• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Keterkaitan antara Keragaman Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Keterkaitan antara Keragaman Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM

SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH

DI INDONESIA

MUHAMMAD GIRI WIBISONO

A14060397

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Kajian Keterkaitan antara Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia. Dibimbing oleh DARMAWAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas, karena antara lain masalah tenaga dan biaya yang sangat besar. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik Unit). Konsep ini didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah. Dari hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform, masih terdapat variasi karakteristik yang berimplikasi pada klasifikasi yang berbeda. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala 1:50.000 LREPP II. Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut pada tingkat dan intensitas keragamannya untuk dijadikan sebagai dasar dalam penentuan pendekatan / metode survei yang digunakan selanjutnya.

Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis konsistensi hubungan klasifikasi tanah dengan landform, mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu satuan landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000, dan mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga dari unsur-unsur landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000. Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. Penelitian ini menggunakan Uji Tabular dan Analisis Koefisien Keragaman (KK) internal karakteristik tanah penciri landform dan KK karakteristik tanah penciri antar landform.

(3)
(4)

SUMMARY

MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Study of Relevance between Soil Characteristic and Clasification with Landform, as an Evaluation for soil Mapping in Indonesia. Supervised by DARMAWAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Main problem of soil mapping in Indonesia are limitation of cost and man power. Landform approach is used as an aprroach to accelerate the soil mapping. The principle of landform approach is based on correlation between landform unit and soil unit. This approach has been used in Land Resource Evaluation Planning Project (LREPP) I & II semi-detailed soil mapping project in Indonesia. The result showed that a landform unit consists of several characteristics implicating, different soil classifications. This fact must be studied further to determine the level and intensity of diversity for a reference to developing of mapping in the future.

The study aims to analyze the consistency of correlation of soil clasification with the landform, description of homogeneity and heterogeneity of soil characteristics and classifications within a landform unit from previous mapping of 1:50,000 scale, and identify unpredictable soil characteristics from landform elements. This research is a literature study of LREPP II survey and soil mapping data avaliable data base in Research Center for Agricultural Land Resources (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. This research used Tabular Test and Internal Variability Coefficient (CV) analisys of soil characteristics as key of landform characteristics and variability coefficient characteristics as key of soil characteristic inter landforms.

(5)

SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH

DI INDONESIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

MUHAMMAD GIRI WIBISONO A14060397

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Penelitian : Kajian Keterkaitan antara Keragaman Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia

Nama : MUHAMMAD GIRI WIBISONO

NRP : A14060397

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr Ir Darmawan, M.Sc Dr Ir D.P.T. Baskoro, M.Sc NIP. 19631103 199002 1 001 NIP. 19630126 198703 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr Ir Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003

(7)

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 31 Oktober 1987 dari pasangan H. Suharsono, S.Pd dan Dra. Hj. Liplip Mukhalipah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis memulai studi di Taman Kanak-Kanak (TK) Perwari tahun 1992 dan melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Ciherang, Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Cipanas, Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Sukaresmi, Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun pertama di IPB, penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan serta doa dari berbagai pihak maka penyelesaian tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik. Untuk itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr Ir Darmawan, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik.

2. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik.

3. Dr Ir Dyah Tjahyandari, M.appl.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4. Ir Chendy Tafakresnanto, MP selaku peneliti Balai Besar Litbang Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang telah memberikan waktu, arahan, bantuan serta fasilitas selama penyusunan skripsi.

5. Keluarga tersayang Mamah, Bapak, Teteh dan segenap keluarga besar H. Ahmad Furqon yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada penulis.

6. Teman-teman mahasiswa Manajemen Sumberdaya Lahan angkatan 43 serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penelitian serta penulisan skripsi ini.

Penulis sangat berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membacanya.

Bogor, Desember 2011

(9)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Hipotesis ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Konsep dan Definisi Tanah ... 4

2.2. Proses Pembentukan Tanah ... 5

2.3. Klasifikasi Tanah ... 6

2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia ... 7

2.4. Karakteristik Tanah Untuk Klasifikasi ... 10

2.5. Kaidah Pemetaan Tanah ... 12

2.5.1. Pengertian Peta Tanah ... 12

2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan ... 13

2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah ... 14

2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform ... 15

2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform) ... 16

2.6.2. Faktor dan Proses landform ... 16

2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia ... 17

2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I ... 17

2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II ... 20

2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II ... 22

III. BAHAN DAN METODE ... 23

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2. Metode Penelitian ... 23

3.2.1. Tahap Kompilasi Data ... 23

(10)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah ... 28

4.2. Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform ... 30

4.2.1. Grup Landform Aluvial (A) ... 32

4.2.2. Grup Landform Fluvio-Marin (B) ... 45

4.2.3. Grup Landform Karst (K) ... 51

4.2.4. Grup Landform Marin (M) ... 54

4.2.5. Grup Landform Tektonik dan Struktural (T) ... 60

4.2.6. Grup Landform Volkanik (V) ... 68

4.3 Karakteristik Tanah Penciri Klasifikasi yang Sulit Diduga dari Landform ... 74

4.4 Keragaman Karkteristik Tanah Pada Suatu Unit Landform Berdasarkan Data Lapang dan Laboratorium ... 79

4.4.1. Landform Dataran Aluvial (A.1.3) ... 80

4.4.2. Landform Dataran Fluvio-Marin (B.3) ... 80

4.4.3. Landform Perbukitan Karst (K.3) ... 81

4.4.4. Landform Dataran Pasang Surut Lumpur (M.2.2) ... 81

4.4.5. Landform Perbukitan Tektonik (T.12.1) ... 82

4.4.6. Landform Pegunungan Volkanik Tua (V.3.3) ... 82

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

5.1. Kesimpulan ... 83

5.2. Saran ... 83

(11)

Teks

1. Parameter Bahan Induk ... 26

2. Parameter Iklim ... 26

3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman ... 27

4. Data Landform LREEP II yang Dianalisis ... 29

5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai Pada Grup Landform LREPP II ... 30

6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II ... 31

7. Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ... 33

8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim Pada Landform A.1.3 ... 36

9. Klasifikasi pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat ... 38

10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur ... 39

11. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Gresik - Jatim ... 42

12. Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ... 46

13. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform B.3 ... 47

14. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar ... 49

15. Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ... 52

16. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform K.3 ... 54

17. Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya... 55

18. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform M.22 ... 56

19. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang – Jabar ... 58

20. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao – NTT ... 60

(12)

22. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform T.1.2.1 ... 64 23. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1

Karawang Bagian Selatan ... 66 24. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.1.2.1

Oesao – NTT ... 67 25. Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ... 69 26. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan

Iklim Pada Landform V.33 ... 71 27. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di V.3.3

Pacitan – Jatim ... 73 28. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 ... 75 29. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 ... 77 30. Karakteristik Tanah yang Sulit Diduga Landform Berdasarkan

Klasifikasi ... 78 31. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal

Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform ... 80

Lampiran

1. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform A.1.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform... 88 2. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal

Karakteristik Tanah pada Landform B.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform... 88 3. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal

Karakteristik Tanah pada Landform K.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform... 88 4. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal

Karakteristik Tanah pada Landform M.22 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform... 88 5. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal

Karakteristik Tanah pada Landform T.121 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform... 89 6. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal

(13)

Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien

Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform ... 90

8. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 ... 93

9. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform K.3 ... 93

10. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform B.3 ... 94

11. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform M.2.2 ... 94

12. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform V.3.3 ... 94

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Diagram alir proses pemetaan tanah LREPP II ... 22

2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian ... 24

3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat ... 37

4. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar ... 37

5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar ... 39

6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur... 40

7. Sebaran Pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur ... 41

8. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat Karawang- Jabar ... 43

9. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang - Jabar ... 43

10. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim ... 44

11. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar... 48

12. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar (Perbesaran pada Gambar 11) ... 48

13. Sketsa sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang ... 50

14. Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang – Jabar ... 57

15. Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang - Jabar ... 57

16. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT ... 59

17. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT ... 59

18. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Karawang – Jabar ... 65

19. Sebaran pedon tanah pada landform Karawang – Jabar ... 65

20. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Oesao - NTT ... 66

(15)

1.1. Latar Belakang

Pemenuhan kebutuhan akan peta sumberdaya alam pada saat ini masih belum memadai, termasuk peta tanah (soil map) di dalamnya. Survei dan peta tanah merupakan sarana penting dalam mempersiapkan rencana pemanfaatan lahan dan pengembangan pertanian, antara lain; perencanaan-perencanaan pengembangan komoditas pertanian, irigasi, transmigrasi, rekomendasi pemupukan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), serta monitoring kualitas lahan, degradasi lahan, dan pencemaran lingkungan (Hikmatullah dan Hidayat, 2007). Peta tanah juga bermanfaat untuk perencanaan di bidang non-pertanian.

Survei dan pemetaan tanah di Indonesia dimulai sejak diperkenalkan sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo. Sampai saat ini, survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas. Hasil inventarisasi sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 menunjukkan bahwa wilayah yang sesuai untuk pertanian dan perlu dilakukan pemetaan tanah lebih detil (> semi detil) ialah seluas 100,7 juta ha (Badan Litbang Pertanian, 2005), termasuk di dalamnya yang sudah terpetakan pada tingkat semi detil seluas 36.7 juta ha, (Hikmatullah dan Hidayat, 2007).

Tantangan serta permasalahan pemetaan tanah di Indonesia saat ini adalah bagaimana supaya wilayah yang belum terpetakan pada skala semi detil tersebut dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah. Guna mengatasi tantangan pemetaan tanah di Indonesia, kajian-kajian teknik pemetaan tanah perlu terus dikembangkan. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik Unit). Metode ini merupakan substitusi seluruh atau sebagian terhadap metode pemetaan tanah Grid System yang memerlukan waktu lama dan intensif tenaga sehingga menjadi mahal.

(16)

didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah.

Survei pemetaan tanah dengan pendekatan landform telah dilakukan pada survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1:250.000 LREPP I (Buurman, 1987) dan LREPP II dengan Skala 1:50.000. Dari hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform masih terdapat variasi karakteristik tanah yang berimplikasi pada klasifikasi tanah yang berbeda. Sehingga menyulitkan dalam menyajikan satuan peta dengan heterogenitas yang rendah padahal seharusnya dalam satu satuan peta mencerminkan satu tingkat manajemen yang sama. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala 1:50.000 LREPP II.

Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut terutama mengenai tingkat dan intensitas keragamannya yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penentuan pendekatan / metode survei selanjutnya. Database hasil survei terdahulu cukup banyak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar kajian ini.

1.2. Tujuan

1. Melakukan analisis keterkaitan hubungan karakteristik dan satuan klasifikasi tanah dengan unit landform.

2. Mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000.

3. Mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga landform berdasarkan klasifikasi.

1.3. Hipotesis

(17)

homogen.

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep dan Definisi Tanah

Pada tahun 1898 Dokuchaev mengusulkan proses pembentukan tanah dengan faktor pembentuknya. Prosesnya yaitu:

s = f (cl, o, p) t0

Di mana s = tanah, cl = iklim, o = organisme, dan t0 yang merepresentasikan waktu relatif. Meskipun relief atau topografi tidak termasuk sebagai salah satu faktor pembentuk tanah pada persamaan tersebut, Dokuchaev mengakui bahwa relief sebagai salah satu faktor yang penting. Para ahli selanjutnya memodifikasi proses tersebut dan menambahkan relief sebagai faktor pembentuk tanah. Sehingga prosesnya menjadi :

s = f (cl, o,r, p, t)

Di mana s adalah tanah, cl adalah iklim lingkungan, o adalah organisme, r adalah relief, p adalah bahan induk, dan t adalah waktu terbentuknya tanah.

Dengan demikian, proses pembentukan tanah terjadi akibat beberapa faktor yang saling beinteraksi sehingga dapat membentuk tanah. Faktor-faktor tersebut adalah iklim, organisme, topografi (relief), bahan induk, dan waktu. Kelima faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembentuk tanah. Sebenarnya banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi dalam proses pembentukan tanah, akan tetapi kelima faktor inilah yang dianggap paling berperan penting dalam proses pembentukan tanah (Gerrard, 1980).

(19)

berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi bahan organik yang sesuai bagi perkembangan akar tanaman. Di bagian atas dibatasi oleh oleh udara atau air yang dangkal, ke samping dapat dibatasi oleh air yang dalam atau bahkan hamparan es atau batuan, sedangkan bagian bawah dibatasi oleh suatu materi yang tidak dapat disebut sebagai tanah, yang sulit didefinisikan, ukuran terkecilnya 1 – 10 m2 tergantung pada keragaman horisonnya.

2.2. Proses Pembentukan Tanah

Buol et al. (1980) menjelaskan bahwa setiap faktor mempunyai peran masing-masing dalam proses pembentukan tanah. Iklim merupakan faktor yang sangat penting dari proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Selain itu, iklim berperan dalam proses erosi dan pengendapan tanah yang mengakibatkan terjadi pergerakan materi tanah termasuk bahan organik dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi antara iklim (curah hujan) dengan faktor kemiringan lereng (relief).

Organisme merupakan faktor pembentuk tanah yang tergolong aktif. Proses pelapukan mineral dan pencampuran merupakan salah satu tugas dari organisme makro dan mikro. Organisme ini mempengaruhi pembentukan humus, pembentukan profil tanah, dan sifat fisika-kimia tanah. Di samping itu organisme hidup memperlancar peredaran unsur hara dan membina struktur tanah yang baik. Di antara berbagai organisme, vegetasi (makroflora) merupakan yang paling berperan dalam mempengaruhi proses genesis dan pekembangan profil tanah, karena merupakan sumber utama biomass atau bahan organik tanah (Hanafiah, 2007).

(20)

tanah-tanah yang terbentuk secara ektodinamomorf. Sifat dari bahan induk dengan nyata dapat mempengaruhi ciri-ciri dari tanah, muda maupun dewasa, namun dalam perkembangannya terjadi proses pelapukan lebih lanjut bahkan mengalami pencucian atau erosi, maka pengaruh ini makin tidak jelas bahkan hilang sama sekali (Hanafiah, 2007).

Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi proses pembentukan tanah dengan cara mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, mempengaruhi dalamnya air tanah, mempengaruhi besarnya erosi, dan mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut di dalamnya (Hardjowigeno, 2003).

Waktu, berapa lamanya suatu bahan mengalami hancuran memegang peranan penting dalam pembentukan tanah. Peranan waktu dalam perkembangan tanah sangat tergantung pada faktor pembentuk tanah lainnya. Semakin lambat faktor pembentuk tanah bekerja, semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk tanah tersebut mengalami perkembangan (weathering), begitu juga sebaliknya (Soepardi, 1983).

2.3. Klasifikasi tanah

Klasifikasi merupakan alat penata atau pengorganisasian pengetahuan suatu objek yang diklasifikasikan, sehingga manusia mudah untuk mengingatnya. Melalui klasifikasi tanah, manusia akan lebih mudah untuk memahami sifat-sifat tanah baik secara umum maupun khusus. Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tubuh-tubuh tanah yang sama berdasarkan sifat-sifat penciri tertentu (Rachim & Suwardi, 2002).

Buol et al. (1980) mengemukakan lima tujuan klasifikasi tanah, yaitu : 1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah.

2. Memudahkan dalam mengingat sifat-sifat dan perilaku tanah. 3. Mengetahui hubungan antar individu tanah.

4. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang baru.

(21)

2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia

Terdapat 3 sistem klasifikasi tanah yang pernah dan atau masih digunakan di Indonesia saat ini. Sistem klasifikasi itu adalah sistem klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1983), sistem klasifikasi tanah menurut FAO/UNESCO (1974), dan sistem Taksonomi Tanah yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA).

Sistem klasifikasi tanah PPT (1983) merupakan penyempurnaan dari sistem Dudal dan Soepraptohardjo (1957, 1961). Perbaikan didasarkan atas pengalaman para Staf Pusat Penelitian Tanah dan dari hasil evaluasi pemetaan yang telah dilakukan. Sistem klasifikasi PPT ini menggunakan enam kategori yaitu Golongan, Kumpulan, Jenis, Macam, Rupa, dan Seri. Kelebihan dari sistem ini yaitu: dasar klasifikasinya menggunakan bahan induk sehingga memudahkan dalam klasifikasi, dan sudah banyak dikenal oleh para ahli di Indonesia sehingga memudahkan dalam berkomunikasi. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil dari berbagai kriteria sistem klasifikasi, dan dari 6 kategori yang telah disusun, hanya 2 kategori yang berkembang yaitu Jenis dan Macam.

Sistem klasifikasi FAO/UNESCO (1974) merupakan sistem klasifikasi yang dibuat berdasarkan rekomendasi International Society of Soil Science. Dalam sistem ini hanya dikenal nama tanah yang setara dengan greatgroup dan subgroup dalam sistem Taksonomi Tanah. Kelebihan dari sistem klasifikasi ini

yaitu: sistematikanya sederhana, hanya terdiri dari 2 kategori sehingga mudah untuk diingat, dan dilengkapi dengan peta tanah dunia sehingga dapat mengetahui penyebaran setiap nama tanah di dunia. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil nama tanah dari berbagai negara sehingga kriterianya tidak begitu baik, dan didominasi nama-nama yang berasal dari negara pembuat sistem ini.

(22)

pada setiap kategori. Taksonomi tanah terus dikembangkan sehingga selalu mengalami perubahan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Adapun kelebihan dari sistem Taksonomi Tanah ini ialah: Pertama, sistematikanya sangat baik, berjenjang seperti piramida dan setiap kategori berkembang proporsional. Kedua, nama pada setiap kategori memiliki arti khusus sehingga dari namanya dapat diketahui sifat-sifat tanahnya. Ketiga, sistem ini telah digunakan di seluruh dunia minimal untuk komunikasi ilmiah. Sedangkan kelemahannya, pertama, sistem ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga agak sulit untuk komunikasi selain ahli tanah. Kedua, untuk dapat mengklasifikasikan dengan sistem ini memerlukan data yang cukup detil dan akurat. Ketiga, pengembangan sistem ini sebagian besar berdasar tanah-tanah di Amerika sehingga tidak seluruh nama tanah yang ada di dalam sistem ini terdapat di Indonesia (Suwardi & Hidayat, 2000).

Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem Taksonomi Tanah dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah sejak Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989 (Hardjowigeno, 1993). Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibandingkan dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Suwardi & Hidayat, 2000).

Kategori Sistem Taksonomi Tanah adalah sekumpulan kelas yang ditentukan kira-kira pada tingkat keumuman (generalisasi) atau abstraksi yang sama dan mencakup semua tanah. Dalam taksonomi tanah ada enam kategori, menurut urutan penggolongan dan peningkatan jumlah pembeda dan kelas-kelas, kategori tersebut adalah order, suborder, greatgroup, subgroup, family, dan serie.

Kategori order adalah tingkat pengelompokan tanah tertinggi. Order dibedakan oleh kehadiran dan ketidakhadiran horison penciri atau sifat yang menjadi pembeda tanah dalam derajat dan jenis sekumpulan proses pembentukan tanah yang dominan yang telah berjalan.

(23)

suborder. Pembeda dalam kategori ini menempatkan tanah bersama-sama yang memiliki sifat-sifat umum berikut :

1. Kesamaan yang erat dalam jenis, pengaturan, dan derajat ekspresi horison. 2. Kesamaan yang erat dalam regim kelembaban dan temperatur.

3. Kesamaan status basa.

Kategori subgroup adalah kategori satu tingkat di bawah greatgroup. Kategori ini mempunyai tujuan dalam mengelompokan tanah sebagai tanda pada sekumpulan proses yang dominan atau penting pada kategori greatgroup, suborder, atau order.

Kategori Family adalah kategori yang tujuannya dalam mengelompokan tanah dalam subgroup yang memiliki sifat fisik dan kimia yang sama, yang mempengaruhi tanggapan terhadap pengolahan atau manipulasi dalam penggunaannya. Family ditentukan terutama untuk mengelompokan tanah dengan tekanan :

1. Distribusi ukuran butir dalam horison-horison aktivitas biologi utama di bawah kedalaman lapisan olah.

2. Mineralogi horison-horison yang sama diperhatikan dalam penamaan kelas-kelas ukuran butir.

3. Regim temperatur.

4. Ketebalan tanah yang dapat dipenetrasi akar.

5. Beberapa sifat lain yang digunakan dalam penentuan beberapa family untuk menghasilkan homogenitas yang diperlukan.

Kategori serie adalah kategori terendah dalam taksonomi tanah. Ada dua jenis pembeda yang ditetapkan untuk serie, yaitu:

1. Pembeda antara family dan antara kelas-kelas dari semua kategori yang lebih tinggi adalah sebagai pembeda antar serie. Suatu serie tidak dapat melewati selang batas dua family atau dua kelas dari kategori lebih tinggi. 2. Pembeda antar serie di dalam family yang sama adalah ditekankan pada

(24)

2.4. Karakteristik Tanah untuk Klasifikasi

Sejumlah sifat tanah merupakan kunci dalam pengklasifikasian tanah. Sifat-sifat tanah tersebut dapat dikelompokan ke dalam sifat morfologi yang dapat diamati di lapangan dan sifat-sifat kimia yang dapat diketahui melalui analisis laboratorium. Sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan diantaranya horison tanah, warna tanah, tekstur lapang, dan kedalaman efektif tanah. Sedangkan sifat-sifat kimia tanah yang diketahui melalui analisis laboratorium diantaranya adalah tekstur tanah, pH tanah, dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah.

Horison tanah adalah lapisan tanah yang hampir sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk karena proses pembentukan tanah (Suwardi & Hidayat, 2000). Ada 6 horison utama yang menyusun profil tanah berturut-turut dari atas ke bawah yaitu horison O, A, E, B, C, dan R. Sedang horison yang menyusun solum tanah adalah hanya horison A, E, dan B.

Horison O merupakan horison organik yang terbentuk di atas lapisan tanah mineral. Di daerah rawa-rawa horison O merupakan horison utama pada tanah gambut (Histosol). Horison A merupakan horison di permukaan tanah yang terdiri dari campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap daripada horison di bawahnya. Horison E merupakan horison di mana terjadi pencucian (eluviasi) maksimum terhadap liat, Fe, Al, bahan organik, serta berwarna pucat. Horison B dalah horison utama, yang terdiri dari bahan-bahan telah diubah secara kimia dan fisik, telah kehilangan hampir seluruhnya atau semua struktur batuan asal, dan telah terbentuk di bawah horison A, E, dan O. Horison C merupakan bahan induk, sedikit terlapuk, sehingga lunak dan dapat ditembus oleh akar tanaman. Horison R merupakan batuan keras yang belum dilapuk, horison ini tidak dapat ditembus oleh akar tanaman.

(25)

Tekstur tanah, biasanya juga disebut besar butir tanah merupakan karakteristik tanah yang berhubungan erat dengan pergerakan air, zat terlarut, dan luas permukaan spesifik (specifik surface) yang mempengaruhi potensi tanah (Hilel, 1982). Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat, yaitu partikel tanah yang berdiameter efektif < 2 mm. Berbagai lembaga penelitian atau institut mempunyai kriteria sendiri untuk membagi fraksi partikel tanah. Dalam bidang pertanian umumnya menggunakan klasifikasi menurut United State Departement of Agriculture (USDA). Berdasarkan perbandingan ke-3 fraksi tanah, terkstur tanah di bagi menjadi 12 (dua belas) tekstur tanah (Soil Survei Manual, 1993), yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat berpasir, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Direktorat Konservasi Tanah Dephut (1984) untuk keperluan evaluasi potensi atau kemampuan lahan telah melakukan penyederhanan kelas tekstur tanah menjadi 3 (tiga), yaitu: kasar, sedang, dan halus.

Kemasaman tanah atau pH tanah merupakan jumlah log [H+] dalam larutan tanah. pH tanah dapat memperkirakan keadaan hara tanah, jumlah basa-basa, tingkat pelapukan tanah, derajat pencucian tanah. pH tanah menurut Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Pusat Penelitian Tanah (1983) dikelompokan menjadi 5 (lima) klas, yaitu: sangat masam (pH <4,5), masam (pH 4,5-5,6), agak masam (pH 5,6-6,5), netral (pH 6,6-7,5), dan alkalis (pH >7,5).

(26)

rendah (<16 me/100 g tanah), sedang (16-24 me/100 g tanah), tinggi (>24 me/100 g tanah) (Pusat Penelitian Tanah, 1983).

2.5. Kaidah Pemetaan Tanah

2.5.1. Pengertian Peta Tanah

Data tanah dapat disajikan secara spasial dengan berbagai teknik tergantung tujuan (intensitas pengamatan) dan teknik pelaksanaannya yang kesemuanya dapat dipandang sebagai peta tanah.

Berdasarkan cara penyajiannya, peta tanah dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Peta tanah bersimbolkan titik (Point soil maps), yaitu peta yang menunjukkan lokasi titik-titik pengamatan yang sesungguhnya dilakukan, disertai nama taksa (kelas) tanah atau satu atau lebih sifat-sifat tanah. 2. Peta tanah poligon kelas-areal. Daerah survei dibagi atau beberapa poligon

dengan menggunakan garis batas secara tegas. Masing-masing poligon diberi simbol dengan nama kelas dan tiap-tiap kelas dijelaskan dalam legenda.

3. Peta lapangan kontinyu yang dibuat dengan metode interpolasi. Peta ini umumnya disajikan dengan isoline atau pada grid halus. Peta ini memperlihatkan kontinuitas sebaran sifat sifat tanah yang diduga dengan jalan interpolasi.

4. Peta lapangan kontinyu yang dibuat melalui pengamatan langsung di seluruh daerah survei. Peta ini umunya disajikan dengan peta grid. Peta ini memperlihatkan sebaran sifat tanah kontinyu yang diukur.

(27)

Dalam setiap peta tanah umumnya selalu berisikan lebih dari satu satuan peta tanah. Pada setiap satuan peta tanah, dapat terdiri atas satu satuan (taksa) tanah tertentu atau dapat pula terdiri atas dua atau lebih taksa tanah, baik itu berupa asosiasi maupun kompleks tanah yang didefinisikan dalam istilah taksonomi tanah atau sistem klasifikasi tanah lainnya.

2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan

Berdasarkan teknik pelaksanaannya, terdapat dua pendekatan yang ditempuh oleh pemeta, yaitu:

1. Pendekatan sintetik (synthetic approach), mengamati, mendeskripsi dan mengklasifikasikan profil tanah (pedon) pada beberapa lokasi di daerah survei kemudian membuat (mendelineasi) batas di sekitar daerah yang mempunyai profil tanah serupa, sesuai dengan klasifikasi yang digunakan. 2. Pendekatan analitik (analytical approach), membagi ‘kontinum’ atas

persil-persil atau satuan-satuan berdasarkan dalam pengamatan perubahan dalam sifat-sifat tanah eksternal (sifat bentang lahan), melalui interpretasi foto udara, yang diteruskan dengan melakukan pengamatan dan pengklasifikasian tanah untuk masing-masing satuan yang dibuat tersebut. Berdasarkan tingkatannya, survei tanah dibedakan atas enam macam, yaitu peta tanah bagan, eksplorasi, tinjau, semi-detil, detil dan sangat detil. Masing-masing peta tersebut memiliki skala peta yang berbeda-beda.

Peta tanah bagan, peta ini dibuat sebagai hasil kompilasi dan generalisasi peta-peta tanah eksplorasi atau peta tanah tinjau. Peta ini hanya digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang sebaran tanah secara nasional. Dalam pembuatannya tidak dilakukan pengamatan lapangan. Skala peta sama atau lebih kecil dari 1:2.500.000.

(28)

bentang alam yang berbeda. Survei ini juga dapat dilakukan dengan bantuan interpretasi foto udara atau citra satelit, dengan intensitas pengamatan yang sangat rendah. Skala bervariasi dari 1:500.000 hingga 1:1.000.000.

Peta tanah tinjau, umumnya peta ini dibuat pada skala 1:250.000. Satuan peta didasarkan atas satuan tanah-bentuk lahan atau sistem lahan yang didelineasi melalui interpretasi foto udara dan atau citra satelit. Pengamatan di lapangan kurang lebih 1 untuk 12,5 km2.

Peta tanah semi-detil, peta ini umumnya dibuat dengan skala 1:50.000, dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 hektar, tergantung dari kerumitan bentang lahan. Biasanya dilakukan dengan sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Peta ini memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih terperinci serta dapat menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan.

Peta tanah detil, peta ini biasanya dibuat dengan skala 1:25.000 dan 1:10.000 serta ditujukan untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu proyek termasuk proyek konservasi tanah sehingga informasi sifat dan ciri tanah diuraikan sedetil mungkin. Jumlah pengamatan untuk tanah adalah sekitar 1 untuk setiap 2 ha sampai 12,5 ha.

Peta tanah sangat detil, peta tanah ini mempunyai skala > 1:10.000. Pengamatannya 2 atau lebih untuk setiap hektarnya. Peta ini ditujukan untuk penelitian khusus, misalnya untuk petak percobaan pertanian guna mempelajari variabilitas respons tanaman terhadap pemupukan atau perlakuan tertentu dan lain-lain (Rayes, 2006).

2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah

(29)

Keuntungan dari metode survei grid ini diantaranya tidak memerlukan penyurvei yang berpengalaman karena lokasi titik-titik pengamatan sudah diplot pada peta rencana pengamatan, sangat baik diterapkan pada daerah yang luas yang memerlukan penyurvei dalam jumlah besar, cukup teliti dalam menentukan batas satuan peta tanah pada daerah survei yang relatif datar, dan dapat mengurangi sejumlah sifat tanah pada suatu variasi yang menggambarkan proporsi yang besar dari data yang tersedia. Kerugian dari metode survei grid ini antara lain memerlukan waktu yang lama, pemanfaatan seluruh titik-titik pengamatan sehingga tidak efektif, sebagian lokasi pengamatan tidak mewakili satuan peta yang dikehendaki.

Metode selanjutnya adalah metode survei fisiografi. Survei ini diawali dengan melakukan interpretasi foto udara (IFU) untuk mendelineasi landform yang terdapat di daerah survei, diikuti dengan pengecekan lapangan terhadap komposisi satuan peta, biasanya hanya di daerah pewakil. Survei ini umumnya diterapkan skala 1:50.000 - 1:200.000. Metode ini hanya dapat diterapkan jika tersedia foto udara yang berkualitas tinggi. Batas satuan peta sebagian besar atau seluruhnya didelineasi dari hasil IFU.

Metode yang terakhir adalah metode grid bebas (fleksibel). Metode ini merupakan perpaduan metode grid kaku dan metode fisiografi. Metode ini diterapkan pada survei detil hingga semi-detil, foto udara berkemampuan terbatas dan di tempat-tempat yang orientasi di lapangan cukup sulit dilakukan. Pengamatan lapangan dilakukan seperti pada grid-kaku, tetapi jarak pengamatan tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi daerah survei. Dengan demikian kerapatan pengamatan disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat kerumitan pola tanah di lapangan (Rayes, 2006).

2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform

(30)

berdasarkan kategori-kategori dari golongan atau kelompok yang besar menjadi kelompok yang kecil (hirarki). Mengingat bahwa landform merupakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkaian proses geomorfik dan evolusi, maka klasifikasi landform didasarkan kepada kedua hal tersebut.

2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform)

Bentuk lahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi, khususnya di daratan, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi et al., 1997). Sedangkan Bloom (1979) mendefinisikan landform adalah setiap elemen dari bentang lahan (lanskap) yang dapat diamati secara keseluruhan, dan mempunyai bentuk yang konsisten atau perubahan bentuk yang teratur.

2.6.2. Faktor dan Proses Landform

Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada di muka bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan di permukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut, dan tsunami).

(31)

Proses hancuran iklim dan erosi yang terjadi pada batuan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap bentuk lahan, yang disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: kondisi iklim, jenis penyusun batuan, dan lamanya proses pembentukan lahan tersebut (Desaunettes, 1975).

2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia

Christian & Steward (1968) menggunakan pendekatan Landsystem. Pendekatan ini dikembangkan di Australia dan di Indonesia pernah digunakan oleh Departemen Transmigrasi pada tahun 1989 dalam proyek RePPProT. Sistem klasifikasi ini menggunakan aspek geomorfologi, iklim dan penutupan lahan.

Desaunnetes (1977), dengan “Catalogue Landform for Indonesia” yang menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Katalog ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I tahun 1985-1990.

Zuidam (1979) & Zuidam and Cancelado (1978) dengan metode “Terrain Analysis” nya, menggunakan dasar geomorfologi disertai keadaan bentuk wilayah, stratigrafi dan keadaan medan.

Buurman dan Balsem (1990) menggunakan pendekatan satuan lahan. Sistem ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I di Pulau Sumatra tahun 1985-1990.

Marsoedi, et.al. (1997) menggunakan pendekatan proses geomorfik. Sistem ini merupakan perbaikan sistem Desaunnetes dan Buurman & Balsem dengan memperhatikan kondisi di Indonesia.

2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I

(32)

Namun masih terdapat grup fisiografi yang masih tidak konsisten dalam penamaannya, yaitu grup perbukitan, grup pegunungan, dan grup dataran, yang menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus untuk Pulau Sumatera, maka muncul grup-grup fisiografi khusus karena kekhasannya, yaitu: Grup dataran Tuff masam dan grup Tuff Toba masam.

2.6.4.1. Landform Utama LREPP I

Grup Kubah Gambut (D), gambut ombrogen yang luas di daerah dataran pantai, membentuk kubah setinggi 10 m atau lebih (di atas level batas permukaan air sungai tertinggi), pada umumnya dipengaruhi oleh air dengan salinitas tinggi. Bagian ini tidak termasuk kedalam bagian gambut topogen dengan level permukaan hampir tidak cembung yang terjadi pada bagian rawa belakang. Grup Aluvial dan daerah tersebut merupakan daerah yang mengalami banjir musiman akibat posisi topografi daerah tersebut. Vegetasi khusus : hutan gambut.

Grup Aluvial (A), landform lain yang terkait dengan aktivitas danau muda/recent, meandering dan sungai braiding, dan proses pengendapan akibat kemiringan lereng (koluvium), tidak termasuk bagian-bagian di mana marin berpengaruh dominan (tidak salin). Landform ini sebagian besar terdiri dari dataran aluvial yang luas pada daerah pantai, lembah sungai pada daerah dataran tinggi, endapan koluvial pada kipas aluvium dan foot slopes, endapan lakustrin, dan teras sungai.

Grup Marin (B), landform recent dan subrecent lainnya yang terkait dengan proses marin dan perimarin; lingkungan payau dan salin: punggung pesisir, cekungan pesisir, rawa air asin, dataran lumpur, mangrove, endapan delta, endapan estuarin, bukit pasir, terumbu karang. Grup ini bukan termasuk landform yang berumur lebih tua, daerah dataran angkatan atau teras marin (pencucian garam).

(33)

Grup Dataran Tuff Masam (I), dataran luas yang terdiri atas akumulasi tuff volkan masam dengan karakteristiknya, landform, dan tanah. Tuf masam utama yang tergolong pada grup ini adalah formasi Palembang (QTpv, Tpp, Tmp) pembentuk tuff Lampung (Qhv), tuff Ranau (Qrv), dan lain-lain. Tuff masam ini juga dikenal dengan istilah “ Ignimbrites”, bagian dari tuff yang telah mengendap di dalam lingkungan cekungan marin. Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini.

Grup Dataran (P), dataran lain yang tidak terbentuk dari bahan volkan masam. Daerah-daerah yang mempunyai keseragaman lereng dengan kemiringan kurang dari 16% dan amplitudo kurang dari 50 m, serta cakupannya sangat luas. Bentang lahan tua; yang telah tererosi dan terpotong. Volkan muda, marin, dataran aluvial, dan dataran karst tidak termasuk ke dalam grup landform ini.

Grup Tuff Toba Masam (Q), tuff masam yang berasal dari erupsi Toba (Toba Rhyolite), mencakup ketinggian 0 – 2000 m. Pada umumnya panjang, mempunyai derajat kemiringan lereng yang homogen, terdapat pada lembah-lembah sungai, plateau. Akumulasi endapan tuff masam, kadang terlihat.

Grup Volkanik (V), landform lain yang berumur recent dan subrecent, secara umum intermedier sampai mafik, aktivitas volkan. Stratovolkan dan hasil erosi stratovolkan, aliran lava, plateau lava, lahar. Blok patahan volkan tidak termasuk di dalamnya, dan subgrup ini tidak mencakup Rhyolit Toba.

(34)

Grup Perbukitan (H), landform yang terbentuk oleh proses erosi dan orogenesa, terdiri dari bukit kecil dan perbukitan dengan amplitudo relief 10 – 50 m atau 50 – 300 m, dengan bahan induk yang bervariasi. Termasuk di dalamnya yang diakibatkan oleh proses struktural.

Grup Pegunungan dan Plateau (M), gunung : area yang sangat luas dengan amplitudo relief lebih dari 300 m. Rangkaian pegunungan, blok pegunungan. Daerah ketinggian yang relatif datar, sedikit atau banyak tertoreh, dibatasi oleh tebing yang terjal menuju daerah yang lebih rendah. Landform pegunungan akibat proses volkanik baru dan Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini.

Grup Aneka, landform lain yang tidak termasuk ke dalam salah satu grup landform, dan bukan lahan pertanian atau pengaruh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam landform ini adalah lembah curam, kota, danau, tempat pembuangan sampah akhir, dan lain-lain (Buurman dan Balsem, 1990).

2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II

Second Land Resource Evaluation and Planning Project (LREPP II) adalah proyek kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat semi detil dengan skala 1:50.000 pada tahun 1992-1997 pada beberapa wilayah di Indonesia. Kegiatan LREPP II ini merupakan lanjutan kegiatan LREPP I yang telah melaksanakan kegiatan survei sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 di Pulau Sumatera. Sistem pambagian landform yang diterapkan oleh LREPP II ini merupakan hasil perbaikan dari sistem landform LREPP I yang dinilai masih kurang konsisten antara proses geomorfik dan relief.

(35)

Grup Aluvial (A), landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial.

Grup Marin (M), landform yang terbentuk dari proses marin, baik yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruksi (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah pasang-surut tergolong dalam landform marin.

Grup Fluvio-Marin (B), landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut.

Grup Gambut (G), landform yang terbentuk di daerah rawa (baik rawa pedalaman maupun maupun di daerah dataran pantai) dengan akumulasi bahan organik yang cukup tebal. Landform ini dapat berupa kubah (dome) maupun bukan kubah.

Grup Eolin (E), landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir, debu) yang terbawa angin.

Grup Karst (K), landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst.

Grup Volkanik (V), landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bantukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik.

(36)

Grup Aneka (X), bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan di atas, misalnya : lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu, dan lain-lain (Marsoedi et al., 1997).

2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II

Tujuan utama dari kegiatan proyek LREPP II ini adalah pengembangan kemampuan institusional dalam hal pengumpulan, penelitian, evaluasi, penyajian, dan pengelolaan data sumberdaya lahan serta penggunaannya dalam proses perencanaan fisik (Marsoedi et al., 1997).

Secara garis besar kerangka acuan pelaksanaan proyek LREPP II adalah sebagai berikut :

(37)

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2010 hingga Januari 2011.

3.2. Metode Penelitian

Secara garis besar penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu: tahap kompilasi dan tahap analisis data, dengan rincian masing-masing disajikan pada Gambar 2.

3.2.1. Tahap Kompilasi Data

Kompilasi data dilakukan dari data base Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Data yang dikompilasi berasal dari hasil survei dan pemetaan Second Land Resource Evaluaton And Planning Project (LREPP II) yang terdiri dari 4

jenis data, yaitu data site dan horizon (SH), data soil sample analysis (SSA), plotting pengamatan lapang, peta tanah dan legenda (MU). Data LREPP II yang

digunakan meliputi 8 lokasi, yaitu: daerah Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur).

(38)

Gambar 2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian

Seleksi data dilakukan untuk memilih daerah lokasi survei LREPP II yang memiliki data lengkap, yaitu data pedon yang mempunyai data SH, SSA, dan plotting pengamatan lapang. Sedangkan data yang tidak lengkap dipisahkan dari data yang akan dianalisis.

Database Tanah LREPP II

Database Daerah Terpilih

Landform

Karakteristik Klasifikasi

Seleksi

Analisa - Uji Tabular - Analisis Statistik

Hasil Interpretasi Data - Konsistensi Landform Terhadap Jenis Tanah

- Gambaran Keragaman Karakteristik & Klasifikasi Tanah - Pendugaan Karakteristik Tanah Penciri yang Sulit Diduga

Oleh Landform

(39)

dapat diakibatkan oleh manusia ataupun akibat kesalahan pada tahap proses data. Proses ini dilakukan terhadap data SH. Setelah melakukan over lay data plotting pengamatan dengan data MU maka perlu koreksi terhadap landform dan bahan induk tanah. Hal ini perlu dilakukan supaya data tersebut valid atau layak digunakan sebagai bahan penelitian.

Setelah melalui tahap seleksi dan koreksi, tahap selanjutnya adalah tahap crosschek data. Tahap ini bertujuan agar data tabular (SH & SSA) memiliki hubungan data yang sinkron dengan data spasial (plotting pengamatan lapang) sehingga kedua jenis data tersebut sudah benar-benar berada dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait, pedon terpilih untuk tahap ini merupakan pedon yang sudah siap untuk dianalisis pada tahap selanjutnya. Jumlah pedon terpilih adalah sebanyak 475 pedon.

3.2.2. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) cara, yaitu: uji tabular dan analisis statistik.

3.2.2.1. Uji Tabular

Uji tabular dilakukan dengan mensortir pedon berdasarkan satuan landform sehingga dapat diketahui sebaran jenis tanah (Subgroup) pada suatu landform beserta faktor-faktor pembedanya. Satuan unit landform adalah satuan

terendah dalam klasifikasi landform LREPP II yang tidak dapat dipisahkan lagi. Faktor pembeda yang digunakan adalah bahan induk dan iklim. Uji tabular bertujuan untuk mencari hubungan klasifikasi tanah (Subgroup) dengan landform, dan analisisnya secara deskriptif.

(40)

Tabel 1. Parameter Bahan Induk

11 fkT Tersier batu liat berkapur 12 fqK Kuarter endapan liat dan pasir 13 fqT Tersier batu liat dan batu pasir

19 qkT Tersier batu pasir berkapur

20 qT Tersier batupasir

21 tT Tersier skis

22 yT Tersier batu sabak

Parameter yang kedua adalah iklim, parameter iklim digunakan untuk membedakan dan mengetahui sejauh mana proses perkembangan tanah kaitannya terhadap iklim setempat. Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai-nilai unsur cuaca dalam jangka panjang di suatu tempat atau pada suatu wilayah. Parameter iklim yang digunakan adalah curah hujan pertahun. Data iklim (curah hujan) tersebut digolongkan kedalam 3 tipe iklim (Tabel 2). Dasar dari pembeda iklim tersebut adalah perubahan sifat-sifat tanah terkait dengan dengan kelembaban tanah (regim kelembaban tanah).

(41)

Adapun ͞x merupakan nilai rata-rata dari suatu karakteristik tanah penciri, sedangkan s adalah simpangan baku yang dapat diperoleh dengan rumus :

S = √ ( xi2 – (xi2) )

n n - 1 Di mana,

x : nilai setiap contoh tanah dari suatu karakteristik tanah penciri n : jumlah contoh/populasi setiap karakteristik tanah penciri i : contoh ke-i (Steel dan Torris, 1982 dalam Baskoro, 1986)

Di bawah ini tabel kriteria pengklasifikasian keragaman tanah berdasarkan nilai koefisien keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986).

Tabel 3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986)

Kelas Keragaman Koefisian Keragaman (%)

Sangat rendah < 15

Rendah 16 – 33

Sedang 33 – 66

Tinggi > 66

(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah

Data yang digunakan berasal dari 475 pedon yang tersebar di 8 lokasi, yaitu: Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur). Data pedon tersebut tersebar ke dalam 6 landform utama menurut LREPP II, yaitu Aluvial (A), Fluvio-marin (B), Karst (K), Marin (M), Tektonik (T), dan Volkan (V). Jumlah landform yang dijumpai dari 6 landform utama tersebut sebanyak 64 landform (Tabel 4).

Landform merupakan suatu bentuk lahan yang disebabkan oleh proses geomorfik tertentu. Oleh karena itu, setiap landform diharapkan memiliki suatu hubungan keterkaitan dengan klasifikasi tanah yang terdapat di dalamnya. Keterkaitan ini dapat ditinjau dengan melihat klasifikasi tanah pada masing-masing kategori order yang dijumpai pada suatu delineasi landform utama menurut LREPP II (Tabel 5).

Tabel 5, menunjukkan bahwa tanah yang terdapat dalam Landform utama yang memiliki klasifikasi tanah paling beragam pada kategori order adalah adalah landform tektonik & struktural, landform ini mempunyai jumlah kelas tanah yang paling banyak. Dari semua kelas tanah yang dijumpai, hanya satu order tanah saja tanah saja yang tidak dijumpai dalam landform ini yaitu order Andisol. Landform tektonik & struktural merupakan landform dengan bahan induk yang sangat beragam sehingga berimplikasi terhadap keberagaman klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform tersebut.

Landform aluvial mempunyai tanah yang lebih beragam dibandingkan

dengan landform lainnya yang dipengaruhi oleh air (fluvio-marin & marin). Hal ini menunjukkan pada landform yang dipengaruhi oleh air, bahan endapan yang diendapkan pada landform aluvial lebih beragam dibandingkan pada landform fluvio-marin dan marin.

(43)

1 Aluvial (A) A.1.1.1 4

*Warna berbeda menunjukan perbedaan pada tingkat grup landform

(44)

Tabel 5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai pada Grup Landform LREPP II

Klasifikasi Tanah

Landform

Aluvial (A) Fluvio-Marin (B) Marin (M) Karst (K) Tektonik & Struktural (T) Volkanik (V)

Entisol √ √ √ √ √ dijumpai pada landform utama tektonik & struktural dan landform volkanik.

Secara umum order tanah yang paling banyak dijumpai pada setiap landform utama adalah Inceptisol, diikuti oleh Entisol dan Vertisol. Banyaknya Vertisol yang dijumpai pada penelitian ini adalah karena data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari database LREPP II yang merupakan proyek pemetaan pengembangan sumberdaya lahan di daerah Indonesia timur yang memiliki perbedaan iklim basah dan iklim kering yang tegas. Sementara itu, order lain yang paling sedikit dijumpai adalah order Andisol yang hanya dijumpai pada landform volkanik dan order Spodosol yang hanya dijumpai pada landform tektonik & struktural.

4.2. Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan

Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform

Landform yang dibahas pada subbab ini, adalah landform yang memiliki jumlah data pedon paling banyak pada masing-masing landform utamanya (Tabel 4). Selain itu juga data spasial pedon tersebut diambil dari peta plotting titik pengamatan tanah LREPP II Skala 1: 50.000 (Tabel 6).

(45)

Tabel 6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II

Lokasi Luas (ha) Nama Lembar Peta Nomor Peta

Besikama 58.650 Sukabisikun 2406-51&23 Besikama 2406-13&14

Pacitan 74.420 Tegal Ombo 1507-44

Pacitan 1507-43

Pangkalan Bun 73.703 Pangkalan Banteng 1513-52

Mulyajadi 1513-24

Pangkalan Bun 1513-23

terlihat tidak sesuai dengan kerapatan yang seharusnya ditampilkan pada skala tertentu. Tampilan spasial titik pengamatan sebenarnya menampilkan seluruh titik pengamatan baik itu pengamatan pedon maupun pengamatan boring tanah. Oleh karena itu, posisi titik pengamatan tanah (klasifikasi) pada tampilan spasial subbab ini apabila dikaitkan dengan prinsip Satuan Peta Tanah, masih belum dapat disimpulkan secara pasti.

(46)

4.2.1. Grup Landform Aluvial (A)

Bloom (1979) mendefinisikan bahwa aluvial adalah sedimen yang diendapkan melalui aliran air dan mempunyai umur geologi yang relatif muda. Sementara itu definisi landform aluvial menurut Marsoedi et al. (1997) adalah landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial.

Menurut Gerrard (1980), tanah-tanah yang terdapat pada daerah aluvial seringkali tergenang akibat terjadinya banjir berkala. Hal ini menyebabkan terjadinya keberagaman tanah pada daerah aluvial ini. Akibat adanya genangan air yang berkala terjadilah proses gleisasi pada tanah-tanah di daerah aluvial. Tanah-tanah yang terdapat di daerah aluvial, pada umumnya memiliki tingkat perkembangan dari fase tanah belum berkembang hingga fase tanah muda. Pada daerah aluvial, akumulasi bahan organik sangatlah wajar, terutama pada bagian backswamp yang merupakan daerah limpasan banjir sungai yang membawa bahan material endapan.

Terdapat 19 landform yang termasuk dalam landform utama aluvial (Tabel 4). Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada landform utama aluvial ini adalah landform A.1.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak 64 pedon. Atas dasar hal tersebut, landform A.1.3 akan dibahas sebagai contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform aluvial.

Landform A.1.3 merupakan landform dataran aluvial. Dataran aluvial adalah dataran luas yang terbentuk karena pengendapan bahan aluvial oleh air, terdiri lumpur, pasir atau kerikil, umumnya termasuk agak tua (subrecent) dan sungai yang membentuk wilayah ini sudah tidak jelas lagi (Marsoedi et al., 1997).

(47)
(48)

Lanjutan Tabel 7

*Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

(49)

(fqK) yang bertekstur agak kasar. Seluruh landform A.1.3 yang dijumpai pada lokasi-lokasi tersebut memiliki bentuk relief n (nearly flat) dengan slope 1-3 %. Secara umum landform A.1.3 yang dijumpai berada pada daerah ketinggian <700 m dpl (dataran rendah).

Karakteristik tanah yang dijumpai pada landform ini, secara umum memiliki kedalaman solum di atas 85 cm tergolong tebal (dalam). Tanah yang memiliki sifat vertic dan fluventic pada landform ini cenderung memiliki kandungan liat pada horison A lebih besar daripada horison B, sedangkan tanah yang bersifat aquic kandungan liat pada horison A cenderung lebih kecil dibanding pada horison B. Kondisi pH sangat berbeda terjadi pada tanah-tanah yang beriklim basah dengan kering, pH 5-6 dapat dijumpai pada tanah-tanah yang beriklim basah sedangkan tanah dengan pH 7-8 dijumpai di daerah yang beriklim kering.

Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 7 masih sangat beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, keberagaman tanah juga dapat terjadi pada kategori order dalam Landform A.1.3 ini. Hal ini dikarenakan di dalam landform A.1.3 ini unsur-unsur pembentuk landform yang telah diuraikan sebelumnya (iklim & bahan induk) masih beragam.

(50)

Tabel 8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim pada Landform A.1.3

BI+Umur Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup

fK A Entisol Orthent Usthorthent Typic Ustorthents Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts

Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Plinthic Endoaquepts B Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts

Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts

Vertic Endoaquepts Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts

Ustert Haplustert Typic Endoaquerts Chromic Haplusterts Typic Haplusterts fqK B Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts

C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustep Haplustept Fluventic Haplustepts

Typic Haplustepts Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts

Gambar 3 memperlihatkan sebaran landform A.1.3 di daerah Karawang. Pedon pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada bagian barat (kotak merah) dan timur (kotak biru). Kotak merah memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian barat daerah Karawang (Gambar 4), sedangkan kotak biru memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian timur daerah Karawang (Gambar 5).

(51)

Gambar 3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat

(52)

Tabel 9. Klasifikasi Tanah pada Masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat

Pedon Order Subgrup Kode

HP 001 Vertisol Chromic Endoaquerts * HS 112 Inceptisol Plinthic Endoaquepts *** AY 179 Inceptisol Typic Endoaquepts **** SY 121 Inceptisol Vertic Endoaquepts * SY 126 Inceptisol Vertic Endoaquepts * EA 063 Inceptisol Vertic Endoaquepts * EA 062 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HP 002 Inceptisol Vertic Endoaquepts * SY 056 Inceptisol Vertic Endoaquepts **

Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama

Tabel 9 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah Karawang bagian barat didominasi oleh order Inceptisol. Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon yang memiliki order Vertisol (HP 001). Pedon HP 001 yang memiliki order Vertisol letaknya berada pada poligon landform yang sama dengan 5 pedon lain yang memiliki order Inceptisol dengan subgrup Vertic Endoaquepts (SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002).

Hal tersebut menunjukkan bahwa order berbeda bisa berada pada poligon yang sama (HP 001 yang merupakan order Vertisol dengan SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002 yang merupakan order Inceptisol). Sebaliknya pada order yang sama dengan subgroup yang sama bisa berada pada poligon yang berbeda. Dilihat dari posisinya pedon HP 001 dengan order Vertisol terletak satu poligon dengan 5 poligon lain yang memiliki order Inceptisol. Untuk menyimpulkan dalam penarikan batas SPT diperlukan delineasi lebih lanjut dengan data-data boring yang mendukung guna menentukan apakah pedon tersebut merupakan SPT asosiasi ataukah SPT inklusi.

(53)

Gambar 5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar (Kotak Biru)

Tabel 10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur

Pedon Order Subgrup Kode

HS 157 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 206 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 259 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 126 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 187 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 275 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 219 Inceptisol Aquic Eutrudepts *

Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama

(54)

yang telah didelineasi homogen masih dapat dijumpai proses pembentukan tanah dengan intensitas yang tidak homogen.

Selain di daerah Karawang, landform A.1.3 dengan jumlah pedon yang banyak dijumpai di daerah Gresik Jawa Timur. Sebaran pedon yang terlihat menggerombol dijumpai di daerah Gresik bagian barat (Gambar 6). Jumlah pedon yang dijumpai dalam delineasi landform A.1.3 di daerah Gresik bagian barat berjumlah 16 pedon yang didominasi oleh 2 order tanah yaitu order Inceptisol dan order Vertisol (Tabel 11).

Gambar 6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur

Gambar

Gambar 1. Diagram alir proses pemetaan LREPP II
Gambar 2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian
Tabel 1. Parameter Bahan Induk
Tabel 3. Kriteria
+7

Referensi

Dokumen terkait