• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS WACANA STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT ARAB SAUDI DALAM FILM WADJDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS WACANA STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT ARAB SAUDI DALAM FILM WADJDA"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Wacana Struktur Sosial Masyarakat Arab Saudi

Dalam Film Wadjda

Discourse Analysis of Social Structure of Saudi Arabia’s

People in The Film of Wadjda

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MUHAMMAD ALIEF MAULANA 20120530185

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

Analisis Wacana Struktur Sosial Masyarakat Arab Saudi

Dalam Film Wadjda

Discourse Analysis of Social Structure of Saudi Arabia’s

People in The Film of Wadjda

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MUHAMMAD ALIEF MAULANA 20120530185

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Muhammad Alief Maulana NIM : 20120530185

Jurusan : Ilmu Komunikasai Konsentrasi : Broadcasting

Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan seluruh summber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan benar. Apabila dikemudian hari karya saya ini terbukti merupakan hasil plagiat/menjiplak karya orang lain maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaannya.

Penulis

(4)

MOTO

CEPAT BOLEH...

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim...

Dengan ini saya persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tua saya yang selalu mendoakan dan mendukung setia langkah saya. Terimakasih kepada kedua orang tua saya yang telah banyak memberikan nasihat serta motivasi terbaik untuk hidup saya. Trimakasih kepada kedua orang tua saya yang telah meembesarkan saya dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang. Terimakasih untuk semua jasa kedua orang tua saya, semoga apa yang kalian ajarkan kepada saya bisa menjadi kunci untuk kesuksesan saya terus kedepannya.

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan rizki serta karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga berlimpah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas skripsi dengan judul, “Analisis Wacana Strukur Sosial Masyarakat Arab Saudi Dalam Film Wadjda”.

Tulisan ini termasuk tulisan saya yang cukup lama saya tulis, daripada tulisan-tulisan ngaco atau diary yang biasa dulu saya tulis. Skripsi ini saya tulis sekitar lima bulan lamanya dengan berbagai hambatan yang saya alami selama proses penulisan skripsi ini. Tetunya saya menulis skripsi ini dengan sungguh-sungguh dan penuh pemikiran kritis, karena saya sadar skripsi ini bukan hanya sekedar isi tulisan tentang patah hati yang menguras hati, tetapi saya harus berpikir kritis mengenai masalah sosial yang saya lihat dalam objek penelitian saya.

Karena harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin diakibatkan

deadline yang menyeramkan, lebih dari ibu-ibu judes yang ada dalam sinetron ‘Tersanjung’, saya banyak memanfaatkan waktu untuk menulis di mana-mana.

Saya menulis di kosan, di caffe, di rumah makan, bahkan saya merelakan waktu malam minggu saya berbulan-bulan untuk menyelesaikan skripsi saya. Walaupun saya sadar, tidak punya orang spesial ataupun gebetan yang mengajak saya jalan.

(7)

sehingga menimbulkan sterotipe mengenai perempuan yang tertindas, direnggut hak-haknya, terjadi subordinasi pada prempuan, dan bahkan saya meliat perempuan sudah tidak sadar dan justru menerima apa yang sudah dikonstruksikan oleh masyarkat. Akhirnya saya menemukan film Wadjda, yang membahas mengenai kehidupan sosial masyarakat Arab Saudi yang kental akan patriarki, yang banyak menyinggung mengenai hak-hak perempuan.

Meski menghadapi beberapa kendala dan hambatan, akhirnya saya dapat menyelesaikan tulisan dan pemikiran saya dalam bentuk skripsi utuh. Semoga hal ini dapat memancing saya untuk terus membuat karya-karya berikutnya, baik berupa buku atau karya lainnya.

Dan untuk mengakhiri pengantar saya ini, saya juga berterima kasih kepada Orang tua saya, keluarga besar saya, Dosen pembimbing saya Ibu Firly Annisa yang telah memberikan waktunya untuk membibing dan memberi masukan kepada saya, teman-teman mentor dan sharing saya Syahidul Mubarok, Aulia Rahman, Tri Pras, Adam Qodar, dan Viddya Dwi sebagai jasa printer, teman-teman yang mempercayai saya, teman Broadcasting, Keluarga Ilmu Komunikasi, Keluarga Ciko, Marvel Studios sebagai mood booster dengan film-filmnya selama saya mengerjakan skripsi (Captain America: Civil War, Doctor Strange), dan Spider-man yang saya idolakan sejak kecil. Terima kasih juga untuk patah hati disela-sela penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya. This thesis is for you.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR FIGURE... xiv

ABSTRAK... xv

ABSTRACT... xvi

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 11

C.Tujuan Penelitian... 12

D.Manfaat Penelitian... 12

(9)

2. Analisis Gender dan Ideologi Patriarki... 18

3. Wacana Dalam Film... 24

F. Metode Penelitian... 29

1. Jenis Penelitian... 29

2. Objek Penelitian... 29

3. Teknik Pengumpulan Data... 30

4. Teknik Analisis Data... 30

G.Sistematika Penulisan... 34

BAB II GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN... 36

A.Sekilas Tentang Arab Saudi... 36

1. Sejarah... 36

2. Monarki dan Keluarga Kerajaan... 40

3. Al Ash-Sheikh dan Para Ulama... 41

4. Agama dan Masyarakat... 43

B. Hak-hak Perempuan di Arab Saudi... 44

1. Perempuan dan Sistem Perwalian Laki-laki Arab Saudi... 46

2. Sex Segregation... 47

3. Membatasi Hak Pekerjaan... 49

4. Pembatasan Mobilitas... 51

(10)

6. Pernikahan, Perceraian, dan Hak Asuh... 56

7. Kekerasan Terhadap Perempuan... 58

C. Dibalik Layar Film “Wadjda”... 60

1. Sinopsis... 60

2. Sekilas Tentang Film “Wadjda”... 62

3. Profil Haifaa al-Mansour... 65

D.Penelitian Terdahulu... 66

BAB III PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN... 70

A.Catatan Pembuka... 70

B. Analisis dan Sajian Data... 71

1. Hambatan Mobilitas Perempuan Dalam Wilayah Publik... 71

2. Peran Perempuan dan Kuasa Laki-laki... 105

3. Dilema Seksualitas Dalam Tubuh Perempuan... 145

BAB IV PENUTUP... 171

1. Kesimpulan... 171

2. Saran... 172

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gugus Strukturasi... 15

Tabel 2. Status dan Peran Yang Dianggap Pantas Oleh Masyarakat... 20

Tabel 3. Adegan Wadjda Meminta Sepeda Kepada Orang Tuanya... 73

Tabel 4. Adegan Pelabelan Berbahaya Dalam Berkendara... 79

Tabel 5. Adegan Wadjda Mendapatkan Juara Baca Al-Quan... 84

Tabel 6. Bagaimana Seorang Perempuan Begitu Bergantung Dengan Laki-laki... 89

Tabel 7. Perbedaan Busana Perempuan Dewasa dan Anak-anak... 102

Tabel 8. Perempuan Dalam Ranah Domestik... 109

Tabel 9. Ibu Wadjda Menolak Pencampuran Gender... 115

Tabel 10. Pemisahan Gender Diranah Publik... 120

Tabel 11. Daftar Job Desc Film Wadjda... 129

Tabel 12. Teman Wadjda Menikah Dengan Laki-laki 20 Tahun... 136

Tabel 13. Ayah Wadjda Meninggalkan Istrinya Untuk Poligami... 140

Tabel 14. Ibu Wadjda Depresi dan Harus Menerima Nasibnya... 143

Tabel 15. Tubuh dan Aurat Perempuan... 148

Tabel 16. Larangan Berhias dan Bersentuhan Dengan Sesama Perempuan... 152

Tabel 17. Aturan Pakaian Perempuan... 158

(12)

DAFTAR GMBAR

Gambar 1. Wadjda Tertarik Dengan Sepeda... 5

Gambar 2. Wadjda Diminta Mengantarkan Surat Kepada Laki-laki... 5

Gambar 3. Adegan Praktik Patriarki... 6

Gambar 4. Poster Film Wadjda (1)... 9

Gambar 5. Skema Pola Hubungan Gugus Strukturasi... 15

Gambar 6. 3 Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough... 31

Gambar 7. Poster Film Wadjda (2)... 61

Gambar 8. Haifa al-Mansour... 65

Gambar 9. Situs Resmi Fatwa Kerajaan Arab Saudi... 87

Gambar 10. Wadjda Mengalahkan Abdullah... 96

Gambar 11. Wadjda Mendengarkan Musik Metal... 116

Gambar 12. Kepala Sekolah Memperingatkan Muridnya Yang Tertawa... 119

Gambar 13. Christinne dan Abu Sin... 123

(13)

DAFTAR FIGURE

(14)
(15)

ABSTRAK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMUKOMUNIKASI

KONSNTRASI BROADCASTING Muhammad Alief Maulana

Analisis Wacana Struktur Sosial Masyarakat Arab Saudi Dalam Film Wadjda Tahun Skripsi : 2016 + 171 Halaman

Daftar Pustaka : 37 Buku + 16 Jurnal dan Skripsi + 36 Berita Internet Film Wadjda adalah film Jerman-Arab yang mengangkat kisah seorang anak permpuan tomboy berusia 12 tahun yang sangat menginginkan sepeda di tengah arus budaya yang melarang setiap perempuan berkendara. Film ini cukup menyinggung pemerintahan Arab Saudi terkait aturan dan penyebaran wacana mengenai mobilitas dan hak-hak perempuan. Penelitian ini melihat bagaimana struktur sosial masyarakat Arab Saudi dalam berinteraksi sosial di tengah wacana-wacana yang membatasi hak-hak perempuan yang diproduksi dan direpoduksi terus menerus. Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan teori strukturasi, analisis gender dan ideologi patriarki, wacana dalam film. Kemudian dalam metodenya peneliti menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dalam film ini, perempuan ditampilkan sebagai sosok yang terus ketergantungan dengan laki-laki, perempuan juga sebagai seks kelas dua yang tidak lepas dari wilayah domestik dan masih menjadi objek yang dipilih laki-laki dalam pernikahan. Tubuh perempuan juga tidak lepas dari wacana, begitu tabu dan ambigu untuk diekspresikan, seolah apa yang melekat pada tubuh perempuan dapat merusak moral sosial dan menggugah hasrat seksualitas laki-laki

(16)

ABSTRACT

UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FACULTY OF SOCIAL AND POLITIC SCIENCE DEPARTMENT OF COMMUNICATION SCIENCE CONCENTRATION OF BROADCASTING

Muhammad Alief Maulana

Discourse Analysis of Social Structure of Saudi Arabia’s People in The Film of Wadjda

Year of Thesis : 2016 + 171 Pages

References : 37 Books + 16 Journals and Thesis + 36 Online News Film of Wadjda is Arabian-German film which emerged the story of a twelve-years-old young tomboy girl who is eager to have a bike amid the culture that forbids every women to ride. This film quite offends Saudi Arabia’s regime related to the rule and dissemination of discourse about mobility and women’s right. This research perceives how social structure of Saudi Arabia’s people socially interact to the discourses that limit the women’s rights which are continously produced and reproduced. Theoretical frameworks of this research used the theory of structuralism, gender analysis, patriarchal ideology and the discourse in film. For the research method, the researcher used critical discourse analysis of Norman Fairclough. Thee result of this research shows that women in this film, are represented as a figure who continuously relies on men, women are also as a second class of sex that is inseparable from domestic area and is still an object opted by men to be married with. Women’s body can not also be separated from the discourse that is taboo and ambiguous to be expressed, as though what clings on women’s body that is able to breal social morality and trigger men’s sexual desires.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arab Saudi merupakan salah satu Negara Islam yang menganut sistem monarki atau kerajaan. Sebagaimana Islam yang lahir di tanah Arab. Negara Arab Saudi menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dengan berpedoman pada Qur’an dan Hadist sebagai landasan hukumnya. Alih-alih menjunjung tinggi pedoman agama Islam, para penguasa justru memanfaatkannya sebagai kontrol kekuasaan, sehingga kapasitas agama bisa dikatakan dapat menindas dan mencegah penindasan. Dalam hal ini, kaitannya dengan agama, Halim Barakat menjelaskan bahwa:

(18)

dalam masyarakat. Selain itu, laki-laki tidak hanya mengontrol dalam bidang sosial ekonomi, seluruh pranata sosial, melainkan juga mengontrol jumlah populasi penduduk dalam suatu suku. Dalam tradisi masyarakat Arab, pembagian peran sudah terpola dengan jelas. Laki-laki yang berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga. (Umar, 2001: 128-129).

Banyak hal yang disalahgunakan dalam penafsiran tentang teks keagamaan yang akhirnya membuat bias peran gender yang terjadi dimasyarakat. Serta faktor budaya patriarki yang terus menerus diproduksi, membuat apa yang sebenarnya salah menjadi hal yang wajar bagi perempuan dalam menerima peran mereka di bawah tekanan patriarki. Iskandar Ritonga menyimpulkan bahwa adanya faktor penyebab terjadinya diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah disebabkan oleh faktor, adanya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan (Islam) yang bias gender dan juga adanya konstruksi sosial (adat dan budaya) yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sederajat dengan laki-laki (Ritonga 2005:13).

(19)

penggambaran bahwa tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran ini terjadi hampir disemua agama (Fakih, 1996:126).

Secara pandangan agama, negara Arab Saudi adalah negara Islam yang menganut ajaran Wahhabi. Aliran Wahhabi memiliki peraturan yang telah disahkan oleh para ulamanya, seperti pelarangan praktik keagamaan lain misalnya cara shalat menggunakan tasbih, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, khususnya pembacaan syair-syair, hingga pembawaan hadist sebelum khutbah shalat jum’at (Algar, 2011:43). Selain itu Wahhabi juga menerapkan peraturan

yang membatasi perempuan dari segala bentuk aktifitas baik itu sosial maupun ekonomi (Algar, 2011:71).

Dalam pembentukan Agama, para Ulama mengontrol sebagian besar, peradilan dan pendidikan. Dalam hal pendidikan misalnya, seorang perempuan diawasi langsung oleh kementrian keagamaan dan bukan kementrian pendidikan seperti laki-laki. The General Presidency For Scholarly Research lembaga resmi yang dipercayakan dengan mengeluarkan pendapat hukum Islam, juga secara konsisten memberikan fatwa bahwa kemampuan perempuan terbatas dalam membuat keputusan independen. Website ini berisi puluhan fatwa tentang wanita dan juga memperkuat otoritas laki-laki atas perempuan dan membatasi perempuan dalam bergerak, bekerja, belajar, misalnya dalam websitenya menyatakan bahwa perempuan tidak bisa melayani di posisi kepemimpinan lebih dari laki-laki.

(20)

(Kehormatan). Namus adalah fitur umum dari masyarakat patriakal. Jika seorang pria kehilangan Namus karena seorang perempuan di keluarganya, ia mungkin mencoba untuk membersihkan kehormatannya dengan menghukumnya. Dalam kasus ekstrim, bisa hukuman mati. Pada tahun 2007, seorang wanita muda dibunuh oleh ayahnya karena mengobrol dengan seorang pria di facebook (Facebook girl beaten and shot dead by her father for talking online, 31 Maret 2008).

Dari pemaparan di atas, terdapat salah satu film yang mencoba menggambarkan realitas perempuan Arab Saudi dalam ruanglingkup struktur sosial yang didominasi dengan budaya Patriarki. Salah satu film yang menarik adalah “Wadjda” karya Haifaa al-Mansour yang dirilis pada tahun 2013. Film ini

menceritakan tentang seorang gadis tomboy berusia 12 tahun bernama Wadjda yang sangat menginginkan sepeda untuk beradu balap dengan sahabat laki-lakinya. Namun disisi lain keinginan Wadjda sangat ditentang oleh keluarganya karena menganggap seorang gadis tidak pantas menaiki sepeda dan dapat merusak sistem reproduksi mereka.

(21)

berkoordinasi dengan transpotasi karyawan perempuan mereka atau menaikan gaji mereka untuk biaya transportasi.

Permintaan Wadjda kepada orang tuanya yang menginginkan sepeda, membuat Wadjda berinisiatif melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Diantaranya dengan menjual gelang, kurir surat cinta, dan ikut serta dalam perlombaan baca Al-Qur’an, yang semuanya membat Wadjda bermasalah.

Gambar 1

Wadjda tertarik dengan sepeda

Sumber: Potongan adegan film "Wadjda" menit ke 00:13:00

Gambar 2

(22)

Tak hanya itu, hal lain tentang kehidupan keluarga Wadjda yang bergejolak karena sang Ibu tidak bisa memberikan keturunan anak laki-laki dan harus rela dimadu. Ada pula adegan dimana Wadjda tertarik dengan pohon nasab

(garis keturunan ayah) yang dimana semuanya laki-laki, hal ini membuat Wadjda berinisiatif menempelkan namanya sendiri, namun hal tersebut diketahui sang ayah dan dicabut kembali nama Wadjda. Film ini juga menyinggung tentang sistem sosial serta kehidupan di lingkungan kusus wanita yang digambarkan begitu ketat dengan aturan yang dianggap syari dan tidak pantas dilakukan oleh para perempuan.

Kaitannya akan isu poligami, seorang laki-laki diizinkan untuk menikahi sebanyak empat orang istri. Beberapa kasus juga seorang laki-laki bisa saja meninggalkan istri mereka tanpa ada proses perceraian dan terkadang hanya masalah sepele. Dalam kasus perceraian juga sang suami bisa dengan mudah

Gambar 3 Adegan Praktik Patriarki

(23)

memproses perceraian tanpa adanya persyaratan khusus seperti halnya perempuan. Bagi seorang perempuan, sangat sulit dan bahkan tidak mungkin untuk mengajukan gugatan perceraian kepada suami mereka. (Boxed In: Woman

And Saudi Arabia’s Male Guardianship System, 16 Juli 2016).

Isu lain yang coba diangkat dari film ini adalah, pernikahan diusia muda dimana teman sekelas Wadjda bernama Salma yang berusia 11 tahun, telah dinikahkan oleh orangtuanya pada seorang pemuda berusia 20 tahun. Masalah ini sering menjadi perdebatan karena masing-masing negara memiliki batas usia dewasa. Acuan Arab Saudi akan batas usia dewasa perempuan adalah pernikahan Aisyah yang berusia 9-10 tahun. Pada abad ke-6, masyarakat jazirah Arab menganggap perempuan sudah layak menikah ketika telah mendapatkan haid.

Pernikahan anak juga diyakini sebagai sebab terhambatnya pendidikan perempuan. Tingkat putus sekolah bagi perempuan meningkat ketika mengalami pubertas, karena mereka harus berhenti sekolah dan terpaksa untuk menikah. Kira-kira 25% perempuan muda tidak menghadiri kuliah karena menikah. Pada tahun 2005-2006, wanita memiliki tingkat putus sekolah sekitar 60%, melek huruf bagi perempuan sekitar 70% dan laki-laki 85% (Almunajedd, 2009)

Melihat ke belakang mengenai penelitian sebelumnya yang juga mengangkat isu patriarki adalah “Representasi Citra Budaya Patriarki Pada Film

Osama” oleh Oktaria Hermin. Dalam penelitian tersebut, Oktaria mencoba

(24)

bekerja dan keluar rumah tanpa seizin laki-laki. Membuat gadis yang diberi nama Osama harus menyamar menjadi laki-laki demi mencari pekerjaan. Pada masa pemerintahan Taliban, perempuan diperlakukan semena-mena, hak penduduk dibatasi, mereka dilarang menonton TV, Film, dan bahkan mendengarkan radio.

Dalam penyamarannya, Osama diperlakukan layaknya seorang laki-laki, dan mengikuti wajib militer, hingga pada suatu hari penyamaran Osama ketahuan dan Osama harus menerima hukuman. Osama mendapat pengampunan dan harus menikahi Ustadznya sendiri yang sudah berusia 70 tahun, dan harus terpisah oleh ibu dan neneknya. Sosok Osama dalam film tersebut mengambarkan bagaimana seorang perempuan memiliki keinginan yang sama dengan laki-laki namun harus kandas dalam sistem patriarki (Hermin, 2002).

Begitulah gambaran singkat mengenai penelitian sebelumnya. Film “Wadjda” jauh lebih halus dalam mengambarkan patriarki dalam masyarakat Arab

Saudi. Seolah film ini mengambarkan struktur sosial masyarakat Arab yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. “Wadjda” merupakan film dari kerja sama dengan

rumah produksi Jerman, yaitu Razor Film. Sementara sang sutradara yaitu Haifaa al-Mansour merupakan sutradara perempuan berkebangsaan Arab yang sudah banyak melahirkan karya melalui film-film pendeknya, diantaranya: “Who?”,

“The Bitter Journey”, “The Only Way Out”, “Women Whitout Shadow”, dan

“Wadjda” adalah film panjang pertamanya yang pembuatannya sepenuhnya

(25)

Film “Wadjda” pertama kali rilis di negara-negara Eropa, dan banyak

menerima tanggapan postif dari para penikmat film. Selain itu berbagai penghargaan juga diraih film “Wdjda”, diantaranya penghargaan dari Alliance Of

Women Film Journalists (AWFJ) sebagai This Year’s Outstanding Achievement

By a Woman In The Film Industry pada tahun 2013. Kemudian Boston Society Of Film Critics Award sebagai Best Foreign Language Film pada tahun 2013 (Sumber: http://www.imdb.com/title/tt2258858/awards, diakses pada Jumat 20 Mei)

Gambar 4 Poster film Wadjda (1)

(26)

Kembali ke dalam konteks film “Wadjda”, terlepas dari prestasi yang sudah diraih. Film “Wadjda” menggambarkan bagaimana sebuah struktur sosial

mempengaruhi berbagai tindakan antar pelaku sosial dan sebaliknya, salah satunya budaya patriarki yang sangat melekat dalam masyarakat Arab dan tergambar dalam film ini. Mengacu pada teori Strukturasi yang dicetuskan oleh Anthony Gidden, yang memusatkan pada praktik sosial yang berulang, yang pada dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara Agen (Pelaku sosial) dan Struktur yang keduanya tidak bisa dipisahkan, yang disebut dengan dualitas. Menurut Giddens, struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana. Dualitas antara Struktur dengan agen, menurut gagasan tentang dualitas struktur, kelengkapan-kelengkapan struktural dari sistem-sistem sosial adalah sarana sekaligus hasil dari praktik-praktik yang terorganisasi secara rutin (Giddens, 2010:40).

Menurut penjelasan Giddens, bisa dikatakan bahwa patriarki dalam budaya masyarakat Arab merupakan salah satu hasil dari praktik-praktik sosial yang diproduksi dan direproduksi secara terus menerus sepanjang ruang dan waktu, sekaligus menjadi sarana atau medium bagi agen dalam berinteraksi. Menganalisis strukturasi dari sistem-sistem seperti itu, yang tertanam dalam aktivitas-aktivitas aktor tertentu yang berpegang pada aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya dalam beragam konteks tindakan, diproduksi dan direproduksi dalam interaksi (Giddens, 2010:40).

Alasan peneliti memilih film “Wadjda” ini karena penggambaran objek

(27)

yaitu Haifa al-Mansour yang juga menjadi film panjang pertama bagi Arab Saudi diajang Oscar. Film ini mencoba menampilkan praktek patriarki yang menekan kebebasan perempuan dan berupaya untuk mendorong setiap perempuan Arab untuk berani memperjuangkan hak-hak mereka. Selain itu kontribusi besar rumah produksi Jerman Razor Film memberikan pengaruh yang sedikit modern dan mengacu pada dunia Barat yang dimana sosok Wadjda adalah gadis tomboy yang suka memakai sepatu convers dan suka lagu-lagu metal.

Melalui film ini juga peneliti melihat, bagaimana perempuan dalam struktur budaya patriarki memposisikan perempuan pada kelas gender kedua diamana perempuan dalam film ini digambarkan tidak berdaya dan tidak memiliki kemandirian, sehingga terus bergantung dengan laki-laki. Sehingga peneliti merasa film ini menjadi objek penelitian yang pas mengenai struktur sosial budaya patriarki.

Dari pemaparan saya diatas, film ini menjadi objek yang menarik untuk diteliti dengan melihat kultur budaya patriarki di Arab Saudi yang direpresentasikan melalui film “Wadjda”, dilengkapi dengan teori strukturasi yang

dicetuskan Giddens. Penelitian ini akan menggunakan teori wacana kritis untuk membedah lebih dalam mengenai cara menginterpretasi teks visual dalam tiap adegan film ini.

B. Rumusan Masalah

(28)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana wacana budaya patriarki mempengaruhi masyarakat Arab Saudi dalam interaksi sosial yang direpresentasikan dalam film “Wadjda”. Hal ini berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh patriarki.

D. Manfaat Penelitian

1. Peneliti berharap dari hasil penelitian ini, dapat menjadi rujukan dalam penelitan selanjutnya yang menyangkut teori strukturasi maupun patriaki dalam ranah Ilmu Komuniksi.

2. Peneliti berharap dari hasil penelitian ini, dapat manjadi sebuah pandangan baru mengenai dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat dari berbagai aspek yang dapat dikaji dengan teori strukturasi.

E. Kajian Teori

1. Teori Strukturasi

(29)

serta sentralitas ruang (space) dan waktu (time) (Herry-Priyono, 2016:17). Pokok pikiran ini yang menjadi poros pemikiran Giddens dan menamakannya sebagai “Strukturasi”. Sehingga dalam teori strukturasi,

agen dan struktur tidak dapat dipisahkan sebagai dualitas karena keduanya saling berkesinambungan dan mempengaruhi. Dalam tindakan sosial memerlukan struktur, dan struktur memerlukan tindakan sosial.

Dualitas struktur selalu merupakan landasan utama bagi keterulangan-keterulangan dalam reproduksi sosial disepanjang ruang dan waktu. Pembentukan agen-agen dan struktur-struktur bukanlah dua gugus fenomena tertentu yang saling terpisah, yakni dualisme, melainkan menggambarkan suatu dualitas, saling terkait. Dalam teorinya, Giddens membedakan antara struktur dengan sistem. Struktur sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin, berada di luar ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansinya dalam bentuk jejak-jejak ingatan, dan ditandai dengan ketidak hadiran si subjek. Sebaliknya, sistem-sistem sosial yang secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia, dan direproduksi disepanjang ruang dan waktu (Giddens, 2010:40).

(30)

(Giddens. 2010:26). Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan memberdayakan (enabling).

Menurut teori strukturasi, saat memproduksi tindakan juga berarti saat mereproduksi dalam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Itulah mengapa Giddens melihat struktur sebagai sarana (medium dan

resources) (Herry-Priyono, 2016:23). Struktur menjadi medium karena seseorang tidak dapat bertindak tanpa kemampuan dan pengetahuan yang sudah terbatinkan. Struktur menjadi hasil karena pola budaya yang luas direproduksi ketika digunakan. Strukturalisasi menangkap gambaran tentang hidup sosial sebagai proses timbal balik antara tindakan-tindakan individual dan kekuatan-kekuatan sosial (Sutrisno, 2005:187).

Menurut Poole dan McPhee, struktur adalah manifestasi dan juga hasil dari komunikasi dalam organisasi (Littlejohn, 2008:375). Struktur organisasi itu sendiri diciptakan ketika individu-individu dalam organisasi saling berkomunikasi. Meskipun pada dasarnya setiap individu dalam organisasi dapat selalu ikut serta dalam komunikasi, namun dalam strukturasi cenderung bersifat khusus (Littlejohn, 2008:375). Oleh karena itu dalam strukturasi terdapat agen yang memiliki pengaruh yang besar dalam strukturasi di masyarakat.

(31)

berkaitan satu sama lain. Berikut adalah pemaparan dimensi atau gugus besar struktural dalam sistem sosial:

Struktur Wilayah Teoritis Tata Institusional

Signifikasi Teori Pengodean Tata-tata simbolis/cara-cara wacana

Dominasi Teori Autorisasi sumber daya Teori Alokasi Sumber daya

Institusi Politik Institusi Ekonomi

Legitimasi Teori Regulasi Normatif Institusi Hukum

Tabel 1 Gugus Struktursi

Sumber:Teori Strukturasi (Anthony Giddens, 2010:50)

Untuk melihat keterkaitan tiga gugus tersebut, Herry-Priyono dalam bukunya menggambarkan pola keterkaitan tiga gugus tersebut.

Gambar 5

Skema pola hubungan gugus strukturasi

(32)

Pertama, struktur penandaan atau signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, strukur pembinaan atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Ketiga, adalah struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). (Herry-Priyono, 2016:24). Struktur dominasi memiliki dua jenis sumber daya yang berbeda. Anthony Giddens menjelaskan dua sumber daya tersebut adalah alokatif dan autoritatif. Sumber daya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan transformatif yang melahirkan perintah atas objek-objek, benda-benda atau fenomena material. Sumber daya autoritatif merujuk pada jenis-jenis kemampuan transformatif yang melahirkan perintah atas orang-orang atau para aktor (Giddens, 2010:52).

Dalam teori strukturasi, kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan struktur ataupun sistem, melaikan kapasitas yang melekat pada pelaku. Karena itu, kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif (Herri-Priyono, 2016:33). Kekuasaan dalam sistem-sistem sosial yang memilki kontinuitas disepanjang ruang dan waktu mengendalikan rutinitas relasi-relasi kemandirian dan ketergantungan diantara para aktor atau kelompok dalam konteks-konteks interaksi sosial (Giddens, 2010: 25).

Dalam gugus besar struktur yang dikemukaan Giddens, dapat dijabarkan dalam konteks film “Wadjda”. Gugus struktur signifikasi dapat

(33)

perempuan adalah sosok yang “lemah” dan tersubordinitas, sehingga

segala seuatu tindakan apapun yang dilakuan oleh Wadjda dan Ibunya harus atas izin atau pengawasan laki-laki, dalam konteks ini adalah ayah sekaligus suami sebagai kepala rumah tangga. Kemudian, dalam gugus dominasi, seorang laki-laki yang memiliki penandaan bahwa derajatnya lebih tinggi, sehingga laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan. Dominasi dan Kekuasan tidak bisa dipikirkan hanya dari asimetri distribusi, melainkan harus dikenali sebagai tak terpisahkan asosiasi sosial (Giddens, 2010:50). Penguasaan ayah “laki-laki” memiliki otoritas besar terhadap Wadjda dan Ibunya “perempuan” dalam bertindak. Dan terakhir,

dalam gugus legitimasi, dalam film “Wadjda” lebih jelas terlihat

(34)

Terakhir dalam teori strukturasi ini, penulis akan memaparkan mengenai ruang dan waktu yang sudah sering disinggung diatas. Giddens juga melihat sentralitas waktu dan ruang sebagai poros yang menggerakkan teori strukturasi. Hubungan waktu dan ruang bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri. Keliru untuk mengatakan bahwa rutinitas kehidupan sehari-hari adalah ‘fondasi’ bangunan ruang-waktu dari bentuk-bentuk institusional organisasi kemasyarakatan. Melainkan, masing-masing saling menyusun dari petindak (the acting self) (Giddens, 2010:57). Singkatnya hubungan antara waktu-ruang dan tindakan berupa hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendri. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan (Herry-Priyono, 2016:37).

2. Analisis Gender dan Ideologi Patriarki

(35)

atas, sudah jelas dikatakan bahwa gender adalah sebuah kontruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, dan tentunya dapat berubah. Namun perlu diperhatikan, bahwa antara gender dan sex (jenis kelamin) merupakan dua hal yang berbeda. Sex adalah sebuah kodrat dari tuhan yang tidak bisa dirubah (laki-laki dan perempuan), namun pada kenyataannya antara gender dan sex seringkali disamakan. Pada akhirnya menimbulkan subordinasi pada jenis kelamin tertentu.

Mansour Fakih dalam bukunya menjelaskan bahwa, pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehinga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat muculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 1996: 15). Dikemukakan oleh Bemmelan (dalam Sudarta, 2003:9), beberapa ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan sebagai berikut. Perempuan meiliki ciri-ciri: lemah, halus, atau lembut, emosional dan lain-lain. Sedangkan pria memiliki ciri-ciri: kuat, keras, rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada perempuan yang kuat, kasar, dan rasional. Sebaliknya adapula laki-laki yang lemah, lembut, dan emosional. Berikut status peran yang dianggap pantas oleh masyarakat untuk laki-laki dan perempuan, sebagai berikut.

Laki-Laki Perempuan

(36)

Pewaris Bukan Pewaris Tenaga kerja publik (Pencari

Nafkah)

Tenaga Kerja Domestik (Urusan Rumah)

Pilot Pramugari

Mencangkul lahan Memanen Padi

Tabel 2

Status dan Peran Yang Dianggap Pantas Oleh Masyarakat Menurut Bemmelan Sumber: Peran Wanitta Dalam Pembanguna Gender (Wayan Sudarta, 2003:7)

Dalam perihal diatas, salah satu ideologi gender yang kemudian tertanam sangat kuat dalam ruanglingkup masyarakat adalah ideologi patriarki. Dimana laki-laki memiliki otoritas tinggi diatas perempuan. Menurut Kamla Bashin kata patriarki secara harfiah berasal dari kata bapak atau patriarck “patriarch”. Mulanya patriarki digunakan untuk

menyebut keluarga yang dikuasai oleh laki-laki yaitu rumah tangga besar patriarki yang terdiri dari perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sekarang istilah ini lebih umum digunakan untuk menyebut kekuasan laki-laki, hubugan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai dengan bermacam-macam cara (Bashin, 1996:1).

Murniati menjelaskan bahwa patriarki sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa menentukan (Murniati, 2004:80). Sedangkan Sylvia Walby dalam bukunya

(37)

struktur dan praktik-praktik sosial dimana kaum laki-laki menindas dan menguasai perempuan (Sylvia Walby dalam Bashin, 1996:4). Mengutip penjelasan Maggie Humm, patriarki adalah suatu sistem ototritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi (Humm dalam Munti, 2005:43).

Sepertihalnya dalam film “Wadjda” terdapat scene dimana Wadjda melihat pohon nasab (garis keturunan ayah), yang hanya mencantumkan silsilah keluarganya dari garis ayah. Hal itu membuat Wadjda berinisiatif menempelkan namanya diam-diam, namun nama Wadjda dirobek ketika diketahui oleh sang ayah. Hal ini dalam budaya patriarki sangat berpenguh besar terhadap perempuan salah satunya adalah hak waris atau perwalian mereka.

Menurut Masudi dalam tulisan Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradapan manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibanding perempuan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan dimasyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (Masudi dalam Faturochman, 2002:16).

(38)

pekerjaan sang perempuan itu sendiri ketika berada di luar dan bekerja melayani keluarga ketika pulang ke rumah.

Mansour Fakih mengatakan bahwa adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggug jawab kaum perempuan (Fakih, 1996:21). Hal tersebut terjadi pada kehidupan ibu Wadjda yang harus bekerja ekstra ketika bekerja diluar dan sepulang bekerja. Sementara bagi laki-laki hanya cukup bekerja diluar dan menikmati pelayanan sang istri ketika di rumah.

Ideologi gender hidup karena dukungan oleh sistem kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan, yaitu syarat tentang kualitas maskulinitas dan feminitas. Istilah dalam gender berkaitan pula dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku kompleks yang diletakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Maskulinitas merujuk pada sifat “kelelakian”, bahwa laki-laki lebih kuat, tegas, rasional,

lebih berani, dan perkasa. Sedangkan feminitas merujuk pada stigma yang memiliki sifat pasif, lemah lembut, gemulai, dan emosional dan keibuan (Soemandoyo dalam Widyatama, 2006:7).

(39)

diciptakan untuk melayani dan mematuhi aturan, dan perempuan menerima kenyataan itu sebagai kodratnya hidup di dunia. Perempuan selalu menikmati sebagian hak istimewa laki-laki dari kelasnya selama mereka berada di dalam “perlindungan” seorang laki-laki (Bashin,

1996:21).

Selain menampilkan biasnya posisi antara perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki juga mengkonstruksi citra seksualitas perempuan sebagai mahluk “penggoda”, dimana setiap elemen yang ada pada tubuh

perempuan dapat mengundang hasrat laki-lak. Dalam masyarakat patriakal, seks merupakan bagian yang dominan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini semakin menegaskan bahwa perempuan merupakan objek yang eksistensinya bergantung pada laki-laki (Bhasin, 1996:30).

(40)

Dari pemaparan-pemaparan di atas, posisi laki-laki sangat diuntungkan dari adalanya patriarki. Dengan adanya siklus sosial patriarki ini dikalangan masyarakat sangat jelas sekali mempengaruhi dalam kehidupan sosisal karena dasar kontrol yang kuat yang dimiliki laki-laki. Hal ini membentuk wacana dalam ideologi patriarki yang menempatkan laki-laki pada drajat yang lebih tinggi dari perempuan.

3. Wacana Dalam Film

Wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempuyai hubungan pengertian satu dengan yang lain. Komunikasi itu menggunakan bahsa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan. Secara etimologis, wacana berasal dari vacana (sanksekerta), serta berarti kata-kata, cara berkata, ucapan pembicaraan, perintah dan nasihat. Discourse, berasal dari kata discurrere (latin), berarti gerak maju mundur (dari dan ke), (Nyoman dalam Sobur 2004:244).

(41)

Mengutip dari Sara Mills (2003: 53-56):

“Yang dimaksud dengan what can be said dapat dimaknai bahwa wacana tak hanya merupakan sebuah rangkaian kata, kalimat atau proposisi di dalam sebuah teks saja, tetapi bisa dalam bentuk apapun yang memiliki arti dan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan. Karena Foucault juga pernah berpendapat bahwa wacana itu bisa saja dalam segala bentuk tuturan dan statement

yang dibuat dengan memiliki arti dan effects. Menurutnya, segala sesuatu itu telah dikonstruksi dan dimengerti melalui wacana. Dalam realitas di setiap negara, hampir semua kedudukan perempuan berada pada posisi yang lebih rendah atau tersubordinat dalam berbagai bidang, baik politik, sosial, dan ekonomi. Hal ini dipengaruhi akan kekuasaan dari Ideologi Patriarki, dimana banyak membentuk wacana terhadap peran laki-laki dan perempuan dimata publik. Perempuan dan laki-laki dianggap sebagai mahluk yang saling berlawanan yang memunculkan sterotipe tersendiri kepada keduanya. Selama ini, laki-laki dicitrakan sebagai mahluk yang agrasif dan rasional, serta memiliki fisik yang kuat daripada perempuan yang selalu dicitrakan sebagai mahluk yang pasif, emosional, dan memiliki fisik yang lemah.

(42)

Bisa saja kedua kelompok saling bertarung menguatkan ideologi mereka dengan wacana versi masing-masing kelompok.

Di dalam proses praktik sosial, wacana merujuk pada element-element semiotika atau simbol-simbol yang mana meliputi bahasa, baik itu bahasa tertulis maupun lisan. Bisa pula melalui komunikasi nonverbal yang dapat ditunjukkan melalui eskpresi wajah, pergerakan tubuh, bahasa tubuh dan sebagainya. Tidak itu saja, element tersebut juga bisa berbentuk gambaran visual seperti foto dan film (Chouliaraki dan Fairclough, 1999 :38).

Penelitian ini menggunakan film sebagai objek kajiannya, dimana film merefleksikan konteks sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Menurut Metz, film merupakan bentuk bahasa atau dalam pengertiannya sebagai discourse. Terdapat tiga faktor utama yang mendasari dalam bahasa film yaitu: gambar/visual yang berfungsi sebagai sarana utama. Media gambar berfungsi untuk menanamkan informasi karena gambar menjadi daya tarik tersendiri di luar cerita dan dianggap lebih efisien. Yang kedua, adalah suara/audio yang berfungsi sebagai sarana penunjang untuk memperkuat atau mempertegas informasi yang belum mampu dijelaskan melalui media gambar. Terakhir adalah keterbatasan waktu

(43)

Namun pada pembuatan sebuah film tidak lepas akan adanya sebuah ideologi dari pembuatnya, itulah mengapa sebuah film juga kental akan wacana yang ingin dibentuk untuk mempengaruhi sebuah kelompok. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar (Eriyanto, 2001:8).

Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan bertujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strateginya adalah dengan memberikan pandangan kepada khalayak bahwa dominasi itu bisa diterima secara taken-of-granted. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan kontribusi dalam bentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting.

(44)

dan wajar bagi seorang perempuan, dimana mereka bisa terjaga dari berbagai tindakan yang merusak kehormatan seorang perempuan.

Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Berarti teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks (Fairclough, 1995:48).

Analisis Wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent

(tersembunyi). Maka suatu pesan tidak hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Unsur terpenting dari analisis wacana adalah penafsiran (Sobur, 2001:71). Penafsiran dalam hal ini sangat penting karena setiap teks yang dimunculkan dapat diartikan secara berbeda tergantung konteks dan latar belakang kelompok yang menerima sebuah teks.

(45)

atau ancaman (treat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminaasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Bogan dan Taylor mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Dalam Moleong, 2002:4). Sedangkan dalam teknis analisisnya, penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis. Dengan analisis wacana kritis inilah, peneliti akan menganalisis lebih dalam mengenai wacana yang ingin disampaikna dalam film “Wadjda”.

2. Objek Penelitian

(46)

oleh sutradara perempuan Arab satu-satunya, dan juga film pertama untuk Arab Saudi.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode dokumentasi dalam teknik pengumpulan data. Peneliti akan menggunakan rekaman video dengan mengamati, mendengarkan dan mencatat setiap data yang didapatkan dari film “Wadjda” dalam memperkaya data.

b. Studi Pustaka

Teknik ini merupakan cara pengumpulan data melalui kajian yang meliputi buku, jurnal, karya-karya penelitian ilmiah, internet, dan sumber tertulis lainnya untuk memperkuat permasalahan terkait penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis), dengan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Norman Fairlought. Analisis Fairlough melihat elemen wacana sebagai model perubahan sosial. Peneliti menggunakan pendekatan Fairclough untuk menganalisis teks yang ada dalam film “Wadjda”. Dalam hal ini, teks tidak hanya dilihat dari bentuk tertulis,

tetapi juga dilihat dari bentuk visual dan audio-visual dalam setiap scene

(47)

Pendekatan Fairclough intinya menekankan bahwa wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang memproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain. Menurut Fairclough, wacana memberikan kontribusi dalam mengkonstruksi identitas sosial baik pemproduksi teks maupun pengkonsumsi teks, kemudian hubungan sosial atau relasi antara partisipan-partisipan media yang terlibat, dan sistem pengetahuan serta makna yang ditampilkan dalam teks tersebut (Jorgensen and Phillips, 2007:123).

Fairclough membagi wacana menjadi tiga dimensi, yaitu: Text, Discourse Practice, dan Sociocultural Practice yang digambarkan dalam skema berikut:

Model tiga dimensi Fairclought, merupakan kerangka analisis yang digunakan untuk penelitian empiris tentang komunikasi dan masyarakat.

Sociocultural

Discourse Practice

Produksi

Gambar 6

3 Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclought Sumber: Eriyanto (2001:288)

Teks

(48)

Ketiga dimensi tersebut hendaknya di cakup dalam analisis wacana khusus peristiwa komunikatif. Analisis tersebut hendaknya dipusatkan pada (1) ciri-ciri linguistik teks tersebut (teks), (2) proses yang berhubungan dengan pemproduksian dan pengkonsumsian teks itu (praktik kewacanaan), dan (3) praktik sosial yang lebih luas yang mencakup peristiwa komunikatif (praktik sosial) (Jorgensen and Phillips, 2007:128).

Dari pengertian diatas, menurut Fairclought teks terdiri dari tiga dimensi pendukung. Yang pertama, teks dilihat secara linguistik. Dalam penelitian ini maka bisa dianalisis dengan melihat narasi dan dialog yang terdapat dalam scene film “Wadjda”. Analisis teks menurut Fairclought,

teks dipusatkan pada ciri-ciri linguistik yaitu, kosakata, tata bahasa, serta kohesi kalimat.

Para ahli interpretasi menerima bahwa teks yang terdiri dari pencitraan visual tetapi harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik khusus. Namun dalam analisis wacana kritis (seperti dalam analisis wacana secara umum) ada kecenderungan menganalisis gambar seolah-olah merupakan teks linguistik karena dengan bantuan visual juga dapat menyertai suatu perbincangan dan monolog menentukan arti atau makna yang terkandung di dalamnya (Jorgensen and Phillips, 2007:116).

(49)

praktek ini. Dalam hal ini, berkaitan erat dengan bagaimana sebuah praktik wacana ditampilkan oleh Haifaa al-Mansour. Produksi teks juga berhubungan langsung dengan konteks sosial yang ada, sehingga mempengaruhi sebuah teks yang akan diproduksi.

Terakhir dalam dimensi ketiga, yaitu praktik sosial yang mendasarkan pada pengaruh konteks sosial di luar media terhadap wacana dalam teks. Dalam analisis ini Fairclough berusaha mencari tahu bagaimana sebuah wacana memberikan kontribusi terhadap perubahan sosisal, kemudian ideologi, politik, serta sosial praktik kekuasaan yang terdapat dalam wacana tersebut dan bagaimana wacana merepresentasikan hubungan kekuasaan, hubungan sosial, serta realita yang terjadi di masyarakat.

Adapun proses analisis yang dilakukan Fairclought yaitu teks, praktik wacana dan praktik sosial, uraiannya sebagai berikut:

a. Teks

Teks di sisni dilihat dengan cara linguistik yang diambil dari narasi serta dialog dalam scene film “Wadjda”. Dalam analisis

ini, dapat menemukan praktik wacana yang merepresentasikan budaya patriarki.

b. Praktik Wacana

(50)

belakang Haifaa al-Mansour selaku sutradara dan penulis yang memiliki kuasa disini. Serta pandangannya terhadap budaya patriarki sehingga memunculkan sebuah film “Wadjda” yanng

kental akan patriarki. c. Praktik Sosial Budaya

Analisis Sosial Budaya di sini didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada diluar media mempengaruhi wacana yang muncul dalam teks. Dalam film ini, konteks sosial yang ada di Arab Saudi adalah sebuah budaya patriarki yang sangat kuat. Melihat hal itu, Haifaa al-Mansour membentuk sebuah wacana akan praktik patriarki yang dinilai salah dan memberatkan posisi perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan laporan tentang penelitian ini yakni terdiri dari empat bab :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

(51)

Bab ini berisi tentang sejarah singkat dan latar belakang negara Arab Saudi. Kemudian penulis menjabarkan mengenai hak-hak perempuan Arab Saudi terkait sistem perwalian laki-laki. Serta memberikn ulasan mengenai film “Wadjda” seperti sinopsis, proses

pengerjaan film dan profil Sutradara. Ada juga gambaran mengenai penelitian terdahulu.

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ketiga ini akan dibahas mengenai proses analisis Wacana Kritis dari film “Wadjda” dengan menggunakan hasil analisis dan temuan peneliti.

BAB IV PENUTUP

(52)

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sekilas Tentang Arab Saudi 1. Sejarah

Pada masa lalu, daerah Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian, yakni daerah Hijjaz yakni daerah pesisir Barat Semenanjung Arab yang di dalamnya terdapat kota-kota diantaranya, Mekkah, Madinah, dan Jeddah serta sampai pesisir Timur Semenanjung Arabia, yang umumnya dihuni oleh suku-suku lokal Arab Saudi (Baddui), dan kabilah-kabilah Arab lainnya.

(53)

dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern dan berakhir pada tahun 1953.

Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah : Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz (1953-1964), Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz (1964-1975), Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz (1975-1982), Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz (1982-2005), dan Raja Abdullah, putra Raja Abdul Aziz (2005-2015), Raja Salman, Putra Raja Abdul Aziz (2015-Sekaranag).

(54)

kelompok al-Baqiyat adalah orang bangsa arab yang masih ada sampai sekarang.

Kerajaan Saudi terdiri dari sejumlah provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Setiap Gubernur dibantu oleh Dewan Daerah yang anggotanya antara lain kepala suku. Disamping sebagai Dewan Daerah kepala suku juga merangkap sebagai Wali Kota. Untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, diangkatlah seorang Qadhi mengepalai badan pengadilan yang kekuasaannya hanya terbatas tentang persoalan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh Syari'ah. Penduduk Saudi Arabia adalah mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain serta mayoritas beragama Islam.

Hukum yang berlaku di Saudi Arabia adalah hukum yang berdasarkan Syariat Islam dalam segala sendi kehidupan. Madhab resmi Saudi Arabia adalah Madhab Hambali atau dikenal dengan paham Wahhabi dan sebagian kecil ada kelompok Syiah yang mengikuti madhab Ja'fari.

Di Saudi Arabia, terdapat sebuah badan yang berwenang membuat segala peraturan demi ketertiban masyarakat. Beberapa peraturan tertentu dibuat dengan Dekrit Raja yang bertindak tidak saja sebagai pelaksana Eksekutif tetapi sekaligus juga pembuat Undang-undang. Karena itu, selain berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Pemerintah, Raja juga berperan sebagai Imam atau Pemimpin Agama.

(55)

Negara. Perdana Menteri adalah Khadim al-Haramain asy-Syarifain

(Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal. Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah.

Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab yang bermazhab Hambali dan berusaha keras memurnikan ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hambali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H (1700 M) masehi, dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H

(1792 M). Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir

(56)

Paham Wahabi menjujung tinggi “Amal ma’ruf nahi mungkar (menjalankan

yang baik dan melarang yang salah)”.

2. Monarki dan Keluarga Kerajaan

Raja menggabungkan sistem legislatif, eksekutif, dan fungsi peradilan. Serta keputusan kerajaan membentuk dasar dari undang-undang negara. Raja juga perdana mentri, dan memimpin dengan dewan mentri yang terdiri dari wakil pertama dan kedua perdana mentri serta mentri-mentri lainnya.

Keluarga kerajaan mendominasi sistem politik. Sejumlah besar keluarga kerajaan memungkinkan untuk mengontrol sebagian besar hal penting di kerajaan, dan memiliki keterlibatan disetiap tingkat pemerintahan. Jumlah seluruh keluarga kerajaan diperkirakan sekitar 7.000, namun yang memegang kekuasaan dan pengaruh besar sekitar 200 atau lebih keturunan laki-laki dari Raja (The House Of Saud: Rulers Of Modern Saudi Arabia”, 10 Oktober 2010).

(57)

tahun 2005, pemilu kota pertama diadakan. Pada tahun 2009 raja membuat perubahan personel yang signifikan kepada pemerintah dengan menunjuk reformis sebagai posisi kunci dan perempuan pertama dalam posisi mentri. Namun perubahan ini telah dikritik karena terlalu lambat.

3. Al Ash-Sheikh dan Peran Ulama

Arab Saudi memiliki cara tersendiri dalam memberikan Ulama posisi di pemerintahan. Selain itu, mereka juga memiliki peran utama dalam sistem pendidikan dan peradilan, dan monopoli kekuasaan dibidang moral keagamaan dan sosial. Pada tahun 1970, sebagai hasil dari kekayaan minyak dan modernisasi negara diprakarsai oleh Raja Faisal, menjadi perubahan penting bagi masyarakat Arab dimana kekuatan para Ulama menurun. Namun hal ini berubah mengikuti perebutan Masjidil Haram di Mekkah pada tahun 1979 oleh Islam radikal. Tanggapan pemerintah terhadap krisis tersebut termasuk dengan memperkuat kekuasaan para Ulama dan meningkatkan dukungan keuangan mereka, khususnya memberi kontrol lebih besar atas sistem pendidikan dan diizinkan untuk menegakkan ketaatan ketat terhadap aturan Wahhabi dalam perilaku moral dan sosial. Setelah aksesi pada tahun 2005, Raja Abdullah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi kekuasaan Ulama, misalnya mentransfer kontrol atas pendidikan anak perempuan untuk Departemen Pendidikan.

(58)

Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri dari paham Wahhabi yang sekarang menjadi dominan di Arab Saudi. Kedua keluaraga Al Saud (Kerajaan) dan Al Wahhab (Agama) keduanya saling mendukung satu sama lain dalam pembagian kekuasaan sejak 300 tahun yang lalu hingga saat ini. Al Saud mempertahankan Al Ash-Sheikh sebuah otoritas dalam keagamaan dan menegakkan serta menyebarkan ajaran Wahhabi. Sebagai imbalannya, Al Ash-Sheikh mendukung otoritas politik Al Saud. Dengan demikian menggunakan agama menjadi otoritas moral untuk melegitimasi kekuasaan keluarga kerajaan. Meskipun dominasi Al Ash-Sheikh Ulama telah berkurang dalam beberapa dekade terakhir. Mereka masih memegang jabatan keagamaan yang paling penting dan terkait erat dengan Al Saud.

Sumber utama hukum Arab Saudi adalah Islam Syariah yang berdasar dari ajaran Al-Quran dan Hadist. Arab Saudi mempunyai cara yang berbeda dari negara Islam lainnya, dimana hakim diberikan kekuasan untuk menggunakan penalaran hukum independen untuk membuat keputusan. Hakim di Arab Saudi cenderung mengikuti prinsip-prinsip Wahhabi dalam ilmu Fiqih. Setiap keputusan hakim bisa berbeda dalam kasus yang sama, membuat predikbilitas penafsiran hukum yang sulit. Sistem pengadilan Syariah merupakan peradilan dasar Arab Saudi dan para hakim dan pengacara merupakan bagian dari para Ulama.

(59)

komersial, dan hukum perusahaan. Selain itu hukum adat tradisional tetap signifikan. Seringkali hukuman di Arab Saudi berupa fisik seperti amputasi, rajam, atau pemenggalan.

Sistem keadilan di Arab Saudi telah dikritik karena terlalu keras dalam hukuman mereka, namun juga kadang-kadang terlalu menyepelekan seperti, kasus pemerkosaan atau kekerasan rumah tangga, serta memperlambat seperti meninggalkan ribuan perempun yang mengajukan proses perceraiaan. Sistem ini dikritik karena kurang adanya perlindungan keadilan, dan dunia modern. Pada tahun 2007 Raja Abudllah mengeluarkan dekrit kerajaan reformasi peradilan dan menciptakan pengadilan baru. Kemudian pada tahun 2009, Raja membuat sejumlah perubahan yang signifikan untuk personil peradilan ditinggakat paling senior.

4. Agama Dalam Masyarakat

(60)

Arab Saudi menggunakan sistem kalender Islam. Kehidupan sehari-hari seperti dalam berdagang, toko ditutup pada jam-jam Sholat. Akhir pekan para penduduk merupakan hari Jumat dan Sabtu, bukan Sabtu dan Minggu, dikarenakan hari Jumat merupakan hari yang mulia bagi umat Islam. Selama bertahun-tahun hanya ada dua hari libur yang diakui, yaitu saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Pada tahun 2004, sekitar setegah siaran televisi Arab Saudi dikususkan untuk masalah Agama. Dalam sistem pendidikan, sekitar setangah materi yang diajarkan adalah mengenai keagamaan. Dukungan publik untuk politik tradisional atau struktur keagamaan kerajaan begitu kuat. Salah satu penelitian menemukan hampir tidak ada dukungan untuk reformasi dalam mensekulerkan Agama.

Karena pembatasan Agama, budaya Arab tidak memiliki keragaman, seperti bangunan, festival tahunan, atau acara-acara publik bagi agama lain. Meskipun ada beberapa umat Kristen dan Hindu diantara pekerja asing, di Arab Saudi tidak terdapat kuil atau gereja yang diizinkan berdiri di Arab. Orang Ateis secara hukum dicap sebagai teroris. Sementara orang Arab ataupun orang asing yang mempertanyakan dasar-dasar agama Islam di Arab Saudi akan dikenakan hukuman 20 tahun penjara.

B. Hak-hak Perempuan di Arab Saudi

(61)

pemerintahan. Pembentukan Agama sebagian besar mengontrol pendidikan, peradilan, kepolisian mengenai moralitas publik melalui polisi agama.

Dewan Senior Ulama, merupakan badan keagamaan tertinggi yang bertindak sebagai forum untuk konsultasi rutin dengan raja. The Generali Presidency For Scholarly Research and Ifta (www.alifta.com), Merupakan lembaga resmi yang dipercayakan dengan mengeluarkan pendapat hukum Islam, juga secara konsisten memberikan fatwa bahwa kemampuan perempuan terbatas dalam membuat keputusan independent (Boxed In: Woman And Saudi Arabia’s

Male Guardianship System, 16 Juli 2016). Website ini berisi puluhan fatwa tentang wanita dan juga memperkuat otoritas laki-laki atas perempuan dan membatasi perempuan dalam bergerak, bekerja, belajar. Misalnya dalam websitenya menyatakan bahwa perempuan tidak bisa melayani di posisi kepemimpinan lebih dari laki-laki. Dalam putusan fatwa tersebut, perempuan tidak diharuskan keluar rumah kecuali dengan seizin dari wali laki-laki mereka.

Ulama Islam mendukung pengenaan perwalian laki-laki berdasarkan pada ayat Al-Quran: “Laki-laki adalah pelindung dan pengelola perempuan, karena Allah telah memberikan satu lagi (kekuatan) dari yang lain, dan karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka” (Quran 04:34). Seorang peneliti feminis

(62)

1. Perempuan dan Sistem Perwalian laki-laki Arab Saudi

Di Arab Saudi, kehidupan seorang perempuan dikendalikan oleh seorang pria dari lahir hingga meninggal. Setiap perempuan harus memiliki wali laki-laki, biasanya ayah atau suami, namun dalam beberapa kasus bisa saudara atau bahkan anak, yang memiliki kekuatan untuk membuat berbagai keputusan penting atas namanya. Sebagian puluhan perempuan Saudi mengatakan kepada Human Right Watch, sistem perwalian laki-laki adalah hambatan paling signifikan untuk mewujudkan hak-hak perempuan di negri ini (Arab Saudi). Wanita dewasa harus mendapat izin dari wali laki-laki untuk melakukan perjalanan, menikah, atau keluar penjara. Mereka mungkin diperlukan untuk memberikan persetujuan wali untuk bekerja atau akses kesehatan. Perempuan secara umum mengalami kesulitan melakukan berbagai transaksi tanpa saudara laki-laki.

Meskipun banyak mengalami hambatan dalam menjalankan keputusan hidup. Banyak pula perempuan Saudi yang konservatif tidak mendukung pelonggaran peran gender tradisional dan pembatasan, dengan alasan bahwa Arab Saudi adalah hal yang paling dekat ke “negara Islam yang ideal dan murni”, dan di bawah ancaman dari “nilai-nilai barat”. Dalam

sebuah wawancara 2010 dengan New York Times, Noura Abdulrahman, seorang karyawan perempuan dari Saudi Departemen Pendidikan, membela perwalian laki-laki.

(63)

Saudi, dan selama bisnis saya, saya selalu membawa suami saya atau kakak saya.

Gambaran barat adalah bahwa kita didominasi oleh laki-laki, tetapi mereka selalu melupakan aspek cinta. Orang yang tidak akrab dengan syariah, sering memiliki ide yang salah” (Zoepf, 31 May 2010).

Dampak kebijakan-kebijakan ketat terhadap kemampuan seorang perempuan untuk mengejar karir atau membuat keputusan hidup bervariasi, tetapi sebagian besar keputusan tergantung pada kemauan dari wali laki-lakinya. Perwalian laki-laki berhubungan erat dengan Namus (Kehormatan). Namus adalah fitur umum dari masyarakat patriakal. Jika seorang pria kehilangan Namus karena seorang perempuan di keluarganya, ia mungkin mencoba untuk membersihkan kehormatannya dengan menghukumnya. Dalam kasus ekstrim, bisa hukuman mati.

Pada tahun 2007, seorang perempuan muda dibunuh oleh ayahnya karena mengobrol dengan seorang pria di facebook (Facebook girl beaten and shot dead by her father for talking online, 31 Maret 2008). Kasus ini banyak menarik perhatian media. Orang-orang yang konservatif menyerukan pemerintah untuk melarang Facebook, karena menghasut nafsu dan menyebabkan perselisisan sosial dengan mendorong orang untuk berbaur gender (laki-laki dan perempuan).

2. Sex Segregation

(64)

menganggap jilbab islami yang benar adalah menutup semuanya kecuali tangan dan mata, hal ini ditegakkan dan diawasi oleh Mutaween atau polisi agama. Jubah hitam penuh disebut abaya, sedangkan cadar disebut niqab. Banyak sejarawan dan ulama Islam berpendapat bahwa jilbab ada sebelum Islam di berbagai daerah. Mereka berpendapat bahwa Al-Quran ditafsirkan sesuai dengan konteks sebagai bagian dari beradaptasi dengan tradisi-tradisi suku.

Beberapa perempuan mengatakan mereka ingin memakai jilbab. Mereka mengutip kesalehan Islam merupakan kebanggaan dari tradisi keluarga, dan jauh dari pelecehan seksual dari laki-laki. Bagi banyak perembuan, Jilbab dan cadar adalah bagian dari hak utuk kesopanan bahwa Islam menjamin perempuan. Beberapa orang menganggap reformasi sebagai anti-islam yang telah disusupi pemahaman orang barat.

Pemisahan antara laki-laki dan perempuan adalah simbol ketatnya hukum islam di Arab Saudi. Ditempat-tempat umum seperti restoran, bank, dan tempat umum lainnya, perempuan diwajibkan untuk masuk dan keluar melalui pintu khusus. Acara sosialpun sebagian besar didasarkan pada pemisahan laki-laki dan perempuan. Perempuan yang terlihat bersosialisasi dengan laki-laki yang bukan kerabat, dapat dihukum oleh Mutaween, bahkan didakwa melakukan perzinahan, pencabulan, atau prostitusi. (Boxed In: Women And Saudi Arabia’s Male Guardianship System, 16 Jui 2016).

(65)

perempuan, sementara ruang publik, seperti ruang tamu, dikaitkan dengan laki-laki. Desain rumah tradisional juga menggunakan tembok tinggi, dan tirai untuk melindungi keluarga, khususnya perempuan dari masyarakat luar. Bagi seorang pria yang tidak memiliki hubungan, memasuki ranah perempuan di rumah orang Saudi merupakan pelanggaran kehormatan keluarga.

Dalam ranah pendidikan setingkat SD, pemisahan jenis kelamin juga diterapkan. Bahkan seorang pengajar juga tidak boleh dicampur. Seorang guru laki-laki tidak diperbolehkan berada di sekolah perempuan, begitu juga seorang pengajar perempuan tidak diperbolehkan berada di lingkungan sekolah laki-laki.

3. Membatasi Hak Pekerjaan

Menurut International Labour Organiztion (Organisasi Buruh Internasional), tenaga kerja perempuan Saudi meningkat dari 15,3% pada 1990 menjadi 18,6% pada ahun 2011 (Saudi Arabia: Labor Participation Rate. www.indexmudi.com). Partisipasi perempuan Saudi dalam ranah pekerjaan cukup mengalami peningkatan kembali. Menurut World Bank

Gambar

Gambar 5 Skema pola hubungan gugus strukturasi
Tabel 2 Status dan Peran Yang Dianggap Pantas Oleh Masyarakat Menurut Bemmelan
Gambar 6  3 Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclought
Gambar 7 Poster Fim Wadjda (2)
+7

Referensi

Dokumen terkait