KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
(Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah
Dan NU Di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah)
Oleh :
MUCHAMMAD ARIEF SIGIT MUTTAQIEN
NIM. 105051001976
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
(Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah
Dan NU Di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh :
MUHAMMAD ARIEF SIGIT MUTTAQIEN
NIM. 105051001976
Pembimbing :
Drs. Jumroni, M.Si
NIP : 19630515 1992031 006
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang memiliki judul “Komunikasi Antar Budaya (Study Pada
pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus,
Semarang, Jawa Tengah” telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 9
Desember 2009.Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana program strata 1 (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2009
PANITIA SIDANG MUNAQOSAH
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Mahmud Jalal, Ma Dra. Halimah SM M. Ag NIP. 19520422 198103 1002 NIP. 19590413 199603 2001
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Drs.Masran, M. Ag Drs. Wahidin Saputra, MA
NIP. 150275384 NIP.197108161997032002
Pembimbing,
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (S1) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat
atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat,16 September 2009
ABSTRAKSI
JUDUL : KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (STUDY PADA POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MUHAMMADIYAH DAN NU DI DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH)
NAMA : MUCHAMMAD ARIEF SIGIT. M
Komunikasi antar budaya pada dasarnya adalah komunikasi biasa. Hanya yang membedakanya adalah latar belakang budaya yang berbeda dari orang-orang yang melakukan proses komunikasi tersebut. Aspek-aspek budaya dalam komunikasi seperti bahasa, isyarat, non verbal, sikap kepercayaan, watak, nilai dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan besar yang sering kali menyebabkan distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam masyarakat yang bagaimanapun berbedanya kebudayaan. Tetaplah akan terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk melakukan komunikasi
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi Islam, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh. Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll
Dari hal di atas timbulah pertanyaan dalam benak penulis tentang bagaimana pola komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan Nu di sana serta apa faktor pendukung dan penghambat dalam mereka berkomunikasi?
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa terucap kepada Allah dari lisan
manusia yang taat kepadaNya. yang masih memberikan kesempatan kepada
penulis untuk beribadah kepadaNya dan untuk ber Sholawat kepada kekasihnya,
serta dengan izinnya pula penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sholawat serta salam senantiasa terucap kepada manusia yang agung, yang
bagus ucapannya, yang luhur bedi pekertinya, yang tidak pernah lelah untuk
mengajak umatnya kepada jalan yang benar serta yang akan menyelamatkan
umatNya di dunia dan di akhirat beliau adalah Sayyiudina Muhammad bin
Abdillah
Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Walaupun cukup banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi,
baik itu berupa sifat malas, lalai dan sombong yang masih melekat kuat di dalam
diri penulis. Sungguh sesuatu yang sangat anugrah terindah yang diberikan Allah
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua ini
terwujud yang telah mendukung serta memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis persembahkan segalanya kepada bapak (Much. Thamrin) yang
dengan ketegaran hidupnya telah menjadi sumber inspirasi dan semangat hidup
bagi penulis dan kepada ibu (Hartini) yang air susunya telah menjadi daging
dalam tubuh ini, yang dengan keringat dan air matanya telah menyatu dalam jiwa
penulis. Kakakku Muchammad Choirul Khamsani dan kak Purwa Ningsih serta
selalu mendoakan penulis serta menghibur penulis dikala kesedihan datang
kepada penulis.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
penulisan skripsi, rasa terima kasih penulis uapkan kepada:
1. Kepada bapak Dr. Arief Subhan MA sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi dan bapak Drs. H. Mahmud Djalal, MA selaku Pudek II dan
bapak Drs Study Rizal LK, MA selaku Pudek III.
2. Kepada Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah
dan Komunikasi bapak Drs. Wahidin Saputra, MA dan juga Bapak Drs.
Jumroni. M.si sebagai pembimbing skripsi yang selalu setia dan sabar
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Kepada para dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
memberikan dedikasinya sebagai pengajar yang memberikan berbagai
pengarahan, pengalaman, serta bimbingan kepada peneliti selama dalam
masa perkuliahan.
4. Kepada bapak/ibu pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas yang telah membantu peneliti dengan penyediaan bahan-bahan
dalam mengerjakan skripsi ini.
5. Keluarga besar penulis di Pringapus kepada Pakde Ud, mas pipit dan mbak
Yuli, serta keluarga Mbah Sukinah, mbak Umi, Om Yon, Intan dan elok,
yang telah membantu mengumpulkan data hingga akhirnya selesainya
6. Sahabat-sahabat yang ada dikampus, Ahmad Fawzi yang senantiasa
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, Pahlevi, Zulvikar dan
Rahmat Hidayat
7. kepada Nurhasanah yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada
penulis serta teman-teman keluarga besar dari Yayasan Al-Istiqomah
Nugraha Sumaryadi Ramadhan S.sos.i, Maulana Sukarya, Wahyu Pratama
Putra, Ahmad Rifa’i, Sendi Prabowo dan Rohiman Sunandar yang selalu
mewarnai hari-hari penulis dengan indahnya persahabatan yang telah kalian
berikan..
8. Keluarga Besar KPI D angkatan 2005, kk Farah, Kikim, Shella, Shofi,
Geary, Novi, Irma Iztarizkizra, Zaini yang sudah membantu penulis serta
telah menjadi keluarga bagi penulis.
Pada akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang
besar-besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah yang
akan membalas semua kebaikan sahabat-sahabatku tercinta. Amin ya Rabbal
Alamin
Ciputat,16 September 2009
Muchammad Arief Sigit Muttaqien
LEMBAR PERNYATAAN... i
LEMBAR PENGESAHAN... ii
ABSTRAKSI... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D. Metodologi Penelitian ... 7
E. Tinjauan Pustaka... 9
F. Sistematika Penulisan... 9
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya... 12
B. Pengertian Pola Komunikasi ... 15
1. Proses Komunikasi... 16
2. Bentuk-bentuk Komunikasi ... 20
C. Pengertian Masyarakat ... 22
1. Etika dan Budaya Masyarakat Desa... 23
2. Karakteristik Masyarakat Desa ... 23
1. Pengertian Komunikasi Organisasi ... 27
2. Teori Komunikasi Organisasi ... 30
E. Prasangka dan Stereotip ... 35
1. Pengertian Prasangka ... 35
2. Pengertian Stereotip ... 37
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH A. Keadaan Geografis Desa Pringapus, Kec. Pringapus, Semarang, Jawa Tengah ... 38
B. Kondisi Demografis ... 40
C. Gambaran Umum Masyarakat Muhammadiyah dan NU Setempat ... 46
BAB IV POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DARI KALANGAN MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT NU DI DESA PRINGAPUS A. Pola Komunikasi Antar Pribadi ... 50
B. Pola Komunikasi Antar Kelompok... 55
C. Faktor-faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Muhammadiyah dengan Masyarakat NU... 57
1. Faktor Pendukung Komunikasi Antar Budaya ... 57
2. Faktor Penghambat Komunikasi Antar Budaya ... 60
A. Kesimpulan... 70
B. Saran... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
LAMPIRAN
Tabel 01 Data Penduduk Desa Pringapus Berdasarkan Usia ... 41
Tabel 02 Mata Pencaharian masyarakat Pringapus... 43
Tabel 03 Tingkat Pendidikan Warga Desa Pringapus... 44
Tabel 04 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama ... 45
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling
berkomunikasi. Manusia juga pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam
hidup, yaitu sebagai makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk pribadi,
manusia mempunyai beberapa tujuan dan cita-cita yang ingin di capai, di
mana masing-masing individu memiliki tujuan dan kebutuhan yang berbeda
dengan individu lainnya. Sedangkan sebagai mahluk sosial, individu selalu
ingin berinteraksi dan hidup dinamis bersama orang lain.
!"
Quran.(3)Dia menciptakan manusia (4) Mengajarnya pandai berbicara (5) Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”Dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Individu
memiliki tujuan, kepentingan, cara bergaul, pengetahuan ataupun sutau
kebutuhan yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya dan semua itu
harus dicapai untuk dapat melangsungkan kehidupan.
Komunikasi memiliki fungsi tidak hanya sebagai pertukaran informasi
menukar data, fakta dan ide. Agar komunikasi berlangsung efektif dan
informasi yang disampaikan oleh seorang komunikan dapat diterima dan
dipahami dengan baik oleh seorang komunikator, maka seorang komunikan
perlu menetapkan pola komunikasi yang baik pula.1
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak perduli di mana kita berada, kita
selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang–orang tertentu yang
berasal dari kelompok, ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan
pengalaman baru yang selalu kita hadapi. Berkomunikasi merupakan kegiatan
sehari-hari yang sangat popular dan pasti dijalankan dalam pergaulan manusia.
Aksioma komunikasi mengatakan:”manusia selalu berkomunikasi, manusia
tidak dapat menghindari komunikasi.”2
Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dari seluruh waktu kita
dipakai untuk berkomunikasi, untuk itu kita akan merasa betapa pentingnya
komunikasi untuk dipelajari. Agar kita dapat berkomunikasi dengan efektif,
sehingga tidak terjadi kesalah pahaman.
Berikut beberapa contoh kasus yang disebabkan komunikasi yang
tidak efektif adalah adanya kasus perceraian, permusuhan, bunuh diri,
keretakan hubungan antara orang tua dan anak, bahkan sampai konflik antar
suku budaya.
Sebuah fakta sosial yang harus kita terima adalah tentang
kemajemukan yang ada pada kehidupan manusia. Yaitu bahwa manusia dapat
1
Asnawir dan Basyirudin Ustman, media pembelajaran (Jakarta; Ciputat Press, 2002) 2
dibedakan berdasarkan suku, agama dan ras. Bahkan terhadap individu pun
dapat pula dibedakan dalam hal pemikiran atau dalam persepsi tertentu.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia3. Jika mengenai kebudayaan, hingga kini telah
ditemukan lebih dari 500 definisi. Perbedaan penekanan dalam pemberian
definisi ditentukan oleh lingkup materi budaya yang tercakup maupun
pendekatan analisisnya.
Hubungan antara budaya dam komunikasi sangat penting dipahami
untuk memahami komunikasi antar budaya, oleh karena itu melalui pengaruh
budayalah orang-orang belajar berkomunikasi4. Misalnya seorang yang
berasal dari Jawa, Jakarta atau dari Medan belajar berkomunikasi. Seperti
orang–orang Jawa, orang–orang betawi dan orang-orang Medan lainnya.
Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku mereka tersebut
dipelajari dan diketahui dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang
memandang mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label
yang dihasilkan budaya mereka.
Komunikasi antar budaya pada dasarnya adalah komunikasi biasa.
Hanya yang membedakannya adalah latar belakang budaya yang berbeda dari
orang-orang yang melakukan proses komunikasi tersebut. Aspek-aspek
kepercayaan, watak, nilai dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan
sebagai perbedaan besar yang sering kali menyebabkan distorsi dalam
komunikasi. Namun, dalam masyarakat yang bagaimanapun berbedanya
kebudayaan. Tetaplah akan terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk
melakukan komunikasi.5
Dalam perspektif Islam. Dasar-dasar untuk hidup bersama di
tengah-tengah masyarakat yang pluralistik secara religius sejak semula memang telah
di bangun atas landasan normatif dan historis. Seiring dengan berjalannya
waktu kemudian membawa masyarakat Islam untuk berinteraksi dan
beradaptasi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Pertemuan
budaya dengan masyarakat lain melahirkan tarik menarik serta perkawinan
masyarakat yang lainnya.
Seperti halnya di dalam masyarakat Islam di Indonesia. Setidaknya
telah mengalami dua macam simbolisasi. Perkembangannya bisa digambarkan
sebagai berikut:
I II
Integrasi luar dalam
Tempat Desa Kota
Pelaku Petani Pedagang , Profesional
Ekonomi Agraris Industrial
Simbol agama memerlukan Integrasi, yaitu kekuatan yang menjadi
pusat pusaran untuk bermakna. Dalam budaya I integrasi itu terletak di luar
5
pelaku, dalam satuan yang lebih besar, yaitu komunitas. Seorang budaya I
mengadakan selamatan sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh komunitas
(misalnya Ruwah, Mulud) sesuai dengan kepentingan komunitas (misalnya
Ruwahan, Muludan), di tempat yang juga ditentukan oleh komunitas
(misalnya di makam atau di masjid), dan undangannya pun ditentukan oleh
komunitas (misalnya lurah, kyai dan warga).
Dalam budaya II integrasi simbolis itu terletak di dalam, yaitu dalam
kesadaran individual pelakunya. Seseorang dari Budaya II mengadakan
selamatan (namanya berubah menjadi syukuran) sesuai dengan tanggal, jam
dan hari yang ditentukan sendiri (misalnya pernikahan), tidak harus bersamaan
dengan kepentingan komunitas, di tempat yang ditentukan sendiri (misalnya
rumah), dan dengan undangan yang ditentukan sendiri (misalnya
teman-teman). Dalam budaya II ini peran komunitas tidak penting lagi.
Dari uraian di atas yang singkat ini dengan mudah kita ketahui bahwa
masyarakat NU sebagai gerakan tradisonalis mewakili budaya I dan
Muhammadiyah sebagai gerakan modernis mewakili Budaya II. Kita dapat
melihat ada bias desa, masyarakat agraris, dan masa lalu dalam NU.
Sebaliknya kita dapat melihat ada bias kota, masyarakat industrial dan masa
kini dalam Muhamadiyah. Kata kunci dari kebudayaan masyarakat
tradisionalis adalah kelestarian dan pewarisan, sedangkan dalam masyarakat
modernis adalah kemajuan dan penyesuaian.
Melihat fenomena-fenomena di atas penulis tertarik untuk menulis
komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU di
Desa Pringapus, Semarang, Jawa tengah).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Mengingat luasnya bahasan mengenai masyarakat Muhammadiyah dan
masyarakat NU ini, maka penulis membatasi penelitian ini hanya pada pola
komunikasi masyarakat Muhammadiyah terhadap masyarakat NU dalam
bermasyarakat di wilayah desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah.
Berdasarkan batasan masalah yang akan di bahas, maka penulis
merumuskan masalah tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana pola komunikasi yang dilakukan masyarakat dari kalangan
Muhammadiyah dengan masyarakat dari kalangan NU dalam kehidupan
sehari-hari?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung
komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan
masyarakat NU ?
Adapun pola yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan
dari proses penyampaian pesan baik secara verbal maupun non verbal dalam
suatu komunikasi.
C. Tujuan dan Kegunaan Masalah
1. Tujuan Penelitian
a. Ingin mengetahui pola komunikasi masyarakat Muhammadiyah
dengan masyarakat NU.
b. ingin menemukan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam
komunikasi antar budaya antara masyarakat Muhammadiyah dengan
masyarakat NU.
c. ingin menemukan faktor-faktor yang dapat menjadi pendukung
komunikasi antar masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU.
2. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam
memperkaya kajian ilmu komunikasi antar agama dan budaya.
b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pola
komunikasi antara masyarakat dari kalangan Muhammadiyah dengan
masyarakat NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah.
D. Metodologi Penelitian
Karena penelitian ini dilandasi dari rasa keingintahuan penulis,
sebagaimana dijelaskan dalam rumusan masalah, maka dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan
pendekatan sosiologis dan antropologis.
Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat. Situasi-situasi tertentu.
Termasuk dalam hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat Muhammadiyah dan
masyarakat NU yang secara geografis tinggal di Desa Pringapus, Semarang
Jawa Tengah. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah pola dari komunikasi
antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU.
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data yang di perlukan dalam menyusun proposal
penelitian ini penulis melalui observasi dan wawancara.
a. Observasi, dalam penelitian ini penulis mendatangi langsung ke lokasi
yang menjadi tempat penelitian, kemudian meneliti, mengamati dan
mencatat komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang termasuk
masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU.
b. Untuk memperoleh data yang diinginkan peneliti menggunakan teknik
wawancara. Karena dengan wawancara peneliti dapat memperoleh
data secara langsung dari sumber, sehingga memudahkan dalam
memperoleh data. Wawancara akan dilakukan secara bebas, tetapi
tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan terarah
2. Analisis Data
Setelah penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini ,maka penulis akan mengolah dan menganalisa data dengan
menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu data yang sudah terkumpul,
penulis menjabarkannya dengan memberikan analisa-analisa untuk
kemudian penulis ambil kesimpulan akhir, agar penulis mengetahui
bagaimana pola atau bentuk komunikasi yang terjadi antara masyarakat
Jawa Tengah, kemudian menemukan apa saja faktor penghambat dan
pendukung komunikasi antara kedua masyarakat tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini penulis meneliti dengan objek pada pola
komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat NU di
desa Pringapus dan penulis telah melakukan tinjauan Pustaka, penulis melihat
judul yang ada di perpustakaan, penulis melihat ada satu mahasiswa yang
pembahasannya sama dengan yang peneliti kaji. Dengan judul ”Komunikasi
Antar Budaya (Study pada pola komunikasi masyarakat Betawi dengan
Masyarakat Madura di Kelurahan Condet, Batu Ampar).
Oleh sebab itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
seperti menjiplak atau mengambil dari hasil karya orang lain, maka penulis
perlu mempertegas perbedaan antara masing-masing judul dengan masalah
yang sedang di bahas.
Adapun perbedaannya adalah dari skripsi tersebut dengan skripsi
peneliti adalah pada subjek penelitiannya, pada penelitian terdahulu
membahas bagaimana pola komunikasi antar budaya antara dua suku yang
berbeda, yaitu masyarakat Betawi dengan masyarakat Madura. Dalam
penelitian ini subjek penelitian penulis adalah masyarakat Muhammadiyah
dengan masyarakat NU yang tinggal di desa Pringapus, Semarang, Jawa
Tengah.
Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan
dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam
lima bab. Di mana masing-masing bab di bagi ke dalam sub-sub dengan
penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Terdiri dari pengertian komunikasi, unsur-unsur komunikasi dan
bentuk-bentuk komunikasi, pengertian pola komunikasi,
pengertian komunikasi antar budaya, Pengertian komunikasi
Organisasi, pengertian masyarakat.
BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA
PRINGAPUS, SEMARANG, JAWA TENGAH
Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari
keadaan geografis desa Pringapus, Semarang ,Jawa Tengah, serta
gambaran umum tentang masyarakat Muhammadiyah dan NU
setempat.
BAB IV : POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT DARI KALANGAN
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT NU DI DESA
Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil Penelitian,
berikut analisanya. Yaitu tantan pola komunikasi antara
masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus,
Semarang , Jawa Tengah
BAB V : PENUTUP
Adalah merupakan bab penutup dari tulisan ini yang berisi
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya
Dalam setiap prosesnya komunikasi selalu melibatkan ekspektasi,
persepsi, tindakan dan penafsiran.6 Maksudnya adalah ketika kita
berkomunikasi dengan orang lain maka kita dan orang yang menjadi
komunikan kita akan menafsirkan pesan yang diterima baik berupa pesan
verbal maupun non verbal dengan standar penafsiran dari budayanya sendiri.
Kita pun dalam memaknai dan menyandikan tanda atau lambang yang akan
kita jadikan pesan menggunakan standar budaya yang kita punyai. Pada
dasarnya komunikasi antar budaya adalah komunikasi biasa, yang menjadi
perbedaannya adalah orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut
berbeda dalam hal latar belakang budayanya. Ada banyak pengertian yang
diberikan para ahli komunikasi dalam menjelaskan komunikasi antar budaya,
di antaranya adalah :
1. Menurut Aloweri, Andrea L. Rich dab Dennis M. Ogawa sebagaimana
dikutip oleh Armawati Arbi, komunikasi antar budaya adalah komunikasi
antara orang-orang yang berbeda kebudayaanya. Misalnya antara suku
bangsa, etnik, ras dan kelas sosial.7
2. Menurut Guo-Ming Chen dan Willian J. Starosta sebagaimana dikutip oleh
Deddy Mulyana berpendapat bahwa komunikasi antar budaya adalah
6
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7
7
proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing
perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya
sebagai kelompok.8
3. Menurut Deddy Mulyana, komunikasi antar budaya (Inter Cultural
Communication) adalah proses pertukaran fikiran dan makna antara
orang-orang yang berbeda budayanya.9
4. Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss mendefinisikan komunikasi antar budaya
sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbdea budaya (baik dalam
arti ras, etnik atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).10
Dari beberapa definisi yang penulis kutipkan tadi. Penulis
berkesimpulan bahwa komunikasi antar budaya dapat diartikan sebagai
komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memilki latar belakang
budaya yang berbeda. Ada beberapa istilah yang sering disepadankan dengan
istilah komunikasi antar budaya, diantaranya adalah komunikasi antar etnik
(Inter ethnic communication), komunikasi antar ras, komunikasi lintas budaya
(Cross Cultural Communication), dan komunikasi Internasional.11
1. Komunikasi antar etnik adalah komunikasi antar anggota etnik yang
berbeda atau dapat saja komunikasi antar etnik terjadi di antara anggota
etnik yang sama tetapi memiliki latar belakang budaya yang berbeda atau
sub kultur yang berbeda. Kelompok etnik adalah kelompok orang yang
ditandai dengan bahasa dan asal-usul yang sama. Komunikasi antar etnik
8 Ibid. 2. 9
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, h. xi 10
Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication konteks-konteks komunikasi antar budaya, (Bandung:PT. Remaja Rosda karya buku ke-2, 2001),h. 182
11
juga merupakan bagian dari komunikasi antar budaya, namun komunikasi
antar budaya belum tentu merupakan komunikasi antar etnik.12
2. Komunikasi antar ras adalah sekelompok orang yang ditandai dengan
arti-arti biologis yang sama. Dapat saja orang yang berasal dari ras yang
berbeda memiliki kebudayaan yang sama, terutama dalam hal bahasa dan
agama. Komunikasi antar ras dapat juga dimasukan dalam komunikasi
antar budaya, karena secara umum ras yang berbeda memiliki bahasa dan
asal-usul yang berbeda juga. Komunikasi antar budaya dalam konteks
komunikasi antar ras sangat berpotensi terhadap konflik, karena orang
yang berbeda ras biasanya memiliki prasangka-prasangka atau stereotip
terhadap orang yang berbeda ras dengannya. Dalam hal ini tentunya
mempengaruhi orang-orang yang berbeda ras tersebut di dalam
berkomunikasi.
3. Komunikasi Lintas Budaya adalah studi tentang perbandingan gagasan
atau konsep dalam berbagai kebudayaan. Perbandingan antara aspek atau
minat tertentu dalam suatu kebudayaan atau perbandingan antar suatu
aspek atau umat tertentu dengan satu atau kebudayaan lain.13
4. Komunikasi Internasional, dapat diartikan sebagai komunikasi yang
dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara untuk
menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan
12
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003). h. xii
13
negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan
untuk memperoleh dukungan yang lebih luas.14
B. Pengertian Pola komunikasi
Bahwasanya pola komunikasi merupakan serangkaian dua kata.
Karena keduanya mempunyai keterkaitan makna sehingga mendukung dengan
makna lainnya. Maka lebih jelasnya dua kata tersebut akan diuraikan tentang
penjelasannya masing-masing.
Kata “pola” dalam kamus besar Bahasa Indonesia15 artinya bentuk atau
sistem, cara atau bentuk (struktur) yang tetap, yang mana pola dapat dikatakan
contoh atau cetakan.
Pola dapat dikatakan juga dengan model, yaitu cara untuk
menunjukkan sebuah objek yang mengandung kompleksitas proses
didalamnya dan hubungan antara unsur-unsur pendukungnya.16.Menurut Little
Jhon model dapat diterapkan pada setiap representasi simbolik dari suatu
benda.17
Secara etimologis, menurut Onong Uchjana Effendi, istilah
komunikasi berasal dari perkataan bahasa Inggris “Communication” yang
bersumber dari bahasa latin “Communicatio” yang berarti “pemberitahuan”
14
Bakrie Abbas, Komunikasi Internasional: Peran dan Permasalahannya, (Jakarta; Yayasan Kampus Tercinta- ISIIP), h. 2
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 778
16
Dikutip dari Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, Gramedia Widiasavina:2004), h.9
17
atau pertukaran pikiran. Maka hakiki dari communicatio ini adalah Communis
yang berarti “sama” atau “kesamaan arti.”18
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Astrid susanto, beliau
berpendapat bahwa “perkataan komunikasi berasal dari kata “Communicare”
yang dalam bahasa latin memiliki arti “berpartisipasi” atau
“memberitahukan”. Kata Communis berarti milik bersama atau berlaku
dimana-mana.”19
Sedangkan ditinjau dari segi terminologis, para ahli komunikasi
mendefinisikan komunikasi antara lain, sebagai berikut:
Wilbur Schramm dalam uraiannya mengatakan bahwa sebenarnya,
“definisi komunikasi berasal dari bahasa latin “communis”. Bilamana kita
melakukan komunikasi itu artinya kita mencoba untuk berbagi informasi, ide
atau sikap. Jadi, esensi dari komunikasi itu adalah menjadikan si pengirim
dapat berhubungan bersama denngan si penerima guna menyampaikan isi
pesan.20
1. Proses Komunikasi
Sebelum kita mengetahui bentuk sebuah pola komunikasi apa yang
diterapkan dalam sebuah komunitas baik secara individu maupun
organisasi, maka kita perlu melihat proses komunikasinya, karena pola
komunikasi tersebut terlahir dari berbagai proses komunikasi sehingga
keduanya tidak dapat dipisahkan, karena menjadi sebuah kesatuan. Tanpa
kita melihat proses komunikasi yang terjadi dalam sebuah aktifitas
komunikasi maka kita tida dapat mengetahui pola komunikasi apa yang
digunakannya,
Menurut Onong Uchjana Effendy, proses komunikasi terbagi
menjadi dua tahap, yaitu primer dan sekunder.21
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian
pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai
media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa yang secara
langsung mampu menterjemahkan pikiran atau perasaan komunikator
kepada komunikan. Pertama-tama komunikator menyandi (encode)
pesan yang disampaikan kepada komunikan, ini berarti ia
memformulasikan pikiran atau perasaannya ke dalam bahasa yang
diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi
giliran komunikan untuk mengawa-sandi (decode) pesan komunikator
itu. Itu berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau
perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertiannya.
Yang penting dalam proses penyandiannya (coding) itu bahwa
komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat mengawa-sandi
(decoding) hanya kedalam kata bermakna yang pernah diketahui dalam
21
pengalamannya masing-masing, karena komunikasi berlangsung
apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh
komunikan, dengan kata lain komunikasi adalah proses membuat
sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan.
Dalam pada itu sudah terbiasa pula kita memperoleh umpan
balik baik dari perasaan kita sendiri maupun dari seorang komunikan
yang menjadi penerima pesan kita. Komunikator yang baik adalah
orang yang selalu memperhatikan umpan balik, sehingga ia dapat
dengan segera mengubah gaya komunikasinya diakal ia mengetahui
bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif.
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian
pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau
sarana sebagai media kedua setelah mamakai lambang sebagai media
penama. Seperti yang telah diterangkan di atas pada umumnya bahasa
yang banyak digunakan dalam komunikasi karena bahasa sebagai
lambang mampu mentransmisikan pikiran, ide, pendapat dan
sebagainya, baik mengenai hal yang abstrak maupun yang konkrit.
Namun pada akhirnya sejalan dengan berkembangnya
masyarakat beserta peradaban dan kebudayaan. Komunikasi
mengalami kemajuan dengan memadukan berlambang bahasa dengan
komunikasi berlambang gambar dan warna. Akan tetapi oleh para ahli
bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat
informatif. Menurut mereka yang efektif dan efisien dalam
menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka karena
kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator,
sedangkan dalam proses komunikasinya umpan balik berlangsung
seketika dalam arti kata komunikator mengetahui tanggapan atau
reaksi komunikan pada saat itu juga.
Proses Komunikasi22
Gambar 01
Bagan/ skema proses komunikasi
Unsur komunikasi antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sender; Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau
sejumlah orang.
2. Encoding: Penyandian, yaitu proses pengalihan fikiran ke dalam bentuk
lambang.
3. Massage: pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang
disampaikan oleh komunikator.
22
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), Cet ke-19. hal 18
4. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator
kepada komunikan.
5. Decoding: pengawasandian, yaitu proses di mana komunikasi menetapkan
makan pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
6. Receiver: komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
7. Feedback: Umpan balik, yaitu tanggapan komunikan apabila tersampaikan
atau disampaikan kepada komunikator.
8. Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi
sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda
dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Dari penjelasan tentang proses komunikasi di atas, peneliti merasa juga
harus memperhatikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, karena unsur-unsur
tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
2. Bentuk-bentuk Komunikasi
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pola komunikasi yang
sesuai dengan arti pola di atas lebih tepat untuk mengambil kesimpulan adalah
bentuk-bentuk komunikasi terdapat empat macam, yaitu:
a. Komunikasi Intra Pribadi (Interpersonal Communication). Adalah proses
komunikasi dalam diri seseorang berupa proses pengolahan informasi
melalui panca indera dan sistem saraf. 23
23
b. Komunikasi Antar Pribadi (Antarpersonal Communication) adalah proses
penyampaian paduan pikiran dan perasaan oleh seseorang kepada orang
lain agar mengetahui, mengerti dan melakukan kegiatan tertentu.24
c. Komunikasi Kelompok (Group Communication) adalah penyampaian
pesan oleh seorang komunikator kepada sejumlah komunikan untuk
mengubah sikap, pandangan atau perilakunya.25
d. komunikasi Massa (mass Communication) menurut Zulkarnaen Nasution
di dalam bukunya Sosiologi Komunikasi Massa, bahwa yang dimaksud
dengan komunikasi massa adalah “suatu proses penyampaian informasi
atau pesan-pesan yang ditujukan kepada khalayak massa dengan
karakteristik tertentu”. Sedangkan media massa hanya salah satu
komponen atau sarana yang memungkinkan berlangsungnya prose sang di
maksud.26
Adapun proses komunikasi yang melibatkan antara masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat Nu yang memiliki dua kebudayaan yang
berbeda ini dalam kehidupan sehari-hari, maka penyampaian pesan nya pun
berlangsung secara lisan dan melalui tatap muka.
24
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002), cet ke-6 h. 60 25
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002), cet ke-6, h-62 26
C. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki
tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam
lingkungannya.27
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa masyarakat
adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu
kebudayaan yang mereka anggap sama.28
Selain itu banyak pula para tokoh yang mengemukakan beberapa
definisi mengenai masyarakat, diantaranya :
1. R. Linton: seorang tokoh Antropologi mengemukakan bahwa masyarakat
adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya, berpikir
tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
2. Hasan Shadily mendefinisikan, masyarakat adalah golongan besar atau
kecil dari beberapa manusia yang dengan pengaruh bertalian secara
golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain.29
Dari definisi-definisi masyarakat di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa masyarakat harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. harus ada pengumpulan manusia dan harus banyak.
2. telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama.
3. adanya peraturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk
menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.
27
Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h-85 28
Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 485 29
1. Pengertian, Etika dan Budaya Masyarakat Desa
Masyarakat Desa Dalam Tinjauan Sosial Budaya
Menurut Bintarto yang dimaksud desa adalah perwujudan atau
kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ
(suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik
dengan daerah lain.30
Sedangkan menurut Sutardjo Kartohadikusuma, desa adalah suatu
kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahannya
sendiri.
Adapun masyarakat desa ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan
batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga anggota
masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana dia
hidu, dicintainya serta memiliki perasaan bersedia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena
beranggapan sama-sama sebagai warga masyarakat yang saling mencintai dan
saling menghormati.
Definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat kecil adalah masyarakat di daerah masyarakat pedesaan.
Masyarakat kecil disebut juga rural community yang diartikan sebagai
masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas
tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan
30
mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan
masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati
bersama.
2. Karakreristik Masyarakat Desa31
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup
bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka.
Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat
digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian,
dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan
teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”.
Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait
dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih
sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan
bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan
a. Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan.
Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
1) Secara ekonomi memang tidak mampu
2) Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
b. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
1) Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
31
2) Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
c. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan
atau “unggah-ungguh” apabila:
1) Bertemu dengan tetangga
2) Berhadapan dengan pejabat
3) Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
4) Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
5) Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya
d. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana
kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati
sanubari mereka.
e. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat
desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi
orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang
lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
f. Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang
bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang
melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi
tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.
g. Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara
langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang
kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka
cenderung untuk diam/tidak banyak omong.
h. Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang
pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi
sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga
dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut
dengan “ngajeni”.
i. Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas
tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan
kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama
ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan
program pembangunan di daerahnya.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka
dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh
tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam
20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.
j. Suka gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh
kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat
Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus
dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau
bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe”
atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang
dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak,
bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi
tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
k. Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan
keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui
mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan
Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input
dari warga.
l. Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian
mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga
mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa
D. Komunikasi Organisasi
1. Pengertian Komunikasi Organisasi
Bahwasanya komunikasi organisasi merupakan serangkaian dua
kata yang tergabung dan memiliki makna yang saling terkait, sehingga
mendukung dengan makna yang lainnya. Sumber konflik yang terjadi
antar individu dalam organisasi yang mungkin paling sering dikemukakan
adalah buruknya komunikasi.
Dalam pembahasan komunikasi organisasi lebih tepatnya adalah
kajian pada komunikasi insani yang terjadi dalam organisasi, karena
manusialah yang berkomunikasi, bukan organisasi.32 Hal pertama yang
kita perlukan dalam studi tentang organisasi adalah definisi eksplisit
tenang apa yang dimaksud dengan sesuatu organisasi, James L. Gibson
menyatakan bahwa:
“….. organisasi merupakan entitas-entitas yang memungkinkan
masyarakat mencapai hasil-hasil tertentu yang tidak mungkin dilaksanakan
sendiri”.
Menjelaskan organisasi sebagai sebuah kelompok individu yang
diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah anggota organisasi
bervariasi dari tiga atau empat, sampai dengan ribuan anggota. Organisasi
juga memiliki struktur formal maupun informal. Organisasi memiliki
tujuan umum untuk meningkatkan pendapatan, namun juga memliki
tujuan-tujuan spesifik yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi itu.
32
Dan untuk mencapai tujuan,organisasi membuat norma aturan yang
dipatuhi oleh semua anggota organisasi.33
Organisasi didefinisikan sebagai “suatu kumpulan (sistem)
individu yang bersama-sama, melalui suatu hirarki pangkat dan
pembagiain kerja, berusaha mencapai tujuan tertentu.”34seorang objektivis,
menganggap organisasi adalah sebuah wadah yang menampung
orang-orang dan objek-objek; orang-orang-orang-orang dalam organisasi yang berusaha
mencapai tujuan bersama.35
Kaum subjektif mendefinisikan organisasi sebagai perilakku
pengorganisasian (organizing behaviour) berdasarkan definisi ini,
pengetahuan mengenai organisasi harus di peroleh dengan melihat
perilaku-perilaku khusus tersebut dan apa makan perilaku-perilaku itu bagi
mereka yang melakukan.36
Kaum objektivitas secara khas memandang organisasi sebagai
suatu entitas besar dengan struktur kendali yang terdiri dari prosedur dan
kebijakan. Sistem tersebut ditata berdasarkan logika untuk mencapai suatu
tujuan dan mengandung derajat-derajat otoritas (kewenangan), berbeda
pada berbagai tingkat dan juga kegiatan-kegiatan ternetu yang dilakukan
oleh individu-individu.37 Sebaliknya kaum subjektifitas menganut sutau
33
H. M. Burhan Bungin. S.sos. M.Si. Sosiologi Komunikasi, Teori,Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; KENCANA, 2006), h. 272
34
Stewart L. Tubbs. Sylvia Moss, pengantar Deddy Mulyana, Human Communication KOnteks-konteks Komunikasi, (Bandung; Remaja Risdakarya, 2005) h. 164
35
R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, (Bandung; Rosda Karya, 2006), h. 17
36
Ibid, h 17
37
pandangan lebih luas mengani orgnisasi. Misalnya, mendefinisikan
organisasi sebagai “tindakan-tindakan yang bertautan (Interlocked) suatu
kolektifitas”. Suatu kolektifitas mungkin kecil atau besar; aspek penting
definisi tersebut adalah “tindakan-tindakan bertautan” dan makan yang
diberikan pada tindakan tindakan-tindakan tersebut.38
Dalam konteks organisasi, pemahaman mengnai
peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi di dalamnya,seperti apakah instruksi
pimpinan sudah dilaksanakan dengan benar oleh karyawan ataupun
bagaimana bawahan mencoba menyampaikan keluhan pada atasan,
memungkinkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai
sesuai dengan hasil yang diharapkan, merupakan contoh sederhana untuk
memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan aspek yang penting dalam
organisasi, baik organisasi profit maupun non profit.39
2. Teori Komunikasi Organisasi
a. Organisasi Sosial
Istilah organisasi sosial merujuk kepada pola-pola interaksi
sosial (Frekuensi dan lamanya kontak antara orang-orang;
kecenderungan mengawali kontak, arah pengaruh antara orang-orang,
derajat kerja sama, perasaan tertarik, hormat dan permusuhan serta
perbedaan status) dan regularitas yang teramati dan perilaku sosial
38
Ibid
39
orang-orang yang disebabkan oleh situasi sosial mereka, alih-alih oleh
karakteristik fisiologis atau psikologis mereka sebagai individu.40
Adanya pola atau regularitas dalam interaksi sosial
mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan antara orang-orang yang
mentransformasikan mereka dari suatu kumpulan individu menjadi
sekelompok orang atau dari sejumlah kelompok menjadi suatu sistem
sosial yang lebih besar.41
Berlo (1960) menyarankan bahwa komunikasi berhubungan
dengan organisasi sosial melalui tiga cara:
Pertama, sistem sosial dihasilkan lewat komunikasi.
Keteranagan perilaku dan tekanan menyesuaikan diri dengan
norma-norma dihasilkan lewat komunikasi di antara angoota-anggota
kelompok.
Kedua, sistem sosial mempengaruhi bagaimana, ke, dan, dari
siapa dan dengan pengaruh bagaimana komunikasi terjadi di antara
anggota-anggota sistem. Status sosial dalam sistem, misalnya,
meningkatkan kemungkinan berbicara kepada orang-orang yang punya
status setara dan mengurangi kemungkinan komunikasi dengan
orang-orang yang berstatus jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah.
Ketiga, pengetahuan mengenai suatu sistem sosial dapat
membantu kita membuat prediksi yang akurat mengenai orang-orang
tanpa mengetahui lebih banyak daripada peranan-peranan yang mereka
40
R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Komunikasi Organisasi, h. 41 41
duduki dalam sistem. Seperti yang diringkas Berlo, “meskipun kita
tidak mengenal seseorang sebagai seorang individu, meskipun kita
belum berkomunikasi dengannya untuk memastikan sikapnya,
pengetahuannya, keterampilan komunikasinya, kita masih dapat
membuat prediksi yang cukup akurat berdasarkan pengetahuan
mengenai jabatannya dalam satu atau lebih sistem sosial”.42 Sistem
sosial mempunyai aneka macam bentuk, struktur dan hasil. Ada
elemen-elemen tertentu pada sebuah sistem sosial, diantaranya adalah
motivasi, nilai-nilai, norma-norma, komunikasi dan kepemimpinan
yang mencapai bentuk tertentu dan yang selaras satu sama lain, hingga
sistem sosial yang bersangkutan mendapatkan kualitas tertentu.43
b. Organisasi Formal
Sebuah organisasi formal memiliki suatu struktur yang
terumuskan dengan baik. Struktur ini menerangkan
hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas, dan tanggung
jawabnya. Organisasi-organisasi formal menunjukkan tugas-tugas
terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki
sasaran-sasaran organisasi formal dinyatakan eksplisit. Status, prestise,
imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasyarat-prasyarat lainnya
terurutkan dengan baik dan terkendali. Organisasi-organisasi formal
Istilah komunikasi formal dapat kita gunakan dalam arti bahwa
pola-pola kerja dan hubungan-hubungan pribadi disusun secara sadar
dan diakui secara resmi.45
Pendapat bahawa, “….organisasi formal sesuatu perusahaan
mempengaruhi kondisi-kondisi sosial pekerjaan, yang sebaliknya
memegang peranan penting dalam hal memotivasi para karyawan
untuk menghasilkan kinerja yang bertambah baik, atau bertambah
buruk. Apakah yang kiranya dimaksud dengan organisasi formal?
Organisasi formal adalah apa yang tercantum di atas kertas (hubungan
logical yang dinyatakan oleh peraturan-peraturan dan
kebijakan-kebijakan perusahaan yang bersangkutan)..”46
Organisasi formal yang secara popular disebut birokrasi. Untuk
memperoleh suatu persfektif yang tepat mengenai analisis Max
Webber mengenai birokrasi atau organisasi formal, kita perlu
menyadari bahwa ia mengembangkan teori tentang organisasi sebagai
suatu tipe ideal.47
Karakteristik Birokrasi Weberian.
1) Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan
antara jabatan-jabatan.
2) Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam
tugas-tugas,tugas-tugas organisasi disalurkan diantara berbagai jabatan sebagai
kewajiban resmi. Ketentuan kewajiban dan tanggung jawab
melekat pada jabatan.
3) Kewenangan untuk melaksanakan kewajiban diberikan kepada
jabatan. Yaitu, satu-satunya saat bahwa seseorang diberi
kewenangan untuk melakukan tugas-tugas jabatan adalah ketika ia
secara sah menduduki wewenang disahkan oleh kepercayaan akan
supermasi hukum.
4) Garis-garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan
hierarki. Ruang lingkup kewenangan atasan atas bawahan secara
tegas dibatasi. Konsep-konsep komunikasi ke atas (upward
communication) dan komunikasi ke bawah (downward
comuunication) mencerminkan konsep kewenangan ini, dengan
informasi mengalir ke bawah dari jabatan yang memiliki
kewenangan lebih luas ke jabatan yang memiliki kewenangan yang
sempit.
5) Suatu sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas, yang
ditetapkan secara formal, mengatur tindakan-tindakan dan
fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
6) Prosedur dalam organisasi bersifat formal dan impersonal, yaitu
peraturan-peraturan organisasi berlaku bagi setiap orang.
7) Suatu sikap dan prosedur untuk menerapkan suatu system disiplin
8) Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan
kehidupan organisasi.
9) Pegawai dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan
kualifikasi teknis, alih-alih koneksi politis, koneksi keluarga, atau
koneksi lainnya.
10)Meskipun pekerjaan dalam birokrasi berdasarkan kecakapan teknis,
kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas dan prestasi
kerja. Pekerjaan dalam organisasi merupakan karier seumur hidup,
memberikan kenyamanan dalam jabatan.48
Ciri-ciri ini menghasilkan pengambilan keputusan yang rasional dan
efisensi administrative. Ahli-ahli berpengalaman adalah orang-orang yang
paling cakap untuk membuat keputusan-keputusan teknis. Kinerja berdisiplin
yang diatur dengan aturan-aturan, regulasi dan kebijakan-kebijakan yang
abstrak dan dikoordinasiksan oleh kewenangan hierarkis merupakan usaha
yang rasional dan konsisten untuk mencapai tujuan organisasi.49
E. Prasangka dan Stereotip
1. Prasangka Sosial
Prasangka berasal dari bahasa Latin. Pracjudicium yang berarti
preseden atau suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman
terdahulu. Richard W. Brislin mengartikan prasangka sosial sebagai suatu
sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok
48
Ibid, h. 44-47 49
orang. Prasangka itu sendiri bremacam-macam. Dan yang paling populer
adalah prasangka sosial kesukuan, agama dan gender.50 Gerungan
mengartikan prasangka sosial sebagai sikap perasaan orang-prang terhadap
golongan masnusia tertentu. Golongan ras atau golongan kebudayaan yang
berlainan dengan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial itu tertadri
atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan
mempengaruhi tingkah laku golongan manusia tadi.51 Tindakan
diskriminatif dalam prasangka sosial dapat saja berupa tindakan-tindakan
bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan orang yang
diprasangkai, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang –orang yang
hanya karena kebetulan mereka berasal dari golongan orang yang
diprasangkai.52
Faktor-faktor yang menumbuhkan prasangka :
a. Kepentingan. Jika terjadi benturan kepentingan antara satu orang
dengan orang lain terlebih orang yang berbenturan kepentingan itu
berasal dari kelompok atau golongan yang berbeda.53
b. Faktor Kepribadian dari Orang yang Berprasangka. Orang yang
berprasangka biasanya memiliki kepribadian yang tidak toleran,
kurang mengenal diri sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa
aman, memupuk hayalan dan lain-lain.54
c. Faktor Frustasi dan Agresi. Prasangka sosial dapat menjelma ke dalam
tindakan-tindakan diskriminatif, agresif terhadap orang yang
diprasangkai. Teori frustasi yang menimbulkan agresi, di mana
orang-orang akan mengalami frustasi apabila maksd-maksud dan keinginan
yang diperjuangkan dengan intensif mengalami kegagalan atau
hambatan, akibatnya timbul perasaan jengkel atau perasaan-perasaan
agresif yang akan ditumpahkan kepada orang lain. Hal ini yang
dinamakan denagn teori Seapegatisme :teori kambing hitam.55
2. Stereotip
Stereotip adalah gambaran atau tanggapan tertentu mengenai
sifat-sifat dan watak pribadi orang-orang atau golongan lain yang negatif.
Stereotip sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia
memiliki kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang lain yang
dikenakan prasangka itu. Biasanya stereotip terbentuk berdasarkan
keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif.
Menurut Deddy Mulyana stereotip adalah menggeneralisasikan
orang-orang berdasarkan sedikit informasi yang dan membentuk asumsi
terhadap mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok.
Penstereotipan adalah proses menempatkan orang-prang dan subjek ke
dalam kategori yang mapan atau penilain mengenai orang-orang atau
55
objek-objek berdasarkan kategori yang dianggap sesuai, alih-alih
berdasarkan karakteristik individual mereka.56
56
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PRINGAPUS,
SEMARANG, JAWA TENGAH
A. Kondisi Geografis
Desa Pringapus terletak di wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah
Kabupaten Semarang merupakan wilayah Pembantu Gubernur Wilayah
Semarang dengan Ibukota Ungaran. Jarak Pringapus dari pusat pemerintahan
kabupaten adalah 9 km kearah selatan menuju Solo atau Jogjakarta.
Menurut keterangan masyarakat setempat, bahwa kata-kata pringapus
itu berasal dari perang apus yang berarti “perang apus-apusan” atau dalam
bahasa Indonesianya adu argumen, dahulu ada dua orang pengembara yang
menetap di suatu wilayah yang belum ada penduduknya, kedua pengembara
itu bernama Kyai Kalang dan Pangeran Benowoyang. Akhirnya pada suatu
ketika kedua pengambara ini bertemu, karena mereka masing-masing sudah
merasa cukup lama tinggal di daerah tersebut, keduanya pun memutuskan
untuk memberi nama wilayah yang telah mereka singgahi itu. Karena
keduanya sama-sama ingin memberi nama wilayah tersebut, akhirnya
keduanya pun terlibat perselisihan, namun perselisihan ini tidak berlanjut
sampai perang fisik, keduanya hanya terlibat adu argumen yang pada akhirnya
di menangkan oleh Pangeran Benowo. setelah pangeran Benowo
memenangkan persaingan ini, Kiyai Kalang pun pergi meninggalkan daerah
di abadikan oleh masyarakat setempat sebagai nama desa Pringapus yang
berasal dari kata Perang Apus atau adu argumen.
Pada tahun 2001, desa Pringapus menjadi kecamatan, sebelumnya
wilayah Desa Pringapus termasuk dalam Kecamatan Klepu. Dalam penelitian
ini objek penelitian lebih dimaksudkan kepada Pringapus dalam lingkup desa
bukan kecamatan. Pada pertengahan tahun 2005 bentuk pemerintahan desa
Pringapus berubah statusnya menjadi kelurahan. Akan tetapi, dalam penelitian
ini penulis tetap menggunakan istilah desa karena perubahan status tersebut
hanya bersifat administratif semata tanpa ada pengaruh terhadap data pada
objek penelitian. Dalam artian perubahan status tersebut tidak berpengaruh
pada keberadaan cerita yang ada dalam masyarakat.
Luas wilayah Desa Pringapus 509.380 Ha atau 5.093,8 km2. Desa
Pringapus adalah pusat pemerintahan Kecamatan Pringapus. Dengan luas
terbesar sebagai lahan pemukiman penduduk yaitu 642 km2 atau 64.202 km2
Ha sedangkan lainnya merupakan lahan pertanian baik sawah maupun ladang
serta kawasan industri. Dengan batas wilayahnya :
1. Sebelah Barat : Desa Derekan, Desa Klepu
2. Sebelah Timur : Desa Pringsari
3. Sebelah Utara : Desa Klepu, Desa Sambeng
4. Sebelah Selatan : Desa Jatirunggo
Desa Pringapus termasuk daerah dataran tinggi karena letaknya berada
di sekitar kaki gunung Ungaran dengan ketinggian tanah 600 meter dari
Krajan Timur, Ngabean, Tangkil, Ngetuk dan Wahyurejo atau Trembel yang
letaknya terpencar dan sebagian besar di kelilingi bukit-bukit kecil.Berikut
adalah tabel pemanfaatan lahan Desa Pringapus :
Dari tabel di atas dijelaskan bahwa tanah sawah dan ladang di Desa
Pringapus sangat luas, namun meskipun demikian mayoritas masyarakat desa
Pringapus berprofesi sebagai pegawai negeri, dan tanah ladang dan sawah
mereka di garap oleh orang lain dengan system bagi hasil saat musim panen
tiba.
B. Kondisi Demografis
1. Penduduk
Berdasarkan data pada tahun 2007, penduduk desa Pringapus
adalah 7.386 jiwa dengan pebandingan penduduk pria sebanyak 3.099
orang, sedangkan penduduk wanita sebanyak 4.287 orang. Akan tetapi
terjadi pertambahan penduduk dalam jumlah besar akibat dari banyak ya Tanah Bengkok 25,61 Ha
perantau yang bekerja di pabrik-pabrik yang berada di wilayah desa
Pringapus yang kemudian menjadi penduduk sementara. Jumlah penduduk
asli desa Pringapus berdasarkan data Monografi 2007.
Tabel 01
Data Penduduk Desa Pringapus Berdasarkan Usia
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0-14 716 855 1.581
Kehidupan masyarakat Pringapus walaupun dalam kenyataan
sudah terjadi interaksi antara masyarakat pertanian dan masyarakat
industri, tetapi masih dapat dikategorikan tradisional. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan masih eratnya hubungan antara masyarakat sebagai
contoh warga dusun Krajan Barat tetap tahu dalam artian mengenal warga
dusun Wahyurejo walaupun jaraknya termasuk jauh. Solidaritas
masyarakat desa Pringapus satu sama lain masih tinggi, sebagai contoh
ketika salah satu warga memiliki hajat seperti menikahkan anak,
melahirkan atau bahkan kematian, tanpa adanya undangan hampir semua