• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEMITRAAN PADA PT AGROWIYANA

KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI

SKRIPSI

FEBRIANDINI HARVINA SUCI H34070103

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

FEBRIANDINI HARVINA SUCI. Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NARNI FARMAYANTI).

Kemitraan muncul akibat ketidakmampuan perusahaan dan petani dalam menangani kendala dalam usahatani kelapa sawit. Pola kemitraan PIR Trans dan KKPA memiliki tujuan meningkatkan produksi non migas, meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, serta menunjang pengembangan perkebunan, meningkatkan dan memberdayakan KUD di wilayah plasma. Dalam hal ini kemitraan dengan pola PIR Trans dan KKPA komoditas kelapa sawit telah dijalankan oleh PT Agrowiyana, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. PT Agrowiyana melakukan kerjasama dengan petani plasma, bank pelaksana, dan dinas pertanian dalam melaksanakan kinerja kemitraan. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi mekanisme pelaksanaan kemitraan antara petani plasma dan PT Agrowiyana, dan (2) menganalisis kinerja atribut kepuasan kemitraan petani plasma dan PT Agrowiyana.

Penelitian dilaksanakan di wilayah operasional PT Agrowiyana dan petani plasma di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Maret hingga April 2011. Responden penelitian adalah pihak internal PT Agrowiyana seperti manajer plasma, humas, dan manajer pabrik. Selain itu responden juga terdiri dari 30 orang petani pola kemitraan KKPA dan 30 orang petani dengan pola kemitraan PIR Trans. Penelitian menggunakan importance performance analysis (IPA).

Hasil matrik IPA pola kemitraan KKPA dan PIR Trans menunjukkan beberapa perbedaan atribut yang memberikan tingkat kepuasan bagi petani pada Kuadaran I (Prioritas Utama) atribut KKPA yaitu: kualitas sarana produksi, kemudahan dalam memperoleh sarana produksi, daya tampung inti, frekuensi pembinaan plasma, pelayanan dan materi pembinaan, pengenalan teknologi, ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani, bantuan dalam menanggulangi hama dan penyakit tanaman.

Sedangkan pada pola PIR Trans, atribut yang terdapat pada kuadran I yaitu: kualitas sarana produki, kemudahan memperoleh sarana produksi, daya tampung inti, bantuan dalam menanggulangi hama dan penyakit tanaman

Atribut-atribut yang terdapat pada kuadran II (pertahankan prestasi) pada pola KKPA yaitu: harga beli TBS, waktu pembayaran TBS, disiplin inti dalam mentaati perjanjian, sikap inti terhadap kesejahteraan petani plasma. Atribut-atribut pola PIR trans pada kuadran II yaitu: harga sarana produksi, pengenalan teknologi, harga beli TBS, waktu pembayaran TBS, peranan inti dalam membantu pengembalian kredit petani plasma, ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani, disiplin inti dalam mentaati perjanjian.

(3)

Atribut-atribut yang mencakup dalam kuadran IV (berlebihan) pola KKPA adalah: harga sarana produksi, peranan inti dalam membantu pengembalian kredit petani plasma, layanan pinjaman dana. Atribut-atribut pola PIR trans pada kuadran IV yaitu: frekuensi pembinaan plasma, pelayanan dan materi pembinaan, komunikasi yang dibangun petugas dalam pembinaan plasma, sikap inti terhadap kesejahteraan petani plasma.

(4)

KAJIAN KEMITRAAN PADA PT AGROWIYANA

KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI

FEBRIANDINI HARVINA SUCI H34070103

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi

Nama : Febriandini Harvina Suci

NIM : H34070103

Menyetujui, Pembimbing

Ir. Narni Farmayanti, M.Sc NIP.19630228199003 2001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Nunung Kusnadi, M.S. NIP.19580908198403 1002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kisaran pada tanggal 16 Februari 1990. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ir.H.Deni Abdullah dan Ibunda Dra.Hj.Hastuti.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 23 Balai Gurah pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di DMP Diniyyah Puteri Padang Panjang. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Diponegoro Kisaran diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di berbagai kepanitian dan organisasi di bangku SMP, SMA dan perguruan tinggi. Penulis juga terlibat dalam proyek pembuatan film profil Departemen Agribisnis pada tahun 2010.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi”.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi mekanisme pelaksanaan kemitraan antara petani plasma dan PT Agrowiyana, dan menganalisis kinerja atribut kepuasan kemitraan petani mitra dan PT Agrowiyana. Hasil penelitian berupa rekomendasi strategi dalam perbaikan kinerja kemitraan antara petani plasma dan PT Agrowiyana.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi dalam menyusun skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Mama, papa penulis serta abang, adik dan seluruh keluarga besar yang saya cintai untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang baik dan menjadi kebanggaan bagi keluarga.

2. Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Juniar Atmakusuma, M.S selaku dosen penguji utama dan Suprehatin, SP. M.Ab selaku dosen penguji Komdik, yang telah meluangkan waktunya serta memberikan arahan dan saran demi perbaikan skripsi saya.

4. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis yang telah membantu dan mendukung selama penyelesaian skripsi ini.

5. Pihak PT Agrowiyana dan petani plasma SP 1 dan KKPA Kampung Baru atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan.

6. Teman-teman spesial saya (Sigit, Tya, Ayu, Milki, Tyas, Fani) dan teman-teman kost Windy (kak Dhia, kak Endah, kak Femi, kak Indah, kak Angga, Pita, Ika) yang saya sayangi terimakasih atas bantuan dan dukungannya selama penyelesaian skripsi saya.

7. Teman-teman Agribisnis 44 atas semangat dan perjuangan kita selama tiga tahun bersama hingga penulisan skripsi ini selesai, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya.

(10)

DAFTAR ISI

2.1 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit ... 10

2.2 Agribisnis Kelapa Sawit ... 13

2.3 Konsep dan Pola Kemitraan ………... 16

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 30

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 30

3.2 Tolak Ukur Kemitraan ... 31

3.3 Penilaian Tingkat Kepuasan ... 32

3.4 Kerangka Pemikiran Operasional ... 34

IV METODE PENELITIAN ... 37

4.5.2 Analisis Kinerja atribut Kepuasan Petani Mitra ….. 40

V GAMBARAN UMUMPERUSAHAAN ……….……... 44

5.3 Karakteristik Petani Responden ... 56

VI ANALISIS PELAKSANAAN KEMITRAAN ... 60

6.1 Perkembangan Kemitraan PIR dan KKPA pada PT Agrowiyana ... 60

(11)

Trans dan PT Agrowiyana ... 61

6.2.2 Aturan-aturan dalam Perjanjian Kemitraan KKPA, PT Agrowiyana, dan Bank Pelaksana ... 63

6.3 Mekanisme Kerjasama dalam Kemitraan ... 66

6.4 Kajian Pelaksanaan Kemitraan ... 67

6.4.1 Tanggapan Inti Terhadap Pelaksanaan Kemitraan .. 67

6.4.2 Tanggapan Petani Plasma Terhadap Pelaksanaan Kemitraan ... 69

6.4.3 Pelaksanaan Hak dan Kewajiban dalam Kemitraan . 70 VII ANALISIS TINGKAT KEPUASAN KEMITRAAN PIR TRANS DAN KKPA ... 73

7.1 Tingkat Kepuasan Petani Plasma terhadap Pelayanan Inti dalam Kemitraan ... 73

7.1.1 Tingkat Kepuasan Petani Mitra dengan Pola Kemitraan KKPA dan PIR Trans terhadap Atribut dan Dimensi Pelayanan Inti dalam Kemitraan ... 73

7.1.2 Petani Plasma terhadap Keseluruhan Pelayanan Inti dalam Kemitraan ... 80

7.1.3 Prioritas Perbaikan Atribut-atribut Pelayanan Inti dalam Kemitraan ... 81

7.2 Alternatif Strategi Perbaikan Kinerja PIR Trans dan KKPA antara PT Agrowiyana dengan Petani Plasma ... 87

VIIIKESIMPULAN DAN SARAN ... 89

8.1 Kesimpulan ... 89

8.2 Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman 1 Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia Antara Pekebunan

Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar

Swasta, 2006-2010 (1000 ha) ... 3 2 Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor dan Stok Minyak Sawit

Indonesia, 2011 (1000 ton) ... 4 3 Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor dan Stok Minyak Inti

Sawit Indonesia, 2011 (1000 ton) ... 4 4 Luas Areal dan Produksi Lima Komoditas Unggulan

Perkebunan Provinsi Jambi pada Tahun 2000 dan 2005 ... 5 5 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang Operasional di Provinsi

Jambi Tahun 2008 ………... 6

6 Deskripsi Potensi Pertumbuhan dan Produksi Berbagai Bahan

Tanaman Persilangan D x P Asal PPKS Medan dan Socfindo 12 7 Berbagai Macam Pola Kemitraan PIR ... 20 8 Skala Likert Pengukuran Tingkat Kepentingan dan Kinerja

Petani Mitra ... 41 9 Rata-Rata Suhu Udara, Kelembaban, Tekanan Udara,

Kecepatan Angin, Curah Hujan, dan Penyinaran Matahari

menurut Stasiun Klimatologi Provinsi Jambi, 2009 ... 45 10 Luas Tanaman dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit

menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi (ha), 2009 ... 46 11 Jumlah Tenaga Kerja PT Agrowiyana berdasarkan Status

Pekerjaan pada Tahun 2010 ... 49 12 Perbedaan Kemitraan Pola PIR Trans, KKPA, dan

Kemitraan Swadaya ... 50 13 Luas Tanaman Kelapa Sawit PT Agrowiyana 2010 (ha) ... 52 14 Jumlah Kelompok Tani Plasma PT Agrowiyana pada Tahun

2010 ... 54 15 Daerah Asal Petani Responden PIR Trans ... 57

16 Karakteristik Petani Plasma KKPA dan PIR Trans ………… 58

(13)

PT Agrowiyana dengan Petani Plasma PIR Trans dan KKPA 18 Penilaian Petani Plasma Responden terhadap Atribut dan

Dimensi Pelayanan Inti dalam Kemitraan KKPA ...

74

19 Penilaian Petani Plasma Responden terhadap Atribut dan

Dimensi Pelayanan Inti dalam Kemitraan PIR Trans ... 78 20 Penilaian Petani Responden terhadap Keseluruhan Pelayanan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1 Tiga Tipe Varietas Kelapa Sawit di Indonesia ... 11

2 Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya ... 13

3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Derajat Keterkaitan Antar Subsistem Agribisnis Kelapa Sawit Indonesia ... 14

4 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ... 36

5 Diagram Kartesius Tingkat Kepentingan dan Kepuasan ... 42

6 Struktur Organisasi PT Agrowiayana ... 48

7 Grafik Produksi TBS Kebun Inti Tahun 1996 hingga 2010 ... 52

8 Grafik Produksi TBS Kebun Plasma Tahun 2001 hingga 2010 ... 53

9 Matriks Kepentingan dan Kinerja Atribut dalam Kemitraan KKPA ... 86

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Kontrak Perjanjian Kemitraan PIR Trans SP 1 ... 95 2 Kontrak Perjanjian Kemitraan KKPA KUD Swakarsa ... 101

3 Surat Perijinan Pendirian Usaha PT Agrowiyana …………... 112

4 Site Penyebaran Petani Plasma PT Agrowiyana ……… 113

5 Data Penanaman dan Penyisipan Plasma PIR Trans dan

(16)

I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Isu nasional yang sedang menjadi perhatian saat ini adalah mengenai ketahanan pangan. Dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, menjadi alasan sensitif jika kelangkaan pangan terjadi. Pangan menjadi kebutuhan dasar manusia, sehingga ketidakstabilan persediaan pangan akan berdampak pada banyak aspek seperti sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan ketersediaan lapangan kerja. Tanaman kelapa sawit merupakan penghasil minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit yang dapat digunakan untuk keperluan pangan. Minyak inti kelapa sawit dan minyak sawit digunakan sebagai pembuat minyak goreng, lemak khusus, lemak pangan, margarin, es krim, biskuit, dan kue.

Konsumsi domestik terhadap pangan yang tinggi merupakan faktor pendorong untuk meningkatkan produktivitas. Minyak kelapa sawit (MKS) dan inti kelapa sawit (IKS) sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng merupakan permintaan utama bagi konsumen rumah tangga. Keseimbangan penawaran dan permintaan MKS Indonesia menunjukkan peran Indonesia yang semakin dominan sebagai negara yang mempengaruhi pola penawaran dan permintaan MKS dunia, pada tahun 2005 sebesar 32,50 juta ton. Indonesia merupakan negara produsen nomor dua dengan produksi 12,60 juta ton (38,77 persen pangsa pasar dunia). Faktor-faktor yang mempengaruhi volume permintaan MKS pasar domestik dan dunia sebagai berikut: (1) pertambahan penduduk dan pertumbuhan gross domestic bruto (GDP), (2) kepentingan politik masing-masing negara, (3) letak geografis suatu negara dan biaya transportasi MKS ke negara tersebut, (4) akses informasi, dan (5) tingkat substitusi produk.

(17)

Dengan rata-rata pertumbuhan tahunannya sebesar 11,30 persen, pada tahun 2010 konsumsi CPO di dalam negeri diperkirakan mencapai 5,6 juta ton, sedangkan di pasar internasional (dunia), peningkatan permintaan CPO setiap tahunnya diperkirakan tidak kurang dari 2,2 juta ton (PPKS 2004). Peluang peningkatan produksi yang juga berarti meningkatkan sumbangan agribisnis kelapa sawit terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), serta mendukung upaya Indonesia untuk menjadi produsen dan pemasok terbesar produk agribisnis di pasar internasional adalah cukup besar.

Menurut Pahan (2006) diacu dalam Pahan (2010) keragaman kualitas minyak kelapa sawit ditentukan oleh kegiatan panen, transportasi, pengolahan dan penimbunan. Produksi minyak sawit mentah merupakan rangkaian kegiatan yang diawali dengan mengolah tandan buah segar (TBS). Selain sistem panen TBS, manajemen produksi juga akan mempengaruhi kualitas CPO yang dihasilkan. Agar kemampuan daya saing agroindustri CPO meningkat, maka diperlukan pengelolaan yang terintegrasi mulai dari pasokan bahan baku, perencanaan produksi dan pengendalian persediaan bahan baku. Sebuah sistem perencanaan dan pengendalian produksi dibutuhkan untuk mencapai hal ini. Sistem perencanaan dan pengendalian produksi sangat diperlukan untuk bisa mengantisipasi faktor kualitas. Disamping itu, karakteristik panen TBS mengharuskan pengelolaan sumber daya pabrik yang efisien dan efektif agar kualitas minyak yang dihasilkan terpenuhi.

(18)

wilayah, serta menunjang pengembangan perkebunan, meningkatkan dan memberdayakan KUD di wilayah plasma.

Model kategori perkebuanan di Indonesia terbagi menjadi dua kategori yakni perkebunan besar yang dimiliki oleh perkebunan nasional dan perkebunan swasta serta perkebunan kecil yang dimiliki oleh rakyat. Perkebunan nasional adalah hasil nasionalisasi dari perkebunan-perkebunan swasta asing yang berlaku pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa perkebunan swasta mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jenis perkebunan lain. Rata-rata perkembangan luas areal untuk perkebunan swasta mencapai 51,1 persen. Sedangkan perkebunan rakyat dan negara masing-masing sebesar 40,2 persen dan 8,7 persen. Pertumbuhan perkebunan swasta lebih tinggi jika dibandingkan perkebunan rakyat dan negara.

Tabel 1. Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia antara Pekebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta, 2006-2010 (1000 ha)

(19)

dan IKS terhadap produksi minyak goreng dunia akan menyebabkan peningkatan permintaan MKS dan IKS di pasar internasional.

Tabel 2. Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor dan Stok Minyak Sawit Indonesia Tahun 2006-2010 (1000 ton)

Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan rakyat, dalam pengembangannya diintegrasikan dengan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN), dimana dana usaha ditanggung oleh pemerintah. Program ini mulai dilaksanakan pada tahun 1977 dengan dicanangkannya Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang terdiri dari PIR-Lokal dan PIR-Khusus (Direktorat Jendral Perkebunan 1992, diacu dalam Wigena 2009).

(20)

maksimal jangka pendek dan kurang peduli terhadap risiko jangka panjang seperti, penurunan produktiviitas lahan, pencemaran lingkungan dan konflik sosial (Hasibuan 2005, diacu dalam Wigena 2009). Beberapa isu pokok yang berkembang adalah (1) pemeliharaan tanaman tidak dilaksanakan secara baik, (2) rendahnya mutu produk komoditas perkebunan karena rendahnya kemampuan penyerapan inovasi teknologi, (3) tingginya tingkat penjualan tandan buah segar (TBS) ke pabrik kelapa sawit (PKS) non inti sehingga menyebabkan kredit petani macet, (4) banyak petani terjebak dengan hutang di luar kebun sawit ke KUD, (5) posisi tawar menawar petani lemah dalam penentuan harga produksi, (6) lemahnya kerjasama antar institusi terkait dalam memberdayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dan (7) terjadi degradasi lahan akibat aplikasi pemupukan yang belum tepat.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting dan strategis di daerah Jambi karena peranannya yang cukup besar dalam mendorong perekonomian rakyat, terutama bagi petani perkebunan. Hal ini cukup beralasan karena daerah Jambi potensial untuk pembangunan pertanian perkebunan. Perkebunan kelapa sawit merupakan areal perkebunan kedua terluas setelah perkebunan karet di provinsi Jambi dengan luas lahan 574,514 ha, namun merupakan penghasil produksi pertanian terbesar, yaitu 1.297.620 ton. Pada tahun 2005 pertumbuhan luas areal kelapa sawit ini masih berada pada urutan ketiga dari komoditas unggulan perkebunan lainnya (Tabel 4). Pada tabel tersebut pertumbuhan luas areal empat komoditas unggulan perkebunan lainnya relatif kecil, tiga diantaranya mengalami pertumbuhan negatif. Pertumbuhan areal kelapa sawit mengalami penurunan pada tahun 2005, dari sisi pertumbuhan produksi, dan pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit (CPO) selama periode yang sama menduduki urutan ketiga di bawah pertumbuhan produksi kayu manis dan kopi. Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Lima Komoditas Unggulan Perkebunan

Provinsi Jambi pada Tahun 2000 dan 2005

Komoditas Luas areal (ha) Produksi (ton)

2000 2005 R (%) 2000 2005 R (%)

(21)

4. Kopi 28.775 24.638 -2,92 5.106 9.208 14,95 5. Kayu Manis 60.776 50.402 -0,47 22.462 69.618 25,76 Sumber : Departemen pertanian (2006)

Pengusahaan dan pengembangan agribisnis kelapa sawit di Provinsi Jambi sebagai bagian dari pengusahaan dan pengembangan agribisnis secara nasional memiliki prospek yang baik. Hal ini terkait dengan: (1) permintaan pasar (konsumsi) terhadap CPO semakin meningkat dan produk turunannya baik dari pasar dalam negeri (domestik) maupun dari pasar internasional (dunia), seiring dengan pertambahan penduduk, (2) memiliki keunggulan komparatif, berupa tersedianya lahan yang sesuai dan tenaga kerja yang cukup, (3) memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan minyak nabati dari tanaman lain, dan (4) memiliki fleksibilitas yang tinggi dari produk akhir yang dapat diproduksi sesuai dengan kondisi pasar, diantaranya sebagai bahan baku alternatif untuk pembuatan biodiesel (PPKS 2011).Ada banyak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang operasional di provinsi Jambi. Ketersediaan PKS di Jambi mendorong berkembangnya industri pengolahan TBS di Jambi dan membantu para petani dalam memasarkan dan pengolahan TBS mereka, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang Operasional di Provinsi Jambi Tahun

Perusahaan Izin Terpasang Terpakai Batang Hari

(22)

dengan petani yang memiliki lahan untuk digunakan sebagai lahan memproduksi kelapa sawit bagi perusahaan. Dalam perjalanannya kinerja kedua belah pihak yang diharapkan bisa saling menguntungkan, terkendala beberapa masalah. Kendala yang terjadi dalam kinerja kemitraan menjadi bahan kajian bagi peneliti untuk melihat kinerja kemitraan yang telah dilaksankan perusahaan selama ini. 1.2. Perumusan Masalah

Pengolahan kelapa sawit memberikan nilai tambah pada produk tersebut sehingga dapat dimanfaatkan oleh konsumen. Dalam menjalankan usaha pengolahan minyak kelapa sawit, PT Agrowiyana berkaitan dengan sistem agribisnis kelapa sawit, seperti petani, distributor, dan pelaku agribisnis lainnya dari hulu hingga hilir.

Soekartawi (2005) mengatakan bahwa permasalahan dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri adalah lemahnya keterkaitan antar subsistem di dalam agribisnis. Hal ini juga terjadi pada PT Agrowiyana. Perusahaan yang berorientasi pada pasar domestik ini mengalami kendala dalam pengadaan bahan baku utama produksinya.

PT Agrowiyana tidak memiliki luasan lahan budidaya yang mencukupi untuk memproduksi sendiri bahan bakunya. Kemudian dalam kemitraan yang telah dijalin perusahaan dengan petani kelapa sawit tidak berjalan semestinya sesuai dengan perjanjian yang telah dilakukan. Hal ini berakibat pada terganggunya penyediaan bahan baku pabrik kelapa sawit.

Masalah dalam penyediaan pasokan bahan baku dari petani mitra terjadi karena adanya perbedaan preferensi antara petani dan perusahaan mengenai sistem sortasi yang dilakukan perusahaan dan berdampak pada pendapatan petani. Hasil penen TBS petani plasma setelah disortasi oleh perusahaan banyak yang dipulangkan kembali kepada petani. Beberapa petani mengirim TBS yang tidak sesuai dengan standar dari perusahaan seperti buah kelapa sawit yang masih mentah.

(23)

dengan pola kemitraan. Perizinan Hak Guna Usaha (HGU) akan diurus oleh perusahaan, dan biaya pengurusan oleh perusahaan dianggap hutang atau pinjaman petani mitra yang harus dilunasi. Seluruh permodalan dan biaya yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit, begitupun pengelolaannya seperti pembangunan prasarana, pengerjaan penanaman dan pemasaran dilakukan oleh perusahaan, kemudian seluruh biaya yang dikeluarkan perusahaan dianggap hutang petani mitra kepada perusahaan. Akan tetapi penyediaan sarana produksi hanya dilakukan perusahaan hingga masa konversi (kelapa sawit berumur empat tahun), setelah masa konversi maka petani diharapkan mampu merawat kebunnya secara mandiri.

Sikap petani mitra yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai isi kontrak (tidak memenuhi standar TBS pabrik) mengindikasikan bahwa petani mitra tidak puas dengan kinerja kemitraan yang telah dilakukan selama ini. Petani mitra yang harapannya terpenuhi relatif akan loyal dan melaksanakan kesepakatan kemitraan sebaik-baiknya. Loyalitas petani mitra ini juga akan mendukung tersediannya bahan baku berkualitas secara kontinu kepada PKS PT Agrowiyana.

Penelitian ini menganalisis serta memberikan rekomendasi pada pelaksanaan kemitraan antara petani mitra dan PT Agrowiyana. Kemitraan diharapkan kedepannya dapat berjalan sesuai dengan kepentingan dan menguntungkan bagi ke dua belah pihak yang bermitra. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan kemitraan yang telah dilakukan antara petani mitra dan PT Agrowiyana?

2. Bagaimana kinerja atribut kepuasan kemitraan yang dirasakan petani plasma dan perusahaan selama ini?

1.3. Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi mekanisme pelaksanaan kemitraan antara petani plasma dan PT Agrowiyana.

(24)

1.4. Manfaat a. Bagi Penulis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta mempraktekkan teori-teori yang didapat dibangku kuliah agar dapat melakukan kajian secara ilmiah dan menyajikan dalam bentuk tulisan dengan baik.

b. Bagi Lembaga

Untuk menambah perbendaharaan perpustakaan pada umumnya dan fakultas ekonomi dan manajemen jurusan agribisnis pada khususnya.

c. Bagi perusahaan

(25)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit

Pada masa penjajahan, Indonesia merupakan negara produsen pertama di dunia yang menghasilkan kelapa sawit dan juga mendominasi perdagangan kelapa sawit dunia sebanyak 44 persen. Daerah perkebunan hingga saat ini masih terpusat di pulau Sumatera. Pada masa pendudukan Jepang, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurun disebabkan rusak akibat terjadinya perang. Ketika perang masih sering terjadi kelaparan akibat kekurangan bahan pangan sehingga tidak sedikit lahan yang beralih fungsi menjadi lahan untuk penanaman tanaman pangan. Sementara lahan kelapa sawit menjadi kurang terawat dan produksinya menjadi menurun (SPKS 2009).

Pada masa peralihan (1958-1968) banyak negara-negara asing yang menanam saham di perkebunan di Indonesia seperti Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika yang memiliki saham di perkebunan kelapa sawit. Semenjak tahun 1958 mulai dilakukan pengambilalihan perkebunan kelapa sawit. Pada masa peralihan ini, banyak upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam meningkatkan produksi kelapa sawit seperti pemupukan, pemberantasan hama bahkan mendatangkan peralatan pengolahan tanah yang modern dari luar negeri. Upaya ini dapat meningkatkan hasil perkebunan kelapa sawit pada tahun 1968 dengan produksi minyak sawit mencapai 161.000 ton . Pada masa orde baru yaitu pada kurun Pelita I dan II didasarkan atas tujuan bersama untuk mencapai produktivitas tinggi dengan memodernisasi teknik budidaya kelapa sawit. Pada Pelita III program pengembangan lebih mengarah kepada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan. Strategi untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya adalah upaya penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan devisa negara serta pertahanan kelestarian sumber daya alam (SPKS 2009).

Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan guna memudahkan dalam identifikasi secara ilmiah. Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut (Pahan 2010).

(26)

Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Famili : Arecaceae (Palmae) Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : 1. E. guineensis Jacq.

2. E. oleifera (H.B.K.) Cortes 3. E. odora

Kelapa sawit, bila digolongkan secara harafiah adalah golongan tanaman penghasil minyak nabati. Di bawah ini dapat dilihat karakteristik dari tanaman kelapa sawit.

Gambar 1. Tiga Tipe Kelapa Sawit yang Tersebar di Indonesia

(27)

tipis (0,5-4 mm) dan dikelilingi oleh cincin serat. Varietas tenera lebih disukai untuk penanaman komersial karena kandungan minyak di dalam mesocarp-nya lebih tinggi daripada dura (Pahan 2010).

Menurut SK Menteri Pertanian Nomor KB.320/261/kpts/5/1984, institusi penjual kecambah berlegitimasi di Indonesia yaitu PPP Marihat, PPP Medan (RISPA), PT Socfindo, OPSG Topaz (Asian Agri), Dami Mas (SMART), dan Sriwijaya (Selapan Jaya). PPP Marihat dan PPP Medan (RISPA) telah dilebur menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. PPP Marihat telah memasarkan tujuh varietas D x P seperti yang terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Deskripsi Potensi Pertumbuhan dan Produksi Berbagai Bahan TanamanPersilangan D x P Asal PPKS Medan dan Socfindo

Keterangan : *) tinggi tanaman pada umur 12 tahun **) rata-rata pada umur 6-9 tahun Sumber : Lubis et al. 1990, diacu dalam Pahan 2010

Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur tiga tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat.

Deskripsi

(28)

Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyak di dalam buah kelapa sawit tersebut digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan pakan ayam. Tempurung buah kelapa sawit digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Kelapa sawit berkembang biak dengan biji, tumbuh di daerah tropis, pada ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Kelapa sawit tumbuh baik di tanah yang subur, di tempat terbuka dengan kelembaban tinggi. Kelembaban tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000-2500 mm setahun.

2.2 Agribisnis Kelapa Sawit

Sistem agribisnis dikelompokkan menjadi empat subsistem kegiatan, yaitu pengadaan sarana produksi (agroindustri hulu), kegiatan produksi primer (budi daya), pengolahan (agroindustri hilir), dan pemasaran (Gambar 2).

Gambar 2 . Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya Sumber : Soehardjo 2001, diacu dalam Pahan 2010

Setiap subsistem dalam sistem agribisnis kelapa sawit Indonesia mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward lingkage). Tanda panah ke kiri pada subsistem pengolahan menunjukkan bahwa subsistem pengolahan akan berfungsi dengan baik jika didukung oleh

(29)

ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh subsistem produksi primer. Tanda panah ke kanan pada subsistem pengolahan menunjukkan bahwa subsistem pengolahan akan berhasil dengan baik jika menemukan pasar untuk produknya. Derajat keterkaitan antar subsistem agribisnis kelapa sawit Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal (Gambar 3).

Gambar 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Derajat Keterkaitan Antar Subsistem Agribisnis Kelapa Sawit Indonesia

Sumber : Pahan 2010

(30)

bahan aktif pestisida dapat menentukan jumlah pasokan dan harga jual pestisida kepada subsistem produksi primer. Ketersediaan sumberdaya genetik dalam menghasilkan bibit unggul kelapa sawit. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi derajat keterkaitan penyediaan input umumnya berasal dari produksi primer, melalui mekanisme penawaran dan permintaan, yaitu ekspansi pengembangan kebun kelapa sawit secara berkelanjutan akan meningkatkan permintaan benih kelapa sawit, pestisida, pupuk serta alsintan yang dihasilkan subsistem penyediaan input. Serangan hama dan penyakit akan meningkatkan permintaan pestisida. Kegagalan panen komoditi lain, misalnya padi yang mengalami gagal panen akibat banjir akan menyebabkan menurunnya permintaan pupuk yang berdampak pada penurunan harga pupuk.

(31)

jangka waktu 35 tahun. Akan tetapi birokrasi mengurus HGU yang terlalu panjang dan berbelit-belit menimbulkan masalah bagi para pengusaha kebun. Faktor selanjutnya yaitu, ketersediaan modal. Untuk membangun kebun kelapa sawit diperlukan investasi dan modal yang besar serta waktu pengembalian yang lama. Ketersediaan infrastruktur dan faktor keamanan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja subsistem produksi primer.

Faktor yang mempengaruhi derajat keterkaitan subsistem pengolahan dan pemasaran dari internal perusahaan yaitu mutu produk, dimana produk yang memiliki mutu tinggi dikaitkan dengan standar mutu seperti internasional standardization organization (ISO) menyebabkan produk lebih mudah diterima pasar. Faktor internal yang juga mempengaruhi yaitu portofolio produk, semakin banyak barang yang dihasilkan maka akan mempermudah proses penjualannya. Skala ekonomi dan efisiensi operasional, semakin besar kapasitas pengolahan, akan menyebabkan unit biaya semakin murah karena tercapainya skala ekonomi. Faktor internal akses terhadap bahan baku sehingga ketersediaan bahan baku terjamin dengan harga yang murah dan mutu yang baik. Faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja subsistem pengolahan dan pemasaran yaitu permintaan produk, dimana permintaan produk akhir kelapa sawit yang ramah lingkungan disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup. Keamanan produk harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan perkembangan isu global. Hambatan tarif dan konsolidasi pelaku agribisnis, misalnya pajak ekspor maupun bea masuk produk ke suatu negara. Konsolidasi yang dilakukan seperti merger atau akuisisi yang dilakukan perusahaan untuk menguasai pasar.

2.3 Konsep dan Pola Kemitraan

(32)

sebagai suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat kegagalan pasar dan atau kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana (input) yang diperlukan (misalnya kredit, asuransi, informasi, prasarana, dan faktor-faktor produksi lainnya) dan lembaga-lembaga pemasaran. Penilaian terhadap sistem pertanian kontrak pada umumnya menunjukkan hasil yang positif dimana petani kecil memperoleh manfaat dalam bentuk laba yang lebih tinggi. Keikutsertaan dalam kontrak dapat pula meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko, dan memberikan kesempatan kerja (SPKS 2009).

Usahatani konrak berawal dari terjadinya kegagalan pasar yang dialami oleh para petani yang memiliki lahan sempit karena ada beberapa aktivitas bisnis yang tidak bisa diakses oleh petani kecil (Key dan Runsten 1999, diacu dalam SPKS 2009) berkaitan dengan beberapa aspek:

1. Kredit. Produksi komoditas yang bernilai tinggi memerlukan biaya yang lebih tinggi daripada komoditas tradisional. Hal ini mendorong munculnya berbagai bentuk lembaga perkreditan. Syarat perkreditan memberatkan bagi petani yang memproduksi tanaman yang memiliki masa tanam dan panen cukup lama, usaha yang dijalankan petani juga harus bersifat bankable. Pasar gagal melayani petani, hal ini memaksa petani untuk berbagi beban dengan pihak lain (perusahaan swasta, negara, sponsor lain). Perusahaan agribisnis berada pada posisi yang paling baik untuk bertindak sebagai pemberi pinjaman karena mereka bisa menggunakan hasil panen petani sebagai jaminan pembayaran hutangnya.

2. Asuransi. Tanaman non-tradisional biasanya menghadapi risiko pendapatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman tradisional karena (1) biaya yang telah dikeluarkan tinggi, (2) tanaman tersebut cenderung rentan terhadap hama, sehingga hasil dan haranya bisa berubah. Biaya transaksi yang cukup tinggi menyebabkan para petani tidak menerima tawaran ikut dalam asuransi. Karena mempunyai banyak kegiatan dan tidak fokus pada komoditi tertentu, perusahaan agroindustri mempunyai peran yang tepat untuk mengambil alih risiko yang dihadapi oleh petani dengan imbalan pasokan bahan baku.

(33)

untuk tujuan ekspor. Informasi pasar yang tidak tepat bisa memperlambat aliran informasi yang merugikan. Hal ini sering dihadapi oleh petani lahan sempit, sementara untuk perusahaan informasi pasar relatif mudah diperoleh. Dalam hal ini maka perusahaan agribisnis bisa mengkomunikasikan informasi yang dimilikinya kepada petani dengan imbalan pasokan bahan baku dari petani.

4. Faktor produksi. Pasar faktor produksi (mesin, benih, pupuk, pestisida) untuk tanaman komersial dengan kualifikasi tertentu umumnya tidak bisa diakses oleh petani secara individual. Pasar cenderung gagal dalam memenuhi kebutuhan petani lahan sempit. Hal ini dapat dimanfaatkan bagi perusahaan perkebunan untuk menawarkan faktor produksi yang dikuasainya lewat program kemitraan.

5. Pasar produk. Petani biasanya tidak bisa memenuhi kualifikasi yang diperlukan dalam pemasaran global, baik berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan ketepatan waktu. Perusahaan agribisnis yang telah berpengalaman bisa mengisi peran tersebut.

Ketidakmampuan menangani proses produksi, pengolahan, penyediaan input, dan faktor produksi, serta masalah pemasaran yang dihadapi oleh petani, mendorong munculnya pola kemitraan dalam usahatani. Dalam kemitraan ada pihak yang disponsori dan menjadi sponsor. Sponsor bisa datang dari perusahaan multinasional, korporasi, perusahaan perseorangan maupun dalam kasus tertentu koperasi pertanian yang bertindak menyediakan dana, manajemen dan bertanggung jawab terhadap proses produksi dan pengenalan inovasi. Pihak yang disponsori adalah para petani yang skalanya kecil cenderung tidak mempunyai akses yang luas terhadap inovasi, pasar dan modal. Usaha tani kemitraan biasanya mengikuti lima pola (Revrisond, diacu dalam SPKS 2009) yaitu:

2.3.1 Pola Sentralisasi

(34)

perusahaan bisa melakukan pembelian komoditas dari ribuan bahkan puluhan ribu petani berlahan sempit. Karakteristik pola sentralisasi yaitu:

1. Melibatkan pihak pabrik yang membeli dan memproses komoditas hasil dari ribuan atau puluhan ribu patani.

2. Pola ini digunakan untuk komoditas tanaman keras, tanaman tahunan, peternakan unggas, dan penggemukan sapi.

3. Komoditas yang dihasilkan umumnya memerlukan syarat adanya pemprosesan modern.

4. Dilakukan dengan melakukan koordinasi secara vertikal dengan memberikan alokasi kuota dan kontrol kualitas yang ketat.

Keterlibatan pabrik sebagai sponsor beragam, dari yang minimal berupa pemberian bibit atau input sampai mengontrol hampir semua aspek produksi komoditas tersebut.

2.3.2 Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) / Plasma Nutfah

Pola perkebunan inti rakyat merupakan variasi lain dari pola sentralisasi. Pihak investor dalam pola PIR biasanya memiliki dan mengelola perkebunan sebagaimana dilakukan oleh petani. Perkebunan yang dikelola biasanya berdekatan dengan pabrik yang mengolah komoditas perkebunan tersebut. Perkebunan yang dikelola biasanya cukup luas sehingga mampu memberikan jaminan atas pasokan bahan baku bagi pabrik yang didirikan, bisa juga perkebunan yang ada kurang besar sehingga memerlukan pasokan dari luar perkebunan yang dimiliki. Perkebunan yang secara langsung dikelola biasanya dijadikan sebagai jaminan bagi pabrik pengolah.

2.3.3 The Multipartite Model

Pola multipartit biasanya melibatkan perusahaan swasta dalam melakukan kerjasama dengan petani. Pola multipartit bisa mempunyai organisasi yang terpisah dan bertanggung jawab pada masalah pengembalian kredit, produksi, manajemen, pengolahan dan pemasaran. Pola ini bisa melibatkan organisasi, juga bisa berkembang dari pola sentralisasi atau PIR.

2.3.4 Pola Kemitraan Informal

(35)

seperti sayuran segar dan buah-buahan. Jenis komoditas tersebut umumnya memerlukan proses produksi yang sederhana serta kebutuhan akan bahan baku umumnya terbatas pada penyediaan benih, pupuk, obat-obatan, serta kebutuhan teknis terbatas sekedar pada masalah kontrol kualitas dan grading. Pihak investor akan membeli komoditas petani, menyortir dan mengemas untuk kemudian dipasarkan lewat jaringan pasar modern (super market). Pola ini informal,karena tidak ada ikatan yang tegas antara petani dan investor. Masing-masing bisa bekerjasama jika diperlukan, namun juga bisa memutuskan hubungan jika dirasakan tidak menguntungkan. Konsekuensinya adalah masing-masing akan menanggung risiko yang mungkin muncul baik berupa gagal panen maupun fluktuasi harga.

2.3.5 Pola Intermediary

Pola ini melibatkan sponsor dalam jaringan subkontrak dengan petani dan intermediary. Masalah bisa muncul ketika pihak perusahaan yang mensponsori kehilangan kontrol atas kualitas dan produksi.

Ragam pola kemitraan di Indonesia bisa disebutkan antara lain berupa pola inti rakyat, sub-kontrak, panen dan bayar, kerjasama operasional (Patrick 2004, diacu dalam SPKS 2009)

- Pola PIR (Plasma Nutfah)

(36)

Tabel 7. Berbagai Macam Pola Kemitraan PIR

Kriteria NES Pir-Khusus Pir-Bantuan Pir-Trans

Tanaman Pokok 2 ha 2 ha 2 ha 2 ha

Tanaman

Pangan 0 ha 0,75 ha 0,75 ha 0,50 ha

Lahan

Pekarangan 0 ha 0,25 ha 0,25 ha 0,50 ha

Peserta Penduduk setempat Transmigran Penduduk lokal Transmigran

penduduk lokal

Rumah (M2) Tidak ada 36 36 36

Lokasi Sekitar perkebunan

yang sudah ada Bukaan Baru Bukaan Baru Bukaan baru

Sumber Dana Bank Dunia Swadana Bantuan Luar

Negeri Kredit Khusus

Sumber: SPKS 2009

- Pola Sub Kontrak

Melibatkan satu perusahaan agribisnis yang mempunyai kontrak untuk memasok barang pada pihak ketiga. Dengan persyaratan kualitas dan kuantitas tertentu perusahaan itu kemudian mensubkontrakkan pada petani lahan sempit maupun kelompok tani. Diantara keuntungan menggunakan pola ini yaitu perusahaan bisa menekan fluktuasi pasokan, sedangkan bagi petani dapat meminimalisasi biaya transport dan adanya jaminan harga yang menarik bagi tanaman yang berkualitas tinggi.

- Pola Bayar waktu Panen

Hanya terjadi dalam sistem produksi skala kecil. Perusahaan setempat memberikan kredit kepada petani lahan sempit untuk membeli input yang diperlukan dengan syarat petani harus menjual produknya kepada perusahaan tersebut. Uang itu akan dibayar ketika panen, dengan harga yang dirundingkan bersama. Pembayaran dapat berupa uang tunai maupun natura (hasil panen). Sistem ini populer dengan nama “ijon” dan masih berkembang hingga sekarang.

- Kerjasama Operasional

(37)

berkualitas. Sedangkan bagi perusahaan mitra adalah adanya jaminan pasokan bahan baku bagi produksi pabrik.

Berbeda halnya pola kemitraan menurut Sunarko (2009). Sunarko membagi pola kemitraan secara garis besar. Menurut sunarko di Indonesia terdapat tiga pola kemitraan, yaitu:

1. Kemitraan Pola PIR

Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) merupakan kemitraan perkebunan generasi pertama yang dimulai pada tahun 1980-an. Pola PIR-TRANS didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986. Program PIR merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma.

Pekerjaan pembangunan program PIR meliputi tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun. Pada tahap kedua, dilakukan pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi. Selanjutnya tahap ketiga, dilakukan pengembalian atau pelunasan kredit (hutang petani).

Program PIR mampu menggerakkan perekonomian di daerah pedalaman karena berputarnya uang dalam jumlah besar. Akan tetapi dilapangan, program PIR menemui banyak kendala, baik kendala teknis budidaya perawatan kebun seperti perilaku petani yang tidak sesuai aturan teknis budidaya tanaman yang berakibat pada produktivitas kebun plasma yang rendah menyebabkan PKS kekurangan bahan baku. Hal tersebut mengakibatkan PKS terpaksa mengurangi waktu pengolahan. Selain itu kualitas TBS petani yang rendah (rendemen minyak di bawah 20% ) menyebabkan pendapatan petani kurang dan tidak mampu membiayai pemeliharaan kebun dengan baik. Kendala non teknis yang terjadi, seperti macetnya pengembalian kredit dari petani yang merupakan efek dari terjadinya masalah teknis. Beberapa petani memilih menjual lahannya atau menjual hasil kebunnya kepada pihak lain untuk menghindari pembayaran kredit. 2. Kemitraan Pola KKPA

(38)

dan kesejahteraan para anggota melalui kredit jangka panjang dari bank. Perusahaan inti sebagai pengembang melaksanakan pembangunan kebun kelapa sawit untuk petani peserta dengan biaya pembangunan dari kredit bank hingga tanaman kelapa sawit menghasilkan TBS. Perusahaan inti juga membangun kelembagaan petani sebagai wadah pembinaan dan bimbingan bagi petani peserta mengenai budidaya dan manajemen perkebunan kelapa sawit. Pembinaan minimum dilakukan selama satu siklus tanam.

Pada pola kemitraan KKPA, perusahaan inti bertanggung jawab atas pengembalian kredit bank. Angsuran kredit ini diambil pemotongan hasil jual TBS dari petani plasma. Petani wajib menjual hasil kebunnya pada perusahaan inti. Dan perusahaan inti wajib membeli TBS hasil petani plasma dengan harga yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Setelah semua kewajiban petani anggota terselesaikan, perusahaan inti wajib menyerahkan sertifikasi kebun kepada petani.

3. Kemitraan Program Revitalisasi Perkebunan

Pemerintah mempersiapkan Program Revitalisasi Perkebunan (PRP) merupakan kemitraan perkebunan generasi II pada tahun 2006. Berdasarkan pedoman umum program revitalisasi perkebunan, konsep kemitraannya adalah kerjasama usaha antara petani plasma dengan perusahaan inti sebagai mitra usaha dengan prinsip yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan.

Program Revitalisasi Perkebunan diharapkan dapat lebih mensejahterakan petani plasma dan mampu mengamankan kepentingan perusahaan inti dan pihak perbankan, baik produksi maupun angsuran kreditnya. Perusahaan inti ditetapkan sebagai develover dan avalis. Inti bertanggung jawab untuk membangun kebun dan menyediakan atau mencairkan dana untuk petani. Perusahaan inti mendapatkan jaminan produksi TBS untuk PKS dan kelancaran angsuran kredit. Sementara itu, petani memiliki jaminan pendapatan. Program Revitalisasi Perkebunan mendapat subsidi bunga perbankan dari pemerintah sehingga beban petani dapat lebih ringan. Selisih antara bunga komersial dengan bunga yang ditetapkan pemerintah untuk petani sebesar 10 persen.

(39)

PIR pada PT Inti Indosawit Subur (kasus PIR di pabrik minyak kelapa sawit buatan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau). Penelitian yang dilakukan pada PT Inti Indosawit Subur (PT.IIS) merupakan salah satu perusahaan agroindustri kelapa sawit yang menerapkan kemitraan dalam pengadaan bahan baku. Agar dapat meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi permintaan, PT IIS memerlukan bahan baku TBS dengan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang terjamin. Namun pada kenyataannya, kemitraan tidak selalu berjalan sesuai harapan. PT IIS mengalami penurunan volume pasokan TBS dari petani plasma yang menunjukkan bahwa kinerja kemitraan PIR belum mencapai manfaat yang optimal. Berdasarkan hal ini maka peneliti melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan PIR antara PT IIS dengan petani plasma.

Penelitian tersebut memiliki tujuan mengkaji evalusi pelaksanaan kemitraan PIR antara PT IIS dengan petani plasma, mengukur tingkat kepuasan petani plasma terhadap pelaksanaan kemitraan PIR, menganalisis dampak kemitraan PIR terhadap pendapatan usahatani petani plasma dibandingkan dengan petani nonplasma, dan merumuskan alternatif strategi perbaikan kinerja kemitraan PIR antara PT IIS dengan petani plasma. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu mengkaji evaluasi pelaksanaan kemitraan adalah dengan analisis deskriftif. Analisis tingkat kepuasan petani plasma terhadap pelaksanaan kemitraan menggunakan metode rata-rata dan untuk mengetahui prioritas perbaikan atribut pelayanan inti dalam kemitraan digunakan metode importance performence analysis (IPA). Analisis pendapatan usahatani dan uji statistik dengan metode uji-T digunakan untuk menganalisis dampak kemitraan terhadap pendapatan usahatani petani plasma.

(40)

Berdasarkan analisis atribut tingkat kepuasan petani plasma terlihat bahwa atribut kualitas sarana produksi merupakan atribut terpenting dan memiliki nilai kepuasan tetinggi. Atribut penetapan denda sortasi merupakan atribut dengan nilai kepentingan dan nilai kepuasan terendah. Dimensi pelayanan inti yang memiliki bobot kepentingan tertinggi adalah dimensi reliability dan yang paling rendah adalah dimensi empathy. Dimensi tangible adalah dimensi pelayanan dengan nilai kepuasan terendah.

Analisis matriks kepentingan dan pelaksanaan menghasilkan atribut harga beli TBS, harga sarana produksi, dan ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani berada pada kuadran I (prioritas utama), dan sebagainya. Berdasarkan analisis pendapatan diperoleh hasil bahwa pendapatan petani kelapa sawit petani plasma lebih tinggi dibandingkan petani nonplasma. Rasio B/C terlihat bahwa usahatani kelapa sawit petani plasma memberikan lebih banyak keuntungan. Hasil uji statistik dengan uji T membuktikan bahwa pendapatan usahatani petani plasma dan non plasma berbeda nyata.

Achmad (2008) meneliti tentang manfaat kemitraan agribisnis bagi petani (kasus: kemitraan PT Pupuk Kujang dengan kelompok tani Sri Mandiri yang berlokasi di Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. PT Pupuk Kujang melakukan kemitraan dengan petani khususnya yang dekat dengan lokasi PT Pupuk Kujang. Tujuan dari penelitian tersebut adalah: menganalisis pola kemitraan yang dilakukan antara PT Pupuk Kujang dengan petani mitra, menganalisis manfaat kemitraan agribisnis bagi petani mitra, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat kemitraan agribisnis bagi petani mitra baik berupa input internal maupun input eksternal.

(41)

lebih baik dan meningkatkan teknologi pertanian (pangan) melalui penggunaan pupuk yang merupakan produk perusahaan mitra. Manfaat sosial yang diperoleh petani yaitu keberlanjutan kerjasama antara perusahaan dengan petani, dan juga pola kemitraan yang dilaksanakan berhubungan dengan kelestarian lingkungan.

Evaluasi kemitraan dan analisis pendapatan usahatani ubi kuningan dan ubi jalar jepang dilakukan oleh Prastiwi (2010). Penelitian dilakukan pada PT Galih Estetika dan petani mitra di Kabupaten Kuningan. PT GE yang merupakan perusahaan pengolahan dan pasta ubi jalar di Indonesia tidak memiliki luasan lahan budidaya yang mencukupi untuk memproduksi sendiri bahan bakunya. Permasalahan yang muncul kemudian adalah ketika kemitraan yang dijalin dengan petani ubi jalar tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pada gilirannya berakibat pada terganggunya penyediaan bahan baku perusahaan.

Tujuan dari penelitian adalah: mengidentifikasi mekanisme pelaksanaan kemitraan antara PT GE dengan petani mitranya, menganalisis kinerja atribut kepuasan kemitraan yang disarankan petani mitra, dan menganalisis perbandingan pendapatan usahatani ubi jalar kuningan dengan ubi jalar jepang. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan pelaksanaan kemitraan serta gambaran keragaan usahatani yang dilakukan petani mitra. Analisis kuantitatif dalam penelitian ini meliputi analisis pendapatan usahatani, R-C rasio, serta analisis kinerja atribut kepuasan petani terhadap kemitraan. Data yang diperoleh berasal dari kuesioner dan diolah menggunakan bantuan software komputer microsoft excel dan minitab 14.

(42)

menunjukkan bahwa kedua usahatani layak untuk diusahakan jika dihitung atas biaya tunainya.

Morintara (2008) meneliti tentang analisis biaya pengolahan CPO dan evaluasi kinerja kemitraan pasca konversi (kasus PT Perkebunan Nusantara V pabrik kelapa sawit Sei. Pagar, Kabupaten Kampar, Riau. Kemitraan PIR trans dilihat sebagai suatu sistem pengadaan bahan baku agroindustri, maka posisi petani plasma sebagai pemasok bahan baku ke perusahaan inti menjadi salah satu faktor yang menetukan keunggulan bersaing perusahaan dalam industri. Penelitian yang dilakukan Morintara menunjukkan hasil bahwa kemitraan yang dilaksanakan tidak berjalan sesuai harapan. Terjadi penurunan volume pasokan TBS dari petani plasma ke PKS menunjukkan kemitraan pemasok sebagai sistem pengadaan bahan baku belum mencapai manfaat yang optimal.

Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan perkembangan biaya pengolahan pabrik, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi biaya pengolahan CPO, dan mengkaji kemitraan yang terjadi antara petani plasma dan PTPN V Sei. Pagar pada tahap pasca konversi. Pengambalian data untuk evaluasi kemitraan yang terjadi antara petani plasma dan PTPN V dilakukan dengan wawancara kepada pihak karyawan inti sebanyak 10 orang dan kepada petani plasma sebanyak 30 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara acidental sampling karena keterbatasan waktu dan kesulitan menyeleksi observasi. Analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan biaya pengolahan CPO, sedangkan analisis kualitatif digunakan untuk mengkaji evaluasi kemitraan PTPN V.

(43)

Dari hasil analisis regresi diperoleh faktor biaya yang mempengaruhi biaya pengolahan CPO secara nyata yaitu gaji karyawan, biaya pemiliharaan bangunan dan mesin, premi asuransi pabrik, pembelian TBS, biaya listrik, biaya air, dan biaya angkut. Nilai elastisitas menunjukkan bahwa kenaikan penggunaan faktor biaya memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan jumlah biaya pengolahan CPO.

Kemitraan PIR trans antara perusahaan dan petani plasma telah memasuki tahap pasca konversi. Sepuluh indikator evaluasi kinerja kemitraan diperoleh kesimpulan bahwa kemitraan masih dikategorikan sedang. Hal ini ditunjukkan oleh enam indikator dari sepuluh indikator kinerja kemitraan tergolong sedang yaitu pengetahuan mengenai penyetoran TBS ke inti (80 persen), komunikasi yang dibangun pihak inti dan plasma (73,33 persen), haga beli TBS (70 persen), waktu penbayaran TBS (74,44 persen), ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani (67,78 persen) dan sikap inti terhadap kesejahteraan petani (71,11 persen).

PTPN V disarankan peneliti untuk mencari alternatif strategi guna melakukan pendekatan kepada petani plasma misalkan melalui pengadaan pupuk dan pestisida kembali seperti pada tahap persiapan kemitraan yang pembayarannya dapat diberikan melalui kredit dari hasil panen petani plasma, memberikan penyuluhan dan menjalin hubungan baik dengan plasma. Saran yang diberikan dalam penelitian tersebut, digunakan dalam penelitian ini serta beberapa atribut yang telah digunakan Morintara juga digunakan dalam penelitian ini. PT Agrowiyana dan PTPN V, sama-sama telah memasuki tahap pasca konversi.

(44)

selama bulan November 2008 hingga Februari 2009. Responden penelitian adalah petani plasma sebanyak 100 orang. Penelitian ini menggunakan Rank Spearman.

Faktor yang berhubungan dengan produktivitas kerja petani plasma di PTP Mitra Ogan adalah usia, keadaan fisik petani, pelatihan, hubungan dengan inti, dan pendapatan. Faktor yang paling berhubungan adalah hubungan petani dengan inti. Oleh karena itu PTP Mitra Ogan diharapkan lebih proaktif dalam melakukan pendekatan dengan oetani khususnya dalam melakukan pembinaan. Faktor-faktor produktivitas kerja yang dilakukan Ardiansyah digunakan peneliti dalam memberikan gambaran tentang karakteristik petani plasma seperti usia dan hubungan dengan inti.

(45)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Pelaku utama yang terlibat secara langsung dalam agribisnis ada dua yaitu pengusaha dalam skala usaha besar (perusahaan) dan pengusaha dalam usaha kecil (petani). Perusahaan dan petani memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda. Dalam menyatukan perbedaan antara petani dan perusahaan dibutuhkan suatu kerjasama yang didasarkan pada saling membutuhkan dan menguntungkan dalam pengembangan usaha agribisnis, dalam bentuk kemitraan.

Sistem kontrak kemitraan antara petani peserta (koperasi) dan perusahaan perkebunan sebagai mitra usaha yang dilakukan dalam bentuk kemitraan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Pola kemitraan yang dijalankan antara petani dengan perusahaan sebagai mitra usaha, dilakukan oleh mitra usaha mulai dari persiapan, pengelolaan kebun, pengolahan dan pemasaran yang ditujukan untuk tetap menjaga kualitas kebun dan kesinambungan usaha. Disamping itu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan komitmen perusahaan perkebunan maka petani peserta program kemitraan sebagai binaan mitra usaha menjual hasil kebunnya kepada mitra usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku hasil kesepakatan bersama antara mitra usaha dan petani peserta.

(46)

prosesnya menggunakan pendekatan kekuasaan telah disertai oleh munculnya beragam potensi konflik (Fadjar 2006).

Konflik sosial yang terjadi dalam proses kemitraan merupakan akumulasi dari bentuk ketidakpuasan terhadap pelaksanaan kemitraan yang telah dilakukan. Berbagai sumber konflik yang muncul dalam pola kemitraan usaha perkebunan pada hakekatnya terjadi karena adanya sejumlah ketidakharmonisan dan ketidakadilan dari pelaksanaan kemitraan.

Untuk itu perlu dilakukan kajian terhadap pelaksanaan kemitraan bagi pihak yang melakukan kemitraan. Kajian kemitraan digunakan untuk mengetahui apakah pelaksanaan kemitraan sudah berjalan sesuai dengan kesepakatan yang mengutungkan bagi seluruh pihak yang terkait di dalam kemitraan. Kajian kemitraan perlu dilakukan dengan tujuan untuk: 1). menilai tingkat pelaksanaan hak dan kewajiban antara kedua pihak yang bermitra, 2). menilai besarnya manfaat yang diperoleh masing-masing pihak, 3). mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang dan menghambat pelaksanaan kemitraan, dan 4). mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.

3.2 Tolak Ukur Kemitraan

Kunci kemitraan adalah suatu proses yang memerlukan peningkatan intensitas hubungan inti dan plasma berdasarkan kepercayaan satu dengan lainnya yang nyata dan terukur. Beberapa atribut yang digunakan dalam penelitian ini dapat menggambarkan tolak ukur keberhasilan suatu kemitraan menurut Sunarko. Tolak ukur keberhasilan kemitraan menurut Sunarko (2009) dapat dilihat dari beberapa aspek dan kinerja sebagai berikut:

- Kinerja kebun produksi menunjukkan produktivitas kebun naik, harga pokok produk terkendali, kualitas TBS naik, stabilitas pasokan bahan baku terjamin, dan adanya kelanjutan dari kerjasama (kemitraan usaha). Atribut yang berkaitan dengan tolak ukur yang pertama yaitu kemampuan pabrik menampung TBS, pengenalan teknologi, penetapan denda/sortasi, dan bantuan dalam menanggulangi hama dan penyakit tanaman.

(47)

ukur kedua yaitu pelayanan dan materi dalam pembinaan, komunikasi yang dibangun, ketepatan waktu pembayaran, bantuan inti dalam pengembalian kredit, disiplin inti dalam mentaati perjanjian.

- Adanya jaminan pendapatan bagi petani plasma dan harmonisasi kemitraan yang diperkuat dengan kelembagaan petani yang kuat. Kepercayaan petani dibangun dengan transparasi dan fungsi kontrol yang berjalan baik. Harga beli TBS dan pembayaran merupakan atribut yang salah satunya dibuat berdasarkan pertimbangan pada tolak ukur ketiga.

- Kemitraan antara perusahaan perkebunan sebagai inti dengan masyarakat sekitar kebun sebagai plasma semakin kuat. Diharapkan ada peningkatan kesejahteraan masyarakat, kelancaran angsuran kredit, dan terpenuhinya bahan baku pengolahan TBS di pabrik kelapa sawit.

- Terbentuk pagar sosial yang kokoh dan sangat efektif untuk menekan terjadinya konflik sosial antara perusahaan inti dengan masyarakat sekitar kebun. Karena itu program revitalisasi perkebunan dapat berjalan sesuai dengan harapan banyak pihak sebagai bagian dari revitalisasi pertanian.

- UU nomor 18 tahun 2004 pasal 22 ayat 1 menyatakan perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, dan saling memperkuat. Selain itu, ada rasa saling ketergantungan antara pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. 3.3 Penilaian Tingkat Kepuasan

Menurut Kotler (2005), kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atas kinerja dan harapan.

(48)

Kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa/pelayanan ditentukan harapan pelanggan sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa/pelayanan setelah merasakan kinerja jasa tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan. Salah satu cara yang dapat digunakan agar penjualan jasa suatu perusahaan lebih unggul dibandingkan pesaingnya dengan memberikan pelayanan yang dapat memenuhi tingkat kepentingan konsumen. Tingkat kualitas pelayanan tidak hanya dapat dinilai berdasarkan sudut pandang perusahaan tetapi juga harus dilihat dari sudut pandang penilaian pelanggan. Dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, perusahaan harus berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen kualitas pelayanan.

Kualitas pelayanan dapat dinilai dengan menggunakan konsep servqual. Berdasarkan konsep ini kualitas pelayanan yang mempengaruhi kepuasan pelanggan diyakini mempunyai lima dimensi, yaitu (Rangkuti 2006):

1. Tangible (bukti langsung), pelayanan merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium, dan tidak bisa diraba, maka pelanggan akan menggunakan bukti langsung untuk menilai kualitas pelayanan. Dimensi tangible meliputi fasilitas fisik, pelengkap dan sarana komunikasi.

2. Reliability (keandalan), merupakan dimensi yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan. 3. Responsiveness (ketanggapan), merupakan dimensi yang mengukur

kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaan untuk melayani dengan baik.

4. Assurance (jaminan), merupakan dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada pelanggan.

5. Empathy (empati), yaitu kepedulian untuk memberikan perhatian dan memahami kebutuhan pelanggan.

(49)

yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi. Metode IPA adalah suatu cara yang praktis untuk mengukur atribut dari tingkat kepentingan dan tingkat pelaksanaan yang berguna untuk mengembangkan strategi peningkatan kinerja perusahaan.

3.4 Kerangka Pemikiran Operasional

Dalam menjalankan usaha perkebunaan kelapa sawit, dibutuhkan dana investasi yang sangat besar. Hal ini dikarenakan kelapa sawit merupakan komoditas yang bernilai tinggi dan menjadi bahan baku utama bagi beberapa industri pangan dan non pangan. Dalam menjalankan usahanya bagi petani yang memiliki lahan sempit (< 2 ha), mengalami kesulitan dalam memproduksi komoditas tersebut. Beberapa permasalahan yang sering terjadi di tingkat petani kelapa sawit yaitu: (1) modal, kebutuhan awal dalam melakukan usaha perkebunan kelapa sawit adalah modal. Investasi dalam produksi kelapa sawit membutuhkan dana yang sangat besar sehingga menjadi kendala bagi petani yang memiliki skala usaha kecil, (2) petani kecil biasanya belum menerapkan manajemen perkebunan yang tepat, sehingga produktivitas kelapa sawit rendah, (3) akses pemasaran masih sangat kecil, sehingga membutuhkan pihak lain untuk memenuhi kualifikasi yang diperlukan dalam pemasaran global, baik terkait dengan kualitas, kuantitas dan ketepatan waktu produksi, (4) penyediaan input, sarana dan prasarana produksi. Tanaman komersial seperti kelapa sawit umumnya tidak bisa diakses secara individual oleh petani yang memiliki lahan sempit, (5) informasi tidak lengkap. Dalam perdagangan komoditas kelapa sawit, informasi terkait dengan teknologi, kualitas, kuntitas, dan harga sangat penting. Informasi pasar yang tidak tepat, dapat merugikan petani lahan sempit, (6) kredit tidak mudah diakses oleh petani yang memiliki lahan sempit. Lembaga perkreditan menerapkan persyaratan tertentu yang tidak mudah bagi petani lahan sempit. Misalnya usaha yang dijalankan harus bankable.

(50)

dapat memperoleh tenaga kerja dari petani plasma atau keluarganya yang mengerti melakukan pemeliharaan dan perawatan tanaman kelapa sawit. Dalam melakukan produksi yang berkelanjutan, maka diperlukan pula bahan baku yang terjamin ketersediaannya, kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan pengelola kelapa sawit. Kebijakan pemerintah daerah setempat, yang mewajibkan bagi perusahaan untuk memberdayakan masyarakat sekitar sehingga kesejahteraan masyarakat sekitar usaha tercapai. Kemitraan merupakan solusi dalam menangani permasalahan di tingkat petani plasma dan perusahaan inti. Kemitraan banyak diterapkan oleh perusahaan perkebunan. Dari berbagai macam pola kemitraan, PIR trans merupakan pola kemitraan yang banyak digunakan, selain PIR trans ada juga pola kemitraan KKPA dan pola kemitraan swadaya. PT Agrowiyana menjalankan dua pola kemitraan sekaligus yaitu PIR trans dan KKPA. Dalam penelitian kali ini, peneliti khusus mengkaji tentang kemitraan yang dilakukan PT Agrowiyana dalam pengadaan bahan baku pabrik kelapa sawit dari petani plasma pada PT Agrowiyana. Dalam perjalanannya, pelaksanaan kemitraan yang dilakukan tidak sesuai dengan kontrak perjanjian yang telah disepakati pihak petani plasma dan perusahaan inti. Misalnya kewajiban pihak petani plasma untuk menjual hasil panen TBS yang seharunya dijual kepada perusahaan inti sesuai dengan kriteria, tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Banyak petani yang mengirim TBS kepada pabrik dalam keadaan buah belum matang. Hal tersebut menyebabkan kualitas dan kuantitas MKS dan IKS yang dihasilkan PKS PT Agrowiyana tidak stabil. Sehingga perlu dilakukan kajian terhadap pelaksanaan kemitraan yang telah berjalan selama ini. Peneliti melakukan penilaian pelaksanaan kemitraan dari dua bentuk pola kemitraan yang dilakukan perusahaan yakni KKPA dan PIR Trans. Mekanisme pelaksanaan kemitraan dilakukan dengan analisis deskriftif. Penilaian kepuasan dilakukan berdasarkan 17 atribut yang diindikasi mampu memberikan gambaran terhadap penilaian tingkat kepuasan petani terhadap kinerja kemitraan, yaitu Atribut Kepuasan pelaksanaan kemitraan berdasarkan pada hak dan kewajiban dapat dilihat pada

Gambar 4. Dari hasil kajian pelaksanaan kemitraan dan penilaian tingkat kepuasan

plasma, dapat diketahui kinerja kemitraan selama ini sudah sesuai atau belum dengan

perjanjian kemitraan, sehingga dapat diketahui alternatife strategi perbaikan kinerja

(51)

Gambar 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

PIR Trans

Analisis pelaksanaan kemitraan KKPA dan PIR

Trans Analisis Tingkat

Kepuasan Petani Plasma Kemitraan PT Agrowiyana

Atribut Kepuasan pelaksanaan kemitraan berdasarkan pada hak dan kewajiban adalah sebagai berikut:

1. kualitas sarana produksi 2. harga sarana produksi

3. kemudahan memperoleh sarana produksi 4. daya tampung inti

5. frekuensi pembinaan plasma 6. pelayanan dan materi pembinaan

7. komunikasi yang dibangun petugas dalam pembinaan 8. pengenalan teknologi

9. harga beli TBS

10. waktu pembayaran TBS 11. penetapan denda sortasi

12. peranan inti dalam membantu pengembalian kredit plasma 13. ketanggapan inti menyelesaikan keluhan plasma

14. bantuan dalam menanggulangi hama dan penyakit tanaman 15. layanan pinjaman dana

16. disiplin inti mentaati perjanjian

17. sikap inti terhadap kesejahteraan plasma Pengadaan bahan baku PKS

Pelaksanaan kemitraan berdasarkan pada Hak dan kewajiban KKPA

Gambar

Grafik Produksi TBS Kebun Inti Tahun 1996 hingga 2010  ...
Tabel 5. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang Operasional di Provinsi Jambi Tahun
Gambar 1. Tiga Tipe Kelapa Sawit yang Tersebar di Indonesia
Gambar 2 . Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

23,558,-.Masalah-masalah yang dihadapi PT.STTC dengan petani tembakau di daerah penelitian selama dalam bermitra adalah:Pada awal kemitraan sarana produksi petani disediakan

Penerapan mekasasi alsintan dalam usaha penangkaran benih padi sawah diperlukan dan sangat membantu petani dalam mengurangi kelangkaan tenaga kerja baik tenaga kerja untuk

Dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah dana yang berasal dari dunia usaha yang dilaksanakan oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan

(2) Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia melalui pelayanan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk pemberian

sesuai dengan anjuaran yang ditetapkan oleh dinas pertanian setempat. Petani mitra dapat mengurangi risiko produksi dengan cara meningkatkan penggunaan pupuk TSP dan

Tujuan kajian ini adalah untuk membandingkan cara tanam padi sistem tanam pindah (tapin), tanam benih langsung cara tugal (tabela tegel) dan tanam benih langsung

bahwa tarif retribusi jasa usaha sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha sudah tidak sesuai lagi dengan

bahwa badan usaha nasional yang menyelenggarakan usaha jasa konstruksi wajib memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah di tempat domisilinya sesuai dengan