• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi teknik pengolahan dan pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit : studi kasus : Indragiri Hilir-Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi teknik pengolahan dan pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit : studi kasus : Indragiri Hilir-Riau"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENDUGAAN

UMUR SIMPAN UDANG KERING TANPA KULIT

Studi Kasus: Indragiri Hilir-Riau

JUN HOLLAND SIMAMORA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASILPERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

JUN HOLLAND SIMAMORA. C34060210. Identifikasi Teknik Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Udang Kering Tanpa Kulit, Studi kasus : Indragiri Hilir-Riau. Dibimbing oleh ANNA C ERUNGAN dan SIMSON MASENGI.

Tanah Merah merupakan salah satu kecamatan di Indragiri Hilir, Riau. Sebagian besar masyarakatnya sangat bergantung pada hasil olahan udang, terutama udang kering tanpa kulit. Pengolahan udang kering tanpa kulit di masyarakat Tanah Merah masih sederhana, sehingga memungkinkan terjadinya beberapa penyimpangan. Penyimpangan ini dapat mempengaruhi mutu udang kering tanpa kulit. Identifikasi proses pengolahan udang kering perlu dilakukan untuk perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi.

Masalah lain yang sering terjadi di kecamatan Tanah Merah adalah harga udang kering tanpa kulit yang naik turun. Harga udang kering tanpa kulit mengalami penurunan ketika hasil tangkapan udang melimpah, dan mengalami peningkatan ketika hasil tangkapan udang sedikit. Musim udang ini sangat erat kaitannya dengan jumlah pendapatan masyarakat. Peningkatan mutu udang kering tanpa kulit merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Pemenuhan syarat mutu dalam rangka melindungi konsumen adalah dengan memberikan informasi mengenai umur simpan produk, karena masyarakat Tanah Merah belum mengetahui umur simpan produk mereka.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi proses produksi udang kering tanpa kulit yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan Tanah Merah, kabupaten Indragiri Hilir-Riau, serta melakukan pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit tersebut dengan metode akselerasi model Arrhenius.

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah melakukan identifikasi proses pengolahan udang kering tanpa kulit. Tahap kedua adalah penyimpanan udang kering tanpa kulit untuk menduga umur simpan produk. Parameter yang diamati adalah jumlah bakteri (TPC), aktivitas air (aw) dan ketengikan (TBA).

(3)

IDENTIFIKASI TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENDUGAAN

UMUR SIMPAN UDANG KERING TANPA KULIT

Studi Kasus: Indragiri Hilir-Riau

JUN HOLLAND SIMAMORA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASILPERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : Identifikasi Teknik Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Udang Kering Tanpa Kulit, Studi Kasus: Indragiri Hilir-Riau Nama : Jun Holland Simamora

NIM : C34060210

Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Anna C. Erungan, MS Dr. Simson Masengi NIP. 19620708 198603 2 001 NIP. 19620618 199003 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS, Mphil NIP. 19580511 198503 1 002

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Teknik Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Udang Kering Tanpa Kulit, Studi Kasus: Indragiri Hilir-Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Jun Holland Simamora

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena kasih, anugerah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Identifikasi Teknik Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Udang Kering Tanpa Kulit, Studi Kasus: Indragiri Hilir-Riau. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini, terutama kepada:

1. Ir. Anna C. Erungan, MS dan Dr. Simson Masengi sebagai pembimbing, yang senantiasa memberi arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Nurjanah, MS sebagai dosen pembimbing akademik yang memberikan motivasi kepada penulis.

3. Ir. Heru Sumaryanto, M.Si, atas saran dalam perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku ketua Program Studi

Teknologi Hasil Perairan.

5. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, Mphil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

6. Ayah dan Mama atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

7. “My Bigboss” Satria Simamora dan “My Broe” (Riwadi, Desandri, Tomy Devisa dan Lamhot Tamandala Simamora) atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

8. Pak Atter dan Bang Rudol, yang telah memberikan waktu dan tenaganya untuk membimbing penulis ketika di Kuala Enok.

(7)

10.Teman-teman satu PS (Idmar, Arin, Molly, Septin, Hilda, Tika dan Fitri M), terima kasih telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan seminar dan ujian akhir. 11.“Genk Kampoeng Laut” (Hilda, Arin, Cece, Spy, Ratna, Udoh &

Neng), atas kebersamaan dan pengalaman berwirausahanya.

12.Teman-Teman THP 43, atas kebersamaan, bantuan, doa, canda tawa dan telah menjadi sahabat bagi penulis.

13.Adik-adik kelas, THP 44 dan THP 45 (terutama Linda, Nabila, QQ dan Indah RW) atas kebersamaan dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan seminar dan ujian akhir.

14.Teman-teman Pondok Syalom (Rudi, Sabda, Riferson, Zega, Dhimas, Rifal, Karno, Tunggul, Alex, Dolly dan Silvester) atas “hiburan”, canda dan tawa yang diberikan.

15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Terima kasih.

Bogor, Februari 2011

Jun Holland Simamora

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Juni 1988 di Tembilahan, Riau. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Singkat Simamora dan Alpine Pardede.

Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis dimulai dari TK Bayangkari Tembilahan, dilanjutkan ke SD Negeri 04 Tembilahan dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Tembilahan dan mendapatkan kelulusan pada tahun 2003. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMA Negeri 2 Tembilahan dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 penulis diterima di Program Strata-1 Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah aktif di berbagai lembaga kemahasiswaan diantaranya Divisi Kewirausahaan Himasilkan 2007/2008, anggota Ikatan Keluarga, Pemuda dan Mahasiswa Riau (IKPMR) dari tahun 2006 hingga sekarang, Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi Himasilkan 2008/2009, dan Anggota PMK-IPB 2006-sekarang. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2010).

(9)

DAFTAR ISI

2.1.2 Proses penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit ... 6

3.3.1 Identifikasi proses pengolahan udang kering tanpa kulit ... 17

3.3.2 Pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit dengan model Arrhenius (Arpah 2001) ... 18

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 19

3.5 Metode Pengujian ... 19

3.5.1 Uji sensori ... 19

3.5.2 Analisis proksimat udang kering tanpa kulit ... 20

3.5.3 Analisis mikrobiologi ... 22

3.5.4 Nilai aw (AOAC 1995) ... 20

3.5.5 Analisis bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) metode Tarladgis (Apriyantono et al. 1989) ... 23

3.6 Analisis Data ... 23

3.6.1 Analisis deskriptif ... 23

(10)

3.7 Rancangan Percobaan ... 24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Keadaan Umum Pengolahan Udang Kering Tanpa Kulit ... 25

4.1.1 Lokasi unit pengolahan ... 25

4.1.2 Kondisi unit pengolahan ... 25

4.1.3 Sanitasi dan higiene ... 26

4.1.3 Peralatan produksi udang kering tanpa kulit ... 27

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Persyaratan mutu dan keamanan udang kering tanpa kulit ... 4 2 Mekanisme penurunan mutu dan kriteria kadaluwarsa produk pangan . 15 3 Penentuan suhu penyimpanan umur simpan produk ... 18 4 Keadaan umum unit pengolahan udang kering di Kecamatan Tanah

Merah ... 22 5 Karakteristik kimia udang kering tanpa kulit berdasarkan unit

pengolahan dengan pengeringan berbeda ... 37 6 Laju peningkatan nilai TBA udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan matahari ... 49 7 Laju peningkatan nilai TPC udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan matahari ... 51 8 Umur simpan udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari .. 52 9 Laju peningkatan nilai TBA udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan alat ... 54 10 Laju peningkatan nilai TPC udang kering tanpa kulit dengan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Udang kering tanpa kulit ... 5

2 Udang api-api (Metapenaeus monoceros) ... 5

3 Udang krosok (Metapenaeus lysianassa) ... 5

4 Diagram alir proses penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit ... 10

5 Hasil tangkapan udang krosok di Kecamatan Tanah Merah 2009 ... 25

6 Alat perebusan udang ... 28

7 Alat pengering udang kering tanpa kulit ... 29

8 Keranjang yang digunakan pada proses produksi udang kering tanpa kulit ... 29

9 Udang krosok (Metapenaeus lysianassa) ... 30

10 Proses pencucian udang ... 32

11 Proses perebusan udang ... 32

12 Proses penirisan udang ... 33

13 Proses pengeringan udang menggunakan cahaya matahari ... 33

14 Proses pengeringan udang menggunakan alat ... 34

15 Udang kering yang telah dikupas ... 34

16 Proses pembersihan dan sortasi udang kering ... 35

17 Kemasan yang digunakan untuk udang kering tanpa kulit ... 35

18 Diagram alir proses pengolahan udang kering tanpa kulit ... 36

19 Hasil uji sensori parameter kenampakan perlakuan pengeringan ... 39

20 Hasil uji sensori parameter bau perlakuan pengeringan ... 39

21 Hasil uji sensori parameter rasa perlakuan pengeringan ... 40

22 Hasil uji sensori parameter tekstur perlakuan pengeringan ... 41

23 Hasil uji sensori parameter jamur perlakuan pengeringan ... 42

24 Perubahan nilai aw udang kering tanpa kulit pengeringan matahari selama penyimpanan ... 43

25 Perubahan nilai aw udang kering tanpa kulit pengeringan alat selama penyimpanan ... 43

(13)

selama penyimpanan ... 44 28 Perubahan nilai TBA udang kering tanpa kulit pengeringan

matahari selama penyimpanan ... 45 29 Perubahan nilai TBA udang kering tanpa kulit pengeringan alat

selama penyimpanan ... 46 30 Laju peningkatan nilai TBA udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan matahari ... 48 31 Hubungan ln k dan 1/T pada udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan matahari ... 48 32 Laju perubahan log TPC udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan matahari ... 50 33 Hubungan antara ln k dan 1/T pada udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan matahari ... 51 34 Laju peningkatan nilai TBA udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan alat ... 53 35 Hubungan antara ln k dan 1/T pada udang kering tanpa kulit

dengan pengeringan alat ... 53 36 Laju perubahan log TPC udang kering tanpa kulit dengan pengeringan

alat ... 55 37 Hubungan antara ln k dan 1/T pada udang kering tanpa kulit dengan

pengeringan alat ... 56 38 Umur simpan udang kering tanpa kulit Kecamatan Tanah Merah

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Lembar penelitian sensori udang kering tanpa kulit SNI 01-2346-

2006 ... 65

2 Daftar Kuisioner ... 66

3 Hasil uji sensori parameter kenampakan ... 67

4 Hasil uji sensori parameter bau ... 68

5 Hasil uji sensori parameter rasa ... 69

6 Hasil uji sensori parameter tekstur ... 70

7 Hasil uji sensori parameter jamur ... 71

8 Hasil analisis keragaman nilai organoleptik udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah ... 72

9 Perubahan nilai aw pada produk udang kering tanpa kulit selama penyimpanan ... 73

10 Perubahan Log TPC pada produk udang kering tanpa kulit selama penyimpanan ... 74

11 Perubahan nilai TBA pada produk udang kering tanpa kulit selama penyimpanan ... 75

(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan melalui kegiatan usaha perikanan. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial (PPRI 2002). Adapun potensi perikanan Indonesia sangat melimpah. Potensi ini dapat dilihat dari biota perairan yang beranekagaram. Biota-biota itu antara lain ikan (finfish), udang dan kepiting (krustasea), cumi-cumi dan gurita (moluska), binatang air lain seperti penyu dan paus, rumput laut serta lamun laut.

Oosterveer (2006) menyatakan udang merupakan seafood penting yang diperdagangkan di seluruh dunia, sehingga udang juga dapat meningkatkan devisa negara. Hal ini dapat dilihat dari volume ekspor negara Indonesia 124 ton pada tahun 2005, 147 ton pada tahun 2006, 130 ton pada tahun 2007, 147 ton pada tahun 2008 serta 118 ton pada tahun 2009 (KKP 2010). Untuk mempertahankan tingkat penerimaan devisa yang cukup tinggi diperlukan terobosan pemasaran udang segar maupun hasil olahannya yang dapat bertahan hingga beberapa bulan sebelum sampai ke tangan konsumen tanpa mengubah kandungan gizinya. Udang yang tidak diawetkan hanya layak untuk dikonsumsi dalam waktu sehari setelah ditangkap dan mati. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka diperlukan suatu aktivitas proses pengolahan, karena proses ini merupakan salah satu faktor yang akan menentukan mutu produk akhir.

(16)

Pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah masih sederhana, sehingga memungkinkan terjadinya beberapa penyimpangan. Penyimpangan ini antara lain pengolahan yang tidak menggunakan rantai dingin serta peralatan yang tidak bersih. Penyimpangan ini dapat mempengaruhi mutu produk. Identifikasi pengolahan udang kering tanpa kulit perlu dilakukan untuk perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi.

Masalah lain yang sering terjadi di kecamatan Tanah Merah adalah harga udang kering tanpa kulit yang naik turun. Harga ini dipengaruhi oleh musim udang. Harga udang kering mengalami penurunan ketika hasil tangkapan udang melimpah, dan mengalami peningkatan ketika hasil tangkapan udang sedikit. Musim udang ini sangat erat kaitannya dengan jumlah pendapatan masyarakat kecamatan Tanah Merah. Peningkatan mutu udang kering tanpa kulit merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Pemenuhan syarat mutu dalam rangka melindungi konsumen adalah dengan memberikan informasi mengenai umur simpan produk. Umur simpan juga merupakan parameter yang penting untuk mengetahui ketahanan produk selama penyimpanan dan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk, serta berkaitan erat dengan jenis kemasan yang digunakan.

Pendugaan umur simpan terhadap udang kering tanpa kulit kecamatan Tanah Merah perlu dilakukan karena hingga saat ini masyarakat setempat belum mengetahui secara pasti umur simpan produk tersebut. Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) pada tahun 1985 tentang Food Labelling Regulation

(Herawati 2008). Dengan mengetahui umur simpan ini masyarakat dapat melakukan penyimpanan terhadap produk mereka ketika terjadi penurunan harga dan menjualnya ketika harga tinggi.

Umur simpan produk pangan dapat diduga dengan menggunakan dua konsep penyimpanan produk pangan yaitu dengan metode konvensional (Extended Storage Studies) dan metode akselerasi (Accelerated Storage Studies).

(17)

Storage Studies (ASS) adalah suatu metode pendugaan umur simpan dengan menggunakan kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan (Arpah 2001). Menurut Varo dan Keszthelyi (1985) umur simpan udang kering ditentukan dengan metode akselarasi model Arrhenius karena udang kering merupakan produk kering. Hal ini dikarenakan laju penurunan mutu udang kering tanpa kulit disebabkan oleh proses oksidasi lemak. 1.2 Tujuan

1. Mengidentifikasi proses pengolahan udang kering tanpa kulit yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir-Riau

2. Melakukan pendugaan umur simpan pada jenis udang kering tanpa kulit dengan metode akselerasi

1.3 Manfaat

1. Memberikan koreksi terhadap proses pengolahan udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir-Riau

(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Kering Tanpa Kulit

Udang kering tanpa kulit adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku udang segar melalui proses penanganan, dengan pengupasan kulit dan pengolahan dengan pengeringan (BSNa 2010). Dengan metode pengawetan ini daging udang yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan dan ditutup rapat. Persyaratan mutu dan keamanan udang kering tanpa kulit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan mutu dan keamanan udang kering tanpa kulit

Jenis uji Satuan Persyaratan Mutu

a. Sensori Angka (1-9) Minimal 7

b. Cemaran mikroba

-ALT Koloni/g Maksimal 1 x 105

-Escherichia coli APM/g Maksimal 3

-Salmonella* Per 25 g Negatif

-Staphylococcus aureus* Koloni/g Maksimal 1 x 103

-Vibrio cholerae* Per 25 g Negatif

c. Kimia

-Kadar air % Maksimal 20

-Kadar abu % Maksimal 14

-Kadar abu tak larut dalam asam % Maksimal 0,3

-Kadar garam % Maksimal 3

Catatan* bila diperlukan sesuai permintaan pasar

Sumber: BSNa (2010)

Secara fisik penampakan udang kering tanpa kulit adalah berwarna orange

(19)

Gambar 1. Udang kering tanpa kulit

Sumber: Anonimb (2010)

2.1.1 Bahan baku udang kering tanpa kulit

Bahan baku untuk pembuatan udang kering tanpa kulit adalah udang. Tetapi tidak semua jenis udang baik digunakan untuk pembuatan udang kering

tanpa kulit. Jenis udang yang biasanya digunakan adalah udang api-api (Metapenaeus monoceros)dan udang krosok (M. lysianassa) (BSNb 2010). Udang

api-api dan udang krosok digunakan karena ukuran tubuh udang jenis ini relatif kecil dibandingkan udang lain seperti udang putih (Penaeus merguiensis), udang vanamei (Litopenaeus vannamei) ataupun udang windu (P. monodon). Bentuk morfologi dari udang api-api (M. monoceros) dan udang krosok (M. lysianassa) dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Udang api-api (M. monoceros)

Sumber: Anonimc (2010)

Gambar 3. Udang krosok (M. lysianassa)

(20)

2.1.2 Proses penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit

Penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit pada prinsipnya adalah pengawetan dengan cara mengeringkan udang. Pengeringan akan menurunkan aw dan memperlambat pertumbuhan mikroba, khamir dan kapang, sehingga memperlambat laju penurunan kimia dan enzimatis produk (Anonim 2003).

Penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit ada yang menggunakan garam dan ada pula yang tidak menggunakan garam. Tahap-tahap penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit adalah penerimaan, penimbangan, pencucian, perebusan, penirisan, pengeringan, pengupasan kulit, pembersihan, penimbangan kedua dan pengemasan, penyimpanan dan pemuatan (BSN 2010).

a) Penerimaan

Udang yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik untuk mengetahui mutunya dan ditangani secara cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk antara 0°C hingga 5°C. Penerimaan ini bertujuan untuk mendapatkan bahan baku sesuai spesifikasi mutu bahan baku serta bebas dari bakteri patogen. Potensi bahaya pada tahap penerimaan adalah kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene, kemunduran mutu karena waktu penanganan terlalu lama dan suhu bahan baku lebih dari 5°C (BSN 2010). b) Penimbangan 1

Udang yang akan diolah ditimbang terlebih dahulu. Bahan baku ditimbang sesuai dengan spesifikasi dan dilakukan secara cepat, cermat, saniter dengan suhu pusat antara 0°C hingga 5°C. Penimbangan ini bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang aman untuk dikonsumsi sesuai spesifikasi. Potensi bahaya di tahap ini adalah kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene (BSN 2010).

c) Pencucian

(21)

tahap ini adalah kemunduran mutu karena kerusakan fisik dan kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene (BSN 2010).

d) Perebusan

Udang dimasukkan ke dalam air mendidih dengan campuran garam (0% hingga 5%) sesuai waktu dan suhu yang ditentukan. Selama perebusan dilakukan pengadukan secara periodik. Tujuan dari perebusan adalah mendapatkan udang rebus sesuai spesifikasi mutu udang rebus serta bebas dari bakteri patogen. Potensi bahaya pada tahap perebusan adalah mutu tidak sesuai spesifikasi karena target suhu dan waktu perebusan terlewati dan atau kontaminasi bakteri patogen karena target suhu dan waktu perebusan tidak tercapai (BSN 2010).

e) Penirisan

Udang diletakkan pada wadah bersaring dan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter. Tujuan dari penirisan adalah mendapatkan udang rebus sesuai spesifikasi mutu udang rebus serta bebas dari bakteri patogen. Potensi bahaya tahap penirisan adalah kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene, kemunduran mutu karena kesalahan penanganan (BSN 2010).

f) Pengeringan

Udang dikeringkan di bawah sinar matahari atau alat pengering mekanis (mechanical dryer) hingga kering sesuai spesifikasi mutu udang kering dilakukan secara cermat dan saniter. Tujuan dari pengeringan adalah mendapatkan udang kering sesuai spesifikasi mutu udang kering serta bebas dari bakteri patogen. Potensi bahaya pada tahap pengeringan adalah kemunduran mutu karena kandungan air melewati tingkat kekeringan, dan kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene, serta tingkat kekeringan tidak sesuai spesifikasi (BSN 2010).

g) Pengupasan kulit

(22)

h) Pembersihan

Produk dibersihkan dengan cepat, cermat dan saniter. Pembersihan bertujuan mendapatkan produk yang bersih sesuai spesifikasi mutu udang kering tanpa kulit. Potensi bahaya pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene, kulit masih menempel pada produk dan terdapat benda asing karena kesalahan penanganan (BSN 2010).

i) Penimbangan 2

Produk ditimbang sesuai dengan spesifikasi dan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter. Penimbangan kedua ini bertujuan untuk mendapatkan produk yang aman untuk dikonsumsi sesuai dengan spesifikasi. Adapun potensi bahaya pada tahap ini adalah kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene (BSN 2010).

j) Pengemasan

Produk dimasukkan ke dalam kemasan yang berlabel sesuai ketentuan yang berlaku secara cepat, cermat, dan saniter. Pengemasan bertujuan untuk mendapatkan produk yang aman dikonsumsi dan melindungi produk dari kerusakan fisik selama penyimpanan dan transportasi. Potensi bahaya pada pengemasan adalah kemunduran mutu karena kerusakan fisik dan kesalahan label terkait keamanan pangan (BSN 2010).

k) Penyimpanan

Udang kering tanpa kulit yang telah dikemas dimuat dalam kondisi saniter dan higienis dan dimuat dalam alat transportasi yang terlindung dari penyebab yang dapat merusak atau menurunkan mutu produk seperti kelembaban, serangga dan binatang pengerat lainnya. Tujuan penyimpanan adalah untuk mendapatkan produk yang aman dikonsumsi dan melindungi produk dari kerusakan fisik selama penyimpanan. Potensi bahaya penyimpanan adalah kontaminasi bakteri patogen karena kurangnya sanitasi dan higiene serta suhu dan kelembaban tidak sesuai spesifikasi (BSN 2010).

l) Pemuatan

(23)
(24)

Udang

Gambar 4. Diagram alir proses penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit

Sumber: BSN (2010)

Pembersihan

Pengemasan Penimbangan 2

Udang kering tanpa kulit Penimbangan 1

Pencucian

Perebusan 100±10°C (garam 0% hingga 5%)

Penirisan

Pengeringan Penerimaan

(25)

2.1.3 Bahan tambahan

Bahan tambahan makanan adalah bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama produksi, pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan untuk tujuan tertentu (Winarno dan Rahayu 1994). Bahan tambahan makanan ini berfungsi untuk mengurangi, terjadinya kerusakan, mencegah kehilangan gizi pangan, meningkatkan nilai gizi dan cita rasa, memperbaiki tekstur dan penampakan, mempermudah produksi, serta meningkatkan selera konsumen terhadap makanan tersebut (Damayanthi dan Mudjajanto 1994). Bahan tambahan yang digunakan dalam pengolahan udang kering tanpa kulit adalah garam (BSN 2010).

2.1.4 Bahan penolong

Bahan penolong adalah bahan-bahan yang dapat menunjang proses produksi yang tidak nampak pada produk akhir. Bahan penolong yang digunakan dalam pengolahan udang kering tanpa kulit adalah air dan es (BSN 2010).

2.2 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air setimbang dengan kondisi udara (atmosfer) normal atau tingkat kadar air yang setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis enzimatis atau kimiawi (Muchtadi 1997). Aktivitas air adalah jumlah air bahan yang dapat dipergunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.

Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009).

(26)

tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan. Pada tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan.

Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering (artificial drying), atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan (artificial drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan, dan kebersihan dapat diawasi (Winarno dan Fardiaz 1973). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan suatu bahan pangan menurut Buckle et al. (1985) adalah sebagai berikut:

1) Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air) 2) Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau

media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan) 3) Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, dan

kecepatan udara)

4) Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas)

2.3 Penurunan Mutu

(27)

0,3 dapat memperlambat laju reaksi oksidasi. Saat nilai aw mengalami kenaikan menjadi 0,55-0,85 reaksi oksidasi mengalami peningkatan kembali (Nawar 1977).

Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid (Nawar 1977). Reaksi oksidasi akan meningkat secara langsung jika daerah permukaan bahan pangan yang mengandung lemak terpapar oleh udara. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap laju reaksi karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam lemak dan air. Jumlah, posisi, dan geometri ikatan rangkap pada asam lemak dapat mempengaruhi laju oksidasi. Asam cis lebih mudah teroksidasi daripada isomer trans, dan ikatan rangkap konjugasi lebih reaktif daripada ikatan rangkap non-konjugasi. Asam lemak jenuh mengalami tingkat autooksidasi sangat rendah pada suhu ruang, namun pada suhu yang tinggi asam lemak tersebut dapat mengalami tingkat autooksidasi yang cukup signifikan (Nawar 1977).

2.4 Umur Simpan

The Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sedangkan National Food Processor Association

mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001).

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

(28)

3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.

Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS atau yang biasanya disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relatif banyak. Sedangkan ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ASS ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

(29)

Tabel 2. Mekanisme penurunan mutu dan kriteria kadaluwarsa produk pangan Produk Mekanisme penurunan mutu Kriteria kadaluwarsa Teh kering Penyerapan uap air Peningkatan kadar air Susu bubuk Penyerapan uap air Pencoklatan

Susu bubuk Oksidasi Laju konsumsi O2

Makanan laut kering beku

Oksidasi dan fotodegradasi Aktivitas air Makanan bayi Penyerapan uap air Konsentrasi asam

askorbat Makanan kering Penyerapan uap air -

Sayuran kering Penyerapan uap air Off flavor-perubahan warna

Kol kering Penyerapan uap air Pencoklatan Tepung biji kapas Penyerapan uap air Pencoklatan Tepung tomat Penyerapan uap air Konsentrasi asam

askorbat

Biji-bijian Penyerapan uap air Peningkatan kadar air

Keju Penyerapan uap air Tekstur

Bawang kering Penyerapan uap air Pencoklatan

Buncis hijau Penyerapan uap air Konsentrasi klorofil Keripik kentang Penyerapan uap air dan oksidasi Laju oksidasi

Keripik kentang Oksidasi Laju konsumsi O2

Ebi beku Oksidasi Konsentrasi karoten dan

laju konsentrasi O2 Tepung gandum Penyerapan uap air dan oksidasi Konsentrasi asam

askorbat

Minuman kering Pelepasan CO2 Perubahan tekanan

Sumber: Floros dan Gnanasekharan (1993) dalam Herawati (2008)

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Peningkatan suhu sebesar 10 °C dapat mempercepat proses penurunan mutu sebesar dua kali lipat (Arpah 2001). Pendugaan umur simpan dihitung menggunakan pendekatan Arrhenius (Labuza 1982 dalam Arpah 2001)

Persamaan Arrhenius: k = ko . e-Ea/RT

atau dalam bentuk logaritma ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T atau bentuk persamaan linear

y = b + ax

(30)

Keterangan: t = prediksi umur simpan (hari) Ao = nilai mutu awal

At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t k = konstanta penurunan mutu

ko = konstanta (tidak tergantung suhu) Ea = Energi aktivasi

T = suhu mutlak (K)

R = konstanta fas (1.986 kal/mol K)

Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi Ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi Ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.

1. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi Ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi (Labuza 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan:

2. Reaksi Ordo Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi Ordo satu meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor (penyimpangan flavor) oleh mikroba pada daging, ikan, dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya (Labuza 1982). Persamaan reaksi Ordo satu adalah:

(31)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan November 2010. Penelitian bertempat di Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir-Riau. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk analisa udang kering tanpa kulit antara lain pisau, oven, gelas piala, talenan, cawan porselin, tabung reaksi, tanur, desikator, tabung kjehdal, aw meter dan spektrofotometer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu bahan untuk membuat udang kering dan bahan untuk analisis. Bahan baku untuk pembuatan udang kering adalah udang krosok yang diperoleh dari hasil tangkapan, dengan bahan tambahan garam dan bahan pembantunya, yaitu air laut dan es. Adapun bahan untuk analisis sampel adalah akuades, H2SO4, NaOH, H3BO3, perlarut heksana, pereaksi TBA, HCl 4 M, NaCl aw 0,75 dan plastik

polypropylene 0,8 mm sebagai pengemas. 3.3 Tahap Penelitian

Penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah melakukan identifikasi proses pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir-Riau. Tahap kedua adalah pendugaan umur simpan produk udang kering tanpa kulit.

3.3.1 Identifikasi proses pengolahan udang kering tanpa kulit

(32)

3.3.2 Pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit dengan metode Arrhenius (Arpah 2001)

Pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit dihitung dengan metode Arrhenius. Tahapan pendugaan umur simpan yaitu proses penyimpanan produk dan pengamatan, penentuan kadaluwarsa, penentuan ordo reaksi, dan perhitungan umur simpan.

a) Proses penyimpanan produk dan penentuan kadaluwarsa

Udang kering tanpa kulit yang ditentukan umur simpannya adalah adalah udang kering tanpa kulit yang dikeringkan dengan cahaya matahari dan udang kering tanpa kulit yang dikeringkan dengan alat. Penyimpanan dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu dari produk. Sampel disimpan dalam kemasan plastik polypropylene dengan ketebalan 0,8 mm pada suhu 30°C, 35°C, dan 40°C. Pengamatan dilakukan secara obyektif (aw, TBA dan TPC) pada hari ke-0, 10, 20, 30, dan 40. Penentuan suhu penyimpanan ini berdasarkan Labuza dan Schmidl (1985) dalam Herawati (2008).

Tabel 3. Penentuan suhu penyimpanan umur simpan produk

Jenis produk Suhu pengujian (°C) Suhu kontrol (°C) Makanan dalam kaleng 25, 30, 35, 40 4

Pangan kering 25, 30, 35, 40, 45 -18

Pangan dingin 5, 10, 15, 20 0

Pangan beku -5, -10, -15 <-40

Sumber: Labuza dan Schmidl (1985) dalam Herawati (2008)

b) Penentuan ordo reaksi

Penentuan ordo reaksi dilakukan setelah data perubahan nilai mutu diperoleh baik secara subyektif maupun obyektif. Data-data hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan nilai mutu diplot pada masing-masing suhu penyimpanan (30°C, 35°C, dan 40°C) menggunakan plot ordo nol ataupun ordo satu. Hal ini berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) yang paling sesuai di antara kedua ordo tersebut.

c) Perhitungan umur simpan

(33)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan 3 cara, yaitu: 1. Metode Sampling

Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non Random Sampling, Purposive Sampling. Penggunaan sampling ini berdasarkan hanya 2 unit pengolahan di Kecamatan Tanah Merah, Indragiri Hilir-Riau yang memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih untuk penelitian ini. Selain itu, kedua sampel ini merupakan unit pengolahan yang dijadikan acuan oleh unit pengolahan lain di sekitarnya.

2. Pengumpulan data primer

a. Observasi, yaitu pengamatan langsung kegiatan penanganan dan proses pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir-Riau.

b. Wawancara dengan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan proses penanganan dan pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir-Riau.

c. Kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait dengan topik penelitian.

3. Pengumpulan data sekunder

a. Pengumpulan data informasi dari data tempat penelitian seperti data produksi udang tangkap dan jumlah output yang dihasilkan per tahun dari badan statistika daerah setempat.

b. Studi pustaka dari berbagai literatur tentang pendugaan umur simpan udang kering tanpa kulit sebagai pembanding dalam penulisan laporan. 3.5 Metode Pengujian

3.5.1 Uji sensori

(34)

3.5.2 Analisis proksimat udang kering tanpa kulit 1. Analisis kadar air (SNI 01-2354.2-2006)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 °C selama 30 menit. Kemudian cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama lebih kurang 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel ebi seberat 1-2 g ditimbang dengan timbangan digital. Kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 102-105 °C selama kurang lebih 6 jam. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin lalu ditimbang sampai didapat berat yang konstan. Perhitungan kadar air dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g) 2. Analisis kadar abu (SNI 2354.1:2010)

Prinsip penetapan kadar abu yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550-600 °C. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 °C selama 30 menit. Sebanyak 1-2 g sampel ebi ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan diarangkan selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600 °C selama 6-8 jam sampai pengabuan sempurna (abu berwarna putih). Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel ebi (g)

(35)

3. Analisis kadar protein (SNI 01-2354.4-2006)

Timbang 2 gram bahan dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2O4 40 ± 10 mg HgO, 2,0 ± ml H2SO4. Selanjutnya dengan penambahan batu didih, larutan didihkan 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH – Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan perbandingan 2:1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6,25. Kadar protein yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan:

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25) 4. Analisis kadar lemak (SNI 01-2354.3-2006)

Timbang labu alas bulat kosong (A g). Timbang 2 g homogenat contoh (B g) masukkan dalam selongsong lemak. Masukkan berturut-turut 150 ml

Chloroform ke dalam labu alas bulat, selongsong lemak ke dalam extractor soxhlet, dan pasang rangkaian soxhlet dengan benar. Lakukan ekstraksi pada suhu 60 °C selama 8 jam. Evaporasi campuran lemak dan chloroform dalam labu alas bulat sampai kering. Masukkan labu alas bulat yang berisi lemak ke dalam oven suhu 105 °C selama ± 2 jam untuk menghilangkan sisa chloroform dan uap air. Dinginkan labu dan lemak di dalam desikator selama 30 menit. Timbang berat labu alas bulat yang berisi lemak (C g) sampai berat konstan. Kerjakan pengujian minimal duplo (dua kali). Perhitungan lemak pada sampel adalah:

Keterangan: A = Berat labu alas kosong (g)

B = Berat contoh (g)

(36)

3.5.3 Analisis mikrobiologi

1. Uji angka lempeng total (SNI 01-2332.03-2006)

Uji mikrobiologis dilakukan dengan perhitungan jumlah bakteri yang ada dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 10 gram sampel dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 90 ml larutan garam 0,85% steril, kemudian dikocok hingga homogen. Campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85% steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok hingga homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan hingga pengenceran 10-5 sesuai kebutuhan penelitian.

Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Larutan media agar NA dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak ± 10 ml sambil digoyangkan hingga merata (metode tuang). Kemudian didiamkan beberapa saat hingga membentuk agar dan dalam kondisi aseptik. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu sekitar 35 °C selama 48 jam. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petrii yang mempunyai koloni bakteri antara 30 – 300 koloni. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian.

3.5.4 Nilai aw (AOAC 1995)

(37)

3.5.5 Analisis bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) metode Tarladgis (Apriyantono et al. 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti, lalu dimasukkan ke dalam wearing blender, kemudian ditambahkan 50 ml akuades dan dihancurkan. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml akuades. Selanjutnya, ditambahkan ± 2,5 ml HCl 4 M (atau hingga pH menjadi 1,5). Sampel didestilasi dengan menggunakan pendingin tegak (alat destilasi) hingga diperoleh cairan destilat sebanyak 50 ml selama ± 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk hingga homogen dan dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup sebanyak 5 ml. Pereaksi TBA ditambahkan sebanyak 5 ml, kemudian divorteks hingga homogen. Larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit.

Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko digunakan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansi. Larutan sampel kemudian diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehid per Kg sampel. Penghitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan:

Bilangan TBA =

Keterangan: TBA = Thiobacbirturic Acid (mg malonaldehid per kg sampel) A528 = Nilai absorbansi pada 528

3.6 Analisis Data

3.6.1 Analisis deskriptif

Identifikasi proses pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan keadaan di lapangan. Proses pada tiap tahapan dijelaskan secara rinci kegiatan yang terjadi. 3.6.2 Analisis umur simpan

(38)

3.7 Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan menggunakan uji lanjut Duncan untuk menentukan beda nyata tiap perlakuan yang diberikan. Faktor yang diamati adalah jenis pengeringan matahari dan pengeringan alat pengering pada dua usaha (usaha A dan usaha B). Diasumsikan bahwa pengeringan yang dilakukan oleh kedua usaha berbeda. Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut:

Yijk= µ + Ai + ijk

Yijk = Nilai pengamatan faktor pengeringan taraf ke-i dan ulangan ke-j µ

A

= Rataan umum

i = Pengaruh faktor pengeringan pada taraf ke-i ijk = Galat sisa

Hipotesis yang digunakan:

(39)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Unit Pengolahan Udang Kering Tanpa Kulit 4.1.1 Lokasi unit pengolahan

Unit pengolahan udang kering tanpa kulit berlokasi di Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, provinsi Riau. Kawasan ini berbatasan dengan Kecamatan Kuala Indragiri di sebelah utara, Sungai Batang di sebelah selatan, Kecamatan Enok di sebelah barat dan Kabupaten Lingga (Prov. Kepri) di sebelah timur. Kecamatan Tanah Merah secara geografis terletak di 103° 12’ 46,85” BT s/d 103° 31’ 57,39” BT dan 0° 21’ 46,85” LS s/d 0° 36’ 2,64” LS.

4.1.2 Kondisi unit pengolahan

Unit pengolahan udang kering tanpa kulit ini didirikan atas dasar pertimbangan bahwa Kecamatan Tanah Merah merupakan daerah yang strategis, dimana daerah ini memiliki ketersediaan bahan baku berupa hasil tangkapan laut yang melimpah, terutama udang krosok (Metapenaeus lysianassa). Selain itu, Kecamatan Tanah Merah juga dekat dengan Singapura, yang merupakan negara yang menjadi tujuan ekspor udang kering tanpa kulit hasil produksi masyarakat Tanah Merah. Hasil tangkapan udang krosok di kecamatan Tanah Merah tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hasil tangkapan udang krosok di Kecamatan Tanah Merah tahun 2009 Sumber: Koperasi Jaya Bersama (2010)

(40)

berfluktuasi setiap bulannya. Penangkapan tertinggi pada bulan Mei sampai bulan September dan terendah pada bulan Oktober sampai bulan April. Hal ini dikarenakan udang krosok mengalami kelimpahan pada bulan Mei hingga bulan September sedangkan pada bulan Oktober hingga bulan April jumlah udang krosok di laut sedikit. Selain itu cuaca yang kurang baik juga menjadi faktor lain turunnya hasil tangkapan udang krosok pada bulan Oktober hingga bulan April.

Jumlah unit pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah belum diketahui karena sebagian unit pengolahan tidak terdaftar. Hal ini dikarenakan lokasi unit pengolahan yang terpencar di setiap desa. Selain itu, transportasi yang menggunakan perahu menjadi kendala dan hanya melakukan

survey langsung terhadap 6 unit pengolahan. Adapun secara umum proses pengolahan udang kering tanpa kulit yang dilakukan oleh unit-unit pengolahan adalah sama. Unit-unit pengolahan tersebut mengacu pada Unit pengolahan A dan unit pengolahan B. Hal ini dikarenakan unit pengolahan A dan unit pengolahan B merupakan 2 unit pengolahan terbesar di kecamatan Tanah Merah. Keadaan umum unit pengolahan udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Keadaan umum unit pengolahan udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah

Keadaan unit pengolahan Unit pengolahan A Unit pengolahan B

1. Bahan baku Udang krosok Udang krosok

2. Asal bahan baku hasil tangkapan hasil tangkapan

3. Jumlah tenaga kerja 17 15

4. Skala produksi per bulan 1,4 Ton 1,2 Ton 5. Kapal penangkapan 6 kapal 5 kapal 6. Pemasaran produk Singapura Singapura

4.1.3 Sanitasi dan higiene

(41)

menjaga kebersihan bahan baku. Sedangkan sanitasi bahan penolong dan bahan tambahan, peralatan pengolahan, lingkungan pengolahan, kebersihan selama berlangsungnya proses pengolahan dan higiene pekerja belum dilakukan dengan baik.

Sanitasi dan higiene bahan pembantu proses pengolahan juga perlu dijaga dengan baik. Bahan penolong yang digunakan pada proses pengolahan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah adalah air dan es balok, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah garam. Air yang digunakan adalah air laut yang tidak diketahui kebersihannya. Sumber air yang dijadikan es balok berasal dari air sumur dan tidak pernah dilakukan pengujian terhadap kandungan air tersebut. Sedangkan garam yang digunakan tidak disimpan dan tidak diawasi dengan baik sehingga garam tersebut menjadi lembab.

Sanitasi dan higiene peralatan pengolahan harus diperhatikan kebersihannya. Peralatan yang digunakan dicuci dengan air laut dan air sumur. Air laut digunakan untuk mencuci peralatan-peralatan yang terlibat dalam proses pengolahan di atas kapal sedangkan peralatan yang digunakan diruang pengolahan dicuci dengan air sumur.

Penerapan sanitasi dan higiene juga dilakukan terhadap karyawan yang melakukan proses pengolahan. Karyawan yang melakukan proses pengolahan tidak menggunakan pakaian khusus. Sebagian besar karyawan mengganti dan mencuci pakaian setelah beberapa hari pemakaian. Bahkan, ada karyawan yang merokok ketika proses pengolahan berlangsung.

Lingkungan yang menjadi tempat pengolahan tidak dijaga kebersihannya sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang yang dapat mempengaruhi mutu udang kering tanpa kulit. Pembersihan di dalam ruang pengolahan seperti lantai dan dinding dilakukan dengan cara disapu setiap hari, sedangkan pembersihan kapal dilakukan dengan cara menyikat pada bagian lantai dan dinding setelah udang didaratkan.

4.1.4 Peralatan produksi udang kering tanpa kulit

(42)

a) Alat perebusan

Peralatan perebusan terdiri dari kompor dan drum perebusan. Kompor berbentuk kompor biasa yang berbahan bakar minyak sedangkan drum yang digunakan memiliki kapasitas 60 kg bahan baku. Jumlah kompor dan drum

sebanyak 2 unit pada tiap kapal penangkapan. Drum tersebut sudah tidak layak pakai karena sudah berkarat sehingga dapat mengancam keamanan konsumen. Alat perebusan udang disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Alat perebusan udang

b) Alat pengering

Alat pengering yang digunakan terdiri dari kompor, blower dan meja yang terbuat dari kawat. Sumber panas berasal dari kompor dan dialirkan menggunakan

(43)

Gambar 7. Alat pengering udang kering tanpa kulit c) Keranjang

Keranjang yang digunakan sebagai wadah udang, memiliki kapasitas 25-50 kg. Keranjang berfungsi sebagai wadah bahan baku baik pada saat penerimaan bahan baku maupun setelah proses pencucian serta sebagai wadah produk untuk penirisan. Keranjang yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Keranjang yang digunakan pada proses produksi udang kering tanpa kulit

4.2 Proses Pengolahan Udang Kering Tanpa Kulit

(44)

4.2.1 Proses pengolahan di atas kapal

Proses pengolahan di atas kapal meliputi beberapa proses yaitu penanganan bahan baku, bahan tambahan dan bahan pembantu, pencucian bahan baku, perebusan, serta penirisan.

4.2.1.1 Bahan baku

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan udang kering tanpa kulit di kecamatan Tanah Merah adalah udang krosok (Metapenaeus lysianassa) atau biasanya masyarakat menyebut udang bahe. Udang yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Udang krosok (Metapenaeus lysianassa)

4.2.1.2 Bahan tambahan

Bahan tambahan yang digunakan dalam proses pengolahan udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah adalah garam. Garam biasa digunakan dalam pengolahan udang sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Pemberian garam pada proses perebusan udang sebesar 5% dari total bahan baku yang diolah. Mutu garam yang digunakan pada proses pengolahan udang kering tidak diawasi dan disimpan dengan baik. Hal ini dikarenakan garam yang mengalami penurunan mutu yang ditandai dengan kondisi garam yang lembab (basah).

4.2.1.3 Bahan pembantu

(45)

• Air laut

Air merupakan bahan yang sangat penting dan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak. Air laut berasal dari perairan laut yang cukup dalam. Air laut ini berfungsi untuk pencucian udang dan air untuk perebusan. Air yang baik untuk pencucian udang adalah air bersih yang sesuai dengan persyaratan air minum (Winarno 1994). Untuk memastikan bahwa air telah layak pakai, maka dilakukan pengujian-pengujian air. Air dengan standar air minum adalah air yang aman atau tidak menimbulkan bahaya bagi yang meminumnya.

• Es

Es yang digunakan untuk pengolahan berupa es balok. Es balok ini kemudian dipecah dan dicampur dengan air laut untuk menjaga kestabilan suhu udang pada tahap produksi udang kering. Es digunakan untuk mendinginkan bahan baku yang belum terpakai, untuk diolah pada produksi berikutnya. Hal ini terjadi karena peralatan telah digunakan secara maksimal. Es yang digunakan berasal dari air sumur yang belum terjamin mutunya. Pengawasan mutu air dan es tidak dilakukan oleh masyarakat Tanah Merah dikarenakan kurangnya pengetahuan pengolah dalam menerapkan standar keamanan air dan es. Es yang tidak disimpan dengan baik dapat berpotensi menjadi sumber kontaminasi bagi bahan baku. Menurut KKP (2008) es berkualitas baik memberikan penyimpanan yang bersih, lembab, tidak berbahaya, dapat dipindahkan, tidak mahal, dan mencair pada tingkat tertentu.

4.2.1.4 Pencucian

(46)

Gambar 10. Proses pencucian udang

4.2.1.5 Perebusan

Udang direbus dengan air laut yang telah dicampur dengan garam pada suhu ±100°C selama selama 30 menit. Perbandingan antara udang dan garam adalah 20:1. Proses perebusan udang dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Proses perebusan udang 4.2.1.6 Penirisan

(47)

Gambar 12. Proses penirisan udang 4.2.2 Proses pengolahan di unit produksi (darat)

Proses pengolahan di unit produksi (darat) merupakan proses lanjutan dari proses di atas kapal. Proses pengolahan yang dilakukan di unit produksi adalah pengeringan, pengupasan kulit, pembersihan dan sortasi, pengemasan, serta pengolahan hasil samping.

4.2.2.1 Pengeringan

Pengeringan udang dilakukan dengan 2 cara yaitu pengeringan menggunakan cahaya matahari dan pengeringan menggunakan alat. Pengeringan alat digunakan jika cuaca tidak cerah selama 30 menit. Sedangkan pengeringan matahari dilakukan selama 2 hari dan setiap malamnya udang dimasukkan ke keranjang. Khusus pengeringan matahari, udang yang telah dikeringkan kemudian dikeringkan kembali dengan alat pengering selama 10 menit untuk memudahkan proses pengupasan kulit. Proses pengeringan udang disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14.

(48)

Gambar 14. Proses pengeringan udang menggunakan alat

4.2.2.2 Pengupasan kulit

Pengupasan kulit dilakukan dengan memukul-mukul dan membanting-banting karung yang telah diisi udang. Pengupasan kulit ini dilakukan dengan hati-hati agar bentuk udang tetap utuh. Gambar udang yang telah dikupas disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Udang kering yang telah dikupas 4.2.2.3 Pembersihan dan sortasi

(49)

Gambar 16. Proses pembersihan dan sortasi udang kering 4.2.2.4 Pengemasan

Pengemasan adalah salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan maupun produk non pangan. Kemasan yang digunakan adalah karung plastik berkapasitas 100 kg. Udang kering tanpa kulit yang telah dikemas dengan karung kemudian disimpan di gudang penyimpan dengan suhu ± 30 °C. Jenis kemasan yang digunakan pada pengemasan udang kering disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Kemasan yang digunakan untuk udang kering tanpa kulit

4.2.2.5 Pengolahan hasil samping

(50)

Diagram alir proses pengolahan udang kering tanpa kulit disajikan pada Gambar 18.

Perebusan 100±10°C

(40 kg udang, 2 kg garam dan air laut secukupnya) Udang Krosok

Gambar 18. Diagram alir proses pengolahan udang kering tanpa kulit Pengemasan Pengeringan matahari ± 2 hari

(suhu 40 °C)

Cuaca tidak cerah Cuaca cerah

Pengeringan menggunakan alat pengering ± 10’

(51)

4.3 Karakteristik Mutu 4.3.1 Karakteristik kimia

Karakteristik kimia udang kering tanpa kulit terdiri dari: kadar air, kadar abu, lemak, protein dan karbohidrat. Karateristik kimia udang kering tanpa kulit berdasarkan unit pengolahan dengan pengeringan berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik kimia udang kering tanpa kulit berdasarkan unit pengolahan dengan pengeringan berbeda

Komposisi kimia (%)

Jenis Pengeringan

Unit pengolahan A Unit pengolahan B Matahari Alat Matahari Alat

Kadar air 16,725 18,685 17,165 18,815

Kadar abu 11,030 10,490 10,700 10,170

Kadar protein 60,290 59,325 60,300 59,970

Kadar lemak 2,890 2,785 2,870 2,615

Kadar karbohiidrat

(by different) 9,065 8,715 8,965 8,430

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan menggunakan energi panas (Winarno dan Fardiaz 1973). Karakteristik kimia udang kering tanpa kulit unit pengolahan A relatif sama dengan karakteristik udang kering tanpa kulit unit pengolahan B. Perbedaan karateristik kimia yang terjadi adalah pada proses pengeringan menggunakan matahari dan pengeringan menggunakan alat.

(52)

Nilai rata-rata persentase kadar abu udang kering tanpa kulit menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan alat lebih kecil dibanding pengeringan matahari. Namun, kadar abu ini lebih kecil dibanding kadar abu yang ditetapkan SNI yaitu sebesar 14% (BSNa 2010). Winarno dan Fardiaz (1973) menyatakan bahwa pengurangan kadar air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat, lemak, dan mineral-mineral pada bahan pangan terkonsentrasi tinggi.

Nilai rata-rata persentase kadar protein dan karbohidrat pada udang kering tanpa kulit dengan pengeringan menggunakan alat lebih kecil dibanding pengeringan matahari. Persentase yang tinggi pada kadar protein dan karbohidrat yang dihasilkan berhubungan dengan penurunan kadar air. Penurunan kadar air pada pengolahan bahan pangan akan meningkatkan konsentrasi kadar protein, lemak, karbohidrat, dan mineral-mineral (Winarno dan Fardiaz 1973).

4.3.2 Karakteristik sensori

Parameter sensori pada penelitian ini adalah kenampakan, bau, rasa, tekstur dan jamur. Parameter ini didasarkan pada SNI 01-2346-2006. Perlakuan yang memberi pengaruh terhadap karakteristik sensori udang kering tanpa kulit adalah parameter tekstur.

1. Kenampakan

Kenampakan dapat dipengaruhi oleh unsur warna dan bentuk dari produk itu sendiri. Nilai sensori rata-rata untuk kenampakan udang kering tanpa kulit antara 8,133 sampai 8,333 yang berarti bentuknya utuh, ukuran seragam, warna

(53)

Gambar 19. Hasil uji sensori parameter kenampakan perlakuan pengeringan 2. Bau

Bau merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas makanan. Nilai sensori rata-rata bau udang kering tanpa kulit antara 8,4 sampai 8,533 yang berarti bau segar spesifik udang kering kuat. Nilai bau ini masih di atas nilai minimal yang ditetapkan SNI yaitu 7,00 yang berarti bau segar spesifik udang kering berkurang (BSNa 2010). Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan panelis terhadap bau udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah. Hasil uji sensori parameter bau perlakuan jenis pengeringan dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Hasil uji sensori parameter bau perlakuan pengeringan 3. Rasa

(54)

gurih, spesifik udang kering berkurang (BSNa 2010). Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan panelis terhadap rasa udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah. Hasil uji sensori parameter rasa perlakuan jenis pengeringan dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Hasil uji sensori parameter rasa perlakuan pengeringan

4. Tekstur

(55)

Gambar 22. Hasil uji sensori parameter tekstur perlakuan pengeringan Berdasarkan hasil uji sensori, jenis pengeringan matahari berbeda nyata dengan jenis pengeringan menggunakan alat. Hal ini diduga karena pengeringan dengan alat terlalu cepat dan suhu yang tinggi sehingga di dalam produk masih terdapat air. Pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan oleh karena permukaan bahan terlalu cepat kering sehingga tidak bisa diimbangi dengan kecepatan gerakan air bahan menuju permukaan. Karenanya menyebabkan pengerasan pada permukaan bahan, selanjutnya air dalam bahan tak dapat lagi menguap karena terhambat (Suharto 1991).

5. Jamur

(56)

Gambar 23. Hasil uji sensori parameter jamur perlakuan pengeringan 4.4 Umur Simpan

4.4.1 Perubahan mutu selama penyimpanan

Sampaio et al. (2005) menyatakan udang banyak memiliki asam lemak tak jenuh ganda yang memudahkan terjadinya oksidasi. Sedangkan Rahman dan Labuza (2007) menyatakan aktivitas air merupakan parameter yang dapat menentukan pertumbuhan mikroba, oksidasi lipid, kegiatan enzimatik dan non-enzimatik serta tekstur makanan, sehingga parameter yang digunakan selama penyimpanan adalah aktivitas air (aw), Total Plate Count (TPC), dan nilai TBA (ketengikan). Mcmeekin dan Ross (1996) dalam Liu dan Li (2006) menyatakan bahwa kerusakan makanan terjadi selama penyimpanan yang disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang dalam produk, sehingga membuat makanan tidak disukai dan mengganggu kesehatan konsumen.

(57)

Gambar 24. Perubahan nilai aw udang kering tanpa kulit pengeringan matahari selama penyimpanan

Gambar 25. Perubahan nilai aw udang kering tanpa kulit pengeringan alat selama penyimpanan

(58)

cukup kompleks karena dapat memicu berbagai jenis reaksi deteriorasi lain yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi yang dapat terjadi diantaranya adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis, reaksi oksidasi dan reaksi pembentukan

off-flavor.

Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid 1993). Perubahan jumlah mikroorganismepada udang kering tanpa kulit selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 26 dan Gambar 27, sedangkan data perubahan jumlah mikroorganisme tersebut disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 26. Perubahan Log TPC udang kering tanpa kulit pengeringan matahari selama penyimpanan

(59)

Perubahan jumlah mikroorganisme pada masing-masing produk udang kering tanpa kulit selama penyimpanan cenderung mengalami peningkatan. Mcmeekin dan Ross (1996) dalam Liu dan Li (2006) menyatakan, peningkatan jumlah mikroorganisme dipengaruhi oleh dipengaruhi oleh sifat intrinsik makanan, faktor ekstrinsik (suhu, tekanan udara dan aktivitas air), faktor pengolahan dan faktor implisit. Sehingga peningkatan aktivitas air (aw) membuat mikroorganisme perusak untuk tumbuh pada produk dan dapat memberikan resiko keamanan serta kesehatan konsumen (Comaposada et al. 2000 dalam Aktas dan Gurses 2005).

Reaksi oksidasi dapat diuji dengan Uji Thiobarbituric Acid (TBA). Data perubahan nilai TBA pada produk udang kering tanpa kulit selama penyimpanan disajikan pada Lampiran 5, dan grafik perubahan nilai TBA tersebut dapat dilihat pada Gambar 28 dan Gambar 29.

(60)

Gambar 29. Perubahan nilai TBA udang kering tanpa kulit pengeringan alat selama penyimpanan

Perubahan nilai TBA pada produk udang kering tanpa kulit Kecamatan Tanah Merah selama penyimpanan cenderung mengalami peningkatan. Kenaikan angka TBA tersebut menunjukkan peningkatan kadar malonaldehid selama penyimpanan akibat reaksi oksidasi. Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid (Nawar 1977).

Peningkatan nilai TBA tertinggi terjadi pada suhu penyimpanan 40 °C, diikuti suhu 35 °C dan 30 °C. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju oksidasi adalah suhu. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap laju reaksi, karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam lemak dan air. Faktor lain yang mempengaruhi laju oksidasi diantaranya adalah komposisi asam lemak, area permukaan, dan nilai aw pada produk (Nawar 1977).

(61)

4.4.2 Pendugaan umur simpan

Pendugaan umur simpan produk udang kering tanpa kulit Kecamatan Tanah Merah menggunakan metode akselerasi model Arrhenius. Parameter yang diukur selama penyimpanan adalah nilai TBA (ketengikan), TPC (jumlah bakteri) dan nilai aw (aktivitas air). Parameter yang dihitung dengan menggunakan model Arrhenius adalah TBA dan TPC. Floros dan Gnanasekharan (1993) dalam Herawati (2008) menyatakan, mekanisme penurunan mutu produk udang kering beku adalah secara oksidasi, sehingga laju oksidasi diamati dengan TBA. Sedangkan perhitungan TPC berdasarkan keadaan aman yang disarankan SNI yaitu 105 koloni/gram sampel.

Titik kritis TBA pada produk udang kering tanpa kulit Kecamatan Tanah Merah adalah 1 mg malonaldehid/kg sampel. Hal ini dikarenakan produk yang masih berkualitas baik memiliki nilai TBA kurang dari 1 malonaldehid/kg sampel (Jhon et al. 2004). Pendugaan umur simpan produk udang kering menggunakan model ordo nol atau ordo satu. Proses oksidasi dihitung berdasarkan ordo satu sedangkan pertumbuhan mikroba berdasarkan TPC (Labuza 1984 dalam Arpah 2001). Adapun perhitungan umur simpan udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari dan pengeringan alat adalah:

1. Perhitungan umur simpan udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari

a) Perhitungan umur simpan udang kering tanpa kulit pengeringan matahari dengan parameter TBA

(62)

Gambar 30. Laju peningkatan nilai TBA udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari

Berdasarkan Gambar 30. Diperoleh persamaan peningkatan nilai TBA dari masing-masing suhu penyimpanan, yaitu sebesar:

Suhu 30 °C y = 0,002x + 0,055 R2 = 0,998 Suhu 35 °C y = 0,003x + 0,056 R2 = 0,998 Suhu 40 °C y = 0,004x + 0,052 R2 = 0,996

Kemiringan masing-masing persamaan regresi merupakan nilai k pada persamaan Arrhenius. Plot Arrhenius diperoleh dengan menghubungkan nilai ln k dan 1/T dari masing-masing nilai regresi setiap suhu penyimpanan. Grafik hubungan nilai ln k dan 1/T produk udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari dapat dilihat pada Gambar 31.

(63)

Berdasarkan Gambar 31, diperoleh persamaan garis lurus dan koefisien determinasi sebagai berikut:

Y = -6931x + 16,67 R2 = 0,990

Nilai kemiringan kurva persamaan garis ini merupakan nilai –E/R dari persamaan Arrhenius, sehingga diperoleh nilai energi aktivasi dengan persamaan sebagai berikut:

E/R = -6931 K

R = 1,986 kal/mol K E = -27531,918 kal/mol

Nilai perpotongan merupakan nilai ln k0 dari persamaan Arrhenius, hingga diperoleh nilai k0 sebesar:

Ln k0 = 16,67

k0 = 1,7365 x 107

setelah nilai –E/R dan k0 diperoleh, model persamaan Arrhenius untuk laju penurunan nilai TBA diperoleh sebagai berikut:

k = k0 e-(Ea/RT)

k = 1,7365 x 107 e-6931/T

Berdasarkan persamaan Arrhenius di atas, dapat ditentukan laju peningkatan TBA udang kering tanpa kulit pada berbagai suhu penyimpanan seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Laju peningkatan nilai TBA udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari

Suhu Persamaan k (mg malonaldehid/kg

sampel/hari) 30 C atau 303 K ° k = 1,7365 x 107 e-6931/303 0,0020200758 35 C atau 308 K ° k = 1,7365 x 107 e-6931/308 0,0029284573 40 °C atau 313 K k = 1,7365 x 107 e-6931/313 0,0041952484

Setelah mendapatkan laju peningkatan nilai TBA, maka umur simpan udang kering tanpa kulit dengan pengeringan matahari pada suhu penyimpanan yang berbeda dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Suhu 30 C atau 303 K = (1 – 0,0565)/ 0,0020200758= 467 hari = 66 minggu ° °

Gambar

Tabel 4. Keadaan umum unit pengolahan udang kering tanpa kulit di Kecamatan Tanah Merah
Gambar 6. Alat perebusan udang
Gambar 7. Alat pengering udang kering tanpa kulit
Gambar 9. Udang krosok (Metapenaeus lysianassa)
+7

Referensi

Dokumen terkait