• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIASPORA ULAMA YAMAN DI MEKKAH-MADINAH PADA ABAD 20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DIASPORA ULAMA YAMAN DI MEKKAH-MADINAH PADA ABAD 20"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PADA ABAD 20

Skripsi

Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Ahmad Rifai

Nim: 1110022000029

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat disetiap hambanya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis untuk bisa membuat skripsi ini. Tak lupa penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi yang berjudul ”Diaspora Ulama Yaman Di Mekkah-Madinah Pada Abad 20” merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. Selaku pimpinan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memudahkan penulis dalam mengurus persyaratan penulisan Skripsi hingga Ujian Munaqosah.

2. Bapak H. NurHasan, M.A. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) yang telah membantu dan memudahkan penulis dalam proses terlaksananya skripsi ini.

(6)

ii

4. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA. Selaku dosen pembimbing, yang telah menyisikan waktunya guna membimbing penulisan skripsi ini dengan baik. Beliau juga mengajarkan Penulis untuk lebih teliti dalam menggunakan sumber-sumber. 5. Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A. Selaku Dosen Penasehat Akademik, yang selalu

memberikan arahan serta motivasi dalam belajar.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

7. Ibunda tercinta ibu Rohanah dan juga kepada Ayahanda tersayang Ayah Muhammad Wildan yang selalu memberikan arahan, doa, dan semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Penulis yang sedang mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan cita-citanya.

8. Seluruh dosen dan Staf fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.

9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.

10. Keluarga besar Hj. Muhammad Aidi dan Keluarga Besar H. Muhammad Asnawi yang selalu memberi motivasi kepada Penulis.

11.Teman seperjuangan SKI 2010, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang membantu terselesaikannya skripsi ini, yang selalu memberikan inspirasi, semangat dan keceriaan. Walaupun kita berpisah, Semoga silaturahim kita tetap terjalin sampai kapan pun.

(7)

iii

13.Teman BRT yang selalu memberikan support untuk penulis.

(8)

iv ABSTRAK

Ahmad Rifai

DIASPORA ULAMA YAMAN PADA ABAD 20 DI MEKKAH-MADINAH (HABIB ZAIN BIN SMITH)

Skripsi ini ingin mengkaji diaspora ulama Yaman dan kontribusinya di Mekkah-Madinah. Kota Tarim di Yaman merupakan kota pengahasil ulama terbesar di dunia. Selain itu kota ini memiliki banyak masjid dan rubath yang bersejarah. Ditambah kota ini juga memiliki makam-makam ulama Tarim. Pada skripsi ini penulis melihat satu contoh ulama Yaman yang melakukan diaspora yaitu Habib Zain bin Smith. Beliau berdiaspora ke Madinah pada tahun 1985 M, kemudian beliau mengajar di rubath al-Jufri dan diangkat menjadi Mufti disana, ia memiliki banyak murid dari berbagai wilayah di dunia. Karya yang cukup terkenal Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Al Ba’alawi, kitab yang berisi asal-usul Thariqah Alawiyah. Lewat penelaahan penulis terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ulama Yaman berdiaspora ke berbagai wilayah. Pertama melakukan aktivitas perdagangan dan kedua untuk berdakwah atau menyebarkan agama Islam dengan damai.

(9)

v

A. Diaspora Ulama Hadhrami : Suatu Penjelasan Umum ... 27

B. Penyebaran Ulama Yaman ... 35

B. Habib Zain bin Smith, Biografi dan Karyanya ... 56

(10)

vi

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yaman memiliki peran penting dalam tradisi keilmuan agama Islam, itu disebabkan karena di Yaman banyak melahirkan ulama yang berkontribusi besar dalam memajukan tradisi tersebut, salah satu bukti yang terpenting berkembangnya

mazhab fiqih Syafi‟i, yang tersebar luas ke beberapa wilayah di dunia Muslim seperti,

Hijaz, Afrika Utara, India, dan Asia Tenggara. Mazhab Syafi‟i ternyata memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bidang pendidikan agama Islam di Yaman. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Rubath yang menggunakan mazhab tersebut dalam kurikulum pendidikan mereka, terutama yang menyangkut ilmu fiqih. Rubath memiliki kesamaan sistem dengan pesantren. Salah satu Rubath terbesar di Yaman terletak di Kota Tarim, dimana siswa yang belajar di sana datang dari berbagai negara di luar Yaman.1

Selain mazhab Syafi‟i, pengaruh tradisi keilmuan agama Islam Yaman lainnya

yang tersebar ke berbagai wilayah di dunia adalah Thariqah „Alawiyah. Thariqah ini awalnya dipelopori oleh al-Imam Muhammad bin Ali Ba‟alawi, lahir di Kota Tarim

1

(12)

pada tahun 574 H dan wafat disana pada tahun 653 H.2 Ajaran yang dikembangkan

oleh Thariqah „Alawiyah mencakup wirid, syair, sastra, tasawuf, fiqih, hadits, dan

tarikh. Di luar negara Yaman, seperti di Mesir, Syam dan Hijaz, Thariqah „Alawiyah di samping sebagai metode pengajaran, juga berfungsi sebagai faktor atau sarana bagi tersebarnya agama Islam.3 Thariqah ini berkembang sampai ke Mekkah-Madinah, dengan tokohnya yang terkenal ialah al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf dan Habib Zain bin Smith. Al-Habib „Abdul Qadir lahir di Kota Seiwun, Hadhramaut pada bulan Jumadilakhir 1331H/1913M dan kemudian hijrah ke Kota Mekkah. Di sana beliau mengajar fiqih, tasawuf, tafsir, dan lain sebagainya.4 Ulama Yaman yang berperan dalam tradisi keilmuan agama Islam di Kota Madinah adalah Habib Zain Bin Smith. Beliau lahir Jakarta pada 1357/1936.5

Al-Habib „Abdul Qadir dan Habib Zain bin Smith merupakan contoh dari sekian banyaknya ulama Yaman yang berpengaruh dalam menyebarkan tradisi keilmuan Islam di luar Yaman. Ajaran Al-Habib „Abdul Qadir dan Habib Zain bin Smith yang identik dengan Thariqah Alawiyah diterima dengan baik oleh masyarakat Mekkah-Madinah. Bahkan, mereka memiliki banyak murid yang datang bukan hanya dari Kota Mekkah dan Madinah saja, melainkan juga dari berbagai Negara di dunia, salah satunya Indonesia.

2

Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19.

3

Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 30

4

http://www.banialawi.com/v1/index.php/al-habib-abdul-qadir-al-saggaf/biography

5

(13)

Sebagai kota suci umat Islam, Ulama Yaman yang berkunjung ke Mekkah-Madinah bukan hanya untuk tujuan ibadah saja, melainkan juga menuntut ilmu dan menjadi mufti/ulama di sana. Kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat kebudayaan dan pusat studi ilmu-ilmu keislaman. Umumnya pendidikan agama Islam dijalankan di Masjid al-Haram, Masjd an-Nabawi, dan Rubath.6

Pertanyaan pokok yang perlu diajukan adalah: bagaimana ulama yang datang dari Kota Tarim, Ulama Yaman mampu mendapatkan posisi penting dalam pengajaran di madrasah-madrasah di Kota Mekkah-Madinah. Agar diizinkan mengajar di institusi-institusi pendidikan agama di Mekkah-Madinah, Ulama dari Kota Tarim, Yaman dan guru lainya diwajibkan mempunyai ijazah (sertifikasi), yang menjelaskan kredensial akademik pemegangnya. Kredensial terpenting adalah ‘isnad, yakni mata rantai otoritas yang menunjukan hubungan yang tidak terputus antara guru dan murid dalam transmisi kitab-kitab atau ajaran tertentu. Ijazah biasanya dikeluarkan oleh guru yang diakui kewenangannya kepada muridnya setelah yang terakhir ini belajar dengannya.7

Kota Tarim dikenal sebagai penghasil ulama-ulama terkemuka bermazhab Syafi‟i.

Abdul Qadir dalam bukunya yang berjudul “Tarim Kota Pusat Peradaban Islam”

mengatakan dari kota ini, mereka (ulama-ulama Yaman) bermigrasi untuk berdakwah ke berbagai pelosok dunia.8 Mereka memperkenalkan Islam dengan cara dan metode yang sangat mulia (bil hikmah wal mau’idhah hasanah), tanpa kekerasan, apalagi

6

Belajar Islam di Timur Tengah. Departemen Agama, h. 19

7

Untuk pembahasan tentang ijazah, lihat 7Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 78.

8

(14)

terror, sehingga masyarakat setempat merasakan esensi ajaran Islam yang sesungguhnya, dan pada akhirnya Islam dapat diterima oleh semua golongan. Mereka yang notabene imigran pandai menyesuaikan diri dengan adat dan budaya setempat.9

Hingga saat ini, Kota Tarim tetap eksis dalam memperkenalkan pemahaman-pemahaman Islam yang damai. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelajar dan mahasiswa mulai dari Asia terutama Indonesia, Afrika, hingga Eropa, yang menimba ilmu di kota yang berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa ini. Di Kota Tarim terdapat tiga pusat ilmu dan dakwah yang tersohor dan terkemuka di dunia yaitu Rubath Tarim,

Darul Mustafa dan Darul Zahra untuk muslimah serta Universitas Al-Ahqaf

(berpusat di Mukalla tetapi mempunyai cabangnya di Tarim). Ketiga pusat ilmu ini telah memberikan sumbangan yang amat besar dalam melahirkan kader agama yang dengan mereka tersebarlah ilmu dan amalan Islam, selain mengukuhkan tali ikatan antara sadah alawiyyin dengan muhibbin dibelahan dunia.10

Kisah perjuangan para penyebar Islam dan sumbangsih kota keramat inilah yang menginspirasi Organisasi Islam untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (ISESCO), salah satu badan di bawah naungan OKI (Organisasi Konferensi Islam) menganugrahkan penghargaan bergengsi kepada Tarim sebagai

9

, M Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakata: Garafindo Persada, 2000. hal. 54

10

(15)

Pusat Kebudayaan Islam Dunia 2010 M („Ashimah al-Tsaqafah al-Islamiyyah 1431

H).11

Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji Diaspora Ulama Yaman pada abad 20 di Kota Mekkah-Madinah. Dengan sumber-sumber tertulis yang penulis dapatkan, penulis menelaah bahwasanya diaspora ulama Yaman ke Kota Mekkah-Madinah pada abad 20 ternyata memiliki kontribusi besar dalam bidang pendidikan agama Islam di kota tersebut. Salah satu ulama tersebut adalah Habib Zain bin Smith.

B. Pembatasan Masalah

Dengan demikian penelitian ini difokuskan pada wilayah Mekkah-Madinah pada abad ke-20 di mana pada abad tersebut banyak ulama Yaman berdiaspora ke Mekkah-Madinah, salah satunya Habib Zain bin Smith.

C. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas kemudian penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa faktor yang melatarbelakangi diaspora Ulama Yaman?

2. Kontribusi apa saja yang diberikan ulama Yaman di Mekkah-Madinah?

11

(16)

D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan Skripsi ini adalah

a. Mengetahui sejarah diaspora Ulama Yaman ke Kota Mekkah-Madinah pada abad 20

b. Memahami lebih dalam peranan Ulama Yaman dan kontribusinya di Mekkah-Madinah di dalam bidang keagamaan.

2. Kegunaan Penulisan

a. Memberikan informasi tentang ulama-ulama Yaman, khususnya ulama yang berasal dari Tarim, yang dianggap kota penghasil ulama terkemuka.

b. Menambah Khazanah kesejarahan dan pengetahuan tentang sejarah Yaman, dan kontribusi ulama Yaman di Mekkah-Madinah.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan Skripsi dengan judul ‘Diaspora Ulama Yaman di Mekkah-Madinah Pada Abad 20 : Habib Zain Bin Smith ’’, dalam pencarian pada

repository universitas-universitas lain belum ada yang menggeluti bidang ini (Diaspora Ulama Yaman di Mekkah-Madinah).

Namun terdapat beberapa journal penelitian tentang diaspora, dengan judul

“Peranan Arab Hadhrami di dalam mempengaruhi politik Istana Kerajaan Johor

(17)

keagamaan di Yaman dan pengaruh Hadhrami di bidang politik, ekonomi di Malaysia.

Leif Manger, dengan karyanya yang berjudul The Hadrami Diaspora Community-Building on the Indian Ocean Rim (New York: Berghahn Books. 2010) merupakan salah satu sederet yang membahas Diaspora Hadhrami. Secara umun karya Manger mengupas tentang diaspora Hadhrami, dan tradisi keagamaan di Yaman, namun sayangnya dalam buku ini tidak membahas Diaspora Hadhrami di Mekkah-Madinah, buku ini hanya membahas Diapora Hadhrami di wilayah Afrika, India, dan Asia Tenggara.

Selain itu penulis menemukan karya Badri Yatim dalam disertasinya yang berjudul Perubahan Sosial Politik di Hijaz 1800 S/D 1925 Dan Pengaruhnya Terhadap Lembaga Dan Kehidupan Keagamaan (Prespektif Sejarah Sosial), (Jakarta: 1998) yang menjelaskan tentang kehidupan ulama di Hijaz, namun dalam disertasi ini hanya membahas ulama dari Turki dan Mesir, tidak membahas ulama dari Yaman.

F. Metode Penelitian

(18)

Alawiyah, Perpustakaan Imam Jama, e-resources milik PNRI, serta tempat-tempat lain yang dapat penulis manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini di perpustakaan digital.

Jenis tulisan yang banyak diambil adalah buku yang banyak mengusung tema-tema tentang Yaman dan diaspora hadhrami, selain itu ada juga beberapa artikel dari Jurnal dan Majalah. Sementara itu, sumber utama yang dirujuk oleh penulis adalah buku karangan Habib Zain bin Smith. Habib Zain merupakan salah satu ulama Yaman yang melakukan diaspora pada abad 20, selain itu penulis memakai buku Engseng Ho, yang menjelaskan detail diaspora Hadhrami dari pelabuhan Aden ke berbagai wilayah di dunia.

Mengkaji tulisan tidak hanya dengan membaca tetapi dibutuhkan cara dan metodelogi yang nantinya akan bermanfaat untuk menggali ideology tulisan tersebut. Untuk itu penulisan skripsi ini selain dengan memakai metode deskrptif – analitis juga menggunakan metodelogi Hermeunetika. Metode deskriptif – analitis dipakai untuk menggambarkan proses, sebab musabab terjadinya peristiwa secara kronologis. Sedangkan hermeunetika dipakai untuk menambah khazanah informasi sejarah. Berbagai informasi yang didapat, dikumpulkan dan diinterpretasikan faktanya. Hasil interpretasi fakta ini diwujudkan dalam bentuk penulisan atau lazimnya disebut historiografi.

(19)

didapat penulis untuk kemudian direkontruksi ulang sesuai dengan maksud dan tujuan penulis.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri ke dalam lima Bab pembahasan.

Bab Pertama, membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan rumusan masalah, landasan teori, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan.

Bab Kedua, Kota Tarim : Simbol Kota Ulama.

a. Tarim, Kota Sejuta Wali b. Pemakaman di Kota Tarim

c. Masjid-masjid Bersejarah di Kota Tarim d. Pendidikan di Kota Tarim

Bab Ketiga, Diaspora Ulama Yaman.

a. Teori Diaspora Hadhrami b. Penyebaran Ulama Yaman

1. Afrika

2. Asia Tenggara 3. Asia Selatan

(20)

a. Diaspora Ulama Yaman di Timur Tengah (Mekkah-Madinah) b. Biografi Habib Zain Bin Smith

c. Karya-karya Habib Zain Bin Smith

(21)

11

TARIM : PROFIL KOTA ULAMA

A. Tarim, Kota Sejuta Wali

Suasana kota-kota Hadhramaut cukup menyenangkan. Walaupun jalanannya banyak yang terbuat dari batu, namun rata-rata bersih karena angin sahara sering turut menyapu jalan-jalan kota itu. Di setiap rumah penduduk Hadhramaut, jarang sekali kita jumpai kursi tamu. Yang ada adalah qatifah,1 tempat menampung dhuyuf.2 Fungsi permadani disini menjadi serba-guna, selain untuk menerima tamu,3 namun juga digunakan untuk tempat makan. Tak jarang tempat yang sama ini juga dibuat untuk aktivitas ibadah, seperti shalat, rauhah4 maupun dzikir. Bahkan jika ruangan kamar tak cukup untuk menerima tetamu yang tidur, qatifah menjadi alternatif sebagai tempat tidur cadangan. Sisa-sisa tradisi semacam ini masih sering kita jumpai dalam keturunan Hadrami di Nusantara.5

Diantara pelabuhan yang cukup penting di Pantai Hadhramaut adalah Syihir dan Mukalla. Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan

(22)

terutama Moskat, Dzafar dan Aden serta perdagangan dengan Bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu.6 Di kota ini terdapat lebih dari 500 bangunan rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima.7 Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadhramaut sejak jatuhnya Syabwah pada abad ke-3 H sampai abad ke-16 H. karena di bangunnya wadi atau lembah yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya pada tahun 1532 M dan 1533 M.

Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam yang merupakan ibukota Hadhramaut ini adalah Ghurfah, Seiwun, Taribah, Gharaf, al-Sawari, Tarim, Inat dan Qasam. Seiwun merupakan kota terpenting di Hadhramaut pada abad ke-19 H, kota terbesar ini yang terletak 320 km dari Mukalla, Seiwun juga sering dijuluki ‘Kota Sejuta Pohon Kurma’. Hal ini dikarenakan luasnya perkebunan kurma yang terdapat di

sekitarnya. Kota Tarim terletak sekitar 35 km di Timur Kota Seiwun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain dikelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dahulu Tarim merupakan pusat Madzhab Syafi’i. Antara abad ke-17 dan abad ke-19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama.

Nama Tarim menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadhramaut. Dia diyakini hidup tiga ribu tahun sebelum agama Islam diwahyukan. Kota tersebut juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau Kota Tarim

6

Syibam merupakan kota Arab terkenal yang di bangun menurut gaya tradisional.

7

(23)

yang rindang, dikarenakan banyaknya pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan Kota ash-Shiddiq. Hal ini karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ra ketika menyeru untuk membai’at Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq ra

sebagai khalifah. Maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya. Hingga pada waktu itu, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra mendoakan penduduk Kota Tarim dengan tiga doa yang masyhur: Doa pertama, agar kota tersebut makmur. Doa kedua, agar airnya melimpah dan berkah. Doa ketiga, agar Kota Tarim ini dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abad berkata bahwa

Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada penduduk Tarim secara khusus.8

Menurut catatan kitab al-Ghurar yang dikarang oleh Syeikh Muhammad bin Ali bin Alwi Khirid, keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke Kota Tarim sekitar tahun 521 H.9 Setelah kepindahan mereka, Kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di Masjid Agung Kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih. Adapun orang yang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke Kota Tarim

adalah Syeikh Ali bin Alwi Khali Qasam dan saudaranya Syeikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.10 Diceritakan Kota Tarim terdapat tiga keberkahan : pertama, keberkahan pada setiap masjidnya, kedua,

8

Al-Syilli, al-Masra al-Rawi, h. 252.

9

Al-Syilli, hal. 251. Pada kitab al-Ghuror halaman 70, tertulis tahun 521 H.

10

(24)

keberkahan pada tanahnya, ketiga, keberkahan pada pegunungannya. Keberkahan masjid itu bisa dilihat dari banyak ulama yang lahir dari kota tersebut.11

Selain itu, Kota Tarim juga terkenal dengan banyaknya orang saleh. Bahkan bukan menjadi keanehan apabila seorang penyapu jalanan di Hadhramaut telah menghafal al-Qur’an 30 juz. Telah dijelaskan dibeberapa kitab klasik, diantaranya Kitab Qiladatun an-Nahri fii Wayaat A’ya an-Naddhari, karya al-‘Allamah asy -Syeikh Muhammad Thayyib Abu Mahramah ra mengatakan : “Ketika Imam al -Muhajir sampai ke Hadhramaut, mereka mengakui keagungan al-Imam -Muhajir ra

serta kemuliannya. Sedangkan di Kota Tarim pada saat itu tidak kurang dari 300

mufti.12

Maka tidak mengherankan jika pada saat itu, tepatnya mulai tahun 461 H, Kota Tarim yang subur, semakin semarak dan bersinar dengan cahaya ilmu, sehingga banyak berdatangan pelajar dari berbagai penjuru dunia ataupun orang yang sekedar berziarah memperoleh berkah. Sehingga, muncul pengakuan dari berbagai pihak, Kota Tarim dikenal sebagai tempat tinggal as-Saadah al-‘Alawiyin, diantaranya adalah Assegaf, al-Aydrud, al-bin Syihab, al-Haddad, asy-Syathiri, al-Attas, al Muhdhar, bin Hafidz, al-Habsyi, bin Smith dan lain sebagainya.

Bangunan-bangunan di Kota Tarim penuh dengan seni. Yang lebih mengagumkan adalah, mereka membangun rumah tanpa menggunakan bahan-bahan layaknya sebuah bangunan kokoh. Mereka cukup menggunakan bahan baku tanah liat dan

11

Al-Syilli, al-Masra al-Rawi, h. 262.

12

(25)

kayu-kayu serta batu, namun dapat membentuk rumah sampai lantai lima. Di kota ini juga terdapat sebuah menara masjid yang menjadi keajaiaban dunia, yang tingginya mencapai 45 meter. Karena bahan bakunya hanyalah dari tanah liat, maka tidak bisa dipungkiri bahwa keistimewaan inilah yang menjadi daya tarik bagi turis dari berbagai macam negara yang datang hampir setiap hari, yang berekreasi hanya sekedar melihat bangunan di Kota Tarim atau mengadakan penelitian. Benteng dan istana paling menonjol di Kota Tarim adalah Benteng Najeer, yang terletak 6 km di sebelah timur Kota Tarim dan Benteng Al-Irr yang terletak di samping Al Sawm, 15 km sebelah timur dari Tarim.13

Kaum Alawiyin di Kota Tarim pada khusunya dan di Hadhramaut pada umumnya tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama. Mereka lebih menonjolkan akhlak serta budi pekerti luhur, hidup dengan zuhud terhadap hal-hal duniawi, tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi, mereka juga menghindar dari popularitas.14 Dalam hal ini, al-Imam al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra berkata: “Syuhrah

bukan adat kebiasaan kami, Kaum Alawiyin.”

Imam asy-Syeikh Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra beliau seorang ulama yang cukup terkenal di Yaman. Beliau menauladani cara hidup para leluhurnya, baik dalam usahanya menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun hal-hal yang lain. Imam asy-Syaikh Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra selalu beribadah, bertafakur dengan menyendiri di sebuah syi’ib15

(26)

pada setiap sepertiga terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca al-Quran hingga dua kali tamat dan setiap siang hari ia membacanya hingga dua kali tamat. Makin lama kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca al-Quran empat kali tamat di siang hari dan empat kali tama di malam hari. Bahkan disebutkan, ia hampir tak pernah tidur.

Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata: “Bagaimana orang dapat tidur

jika miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat nereka?” Selama

satu bulan beliau beruzlah16 di syi’ib tempat pusara Nabi Allah Hud as, selama

sebulan itu ia tidak makan kecuali segenggam roti yang terbuat dari terigu. Demikianlah cara mereka bermujahadah di jalan Allah Swt. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan Allah Swt. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama manusia, para Sayyid Kaum Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan Agama Islam.

Mengenai kesalehan orang-orang Tarim, Sultan Abdullah bin Rasyid bin Abi Qathan al-Himyariy berkata, “Di negeriku ini (Tarim), ada tiga perkara yang aku banggakan kepada raja-raja terdahulu: pertama, tak ada barang haram beredar di

sini. Kedua, tak ada maling berkeliaran. Ketiga. Tak ada orang meminta-minta.”

Semua itu berkat sikap saling kasih di antara penduduk Kota Tarim.17

16

Menyendiri

17

(27)

Tarim adalah kota yang unik. Lain dari yang lain. Bila kota-kota lazimnya dikunjungi karena keindahan panoramanya, Kota Tarim diminati penziarah karena penduduknya yang dikenal shaleh, dan banyaknya makam-makam para ulama di kota itu, disana terdapat beberapa pemakaman yang terkenal di Kota Tarim.

B. Pemakaman di Kota Tarim

Pusat pemukiman Kaum Alawiyin di Hadhramaut adalah Kota Tarim. Di kota nenek moyang Wali Songo ini terdapat pemakaman yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zambal, Furaith dan Akdar. Di pemakaman Zambal, para Sayyid terkemuka dari Kaum Alawiyin dimakamkan. Di tempat ini banyak dimakamkan para auliya Allah Swt dan orang shaleh yang masih keturunan Baginda Rasulullah Saw, selain para habaib juga terdapat masyaikh. Sedangkan di pemakaman Furaith terdapat pemakaman para masyaikh dan Akdar merupakan pemakaman umum.

1. Pemakaman Zambal

Di pemakaman Zambal, para Saadah al-Asyraf, ulama al-amilin, auliya dan salihin yang tidak terhitung jumlahnya dimakamkan di sana. al-Iman asy-Syeik Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra berkata: “Lebih dari seribu

ribu auliya al-akbar, delapan wali quthub dari keluarga Alawiyin dimakamkan di

pemakaman Zambal.”18

18

(28)

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syeikh Sa’ad bin Ali ra: “Di

pemakaman Zambal, dimakamkan beberapa para sahabat Rasulullah Saw. Mereka

wafat ketika menunaikan tugas untuk memeramgi ahli riddah. Mereka banyak yang

wafat di Tarim dam tidak diketahui dimana mereka dimakamkan.

2. Pemakaman Furaith

Selain pemakaman Zambal, terdapat pula pemakaman Furaith.19 Di tempat tersebut dimakamkan para ulama auliya, shalihin yang tak terhitung jumlahnya. Mengenai hal ini, al-Imam asy-Syeikh Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra berkata: “Di tempat itu dikuburkan lebih dari sepuluh ribu wali.”

Beberapa ulama ahli kasyaf20menyaksikan, sesungguhnya rahmat Allah Swt yang turun pertama kali di dunia ini adalah pemakaman Furaith. Asy-Syekh Abdrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah, al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Abubakar bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan sebagian ulama di kota Mekkah menceritakan dibawah tanah pemakaman Furaith terdapat taman-taman surga.21

19

Dalam kamus Bahasa Arab arti Furaith adalah gunung kecil.

20

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang: Pustaka Basma, 2012, h. 135.

21

(29)

3. Pemakaman Akdar

Pemakaman ketiga yang terkenal di kota Tarim adalah pemakaman Akdar. Dipemakaman Akdar ini banyak dimakamkan para ulama, auliya, al-Arifin dari keluarga al-Bashri, keluarga Jadid, keluarga Alwi, keluarga Bafadhal, keluarga Baharmi, keluarga Bamashun, keluarga Bamarwan, keluarga Ba’Isa, keluarga

Ba’Ubaid serta beberapa keluarga habaib dan masyaikh lainnya.

C. Masjid bersejarah di Kota Tarim

Selain pemakaman yang makmur akan aulianya, di Kota Tarim juga terkenal dengan bangunan masjidnya, yang selalu rama digunakan ibadah oleh para penduduknya. Banyaknya masjid di kota Tarim merupakan bukti bahwa penduduk kota Tarim termasuk masyarakat yang gemar melaksanakan shalat berjama’ah serta

mencantai ilmu pengetahuan. Karena khususnya di Kota Tarim atau umumnya di Negara-negara Arab, masjid digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar. Menurut beberapa sumber, di Hadhramaut terdapat sekitar 365 jami. Jumlah ini sama dengan jumlah hari dalam setahun. Rata-rata masjid yang ada sudah makmur.22

Sesudah kepindahan keluarga Ba’alawi masjid menjadi tempat pendidikan yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Masjid-masjid di Tarim tidaklah semewah masjid di Indonesia, masjid disana hanya tersusun dari batu-batu sederhana dan beralaskan sederhana, dengan desain yang sangat sederhana. Meskipun demikian,

22

(30)

setiap waktu masjid-masjid di kota Tarim tidak pernah sepi dan I’tikaf, orang berdzikir, shalat, membaca al-Qur’an, mengkaji hadits serta mengadakan majelis ta’lim.23

Umumnya masjid yang berada di kota Tarim terbuat dari tanah, dengan campuran rumput kering dan batu kerikil dan batu kerikil untuk dijadikan bahan baku bangunan. Walaupun terbuat dari tanah, masjid-masjid tersebut berdiri dengan kuat dan kokoh hingga berumur mencapai sekitar 700 tahun. Beberapa masjid yang berada di kota Tarim antara lain adalah Masjid Ba’alawi, Masjid Assegaf, Masjid Jami al-Mudhar, Masjid al-Aydrus, Masjid asy-Syeikh Ali bin Abibakar as-Sakran dan Masjid al-Imam al-Haddad.

D. Pendidikan di Kota Tarim

Di kota Tarim sendiri banyak terdapat lembaga pendidikan yang sudah terkenal menghasilkan da’i-da’i yang selalu mengedepankan akhlak dan hikmah dalam berdakwah, jauh sekali dari sikap radikalisme dan kekerasan. Beberapa institusi atau lembaga pendidikan tersebut diantaranya adalah:

1. Rubath Tarim

Berdirinya Rubath Tarim merupakan hasil pertemuan para ulama Tarim dari keluarga al-Haddad, as-Sry, al-Junaid dan al-Arfan untuk mendirikan sebuah

23

(31)

Rubath,24 yang kemudian dinamakan Rubath Tarim. Persyaratan bagi calon pelajar juga dibahas pada kala itu. Kriteria utama diantaranya calon santri adalah penganut salah satu madzhab dari empat madzhab fikih terkemuka dalam Ahlusunnah Wal Jama’ah25

dan dalam akidah berkiblat al-Asy’ariyah ataupun al-Maturidiyyah.

Setelah membuat kesepakatan tersebut, maka dimulailah pembangunan Rubath Tarim. Untuk keperluan ini, al-Habib Ahmad bin Umar asy-Syathiri26 mewakafkan rumah dan pekarangannya yang berada di sebelah pasar di halaman masjid jami kota Tarim dan masjid Babthainah.27 Selain itu, wakaf juga datang dari al-Muhaddis Muhammad bin Salim as-Sry.28

Al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri29 menambahkan bahwa pedagang-pedagang dari keluarga al-Arfan juga mewakafkan tanah yang mereka beli di bagian Timur, mereka kemudian dijuluki tujjaru ad-dunya wa al-akhirah.30 Datang pula sumbangan melalui wakaf rumah, kebun, dan tanah milik keluarga-keluarga habaib di luar Yaman, di antaranya dari Mekkah, Madinah, Indonesia, Singapura, Bombosa Afrika, serta beberapa Negara lainnya.

Akhirnya selesailah pembangunan Rubath Tarim di bulan Dzulhijjah tahun 1304 H dan secara resmi pada 14 Muharram 1305 H. keluarga al-Attas tercatat sebagai santri pertama yang belajar di Rubath Tarim, baru kemudian datang keluarga

24Ma’had atau institusi pendidikan yang berbasis pondok pesantren klasik. 25Madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hambali.

26

Wafat di Kota Tarim pada tahun 1306 H.

27

Yang sekarang menjadi masjid Rubath Tarim.

28

Lahir di Singapura pada tahun 1264 H dan wafat di Kota Tarim pada tahun 1346 H.

29

Pengasuh Rubath Tarim sekarang.

30

(32)

Habsyi, begitu selanjutnya berdatangan para pelajar, baik dari Hadhramaut sendiri maupun dari luar Hadhramaut bahkan dari luar negeri Yaman, hingga dari berbagai penjuru dunia.

Mufthi Dhiyar Hadramiyah Imam Habib Abdurrahman bin Muhmmad al-Masyhur,31 merupakan pengasuh pertama Rubath Tarim. Beliau lahir di kota Tarim tahun 1250 H. Beliau mengasuh Rubath Tarim hingga tahun 1320 H, dengan dibantu ulama-ulama lain yang ada pada masa itu. Kemudian dilanjutkan oleh al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur, lahir di kota Tarim pada tahun 1274 H. Beliau mengasuh Rubath Tarim sejak wafatnya sang ayah yakni al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, hingga tahun 1344 H ketika beliau berpulang ke rahmatullah pada tahun itu pada tanggal 9 Syawal.

Al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syatiri,32 yang kemudian diberi mandat oleh pemuka kota Tarim untuk menjadi pengasuh ketiga yang semula menjadi wakil al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur sejak tahun 1341 H, jika beliau berhalangan dan telah menjadi pengajar di Rubath Tarim sejak datang dari kota Mekkah pada tahun 1314 H. Dan di lanjutkan al-Habib Mahdi bin Abdullah bin Umar asy-Syatiri sebagai pengasuh keempat, al-Habib Hasan bin Abdullah bin Abdullah bin Umar asy-Syatiri sebagai pengasuh kelima, dan yang terakhir atau sampai saat ini al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar asy-Syatiri.

31

Penulis Kitab Bugyatul Mustarsyidin.

32

(33)

Sejak berdiri hingga sekarang atau sekitar kurang lebih 125 tahun, pengajian di Rubath Tarim dilaksnakan dengan sistem halaqah yang dibimbing oleh para

masyaikh.33 Klasifikasi ini disesuaikan dengan tingkatan masing-masing pelajar. Tiap halaqah mengkaji disiplin keilmuan. Tak kurang dilaksanakan dengan sistem

halaqah sejak pagi hingga malam mengkaji ilmu-ilmu agama dan diikuti oleh para pelajar dengan disiplin dan khidmat.

2. Darul Musthafa

Darul Musthafa merupaka sebuah bukti benteng Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah

dengan madzhab Syafi’I di negeri Yaman. Dari Darul Musthafa inilah telah

bermunculan kader da’i-da’I muda yang berdakwah dengan mengusung semboyan

bil hikmah wal mauidzah hasanah ‘ala Thariqah Ba’alawi.34

Darul Musthafa yamg terletak di Kota Tarim, Hadhramaut ini, didirikan oleh seorang habib muda yang memiliki semangat dakwah tinggi, yaitu al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Darul Musthafa ini mula-mula berdiri pada akhir tahun 1414 H yang bertepatan dengan tahun 1993 M di belakang kediaman al-Habib Umar bin Hafidz di kota Tarim, Hadhramaut. Al-al-Habib Umar menyewa sebuah rumah di bagian belakang rumah miliknya untuk menampung sekitar 35 murid.

Awal mulanya, murid itu terdiri dari lima murid yang berasal dari Yaman dan selebihnya berasal dari Indonesia, diantaranya al-Habib Jindan bin Novel bin

33

Bentuk jama dari syeikh, yang berarti guru-guru.

34

(34)

Jindan,35 al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawa,36 serta masih banyak lagi angkatan pertama yang berasal dari Indonesia. Para murid yang berasal dari Indonesia tersebut belajar di Darul Musthafa atas kehendak dan permintaan al-Habib Umar sendiri ketika ia berkunjung ke Indonesia pada kali pertama atas undangan al-Habib Anis bin Alwi bin Ali al-Habsyi, di Solo. Setelah beberapa persyaratan dipenuhi, para santri awal dari Indonesia tersebut berangkat ke Tarim pada sekitar awal tahun 1994 M.

Menginjak delapan bulan belajar di Darul Musthafa, terjadi peperangan antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Meskipun begitu, para santri Darul Musthafa tetap tekun belajar dalam kesederhanaan. Al-Habib Umar pun tetap mengajar para muridnya mulai pagi hingga larut malam. Makanan yang dimakan al-Habib Umar dan keluarganya sama dengan apa yang dimakan oleh murid-muridnya. Pada waktu itu memang betul-betul hidup penuh kesederhanaan. Bahkan saat itu tidak ada aliran listrik. Mereka belajar dengan menggunakan penerangan lampu ala kadarnya.

Setelah jumlah murid bertambah, ruangan yang digunakan untuk belajar pun tidak mencukupi. Sehingga kemudian para murid pun dipindahkan ke masjid at-Taqwa yang letaknya tidak jauh dari rumah al-Habib Umar bin Hafidz. Dengan bertambahnya murid yang ingin belajar ke al-Habib Umar, maka dipindahkan ke

35Da’I muda yang memiliki mobilitas tinggi dalam berdakwah dan sebagai pengasuh

pesantren al-Fachiriyyah al-Habib Salim bin Jindan, Ciledug, Tangerang.

36

(35)

masjid Maula Aidid, hingga pesantren Darul Musthafa yang indah nan megah itu selesai dibangun pada tahun 1417 H yang bertepatan pada bulan Mei 1997 M.37

Metode pendidikan di Darul Musthafa tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan pesantren salaf yang berada di Indonesia pada umumnya. Hanya saja ada beberapa inovasi yang berbeda untuk mencapai efisiensi pendidikan. Salah satunya adalah pembelajaran tentang Thariqah Alawiyah. Dalam pesantren ini para murid belajar kitab-kitab fikih, tarikh, nahwu, akidah, tahfidz Al-Qur’an, tafsir, matan, hadits, serta tasawuf. Perlu diketahui bahwa di Darul Musthafa ini dakwah keluar lebih ditekankan kepada setiap muridnya.

Lama belajar setiap murid rata-rata selama empat tahun, tanpa menganut sistem kenaikan kelas. Para murid belajar secara berjenjang dengan cara memahami beberapa kitab dibawah bimbingan para guru pengajar yang ahli dan memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Setelah diuji dan lulus, mereka baru bisa melanjutkan ke kitab yang lebih sulit, jika tidak lulus dalam ujian, maka harus mengulanginya kembali.

3. Universitas al-Ahgaff

Universitas al-Ahgaff didirikan oleh al-Habib Mahfuz bin Abdullah al-Haddad dan resmi berdiri serta mulai membuka proses pendidikannya setelah mendapatkan izin resmi dari pemerintah Yaman melalui ketetapan Menteri Pendidikan Yaman

37

(36)

nomor 05 tahun 1994 M. dan telah terdaftar sebagai anggota persatuan universitas Arab.38 Dan sebagai pimpinan atau rector Universita al-Ahgaff yang sekarang adalah Prof. Dr. al-Habib Abdullah Baharun. Universitas al-Ahgaff berpusat di kota Mukalla, Ibu kota provinsi Hadhramaut.

Metode pengajaran yang diterapkan oleh Universitas al-Ahgaff selama ini adalah sistem semester, jenjang pendidikan yang terdiri dari sepuluh semester dan bisa ditempuh minimal lima tahun dan maksimal selama tujuh tahun untuk Fakultas

Syariah Wal Qanun, Fakultas Sastra. Serta Fakultas kajian Islam dan delapan tahun untuk Fakultas Tekhnik, Fakultas Ekonomi, serta Fakultas Ilmu dan Tekhnologi.

Waktu kuliahnya adalah setiap hari selain hari Jum’at. Dimulai pukul delapan

pagi sampai jam satu siang dari paket mata kuliah yang sudah ditentukan oleh pihak kuliah. Dan terkadang jadwal kuliah membengkak sampai sore hari atau malam hari menurut kondisi.

38

(37)

27

BAB III

DIASPORA ULAMA HADHRAMI

A. Diaspora Ulama Hadhrami : Suatu Penjelasan Umum

Diaspora adalah persebaran bangsa atau etnis ke berbagai dunia, dan perkembangannya yang di hasilkan karena penyebaran dan budaya.1 Diaspora Arab lebih khusus lagi Hadhrami telah menjadi bidang kajian sangat menarik. Dalam satu dasawarsa terakhir, sejumlah karya (disertasi maupun artikel) telah ditulis untuk menyoroti pergumulan komunitas ini di negara-negara tempat mereka mengembara.

Bangsa yang baik adalah bangsa yang punya tradisi tulis-menulis (diantaranya, tradisi menulis silsilah, wilayah yang pernah mereka datangi dan sebagainya) yang kuat. Hadhrami, salah satu suku dari bangsa Arab, merupakan sebuah suku yang mempunyai tradisi tersebut. Karena Hadhrami memiliki hal tersebut, orang-orang zaman sekarang mudah untuk mengetahui identitas nenek moyang mereka.

Oleh karenanya, kita dapat mengetahui rekam jejak sejarah orang-orang Hadhrami yang melakukan diaspora. Dari tradisi tulis-menulis tersebut paling tidak dapat mengetahui alasan detail mereka melakukan diaspora. misalnya ketika para Hadhrami terpaksa meninggalkan tanah air mereka yang mana tanah yang miskin dan

1

(38)

gersang menjadi alasan kuat mereka pindah untuk mencari keberuntungan di kawasan Samudera Hindia yang lebih luas dan subur.

Begitu pula dengan sayyid (keturunan Nabi Muhammad),2 mereka juga termasuk yang ikut melakukan disapora. Nantinya para imigran ini banyak yang menjadi pedagang, beberapa guru agama (ulama) dan ahli hukum, lainnya menjadi tentara bayaran, beberapa bahkan mendirikan dinasti lokal melalui perkawinan.

Para imigran Hadhrami tersebut biasanya bepergian ke wilayah baru tanpa istri dan seringkali menikahi perempuan pribumi dimana mereka tinggal.3 Keturunan mereka dikenal sebagai muwwalad (istilah dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari walada atau lahir, kalimat ini memiliki bentuk pelaku walad yang artinya anak sedangkan bentuknya jamaknya adalah awlad atau anak-anak), istilah yang juga diterapkan pada setiap Hadhrami yang lahir di luar negeri.4

Terlepas dari hal diatas, penting untuk dipahami bagaimana awalnya para Sayyid bermigrasi dari Kota Tarim, yang awalnya dipelopori Sayyid Ahmad bin Isa Al Muhajir. Ia beserta pengikutnya, datang dari Iraq dan mendirikan Rubath di Kota Tarim. Kehadiran keturunan Nabi Muhammad di Kota Tarim tentu saja tidak terlepas dari latar belakang sejarah hidup mereka, yang akhirnya membawa mereka untuk

2Di Hadhramaut, kata Syarif sering digunakan sebagai kata sifat dengan makna „agung‟.

Dalam pengertian itulah kata itu ditambahkan pada gelar Sayyid, yaitu as-Sayid asy-Syarif atau „sayyid

yang agung‟. Kata sifat itu tidak ada kaitannya dengan gelar Syarif. Lihat L.W.C van den Berg. Orang Arab di Nusantara. Jakarta : Komunitas Bambu, 2010, h. 33.

3

Para pendatang (Sayyid) yang datang dari Hadhramaut menikah dengan perempuan lokal. Lihat Ho, Engseng, The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley : University California Press. 2006, h. 235.

4

(39)

datang ke Hadhramaut.5 Meskipun para Hadhrami meninggalkan wilayah Kota Tarim, namun mereka tetap memilih berkunjung dan mendatangkan sejumlah barang dagangan ke wilayah tersebut. Anak-anak, kerabat dan lain sebagainya yang dilahirkan di luar Kota Tarim, mereka tetap datang ke wilayah asalnya.6

Kedatangan para Hadhrami yang dilahirkan di luar Kota Tarim pada dasarnya memiliki dua tujuan utama, pertama, mengajarkan kepada mereka tempat di mana mereka sesungguhnya berasal, dan kedua, mengajarkan kepada mereka bagaimana kehidupan lokal di tempat mereka berasal. Dalam hal ini, mereka yang datang ke Tarim menyesuaikan diri dengan lingkungan asal mereka, dari luar ke dalam, sebagaimana mereka beradaptasi di wilayah yang mereka tempati, dari daerah tujuan ke daerah asal. Tarim tidak lagi dilihat sebagai wilayah tujuan, sebagaimana dilakukan oleh para sayyid pada abad dua belas, namun sebagai wilayah asal.7

Para Hadhrami yang melakukan diaspora ke berbagai wilayah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tidak lah datang secara berbondong-bondong dengan seluruh keluarga mereka. Seringkali mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil. Pada umumnya mereka datang bersamaan dengan para pedagang yang datang dari wilayah lain. Dengan begitu penulis berasumsi bahwa kedatangan mereka adalah untuk keperluan perdagangan daripada menyiarkan agama Islam. Selain itu tujuan

5

Hadhramaut sendiri konon diambil dari ucapan Nabi Hud ketika akan meninggal, yakni

„Hadara al Maut”, yang artinya telah datang maut (baca: malaikat maut), sehingga nama wilayah

tersebut dikenal dengan Hadhramaut. Lihat. Abdurrahman Baraqbah. Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press, hal. 28.

6

Ho, Engseng, The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley : University California Press. 2006, h. 22

7

(40)

kedatangan mereka melewati samudera adalah untuk memperluas jaringan perdagangan. Dan kemudian melalui jalur perdagangan inilah mereka juga menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu sebagian besar Hadhrami bisa dikatakan sebagai ulama.

Sebuah contoh yang luar biasa dari diaspora Hadrami adalah kemampuan orang Hadrami mempertahankan rasa bangga dengan tanah air sekaligus rasa kesukuan mereka, sementara beradaptasi dan berkembang di wilayah yang mereka tempati. Para Hadhrami ini, dapat diumpamakan dengan seseorang yang berpijak pada dua tanah, satu kaki berada di tanah asal mereka dan satu kaki lainnya berpijak di wilayah baru. Mereka yang kemudian menikah dan membangun keluarga, tetap mempertahankan identitas mereka. Mereka mengirimkan uang untuk keluarga mereka di Hadhramaut, sering pula mengirim anak-anak mereka yang lahir di luar Hadhramaut untuk kembali ke sana menuntut ilmu, bahkan sampai kembali menetap di Yaman

(41)

lokal. Perbedaan ini muncul sebagai akibat dari keterkaitan erat dengan wilayah asal mereka, sebagaimana terlihat dari nama-nama dan marga yang digunakan.8

Engseng Ho sendiri merujuk pada dua teks yang dibuat di Gujarat dan Mekkah. Salah satu teks berjudul “The Traveling Light: Account of the Tenth Century”, karya Abdul Qadir al-Aydrus dan “, karya Muhammad bin Abi Bakr al-Shilli. Dalam teks-teks tersebut cukup banyak memberikan informasi mengenai genealogis keturunan Nabi Muhammad, kehidupan sosial orang-orang Hadhrami, dan bagaimana mereka bertahan dalam suatu lingkungan. Teks-teks ini menjadi contoh dari hibridisasi, dikarenakan isi dari teks ini yang sangat beragam. Teks ini tidak semata-mata hanya membicarakan kehidupan para keturunan Nabi yang didasarkan pada bukti-bukti historis, namun juga cerita-cerita sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.9

Marga bagi para Hadhrami menjadi salah satu penanda penting identitas mereka, khususnya dikalangan para Sayyid, disamping itu mereka juga mempergunakan nama yang memiliki hubungan dengan akar genealogisnya, di mana nama-nama yang digunakan seringkali berulang dalam sebuah siklus, maupun kesamaan dengan saudara-saudara mereka di luar sana. Persoalan nama adalah persoalan yang penting, sebagaimana persoalan mengenai hubungan genealogis. Jika nama menunjukkan hubungan genealogis, bahkan dengan nama pula menunjukkan posisi dirinya ketimbang masyarakat lokal. Para Hadhrami ini sejak dahulu gemar

8

Idrus Alwi al-Mansyhur. Sejarah Silsilah Dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Sanaz Publishing. 2002, h. 39.

9

(42)

melakukan perjalanan dengan tidak membawa istri dan anak-anak mereka, oleh karenanya tidak sedikit dari mereka yang memiliki istri lebih dari satu dan setiap anak yang lahir dari rahim perempuan lokal yang dibuahi oleh laki-laki Hadhrami akan memiliki hubungan genealogis yang sama dengan ayahnya. Dengan begitu anak-anak ini memiliki dua tipe hubungan yang saling terpaut: mereka sebagai anak-anak lokal karena dilahirkan oleh ibu yang lokal pula, sekaligus menjadi kosmopolit karena ayah mereka.

Para Hadhrami yang melakukan perjalanan tidak hanya membawa agama mereka, namun juga kebudayaan yang mereka miliki. Perjalanan mereka tidak hanya berpengaruh pada ruang dan waktu, namun juga merubah konsepsi mengenai ruang dan waktu.10 Sejarah mencatat, masyarakat Hadhrami merupakan individu-individu penting dalam usaha menyebarkan agama Islam pada awal abad ke 7 M melalui diaspora ke berbagai negara diantaranya; ke Afrika Timur (Kenya, Somalia, Tanzania), India, dan Kepulauan Nusantara.11

Kemudian, sebagian besar diaspora Hadhrami disebabkan faktor perdagangan dan motivasi dakwah Islam serta beberapa tekanan utama yang memaksa kepindahan mereka, diantaranya; disebabkan keadaan demografi Hadhramaut yang tidak

10

Ho, Engseng. The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley: University California Press, 2006, h. 32.

11

(43)

menyokong kelangsungan hidup masyarakatnya, kondisi cuaca yang tidak menentu dan keadaan politik di dalam negeri yang tidak stabil.12

Sumber-sumber penulisan Arab kontemporer menjelaskan, bahwa masyarakat Hadhrami melakukan Islamisasi melalui perdagangan dengan cara menjual hasil bumi seperti; ikan kering, batu permata, besi yang berkualitas dan kulit binatang. Istilah Hadhrami digunakan untuk menjelaskan masyarakat Arab yang menetap di luar Provinsi Hadhramaut, Negara Yaman. Hadhramaut yang menjadi tempat asal masyarakat Arab ini mempunyai sejarah yang panjang, letaknya yang berdekatan dengan Laut Merah berfungsi menghubungkan kapal-kapal perdagangan dari negeri-negeri yang ada di sebelah Timur dan Barat daerah tersebut.13

Keahlian masyarakat Arab Hadhrami dalam urusan perdagangan internasional juga didukung oleh jati diri mereka yang dibentuk oleh kehidupan sehari-hari sewaktu berada di Hadhramaut. Para peneliti sejarah mengenai pola dan budaya bisnis Arab Hadhrami menemukan, bahwa setiap kelas masyarakat memonopoli bisnis masing-masing. Bagi golongan menengah misalnya, mata pencaharian hidup mereka sehari-hari mengandalkan perdagangan dan industry. Adapun bagi golongan sayyid dan suku-suku yang menetap, mata pencaharian mereka mengandalkan pertanian, sementara suku Badui menghidupi diri dengan berburu dan berternak. Hasil pertanian dan produk industri untuk diperdagangkan ini kemudian dijual di Seiwun, sebuah kota yang memiliki pasar serta dibuka setiap kali setelah shalat Jumat di dekat

12

Omar Khulaidi, The Arabs of Hadramawt in Hyderabad in Mediaeval Deccan History. Bombay: Popular Prakashan. 1996, h. 65.

13

(44)

lapangan besar di depan masjid. Lokasi yang strategis di tanah lapang yang terbesar dan fasilitas prasarana yang baik, membuat pasar itu tersohor di kalangan pedagang yang hadir dengan berbagai urusan.

Meskipun demikian, perdagangan darat dengan masyarakat luar dilakukan hanya di daerah Hadhramaut sampai ke negeri Yaman di sebelah Barat dan Oman di sebelah Timur. Perdagangan melalui jalan laut pula lebih aktif ketika dilakukan dengan kapal-kapal buatan Eropa dan kapal-kapal-kapal-kapal buatan Arab. Semua ini dilakukan di sepanjang Pantai Timur Afrika, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pantai selatan Arab khususnya pelabuhan Maskat, Zafar dan Aden. Hasil bumi yang diperdagangkan diantaranya; gandum, madu, kurma. Dibandingkan dengan barang dagangan lain, kurma dan kapas menjadi komoditas ekspor terpenting di laut.14

Melalui isu-isu yang telah dibahas, penulis menemukan bahwa keahlian masyarakat Arab Hadhrami terhadap ilmu perdagangan dan agama menjadi faktor yang mendorong mereka untuk bermigrasi keluar. Migrasi yang dilakukan Arab Hadhrami tercatat lebih banyak tersebar di wilayah kepulauan Nusantara,15 L. Van Rijck Vorsel dalam bukunya, “Riwayat Kepulauan Hindia Timur” menjelaskan, orang Arab hadir terlebih dahulu ke wilayah Nusantara dibandingkan orang-orang Belanda. Bukti kongkritnya yakni, risalah Islam yang dibawa telah dilihat bertapak dibeberapa Kesultanan di Nusantara, diantaranya; seorang Sayyid dari

14

Abdurrahman Baraqbah. Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press, h. 23

15

(45)

keluarga Jamalulayl pernah menjadi sultan di Kerajaan Aceh, seorang bangsawan Arab dari keluarga al-Shihab berhasil mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1782 M, dan seorang dari keluarga al-Qadri mendirikan berhasil Kesultanan Pontianak pada tahun 1771.16

Jumlah migrasi masyarakat Arab Hadhrami semakin bertambah pada abad ke-18M. tentunya kehadiran mereka mampu memberikan dampak yang besar terhadap pekembangan Islam di wilayah baru yang mereka huni. Dibawah ini penulis akan menjelaskan mengenai penyebaran Hadhrami (Ulama Yaman) di beberapa wilayah.

B. Penyebaran Ulama Yaman 1. Di Asia Tenggara

Awalnya kedatangan Hadhrami di Asia Tenggara sudah berlangsung lama, yaitu sejak awal abad ke-12, sejak kedatangan Ulama Ba‟alawi dari marga Shihab ke Siak yang kemudian menjadi sultan di sana; ulama dari nasab Balfaqih ke Mindanau, Filiphina; ulama nasab Jamal al-Lail ke Perlis, yang salah satu keturunannya pernah menjabat di Kerajaan Malaysia. Kehadiran mereka di masyarakat Asia Tenggara, di terima dengan tangan terbuka bahkan mendapat tempat yang khusus dalam masyarakat, seperti buku yang ditulis Van Den Berg.17

Khususnya di Nusantara pada abad ke- 15, waktu berakhirnya kejayaan Kerajaan Majapahit, di Jawa Tengah sudah ada penduduk Hadhrami. Orang Hadhrami pada

16

A. Shihabuddin. Membongkar Kejumudan Menjawab Tuduhan-Tuduhan Wahhabi Salafi. Jakarta: PT Mizan Publika. 2013, h. 480.

17

(46)

masa itu sudah bercampur dengan penduduk setempat, bahkan sebagian di antaranya banyak menduduki jabatan tinggi di kerajaan.18

Dengan kedudukan itu mereka sudah terikat dengan tata cara pergaulan dan kekerabatan, bahkan banyak petinggi Hindu yang sudah meniru adat istiadat kebiasaan orang Arab, yang mereka terima begitu saja karena yakin kebiasaan itu berasal dari keturunan Rasulullah Saw. Pada waktu itu orang-orang Arab Hadhramaut, sudah berhasil menanamkan pemikiran baru kepada orang Hindu yang kemudian diteruskan kepada keturunannya secara berkesinambungan, yang dikemukakan Van Den Berg diatas adalah gambaran masa kehadiran walisongo di Pulau Jawa, yang merupakan kedatangan orang Hadhramaut gelombang pertama.19

Disamping itu menurut Ambarak A. Bazher dalam bukunya Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Timor Timur, “Orang Arab Hadhramaut sudah lebih dulu

tinggal di Timur Leste jauh sebelum kedatangan orang-orang Portugis di sana. karena menurut Haji Abdullah Basyrewan, rakyat yang menyambut kedatangan kapal kolonial tersebut pada tahun 1512 dipimpin oleh seorang Arab Hadhramaut yang

bernama Abdullah Bal Afif”.20

18

Natalie Mobini Kesheh. Kebangkitan Hadhrami di Indonesia. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2007, h. 38

19

Berdasarkan catatan Naqoba; Asyrof Al Kubro, kecuali Sunan Kali Jaga yang masih kontroversi, seluruh walisongo berasal dari keturunan Alawiyin dari nasab Abdul Malik atau Azmat Khan.

20

(47)

Pada awal abad ke-18, terjadi kedatangan orang Hadhramaut gelombang kedua, yang terdiri dari marga Assegaf, al-Habsyi, Alaydrus, Alatas, al-Jufri, Syihab, Syahab, Jamalulail, al-Qadri, Basyaiban, Bin Yahya.

Salah seorang ulama Hadhramaut yakni Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Basyaiban yang tiba di Cirebon dan kemudian menikah dengan puteri Sultan Cirebon. Dari pernikahannya tersebut lahir dua orang putera yaitu, Sayyid Sulaiman bergelar

“Kyai Mas Mojo Agung” dan Sayyid Abdurrahim yang bergelar Kyai Mas”.Semula

keduanya tinggal di Surabaya namun kemudian pindah ke Krapyak Pekalongan.

Di Kerajaan Jambi dan Aceh juga terdapat banyak keturunan nasab Baraqbah, al-Jufri dan Jamal al-Lail. Namun seiring dengan berjalannya waktu, nasab-nasab ini hilang karena banyak yang tidak menggunakannya lagi. Pendiri Kesultanan Siak adalah Sayyid Ali bin Utsman bin Syihab, dan Kesultanan Pahlawan didirikan oleh Sayyid Abdurrahman bin Utsman bin Syihab.

Pada gelombang pertama dan kedua mayoritas golongan Habaib atau Sayyid yang misi utamanya dakwah menyebar luaskan agama Islam, maka kedatangan gelombang ketiga mayoritas non Habaib yang disebut Ghabili21, yang lebih banyak bertujuan sosial ekonomi disamping agama.

Van Den Berg dalam bukunya Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (1989), mengatakan bahwa orang Hadhramaut non Habaib, sudah mulai menetap di Pulau Jawa pada tahun 1820. Sekalipun demikian, sebelum tahun 1859 data jumlah

21

(48)

Hadhrami di Nusantara tidak jelas, karena sering keliru dengan orang India dan orang asing lainnya yang beragama Islam.

Asosiasi Singapura dengan bangsa Arab dapat ditelusuri pada tahun 1819, ketika mereka pertama kali tiba. Sebagian besar orang Arab yang menetap di Asia Tenggara berasal dari Hadhramaut terletak di selatan ujung Semenanjung Arab (sekarang Yaman), dan dikenal sebagai Hadhrami. Pengaruh budaya Arab dan adat istiadat melayu lokal telah banyak bercampur.Banyak orang Melayu keturunan migran Arab yang datang selama waktu Raffles.

Keturunannya membentuk berbagai Hadhrami Arab keluarga dengan nama keluarga yang yang disegani di wilayah Asia Tenggara - misalnya Alattas, Aljunied, Alhaddad, Alkaff dan Alsagoff. Oleh karena itu di Singapura, seperti pada negara-negara Asia Tenggara lainnya, hampir semua migran Arab ke pulau tersebut itu berasal dari Hadhramaut.22 Salah satunya adalah Syekh Omar Aljunied.

Syekh Omar Aljunied lahir di Kota Tarim, Hadhramaut.Tidak ada catatan untuk mengkonfirmasi tahun kelahirannya yang pasti, tetapi beberapa sejarawan memperkirakan terjadi pada akhir abad ke-18. Dia mempunyai dua saudara, Ahmad dan Abdullah.Ia menikah dengan seorang wanita dari keluarga Alkaff, Sharifah 'Alwiyah binti Abdullah dan mereka memiliki dua anak perempuan dan lima anak laki-laki. Semua dari mereka lahir di Singapura.

22

(49)

Sebelum Sir Stamford Raffles memimpin Singapura, paman Syekh Omar yakni Syekh Mohamad bin Haroon Aljunied telah membuktikan dirinya sebagai pedagang yang sukses di Palembang. Mendengar berita tersebut, Raffles mendorong mereka untuk mendirikan bisnis di Singapura dan memberikan modal baru yang dibutuhkan. Tertarik dengan berita ini Syekh Mohammad berlayar dari Palembang ke Singapura, ia memilih Singapura karena pada saat itu Indonesia dijajah oleh Belanda yang membatasinya untuk berdagang, ia membawa keluarga dan keponakannya pada tahun 1819.23

Ketika Syekh Mohamad meninggal di Singapura pada tahun 1824, keponakannya yakni Syekh Omar mengambil tanggung jawab untuk menjaga bisnisnya dan mengelola kekayaannya serta merawat putranya yang masih kecil, yakni Syekh Ali Aljunied yang kemudian menjadi menantu Syekh Omar.

Selama dua dekade terakhir, penelitian mengenai diaspora Hadrami di sekitar Samudera Hindia telah menghasilkan penelitian yang menarik dari sejarah, posisi, dan peran Hadramaut dalam situasi berbeda yang membentang dari Afrika Timur ke Selatan dan Tenggara Asia.24

Secara bersama, penelitian ini menunjukkan bahwa migran dari wilayah Arab Selatan Hadramaut telah membentuk komunitas translokal yang relatif kecil,

23

C. M. Turnbull, A History of Singapore 1819-1988. New York: Oxford University Press, 1996, h. 14.

24

(50)

fleksibel, dan tangguh dalam berbagai periode dan telah terbukti sukses di arena perdagangan, agama, dan politik.

2. Diaspora Ulama Yaman Di Afrika

Pengaruh ulama Yaman di kawasan Timur Afrika utamanya terdapat di Somalia, Tanzania, Kenya, Zanzibar dan Kepulauan Comoros. Aliran pemikiran fiqih dan tasawuf Islam kawasan tersebut banyak dipengaruhi oleh saudagar dan Sayyid

Ba‟alawi Hadhramaut.

Golongan ini amat terkenal sebagai pembawa risalah Islam di kota-kota pesisir, termasuk Kepulauan Melayu sendiri. Penguasaan mereka dalam bidang agama maupun pelayaran dan perdagangan wajar diteladani, merekalah yang memimpin pelaksanaan undang-undang Syariah di bawah Kesultanan Zanzibar. Ulama yang terkenal di pulau Zanzibar dan tanah semenanjung Afrika ialah Syekh Ahmad bin Smith (qadi Zanzibar) dan Syekh Abdullah Bin Kathir (pengasas Madrasah Ba Kathir). Madrasah-madrasah pimpinan ulama Hadramaut ini menyediakan alternatif terbaik kepada sistem pendidikan sekular penjajah British pada zaman tersebut.25

Sayangnya, tidak ditemui uraian mengenai amalan tariqat golongan-golongan awal ini.Yang tercatat hanyalah generasi baru yang berhijrah setelah kemunculan Kesultanan Oman dan Zanzibar seperti Syekh Ahmad bin Smith sendiri.26

25

August H. Nimtz, Islam and Politics in East Africa. The Sufi Order in Tanzania. University of Minnesota Press, 1980. h. 90

26

(51)

Posisi mereka sangat berpengaruh walaupun bukan penduduk asal Afrika Timur. Antara faktor penguasaan mereka terhadap institusi-institusi pendidikan dan undang-undang di Afrika Timur ialah penekanan mereka terhadap pendidikan agama dan amalan-amalan bersanad dari Nabi yang diwarisi secara turun-temurun dalam ruang lingkup tradisi Sunni. Selain itu, mereka menguasai ekonomi melalui jaringan perdagangan yang dipermudah dengan adanya ikatan kekeluargaan antar golongan sayyid. Hal ini dilihat melalui usaha mencatat genealogi yang teliti dan dijaga rapi, dengan nasab keluarga maupun sanad ilmu.

Selesainya, dakwah Islam di Afrika Timur dipimpin oleh ulama sufi Alawiyyin dari Hadramaut seperti juga yang terjadi di Tanah Melayu suatu ketika dahulu. Situasi di Afrika Timur sedikit berbeda dengan sebelah barat kerana Islam sudah lama berkembang di sini. Kehadiran ulama Alawiyyin memperkokoh lagi pegangan Sunni

Syafi‟i dan aplikasinya dalam undang-undang negara dan sistem pendidikan

madrasah.

Diaspora Ulama Yaman di Asia Selatan

(52)

berdakwah. Sayyid Abdul Malik Bin Alwi lahir di Kota Qasam, sebuah kota di wilayah Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah.27

Ayah dari Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan adalah Al-Imam Alawi Ammul Faqih bin Muhammad lahir di Tarim. Beliau adalah seorang ulama besar, pemimpin kaum Arifin, hafal al-Qur‟an, selalu menjaga lidahnya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, dermawan, cinta kepada fakir miskin dan memuliakannya, banyak senyum. Imam Alwi bin Muhammad dididik oleh ayahnya dan belajar kepada beberapa ulama, di antaranya Syaikh Salim Bafadhal, Sayid Salim bin Basri, Syaikh Ali bin Ibrahim al-Khatib. Beliau wafat pada hari Senin bulan Zulqaidah tahun 613 hijriyah di Tarim dan dimakamkan di perkuburan Zanbal.

Beliau meninggalkan Hadhramaut hijrah ke India bersama jama'ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India, beliau bermukim di Kota Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir Khan abdullah bin Sayyid Abdul Malik, yang lahir di Kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir di sebuah desa di dekat Kota Nashr Abad. Beliau adalah putra kedua dari Sayyid Abdul Malik". Nama putra Sayyid abdul Malik adalah "Abdullah", penulisan "Amir Khan" sebelum "Abdullah" adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmat Khan. Al-Amir adalah gelar utuk pejabat wilayah. Sedangkan, Azmat Khan adalah marga

27

(53)

beliau mengikuti gelar Ayahanda.Istri dari Imam Abdul Malik Azmatkhan adalah Putri Raja Kesultanan Islam Nasarabad India Lama, yang bernama Ummu Abdillah.

Sebagian orang ada yang menulis "Abdullah Khan", mungkin hanya akan mengingat "Khan" nya saja, karena marga "khan" (tanpa Azmat) memang populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan "Abdullah Khan" itu kurang tepat, karena "Khan" adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan dari marga Ba'alawi, atau Al-Alawi Al-Husaini. Ada yang berkata bahwa di India, mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmat Khan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.28 Sayyid Abdullah Azmat Khan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliau pun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri.

Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan di dalam memperkenalkan sebuah budaya. Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya barat.Sampai saat ini, sejarah tertua yang didapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah. Maka, bisa jadi beliau adalah penyebar Islam

28Penelitian Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf yang dikutip dalam buku Khidmatul „Asyirah

(54)

pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda'wah di tanah Jawa. 29

Sayyid Abdullah Khan mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu'azhzham Syah Maulana Ahmad". Nama beliau adalah Ahmad, adapun "Amir Al-Mu'azhzham" adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang di agungkan, sedangkan "Syah" adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang raja, bangsawan dan pemimpin, sementara "Maulana" adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama Besar.30

29

Menurut Ad-Dawudi dalam Kitab Umdatut Thalib berkta, “”Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin „Alawi „Ammil Faqih, dan keturunannya masih ada sampai sekarang ini melalui jalur Walisongo di Jawa”

30

(55)

45

ULAMA YAMAN DI MADINAH

A. Diaspora Ulama Yaman di Tmur Tengah (Mekkah-Madinah)

Kombinasi antara Mekkah-Madinah dengan ajaran Al-Qur‟an serta Hadis Nabi dalam konteks studi keislaman tak diragukan lagi keabsahannya. Alasannya, kedua kota tersebut merupakan tempat dimana Islam pertama kali muncul dan berkembang dalam bentuknya yang paling awal. Sehingga, ilmu yang diperoleh di Mekkah-Madinah dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lain yang ada di dunia.

Lebih jauh lagi, kedatangan dan kepergian jamaah haji setiap tahunnya membuat Mekkah dan Madinah menjadi melting pot terbesar umat muslim dari berbagai penjuru dunia saat itu. Selain itu, Mekkah-Madinah adalah pusat intelektual dunia Islam. Para ulama, sufi, filusuf, penyair, pengusaha dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi.1

Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam berkaitan erat dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, rubath, dan bahkan di rumah syekh. Hal ini jelas terlihat khususnya di

1

(56)

Mekkah-Madinah, di mana tradisi keilmuan berhasil menciptakan jaringan-jaringan ulama ektensif.

Tidak ragu lagi kedua masjid suci di Mekkah dan Madinah merupakan kiblat utama bagi para ulama yang terlibat dalam jaringan ulama sejak dasawarsa terakhir abad ke-15. Selain itu, jumlah madrasah dan rubath terus meningkat setelah madrasah pertama dan kedua di Mekkah dibangun pada 571/1175 dan 579/1183. Selain itu, kedua masjid utama tersebut tetap menjadi pelengkap yang vital bagi dunia keilmuan di Tanah Suci.

Ditegaskan bahwa madrasah diorganisir secara lebih formal. Madrasah-madrasah mempunyai guru-guru, qadhi-qadhi dan pegawai-pegawai lain yang diangkat resmi. Madrasah-madrasah itu juga mempunyai kurikulum sendiri, dan bahkan kuota murid-murid dan alokasi waktu belajar sesuai dengan mazhab masing-masing. Buktinya dapat dilihat dari kasus madrasah-madrasah yang mempunyai empat bagian sesuai dengan jumlah mazhab hukum Sunni. Madrasah al-Ghiyatsiyah, misalnya, mempunyai kuota sebanyak 20 murid untuk setiap mazhab. Murid-murid Syafi‟i dan Hanafi belajar pada di pagi hari, sementara murid-murid Maliki dan Hanbali belajar pada sore hari. Pengaturan yang sama juga diterapkan pada madrasah-madrasah Sulaymaniyah.2

Lalu, ulama yang mengajar di masjid suci Mekkah dan Madinah juga sering diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari berbagai tempat di Dunia

2

Referensi

Dokumen terkait