• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran tokoh masyarakat Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dalam upaya pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf: studi kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran tokoh masyarakat Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dalam upaya pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf: studi kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi

Jakarta Utara

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah

Oleh:

Muhamad Irsyad NIM: 102043224956

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 22 September 2010

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga dengan izin dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan kehadirannya telah memberikan pencerahan, ketenangan dan kenyamanan hidup manusia. Dan tidak lupa pula kepada para sahabatnya dan orang-orang yang telah mengikuti dan mentaati ajaran-Nya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna atau boleh dikatakan masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Namun demikian dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki penulis, maka penulis berusaha semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Dan juga penulis menyadari bahwa tidak akan pernah sanggup dalam mengatasi berbagai macam hambatan yang mengganggu lancarnya penulisan ini tanpa adanya bantuan dan dukungan yang bersifat materil maupun spirituil baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

(4)

iv

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA., Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum yang telah membimbing dan mengarahkan segenap aktifitas yang berkenaan dengan jurusan.

3. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Kepala KUA Kecamatan Penjaringan beserta staf-stafnya yang terkait, Camat Penjaringan beserta staf-stafnya yang terkait dan para tokoh masyarakat Se-kecamatan Penjaringan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan data dan informasi yang berkenaan dengan skripsi penulis.

5. Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilita sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan. 6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung.

(5)

v

8. Kepada sahabat-sahabat penulis: Keluarga Besar Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia DKI Jakarta, Komunitas Peduli Kali Angke, Gerakan Pemuda Ansor Jakarta Utara, KNPI Jakarta Utara, KMB UIN, Rizqi Farahyona, S.Hi, Ust. Muhayar, S.Hi, Budi Agung, M. Iqbal, S,Hi, Subhan Anshori, S.Hi, Ahmad Junaidi, S.Pd, M. Junaidi, Chairil Anwar, Zarkasih Tanjung, Ade Suryana, Feih, Ust Mamat, Nurhasan, Suryadi, S.Hi, Noerhasanah Suhaimi, S.Hi, Kiki, Muhyidin, Iwan, terima kasih untuk semuanya yang telah menemani penulis suka maupun duka dari awal hingga akhir kuliah.

9. Kepada teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya Jurusan Perbandingan Hukum angkatan 2002 yang telah memberikan inspirasi dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung namun demikian tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga segala amal baik semua pihak mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Jakarta: 22 September 2010 M 13 Syawal 1431 H

(6)

vi

LEMBAR PERSETUJUAN ………... i

LEMBAR PENGESAHAN ……….... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN A. Perwakafan Menurut Hukum Islam dan Dasar Hukumnya ... 14

B. Fungsi, Unsur dan Syarat-syarat Perwakafan ... 20

C. Perwakafan Menurut PP. No. 28 Tahun 1977 ... 40

D. Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf Produktif ... 46

(7)

vii

BAB IV PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH

WAKAF DI KELURAHAN PENJARINGAN JAKARTA

UTARA

A. Proses Administrasi Perwakafan di KUA Kecamatan

Penjaringan ... 59

B. Fungsi Pengadministrasian Perwakafan Tanah Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ... 64

C. Efektifitas Nadzir Dalam Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan ... 69

D. Peran Tokoh Masyarakat Dalam Upaya Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan .... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(8)

1

A. Latar Belakang Masalah

Menurut pandangan Islam pemilik mutlak seluruh harta benda ialah Allah SWT. Manusia ditunjuk oleh Allah sebagai penguasa terhadap benda itu yang harus mengelolanya sesuai dengan petunjuk-Nya. Yaitu digunakan untuk keperluan dirinya dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia pada umumnya.

Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu harus berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT, maka lembaga perwakafan merupakan salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam yang menyatakan tentang prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.1 Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 267, yaitu:

ﻳ

ﹺﺽﺭَﻷﺍ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺎﻨﺟﺮﺧﹶﺍ ﺎﻤﻣﻭ ﻢﺘﺒﺴﹶﻛ ﺎﻣ ﺕﺎﺒﻴﹶﻃ ﻦﻣ ﺍﻮﹸﻘﻔﻧﺍ ﺍﻮﻨﻣﹶﺍ ﻦﻳﺬّﹶﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎ

ﱠﻥﹶﺍ ﺍﻮﻤﹶﻠﻋﺍﻭ ﻪﻴﻓ ﺍﻮﻀﻤﻐﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﱠﻻﺍ ﻪﻳﺬﺧﺎﹺﺑ ﻢﺘﺴﹶﻟﻭ ﹶﻥﻮﹸﻘﻔﻨﺗ ﻪﻨﻣ ﹶﺚﻴﹺﺒﺨﹾﻟﺍ ﺍﻮﻤﻤﻴﺗ ﹶﻻﻭ

ﺣ ﻲﹺﻨﹶﻏ ﻪﹼﻠﻟﺍ

ﺪﻴﻤ

) .

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

/

2

:

267

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang

1 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Sejarah Pemikiran, Hukum, dan

(9)

buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2: 267)

Ayat di atas menerangkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk beramal sholeh kepada orang lain dengan jalan menafkahkan sebagian dari harta kekayaan. Harta dalam agama Islam tidaklah hanya dinikmati oleh sendiri, melainkan harus dinikmati bersama. Ini berarti bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta. Untuk itulah diciptakan lembaga perwakafan.

Fungsi sosial dari perwakafan tanah mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik tanah seseorang harus memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran terhadap harta benda (tanah) tercakup di dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa benda (tanah) tersebut.2

Seperti yang dimaksud dalam firman Allah dalam adz-Dzariat, ayat 19 :

ﻡﻭﺮﺤﻤﹾﻟﺍﻭ ﹺﻞﺋﺎﺴﻠﻟ ﻖﺣ ﻢﹺﻬﻟﺍﻮﻣﹶﺃ ﻲﻓﻭ

)

ﺕﺎﻳﺭﺬﻟﺍ

/

51

:

19

(

Artinya : “Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya) dan bagi orang-orang yang terlantar”. (QS : adz-Dzariyat/51 : 19)

Mewakafkan harta benda jauh lebih utama dari bersedekah dan berderma biasa, lagi pula jauh lebih besar manfaatnya, sebab harta wakaf itu kekal dan terus selama harta itu masih tetap menghasilkan atau masih tetap dieksploitir sebagaimana layaknya dengan cara produktif. Oleh sebab itu bagi kepentingan

(10)

masyarakat bentuk harta wakaf amat besar manfaatnya dan amat diperlukan untuk kelangsungan kegiatan-kegiatan keIslaman.3

Wakaf adalah tergolong kepada ibadah muamalah, yakni ibadah yang mempunyai hubungan dengan sesama manusia, sehingga untuk menjamin kelestariannya diperlukan adanya perlindungan hukum.

Mengingat pentingnya persoalan perwakafan ini, maka Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 telah mencantumkan adanya suatu ketentuan khusus mengenai masalah perwakafan ini. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 ayat (3) yang menyatakan : Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok Agraria tersebut baru dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 1977 yang berwujud Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 (LN, 1977 No.38) tentang Perwakafan Tanah Milik.

Peraturan pemerintah No.28 Tahun 1977 ini mengatur tentang teknis administrasi dengan menunjuk pejabat yang berwenang mengenai masalah perwakafan tanah yang berupa Peraturan Pelaksanaan. Pejabat yang mempunyai wewenang dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama sebagaimana dinyatakan dalam pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tersebut.

3

(11)

Adapun peraturan pelaksanaan yang diatur oleh kedua Menteri tersebut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.06 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 dan berbagai peraturan pelaksanaannya maka telah terjadi suatu pembaharuan di bidang perwakafan tanah, di mana persoalan tentang perwakafan tanah milik ini telah diatur, ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi hakikat dan tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya diharapkan dengan berbagai peraturan dimaksud maka persoalan tentang perwakafan tanah dapat ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya.

(12)

umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.4

Saat ini wakaf mendapat tempat pengaturan secara khusus di antara perangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam hal ini berbentuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, maka diharapkan ini merupakan momentum yang sangat strategis dalam upaya pemberdayaan secara produktif. Dengan kata lain, secara komprehensif-substansif, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 merupakan wujud adanya pembaharuan hukum perwakafan di Indonesia, yang menegaskan adanya paradigma baru wakaf serta sebagai instrument hukum pengembangan dan pengolahan tanah wakaf ke arah produktif.

Selanjutnya dengan adanya pengaturan tersebut maka lembaga ini tidak lagi dipandang sebagai suatu lembaga keagamaan yang bersandar pada hukum Islam semata, akan tetapi sudah ditingkatkan kedudukannya sebagai suatu lembaga formal di dalam Perundang-undangan. Sehingga segala sesuatunya tidak hanya harus memenuhi segala persyaratan yang diatur dan ditentukan oleh ajaran agama Islam semata akan tetapi juga harus memenuhi segala macam persyaratan formal yang ditentukan dalam berbagai peraturan tentang perwakafan.

Secara konseptual, Islam mengenal lembaga wakaf sebagai sumber aset yang memberikan kemanfaatan sepanjang masa. Di negara-negara muslim lain wakaf telah diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai peran yang cukup

4

Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta; Departemen Agama

(13)

signifikan dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat. Sedangkan di Indonesia, sampai saat ini pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf (produktif) masih juga ketinggalan dibanding dengan Negara-negara muslim lain seperti Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait, dan Mesir.

Dalam pengelolaan harta produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya pemanfaatan harta wakaf adalah nadzir wakaf, yaitu seseorang atau sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif (orang yang mewakafkan hartanya) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fiqih ulama tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabaru’ (pemberian yang bersifat sunnah). Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil wakaf, maka keberadaan nadzir profesional sangat dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab di pundak nadzirlah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.5

Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus yang terjadi banyak harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, disebabkan tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, melainkan juga karena sikap

5

Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia,

(14)

masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum yang sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.

Salah satu hambatan bagi pemanfaatan wakaf yang kurang optimal yakni kurangnya pemahaman dan kepedulian umat Islam terhadap wakaf dan kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan, dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai nadzir. Sedangkan orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki nadzir tersebut, bisa jadi ia (nadzir) tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Di samping karena kurangnya aspek pemahaman yang utuh tentang wakaf dalam Islam, umat Islam (khususnya Indonesia) juga belum menyadari betul akan pentingnya wakaf dalam kehidupan kesejahteraan masyarakat banyak.6

Berdasarkan hasil penelitian awal yang telah dilaksanakan penulis di wilayah Kecamatan Penjaringan, menunjukkan bahwa pengelolaan perwakafan di Kelurahan Penjaringan relatif tinggi dibanding kelurahan lainnya, menurut data perkembangan tanah wakaf pada KUA kecamatan penjaringan pada tahun 2005 terdapat 64 lokasi tanah wakaf, sedangkan pada kelurahan lain rata-rata hanya

6

(15)

mencapai 10 sampai 30 lokasi tanah wakaf, hal ini disebabkan respon masyarakat di Kelurahan tersebut cukup tinggi dalam menanggapi perwakafan, aktif dan kompaknya tokoh masyarakat, dan banyaknya Ulama, ustadz diwilayah tersebut sehingga menjadi pengaruh bagi masyarakat yang lain dalam mensosialisakan pentingnya mewakafkan tanah di wilayah tersebut, sedangkan di kelurahan lain minimnya Ulama, ustadz dan kurangnya respon masyarakat dalam menangapi persoalan perwakafan.

Mengingat hal tersebut, penulis berasumsi bahwa terdapat faktor-faktor yang menjadi penunjang dalam peningkatan tanah wakaf pada wilayah tersebut, lalu bagaimanakah peran wakaf dikelurahan tersebut bagi pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis semakin tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul “PERAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA DALAM UPAYA

PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH WAKAF (Studi

Kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi Jakarta Utara)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar teraturnya pembahasan ini maka penulis akan memberikan batasan dan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran wakaf bagi pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Penjaringan?

(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap kali seseorang melakukan sesuatu maka tidak terlepas dari motif apa tujuan orang tersebut, maka dari itu dalam hal ini penulis akan menguraikan beberapa tujuan dari penulisan ini diantaranya :

1. Untuk mengetahui peran wakaf bagi pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Penjaringan

2. Untuk mengetahui peran Tokoh Masyarakat dalam upaya pengelolaan dan peningkatkan fungsi tanah wakaf di kelurahan penjaringan.

Sedangkan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis sendiri, dapat menambah pengetahuan yang berharga mengenai Peran Tokoh Masyarakat Kecamatan Penjaringan dalam upaya pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di kelurahan penjaringan.

2. Memberikan kejelasan pada masyarakat mengenai peran wakaf bagi pemberdayaan masyarakat di Kelurahan penjaringan Jakarta Utara.

3. Sebagai bahan bacaan tambahan di kalangan akademis dan sumber referensi untuk mendalami pengetahuan mengenai masalah-masalah dalam perwakafan.

D. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

(17)

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mencermati mengenai peran Tokoh Masyarakat Kecamatan Penjaringan dalam upaya pengelolaan dan peningkatan Fungsi tanah wakaf di Kelurahan Penjaringan.

Sedangkan dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian lapangan yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.7

Dan dari segi tipe penelitian hukum penelitian doktriner komperatif. Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (library reseach), penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode yaitu dari buku-buku, makalah-makalah wakaf, brosur-brosur dan lain-lain yang berkaitan dengan skripsi ini.

2. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan membaca literatur-literatur yang ada di perpustakaan yang berhubungan erat dengan masalah pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf.

(18)

b. Penelitian Lapangan (Field Research), peneliti langsung terjun kelapangan (KUA Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Penjaringan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara) untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan pokok permasalahan dengan menggunakan tehnik sebagai berikut : 1) Dokumentasi, yaitu menyelidiki dokumen-dokumen tertulis untuk

memperoleh data, seperti berkas-berkas, arsip, internet, majalah, dan lain-lain.

2) Wawancara/Interview, yaitu pengambilan data dengan menggunakan Tanya jawab yang ditujukan kepada pegawai KUA, ulama, dan tokoh masyarakat mengenai pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di Kelurahan Penjaringan.

3) Observasi yang merupakan sebuah proses penelitian secara mendalam untuk mengetahui kinerja pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf yang terjadi di wilayah Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. 3. Teknik analisa data

Setelah data terkumpul lalu dianalisa dengan analisa kualitatif lalu di interprestasikan sedemikian rupa dengan metode deduktif.

(19)

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyusun menyelesaikan pembahasan secara sistematis, maka perlu disusun sistematika pembahasan sedemikian rupa. Adapun sistematika yang akan diuraikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, meliputi: Latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN, meliputi:

Perwakafan menurut hukum islam dan dasar hukumnya, fungsi, unsur dan syarat-syarat perwakafan, perwakafan menurut PP. No. 28 Tahun 1977, pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf produktif

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, meliputi:

Letak geografis Kec. penjaringan, keadaan demografis Kec. penjaringan, keadaan sosiologis kecamatan penjaringan.

BAB IV PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN TANAH WAKAF

DI KELURAHAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA, meliputi: Proses

(20)

Wakaf di Kelurahan Penjaringan, Peran Tokoh Masyarakat Dalam Upaya Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan,

(21)

14

A. Perwakafan Menurut Hukum Islam dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Wakaf

Kata Wakaf atau Waqf berasal dari bahasa Arab. Asal kata “ﻒﻗو”yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “berdiam di tempat” atau “tetap

berdiri”. Kata “ ﺎﻔـﻗو - ﻒـﻘﯾ-

ﻒـﻗو

” sama artinya dengan"ﺎﺴﺒﺤﺗ -ﺲﺒﺤﯾ -ﺲﺒﺣ"

.

1

Wakaf dalam kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat.2

Secara terminologi, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya menjadi umum. Yang dimaksud dengan pemilikan asal ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, dipinjamkan, dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sessuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.3

Wakaf menurut istilah yuridis adalah menyediakan suatu harta benda, yang digunakan hasilnya untuk kepentingan/kemaslahatan umum. Menurut H.

1

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A., dkk., vol. XIV, Cet. VIII, (Bandung: Al Ma’arif, 1996), h. 148

2

M. Abdul Mujieb dkk, kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 414

3

(22)

Muhammad Thahir Azhary, wakaf adalah suatu lembaga sosial Islam yang lazim dipahami “menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya dan dilembagakan guna kepentingan umum”. Artinya benda tersebut tidak dialihkan oleh siapapun dan dijadikan sebagai suatu lembaga sosial yang dapat dimanfaatkan untuk umum (for the public utility).4

Dalam merumuskan pengertian wakaf, para ulama fiqih tidak memiliki kata sepakat. Pengertian wakaf menurut para ulama5 :

a. Menurut golongan Hanafi

Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif (orang yang mewakafkan) dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.

b. Menurut golongan Maliki

Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.

c. Menurut golongan Syafi’i

Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.

d. Menurut golongan Hambali

Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak

4

M. Tahir, “Wakaf dan Sumber Daya Ekonomi : Suatu Pendekatan Teorotis”, Mimbar Hukum,

No. 7 Th. III, 1992, h. 11

5

(23)

penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Terdapatnya perbedaan rumusan tersebut pada dasarnya diakibatkan oleh pendapat masing-masing tentang status harta wakaf dikemudian hari, yakni apakah harta itu akan bersifat tetap menjadi milik yang berwakaf atau bisa dipindahkan hak miliknya atau diwariskan. Namun demikian, terlepas dari bisa atau tidaknya harta ditarik kembali, definisi-definisi tersebut menunjukkan suatu pandangan yang sama bahwa wakaf adalah penahanan pemindahan harta suatu hak milik oleh pihak yang berwakaf dan mensedekahkan segala manfaat dan hasil yang bisa diambil dari harta tersebut untuk kebajikan dalam rangka mencari keridhaan dari Allah SWT.

2. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Islam

a. Al-Qur’an

Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya wakaf dapat kita lihat dalam al-Qur’an, diantaranya yaitu:

ﻢﻴﻠﻋ ﻪﹺﺑ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺈﹶﻓ ٍﺀﻲﺷ ﻦﻣ ﺍﻮﹸﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣﻭ ﹶﻥﻮﺒﺤﺗ ﺎﻤﻣ ﺍﻮﹸﻘﻔﻨﺗ ﻰﺘﺣ ﺮﹺﺒﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻟﺎﻨﺗ ﻦﹶﻟ

)

ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺍ

/

3

:

٩٢

(

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S. Ali Imran/3: 92)

ﺪﺠﺳﺍﻭ ﺍﻮﻌﹶﻛﺭﺍ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ﻢﹸﻜﱠﻠﻌﹶﻟ ﺮﻴﺨﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﻌﹾﻓﺍﻭ ﻢﹸﻜﺑﺭ ﺍﻭﺪﺒﻋﺍﻭ ﺍﻭ

ﹶﻥﻮﺤﻠﹾﻔﺗ

)

ﺞﳊﺍ

/

22

:

٧٧

(

(24)

ﻣﺍَﺀ

ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺎﹶﻓ ﻪﻴﻓ ﲔﻔﹶﻠﺨﺘﺴﻣ ﻢﹸﻜﹶﻠﻌﺟ ﺎﻤﻣ ﺍﻮﹸﻘﻔﻧﹶﺃﻭ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻪﱠﻠﻟﺎﹺﺑ ﺍﻮﻨ

ﲑﹺﺒﹶﻛ ﺮﺟﹶﺃ ﻢﻬﹶﻟ ﺍﻮﹸﻘﹶﻔﻧﹶﺃﻭ ﻢﹸﻜﻨﻣ

)

ﺪﻳﺪﳊﺍ

/

57

:

٧

(

Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al-Hadid/57: 7)

ﹶﺜﻤﹶﻛ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﻞﻴﹺﺒﺳ ﻲﻓ ﻢﻬﹶﻟﺍﻮﻣﹶﺃ ﹶﻥﻮﹸﻘﻔﻨﻳ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﹸﻞﹶﺜﻣ

ﻲﻓ ﹶﻞﹺﺑﺎﻨﺳ ﻊﺒﺳ ﺖﺘﺒﻧﹶﺃ ﺔﺒﺣ ﹺﻞ

ﻢﻴﻠﻋ ﻊﺳﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ُﺀﺎﺸﻳ ﻦﻤﻟ ﻒﻋﺎﻀﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﺔﺒﺣ ﹸﺔﹶﺋﺎﻣ ﺔﹶﻠﺒﻨﺳ ﱢﻞﹸﻛ

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

/

2

:

٢٦١

(

Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendaki.

Dan Allah Maha Luas (karunianya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 261)

Walaupun di dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas kata-kata wakaf, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya menafkahkan harta yang kita miliki untuk kemaslahatan umum. Dan salah satu caranya adalah dengan perwakafan. Dan hukum wakaf suunah yang sangat dianjurkan, karena amalan wakaf akan tetap mengalir walaupun si wakif sudah meninggal dunia.

b. Hadits Nabi

(25)

ﻳﺮﻫ ﰉﺃ ﻦﻋ

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺓﺮ

:

ﻦﺑﺍ ﺕﺎﻣ ﺍﺫﺇ

ﻊﻄﻘﻧﺍ ﻡﺩﺃ

ﱀﺎﺻ ﺪﻟﻭ ﻭﺃ ﻪﺑ ﻊﻔﺘﻨﻳ ﻢﻠﻋ ﻭﺃ ﺔﻳﺭﺎﺟ ﺔﻗﺪﺻ ﺙﻼﺛ ﻦﻣ ﻻﺃ ﻪﻠﻤﻋ

ﻪﻟﻮﻋﺪﻳ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻩﺍﻭﺭ

(

6

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Apabila seseorang manusia telah meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (H.R. Muslim)

Hadits yang kiranya lebih tegas menunjukkan dasar hukum lembaga wakaf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar tentang tanah Khaibar, yaitu:

ﱯﻨﻟﺍ ﻰﺗﺄﻓ ﺎﺿﺭﺍ ﺏﺎﺻﺍ ﺏﺎﻄﳋﺍ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻥﺃ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ

ﺎﺿﺭﺍ ﺖﺒﺻﺍ ﱐﺇ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻩﺮﻣ ﺄﺘﺴﻳﻭ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

ﻴﲞ

ﺕﺄﺷ ﻥﺇ ﻝﺎﻗ ﻪﺑ ﱐﻭﺮﻣﺄﺗ ﺎﻤﻓ ﻪﻨﻣ ﻯﺪﻨﻋ ﺲﻔﻧﺃ ﻂﻗ ﻻﺎﻣ ﺐﺻﺃ ﱂ

ﻻﻭ ﻉﺎﺒﺗ ﻻ ﺎﺃ ﺮﻤﻋ ﺎ ﻕﺪﺼﺘـﻓ ﻝﺎﻗ ﺎ ﺖﻗﺪﺼﺗ ﻭ ﺎﻬﻠﺻﺍ ﺖﺴﺒﺣ

ﺐﻫﻮﺗ

ﺎ ﻕﺪﺼﺗﻭ ﺙﺭﻮﺗ ﻻﻭ

ﻦﺑﺍﻭ ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﰱﻭ ﺏﺎﻗﺮﻟﺍ ﰱﻭ ﺀﺍﺮﻘﻔﻟﺍ ﰱ

ﻑﻭﺮﻌﳌﺎﺑ ﺎﻬﻨﻣ ﻞـﻛﺄﻳ ﻥﺍ ﺎﻬﻴﻟﻭ ﻦﻣ ﻰﻠﻋ ﺡﺎﻨﺟﻻ ﻒﻴﻀﻟﺍﻭ ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺴﻟﺍ

ﻝﻮﻤﺘﻣ ﲑﻏ ﻢﻌﻄﻳﻭ

)

ﻯﺭﺎــﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

7

Artinya: “Dari Ibnu umar r.a.: Bahwa Umar bin Khattab mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian dia datang menghadap kepada Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut dan Umar berkata: ”Ya Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang tidak pernah sama sekali aku

6

Imam Abi Al-Husain Muslim Al-Halaj, Shahih Muslim, jilid IV, cet I, (Mesir: Daar al-Hadits al-Qahirah,1994).,h. 95

7

(26)

dapatkan harta sebagus itu, maka bagaimana engkau perintahkan aku dengan harta itu?”. Nabi bersabda: “Kalau kamu berkehendak, maka kamu tahan (wakafkan) tanah itu dan shodaqahkanlah hasilnya.” Maka kemudian Umar mewakafkan tanah Khaibar itu, (dengan mengisyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Umar menyedahkahkan hasilnya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidaklah berdosa bagi orang yang mengurusi harta wakaf itu untuk memakan dari hasilnya secara baik atau memberi makan pada teman tanpa maksud memiliki harta itu (mutamawwil).” (H.R. Bukhori)

Hadits tersebut dijadikan dasar hukum wakaf karena adanya kata habasa menunjukkan arti sinonim mewakafkan. Kandungan isi hadits tersebut adalah agar seseorang mewakafkan harta benda yang dimilikinya untuk kemaslahatan.

ﺱﺎﺒﻋ ﰉﺍ ﻦـﻋ

:

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺩﺍﺭﺍ

ﺞﳊﺍ

,

ﺖﻟﺎﻘﻓ

ﺎﻬﺟﻭﺰﻟ ﺓﺃﺮﻣﺍ

:

ﻝﺎﻘﻓ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻊﻣ ﲏﺠﺣﺍ

:

ﺎﻣ

ﻪﻴﻠﻋ ﻚﺠﺣﺍﺎﻣ ﻯﺪﻨﻋ

:

ﻥﻼﻓ ﻚﻠﲨ ﻰﻠﻋ ﲏﺠﺣﺍ ﺖﻟﺎﻗ

,

ﻝﺎﻗ

:

ﻚﻟﺫ

ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﰱ ﺲﻴﺒﺣ

,

ﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻰﺗﺄﻓ

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ

,

ﻝﺎﻘﻓ

:

ﺎﻣﺍ

ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﰱ ﻥﺎﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﺎﻬﺘﺠﺠﺣﺍ ﻮﻟ ﻚﻧﺇ

)

ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺃ ﺩﻭﺍﺩﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ

ﰱ ﻩﺍﺩﺎﺘﻋﺍﻭ ﻪﻋﺍﺭﺩﺍ ﺲﺒﺘﺣﺍ ﺪﻗ ﺪﻟﺎﺧ ﻖﺣ ﰱ ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺳ

(

8

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah SAW akan menunaikan Ibadah haji, seorang wanita berkata kepada suaminya: apakah engkau akan menghajikan aku bersama Rasulullah SAW?” Suaminya menjawab: tidak, aku akan tidak menghajikanmu. Si wanita itu berkata lagi: Apakah boleh engkau

8

(27)

menghajikan aku oleh seseorang dengan menunggang untamu? Suaminya berkata: Unta itu telah kuwakafkan di jalan Allah. Maka datanglah rasul menghampirinya seraya berkata: Adapun bila engkau mengajak istri dengan mengendarai unta engkau, sesungguhnya hal itu ibadah adalah di jalan Allah. (H.R. Abu Daud). Telah dishahihkan pula bahwa Rasulullah SAW menempati hak Khalid, ia telah mewakafkan pakaian besinya serta membiasakannya untuk berperang di jalan Allah.”

Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, wakaf merupakan amal ibadah yang sangat dianjurkan. Adapun benda yang diwakafkan bukan hanya benda tetap akan tetapi juga benda bergerak, seperti unta, pakaian dan sebagainya. Yang harus diperhatikan bahwa manfa’at benda yang diwakafkan itu bersifat kekal dan tujuan wakaf sesuai dengan ajaran Islam.

B. Fungsi, Unsur dan Syarat-Syarat Perwakafan

1. Fungsi Wakaf

Dalam konsep Islam, wakaf dikenal dengan istilah jariyah artinya mengalir. Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan, sepanjang benda itu dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan, maka selama itu pula si wakif mendapat pahala secara terus-menerus, meskipun telah meninggal dunia.9 Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat At-Tiin ayat 4-6

ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﲔﻠﻓﺎﺳ ﹶﻞﹶﻔﺳﹶﺃ ﻩﺎﻧﺩﺩﺭ ﻢﹸﺛ ﹴﱘﹺﻮﹾﻘﺗ ﹺﻦﺴﺣﹶﺃ ﻲﻓ ﹶﻥﺎﺴﻧﹺﺈﹾﻟﺍ ﺎﻨﹾﻘﹶﻠﺧ ﺪﹶﻘﹶﻟ

ﻥﻮﻨﻤﻣ ﺮﻴﹶﻏ ﺮﺟﹶﺃ ﻢﻬﹶﻠﹶﻓ ﺕﺎﺤﻟﺎﺼﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﻤﻋﻭ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ

)

ﲔﺘﻟﺍ

:

٤

(

9

(28)

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (Q.S. At-Tiin: 4-6)

Dalam pengertian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa wakaf berfungsi untuk memberikan pahala yang terus mengalir kepada si wakif meskipun dia sudah meninggal dunia, sebagai media untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, dan juga untuk membantu masyarakat umum dari hasil benda yang diwakafkan oleh si wakif.

2. Unsur dan Syarat-Syarat Perwakafan

Unsur dalam istilah hukum Islam dinamakan rukun, yang dimaksud dengan rukun adalah sudut, tiang penyangga, yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun sesuatu hal tidak akan berdiri.

Adapun rukun perwakafan di antaranya yaitu: a. Wakif (orang yang mewakafkan)

(29)

Diperlukan .kematangan pertimbangan akal seseorang (rasyid), yang dianggap telah ada pada remaja berumur antara 15 sampai dengan 23 tahun.10

b. Maukuf (benda yang diwakafkan)

Para ulama madzhab sepakat bahwa benda-benda yang diwakafkan harus memenuhi syarat-syarat:

1) Benda yang diwakafkan merupakan sesuatu yang konkrit jelas wujudnya dan batas-batasnya (jika berbentuk tanah misalnya) dan benda tersebut merupakan milik orang yang mewakafkan.

2) Benda tersebut harus mempunyai nilai ekonomis, tahan lama dan dapat diambil manfaatnya.

3) Benda yang diwakafkan dapat berupa barang-barang tidak bergerak (misalnya tanah, rumah dan kebun) dan barang bergerak (misalnya buku-buku dan kitab suci.

Dalam hal mewakafkan benda yang bergerak, Hanafi berbeda pendapat dengan para ulama. Menurutnya, benda wakaf harus berupa benda yang tidak bergerak demi tercapainya tujuan wakaf yang bersifat mu’abbad. Akan tetapi muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan bahwa barang bergerak yang berfungsi sebagai pelengkap sah untuk diwakafkan. Misalnya

10

(30)

mewakafkan kebun sekaligus dengan binatang dan peralatanya, mewakafkan senjata dan kuda perang. 11

Kesimpulannya, wakaf benda bergerak boleh dengan syarat benda itu selalu menyertai benda tetap.

c. Maukuf Alaih

Adapun syarat-syarat maukuf alaih adalah12:

1) Orang yang diwakili tersebut ada (sudah dilahirkan) ketika wakaf terjadi. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya orang yang akan diwakili ketika terjadinya wakaf. Menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali orang yang akan diwakafi harus ada ketika wakaf terjadi. Sedangkan menurut Maliki, sah hukum wakaf walaupun orang yang diwakafi belum ada.

2) Harus dinyatakan secara tegas/jelas dikala mengingkari wakaf, kepada siapa wakaf itu ditujukan.

3) Para ulama madzhab sepakat bahwa tujuan wakaf harus untuk ibadah dan mengharap keridloan Allah SWT. Oleh karena itu, tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, tidak mewakafkan sesuatu yang menimbulkan maksiat kepada Allah SWT. Misalnya mewkafkan tanah untuk mendirikan tempat perjudian, diskotek dan sebagainya.

11

Muhammad Jawad Mughirah, op.cit., h. 645-646

12

(31)

d. Sighat Wakaf (penyertaan)

Sighat wakaf adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari wakif yang merupakan tanda penyerahan benda wakaf. Para ulama madzhab sepakat bahwa akad wakaf merupakan akad tabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qobul dari pihak penerima wakaf dan cukuf hanya dengan ucapan ijab si wakif.

Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu13:

1) Lafadz yang jelas (shorih) seperti dengan kata-kata sebagai berikut: Wakoftu, habasu dan sabaltu.

2) Lafadz kiasan (kinayah) seperti dengan kata tashaddaqtu, harramtu dan abbadtu. Semua kata-kata kiasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan niat wakaf.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab mengenai apakah wakaf dinyatakan sah jika hanya terjadi melalui perbuatan tanpa ucapan, misalnya seseorang mempunyai sebidang tanah kemudian ia membangun sebuah pemakaman dan mengizinkan orang Islam untuk melakukan pemakaman di tempat tersebut.

Hanafi, Maliki dan Hanbali mengatakan wakaf dapat terjadi cukup hanya dengan perbuatan dan barang yang dimaksud berubah menjadi wakaf. Demikian pula pendapat segolongan ulama madzhab Imamiyah terkemuka di antaranya Sayyid al-Yazidi, Sayyid Abu Hasan al-Asfahani, Sayyid al-Hakim,

13

(32)

al-Syahid al-Tsani dan Ibnu Idris. Sedangkan syafi’i mengatakan wakaf tidak dapat terjadi kecuali dengan lafadz yang diucapkan.14

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 menyebutkan rukun dengan istilah unsur-unsur wakaf yang diuraikan pada Bab II bagian kedua mulai pasal 3 sampai dengan 6 dan diuraikan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II bagian kedua mulai pasal 217 sampai dengan 219.

Adapun unsur atau rukun yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

a. Wakif (orang yang mewakafkan)

Pasal 215 (2) Kompilasi Hukum Islam dan pasal 1 (2) Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 disebutkan, “wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.” Karena mewakafkan tanah itu merupakan perbuatan hukum, maka wakif haruslah orang atau orang-orang atau badan hukum yang memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 ayat (1) PP No. 28 tahun 1977, syarat-syarat wakif adalah sebagai berikut:

1) Dewasa 2) Sehat akalnya

3) Tidak terhalang untuk melakukan tindakan hukum 4) Atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain 5) Benar-benar pemilik harta yang diwakafkan

14

(33)

Syarat-syarat ini perlu dirinci untuk menghindari tidak sahnya tanah yang diwakafkan, baik karena faktor intern (pada diri orang itu sendiri) seperti cacat atau kurang sempurna cara berfikir, maupunn faktor extern (yang berbeda di luar orang yang bersangkutan) seperti merasa dipaksa orang lain.15 b. Maukuf (benda yang diwakafkan)

Menurut Kompilasi Hukum Islam, yang dapat dijadikan benda wakaf adalah segala benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran agama Islam, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, yang dapat dijadikan benda wakaf adalah tanah hak milik. Benda atau tanah hak milik tersebut disyaratkan harta yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara.

Ketentuan ini didasarkan pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci dan abadi. Karena itu, tanah yang dapat dijadikan wakaf selain dari statusnya hak milik juga harus bersih, artinya tidak menjadi tanggungan utang atau hipotik, tidak dibebani oleh beban (jaminan) lainnya tidak pula dalam sengketa. Tanah yang diwakafkan itu harus benar-benar tanah milik atau tanah hak milik yang sempurna.

Ahmad Rofiq menyatakan, bahwa syarat-syarat harta benda yang diwakafkan adalah sebagai berikut16:

15

Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h.106-107

16

(34)

1) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai. Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda tersebut.

2) Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum.

3) Hak milik wakaf yang jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda wakaf merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

4) Benda wakaf dapat dialihkan jika untuk maslahat yang lebih benar. 5) Benda wakaf tidak boleh diperjual belika, dialihkan atau diwariskan.

Perbuatan mewakafkan adalah perbauatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubungan dengan itu, maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya ditinjau dari sudut kepemilikan.

Selain itu, adanya pernyataan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan pengadilan yang dapat merosotkan wibawa dan syari’at agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti tanah dalam proses perkara dan sengketa tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu. c. Maukuf ‘Alaih (tujuan wakaf)

(35)

(pasal) yang kemudian disebut dalam pasal 2 waktu menegaskan fungsi wakaf. Menurut Peraturan Pemerintah, tujuan perwakafan tanah milik untuk pemakaman adalah untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Mungkin, karena tujuan wakaf ini dipandang sudah jelas, maka tidak perlu lagi dirinci dalam Peraturan Pemerintah. Yang perlu adalah melestarikan tujuan tersebut dengan pengeleloan yang baik dilakukan oleh nadzir, yaitu sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaannya dan pengurusan benda-benda wakaf agar manfaatnya dapat kekal dinikmati oleh masyarakat. Oleh karena itu pula dalam system perwakafan tanah milik untuk pemakaman ini, tujuan wakaf yang merupakan unsur atau rukun dalam fiqh tradisional, digantikan tempatnya oleh nadzir, agar wakafnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya, hak dan kewajibannya disebut secara terinci dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pelaksanaannya.

Yang jelas, syarat dan tujuan wakaf adalah untuk kebajikan mencari ridlo Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya. kegunaannya bidang untuk sarana ibadah murni seperti masjid, musholla, pesantren atau pemakaman dan juga termasuk sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar manfaatnya.

Untuk lebih jelasnya atau konkritnya, tujuan wakaf adalah sebagai berikut17:

17

(36)

1) Untuk mencari keridloan Allah SWT, termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti mendirikan tempat ibadah kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan agama Islam, penelitian ilmu-ilmu agama Islam, pemakaman dan sebagainya. Tujuan ini merupakan tujuan utma dari wakaf, karena itu seseorang tidak dapat mewakafkann hartnya untuk keperluan-keperluan yang berlawanan bagi kepentingan agama Islam seperti mendirikan rumah ibadah agama lain selain agama Islam, membantu pendidikan agama selain agama Islam. Demikian harta wakaf tidak dikelola dalam usaha-usaha yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti usaha perternakan babi modal pengadaan lotre, membangun atau modal pabrik minuman keras (khamar) dan sebagainya.

2) Untuk keperluan masyarakat, seperti untuk membantu fakir miskin, membantu orang terlantar, karib kerabat, mendirikan sekolah, mendirikan asrama anak yatim dan sebagainya.

Oleh karena itu, tujuan wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat atau membantu mendukung, dan atau yang memungkinkan diperuntukan untuk tujuan maksiat.

(37)

ﺎﹶﻟﻭ ﻱﺪﻬﹾﻟﺍ ﺎﹶﻟﻭ ﻡﺍﺮﺤﹾﻟﺍ ﺮﻬﺸﻟﺍ ﺎﹶﻟﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺮﺋﺎﻌﺷ ﺍﻮﱡﻠﺤﺗ ﺎﹶﻟ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ﻢﺘﹾﻠﹶﻠﺣ ﺍﹶﺫﹺﺇﻭ ﺎﻧﺍﻮﺿﹺﺭﻭ ﻢﹺﻬﺑﺭ ﻦﻣ ﺎﹰﻠﻀﹶﻓ ﹶﻥﻮﻐﺘﺒﻳ ﻡﺍﺮﺤﹾﻟﺍ ﺖﻴﺒﹾﻟﺍ ﲔﻣﺍَﺀ ﺎﹶﻟﻭ ﺪﺋﺎﹶﻠﹶﻘﹾﻟﺍ

ﻣﹺﺮﺠﻳ ﺎﹶﻟﻭ ﺍﻭﺩﺎﹶﻄﺻﺎﹶﻓ

ﹾﻥﹶﺃ ﹺﻡﺍﺮﺤﹾﻟﺍ ﺪﹺﺠﺴﻤﹾﻟﺍ ﹺﻦﻋ ﻢﹸﻛﻭﺪﺻ ﹾﻥﹶﺃ ﹴﻡﻮﹶﻗ ﹸﻥﺂﻨﺷ ﻢﹸﻜﻨ

ﺍﻮﹸﻘﺗﺍﻭ ﻥﺍﻭﺪﻌﹾﻟﺍﻭ ﹺﻢﹾﺛﹺﺈﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﻧﻭﺎﻌﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﻯﻮﹾﻘﺘﻟﺍﻭ ﺮﹺﺒﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻮﻧﻭﺎﻌﺗﻭ ﺍﻭﺪﺘﻌﺗ

ﹺﺏﺎﹶﻘﻌﹾﻟﺍ ﺪﻳﺪﺷ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ

)

ﺓﺩﺀﺎــﳌﺍ

/

5

:

٢

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dari keridloan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu, dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat besar siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah/5: 2)

d. Shigat (ikrar pernyataan wakaf)

(38)

Pernyataan qabul dari pihak yang menerima tidak diperlukan. Dalam wakaf hanya ada ijab tanpa qabul.18

Hal ini karena ikrar wakaf pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan (ikrar) dari orang yang berwakaf (wakif) bahwa ia telah mewakafkan hartanya yang tertentu kepada Allah SWT. Karena itu tidak memerlukan Kabul atau semacam pernyataan penerimaan dari pihak penerimanya. Di samping itu, wakaf juga merupakan tindakan tabarru’ atau pelepasan hak milik. Tabarui’ tidak memerlukan Kabul.19

Adapun menurut Ahmad Rofiq menyatakan bahwa ikrar wakaf adalah tindakan hukum yang bersifat deklaratif (sepihak), untuk itu tidak diperlukan adanya Kabul (penerimaan) dari orang yang menikmati manfaat wakaf tersebut. Namun demikian, demi tertib hukum dan administrasi, guna menghindari penyalahgunaan benda wakaf, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang secara organik mengatur perwakafan.20

Ikrar menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya, Ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadzir yang telah disahkan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian, harus dituangkan dalam bentuk

18

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987), h. 11

19

Zakiyah Daradjat, et al, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Jil. III

20

(39)

tertulis. Bila seorang wakif tidak mampu menyatakan ikrar wakafnya secara lisan, karena ia bisu misalnya, ia dapat menyatakan ikrar wakaf itu dengan isyarat. Dan bila wakif tidak bisa hadir dalam upacara ikrar wakaf, ikrarnya dapat dibuat secara tertulis dengan persetujuan PPAIW dan saksi-saksi.

Sedangkan dalam pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemeritah dan dalam pasal 233 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pelaksanaan ikrar wakaf diangap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-sekurangnyan 2 (dua) orang saksi. Ini berarti bahwa, jika ketentuan itu ditafsirkan secara a contrario, pelaksanaan ikrar wakaf dianggap tidak sah jika tidak dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-sekurangnya 2 (dua) orang saksi. Konsekuensinya adalah perwakafan yang dilakukan tanpa dihadiri dan disaksikan oleh dua orang saksi, harus dipandang tidak memenuhi syarat dan karenannya tidak sah dan tidak pula dilindungi oleh hukum.

Ketentuan yang mewajibkan ikrar wakaf dituangkan kemudian dalam bentuk tertulis dan keharusan adanya dua orang saksi yang menghadiri dan menyaksikan ikrar wakaf itu dimaksudkan sebagai jaminan dan perlindungan hukum terhadap perwakafan tanah. Tujuannya adalah, menurut penjelasan pasal 9 Peraturan Pemerintah, untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti misalnya:

(40)

2) Untuk keperluan penyeleasaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan itu.

Dengan kesaksian dua orang saksi itu akan jelas riwayat tanah yang bersangkutan baik sebelum maupun sesudah tanah itu diwakafkan.

Tidak semua orang dapat menjadi saksi. Seorang saksi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

2) Telah dewasa; 3) Sehat akalnya;

4) Tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum;

Syarat ini dipersiapkan untuk menjadi salah satu alat bukti dalam menghadapi sengketa hukum yang mungkin di kemudian hari walaupun hanya sebagai bukti penguat saja, karena Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.21 e. Nadzir (pengelola wakaf)

Nadzir adalah sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam perumusan itu adalah kelompok yang merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus. Jadi bukan orang seorang, sebagaimana dimungkinkan dalam fiqh tradisional. Hal ini mungkin dimaksudkan agar pengurusan harta wakaf dapat dilakukan secara lebih baik

21

(41)

oleh kumpulan orang yang dapat saling mengawasi dan menghindari terjadinya penyelewengan harta wakaf yang menjadi milik perorangan nadzir wakaf yang bersangkutan.

Ketentuan nadzir seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah merupakan pengembangan hukum fiqh di Indonesia, di samping seperti misalnya keharusan adanya dua orang saksi yang menghadiri dan menyaksikan ikrar wakaf, ikrar wakaf yang harus tertulis, dan dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

Pasal 6 Peraturan Pemerintah dan pasal 219 Kompilasi Hukum Islam menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir, baik nadzir perorangan maupun badan hukum.22

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir perorangan adalah sebagai berikut:

1) Warga Negara Indonesia; 2) Beragama Islam;

3) Sudah dewasa;

4) Sehat jasmani dan rohani;

5) Tidak berada dalam pengampuan;

6) Bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan;

22

(42)

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir berbentuk badan hukum adalah sebagai berikut:

1) Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

2) Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal letaknya tanah yang diwakafkan;

3) Sudah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan dimuat dalam Berita Negara;

4) Jelas tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Nadzir wakaf, baik perorangan maupun badan hukum, harus terdaftar pada KUA Kecamatan setempat untuk mendapat pengesahan dari Kepala KUA Kecamatan yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Pendaftaran itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan.

(43)

benda-benda wakaf yang ada dalam desa yang bersangkutan. Kelompok perorangan itu terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, salah seorang di antaranya menjadi ketua. Susunan itu ditentukan oleh Kepala KUA Kecamatan.23

Masa kerja nadzir perorangan tidaklah mutlak seumur hidup. Seorang anggota nadzir berhenti dari jabatannya, karena24:

1) Meninggal dunia; 2) Mengundurkan diri

3) Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh Kepala KUA kecamatan, karena:

a) Tidak memenuhi syarat seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pelaksanaannya.

b) Melakukan tindakan pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatan nadzir.

c) Tidak dapat lagi melakukan kewajibannya sebagai nadzir.

Sebagaimana halnya dengan syarat dan susunan nadzir tersebut di atas, kewajiban dan hak nadzir ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 (pasal 7) yang dirinci lebih lanjut pasal 10 dan 11 dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978.

Kewajiban-kewajiban nadzir yang terdapat pada pasal 10 Perturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978 adalah sebagai berikut:

23

Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h. 113

24

(44)

1) Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:25 a) Menyimpan lembar kedua Salinan Akta Ikrar Wakaf

b) Memelihara tanah wakaf c) Memanfaatkan tanah wakaf

d) Berusaha meningkatkan tanah wakaf

e) Menyelenggarakan pembukaan atau administrasi perwakafan dengan memelihara buku catatan tentang keadaan tanah wakaf, buku catatan tentang pengelolahan dan hasil tanah wakaf, serta buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf.

2) Memberi laporan kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan tentang:

a) Hasil pencatatan perwakafan tanah milik untuk pemakaman oleh Pejabat Agraria

b) Perubahan atas tanah milik yang telah diwakafkan dan perunbahan penggunaannya karena:

­ Tidak susuai dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.

­ Untuk kepentingan umum

c) Pelaksanaan kewajban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasil tiap tahun yaitu pada tiap akhir bulan Desember. 3) Melaporkan anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya.

25

(45)

4) Mengusulkan kepada Kepala KUA Kecamatan anggota pengganti yang berhenti itu untuk disahkan keanggotaannya.

Kewajiban nadzir yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah pelaksanaannya jauh lebih banyak dan terinci dibandingkan dengan kewajiban nadzir yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi intinya tetap sama yakni memelihara dan mengurus harta wakaf agar dapat dimanfaatkan hasilnya seoptimal mungkin.

Sebagai imbalan kewajiban-kewajiban yang dibebankan di pundak nadzir tersebut di atas, nadzir juga mempunyai hak-hak tertentu atas harta wakaf yang diurusnya. Pasal 222 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 11 Peraturan Menteri Agama menetapkan hak nadzir, yaitu:26

1) Menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya tidak boleh melebihi (10 %) dari hasil bersih tanah wakaf. Yang menentukan besarnya penghasilan nadzir ini adalah Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya.

2) Menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang ditetapkan oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam setempat.

Dalam sistem perwakafan di Indonesia, nadzir merupakan unsur penting. Tanpa nadzir, wakaf tidak akan terlaksana karena pada waktu ikrar wakaf dilakukan, nadzir telah harus ditetapkan. Pengaturan demikian mungkin

26

(46)

dilakukan untuk menertibkan perwakafan tanah agar harta wakaf itu tidak “hilang” begitu saja.

Di samping rukun-rukun wakaf yang telah disebutkan di atas, ada pula syarat sahnya suatu perwakafan benda atau harta seseorang. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:27

a. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya, misalnya untuk lima tahun saja atau untuk sepuluh tahun saja, hukumnya tidak sah.

b. Tujuan wakaf harus jelas, seperti telah disebut di muka. Namun demikian apabila seseorang wakif menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum tertentu yang sudah jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan tujuan wakaf itu berada pada badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan tujuan badan hukum itu.

c. Pelaksanaan wakaf direaliasasikan segera setelah ikrar. Hal ini karena pemilik telah lepas dari wakif. Karena itu wakaf tidak boleh digantungkan kepada sesuatu keadaan atau syarat tertent, misalnya pada kematian seseorang atau kondisi tertentu.

d. Apabila seseorang wakif menentukan syarat dalam pelaksanaan pengelolah benda wakaf, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan wakaf, maka nadzir perlu memperhatikannya. Tetapi bila syarat tersebut bertentangan dengan tujuan wakaf semula, nadzir tidak perlu memperhatikannya.

27

(47)

e. Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan. Dengan terjadinya wakaf, maka sejak saat itu harta wakaf telah menjadi milik Allah SWT. pemilik itu tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun, baik orang, badan atau Negara.

C. PerwakafanMenurut PP. No. 28 Tahun 1977

Pada tanggal 17 Mei 1977 pemerintah RI mengeluarkan PP No. 28 tentang perwakafan tanah milik yang diiringi dengan seperangkat pelaksanaannya oleh DEPAG dan DEPDAGRI, dalam beberapa interuksi gubernur kepala daerah, dan dengan demikian telah diatur oleh perundang-undangan sehingga mempunyai badan hukum. Adapun tentang persoalan wakaf yang ada dalam peraturan pemerintah dapat dilihat dalam bab I tentang ketentuan umum adalah ;

Pasal I menyebutkan :

Yang dimaksud dalam peraturan pemerintah ini adalah :

(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya untuk selama-lamanya, untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukumyang mewakafkan tanah miliknya.

(48)

(4) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang di serahi tugas pemeliharaan dengan pengurusan benda wakaf.28

Pada bab I tersebut telah jelas bahwa pada tahun 1977 wakaf di Indonesia telah dibuat sebuah kelembagaannya. Pertanyaannya adalah mengapa perwakafan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah? Dikarenakan perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia adalah termasuk dalam hukum agrarian. Yaitu sebagai perangkat peraturan yang mengatur tentang bagaimana hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta hubungan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

Oleh karena perwakafan di Indonesia pada umumnya berobjek tanah, maka masalah perwakafan tanah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal 49 ayat (3) yang berbunyi :

“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah” Pelaksanaan dan peraturan wakaf itu sendiri di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kurun waktu ;

1. Sebelum kemerdekaan RI.

2. Setelah kemerdekaan RI, dan sebelum adanya PP no. 28 tahun 1977. 3. Setelah berlakunya PP no. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.29

28

Departemen Agama DitJen Bimas Islam dan Urusan Haji, Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, Tahun 1991-1992, hal. 84

29

(49)

1.a. Perwakafan sebelum kemerdekaan

Lembaga perwakafan sebenarnya sudah sering dilaksanakan oleh orang-orang Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan, hal ini wajar di laksanakan di Indonesia karena di Indonesia banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pasai dan lain sebagainya.

Sekalipun lembaga perwakafan itu merupakan lembaga yang berasal dari ajaran Islam, tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan dari para ahli hukum bahwa lembaga perwakafan tersebut merupakan masalah hukum adat di Indonesia, sebab diterimanya lembaga ini berasal dari suatu kebiasaan dalam sebuah kehidupannya (Azhar Basyir, 1977:13) maka tidak jarang orang membangun masjid atau pesantren untuk kepentingan bersama secara bergotong royong.

Sejak zaman dahulu persoalan wakaf ini telah di atur dalam hukum adat yang sifatnya tidak tertulis, dengan mengambil sumber dari hukum Islam. Di samping itu, oleh colonial dahulu telah pula di keluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang persoalan wakaf antara lain :

(50)

kepada para kepala wilayah di Jawa dan Madura kecuali daerah Swaraja, sepanjang belum pendaftaran tanah-tanah atau rumah ibadah Islam yang ada di kabupaten masing-masing.

2. Surat edaran sekretaris Govermen tanggal 4 Juni 1931 nomer 1361/A yang termuat dalam Bijblad 1905 nomer 6196 tentang toezicht van deregeriing op Mohammedaansche bedehuizen, vrijdag diensten wakaf surat edaran tersebut tentang tanah wakaf yang ada pada masyarakat agar memperoleh kepastian hukum dari harta wakaf tersebut.

3. Surat edaran sekretaris Govermen tanggal 24 Desember 1934 nomer 3088/A sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1934 nomer 13390 tentang toezicht van deregeriing op Mohammedaansche bedehuizen, vrijdag diensten en wakaf. Surat edaran ini hanya hanya memepertegas atas surat edaran yang kedua tersebut, yang pada intinya meminta kepada bupati untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi apabiladiminta oleh pihak yang bersengketa.

2.a. Perwakafan setelah kemerdekaan, sebelum adanya Peraturan Pemerintah no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

(51)

pengaturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.30

Untuk menyesuaikan dengan alam kemerdekaan maka telah dikeluarkan beberapa petunjuk-petunjuk mengenai wakaf.

Untuk selanjutnya perwakafan ini menjadi wewenang bagian D (ibadah sosial), jawatan urusan agama.

Pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan surat edaran nomer 5/D/1959 tentang prosedur perwakafan tanah.

Beberapa peraturan tentang perwakafan tanah di atas dirasakan kurang memadai dan masih banyak kekurangan yaitu belum memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf. Oleh karena itu untuk memperjelas dan memperbaharui system Agraria kita, pertama kita lihat dalam pasal 49 nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi:

(1) Hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. (2) Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk

bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.31

30

Ibid, hal. 32

31

(52)

Dalam pasal ini ditegaskan bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agrarian yang baru akan mendapatkanperhatian sebagaimana mestinya.

3.a. Perwakafan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

Telah diuraikan di atas bahwa peraturan perwakafan tanah di Indonesia belum memenuhi kebutuhan maupun belum dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka melindungi tanah-tanah wakaf tersebut. Oleh sebab itu pada pasal 49 ayat (3) UUPA pemerintah pada tanggal 14 Mei 1977 menetapkan peraturan pemerintah nomer 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.32

(a) Bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan, yang dapat dipergunakan salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat yang adil, dan makmur berdasarkan pancasila.

(b) Bahwa peraturan perundangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan juga membuka kemungkinan akan hal-hal yang tidak di inginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang di wakafkan.

32

(53)

Gambar

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Tabel 1 Jumlah penduduk di Kecamatan Penjaringan
Tabel 2
Jumlah sarana peribadatan di Kecamatan PenjaringanTabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan secara keseluruhan, maka disimpulkan bahwa implementasi kebijakan peralihan hak milik atas tanah untuk kepentingan umum di Kabupaten

Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman dalam pemeliharaan data Pendaftaran Tanah khususnya peralihan Hak Milik atas tanah

Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman dalam pemeliharaan data Pendaftaran Tanah khususnya peralihan Hak Milik atas tanah

Tugas Dan Fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Dan / Kota Dalam Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah (Sporadik) Untuk Mewujudkan Tertib Administrasi Pertanahan