooling, and cognitive achievement: young lives. American Journal of Clinical Nutrition. 98:1555-63.

Daniels MC, Adair LS. 2004. Growth in young Filipino children predicts schooling trajectories through high school. J Nutr. 134:1439-1446.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan kejadian stunting dan sosial ekonomi
Gambar 2 Bagan dan cara pengambilan contoh
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Pengkategorian variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bimbingan orang tua, motivasi belajar siswa, dan status sosial ekonomi keluarga dengan prestasi

diperoleh kesimpulan bahwa: (1) terdapat perbedaan pengaruh prestasi belajar matematika yang signifikan antara kelompok keaktifan tinggi dan sedang, (2) terdapat perbedaan pengaruh

Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel dukungan sosial keluarga dengan variabel motivasi belajar, dimana semakin

Sri Lestari Ningsih (2005) yang dilakukan pada siswa kelas 2 SMA BOPKRI 2 Yogyakarta menunjukkan ada hubungan positif dan signifikan antara status sosial ekonomi orang tua,

Stunting merupakan hasil dari standar pertumbuhan &lt; -2 SD di nilai dari Z-score panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U). Penelitian

Sedangkan berdasarkan status sekolah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara intake protein, lemak, zat besi dan vitamin C pada contoh dari sekolah negeri dan swasta,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosial ekonomi keluarga (pendidikan orang tua, pengetahuan gizi dan stunting pada ibu, pekerjaan ibu, pendapatan

Kesimpulan dari penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, jumlah tanggungan keluarga dan