• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku coping Ibu yang mempunyai anak penderita Thalassaemia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku coping Ibu yang mempunyai anak penderita Thalassaemia"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH :

GINA HIKMATUR HEDHA

104070002387

_FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HJUAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Perilaku Coping lbu yang Mempunyai Anak

Penderita Thalassaemia

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat Memperoleh gelar sarjana psikologi

Pembimbing I

Oleh:

Gina Hikmatur Redha NIM: 104070002397

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing II

セセ@

/" Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi

NIP. 150 300 679

Yufl'Anclriani, M.Si, Psi

FAKUL TAS PS!KOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENOERITA THALASSAEMIA telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 September 2008. Skripsi ini telah diterima s13bagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 15 September 2008

Dra. Ne t Hartati M. Si

NIP 15 15938

QMセ・ョァuji@ i

Ora. NIP.

Pembimbing I

M. $j

Neneng Tati Sumiati, Msi.Psi NIP: 150300679

Sidang Munaqasyah

Anggota:

Sekretaris Merangkap Anggota,

A,,

Ora. Zahrotun N. ah M.Si NIP: 150238T/3

Penguji II

n・ッセセ[・エゥL@

M,;p,;

NIP 150300679

Pembimbing II

(4)

MOTTC>

'Kita nen.tl.a.l<naa mug,ad.ll<an

c:/l.cualan aw"a Alta na

l

fiehaaal

セ。エZ。ョ。@

pem/Jen.a.'14211 tl.lt:l

(5)

Mereka adalah petunjuk bagi siapa saya yang meminta. Harga diri; Terdapat pada tingkah lakunya yang baik.

Orang-orang bodoh adalah musuh bagi mereka yang berilmu. Raihlah kemenangan dengan ilmumu.

Niscaya ilmu adalah kekal.

Semua manusia menanti mati, sedangkan ahli ilmu hidup abadi. (Ali ra)

Belajarlah llmu,

karena belajar ilmu karena Allah itu merupakan suatu bukti takut kepadaNya, menuntutnya adalah ibadah

mendiskusikan adalah tasbih membahasnya adalah jihad

dan mengajarkan kepada orang yang belum mengetahuinya adalah sedekah

Dedicated to:

(6)

ABSTRAKSI

(C). Gina Hikmatur Redha

(A.). Fakultas Psikologi (8). Agustus 2008 (D). Perilaku Coping ibu yang Mempunyai Anak Penderita Penyakit

Thalassaemia (E). xv +91 halaman

(F). Thalassaemia adalah sejenis penyakit anemia yang juga penyakit keturunan (genetis) yang tidak bisa disembuhkan, adapun penderita thalassaemia harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya. Apabila penderita tidak melakukan transfusi darah secara rutin dapat

menyebabkan kematian.

Bayangan kematian inilah yang selalu menghampiri perasaan ketakutan pada orang tua. Penyakit thalassaemia merupakan penyakit yang

sangat menguras materi dan imateril. Menguras materi dalam kasus ini adalah biaya untuk transfusi darah yang nominalnya tidak sedikit. Sedangkan menguras imateril, dalam kasus ini orangtua senantiasa merasa bersalah kepada anaknya karena penyakit yang diderita oleh anaknya adalah penyakit yang diturunkannya (oran!;;itua). lbu yang keadaanya lebih mudal1 tertekan daripada ayah menyebabkannya lebih mudah depresi, karena desakan-desakan yang terjadi guna

memperpanjang kehidupan anaknya, oleh karena itu ibu akan

melakukan coping yaitu usaha menangani dan mengasai situasi penuh stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya yaitu penyakit thalassaemia yang diderita oleh anaknya dengan cara

melakukan perubahan kognitif, maupun prilaku guna memperoleh rasa aman pada dirinya yaitu anaknya akan bertahan hiolup. Coping memiliki dua jenis strategi yaitu pertama problem-focused coping, yang terdiri dari active coping, planning, seeking social support for instrument reasoan, suppression of competing activities dan restraint coping.

Sedangkan yang kedua yaitu emotional-focused coping yang terdiri dari seeking social support for emotional reason, positiv1:: reinterprntation and growth, denial dan acceptance.

(7)

anaknya menderita penyakil thalassaemia, kesulitan membangkitkan rasa percaya diri anal<, kesulitan mendapatkan uang untuk biaya tmasfusi darah, stigma yang salah para tetangga mengenai penyakit thalassaemia, tidal< adanya obat, yang dapat meny•embuhkan penyakit thalassaemia, keadaan anak yang selalu menurun, anak menderita thalassaemia seumur hidup, perasaan tidal< tega melihat anak ketika melakukan transfusi darah, dan kekhawatiran ュ・ュセQ・ョ。ゥ@ kelanjutan hidup anaknya. Sehingga para subjek memilih menggunakan strategi coping problem focused coping dengan jenis restrain coping dan seeking social support for instrumental reasons, dan strategi emotion focused coping dengan jenis denial, seeking social support for emotional reasons, dan acceptance

Kesimpulan hasil penelitian menunjukan bahwa tidal< ada perbedaan antara ibu yang mempunyai anak dengan thalassaemia minor dan mayor dalam menggunakan strategi coping. Dari pe1nelitian yang

diperoleh, diharapkan dapat di jadikan referensi apabila terdapat kasus atau masalah yang sama.

Saran bagi para peneliti dalam hal observasi responden hendaknya dilakukan tidal< l1anya pada saat wawancara berlan!;;isung untuk menghindari keadaan yang telah di kontrol oleh responden, dan

menyebabkan peneliti tidal< mendapatkan keadaan sesungguhnya dari responden, sebaiknya juga mengobservasi perilaku anak dan

bagaimana interaksi antara ibu dan anak un!uk melihat apakah coping yang dilakukan oleh ibu cukup berhasil atau tidak.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji serta syul<ur tiada henti terucap kehadirat Allah SWr Dzat Yang Maha Mutlak, karena dengan Rahmat dan HidayahNya yang te:lah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat beserta salam kehadirat suri tauladan ummat sedunia, Nabi Muhammad SAW, karena dengan segenap perjuangannya penulis dapat menikmati nikmat keberagaman dunia.

Penulis skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan Akademik Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk

memperoleh gelar sarjana psikologi. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi yang berjudul "Perilaku Coping lbu yang Mempunyai Anak Penderita Thalassaemia" tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu pEmulis mengucapkan terimakasih dan pengl1argaan yang tulus pada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. lbu Ora. Netty Hartaty, M.si selaku Dekan Fakultas Psikologi dan lbu Ora. Zahrotun nihayah, M.si. Psi selaku Pembantu Dekan beserta jajarannya.

2. lbu Neneng Tati Sumiati, M.si. Psi dan lbu Yufi Andriani, M.si. Psi yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam

melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Achmad Syahid selaku dosen penasehat kelas D angkatan 2004, yang telah memberikan arahan kepada penulis selama berkuliah di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

(9)

kakak (Noenk, Maida), ade satu-satunya yang tersayang (Abon) dan keponakan yang lucu-lucu dan kadang suka ngerecokin (Afi, Ciput, Cuwa-cuwa, Ina, lntan, Indra, dan Cuna) "/Love you all and I am Very lucky to be pan of you"

6. Saudara, sahabat, dan sekaligus teman baik ... (barudak kosan dan barudak De-A salikur&salapan). Suka duka bareng-bareng, indah bang

et...

jangan pada lupa kehidupan bareng-baneng di kosan oke oke. Thanks . .for all.

7. Seluruh dosen dan Akademik Fakullas Psikologi, alas semua ilmu dan pelayanan adminislratif yang diberikan kepada pEmulis selarna

penyelesaian kuliah di Fakullas Psikologi UIN Syafir Hidayatullah, Jakarta.

8. Pelayanan Perpuslakaan Fakullas Psikologi, Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan-perpustakaan urnurn yang lainnya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

9. Partisipan dalan skripsi ini yaitu lbu E, ibu H dan ll:lu S, serta anak-anaknya yang menderila thalassaemia, makasih sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan moga kita letap menjaga hubungan keluarga ini

10. Teman seperjuangan darma, cimoet, ulya, dan tarni, Thanks alas sernua senyurn, kelawa, suka, cita, segala perhatian, dan supportnya yang besar-besaran .. "You're the best I ever had"

(10)

angkatan 2004. Kita masuk bareng, dan moga aja kita keluar bareng juga. Amien ... amien. Ayo semangat...

12. Muhammad Amirul Mu'minin yang selalu memberikan dukungan, dan perhatiannya kepada penulis, semoga Allah mericlloi hubungan kita, Amin ...

Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik clan saran yang membangun dan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kemajuan penulis di masa akan da!ang, semoga Allah senantiasa memberikan petunjukNya kepada penulis. Amin Yaa Robal Alamin.

Jakarta, 20 Agus!us 2008

(11)

Halaman Judul ... .

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing . . . .. .. . . .. . . .. . . ii

Halaman Pengesahan Panitia Ujian .. . . .. . . iii

Motto... iv

Kata Mutiara . . . v

Abstrak ... vi

Kata Pengantar . . . .. . . .. . . .. . . .. .. . . . .. . . .. .. .. . . .. viii

Daftar lsi . . . xi

Daftar Tabel ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-14 1. 1 Latar Belakang Masai ah . . . .. . . 1

1.2 ldentifikasi Masalah ... .. ... ... 11

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11

1.3.1 Pembatasan Masalah ... ... ... 11

1.3.2 Perumusan Masalah ... ... 12

1.4 Tujuan dan Manfaat Peneli!ian . . . .. . . .. . .. .. . . .. . . .. . 12

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 12

1.4.2 Manfaat Penelitian ... ... ... ... .. ... 12

(12)

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 15-38

\.;/.1

Perilaku Coping... 15

2.1.1 Pengertian Perilaku Coping... 15

J2.1.2 Jenis-jenis Coping... 16

2.1.3 Fungsi-fungsi Coping ... ... ... 21

2.1.4 Proses-proses Coping... .... ... .. ... .. .... 22

2.1.5 Faktor-faktor yang mernpengarul1i Strategi Coping... 22

2.2 Pen yak it Thalassaemia . . . .. .. .. . . .. . . .. . . .. . . .. . . .. . . 25

2.2.1 Pengertian Penyeakit Thalassaemia ... 25

2.2.2 Jenis-jenis Penyakit Thalassaemia. .. . . .. .. .. .. . . 28

2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Penyakit Thalassaemia ... 28

2.2.4 Aki bat Penyakit Thalassaemia .. ... 30

2.2.5 Cara-cara Mencegah Kelahiran Penderita Thalassaemia... 31

2.2.6. Dampak Psikososial pada Anak dan Orang Tua Aki bat Penyakit Thalassaeia. .. .. .. . . .... .. .. ... . .. . .. . ... . . 32

2.3 lbu ... 35

2.3.1 Pengertian lbu... 35

2.3.2 Karakteristik !bu ... ... ... 36

BAB 3 METODOLOGI PENEUTIAN ... 39-48 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian. .. .. .. . . .. . . .. . .. . . 39

(13)

3.5.1 Pedoman Wawancara ... .... ... ... 44

3.5.2 Alat Perekam ... 45

3.5.4 Lem bar Observasi... ... ... 45

3.6 Teknik Analisa Data ... 45

3. 7 Prosedur Penelitian . . . .. . . 46

3.7.1 Tahap persiapan ... 46

3.5.4 Tahap Pelaksanaan ... 47

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian 4.2 Gambaran dan Analisa Kasus ... . 4.2.1 Kasus E. ... "'···

4.2.2 Kasus S ... . 4.2.3 Kasus H ... : ... . 4.3 Anal is is Perbandingan Kasus ... . 4.3.1 Gambaran masalah-masalah yang dihadapi antar subjek ... . 4.3.2 Gambaran Strategi Coping yang Dilakukan antar 49 51 51

59

69 78 78 ウオセ・ォ@ ... 80 [image:13.595.35.454.92.685.2]
(14)

5.2 Diskusi . .. . . .. .. . . .. .. . . .. .. .. . . .. . . .. .. . . 85 5.3 Saran ... ... ... 89

(15)
[image:15.595.70.449.155.482.2]
(16)

BAB 1

PENDAHUlUAN

1.1.

l。エセオ@

Belakang Masalah

Pada umumnya, setiap orang tua mempunyai keinginan untuk memiliki anak yang sehat, mandiri kelak dimasa dewasanya, serta dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Setiap orang tua mempunyai tanggung jawab untul< mengasuh dan mendidik anaknya, dengan didikan yang sebaik-baiknya. Namun dalam kenyatannya tidak semua analz dapat berkembang dalam lingkungan dan kesehatan yang selalu baik. Sepe11i halnya yang te1jadi pada Nafa. Nafa adalah salah satu anak dari ribuan pasien di Indonesia yang memiliki kelainan thalassaemia di tubuhnya. Balita yang masih berusia 19 bulan ini terpaksa harus merelakan kaki mungilnya ditusuk jarum yang membawa darah baru bagi tubuhnya. Rutinitas wajib transfusi

bagi gadis mungil ini sudah dimulai sejak setahun lalu, kE;tika usianya baru saja menginjak enam bulan. Kulitnya menghitam dan terlihat kisut, belum lagi tubuhnya yang terlihat lebih kecil dibanding anak seusianya. Menurut kedua orang iua Nafa, Halim dan Jumiati, kelainan yang diderita bocah mungil ini terdeteksi sejak usianya enam bulan, kulitnya menghitam dan menjadi kisut. Belum lagi nafsu makannya yang turun drastis. Kekhawatiran Jumiati

(17)

tahun juga mengidap gejala yang sama saat pertama kali didiagnosis menderita thalassaemia. Sejak itulah, bersama sang kakak, Nafa terpaksa menjadi pasien rutin Pusat Thalassaemia RS Cipto Mangunkusumo. Dalam sebulan, Halim dan istrinya yang bermukim di Seman;an, Kalideres, Jakarta Barat ini, bisa tiga kali mendatangi RSCM untuk menjalani proses transfusi darah kedua buah hatinya. Sejak menikah pada akhir tahun 90-an, kedua pasangan asal Betawi ini tidak pernah menyangka akan memiliki anak yang menderita kelainan ini. Kini, Halim dan Jumiati hanya bisa bersabar menjalani pengobatan kedua puterinya. Jumiati mengaku l<asihan dan tidak tega

melihat keadaan dua puterinya. Apalagi bila sudah waktunya transfusi darah, nafsu makan Nafa menjadi berkurang, sering terjatuh se1:iap kali berjalan dan suka merintih kesakitan karena Nafa merasa badanya mulai tidak enak (http://www.republika.eo.id/koran_detail.asp).

Penyakit thalassaemia seperti yang dialami oleh Nafa adalah penyakil

(18)

sekali. Penderita thalassaemia setiap bulannya akan me1ngeluarkan biaya untuk pengobatan minimal 3-5 juta rupiah, antara lain, untuk biaya tranfusi darah berikut peralatannya (Faisal Yatim, 2003).

3

Indonesia termasuk wilayah dengan penderita thalassaemia cukup banyak. Data dari Rumah Saki! besar dan Rumah Saki! pendiclikan, gen pembawa sifat thalassaemia berkisar 8-10%. Berarti ada 8-10% or:ang pembawa sifat thalassaemia terdapat di antara 100 penduduk. Jumlah penderita

thalassaemia yang tercatat di seluruh Indonesia sebanyak 8000 orang. Di Jakarta diperkirakan ada 1000 penderita thalassaemia. Di seluruh dunia, jumlah pembawa sifat thalassaemia sebanyak 8-15%, se1dangkan di Jakarta diperkirakan sekitar 5%. Dapat diperhitungkan bahwa dengan penduduk Indonesia 200 juta berarti ada sel<itar 10 juta pembawa sifat thalassaemia (Faisal Yatim, 2003). Ketua Harian Yayasan Thalassaemia Indonesia,

Ruswandi mengatakan jumlah penderita thalassaemia di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurutnya, penderita thalassaemia saat ini masih kurang mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Padahal

(19)

Menurut Djayadiman thalassaemia belum bisa disembuhkan, dan sedikit sekali penderita thalassaemia yang dapat menikmati hidup sampai usia 30 tahun meskipun rajin berobat dan memperoleh tranfusi darah secara teratur. Transfusi darah menjadi satu-satunya jalan untuk memperpanjang kehidupan penderitanya, karena apabila tidak menjalani tranfusi darah secara teratur maka kinerja organ tubuh akan terganggu sehingga penderita thalassaemia akan mengalami pembesaran pada perut seperti bengkak. Akan tetapi transfusi darah dapat menyebabkan penumpukan zat besi di dalam tubuh penderita thalassaemia. Kandungan zat besi yang menumpuk ini akan menjadi racun yang dapat membahayakan nyawa penderitanya. Akibatnya, selain transfusi darah, para penderita thalassaemia ini juga harus menjalani pengobatan untuk mengeluarkan penumpukan zat beisi dari dalam tubuhnya. Adapun cara mengeluarkan zat besi yang menumpuk dalam tubuh penderita thalassaemia ini adalah dengan memberikan suntikan Deferasirox secara rutin 5 kali dalam seminggu kepada penderita, akan tetapi kebanyakan penderita tidak menjalankan rutinitas ini karena proses suntikan Deferasirox ini sangat menyakitkan, membosankan clan untuk memperoleh suntikan ini, penderita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Biaya untuk tranfusi darah dan untuk suntikan Deferasirox sangat sulit dijangkau oleh para

(20)

untuk mendapatkan uang bagi anaknya yang menderita thalassaemia dan juga untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya

(http://www.republika.eo.id/koran_detail.asp).

5

Penyakit thalassaemia ini selain membutuhkan biaya yang sangat mahal juga dapat mengakibatkan dampak psikososial pada penderitanya. Menurut Hasto Prianggoro (dalam http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php) penderita thalassaemia akan merasa lain dari anak-anak sebayanya yang normal, misalnya pada anak perempuan akan mengalami keterlambatan dalam pubertas (delay puberty), mengalami keterlambatan juga dalam menstruasi, bahkan buah dada tidak tampak menonjol. Selain itu, karena

sebentar-sebentar ditransfusi darah, anak juga bisa stres, sehingga anak tersebut akan merasa kehilangan kepercayaan dirinya akibat mengganggap atau tahu

(21)

Orang tua yang memiliki anak menderita penyakit thalassaemia ini harus memikirkan bagaimana kelanjutan hidup anaknya, mulai dari mencari biaya untuk transfusi darah, suntikan dan obat bagi anaknya, orang tua juga harus memikirkan bagaimana membuat anaknya percaya diri clan tidak merasa berbeda dengan anak-anak sebayanya yang normal.

Selain pikiran di alas juga, orang tua yang mempunyai anak menderita

thalassaemia, selalu dihampiri oleh perasaan takut akan kehilangan anaknya apabila ritual seperti transfusi darah, suntikan clan obat tidak terpenuhi.

(22)

7

meningkat dan mengancam kesehatan mentalnya. Karena desakan-desakan yang terjadi guna memperpanjang kehidupan anaknya.

Orang tua menyadari akan l<edudukan anaknya antara l1oin anak sebagai anugrah dari Allah, anak sebagai amanat dari Allah, anak sebagai bukti kebesaran dan kasih sayang Allah dan anak sebagai peianjut, penerus dan pewaris orang tua (Hartono, 1997). Dengan menyadari akan kedudukan anaknya membuat orang tua menjadi lebih tabah dan sabar dalam

menghadapi penyakit yang diderita oleh anaknya kare:na anal< adalah milik Allah yang dititipkan kepadanya, sehingga anak akan kembali kepada pemiliknya yaitu Allah SWT. Seper!i dalam surat Al-Baqarah ayat 155-156 yang berbunyi:

Artinya: "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan,

kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah

kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang

apabila ditimpa musibah, mereka berkata: "innaa li/laahi wa innaa i/aihi

(23)

Menurut Majdi As-Sayyid Ibrahim (2004, dalam

http://lwww.as-syifa.blogspot.com/2004/12/keutamaan-sabar-menghadapi-cobaan.html) Setiap orang akan menghadapi cobaan di dalam hidupnya, cobaan itu baik yang menimpa langsung pada dirinya atau suaminya atau anaknya ataupun anggota keluarga yang lainnya. Akan Tetapi justru disitulah akan tampak kadar iman seseorang. Allah menurunkan cobaan kepacla umatnya, agar Dia bisa menguji iman umatnya, apakah umatnya akan sabar dalam

menghadapinya atau kebalikannya yaitu menghadapinyi:i dengan marah-marah. Oleh l<arena itu l1endaknya orang tua menghadapi segala cobaan yang terjadi pada anaknya dengan sabar dan memasrahkan segala

masalahnya kepada Allah. Menurut Carver, C.S & Schel<!r, M.F (1989), dengan kita memasrahkan segala masalah kita kepada Tuhan itu adalah salah satu bentuk coping yang masuk kedalam emotional focused coping yaitu turning to religion.

(24)

9

memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk berintraksi dengan anak-anaknya dan memiliki ikatan emosional yang lemah dengan anaknya. Peran pria sebagai ayah berbanding terbalik dengan peran wanita sebagai ibu yang sering diidentikkan sebagai penjaga lingkungan 、ッュ・ウエゥャセ@ dan Jebih ditekankan pada kompetensinya memelihara, mengasuh anak serta melakukan aktivitas rumah tangga lainnya, sehingga t1al ini, membuat ibu

akan mendapat banyak kesempatan untuk berintraksi deingan anaknya, memiliki ikatan emosional yang kuat dan menjadi lebih perhatian kepada keadaan anaknya menderita penyakit thalassaemia.

Dengan naluri agresif dan protektif yang dimiliki seorang ibu menjadikannya hipe1waspada tentang semua aspek mengenai keselamatan dan kesehatan anaknya. Sikap hiperwaspada yang dimiliki oleh ibu, menyebabkan

kecemasan empat kali lebih sering di temui pada ibu, stre,sor yang sangat responsif pada perempuan membuatnya jauh lebih cepat cemas daripada suaminya. Keadaan ini menyebabkan ibu terpusat pada bahaya yang dihadapi dan bereaksi dengan cepat untuk melindungi anaknya (Lounann Brizendine, 2006).

(25)

lebih banyak rewel dan menggunakan perasaannya sehingga

menyebabkannya lebih mudah kacau dibandingkan 、・ョAセ。ョ@ laki, dan laki-laki juga dalam menghadapi problema kehidupan lebih memakai logikanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Bamaisaiye, Bakare, &. Olatawura (dalam Midence, dkk,. 1993) menyatakan bahwa pengaruh kondisi anak yang menderita penyakit kronis pada keluarga terutama dirasakan oleh ibu.

Penelitian mengenai efek dari kondisi anak yang menderita penyakit siklemia terhadap orang tua ini menunjukan bahwa 93% ibu menyatakan bahwa keadaan anak tersebut membuat perkawinan mereka tidak bahagia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 80% dari ibu men&1atakan bahwa kondisi anak yang saki! berpengaruh terhadap kehidupan pekerjaan,

pendidikan dan kesehatan mental mereka. Sedangkan pengaruh bagi ayah hanya 20%.

(26)

11

Berdasarkan beberapa pembahasan di atas, penulis tertarik untuk

mengetahui lebih jauh bagaimanakah ibu dalam men1ihadapi masalahnya agar terhindar dari distres psikologis akibat penyakit yang dialami oleh anaknya. Karena itu judul dalam penelitian ini adalah "Perilaku Coping ibu yang Mempunyai Anak Pem:lerita Thalassaemia".

1.2. lde11tifikasi Masaiah

Berkaitan dengan tema penelitian ini, maka dapat diketahui identifikasi masalahnya sebagai berikut:

1. Masalah-masalah psikologis apa saja yang dialami ibu yang mempunyai anak penderita thalassaemia?

2. Bagaimanakah pola-pola penyesuaian coping seorang ibu yang mempunyai anak penderita thalassaemia sebagai solusi terhadap masalah-masalah yang timbul karena penyakit th<dassaemia?

3. Bagaimanakah cara membangkitkan rasa percaya diri anak penderita thalassaemia?

1.3. Pembatasa11 dan Perumusa11 Masalah

1.3.1. Pembatasan Masaiah

(27)

1.

Coping adalah suatu usaha untuk mengubah secara konstan aspek kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan-tuntutan eksternal (berasal dari lingkungan) maupun internal (berasal dari indivudu) yang dinilai sebagai beban dan atau telah melampaui sumber daya individu.

2. lbu memiliki anak penyakit thalassaemia ini adalah ibu ケ。ョセQ@ mempunyai masalah-masalah yang timbul dari p1:inyakit thalassaemia.

1.3.2. Perumusa111 Masaiah

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

"Bagaimanakah perilaku coping ibu yang mempunyai arn>k penderita penyakit thalassaemia?"

1.4. Tujua111 da111 Manfaat pe111elitia111

1.4.1. Tujuan Masalah

Untuk mengetahui coping ibu yang mempunyai anak penyakit thalassaemia sehingga dapat membantu anaknya menjalani kehidupan dan dapat

(28)

13

1.4.2. Manfaat Masalah

Diharapkan penelitian ini membawa manfaat, diantaranya:

a. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan bagi ilmu psikologi secara umum dan khususnya bagi psikologi klinis untuk dijadikan wacana atau bahan bacaan yang dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk para pembaca dalam menambah informasi atau masukan kepada orang tua yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi perilaku coping orang tua yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia dan membantu orang tua dalam menangani masalah yang timbul dari penyakit thalassaemia.

1.5. Sistematika Pen11.1iisa11

Untuk memudahkan pemahaman pada tulisan ini, mal<a penulis menyusun dalam sistematika penulisan sebagai berikut:

(29)

BAB II :Bab Landasan teori yaitu menguraikan pengertian perilaku coping, jenis-jenis coping, fungsi-fungsi coping, proses-proses coping, faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping , peng1ertian penyakit thalassaemia, jenis-jenis penyakit thalassaemia, faktor-faktor

penyebab penyakit thalassaemia, akibat penyakit thalassaemia, cara-cara mencegah kelahiran thalassaemia, dampak psikososial pada anak dan orang tua akibat penyakit thalassaemia, pengertian ibu, dan karakteristik ibu.

BAB Ill :Bab Metode Penelitian yang terdiri dari pendekatan dan metode penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, pedoman wawancara, ala! perekam, lembar observasi, dan prosedur penelitian.

BAB IV : Bab Hasil Penelitian yang terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, riwayat kasus, analisa kasus, dan perbandingan antar kasus.

(30)

BAB2

LANDASAN TEORI

Pada bab 2 ini akan penulis uraikan mengena landasan teori yang meliputi: pengertian perilaku coping, jenis-jenis coping, fungsi-fungsi coping, proses-proses coping, faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping, penge1iian penyakit thalassaemia, jenis-jenis penyakit thalassaemia, faktor-faktor penyebab penyakit thalassaemia, akibat penyakit thalass.aemia, cara-cara mencegah kelahiran penderita thalassaemia, dampak psikososial pada anak dan orang tua dari penyakit thalassaemia, pemge1iian ibu dan karakteristik ibu.

2.1. Perilaku

Coping

2.1.1. Pengertian Perilaku

Coping

(31)

Lazarus dan Folkman (1988, dalam Taylor 2003 dan Sheridan 1992) mendefinisikan coping sebagai: suatu usaha untuk mengubah secara

konstan aspek kognitif dan perilal<u untuk mengelola tuntutan-tuntutan eksternal (berasal dari lingkungan) maupun internal (berasal dari indivudu) yang dinilai sebagai beban dan atau telah melampaui sumber daya individu.

Kenneth Matheny (1986, dalam Rise 1999) menyatakan coping sebagai "any effort, healtly or unhealtly, conscious or unconscious, to prevent, eliminate or

weaken stressor or to tolerate their effect in the least hurtful manner".

Kesimpulan dari definisi-definisi di atas bahwa coping adalah : usaha-usaha kognitif dan tingkah laku individu untuk mengatasi dan mengurangi tuntutan eksternal maupun internal.

2.1.2.

Jenis-jenis

Coping

Secara umum Lazarus dan Folkman (1979, dalam Sarafino; 1994) membagi coping menjadi 2 dimensi yaitu:

(32)

17

lingkungan. Dalam hal ini individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang

menimbulkan masalah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memecahkan masalah atau mengubah suatu situasi yang menjadi sumber sires. Coping ini cendrung dipergunakan saat individu merasa memiliki tenaga untuk mengatasi suatu situasi yang menimbulkan stres dan merasa yakin bahwa hal tersebut dapat diubah dengan melakukan sesuatu yang konstruktif.

2. Coping yang terpusat emosi (Emotion Focused Coping)

(33)

Sementara itu Carver, C.S & Scheler, M.F (1989) membagi 2 jenis coping

yang umum menjadi lebih variatif, yaitu:

a. Coping terpusat pada masalah (problem-focuseid coping)

i ). Active coping (perilaku aktif), suatu proses pengambilan tindakan aktif untuk mencoba memindahkan atau menghindari sumber stress

(stressor) atau untuk memperbaiki efek dari stressortersebut. Active coping termasuk melakukan suatu lindakan langsung, meningkatkan usaha individu, dan mencoba untuk melaksanaka11 usaha coping dengan langkah yang bijaksana. Contoh active coping: Saya mengambil tindakan langsung untuk menghadapi masalah.

2). Planing (perencanaan) yaitu memikirkan tentang t>agaimana cara untuk mengatasi sumber stress (Stressor). Planning juga melibatkan pemikiran kedepan dengan strategi-strategi, meimi'kirkan tentang langkah apa yang harus diambil dan seberapa baik kemungkinan hasilnya dalam menangani masalah. Contoh Planning: saya berpikir mengenai langkah-langkah apa yang harus saya ambil, untuk

memecahkan masalah .

(34)

19

peristiwa lain yang tidak berhubungan dengan masalah, bahkan bila perlu mengabaikannya, guna menghadapi sumber stress (stressor). lndividu mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan lain juga meminta perhatian atau membatasi pengolahan informasi yang diterima guna memfokuskan pada tantangan atau ancaman yang sedang

dihadapinya. Contoh jenis coping ini adalah: saya menyisihkan kegiatan lain agar saya dapat berkonsentrasi pada masalah ini. 4). Restrain coping {penundaan perilaku mengatasi stress), yaitu latihan

untuk mengontrol atau mengendalikan diri. Dalam hal ini individu menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, dan tidak bertindak secara terburu-buru. Contoh jenis coping ini adalah: saya menahan diri agar tidal< melakukan sesuatu sampai situasinya memungkinkan guna menghindari memperburuk keadaan.

5). Seeking social support for instrumental reasons {pencarian dukungan

sosial berupa bantuan), usaha individu untuk mendapatkan dukungan sosial dengan cara meminta nasihat, bantuan, atau informasi dari orang lain untuk membantu dalam menyelesaikan masalah. Contoh jenis coping ini adalah: saya mencoba mendapatkan nasihat dari

(35)

b. coping terpusat pada emosi (emotional-focused coping).

1 ). Seeking social support for emotional reasons (pencarian dukungan untuk alasan emosional), yaitu mencari 、オォオョセQ。ョ@ moral, simpati dan pemahaman. Coping ini memiliki dua fungsi ganda yaitu pertama; dapat menenangkan individu yang merasa tidak <1man oleh keadaan stress yang dialami, kedua; dapat meningkatkan kemungkinan

dilakukannya coping terpusat masalah. Contoh jenis coping ini adalah: saya berbicara kepada seseorang mengenai perasaan saya.

2). Positive reinterpretation and growth (interpretasi k.embali sec:ara positif dan pendewasaan diri), disebut juga penilaian kembali yang positif. lndividu bertujuan untuk lebih mengendalikan emosi-ernosi yang tidal< rnenyenangkan daripada rnenghadapi surnber strnss secara langsung. Contoh coping jenis ini adalah; saya mencoba rnengambil hikmahnya dari apa yang telah terjadi, agar rnenjadi lebih posi!if.

3). Denial (penolakan), yaitu respon yang terkadang rnuncul pada

(36)

21

4). Acceptance (penerimaan), yaitu suatu respon coping yang fungsional dimana individu yang menerima kenyataan dari situasi stress yang dihadapi menjadi seperti individu yang terikat dalam usaha

menghadapi situasi yang ada. Contoh jenis coping ini adalah: saya

belajar untuk hidup dengan situasi ini.

5). Turning to religion (memasrahkan diri pada agama), individu mencoba mencari ketenangan dalam ajaran agama. Contoh coping jenis ini adalah: saya berdoa dan mencari pertolongan Tul1an.

2.1.l. Fungsi-fungsi

Coping

Cohen dan Lazarus (1979, dalam Taylor 2003) mengeimukakan bahwa coping memiliki lima tugas utama, yaitu:

1. Untuk mengurangi kondisi-kondisi lingkungan yang menyakitkan dan memperbesar kemungkinan untuk mengalihkannya.

2. Untuk menerima dan menyesuail<an diri dengan p'eristiwa atau kenyataan yang tidak menyenangkan.

3. Untuk mempertahankan citra diri yang positif. 4. Untuk mempertahankan keseimbangan emosional.

(37)

Secara umum fungsi coping adalah: untuk menghilangkan kondisi tertekan yang dirasakan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta dapat diterima oleh lingkungan secara positif, sehingga berada dalam l<eadaan yang tidak tertekan lagi.

2.1.4. Proses-proses

Coping

Lazarus (1976, dalam Blonna;2005) yang memandang coping sebagai proses yang terjadi bila orang mengalami stress, menyatakan proses coping

di dahului oleh proses-proses stres, yaitu:

1. Penilaian primer, yaitu proses mempersepsikan adanya sesuatu ancaman bagi seseorarng.

2. Penilain sekunder, yaitu proses pengolahan di otak tentang suatu potensi respon terhadap ancaman.

3. Barulah pada tahap selanjutnya dilakukan coping yaitu: proses yang memutuskan respon yang digunakan untuk mengiladapi masalah.

2.1.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Strategi

Coping

(38)

a. Kesehatan Fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selarna dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang 」オャセオー@ besar .

b. Keyakinan atau pandangan positif

23

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang ウ。ョセQ。エ@ penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang ak:an menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving ヲッ」オウ」セ、@ coping .

c. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk mienghasilkan

(39)

d. Keternmpilan sosiai

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.

e. Duk1.mgan sosiai

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan

emosional pada diri individu yang diberikan oleh ッイ。ョセゥ@ tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya .

f. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

(40)

25

2.2. Penyakit Thalassaemia

2.2.1. Pengertian Penyakit Thalassaemia

Vullo (1995, dalam http//www.thalassaemia.org.cy/books/what_is/chapter_ 18. htm) nama thalassaemia berasal dari kata yunani "Thalassa" yang berarti "Laut". Nama ini diberil<an sesuai dengan kenyataan bahwa orang yang berada di daerah laut mediterani seperti Italia, Yunani dan Syria memiliki jumlah penderita penyakit tertinggi. Penyakit ini baru dikukuhkan secara

medis pada tahun 1925 oleh Dr. Thomas Looley dan Dr. Pearl Lee yang menemukan 5 klien merek a menderita penyakit yang sama yang kini disebut dengan penyakit thalassaemia .

Thalassaemia (Yayasan Thalassaemia Indonesia, 1987) adalah suatu

kelainan darah yang terdapat di banyak negara di dunia dan khususnya pada orang-orang yang berasal dari daerah Laut Tengah, Timur Tengah atau Asia, 1-<elainan darah ini jarang ditemuil<an pada orang-orang yang berasal dari Eropa Utara.

Menurut Yusuf Yudi Prayudi (2007, dalam

(41)

normal, eritrosit bisa be1iahan selama 3-4 bulan, sedangkan pada penderita Thalassaemia, eritrosit berumur lebih pendek, bahkan bisa bertahan hanya dalam waktu 1 bulan saja.

Thalassaemia merupakan sejenis penyakit anemia yang juga penyakit keturunan (genetis) yang tidak bisa disembuhkan, penderita thalassaemia pun harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya. Gejala utamanya si penderita terlihat pucat, peru! membesar karena pembengkakan limpa dan hati, kelesuan, bibir, lidah, tangan, kaki dan bagian yang lainnya berwarna puca!, sesak Nafas, hilang selera makan dan bengkak di bagian abdomen, dan kecacatan tulang. Bila penderita thalassaemia tidal< diobati secara bail<, akan terjadi perubahan bentuk muka dan warna kulit menghitam

(http://www.info-sehat.com/content.php).

Darah terdiri dari bermilyar-milyar sel merah, sel-sel tersebut berwarna merah karena di isi oleh haemoglobin. Haemoglobin mempunyai peran penting bagi darah yaitu sebagai benda yang membawa oksigen dari paru-paru ke semua bagian dalam tubuh manusia. Dalam kasus thalassaemia, sel-sel m1eral1 terbentuk amat tidak sempurna, sel-selnya tidal< mengandung cukup

(42)

27

bulan, kemudian akan memproduksi lagi sel-sel merah untuk menggantikan yang mati, pada penderita thalassaemia sel-sel merah rnati lebih cepat daripada darah normal dan satu-satunya jalan untuk rnenggantikan sel-sel darah yang mati adalah dengan rnenjalankan transfusi darah. Transfusi darah tersebut akan menjadi rutini!as seumur hidup yang harus dijalani oleh

penderita thalassaemia, ャセ。イ・ョ。@ sampai saat ini belum ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit thalassaemia (Yayasan thalassaemia Indonesia, 1987).

Transfusi darah mempunyai kendala bagi si penderita thalassaemia, yaitu transfusi darah ditujukan untuk mendapatkan sel-sel damh merah yang baik, menggantikan sel merah yang mati, akan tetapi pada darah normal sel-sel merah yang mati mengandung zat besi yang akan dipergunakan lagi oleh sel-sel merah baru, karena pada penderi!a thalassaemia tidak bisa

(43)

badan dan dikeluarkannya melalui urin (Yayasan エィ。ャ。ウセN。・ュゥ。@ Indonesia, 1987).

2.2.2. Jenis-jenis Penyakit Thalassaemia

Adapun jenis-jenis penyakit thalassaemia (Yayasan Thalassaemia Indonesia, 1987) adalah:

1. Thalassaemia minor adalah thalassaemia bawaan. Orang demgan thalassaemia bawaan ini adalah orang-orang yang tampak normal dan sehat, tetapi dapat meneruskan thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Seorang pembawa sifat thalassaemia memerlukan pengobatan yang tidak serumit thalassaemia mayor.

2. Thalassaemia mayor adalah penyakit darah serius yang bermula sejak

awal kanak-kanak, anak-anak yang memiliki エィ。ャ。セ^ウ。・ュゥ。@ mayor tidak dapat membentuk Haemoglobin yang cukup dalam darah,

memerlukan !ransfusi darah yang sering, dan p13rawatan medis.

2.2.3. Faktor-faktor Penyebab Penyakit Thaias•saemia

(44)

1. Apabila ayah dan ibu masing-masing tidak mempunyai sifat thalassaemia, maka semua anak-anak kandungnya akan mempunyai darah normal, dan tidak ada kemungkinan anak-anaknya menderita thalassaemia.

29

2. Apabila ayah mempunyai sifat thalassaemia dan ibu mempunyai darah normal, maka beberapa anak-anak kandungnya

kemungkinan mempunyai sifat thalassaemia (Thalassaemia minor), tetapi tidal< seorangpun dari anak-anak tersebut mempunyai

thalassaemia mayor.

3. Apabila ayah mempunyai darah normal dan ibu mempunyai sifat thalassaemia, maka beberapa dari anak-anak kandungnya mungkin mempunyai sifat thalassaemia (thalassaemia minor), tetapi tidak seorangpun dari anak-anak terseibut akan mempunyai thalassaemia mayor.

4. Apabila ayah dan ibu masing-masing mempu1111ai sifat

(45)

2.2.4. Akibat Penyakit Thalassae1nia

Adapun akibat dari penyakit thalassaemia (Yayasan Thalassaemia Indonesia, 1987) antara lain:

1. Muka terlihat pucat. Karena haemoglobin sebagai pemberi warna merah pada sel-sel merah dan membawa ッォウゥセQ・ョ@ ke seluruh tubuh jumlahnya sangat kurang, sehingga menyebabkan berkurangnya

produksi haemoglobin dan mudah rusaknya sel darah merah.

2. Limpa membesar, dan diangkat. Limpa beriungsi untuk membersihkan (menghancurkan) sel darah yang sudah rusak, selain itu limpa juga beriungsi untuk membentuk sel darah merah pada janin. Pada penderita thalassaemia, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat untuk memproduksi sel darah merah lebih banyak. Pada suatu saat limpa dapat merugikan, hal ini terjadi bila aktifitas limpa berlebihan dalam mengllancurkan sel darah. Akibatnya haemoglobin penderita cepat

(46)

31

3. Terjadinya perubahan bentuk tulang muka. Surnsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka adalah salah satu tulang pipih. Pada thalassaemia karena tubuh selalu kekurangan darah, rnaka pabril< sel darah merah dalam sel sumsurn tulang pipih akan berusaha memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang meningkat maka sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka pembesaran ini dapat dilihat dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak antara kedua rnata menjadi jauh, tulang pipi menonjol.

4. Transfusi darah dan suntikan obat Desferal seumur hidup.

5. Frekuensi penderita penyakit thalassaemian terus meningkat, dengan penderita sekitar 2000 orang per tahun.

2.2.5. Cara-cara Mencegah Kelahiran Penderita Thalassaemia

Kelahiran penderita thalassaernia dapat dicegah dengan 2 cara (Yayasan Thalassaemia Indonesia, 1987), yaitu:

1. Mencegah perkawinan antara 2 orang pembawa sifat thalassaernia 2. Merneriksa janin yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat, dan

(47)

Sebaiknya semua orang indonesia dalam masa subur diperiksa kemungkinan membawa sifat thalassaemia. Karena frekuensi pembawa sifat thalassaemia di Indonesia berkisar antara 6-10%, artinya setiap 100 orang ada 6 orang sampai 10 orang pembawa sifat thalassaemia. Tetapi apabila ada riwayat sepe1ii di bawah ini, pemeriksaan pembawa sifat thalassaemia sangat dianjurkan:

1. Ada saudara sedarah yang menderita thalassaemia.

2. Kadar haemoglibin relatif rendah, walaupun sudah minum obat penambah daral1 seperti zat besi.

3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun

haemoglobinnya normal, ini bisa diketahui dengan eek darah ke dokter.

2.2.6. Dampak Psikososial pada Anak dan ()rang Tua Akibat

Penyakit Thalassaemia

(48)

dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau

menanggulangi stresor yang timbul. DSM IV membagi stresor menjadi stresor

yang akut yang berlangsung kurang dari 6 bulan dan keadaan yang bertahan yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Penyakit thalassaemia dapat

digolongkan sebagai stresor psikososial oleh karena pacla diri pasien te1jadi perubahan yang berkesinambungan sehingga dapat dianggap sebagai keadaan yang bertahan.

Penderita thalassaemia mengharuskannya transfusi darah tiap bu Ian,

keadaan ini merupakan stresor terberat karena mengancam kehidupan atau eksistensi penderita thalassaemia. Keadaan ini merupakan stresor frsik bagi penderita thalassaemia tetapi tidak bisa diatasi sendiri oleh penderita

thalassaemia tetapi harus ditanggulangi bersama orangtua, keluarga dan rumah sakit, maka stresor ini juga merupakan stresor psikososial bagi keluarga.

(49)

dalam dirinya, contohnya adalah pendidikan (sekolah) yang tetap harus dijalankannya meskipun berada dalam keadaan sakit.

Penurut penelitian Nash (dalam Edith, 2001) thalassaemia merupalzan stresor seumur hidup bagi anak maupun orang tuanya. Hal ini disebabkan karena anak bergantung baik secara fisik maupun psikis pada orang tuanya, semua kebutuhannya harus dipenuhi dan disediakan oleh orang tuanya. Apa yang terjadi pada anak akan berpengaruh terhadap orang tua dan sebaliknya keadaan afektif, sikap dan perilaku orang tua akan berpengaruh terhadap anak. Sehingga mental orang tua berpengaruh terhadap anak. Anak yang menderita thalassaemia harus mampu menyesuaikan diri dengan

penyakitnya sedangkan orang tua harus dapat menerima mempunyai anak yang menderi!a thalassaemia dan menyesuaikan diri clengan keaclaan anaknya.

(50)

pada wanita juga dapat menjadi salah satu faktor yang menurunkan

self-esteem

mereka.

2.3. lbu

2.3.1. Pengertian ibu

35

Dalam kamus besar bahasa indonesia ( 1989) kata ibu didefinisikan sebagai sebutan untuk orang perempuan yang telah melahirkan, wanita yang telah bersuami, panggilan ta'zim bagi wanita.

Menurut Ali Qaimi (2002) ibu adalah sosok yang mulia, sehingga Ali Qaimi mendefinisikan ibu dengan beberapa definisi antara lain yaitu:

1. lbu adalah sumber mata air terpenting yang mimgalirkan

ketenangan, kebahagiaan, dan kecintaan dalam keluarga. Sosok seorang ibu sangat berperan penting dalam IT!Ellahirkan

ketentraman, kedamaian, kemampuan, kekuat<>n. dan kebebasan dalam jiwa anak (Ali Qaimi, 2002).

(51)

diliputi kebahagiaan dan kedamaian, dan 「・イセZ。エ@ tindakan-tindakannya, sebuah rumah akan menjadi kota impian.

Pengaruh ibu dalam pembentukan kepribadian sang anak sangatlah dominan. Dengan jari-jarinya yang lembut, seorang ibu akan mengelus anaknya. Dengan hati yang dilipu!i kecintaan, dirinya akan berusaha

menumbuhkan semangat dalam diri anak. Dengan belaianya yang halus, ibu akan mampu menghilangkan kesedil1an dan meredakan kepiluan dalam dalam hati anaknya (Ali Qaimi, 2002).

2.3.2. Karakteristik lbu

(52)

tanpa pamrih akan menghadapi berbagai bahaya seraya melupakan kelezatan dan keindahan hidup (Ali Qaimi, 2002).

Seorang ibu akan rela berkorban, sifat pengorbanan ini merupakan

perwujudan dari nilai-nilai kemuliaan dirinya. Tanpa mempedulikan dirinya sendiri, ia akan mengarahkan perhatian serta usahanya semata-mata demi mewujudkan tujuan-tujuan anaknya (Ali Qaimi, 2002).

37

Kasih sayang ibu tidak ada batasnya kepada anak-anaknya, ibu bersedia menanggung segala macam duka-derita, kalau saja ウQセュオ。@ pengorbanan dan kesenduannya itu bisa menumbuhkan kebahagiaan, kele1starian dan

keselamatan anaknya. Dengan segala upaya ibu akan berusalla untuk melindungi anaknya dari segala macam mara bahaya yang bersifat lahiriah seperti penyakit keturunan, cacat, dan buta maupun batiniall seperti memberikan makanan yang sehat dan menyusui (Kartini kartono,

1992).

(53)

Ketika anak jatuh sakit, seorang ibu akan terjaga dan misngawasinya sepanjang malam dengan hati yang pilu tanpa sedikitpun merasa lelah dan letih (Ali Qaimi, 2002).

(54)

BAB3

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab 3 ini penulis akan uraikan rnengenai rnetodologi penelitian yang rneliputi: pendekatan dan rnetode penelitian, teknik pengurnpulan data, instrurnen penelitian, pedornan wawancara, alat perekarn, lernbar observasi, dan prosedur penelitian

3.1. Pendekatan Penelitian

Perilaku coping yang ditarnpilkan oleh ibu yang rnernpunyai anak penderita penyakit thalassaernia rnerupakan hal yang sifatnya subjektif pada setiap individu, sehingga penggunaan pendekatan kualitatif clalarn penelitian ini lebih tepat, karena peneliti berrnaksud rnernperoleh data yang rnendalam untuk mengungkap tentang bagairnana perilaku coping ibu yang rnempunyai anak penderita thalassaernia. Selain itu, peneliti tidak berusaha untuk

(55)

3.2. Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, hal ini dipilih

karena seperti yang dikemukakan oleh Yin, "Penelitian tidak memiliki kontrol

atas kejadian-kejadian yang (telah) berlangsung, studi kasus sendiri dapat

pula memberi nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik mengenai

fenornena individual serta dapat digeneralisasikan keproposisi teoritis".

Secara umurn study kasus sebagai salah satu rnetode yang dipakai dalam

penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial, urnurnnya stucli kasus digunakan bila

pertanyaan-pertanyaan yang tirnbul dari topik penelitian sebagian besar

berupa "bagaimana dan mengapa". Peneliti tidak memiliki kontrol alas

kejadian-kejadian yang berlangsung, dan fokus dari penelitian adalah

fenomena saat ini dalam konteks kehidupan sesungguhnya (Yin, 2004 ).

Yin menyatakan dalam study kasus terdapat dua pola yaitu single case

design clan multiple case design. Dalam single case design digunakan pada

pengalaman tunggal, mewakili sebuah kasus yang unik atau ekstrim, dan

menganalisa kasus yang tidak dapat dianalisa secara penelitian ilmiah.

Sedangkan pada multiple case design menggunakan responden lebih dari

(56)

41

karena setiap kasus memiliki replikasi pada masing-masing kasus. Setiap kasus harus dipandang secara menyeluruh dan terfokus.

Pada penelitian ini menggunakan pola multiple case design karena menggunakan lebih dari satu responden, dengan pola ini diharapkan dapat memperoleh gambaran secara menyeluruh dan mendalam tentang penghayatan responden terhadap keadaan yang dialaminya.

3.3. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah para ibu yang mempunyai anak menderita thalassaemia, yang memiliki karakteristik sebagai berikut

1. lbu yang mempunyai anak yang menderita penyakit thalassaemia, baik thalassaemia minor dan mayor.

2. Pendidikan minimal SMA/setara. Hal ini dimaksudkan agar subyek lebih mudah memahami maksud pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dan dapat memberikan jawaban yang cukup jelas.

[image:56.595.33.450.151.504.2]
(57)

berantai dengan meminta informasi pada orang yang telal1 diwawancarai atau dihubungi sebelumnya.

Poerwandari (2001) mengutip dari Patton (1980) menyatakan bahwa penelitian kualitatif tidak menentukan jumlah subjek yang digunakan, yang terpenting adalah kekayaan data yang diperoleh, sehingga penelitian

kualitatif cendrung menggunakan subjel{ yang sedikit. SE:ilain itu juga karena penelitian ini menekankan pada proses dan kedalaman yang dihayati secara subjektif bukan pada generalisasi, maka penelitian ini ha.nya akan

menggunakan tiga orang ibu sebagai subjek penelitian yang terdiri dari satu

ibu yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia minor dan dua orang ibu yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia mayor, adapun penggolongan ini tidak bermaksud apa-apa, hanya saja peneliti ingin memaparkan bagaimana perilaku coping ibu yang mempunyai anak

menderita penyakit thalassaemia minor dan thalassaemia mayor.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

(58)

wawancara akan dilakukan dengan teknik terbuka terstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan telah dibuat secara jelas dan terinci dalam bentuk catatan (pedoman wawancara).

43

Banister (1994, dalam Poerwandari 2001) menyatakan wawancara

merupakan percakapan dan Tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilal<ukan untuk memahami mal<na-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topil< yang diteliti, dan bermal<sud untuk melakukan eksplorasi terhadap masalall tersebut Wawancara bersifat flel<sibel, dapat diadaptasi sesuai kondisi subjek dan l<ebutuhan peneliti sehingga ia dapat mengulang perti;myaan untuk

memastikan bahwa pertanyaan yang diajui<an telall dimengerti olell subjek.

Selain menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara,

(59)

Adapun tujuan observasi dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan setting atau situasi lingkungan dan juga mendeskripsikan sikap dan tingkah laku subjek penelitian.

3.5. Instrument Penelitian

3.5.1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang akan diteliti (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan teori pada bab dua dan

permasalahan pada bab satu. Pedoman wawancara mengacu pada teori yang dirangkum dari beberapa penelitian mengenai perilaku coping.

[image:59.595.33.448.150.654.2]

Pedoman wawancara yang telah dibuat, diajukan kepada dosen pembimbing untuk diperiksa, kemudian diadakan perbaikan-perbaikan jika diperlukan.

Tabel 3.5.1. Kisi-kisi Pedoman Wancanwara

Perilaku coping

Coping pada masalah Coping pada emosi

-1 . Coping aktif 1. Mencari dukungan emosional

2. Perencanaan 2. Mengambil hikmah dibalik 3. Mengesampingkan kejadian

aktivitas pesaing " _). Penolakan

4. Manahan diri 4. Penerimaan

5. Mencari dukungan 5. Kembali pada keyakinan/agama

(60)

·-45

3.5.2. Alat Perekam

Alat perekam digunakan agar peneliti dapat berkonsentrasi penuh pada proses wawancara. Penggunaaan alat perekam juga dapat meminimalkan bias. Selain itu juga agar peneliti dapat memutar ulang hasil wawancara yang telah dilakukan. Adanya alat perekam mungkin dapat membuat subjek

merasa tidak nyaman, oleh karena itu sebelum wawancara dilakukan peneliti akan meminta izin kepada subjel< untuk menggunakan alat perekam

sehingga wawancara dapat berjalan dengan lancar. Dalam penelitian ini menggunakan MP4 sebagai alat perekam.

3.5.3. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan sebagai pedoman untuk melakukan

pengarnatan terhadap gambaran fisik subjek, sikap, perilaku subjek selama wawancara berlangsung, keadaan tempat wawancara, gambaran fisik subyek dan hambatan-hambatan selama wawancara.

3.6. Teknik Analisa Data

(61)

dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (Lexy J. Moleong, 2000). Oleh karena itu, teknik analisa data yang penulis lakukan adalah dengan menggambarkan data hasil rekaman secara kualitatif, untuk memberikan makna pada data tersebut dan menjelaskan pola atau kategori, dan mencari hubungan antar berbagai konsep. Kemudian hasil wawancara yang telah dilaksanakan akan diverbatimkan kedalam lembar yang telah disiapkan untuk dikelompokan-kelompokan kedalam teori yang sesuai dengan keadaan subjek yang sebenamya. Dan pada tahap akhir, semua data dapat diinterpretasikan dengan bahasa yang mudah dipahami.

3.7. Prosedur Penelitian

3.7 .1. Ta hap persiapan

Sebelum melakukan tahap penelitian ini, maka peneliti melakukan persiapan sebagai berikut:

1. Peneliti menyusun pedoman wawancara yimg berhubungan dengan keadaan ibu dan anak penderita thalassaemia beserta masalah-masalah yang terjadi dan coping.

(62)

47

3. Melakukan perbaikan dan tambahan yang diperlukan terhadap pedoman wawancara.

4. Merumuskan verbalisasi untuk wawancara.

5. Membuat surat kesedian responden untuk di wawancarai.

3.7.2. Tahap Pelaksanaan

Setelah persiapan untuk melauan wawancara dilakukan, kemudian langkah selanjutnya yaitu:

a. Penelliti mencari subjek yang sesuai dengan judul penelitian.

b. Peneliti mendatangi subjek penelitian dan meminta

kesediaannya untuk menjadi subjek penelitian, dengan mengisi surat kesediaan.

c. Setelah subjek bersedia, peneliti menjelaskan kembali maksud diadakannya penelitian ini dan peneliti meminta ijin untuk menggunakan alat perekam pada saat wawancara

(63)

d. Wawancara dilakukan di kediaman para subjek, hal ini dilakukan agar subjek merasa nyaman ketika wawancara berlangsung.

(64)

BAB4

Hasil Penelitian

Pada bab 4 akan penulis uraikan bagaimana l1asil pengolahan data yang terkumpul, meliputi gambaran umum subjek penelitian, observasi umum kasus, observasi khusus kasus, gambaran kasus, analisa kasus, dan perbandingan antar kasus.

4.1. Gambaran Ummn Subjek Penelitian

Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yaitu 1 ibu yang mempunyai anak yang menderita thalassaernia minor dan 2 ibu yang

mempunyai anak yang menderita thalassaemia mayor. Data dalam penelitian ini penulis dapatkan dari wawancara dengan subjek y;:1itu ibu yang

mempunyai anak yang menderita penyakit thalassaemia minor dan mayor.

(65)
[image:65.595.27.457.127.564.2]

Table 4.1. Gambara111 Umum Subjek Pe111elitian

Keterangan E

s

H

Usia 32 Tahun 50 Tahun 32 Tahun

Pekerjaan Guru TK Dagang lbu Rumah

Tangga

Agama Islam Islam Islam

Pendidikan 01 SMA SMA

Anak yang JK A F

Thalassaemia

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan LakHaki

Usia 10 Tahun 15 Tahun 15 bulan

Anak Ke 1 dari 1 4 dari 4 2 dari 2

bersaudara bersaudara bersaudara

Lama Penyakit 3 Tahun 9 Tahun 7 Bulan

Jen is Thalassaemia Thalassaemia Thalassaemia

(66)

4.2. Gambaran dan Analisa kasus

4.2.1. Kasus E

51

E adalah seorang ibu berusia 32 tahun. Memiliki berat badan sekitar 48 kg dan tinggi badan 154 cm. E cendrung memiliki bentuk muka tirus, bentuk tubuh seimbang antara berat badan dan tinggi badan, berkulit sawo matang dab rambut pendek sebahu berwarna hitam. E mengenakan kaos panjang berwarna merah muda dan dipadukan dengan celana hitam, tidak

berkrudung, rambutnya tergerai dengan tidak menggunakan make-up dan asesoris apapun.

Ketika diminta untuk menjadi responden dalam penelitian ini, E langsung bersedia sambil tersenyum dan berkata:

"tapi nanyanya jangan yang susah-susah yah .. na .. "

Sebelum wawancara dilakul<an, penulis terlebih dahulu mengadakan pendekatan dengan E dengan bersilaturahmi ke rumah E di Bandung tepatnya di Soreang, agar E bersedia menjadi responden dalam penelitian.

(67)

Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Juli 2008 mulai pukul 09.00 sampai dengan 15.00 WIB. Wawancara dilakukan di tempat tinggal Edi sebuah kontrakan berukuran 3 X 15 meter di kawasan padat penduduk.

Awai wawancara E kelihatan sedikit canggung dan malu-malu dalam menjawab pertanyaan. Namun setelah dijelaskan bahwa pertanyaan yang akan diberikan bukan untuk dinilai benar atau salah dan data yang diambil akan benar-benar dijaga kerahasiaannya, E baru mengerti sehingga sedikit santai dan tidak malu-malu dalam menjawab pertanyaan.

E mempunyai seorang suami dengan 1 orang anak yaitu JK yang rnenderita penyakit Thalassaemia dan masih duduk di bangku sekc1lah dasar kelas 5. E bekerja sehari-hari sebagai guru TK sejak tahun 2004, siedangkan suaminya mempunyai pekerjaan yang tidal< menetap atau biasa di sebut dengan kerja serabutan. Wawancara dilakukan terhadap Edan JK.

Anaknya yaitu JK adalah seorang anak laki-laki berusia

·to

tahun yang telah terdeteksi menderita thalassaemia minor pada akhir tahun 2004 yang lalu.
(68)

53

penyakit paru-paru, 2 hari kemudian JK di diagnosa mernpunyai penyakit Bronhitis, dan setelah JK melakukan macarn-macam tes yang dianjurkan oleh dokter barulah pada hari ke 5, JK terdeteksi mempunyai kelainan pada darahnya dan diketahui JK menderita penyakit Thalassaemia.

Pada saat rnenjawab pertanyaan tentang awal mula anaknya terdeteksi rnenderita penyakit thalassaemia, E merendahkan volume suaranya dan terlihat sedikit rnengeluarkan air mata.

Pada waktu E diberi tahu oleh dokter mengenai penyakit thalassaemia, E

sebelumnya tidak pernah mendengar penyakit thalassaemia, E juga tidak mengetahui darnpak apa yang akan terjadi pada anaknya. Akl1irnya dokter menjelaskan kepada E dengan hati-hati dan perlahan-lahan rnengenai penyakit thalassaemia, rnulai dari penyebab penyakit thalassaernia yaitu karena faktor turunan, cara bertahan hidup dengan transfusi darah seurnur hidup, sampai dampak apa yang akan te1jadi pada anaknya yang menderita penyakit tl1alassae111ia seperti perut anak menjadi rnembesar karena lirnpa rnernbengkak.

(69)

tidak ada, /alu dari siapa penyakit thalassaemia ini diturunkan? (suaranya melemah) ibu sempat binggung dan merasa bersalah ke>pada anak ibu karena mungkin karena ibu, JK menderita penyakit thalassaemia, penyakit y;:mg di derita oleh JK seumur hidupnya ... kemudian dokt.er juga menjelaskan kepada ibu bahwa penyakit thalassaemia be/um ada obatnya dan cara untuk mempertahankan hidup JK hanya dengan transfusi darah satu atau dua kali sebulan, ibu harus mencari cara bagaimana JK bisa di transfusi darah, dengan cara apapun akan ibu jalankan, asa/ JK tetap hicfup"(wawancara di rumah subkek, 4 juli 2008, pukul 11.05 wib).

E merasakan masalah yang paling berat saat itu adalah untuk menerima kenyataan bahwa anaknya terdeteksi menderita penyakit thalassaemia.

Responnya pertama kali saat ia mengetahui anaknya menderita penyakit thalassaemia adalah menangis, takut, kaget dan kesedihan yang mendalam.

"waktu itu ... (suaranya pelan dan berat) ibu merasa sedih ... sedih banget .. , sempet ga percaya, kenapa anak ibu menderita penyakit tha/assaemia? /bu ga tega, ngeliat JK darah daging ibu, tergolek lemas, pucat, dan teriak kesakitan pada waktu pe1tama kali JK menerima transfusi darah "(sambil menangis dan mencoba menirukan teriakan anaknya), ibu se/a/u menemani anak ibu, setiap ia transfusi darah" (wawancara di rumah subjek, 4 Juli 2008, pukul 11.20 WIB).

(70)

55

bersama. JK jug a menjadi lebih pendiam, dalam belajar JK menjadi menurun, dalam makan JK menjadi lebih susah makan, dan badan JK menjadi lemas dan tak bergairah.

E merasakan beban ini sangat berat, karena E harus membangkitkan semangat anaknya, selain itu juga E harus mencari jalan agar anaknya bisa terus mendapatkan iransfusi darah secara rutin, rupiah demi rupiah E

ォオューオャャセ。ョ@ untuk transfusi dan obat anakknya, dengan pendapatan bulanan

E sebagai guru TK di desa, dengan penghasilan suami yang tidak menentu sampai dengan mencari-cari pinjaman kepada saudara. Selain itu juga E di hadapkan dengan masalah tetangga yang rnenjauhkan diri dengan keluarga E, karena ada anggapan dari tetangga yang menyebutkan bahwa penyakit yang di derita oleh JK adalah penyakit yang rnenular yang dapat

menyebabkan anak atau anggota keluarga menjadi pucat, lemes, dan kurang bergairah dalam hidup.

(71)

JK untuk tetap semangat" (wawancara di rumah subjelk, 4 Juli 2008, pukul 12.35).

E dalam menghadapi masalahnya selalu membutuhkan teman bicara untuk sedikit mengurangi tekanan yang timbul dari masalah-masalahnya. Seperti pada waktu pertama kali JK di deteksi menderita penyakit thalassaemia, E menceritakannya kepada saudara apa yang dialami oleh anaknya, menurut E dengan E menceritakan masalah-masalahnya kepada orang terdekat, E merasa masalahnya menjadi lebih ringan.

"masalah-masalah yang ibu hadapi se/alu ibu serahkan kepada Allah, ibu bertawaka/ aja, karena ibu tahu Allah memberikan col>at:m kepada ibu yang berat karena ibu mampu menjalankan cobaan itu (sambil mata berkaca-kaca), suami ibupun se/alu menenangkan ibu, bi/a ibu sudah terlihat tidak kuat melihat keadaan JK, dengan menginggatkan ibu untuk mengembalikan sega/a yang tetjadi kepada Allah" (wawancara di rumah :subjek, 4 Juli 2008, pukul 13.40).

Hampir setiap malam E bangun untuk melaksanakan shalat tahajud meminta kepada Allah agar anaknya selalu diberikan kesehatan dan umur yang

panjang sampai anaknya mempunyai keluarga. E yakin dengan adanya masalah-masalah yang E hadapi, pasti ada hikmah yang bisa E petik.

(72)

57

"walaupun banyak masalah yang ibu hadapi, tetapi ibu senantiasa berharap bahwa anak ibu bisa hidup lebih lama sampai anak ib11 berkeluarga, dan bisa menjadi orang yang berguna bagi dunia dan akhirat, mejadi anak yang

shaleh, dan bisa membanggakan keluarga. /bu senantiasa mendoakan yang terbaik untuk anak ibu".

Analisis Kasus

Coping

yang ditampiikan

Masalah paling berat yang dirasakan oleh E adalah pe1nerimaan pertama kali anaknya terdeteksi penyakit thalassaemia. E menunjukkan coping

penolakan (denial) dimana ia menolal' dan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Selain itu juga ia merasa bersalah kepada anaknya karena rnungkin anaknya menderita penyakit thalassaemia disebabkan turunan darinya. Untuk mengurangi bebannya, ia mencari dukungan em1:isi dengan bercerita dan berbagi duka dengan saudara (seeking social support for emotion

reasons) yang termasuk kedalam coping yang berpusat pada masalah (emotional focused coping).

Selain itu, ia juga menampilkan coping menahan diri (restraint coping) yang termasuk ke dalam coping yang berpusat pada masalah (problem focused coping) dengan merahasiakan penyakit JK kepada tetangga. Sambil

(73)

Sehingga dapat disimpulkan, E dalam menghadapi masalahnya

menampilkan coping yang terpusat pada masalah dan coping yang berpusat pada emosi. Adapun coping yang berpusat pada masalah yang ditampilkan oleh E antara lain: menahan diri (restraint coping) dan meminta bantuan (seeking social support for instrumental reasons), sedangkan coping yang berpusat pada emosi yang ditampilkan oleh E antara lain: penolakan (denial), mencari dukungan emosi (seeking social support for emotion reasons), memasrahkan diri pada agama (turning to relii7ion), mengambil hikmah (positive reinterpretation and growth), dan penerimaan

(acceptance).

4.2.2. Kasus S

(74)

60

Sebelum kegiatan wawancara di lakukan, penulis terlEibih dahulu

mengadakan pendekatan dengan S dengan cara datang kerumahnya 3 hari sebelum wawancara guna mendapatkan kenyamanan dan keakrabatan antara penulis dengan S, sehingga pada saat penulis meminta kesediaan S untuk menjadi responden dalam penelitian, S langsung bersedia membantu penulis untuk menjadi sampel penelitian.

Wawancara dilakukan selama dua harL Wawancara pertama dilakukan pada hari Jumat 11 Juli 2008 pukul 10.00 sampai pukul 12.00 \NIB, wawancara pertama ilanya sebentar karena S mempunyai kesibukan yang tidak bisa diganggu, sehingga wawancara dilanjutkan keesokan harinya yaitu pada hari Sabtu 12 Juli 2008 mulai pukul 08.00 sampai dengan 14.00 WIB. Wawancara pertama dan kedua dilakukan di tempat tinggal responden, di sebuah

kontrakan 3 petak, !epatnya di petak pertama yaitu ruang tamu ケ。ョセャ@

merangkap sebagai ruang santai keluarga karena ada sebuah televisi berukuran 14 in.

(75)

kontak mata dan terkadang membelai penulis ketika menjawab pertanyaan.

S seorang janda yang telah di tinggal oleh suaminya 3 tahun yang lalu karena sakit komplikasi, S memiliki 4 orang anak. Anaknya terdiri dari tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan. Ketiga anak tertua telah menikah dan

mendapatkan 4 orang cucu dari mereka, sedangkan anal< bungsunya tinggal

bersamanya.

Pada saat S menceritakan kehidupannya yang secara tiba-tiba di tinggal oleh suaminya dan harus menjadi tulang punggung menggantikan suaminya, S bercerita dengan volume suara yang rendah, dan makin lama suaranya terdengar semakin gemetar, selain itu S mengusap matanya yang saat itu terlihat sedikit mengeluarkan air mata.

S adalah seorang ibu yang setiap hari berjualan nasi uduk, dan lontong, di ujung gang rumahnya. S tinggal bersama anak bungsunya yang perempuan yaitu A.

(76)

62

•penrnucm rpE1rras, BkElrn ttetapi setelalfl ttil!Ja !lrraTii ikamiwtiiarn \ke.ooaarnAttmlk juga merribalk, melairlkan 'keaaaarn A menjadi meniburLik 'karena 'batian A 'terlihat biru seperti kehabisan darah. Akhirnya S membawa A ォ・セ@ Rumah Sakit besar di Bogor, A langsung mendapatkan perawatan intensif dari dokter, karena S tidak mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh A,

membuatnya di marahi oleh dokter, karena apabila S terlambat sedikit membawa A ke Rumah Saki!, A bisa kehilangan nyawanya akibat kekurangan darah.

Akhirnya A dirawat di Rumah Saki!, A menjalani beberapa tes darah, dari tes darah tersebut barulah S mengetahui bahwa A menderita penyakit

thalassaemia, sehingga A harus ditransfusi darah. setelah A mendapatkan

Gambar

Gambaran Umum Subyek Penelitian
Tabel 3.5.1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara .......................................... 44
gambaran secara
Tabel 3.5.1. Kisi-kisi Pedoman Wancanwara
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS yang terterah pada kolom t pada tabel Coefficients di atas untuk menunjukan hubungan linier antara Variabel

Adapun hubungan PAD dengan Pertumbuhan Ekonomi yang sejalan dengan penelitian dari Harianto (2007) dimana PAD merupakan salah satu sumber pembelanjaan daerah, jika

Pada masa percobaan kolonisasi ini penempatan kolonis dipusatkan di 3 desa kolonisasi yang berada di daerah Rejang, yaitu desa Aer Sampiang, Permu ( Kepahiang),

4) Catatan akuntansi yang digunakan dalam sistem pengadaan kendaraan dinas dengan mekanisme pelelangan di Kabupaten Karanganyar antara lain register SPP-LS,

[r]

Modifikasi yang dilakukan antara lain memodifikasi bentuk rangka dan menggunakan bahan yang lebih kuat dari sebelumnya, mengatur letak alat ukur pada suatu panel, menambahkan

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,

12 Saya beranggapan bahwa dosen mampu meningkatkan minat mahasiswa untuk tertarik dengan mata kuliah yang diajarkan. 13 Dosen menjelaskan materi yang