ANALISIS KUALITAS AIR SITU BUNGUR CIPUTAT
BERDASARKAN INDEKS KEANEKARAGAMAN
FITOPLANKTON
APDUS SALAM
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Situ adalah suatu genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk
secara alami yang airnya berasal dari tanah dan air permukaan (air hujan dan air
limpasan). Situ merupakan danau yang berukuran kecil hingga sedang. Sebagai
siklus hidrologis yang potensial, situ berfungsi sebagai sumber air, irigasi, air
baku air minum, pengendali banjir dan kegiatan lainnya. Situ juga berfungsi
sebagai penampung air hujan, mata air maupun air sungai, budidaya perikanan,
serta ekowisata alam dan lain sebagainya, dengan fungsi ini sangat
memungkinkan situ tersebut tercemar oleh bahan-bahan pencemar (Morganof,
2007).
Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari
beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida,
sedimen dan bahan-bahan lainnya. Keberadaan bahan pencemar tersebut dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai
lagi dengan peruntukannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan,
pariwisata dan sebagainya (Morganof, 2007).
Perubahan kualitas perairan, erat kaitannya dengan potensi perairan terutama
ditinjau dari keanekaragaman dan komposisi fitoplankton. Keberadaan
fitoplankton ini di suatu perairan dapat memberikan informasi mengenai kondisi
dijadikan indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan suatu
perairan. Adanya jenis fitoplankton yang dapat hidup dan blooming karena zat
tertentu. Sehingga dapat memberikan gambaran mengenai keadaan suatu perairan
yang sesungguhnya (Fachrul, 2005). Fitoplankton juga merupakan penyumbang
oksigen terbesar di dalam suatu perairan, dan pengikat awal energi matahari
dalam proses fotosintesis, sehingga berperan penting bagi kehidupan perairan.
Wilhm (1975), mengklasifikasikan tingkat pencemaran air berdasarkan indeks
keanekaragaman plankton, dimana jika H’< 1 maka kondisi perairan tercemar berat, H’ = 1-3 maka kondisi perairan tercemar ringan, dan H’> 3 maka kondisi perairan tidak tercemar. Situ Bungur digunakan sebagai sumber air minum
berbagai jenis binatang baik besar maupun kecil yang tinggal di sekitarnya, dan
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk penambakan ikan serta tempat
pemancingan. Adanya tekanan-tekanan lingkungan di sekitar situ seperti
pembuangan limbah dan sampah ke pinggir dan badan situ oleh penduduk
sekitarnya menyebabkan penurunan kualitas perairan situ. Penurunan kualitas air
ini akan mempengaruhi biota yang ada di perairan tersebut di antaranya adalah
fitoplankton. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas perairan tersebut perlu
dilakukannya penelitian tentang keanekaragaman fitoplankton sebagai
1.2.Rumusan Masalah
a. Bagaimana keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur?
b. Bagaimana kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman fitoplankton
Situ Bungur?
1.3.Hipotesis
a. Keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur adalah rendah.
b. Kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman fitoplankton Situ Bungur
adalah tercemar berat.
1.4.Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui keanekaragaman fitoplankton di Situ Bungur.
b. Untuk mengetahui kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman
fitoplankton Situ Bungur.
1.5.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
sebagai:
1. Informasi mengenai kondisi kualitas air di Situ Bungur berdasarkan indeks
keanekaragaman, keseragaman, dominasi, dan kelimpahan fitoplankton
sebagai informasi analisis kualitas air.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Profil Situ Bungur
Situ Bungur merupakan salah satu Situ yang berada di Provinsi Banten
Kelurahan Pondok Ranji Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Kabupaten Tangerang, dengan luas 32.500 m2. Situ ini berlokasi di Rw.01 Jalan
Menjangan 3 dan dikelilingi oleh 2 Rt yakni Rt.03 dan Rt.04. Menurut keterangan
pegawai Kelurahan Pondok Ranji (Pemda setempat) bahwa air buangan limbah
dari rumah tangga ke perairan Situ sebanyak 3 Rw yakni Rw.01, 03, dan 15 dan 4
Rt yakni Rt.03, 04, 01, dan 06 dengan jumlah penduduk masing-masing yaitu ±
250 jiwa (Rt.03), ± 200 jiwa (Rt.04), ± 200 jiwa (Rt.01), ± 200 jiwa (Rt.06). Situ
ini dikelola oleh Pemerintah Provinsi Banten pada peraturan Pemerintah No.6
tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik Negara atau Daerah.
2.2. Pencemaran Air
Menurut Achmad (2004), air merupakan senyawa kimia yang sangat
penting bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Fungsinya bagi
kehidupan tidak akan dapat digantikan oleh senyawa lainnya. Hampir semua
kegiatan yang dilakukan oleh manusia membutuhkan air, mulai dari
membersihkan diri (mandi), membersihkan ruangan tempat tinggal dan
menyiapkan makanan dan minuman serta aktifitas-aktifitas lainnya. Dalam
jaringan hidup, air merupakan medium untuk berbagai reaksi dan proses ekresi.
Perairan merupakan suatu potensi sumberdaya air utama yang sangat besar
dimiliki Indonesia. Tercatat 13,7 juta ha perairan darat yang kita miliki, meliputi
perairan danau, perairan waduk, perairan sungai, perairan lahan basah dan
perairan estuaria. Potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan dari perairan darat
adalah sebagai sumber air bersih, sumber produksi pangan dan pakan, sumber
energi dan sumber kenyamanan. Perairan merupakan suatu ekosistem yang
kompleks sebagai habitat dari berbagai jenis makhluk hidup, mulai dari ukuran
mikro sampai makro. Perairan yang alami mempunyai sifat yang dinamis dan
aliran energi yang kontinu selama sistem didalamnya tidak mengalami gangguan
atau hambatan seperti pencemaran (Lukman dkk, 2006).
Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman atau
punahnya populasi organisme perairan seperti benthos, perifiton, dan plankton.
Hal ini menyebabkan sistem ekologis perairan dapat terganggu. Sistem ekologis
perairan mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali lingkungan yang
lingkungan yang bersangkutan. Apabila beban pencemaran melebihi daya dukung
lingkungannya, maka kemampuan itu tidak dapat dipergunakan lagi (Nugroho,
2006).
Berdasarkan undang-undang no.23 tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup menyatakan, bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia. Sehingga kualitasnya
turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Polusi air merupakan penyimpangan
sifat-sifat air dari keadaan normal bukan dari kemurniannya. Adanya benda-benda
asing yang dapat menyebabkan air tersebut tidak dapat digunakan secara normal.
Biasanya benda-benda asing tersebut telah melebihi batas yang telah ditetapkan
sehingga tidak dapat digunakan secara normal untuk keperluan (Fardiaz, 1992).
Penurunan kualitas air (perairan) akibat limbah-limbah masyarakat sekitar
dapat menurunkan kualitas air tanah di sekitarnya melalui infiltrasi dan dispersi.
Infiltrasi merupakan masuknya air dan bahan-bahan terlarut ke dalam tanah,
sedangkan dispersi adalah percampuran bahan-bahan di dalam air secara fisika
dan kimia hingga homogen (Astirin dkk, 2002).
Indikator bahwa kualitas air lingkungan tercemar atau menurun adalah
dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati, yaitu:
4. Mikroorganisme dalam perairan (Sastrawijaya, 1991).
2.2.1. Perubahan pH Air
Nilai pH didefinisikan sebagai negatif logaritma dari konsentrasi ion
hidrogen dan nilai keasaman ditunjukkan dengan nilai 1-7 (asam) dan 7-14 (basa).
Kebanyakan perairan umum mempunyai nilai pH antara 6-9. Pada pH sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, kandungan
kation dan anion maupun jenis dan tempat hidup organisme (Goldman dan Horne,
1983).
Menurut Fardiaz (1992), variasi pH dipengaruhi oleh kandungan
karbondioksida, karbonat, asam organik, dan hasil pembusukan sisa tanaman
perairan. Perairan tawar mempunyai kisaran pH antara 4-10. pH dapat
mempengaruhi daya adaptasi biota akuatik dan aktifitas kimiawi di lingkungan
perairan. Sebagai salah satu parameter lingkungan perairan, pH tidak selalu stabil
karena dipengaruhi oleh keseimbangan antara CO2 dan HCO3- dalam perairan.
Reaksi CO2 di perairan menghasilkan ion hidrogen H+ dan ion karbonat HCO3-.
Konsentrasi ion H+ mempengaruhi pH, dengan semakin tinggi konsentrasi ion H+,
maka perairan cendrung asam.
2.2.2. Perubahan Suhu pada Air
Menurut Iskandar (2003), menjelaskan bahwa suhu merupakan faktor
penting di dalam perairan dan dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang
produktifitas fitoplankton, karena mempengaruhi laju fotosintesis dan kecepatan
pertumbuhan. Selain itu juga berpengaruh terhadap laju dekomposisi dan konversi
bahan organik menjadi bahan anorganik. Suhu yang optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton di daerah tropis berkisar antara 20-300C.
Suhu berhubungan erat dengan persediaan makanan. Di dalam air yang
hangat, kebutuhan akan bahan makanan relatif lebih banyak dengan air yang lebih
dingin (Odum, 1993). Suhu di perairan juga menetukan kadar oksigen yang
terlarut di dalamnya. Semakin tinggi suhu di suatu perairan, maka semakin kecil
kadar oksigen terlarut di perairan tersebut (Fardiaz, 1992).
2.2.3. Perubahan Bau, Warna dan Rasa pada Air
Perubahan bau, warna dan rasa pada air yang terkena pencemaran
dipengaruhi oleh zat-zat yang terdapat di dalamnya seperti zat organik,
mikroorganisme dan hasil metabolismenya serta lumpur hasil buangan industri
dan rumah tangga yang terlarut di dalam perairan tersebut (Fardiaz, 1992). Selain
itu menurut Wardhana (1995), perubahan tersebut juga diakibatkan oleh kegiatan
industri maupun rumah tangga yang limbahnya masuk ke dalam perairan.
Air yang normal tampak jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak
berbau. Air yang tidak jernih seringkali merupakan petunjuk awal terjadinya
polusi di suatu perairan. Rasa air seringkali dihubungkan dengan bau air. Bau air
Menurut Kristanto (2004), warna air di alam ini sangat bervariasi, misalnya
air di rawa-rawa yang berwarna kuning, coklat atau kehijauan, juga air sungai
yang biasanya berwarna kuning kecoklatan karena kandungan lumpur yang
tercampur di dalamnya dan air limbah yang yang berwarna coklat kemerahan
karena kandungan besi dalam jumlah yang tinggi.
2.2.4. Mikroorganisme dalam Perairan
Air merupakan habitat berjenis-jenis mikroba seperti alga, protozoa dan
bakteri. Dari sekalian banyak jenis mikroba yang bersifat patogen atau merugikan
manusia, ada beberapa jenis mikroba yang sangat tidak dikehendaki kehadirannya
karena mikroba tersebut merupakan patogen bagi perairan. Mikroba tersebut dapat
berperan sebagai indikator kualitas perairan (Nugroho, 2006).
Mikroorganisme merupakan makhluk mikroskopis yang pada umumnya di
lingkungan perairan dapat memakan, memecahkan dan menguraikan bahan
organik (Wardhana, 1995). Mikroorganisme berperan sekali dalam proses
degradasi bahan buangan organik, misal dari kegiatan industri yang dibuang ke
perairan baik sungai, danau maupun laut. Mikroorganisme akan berkembangbiak
jika buangan yang harus didegradasi cukup banyak, dan tidak menutup
kemungkinan dengan ikut berkembangbiaknya mikroorganisme patogen
2.3. Fitoplankton
Fitoplankton adalah makhluk renik yang melayang di permukaan air (Yatim,
2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton merupakan tumbuhan yang seringkali
ditemukan di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran mikroskopis dan
memiliki klorofil sehingga mampu membentuk zat organik dari zat anorganik
melalui fotosintesis.
Fitoplankton sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan
dimanfaatkan oleh organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan
penting dalam menunjang produktifitas perairan. Keberadaan fitoplankton dapat
dilihat berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang dipengaruhi oleh parameter
lingkungan (Lukman dkk, 2006).
Selain sebagai produsen primer, fitoplankton juga sebagai penghasil oksigen
terlarut di perairan bagi organisme lain (Kamali, 2004). Menurut Sachlan (1982),
fitoplankton termasuk kelompok alga yang terbagi ke dalam 7 divisio, yaitu:
1. Cyanophyta (alga biru) yang berada di air tawar dan air laut,
2. Chlorophyta (alga hijau) yang berada banyak di air tawar dan
sedikit di air laut,
3. Chrysophyta (alga kuning) yang berada di air tawar dan air laut,
4. Pyrrophyta (plankton) yang berada di air tawar dan air laut,
5. Euglenophyta yang berada di air tawar dan air payau,
7. Rhodophyta (alga merah) yang yang hanya hidup sebagai rumput
laut.
Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam fotosintesis untuk
menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar
mata rantai pada siklus makanan di perairan. Namun Fitoplankton tertentu
mempunyai peran menurunkan kualitas perairan apabila jumlahnya berlebih
(blooming). Tingginya populasi fitoplankton beracun di dalam suatu perairan
dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi ekosistem perairan, seperti
berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai
makhluk air lainnya. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa jenis
fitoplankton yang potensial blooming adalah yang bersifat toksik, seperti dari
beberapa kelompok Dinoflagellata, yaitu Alexandrium spp, Gymnodinium spp,
dan Dinophysis spp. Dari kelompok Diatom tercatat jenis Pseudonitszchia spp
termasuk fitoplankton toksik. Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan
keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menimbulkan ledakan populasi alga
berbahaya (Harmful Algae Blooms – HABs) (Aunurohim, 2008).
Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara
lain karena adanya eutrofikasi adanya upwelling yang mengangkat massa air kaya
unsur-unsur hara, adanya hujan lebat dan masuknya air ke danau dalam jumlah
yang besar. Beberapa kejadian fatal yang disebabkan oleh fitoplankton beracun
tercatat di perairan Lewotobi dan Lewouran (Nusa Tenggara Timur), Pulau
Sebatik (Kalimantan Timur), perairan Makassar dan Teluk Ambon. Di beberapa
dampak kerugiannya yang tinggi. Beberapa penyakit akut yang disebabkan oleh
racun dari kelompok fitoplankton berbahaya adalah Paralytic Shellfish Poisoning
(PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning
(DSP). Racun-racun tersebut sangat berbahaya karena dapat menyerang sistem
saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan (Aunurohim, 2008).
Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan
sampai pada kedalaman dimana intensitas cahaya matahari masih memungkinkan
untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fitoplankton ini merupakan
komponen flora yang paling besar peranannya sebagai produsen primer di suatu
perairan (Odum, 1993). Fitoplankton merupakan parameter biologi yang dapat
dijadikan sebagai indikator untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan
suatu perairan. Fitoplankton juga merupakan penyumbang oksigen terbesar di
dalam suatu perairan. Pentingnya peranan fitoplankton sebagai pengikat awal
energi matahari menjadikan fitoplankton berperan penting bagi kehidupan
perairan (Fachrul, 2006).
Selaku organisme air, fitoplankton mempunyai banyak kelebihan sebagai
tolak ukur biologis yaitu mampu menunjukkan tingkat ketidakstabilan ekologi dan
mengevaluasi berbagai bentuk pencemaran. Setiap jenis fitoplankton berbeda
reaksi fisiologis dan tingkah lakunya terhadap perubahan kualitas lingkungan
(Astirin dkk, 2002). Pencemaran merupakan perusakan kualitas air akibat
Keberadaan fitoplankton di suatu perairan juga dipengaruhi oleh faktor
fisika, kimia dan biologi perairan di daerah tersebut (Odum, 1993). Perkembangan
fitoplankton sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari, temperatur dan
unsur hara. Pertumbuhan fitoplankton yang tinggi tidak hanya selalu
menguntungkan bagi kondisi perairan, tetapi juga dapat menyebabkan ledakan
populasi (blooming), sehingga dapat menghasilkan zat racun yang membahayakan
(Goldman dan Horne, 1983).
Struktur komunitas fitoplankton adalah suatu kumpulan populasi yang hidup
pada suatu daerah atau habitat tertentu yang saling berhubungan dan berinteraksi
atau mempunyai hubungan timbal balik dari zona tertentu (Odum, 1993), meliputi
indeks keanekaragaman, indeks dominasi, indeks keseragaman dan indeks
kekayaan spesies (Kamali, 2004).
Indeks keanekaragaman (diversitas index) spesies Shannon-Wiener yaitu
suatu perhitungan secara matematik yang menggambarkan analisis informasi
mengenai jumlah individu dalam setiap spesies, sejumlah spesies dan total
individu dalam suatu komunitas (Masson, 1981). Indeks keseragaman
(Ekuitabilitas) merupakan gambaran keseragaman sebaran individu dari jenis
fitoplankton dalam suatu komunitas (Odum, 1993). Indeks dominasi Simpson
menggambarkan ada tidaknya suatu spesies yang mendominasi pada suatu
komunitas. Hilangnya spesies dominan menimbulkan perubahan pada komunitas
biotik dan lingkungan fisiknya (Odum, 1993). Indeks kekayaan (richness index)
digunakan untuk mengetahui banyak sedikitnya taksa serta konsentrasi biota
2.4. Hubungan Fitoplankton Dengan Pencemaran Air
Fitoplankton berpotensi menjadi indikator terbaik dalam pencemaran organik.
Ada genera fitoplankton yang dikenal melimpah subur dalam daerah tercemar
tinggi dan hampir secara keseluruhan tercemar. Fitoplankton mudah untuk
dicuplik dan diidentifikasi yang membuat mereka di suatu perairan menjadi
indikator pencemaran yang baik (Sukandar, 1993).
Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi
yang dapat menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan
dasar produsen primer mata rantai makanan di perairan (Dawes, 1981).
Keberadaannya di perairan dapat mengambarkan status suatu perairan, apakah
dalam keadaan tercemar atau tidak (Lukman dkk, 2006).
Dalam suatu daftar ekstensif yang berisi 240 genera dan 725 spesies
fitoplankton yang dilaporkan toleran terhadap pencemaran, dari daftar ini
menghasilkan suatu indeks pencemaran fitoplankton yang dapat digunakan untuk
menghitung cuplikan air untuk pencemaran organik tinggi atau rendah, 20 genus
fitoplankton paling sering dilaporkan dalam jumlah besar ialah dalam daerah
tercemar tinggi disusun dan ditunjuk sebagai suatu jumlah indeks pencemaran
(Sukandar, 1993). Fitoplankton yang menjadi indikator pencemaran dalam
. 1 10
Gambar 2. Jenis-Jenis Fitoplankton Indikator Pencemaran Air (Sumber: Fukuyo)
Keterangan: 1. Phormodium, 2. Pyrobotrys, 3. Oscillatoria, 4. Chlorella, 5. Anacystis, 6. Nitzschia, 7. Tetraedron, 8. Phacus, 9. Stigeoclonium, 10. Agemenellum, 11. Lepocinclis, 12. Chlorococcum, 13. Ghomponema, 14. Chlamydomonas, 15. Lyngbya, 16. Carteria, 17. Anabaena, 18. Euglena, 19. Spyrogyra, 20. Chlorogonium, 21. Arthrospira.
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukkan tingkat kompleksitas
dari suatu struktur komunitas. Keanekaragaman juga menunjukkan pola distribusi
dari suatu spesies dalam suatu komunitas (Komala, 2000).
Kelimpahan fitoplankton memiliki hubungan positif dengan kesuburan
perairan. Apabila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan
tersebut cendrung memiliki produktifitas yang tang tinggi pula (Raymont, 1963
dalam Kamali, 2004). Basmi (1987), menggolongkan kesuburan perairan
Tabel 1. Kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton:
Kesuburan Perairan Kelimpahan plankton
Perairan Oligotrofik <2000 ind/L
Perairan Mesotrofik 2000-15000 ind/L
Perairan Eutrofik >15.000 ind/L
(Basmi, 1987)
2.5. Pengaruh Parameter Fisika dan Kimia Perairan Terhadap Pertumbuhan Fitoplankton
Pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti
intensitas cahaya, sifat fisika-kimia perairan, sehingga keberadaannya juga
mempengaruhi kondisi kualitas air suatu perairan. Kelangsungan hidup
fitoplankton sangat bergantung pada sikap lingkungan perairan yang menjadi
habitatnya, baik itu parameter fisika (yaitu: kecerahan, suhu, dan kedalaman),
maupun parameter kimia yaitu: pH, DO (oksigen terlarut) (Indriany, 2004).
1. Suhu (0C)
Suhu yang terlalu tinggi atau rendah pada air yang mengalami pencemaran
akan mengganggu kehidupan lingkungan. Suhu air ini perlu mendapatkan
perhatian dan diketahui karena penting artinya dalam penentuan oksigen yang
terlarut. Hal ini terutama disebabkan karena kelarutan oksigen di dalam air
mematikan terlampaui, maka ikan dan hewan air mungkin akan mati (Kristanto,
2004).
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas
fitoplankton. Suhu berperan penting dalam proses metabolisme organisme baik
flora maupun fauna. Semakin tinggi suhu, maka metabolisme akan meningkat.
Setiap spesies fitoplankton memiliki suhu optimal untuk pertumbuhannya yaitu
20-300C (Pescod, 1973).
2. Kecerahan (cm)
Cahaya merupakan sumber energi yang sangat penting dalam proses
fotosintesis, semakin banyak cahaya yang diterima, maka reaksi semakin aktif.
Hal tersebut akan menyebabkan adanya perbedaan aktifitas fitoplankton di
permukaan air, kolom air, dan di dasar perairan antara pagi, siang dan sore hari.
Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat terlarut di dalam air, membatasi
zona fotosintesis dimana habitat akuatiknya dibatasi oleh kedalaman (Odum,
1993). Kecerahan perairan dapat diukur dengan alat keping secchi atau secchi
disk. Selanjutnya berdasarkan kecerahan untuk fitoplankton dikatakan bahwa
kecerahan keping secchi <3 cm adalah tipe perairan yang subur (eutrofik), sedang
antara 3-6 cm merupakan kesuburan sedang (mesotrofik) dan >6 cm digolongkan
3. Derajat Keasaman (pH)
Air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan mempunyai pH
berkisar antara 6,5-7,5. Air dapat bersifat asam atau basa tergantung pada besar
kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air yang
mempunyai pH lebih besar dari normal akan bersifat basa. Air limbah dan bahan
buangan dari kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air
yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam
perairan tersebut (Wardhana, 1995). Nilai pH air yang optimum bagi fitoplankton
antara 6-8 (Kristanto, 2004).
Menurut Fardiaz (1992), perairan tawar mempunyai kisaran pH 4-10.
Variasi pH dipengaruhi oleh kandungan karbondioksida, karbonat, asam organik,
dan hasil pembusukan sisa tanaman di perairan (Fardiaz, 1992). pH dapat
mempengaruhi daya adaptasi biota akuatik dan aktifitas kimiawi di lingkungan
perairan. Sebagai salah satu parameter lingkungan perairan, pH tidak selalu stabil,
karena dipengaruhi oleh keseimbangan antara CO2 dan HCO3 dalam perairan.
Reaksi CO2 di perairan menghasilkan ion hidrogen H+ dan ion karbonat HCO3-.
Konsentrasi ion H+ mempengaruhi pH, semakin tinggi konsentrasi ion H+, maka
perairan cendrung asam (Kristanto, 2004).
4. Oksigen Terlarut (DO)
mg/L dalam perairan sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik,
asalkan perairan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun
(Pescod, 1973). Kandungan DO optimum bagi kehidupan fitoplankton yaitu >6,5
mg/L (Kristanto, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah oksigen terlarut dalam
perairan antara lain yaitu respirasi hewan dan tumbuhan air, proses penguraian
bahan organik, suhu air yang relatif tinggi, reduksi oleh gas-gas yang melalui
pembentukan gelembung-gelembung gas yang keluar dari air dan aliran air tanah
ke dalam danau (Saeni, 1989). Kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan kualitas air. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat
oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm atau 5 mg/L, selebihnya bergantung
kepada ketahanan organisme, derajat aktif, kehadiran bahan pencemar dan suhu
air (Kristanto, 2004).
Tabel 2. Kualitas air berdasarkan kandungan DO (Lee dkk, 1978):
No. Kadar Oksigen Terlarut
(mg/L) Kualitas air
1 >6,5 Tidak tercemar
2 4,5-6,5 Tercemar ringan
3 2,0-4,4 Tercemar sedang
4 <2,0 Tercemar berat
2.6.Kerangka Berfikir
Situ Bungur
Pemanfaatan Situ
Pembuangan limbah Aktifitas penduduk sekitar Situ
Pencemaran air
organik & anorganik
Keanekaragaman fitoplankton Indikator
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September
2009. Pengambilan sampel dilakukan sesaat atau pada hari yang sama di Situ
Bungur, Ciputat, identifikasi fitoplankton dilakukan di Pusat Laboratorium
Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gambar 3. Situ Bungur (Sumber: Salam)
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, plankton net nomor
25, mikroskop cahaya merk Olympus, ember plastik, Water Quality Checker merk
Horiba, kamera digital merk Kodak C813, Secchi disk, termometer air raksa merk
Boeco, Sedgwick Rafter, gelas ukur bervolume 10 ml, pipet tetes, counter merk
1000 ml, alat tulis, lem solasi kecil, tissue, tabel data (worksheet), dan buku
identifikasi berdasarkan Fukuyo (2000) dan Jhon dkk (2002).
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini di antaranya sampel air Situ
Bungur, Formalin 4 % (sebanyak 3 ml untuk masing-masing botol sampel 30 ml),
dan minyak imersi.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Penentuan Titik Pengambilan Sampel
Untuk titik pengambilan sampel air Situ Bungur berjumlah lima (5) titik
yang diambil secara random sampling dan komposit dengan metode survey, yaitu
air masuk 1 (inlet 1), air masuk 2 (inlet 2), badan air (middlelet), pertambakan
ikan dan air keluar (outlet). Untuk titik inlet pada Situ Bungur ada 2, karena
memang pada air masuk disana terdapat 2 masukan air terbesar yang berasal dari
warga sekitar Situ Bungur. Tiap titik dideskripsikan sebagai berikut:
1. Titik 1 yaitu air masuk 1 (inlet 1) yang berasal dari limbah pemukiman
warga yang telah bercampur dengan air Situ Bungur. Pada titik 1 ini
memang berdekatan sekali dengan pemukiman warga setempat dan
aktifitas manusia seperti memancing ikan.
2. Titik 2 (inlet 2) berada di dekat jalan umum dan pemukiman warga
sekaligus dekat dengan genangan sampah yang dibuang oleh warga
3. Titik 3 berada pada bagian badan air atau tengah Situ yang terdalam
(middlelet). Lokasinya berada di daerah dekat pertambakan ikan atau tidak
jauh dari pertambakan ikan tersebut.
4. Titik 4 berada di daerah pertambakan ikan atau Keramba Jaring Apung
(KJA) yang memang dibuat atau dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk
memelihara ikan.
5. Dan titik 5 berada di daerah keluar air (outlet) yang berdekatan dengan
rumah penduduk dan jalan umum.
Inlet 1 (titik 1) Inlet 2 (titik 2)
Pertambakan ikan (titk 4)
Outlet (titik 5)
Midlelet (titik 3)
3.3.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel air untuk identifikasi fitoplankton menggunakan
metode survey dan satu hari pengamatan dilakukan secara komposit pada 5 titik
sampel (APHA, 1995 dalam Fachrul, dkk (2008). Adapun prosedur pengambilan
sampel air dilakukan di setiap titik sebagai berikut:
a. Sampel air diambil di lapisan permukaan air secara horizontal dengan
menggunakan plankton net nomor 25 yang dilemparkan sampai 4 m ke
perairan, lalu ditarik talinya sehingga didapatkan air sampel yang telah
dipekatkan.
b. Sampel air sebanyak 27 ml diambil dan dimasukkan ke dalam botol
sampel berukuran 30 ml yang telah terisi 3 ml formalin 4 %, lalu diberi
label masing-masing titik sampling dan kemudian diawetkan.
c. Pengambilan sampel air dilakukan 3 kali atau pengulangan pada
masing-masing titik dengan waktu yang sama.
d. Jika kedalaman air <0,5 m seperti di pinggiran dekat jalanan dan karena
kedalaman perairan yang relatif dangkal, pengambilan sampel airnya
dilakukan dengan menggunakan ember plastik berukuran 5 L yang diambil
secara vertikal sebanyak 6 kali, lalu dipekatkan ke dalam plankton net
menjadi 27 ml dan dimasukkan ke dalam botol yang kemudian diawetkan
dengan formalin 4 %.
3.3.3. Pengukuran Parameter Perairan (Fisika dan Kimia) Lingkungan
Pengambilan data fisika dan kimia sangat penting terutama untuk
mengetahui keadaan atau kualitas air tersebut yang terjadi pada saat hari itu juga
dan sangat mempengaruhi keanekaragaman pada fitoplankton. Parameter fisika di
lapangan meliputi pengukuran kecerahan, konduktivitas dan suhu air. Sedangkan
untuk parameter kimianya dilakukan melalui pengukuran kadar oksigen terlarut
(DO), derajat keasaman (pH). Pengukuran faktor fisika dan kimia tersebut secara
insitu, artinya langsung dari lokasi sampling.
3.3.4. Identifikasi Fitoplankton
Sampel air yang telah didapat sebanyak 30 ml diamati dengan mikroskop
cahaya di PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun langkahnya sebagai
berikut:
a. Air dalam botol sampel digoyang-goyangkan untuk menjaga homogenitas
fitoplankton di dalamnya.
b. Sampel air dituangkan ke dalam gelas ukur hingga 1 ml.
c. Gelas ukur yang berisi sample air dituangkan kembali ke dalam
Sedgwick-Raftercell untuk di cacah dengan menggunakan pipet tetes.
d. Pengamatan dilakukan secara mikroskopis menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 10x, 40x dan 100x dengan bantuan minyak
imersi agar mudah diamati dan diidentifikasi fitoplanktonnya dengan
e. Pemotretan dilakukan dengan kamera digital di dalam mikroskop cahaya
agar gambar yang didapat lebih jelas diamati bahkan dapat diamati di
rumah.
f. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan counter.
3.4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan ialah secara deskriptif dan ekologi
kuantitatif melalui indeks Shannon-Wiener dan Perhitungan Struktur Komunitas
Fitoplankton baik keanekaragaman, kelimpahan, keseragaman dan dominasi
fitoplankton.
1. Indeks Shannon-Wiener
Hubungan fitoplankton dengan pencemaran air dapat dilihat pada nilai indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener dengan tingkat pencemaran pada suatu
perairan. Menurut Wilhm (1975) seperti terlihat pada tabel berikut:
Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan indeks Shannon-Wiener (Wilhm,
1975).
Tabel 3. Nilai indeks Shannon-Wiener dengan kondisi pencemaran:
Nilai Indeks Shannon-Wiener Kondisi Perairan
<1 Tercemar berat
1,00-3,00 Tercemar sedang
>3 Perairan bersih
2. Perhitungan Struktur Komunitas Fitoplankton
Indeks Shannon-Wiener (1949) digunakan untuk menghitung indeks
keanekaragaman jenis, keseragaman, dan dominansi fitoplankton yang dihitung
menurut Odum (1993) dengan rumus sebagai berikut:
a. Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks Shannon-Wiener menjelaskan bahwa, untuk menghitung indeks
keanekaragaman menggunakan rumus sebagai berikut:
H’ =
-
∑ (Pi Iog Pi), dimana Pi = ni/N
Ket:
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = Kelimpahan relatif
ni = Jumlah individu semua jenis ke-i
N = Jumlah semua total jenis dalam komunitas
b. Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman/ kemerataan dihitung dengan menggunakan formulasi
sebagai berikut:
E = H’/H max
Ket:
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman H max = Keragaman maksimum
c. Indeks Kelimpahan (Ind/L)
Kelimpahan plankton secara kuantitatif berdasarkan kelimpahan yang dinyatakan
N = V/Vd x t/Vs x F
Ket:
N = Kelimpahan plankton (ind/ml) V = Volume air sampel (ml)
Vd = Volume air sample yang disaring (ml) t = Volume air dalam obyek gelas (ml) Vs = Volume air pada Sedgwick-Rafter (1 ml) F = Jumlah plankton yang tercacah (ind)
d. Indeks Dominasi (C)
Untuk menghitung indeks dominasi menggunakan rumus Simpson (Odum, 1971),
yaitu:
C = ∑ (ni/N)
2Ket:
C = Indeks dominasi Simpson ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu semua jenis dalam komunitas
Indeks dominasi Simpson, jika hasilnya >1 terdapat dominasi dalam suatu
komunitas dan akan diikuti dengan dengan rendahnya indeks keseragaman
(kemerataan) dan keanekaragaman. Tetapi apabila <1, maka tidak ada dominasi
pada suatu komunitas dan akan diikuti dengan tingginya indeks keseragaman
3
Nilai kecerahan yang di dapat dalam penelitian ini berkisar antara 3-8 cm.
Pada titik sampling 2 merupakan nilai kecerahan tertinggi yaitu 8 cm, dan pada
titik sampling 1, 3,4 dan 5 nilai kecerahannya sama yaitu 3 cm (Gambar 5).
Gambar 5. Nilai Kecerahan pada perairan Situ Bungur
Pada grafik kecerahan di atas menunjukkan bahwa pada titik sampling 2
nilai kecerahannya tertinggi di antara lainnya. Pada titik sampling ini terdapat
masuknya air limbah rumah tangga yang berlebih dan terjadinya dorongan air
yang mendorong limbah rumah tangga tersebut hingga terdorong ke perairan
tengah dan air keluar serta daerah tambak ikan. Oleh karena itu, nilai
Rendahnya nilai kecerahan pada titik-titik sampling tersebut kecuali titik
sampling 2, disebabkan karena banyaknya limbah dari rumah tangga yang masuk,
sehingga terjadi penumpukkan sampah pada titik sampling 1. Hal ini
menyebabkan nilai kecerahan yang terjadi sangat rendah. Limbah rumah tangga
yang terdapat di Situ Bungur berupa sabun atau busa-busa deterjen, plastik,
dedaunan, dan lainnya. Masuknya limbah-limbah tersebut ke dalam suatu
perairan, menyebabkan terhalang dan terhambatnya sinar matahari yang masuk ke
perairan Situ, sehingga proses fotosintesis pada fitoplankton yang berada di
perairan Situ tersebut berkurang.
Hal tersebut dapat mengganggu biota di dalam perairan, karena semakin
rendah kadar oksigen yang ada. Biota perairan sangat membutuhkan oksigen yang
cukup agar dapat terus bertahan hidup. Jika kandungan oksigen dan nutrien
berlebih maka dapat terjadi eutrofikasi, dimana terjadi penumpukan zat hara yang
dibutuhkan tumbuhan perairan. Hal ini menyebabkan tumbuhan tersebut dapat
tumbuh subur dan menutupi tumbuhan perairan bawah, yang mengakibatkan
pengurangan fotosintesis tumbuhan perairan lainnya. Sedikitnya sinar matahari
yang masuk, sehingga biota di dalam perairan dapat mati karena oksigen yang
kurang mencukupi. Maka dari itu akan terjadi pembusukan di dalam perairan
tersebut. Menurut Iskandar (2003), kecerahan optimum untuk fitoplankton antara
3-6 cm, jika >6 cm maka dapat dikatakan perairan tersebut kurang subur. Hal ini
31
menurunkan proses kualitas fotosintesis dan produktifitas primer fitoplankton,
sehingga menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan.
Hasil pengukuran Secchi disk pada TSI (Trophic State Index), didapatkan
TSI = 57,6. Artinya perairan tersebut termasuk ke dalam eutrophy yang
merupakan produktifitas fitoplanktonnya tinggi. Menurut Index Carlson (1980)
pada kisaran nilai TSI, nilai TSI yang lebih besar dari 50, artinya berhubungan
dengan eutrophy (produktifitas tinggi). TSI merupakan indeks keadaan pemakan
yang menentukan apakah nilai keadaan pemakan di suatu perairan itu tinggi atau
rendah dengan pengukuran secchi disc.
4.1.2. Suhu (0C)
Nilai suhu pada perairan Situ Bungur berkisar antara 31-340C. Pada titik
sampling 2 dan 5 merupakan nilai suhu tertinggi yaitu 340C, dan pada titik
sampling 1 dan 4 merupakan nilai suhu terendah yaitu 310C (gambar 6).
0.196
hanya beberapa fitoplankton yang mampu bertahan pada suhu tersebut seperti
Mycrocystis, Euglena, dan lain sebagainya. Nilai suhu pada titik sampling 1 dan 4
merupakan suhu yang optimum. Menurut Effendi (2003), kisaran suhu optimum
untuk petumbuhan fitoplankton yaitu 20-300C. Oleh karena itu, suhu tersebut
sesuai untuk petumbuhan fitoplankton pada umumnya. Pada suatu perairan, kadar
suhu dipengaruhi oleh kadar oksigen, dimana jika semakin tinggi kadar oksigen
maka suhu akan mengalami penurunan.
4.1.3. Kekeruhan
Nilai kekeruhan yang di dapat berkisar antara 0,188-0,207 FTU. Pada titik
sampling 2 merupakan kekeruhan tertinggi yaitu 0,207 FTU, dan pada titik
Nilai kekeruhan terendah terjadi pada titik sampling 4 dan 5 yaitu 0,188
FTU. Hal ini menunjukkan bahwa pada titik sampling tersebut merupakan daerah
pertambakan ikan dan keluarnya air. Oleh karena itu, tidak terjadinya pergerakan
air yang berlebihan sehingga tidak terjadinya pengadukan massa air yang dapat
menyebabkan kekeruhan, yang diakibatkan oleh peluruhan lumpur atau
bahan-bahan tersuspensi lainnya. Pada titik sampling 2 nilai kekeruhannya paling tinggi
yaitu 0,207 FTU. Pada lokasi ini debit air yang masuk ke perairan lebih banyak,
sehingga terjadi adukan massa air yang menyebabkan kekeruhan yang berlebih.
Menurut Kristanto (2004), kekeruhan dapat terjadi karena adanya bahan yang
terapung dan terurainya zat tertentu, seperti lumpur tanah liat dan benda-benda
lain yang melayang atau mengapung dan sangat halus. Oleh karena itu, air yang
tercemar akan selalu mengandung padatan, baik padatan yang mengendap,
tersuspensi ataupun lemak (minyak).
Kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya sistem daya lihat
organisme aquatik dan menghambat penetrasi cahaya masuk ke dalam air.
Menurut Sukandar (1993), ketidakteraturan kekeruhan disebabkan oleh
pelimpahan air pada satu sisi cekungan, air bah yang mempengaruhi pelimpahan
air, kontribusi bahan-bahan tiupan angin, aliran air dan kawanan plankton.
4.1.4. pH
Nilai pH pada perairan Situ Bungur yang di dapat berkisar antara 6,7-8,8.
Nilai pH tertinggi terjadi pada titik sampling 5 yaitu 8,8, dan nilai pH terendah
8.8
banyak sampah, sehingga terjadi penumpukan subtrat atau lumpur. Hal ini
memungkinkan tercemarnya air yang berasal dari penduduk di sekitar Situ. Pada
titik sampling 3 merupakan nilai pH terendah dari titik sampling lainnya yaitu 6,7.
Artinya nilai pH tersebut normal, begitupun dengan titik sampling lainnya yang
berkisar antara 7 hingga 8. Menurut Nugroho (2006), Lind (1979) dan Pescod
(1973), menyatakan bahwa pada umumnya air yang normal memiliki pH netral
sekitar 6 hingga 8. Air limbah atau air tercemar memiliki pH sangat rendah atau
pH cendrung tinggi, tergantung dari jenis limbah dan komponen pencemarannya.
Sebagai salah satu parameter lingkungan perairan, pH tidak selalu stabil, karena
dipengaruhi oleh keseimbangan antara CO2 dan HCO3 dalam perairan.
Hasil rata-rata nilai pH diatas, yang kisarannya antara 6,7-8,8,
3.24 3.13
Nilai DO (Dissolved Oxygen) di perairan Situ Bungur berkisar antara
3,13-5,62 mg/L. Nilai DO tertinggi terjadi pada titik sampling 2 yaitu 3,13-5,62 mg/L, dan
nilai DO terendah terjadi pada titik sampling 5 yaitu 3,13 mg/L (gambar 9).
Gambar 9. Nilai DO pada perairan Situ Bungur
Nilai DO tertinggi pada titik sampling 2 yaitu 5,62 mg/L, karena pada titik
sampling ini merupakan tempat masuknya air dari rumah penduduk sekitar Situ.
Pada titik sampling 1 merupakan tempat masuknya air yang lebih sedikit daripada
titik sampling 2, sehingga kandungan oksigen dalam air sedikit. Pada saat itu
memang masuknya air pada titk sampling 2 lebih banyak dibandingkan dengan
titik sampling 1, sehingga membuat masuknya oksigen ke dalam air lebih besar.
Akibatnya, deras laju air yang menarik udara dari luar ke dalam air menyebabkan
oksigen dalam air pada titik sampling 2 lebih banyak dibandingkan dengan titik
Nilai DO terendah yang terjadi pada titik sampling 5, karena keluarnya air
sangat sedikit. Oleh sebab itu, pada titik sampling ini terjadi penumpukkan
sampah-sampah, sehingga menurunnya nilai kandungan oksigen terlarut (DO).
Rendahnya kandungan oksigen terlarut di titik sampling ini disebabkan oleh
banyaknya limbah orgaik dan anorganik seperti sampah plastik, kaleng, dan
lainnya. Hal ini menyebabkan sebagian oksigen terlarut digunakan bakteri aerob
untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi
karbondioksida dan air. Oleh karena itu, jika pencemaran ini terus berlangsung
dapat menyebabkan kematian bagi organisme aerob. Menurut Anonim (2008),
kadar DO optimum untuk fitoplankton yaitu >6,5 mg/L. Dari hasil kandungan DO
yang di dapat menunjukkan bahwa kualitas air situ tersebut tercemar, karena
dibawah nilai kandungan DO optimum.
4.2. Keanekaragaman Fitoplankton
Hasil identifikasi fitoplankton ditemukan 30 genus yang terdiri dari 4
divisi utama yaitu Cyanophyta (7 genus), Chlorophyta (19 genus), Chrysophyta (2
genus), Euglenophyta (2 genus). Genus yang ditemukan pada kelima titik
sampling tersebut adalah: Chlorococcus, Oscillatoria, Mycrocystis, Anacystis,
Anabaena, Hormidium, Merismopedia (Cyanophyta); Schroederia, Ulothrix,
Selenastrum, Chlorella, Pseudotetrastrum, Pediastrum, Cosmarium, Straurastrum,
2.80 (Chlorophyta); Nitzschia, Navicula (Chrysophyta); Euglena, Tracelomonas
(Euglenophyta) (Gambar 10).
Gambar 10. Keanekaragaman fitoplankton Situ Bungur Ciputat pada kelima titik.
Genus Mycrocystis, Monoraphidium dan Euglena merupakan penyusun
utama dalam komunitas fitoplankton di seluruh titik sampling penelitian.
Melimpahnya genus Mycrocystis, Monoraphidium dan Euglena disebabkan
karena ketiga genus tersebut sangat mudah beradaptasi pada lingkungan perairan
terutama perairan yang telah tercemar. Dari hasil pengamatan, fitoplankton yang
di dapat diantaranya yaitu Oscillatoria, Chlorella, Anacystis, Nitzchia, Tetraedron,
Anabaena dan Euglena yang merupakan jenis-jenis fitoplankton indikator
pencemaran air sesuai dengan teori Fukuyo, dan berdasarkan indeks
dimungkinkan karena limbah anorganik yang masuk ke perairan Situ Bungur.
Dalam pengamatan memang terlihat banyak genangan sampah di sekitar perairan
Situ. Air yang masuk ke Situ tidak seimbang dengan air yang keluar dari Situ
tersebut, sehingga terjadinya genangan sampah dan zat-zat beracun yang
mengakibatkan pencemaran pada perairan situ. Lalu terjadilah komunitas spesies
fitoplankton yang mampu bertahan pada kondisi tercemar.
Ketiga genus tersebut mampu melindungi dirinya dari zat-zat beracun
yang berada di perairan dengan adanya protective cyste. Oleh karena itu,
genus-genus tersebut mampu hidup pada perairan yang mengalami pencemaran (Jhon
dkk, 2002). Dari ketiga genus tersebut juga mempunyai flagel (berupa alat gerak)
yang mampu melakukan pergerakan secara luas di perairan. Berdasarkan Fukuyo
(2000) ada beberapa fitoplankton yang dapat menjadi indikator perairan tercemar.
Fitoplankton yang menjadi indikator perairan tercemar di Situ Bungur yakni:
Mycrocystis, Euglena, Oscillatoria, Chlorococcus, Schroederia, volvox,
Monoraphidium, Navicula, Scenedesmus dan Oocystis.
Pada suatu perairan, jika terdapat 1 atau 2 bahkan lebih dari 2 genus
fitoplankton indikator perairan tercemar, maka dapat dikatakan perairan tersebut
tercemar. Hal ini dikarenakan, jika sewaktu-waktu terjadi blooming alga, maka
genus fitoplankton perairan tercemar yang akan mendominasi perairan tersebut.
0,151
pada titik sampling 1 yaitu 0,151, dan nilai keanekaragaman tertinggi terjadi pada
titik sampling 3 dan 4 yaitu 0,158 (gambar 11).
Gambar 11. Nilai Keanekaragaman Fitoplankton di Situ Bungur
Nilai keanekaragaman terendah yang terjadi pada titik sampling 1
dikarenakan pada titik sampling ini masukkan air sedikit. Oleh karena itu, pada
titik sampling ini mengandung nutrisi yang sedikit dan kecerahannya cendrung
lebih rendah. Hal ini disebabkan karena terdapat pepohonan yang cukup besar,
sehingga kecerahannya relatif rendah dan juga masuknya air dari penduduk
sekitar situ relatif sedikit. Pada titik sampling 5, terdapat pepohonan yang rindang
sehingga menutupi cahaya matahari masuk ke perairan. Hal ini menyebabkan
terbatasnya cahaya untuk pertumbuhan fitoplankton. Pada titik sampling 2 yaitu
0,154 yang tidak jauh berbeda nilainya dari titik sampling 1 dan 5. Hal ini
dikarenakan banyaknya tumpukan sampah yang menggenang, sehingga
mengurangi masuknya cahaya matahari ke perairan situ. Nilai keanekaragaman
berada di daerah yang terkena sinar matahari penuh tanpa adanya halangan dari
genangan sampah atau bahan pencemar maupun pepohonan yang menutupi
masuknya penetrasi cahaya matahari. Oleh karena itu, terdapat fitoplankton yang
cukup banyak pada di titik sampling ini, sehingga menyebabkan
keanekaragamannya sedikit lebih tinggi daripada titik sampling lainnya.
Pada hasil yang di dapat untuk keanekaragaman, dimana H’<1,00 (Odum,
1971) yang termasuk dalam kategori rendah. Hal ini terbukti dari hasil
pengamatan, bahwa penyebaran dan kekayaan jenis fitoplankton yang berada di
Situ Bungur relatif rendah. Oleh sebab itu, keanekaragaman di perairan Situ
Bungur tidak stabil, sehingga perairan tersebut mengalami pencemaran yang
relatif tinggi atau tercemar berat. Menurut Nugroho (2006), jika keragamannya
rendah berarti komunitas fitoplankton di perairan tersebut nilai
keanekaragamannya relatif rendah dan didominasi oleh satu atau dua jenis
fitoplankton.
4.3.2. Keseragaman (E)
Hasil yang di dapat untuk indeks keseragaman fitoplankton di Situ Bungur
berkisar antara 0,022-0,026. Nilai keseragaman tertinggi terjadi pada titik
sampling 3 yaitu 0,026, dan nilai terendah terjadi pada titik sampling 2 dan 5 yaitu
0,023
Gambar 12. Nilai Keseragaman Fitoplankton di Situ Bungur
Nilai keseragam di atas menunjukkan bahwa keseragaman populasi pada
semua titik sampling seragam dengan nilai yang relatif rendah. Rendahnya
keseragaman pada semua titik sampling disebabkan karena kelimpahan genus
yang tidak merata, sehingga terjadinya kecendrungan terhadap suatu genus yang
mendominasi pada setiap titik sampling di perairan situ tersebut. Menurut Au
doris et al (1989) dalam Nugroho (2006), menyatakan bahwa jika indeks
keseragaman (E) mendekati 0, maka keseragaman antar genus rendah. Hal ini
mencerminkan bahwa kekayaan individu pada masing-masing genus sangat jauh
berbeda.
4.3.3. Kelimpahan (Ind/L)
Kelimpahan yang di dapat pada perairan Situ Bungur berkisar antara
7173
Ind/L, dan kelimpahan terendah terjadi pada titik sampling 3 yaitu 2930 (gambar
13).
Gambar 13. Nilai Kelimpahan Fitoplankton di Situ Bungur
Nilai kelimpahan tertinggi pada titik sampling 2, dikarenakan pada titik
sampling ini merupakan masuknya air. Oleh karena itu, air yang masuk sangat
melimpah atau banyak yang berasal dari penduduk sekitar Situ. Pada kelimpahan
terendah terdapat pada titik sampling 3 yaitu 2930 ind/L. Pada titik ini merupakan
daerah badan air atau perairan tengah yang kandungan nutrisi lebih sedikit dari
kandungan nutrisi yang ada. Pada titik sampling 4 yang merupakan daerah
pertambakan ikan, nilai kelimpahannya sedikit lebih tinggi dari titik sampling 3.
yang masuk dari titik sampling 1, sehingga dapat mendukung kehidupan
fitoplankton. Kelimpahan yang tidak merata cenderung menyebabkan terdapatnya
salah satu jenis fitoplankton yang mendominasi. Pada perairan Situ Bungur yang
mendominasi diantaranya Mycrocystis, Euglena, dan Monoraphidium. Hal ini
berakibat pada terjadinya Blooming alga sewaktu-waktu. Jika nutrisi berlebih di
perairan tersebut, maka akan menyingkirkan jenis-jenis fitoplankton lainnya.
Kelimpahan fitoplankton diidentifikasikan sebagai jumlah individu
fitoplankton persatuan volume air per liter (ind/L). Lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi fitoplankton dapat menyebabkan jumlah individu atau
kelimpahan maupun jumlah spesies fitoplankton berkurang. Keadaan ini dapat
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu, suatu tingkat
kesuburan suatu perairan salah satunya ditentukan oleh tingkat kelimpahan
fitoplankton (Nugroho, 2006).
4.3.4. Dominasi (C)
Nilai dominasi perairan Situ Bungur di dapat berkisar antara 0,92-1,14.
Nilai dominasi tertinggi terjadi pada titik sampling 2 yaitu 1,14, dan nilai terendah
0.97
Gambar 14. Nilai Dominasi Fitoplankton di Situ Bungur
Nilai tertinggi yang terjadi pada titik sampling 2 terdapat fitoplankton
yang mendominasi yaitu Euglena, Microcystis dan Schroederia. Hal ini
dikarenakan pada titik sampling 2 terdapat masuknya air ke perairan situ dan
banyaknya genang sampah, baik yang organik maupun anorganik. Genangan
sampah tersebut berasal dari penduduk sekitar situ. Pada titik sampling 5 yaitu 1,1
yang merupakan tempat keluarnya air dan terdapat sampah-sampah yang
menggenang. Oleh karena itu, menyebabkan terdapatnya fitoplankton yang
mendominasi yaitu Microcystis, sehingga genus tersebut terbanyak di titik
sampling ini. Nilai indeks dominasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
jenis yang mendominasi dalam suatu perairan.
Ditemukan fitoplankton indikator pencemaran air yang mendominasi
diperairan tersebut yakni Microcystis, Euglena, dan Monoraphidium. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapatnya salah satu jenis yang mendominasi jenis lain
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan kesimpulan:
1. Keanekaragaman fitoplankton yang ditemukan sebanyak 30 genus yang
termasuk ke dalam 4 divisi utama yakni Cyanophyta (7 genus), Chlorophyta
(19 genus), Chrysophyta (2 genus), dan Euglenophyta (2 genus).
2. Berdasarkan kehadiran jenis-jenis fitoplankton indikator perairan tercemar
yang ditemukan serta indeks keanekaragaman fitoplankton yang di dapat (H’= 0,151-0,158) atau H’< 1, disimpulkan bahwa kualitas perairan Situ Bungur mengalami pencemaran berat.
5.2. Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut untuk meninjau secara continue (terus
menerus) mengenai kualitas di peraiarn Situ Bungur tersebut agar pencemaran
yang terjadi dapat di tanggulangi dan tidak mengganggu biota lain yang ada
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. ANDI. Yogyakarta.
Anonim. 2008. Ekosistem Perairan Tawar. http/:www.damandiri.or.id. Diakses tanggal 1 Juli 2009.
Astirin O.P., A.D. Setyawan, & M. Harini. 2002. Keanekargaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas Air Sungai di Kota Surakarta. Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta. Jurnal. Biodiversitas vol.3, No. 2. Hal. 236-241.
Aunurohim. 2008. Fitoplankton Penyebab Harmfull Algae Blooms (HABs) di Perairan Sidoardjo. Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.
http:// fisika_brawijaya.ac.id/bss_ub/proceeding.pdf. Di akses tanggal 10 Juli 2009.
Basmi, J. 1987. Fitoplankton sebagai sebagai indikator Biologis Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Carlson, R. 1980. Light, Secchi disks, and trophic states. Journal. Limnology and Oceanography. Vol. 25, No.2. Hal. 373-377.
Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. A Willey Interscience. Publ: 628 p.
Effendi, H., 2003. Telaah kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Fachrul, M.F., H. Haeruman, & L.C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Seminar Nasional MIPA 2005. FMIPA UI Depok, 24-26 November 2005. http://melati@trisakti.ac.id. Diakses tanggal 10 Juli 2009.
__________. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Goldman, C.R., & A.J Horne. 1983. Limnology. Mc Graw-Hill International Book Company. New York.
Ikasari, Q. 2005. Indeks Saprobik Protozoa Sebagai Bioindikator Kualitas Air di Suaka Margasatwa Muara Angke. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Studi Biologi. UNJ. Jakarta.
Indriany, M. 2004. Struktur Komunitas Diatom dan Dinoflagellata pada Beberapa Daerah Budidaya di Teluk Hurun, Lampung.
Iskandar. 2003. Struktur Komunitas Plankton di Perairan Bekas Bahan Pasir (Studi Kasus di Rawa Bebek, Karawang). Fakultas Pertanian. UNPAD. Bandung.
Jhon, D.M., B.A. Whitton, & A.J. Brook. 2002. The Freshwater Algal Flora of The British Isles. The United Kingdom at the University Press. Cambridge.
Kamali. 2004. Komunitas Fitoplankton. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Komala, R. 2000. Struktur Komunitas Biota Perairan. Makalah yang disampaikan dalam LDMPL Jurusan Biologi FMIPA. UNJ. Jakarta.
Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Universitas Kristen PETRA Surabaya. ANDI. Yogyakarta.
Lee, T.D. 1978. Handbook of Variables of Environmental Impact Assesment Arbor: An Arbor Science Publishor Inc.
Lind, O.T., 1979. Handbook of Common Methods in Limnology. Second edition. Kendal/ Hunt Publishing Company. Lowa.
Lukman, Sulastri, D.S. Said, T. Tarigan, & T. Widiyanto. 2006. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006 “Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat secara terpadu di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Bogor.
Masson, C.F. 1981. Biology of Freswater Pollution. Longman. Inc. New York. 250 p.
Morganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nontji, A. 2006. Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Fundamental of Ecology. Philladelphia London Toronto. W.B. Sounders company.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for Tropical Countries. Asean Institut of Technology. Bangkok 54 pp.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor.
Sastrawijaya, T.1991. Pencemaran Lingkungan.Cetakan-1. Rineka Cipta. Jakarta.
Sukandar, P. 1993. Ekologi Perairan Tawar. Biologi FMIPA IKIP. Jakarta.
Yatim, W. 2003. Kamus Biologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Rineke Cipta. Jakarta.
Lampiran 1.
Peta Lokasi Situ Bungur Ciputat
Gambar 15. Peta Lokasi
Lampiran 2.
Foto-Foto Titik Pengambilan Sampling
Gambar 16. Titik 1 (Inlet 1) Gambar 17. Titik 2 (Inlet 2)
Lampiran 3.
Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Air Situ Bungur Ciputat a. Kecerahan (cm)
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
e. DO/ Oksigen Terlarut (mg/L)
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
Lampiran 4.
Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 1
Lampiran 5.
Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 2
Lampiran 6.
Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 3
Lampiran 7.
Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 4
Lampiran 8.
Jenis dan Jumlah Fitoplankton pada titik 5
Lampiran 9.
Nilai Rata-rata dan Prosentase Fitoplankton
Lampiran 10.
Hasil Perhitungan Indeks-Indeks Biologi
A. Keanekaragaman (H’)
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
Titik Ulangan Jumlah Rata-rata
1 2 3
1 0,97 1 0,95 2,92 0.97
Lampiran 11.
Spesies Fitoplankton yang ditemukan di Situ Bungur Ciputat Selama Penelitian
Cyanophyta
Gambar 21.Oscillatoria Gambar 22. Mycrocystis
Chlorophyta
Gambar 23. Arthodesmus Gambar 24. Monoraphidium Gambar 25. Pediastrum
Chrysophyta Euglenophyta
Lampiran 12.
Identifikasi Fitoplankton
1. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Chlorococcus Spesies : Chlorococcus sp
2. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Oscillatoriales Genus : Oscillatoria Spesies : Oscillatoria sp
3. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Mycrocystis Spesies : Mycrocystis sp
4. Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Bangsa : Nostocales Genus : Anacystis Spesies : Anacystis sp
5. Divisi : Cyanophyta Bangsa : Oscillatoriales
Genus : Hormidium
Spesies : Hormidium sp
Lampiran 13.
Identifikasi Fitoplankton
8. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Schroederia Spesies : Schroederia sp
9. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chaetophorales Genus : Ulothrix
Spesies : Ulothrix sp
10. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Selenastrum Spesies : Selenastrum sp
11. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Chlorella Spesies : Chlorella sp
12. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Pseudotetrastrum Spesies : Pseudotetrastrum sp
13. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chlorococcales Genus : Pediastrum Spesies : Pediastrum sp
14. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Zygnematales
Genus : Cosmarium
Lampiran 14.
Identifikasi Fitoplankton
15. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Zygnematales Genus : Staurastrum Spesies : Staurastrum sp
16. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Tetraedron Spesies : Tetraedron sp
17. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Cladophorales Genus : Crucigenia Spesies : Crucigenia sp
18. Divisi : Chlorophyta Bangsa : Chroococcales Genus : Tetradesmus Spesies : Tetradesmus sp
20. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Kirchniriella Spesies : Kirchniriella sp
Lampiran 15.
Identifikasi Fitoplankton
22. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Monoraphidium Spesies : Monoraphidium sp
23. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Volvocales Genus : Hafniomonas Spesies : Hafniomonas sp
24. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Desmidiales Genus : Scenedesmus Spesies : Scenedesmus sp
25. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Chroococcales Genus : Oocystis Spesies : Oocystis sp
26. Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Bangsa : Cladophorales Genus : Crucigeniella Spesies : Crucigeniella sp
Lampiran 16.
Identifikasi Fitoplankton
29. Divisi : Euglenophyta Kelas : Flagellata Bangsa : Euglenales Genus : Euglena Spesies : Euglena sp
30. Divisi : Euglenophyta Kelas : Bacillariophyceae Bangsa : Euglenales
Lampiran 17.
Alat-Alat Penelitian
Gambar 28. Water Quality Checker (WQC) Gambar 29. Plankton Net
Gambar 30. Secchi Disk Gambar 31. pH Indikator
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi ini dengan judul: ”Analisis Kualitas Air Situ Bungur Ciputat Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Fitoplankton”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir penyelesaian program S1 pada Program
Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi S1 ini, penulis telah
banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis., selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi.
2. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud., selaku Ketua Prodi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi dan sekaligus Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan perhatian serta waktu dan tenaga dalam
berdiskusi mulai dari perencanaan penelitian sampai terselesaikannya disertasi
ini.