• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Edible Coating Antimikroba Kayu Manis untuk Dodol Talas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Edible Coating Antimikroba Kayu Manis untuk Dodol Talas"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN

EDIBLE COATING

ANTIMIKROBA

KAYU MANIS UNTUK DODOL TALAS

FERISKA DEWITA SARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Edible Coating Antimikroba Kayu Manis untuk Dodol Talas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

FERISKA DEWITA SARI. Pembuatan Edible Coating Antimikroba Kayu Manis untuk Dodol Talas. Dibimbing oleh INDAH YULIASIH

Edible coating merupakan salah satu teknik yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan pada suatu produk, seperti dodol talas untuk menjaga mutu dan memperpanjang umur simpannya. Penambahan antimikroba kayu manis pada edible coating diharapkan mampu menghambat aktivitas mikroba pada dodol talas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi optimal antimikroba dari bubuk atau minyak kayu manis serta mengetahui karakteristiknya. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi edible coating terhadap karakteristik dodol talas selama penyimpanan. Konsentrasi kayu manis terpilih yakni minyak kayu manis 0,6 % dengan indeks penghambat sebesar 24,11 mm. Edible coating antimikroba memiliki pH 6,5 dan viskositas 3.480 cP. Berdasarkan hasil pengujian selama 19 hari penyimpanan, diketahui bahwa laju peningkatan kadar air, kadar FFA, dan total mikroba terkecil adalah dodol talas edible coating antimikroba dengan kemasan plastik. Hasil pengamatan diketahui bahwa penggunaan edible coating antimikroba kayu manis cukup efektif dalam meningkatkan umur simpan dodol talas. Apabila dilihat dari parameter kadar air umur simpan dodol talas yaitu 13 hari, sedangkan berdasarkan parameter kadar FFA mampu mencapai 23 hari.

Kata kunci: antimikroba, dodol talas, edible coating, kayu manis, penyimpanan

ABSTRACT

FERISKA DEWITA SARI. Production of Cinnamon Antimicrobial Edible Coating for Dodol Talas. Supervised by INDAH YULIASIH

Edible coating is one of technique that can be developed and applied on dodol talas to keep the quality and extend the shelf. The addition of cinnamon antimicrobial to edible coating is expected to inhibit microbial activity on products. The aims of this research are to obtain an optimal concentration of antimicrobial from cinnamon powder or oil, to know edible coating’s characteristics, and to determine the effect of edible coating on dodol talas characteristics during storage. The optimum concentration which slected was cinnamon oil of 0,6% with inhibition index of 24,11 mm. Antimicrobial edible coating has a pH of 6,5 and viscosity of 3.480 cP. Based on the test result during the 19 days of storage, the smallest rate of increase in water content, FFA, and total microbial was the product with antimicrobial edible coating with plastic packaging. Based on the observations, showed that use of antimicrobial edible coating was able to increase the shelf life of products up to 13 days from water content parameter, and from FFA parameter was able to increase shelf life up to 23 days.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PEMBUATAN

EDIBLE COATING

ANTIMIKROBA

KAYU MANIS UNTUK DODOL TALAS

FERISKA DEWITA SARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi :Pembuatan Edible Coating Antimikroba Kayu Manis untuk Dodol Talas

Nama : Feriska Dewita Sari NIM : F34100074

Disetujui oleh

Dr Indah Yuliasih, STP, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah Pembuatan Edible Coating Antimikroba Kayu Manis untuk Dodol Talas.

Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr Indah Yualiasih, STP, MSi selaku dosen pembimbing atas segala bantuan, arahan, dan kesabaran dalam membimbing penulis

2. Bapak Prof Dr Ir Djumali Mangunwidjaja, DEA dan Bapak Dr Ir Muslich, MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis 3. Kedua Orang tua serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dan

motivasi yang diberikan

4. Ibu Ega, Ibu Dyah, Ibu Sri, Ibu Rini, Pak Edi, Pak Gun, dan Pak Sugi selaku laboran yang telah banyak memberi saran pada penelitian ini.

5. Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis.

6. Rayza Pranadipa, atas segala dukungan dan semangat yang diberikan

7. Elok, Tiwi, Lupita, Suci, Alin, Ismanda, dan Novkur selaku teman satu bimbingan, atas segala bantuan selama penelitian

8. Keluarga besar TIN 47dan teman-teman lain, atas dorongan semangat, motivasi, dan doanya.

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkannya.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODOLOGI 2

Bahan dan Alat 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Metode Penelitian 2

Rancangan Percobaan 7

Pengolahan Data Hasil Uji 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Pembuatan dan Karakteristik Dodol Talas 8

Edible Coating Antimikroba 9

Aplikasi Edible Coating pada Dodol Talas 15

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan karakteristik dodol talas 8

2 Karakteristik edible coating antimikroba 11

3 Efektivitas penghambat edible coating terhadap Aspergillus niger 12 4 Karakteristik edible coating tanpa dan dengan antimikroba 14 5 Pendugaan umur simpan dodol talas berdasarkan kadar air 17 6 Pendugaan umur simpan dodol talas berdasarkan kadar FFA 20

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir pembuatan dodol talas (Irsyad 2011) 3 2 Diagram alir proses pembuatan edible coating antimikroba (Budiman

2011) 4

3 Diagram alir persiapan kultur uji kapang Aspergillus niger 5 4 Diagram alir uji efektivitas edible coating terhadap penghambatan

Aspergillus niger 6

5 Diagram alir proses aplikasi edible coating pada dodol talas 7 6 (a) Edible coating tanpa antimikroba; (b) Edible coating antimikroba 15 7 Grafik laju perubahan kadar air dodol talas selama penyimpanan 16 8 Grafik laju perubahan kadar asam lemak bebas (FFA) dodol talas

selama penyimpanan 19

9 Grafik laju perubahan total mikroba dodol talas selama penyimpanan 21 10 (a) Dodol talas yang ditumbuhi kapang; (b) Dodol talas edible coating

AM di hari terakhir penyimpanan 23

11 Hubungan interaksi laju perubahan kadar air, kadar FFA dan total

mikroba dodol talas selama penyimpanan 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisis 29

(11)

32

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dodol talas merupakan makanan khas Bogor yang kerap kali dijadikan sebagai produk oleh-oleh kota Bogor. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan dodol talas adalah talas bogor jenis bentul yang produksinya melimpah di Bogor. Terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam pengembangan dodol talas bogor, diantaranya adalah umur simpan dari produk dodol yang relatif singkat, yakni hanya mampu bertahan sekitar tujuh hingga sepuluh hari. Kerusakan utama dari dodol talas ini adalah mudahnya ditumbuhi kapang apabila telah mencapai waktu satu minggu serta bau tengik yang disebabkan tingginya kandungan lemak pada dodol.

Edible coating merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas dari suatu makanan. Edible coating yang diaplikasikan pada produk makanan mampu menghambat perpindahan uap air, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Bahan yang digunakan dapat terbuat dari bahan-bahan alami sehingga aman digunakan ataupun dikonsumsi. Edible coating memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak bagi pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbaharui.

Edible coating dapat terbuat dari beberapa jenis bahan, salah satunya adalah coating berbasis pati. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible coating karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Selain itu, film dari pati mempunyai permeabilitas oksigen rendah, tidak berwarna, tidak berasa, dan transparan (Lin dan Zhao 2007). Salah satu jenis pati yang dapat diaplikasikan untuk membuat edible coating adalah pati singkong atau tapioka. Tapioka mudah diaplikasikan sebagai bahan dasar edible coating karena ketersediaan bahan baku yang melimpah. Edible coating dari tapioka juga memiliki kelebihan diantaranya sifat kohesi yang sangat baik serta laju transmisi gas dan uap air yang rendah (Kroctha et al. 1994).

Penambahan antimikroba pada edible coating bertujuan untuk menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba sehingga dapat meningkatkan umur simpan produk. Kayu manis merupakan salah satu rempah yang memiliki sifat antimikroba alami. Kayu manis juga memiliki rasa dan aroma yang cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan. Penggunaan pengawet alami dapat lebih diterima oleh konsumen karena bersifat aman apabila dikonsumsi.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pembuatan edible coating dari tapioka dengan penambahan kayu manis sebagai senyawa antimikroba. Aplikasi edible coating dengan antimikroba kayu manis terhadap dodol talas.

METODOLOGI

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain bahan baku utama berupa dodol talas, tapioka, bubuk kayu manis, dan minyak kayu manis. Bahan lainnya yang digunakan adalah gliserol, asam stearat, carboxymethyl cellulose (CMC), akuades, indikator pp, NaCl, NaOH, H2SO4, alkohol 70 %, alkohol 95 %, dan heksan.

Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi meliputi media tumbuh mikroba, yaitu potato dextrose agar (PDA), plate count agar (PCA), dan nutrient broth (NB), kultur kapang Aspergillus niger.

Peralatan yang digunakan adalah inkubator, buret, oven, water bath, penangas, lemari pendingin, magnetic stirrer, gelas piala, gelas ukur, sudip, cawan petri, gegep, tabung reaksi, tip pipet, ose, jangka sorong, otoklaf, pH meter, viskometer, termometer, dan gelas arloji. Alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain cawan alumunium, cawan porselen, desikator, labu kjehdahl, seperangkat soxhlet, erlenmeyer, dan kertas saring.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Februari hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor (Laboratorium DIT 1 dan 2, Laboratorium Biondustri, Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Pengemasan, dan Laboratorium Instrumentasi).

Metode Penelitian Pembuatan dan Karakterisasi Dodol Talas

(13)

3

Garam 18 gram Santan 1,5 LSantan 1,5 L Mentega 58,8 gramMentega 58,8 gram

Tepung ketan 99,2 gram

Gambar 1 Diagram alir pembuatan dodol talas (Irsyad 2011)

Setelah dilakukan pembuatan dodol talas, selanjutnya dilakukan karakterisasi dodol talas. Uji karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis proksimat seperti kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan asam lemak bebas (FFA). Prosedur uji proksimat dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan dan Uji Efektivitas Edible Coating Antimikroba

Pembuatan edible coating dengan berbagai konsentrasi kayu manis sebagai antimikroba dilakukan untuk menentukan konsentrasi terbaik menggunakan metode difusi sumur.

1. Pembuatan edible coating antimikroba

(14)

4

Setelah campuran tapioka dan CMC homogen, gliserol 5 % (v/v) ditambahkan untuk meningkatkan elastisitas lapisan. Setelah semua larut, ditambahkan asam stearat 0,5 % (b/v) dengan tetap diaduk sampai homogen. Proses selanjutnya yaitu pendinginan edible coating pada suhu kamar. Setelah suhu larutan edible coating mencapai 40 oC, antimikroba kayu manis ditambahkan sesuai konsentrasi dan jenisnya, yaitu bubuk kayu manis 6, 8, 10 % (b/v) dan minyak kayu manis 0,2;

Pendinginan hingga suhu 40 oC Pendinginan hingga suhu 40 oC

Pengadukan hingga homogen

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan edible coating antimikroba (Budiman 2011)

(15)

5 Pengujian efektivitas edible coating antimikroba dengan metode difusi sumur Pengujian efektivitas edible coating antimikroba diawali dengan membuat kultur uji kapang. Kultur Aspergillus niger sebanyak satu ose spora diinokulasi dari agar miring potato dextrose agar (PDA) ke dalam 10 ml medium cair nutrient broth (NB) secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Diagram alir persiapan kultur uji dapat dilihat pada Gambar 3.

Uji efektivitas edible coating antimikroba dengan metode difusi sumur dapat dilihat pada Gambar 4. Media yang digunakan dalam uji efektivitas adalah potato dextrose agar (PDA). PDA sebanyak 7,8 g dilarutkan dalam 200 ml akuades, dan disterilisasi di dalam otoklaf selama 15 menit. Selanjutnya media PDA dimasukkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ± 0.1 ml dan dibiarkan padat. Inokulum kapang A. niger sebanyak 0.1 ml disebarkan ke dalam media. Pada bagian tengah media dibuat dua lubang berbentuk sumur dengan masing-masing lubang berdiameter 7 mm dengan kedalaman dari atas permukaan hingga dasar media, yaitu sekitar 5 mm. Larutan edible coating antimikroba yang telah dibuat dengan berbagai konsentrasi antimikroba, serta edible coating tanpa antimikroba dimasukkan pada setiap lubang sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan tip pipet yang telah disterilisasi. Cawan petri yang telah berisikan kapang dan edible coating, selanjutnya dinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Zona bening yang terbentuk disekitar lubang sumur diukur menggunakan jangka sorong sebanyak empat kali di tempat berbeda dan hasilnya dirata-ratakan kemudian dikurangi dengan diameter lubang. Zona bening yang terbentuk disekitar sumur merupakan area kontak edible coating dengan permukaan agar uji. Indeks penghambatan mikroba dihitung dengan menggunakan rumus yaitu:

Keterangan: Di = diameter zona bening Do = diameter awal

Inokulasi ke dalam 10 ml Nutrient Broth

Inokulasi ke dalam 10 ml Nutrient Broth

Inkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam Inkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam

Kultur uji Kultur uji Kultur murni kapang Kultur murni kapang

(16)

6

Gambar 4 Diagram alir uji efektivitas edible coating terhadap penghambatan Aspergillus niger

Aplikasi Edible Coating pada Dodol Talas

Edible coating tapioka dengan kandungan antimikroba terbaik diaplikasikan pada makanan tradisional dodol talas. Aplikasi edible coating dilakukan dengan tiga perlakuan berbeda dan dua kondisi pengemasan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan diantaranya dodol talas tanpa edible coating, dodol talas dengan edible coating tanpa antimikroba, dan dodol talas dengan edible coating antimikroba, sedangkan kondisi pengemasan yaitu; dodol talas dengan kemasan plastik PP dan dodol talas tanpa dikemas. Proses penyimpanan dilakukan selama periode waktu tertentu. Secara berkala pengujian dilakukan terhadap karakteristik produk selama umur simpannya. Pengujian yang dilakukan meliputi uji kadar air, asam lemak bebas (FFA), dan total mikroba dengan metode TPC (Total Plate Count). Pengujian dilakukan pada hari penyimpanan ke-1, 2, 5, 7, 9, 12, 14, 16, dan 19. Diagram alir aplikasi edible coating pada dodol talas dapat dilihat pada Gambar 5

Media PDA

Penebaran inokulum dengan metode sebar

Pembuatan dua buah lubang sumur

Pemasukan larutan edible coating tiap konsentrasi ke dalam sumur

Inkubasi 48 jam dan 120 jam

Pengamatan zona bening

Pengukuran indeks penghambat

(17)

7

Tanpa edible coating

Tanpa edible coating Pelapisan dengan edible coating tanpa antimikroba

Dikemas dengan plastik PP Tanpa kemasan plastikTanpa kemasan plastik

Penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 5 Diagram alir proses aplikasi edible coating pada dodol talas

Rancangan Percobaan

Penelitian terhadap aplikasi edible coating pada dodol talas dilakukan dengan menggunakan analisis rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor yaitu faktor perlakuan terhadap dodol talas (A) dan faktor kemasan (B) yang dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Perlakuan terhadap produk dilakuan sebanyak tiga perlakuan yaitu dodol talas tanpa edible coating, dodol talas edible coating tanpa antimikroba, dan dodol talas edible coating antimikroba. Faktor kemasan juga dibedakan menjadi dua kondisi yaitu dengan kemasan plastik PP dan tanpa kemasan. Model matematika yang digunakan yaitu:

Keterangan: Yijk = Hasil pengamatan µ = Nilai rata-rata umum

Ai = Pengaruh faktor perlakuan edible coating dodol talas pada taraf ke-i,

i = 1,2,3,…,n

Bj = Pengaruh faktor perlakuan kemasan taraf ke-j, j = 1,2,3,…,n

ABij = Pengaruh interaksi antar faktor perlakuan dodol talas pada taraf ke-i dengan faktor perlakuan kemasan pada taraf ke-j Ek(ij) = Galat percobaan

(18)

8

Pengolahan Data Hasil Uji

Data hasil uji yang dihasilkan dilakukan pengolahan dengan mencari nilai slope dari setiap pengulangan pada setiap perlakuan. Nilai slope yang didapatkan selanjutnya dijadikan sebagai laju perubahan hasil analisis. Nilai laju perubahan kembali diolah dengan metode analisis ragam pada taraf α = 5 % untuk mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan. Hasil yang menunjukkan perbedaan nyata diolah kembali dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan atau tidak. Grafik dibuat dengan merata-ratakan setiap ulangan laju perubahan, sehingga dihasilkan nilai laju perubahan pada setiap perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan dan Karakteristik Dodol Talas

Dodol memiliki tekstur plastis dan padat dengan kandungan kadar air 10 – 40 %, aw 0,65 – 0,90 (Koswara 2012). Dodol talas adalah pengembangan dari

makanan tradisional dodol yang umumnya terbuat dari beras ketan, santan kelapa, dan gula. Dodol talas yang digunakan pada penelitian ini adalah dodol talas yang diproduksi oleh penulis, sehingga kondisi proses pembuatan dodol talas dapat lebih terkontrol. Dodol talas terbuat dari tepung talas atau talas segar yang dihancurkan sebagai bahan baku utama. Adapun bahan lainnya yaitu santan, garam, mentega, tepung ketan, gula merah, dan gula putih. Setiap komponen bahan yang digunakan memiliki fungsinya masing-masing. Tepung ketan berfungsi sebagai pembentuk tekstur dodol. Gula merah berfungsi memberikan rasa manis dan membantu pembentukan tekstur dodol menjadi lebih liat. Santan kelapa mampu memberikan rasa gurih dan sebagai sumber lemak sama halnya dengan mentega. Prinsip pembuatan dodol adalah dengan melakukan pencampuran bahan sesuai dengan urutannya, memasaknya hingga mengental, dan secara organoleptik dianggap matang. Indikator kematangan dodol adalah apabila adonan tidak terasa lengket lagi di tangan. Dodol talas yang telah matang selanjutnya dilakukan uji karakterisasi, untuk mengatahui kondisi awal produk. Adapun hasil uji dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan karakteristik dodol talas

Parameter Hasil uji Standar*

Kadar air (% bb) 14,49 Maks. 20,00

Kadar abu (% bk) 0,35 Maks. 1,50

Kadar lemak (% bk) 4,90 -

Kadar protein (% bk) 2,30 -

Kadar serat kasar (% bk) 1,83 -

(19)

9 Berdasarkan hasil pengujian, terlihat bahwa parameter dominan pada dodol talas adalah kadar air dan kadar lemak. Kadar air menunjukkan banyaknya jumlah air yang terkandung pada suatu bahan, dan dinyatakan dalam persen dari berat bahan. Kandungan kadar air yang tinggi pada suatu bahan, dapat mempermudah terjadinya pencemaran oleh mikroba. Menurut Fardiaz et al. (1987), keberadaan air akan menentukan kerusakan produk karena dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kadar air dodol talas sebesar 14,49 % bb, yang menyebabkan dodol talas tergolong dalam produk pangan semi basah yang memiliki umur simpan yang singkat.

Parameter lainnya yang menjadi dominan pada dodol talas adalah kadar lemak. Kadar lemak dodol talas sebesar 4,90 % bk. Tingginya kandungan lemak pada produk dapat mengindikasikan mudahnya terjadi kerusakan pada produk, seperti ketengikan yang akan menimbulkan bau dan rasa tidak sedap. Kadar abu produk dodol talas sebesar 0,35 % bk. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dan logam pada suatu bahan. Unsur mineral merupakan unsur yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang kecil, yang diperlukan sebagai zat pembangun dan pengatur (Gaman dan Sherrington 1992).

Kadar protein memiliki nilai yang cukup tinggi pada dodol talas, yaitu sebesar 2,30 % bk. Kadar protein merupakan komponen penting yang dibutuhkan tubuh sebagai penyusun utama sel-sel tubuh. Kadar serat kasar dari dodol talas adalah sebesar 1,83 % bk. Kadar serat kasar merupakan bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam atau basa kuat dan tidak larut di dalam air.

Kadar asam lemak bebas pada suatu produk dapat mengindikasikan tingkat kerusakan produk yang terjadi akibat proses hidrolisis. Zat asam lemak bebas terbentuk akibat adanya kontak antara lemak yang terdapat pada produk dengan uap air yang mengakibakan reaksi hidrolisis. Semakin tinggi kandungan asam lemak bebas, maka semakin tinggi pula reaksi hidrolisis yang terjadi. Kandungan asam lemak bebas dodol talas pada kondisi awal adalah sebesar 0,10 % bk. Nilai tersebut sesuai dengan SNI yaitu maksimal 0,5 % bk.

Edible Coating Antimikroba

Pembuatan Edible Coating Antimikroba

Edible coating yang digunakan terbuat dari bahan dasar tapioka sebanyak 3 %, (b/v) dan bahan lainnya yaitu carboxymethyl cellulose (CMC), gliserol, dan asam stearat; sedangkan untuk edible coating antimikroba, diberi tambahan bubuk dan minyak kayu manis sebagai senyawa antimikroba. Edible coating tapioka merupakan edible coating berbahan dasar polisakarida, yang memiliki kemampuan sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas karbondioksida dan oksigen. Aplikasi coating polisakarida dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, terjadinya browning pada permukan, serta mengurangi laju respirasi dengan mengontrol komposisi gas CO2 dan O2 dalam atmosfer

internal (Krochta et al. 1994). Edible coating berbahan dasar tapioka mampu meningkatkan stabilitas selama penyimpan, menjaga rasa, teksur, dan warna produk.

(20)

10

mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga dapat menstabilkan komponen lainnya dan mencegah sinersis. CMC juga dapat menjaga tekstur alami produk dan mengurangi penyerapan O2 (Nisperos-Carriedo 1994). Penggunaan

CMC pada larutan edible coating tapioka mampu memberikan emulsi yang baik antara fase air dan minyak pada larutan. Semakin banyak jumlah CMC yang ditambahakan, maka semakin tinggi viskositasnya dan semakin stabil larutan edible coating yang dihasilkan. Namun demikian, penambahan CMC yang berlebihan menjadikan lapisan coating yang tipis sulit terbentuk dan proses pengeringan yang lebih lama.

Gliserol digunakan sebagai plasticizer sehingga mampu menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible coating untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah (Donhowe dan Fennema 1994). Penambahan gliserol pada edible coating juga dapat meningkatkan permeabilitas film terhadap gas, uap air, serta gas terlarut. Penggunaan gliserol yang berlebihan selain itu akan menjadikan lapisan film terlalu elastis dan sulit terbentuk atau mengeras.

Penggunaan asam stearat dilakukan untuk mengurangi transmisi uap air. Hal tersebut disebabkan karena asam stearat memiliki gugus hidrofobik. Asam stearat mampu merubah sifat larutan coating yang hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga mampu meningkatkan ketahanannya terhadap uap air. Asam stearat memiliki rantai hidrokarbon yang panjang (C18), semakin panjang rantai hidrokarbon maka semakin meningkat sifat hidrofobik asam lemak.

Pembuatan edible coating dilakukan pada suhu 70 oC. Suhu tersebut merupakan suhu tapioka mengalami proses gelatinisasi saat dipanaskan. Pada prosesnya, setiap bahan dimasukkan secara bergantian dan diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer sehingga dihasilkan larutan edible coating yang homogen. Pelapisan dilakukan dengan menggunakan metode celup, sehingga dodol talas dapat dilapisi secara sempurna. Edible coating yang terbentuk memberikan lapisan film yang transparan dan tipis, sehingga tidak mempengaruhi penampakan visual dodol talas.

Edible coating antimikroba (AM) merupakan edible coating tapioka yang diberi tambahan senyawa antimikroba kayu manis. Pada proses pembuatannya, penambahan kayu manis dilakukan setelah terbentuk larutan edible coating yang telah didinginkan hingga suhu 40 oC. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari menguapnya senyawa volatil yang terdapat di dalam kayu manis. Antimikroba kayu manis yang digunakan yakni bentuk bubuk dan minyak. Bubuk kayu manis yang ditambahkan adalah sebanyak 6, 8, dan 10 %, sedangkan konsentrasi minyak kayu manis yang digunakan yakni 0,2; 0,4; dan 0,6 %.

(21)

11 Tabel 2 Karakteristik edible coating antimikroba

Konsentrasi AM Gambar Aroma Warna

Bubuk kayu manis

6 % + + + Coklat tua

Bubuk kayu manis

8 % + + + + Coklat tua

Bubuk kayu manis

10 % + + + + + Coklat tua

Minyak kayu

manis 0,2 % + + + Putih

Minyak kayu

manis 0,4 % + + + + Putih

Minyak kayu

manis 0,6 % + + + + + Putih kekuningan

Senyawa antimikroba kayu manis yang ditambahkan mempengaruhi warna dan aroma edible coating. Pada Tabel 2 terlihat bahwa penambahan bubuk kayu manis pada edible coating menjadikan warna larutan coating menjadi coklat tua. Secara visual penambahan bubuk kayu manis akan memberikan larutan coating yang tidak halus karena bubuk kayu manis tidak dapat larut sempurna. Penambahan bubuk kayu manis juga akan menjadikan kekentalan larutan coating meningkat. Berdasarkan hasil pengamatan penambahan minyak kayu manis tidak mempengaruhi warna larutan coating secara signifikan. Larutan edible coating tetap berwarna putih dengan tekstur yang halus karena minyak dapat larut dengan baik. Aroma larutan edible coating AM yang dihasilkan, menunjukkan semakin tinggi penambahan konsentrasi kayu manis aroma yang ditimbulkan semakin kuat. Efektivitas Edible Coating Antimikroba dengan Metode Difusi Sumur

(22)

12

manis 0,2; 0,4; 0,6 %) untuk mengetahui konsentrasi optimal kinerja kayu manis dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus niger. Efektivitas edible coating antimikroba dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Efektivitas penghambat edible coating terhadap Aspergillus niger

Inkubasi 2 hari Inkubasi 5 hari

Gambar Indeks penghambat Gambar Indeks penghambat

Tanpa kayu manis

0 mm

Tanpa kayu manis

0 mm

Bubuk kayu manis 6 %

6,92 mm

Bubuk kayu manis 6 %

0 mm

Bubuk kayu manis 8 %

8,81 mm

Bubuk kayu manis 8 %

2,96 mm

Bubuk kayu manis 10 %

13,12 mm

Bubuk kayu manis 10 %

3,89 mm

Minyak kayu manis 0,2 %

11,94 mm

Minyak kayu main 0,2 %

4,35 mm

Minyak kayu manis 0,4 %

13,15 mm

Minyak kayu manis 0,4 %

4,90 mm

Minyak kayu manis 0,6 %

24,11 mm

Minyak kayu manis 0,6 %

(23)

13 Indeks penghambat dapat diketahui dengan mengukur zona bening yang terdapat di sekeliling sumur yang berisi sampel edible coating. Zona bening merupakan daerah yang tidak ditumbuhi oleh kapang, sehingga apabila tidak terdapat zona bening maka edible coating yang digunakan tidak efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa dalam dua hari inkubasi, seluruh konsentrasi antimikroba yang digunakan mampu menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus niger. Hal tersebut disebabkan antimikroba pada edible coating hanya terdapat pada kayu manis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bullerman (1974) kayu manis juga bersifat antikapang dengan mengacaukan tahap-tahap pertumbuhan kapang atau juga mematikan kapang. Salah satu jenis kapang yang diteliti adalah A. niger.

Penggunaan bubuk kayu manis dengan konsentrasi 6, 8, dan 10 % mengacu pada penelitian Tertibeni (2012). Hasil pengujian terlihat bahwa dengan konsentrasi demikian zona bening yang terbentuk adalah 6,92; 8,82; dan 13,12 mm. Penggunaan minyak kayu manis dengan konsentrasi 0,2; 0,4; dan 0,6 % mampu menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus niger lebih besar, yakni indeks penghambat sebesar 11,94; 13,15; dan 24,11 mm. Kayu manis memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan kapang karena mengandung senyawa atsiri seperti fenol, eugenol, dan sinnamaldehid yang dapat menyebabkan denaturasi protein sel, merusak membran sel, dan mengurangi tekanan permukaan sel (Rodriguez et al. 2008).

Waktu inkubasi pengujian dilanjutkan dalam jangka waktu lima hari untuk melihat sejauh mana keefektifan edible coating kayu manis dalam menghambat pertumbuhan A. niger. Pada hari kelima inkubasi terjadi penurunan indeks penghambat yang cukup signifikan. Penurunan indeks penghambat disebabkan karena mikroba yang tumbuh berada pada fase eksponensial, sehingga bertumbuh dengan pesat. Menurut penelitian Kurnia (2010), kapang Aspergillus niger memiliki fase eksponensial antara waktu inkubasi 24 – 120 jam. Pada fase eksponensial kapang, konsentrasi antimikroba diduga tidak mengalami perubahan bahkan cenderung menurun karena sifat volatil senyawa antimikorba, sehingga tidak cukup efektif untuk mempertahankan zona penghambat. Edible coating dengan bubuk kayu manis memiliki indeks penghambat sebesar 0; 2,96; dan 3,89 mm untuk konsentrasi 6, 8, dan 10 %, sedangkan edible coating AM minyak kayu manis dengan konsentrasi 0,2; 0,4; dan 0,6 % memiliki indeks penghambat 4,35; 4,9; dan 7,98 mm.

Zona penghambat dari edible coating AM minyak kayu manis masih memiliki zona penghambat yang lebih besar dibandingkan dengan bubuk kayu manis. Hal tersebut disebabkan karena senyawa sinnamaldehid dan senyawa fenol yang lebih banyak terkandung dalam minyak kayu manis dibandingkan pada bubuk kayu manis dengan konsentrasi seperti yang diujikan. Minyak kayu manis yang terkandung pada kayu manis segar adalah sebanyak 3 %, sehingga ekuivalensi bubuk kayu manis sebanyak 10 % adalah minyak kayu manis 0,3 %. Oleh sebab itu, penggunaan minyak kayu manis dengan konsentrasi 0,4 dan 0,6 % memiliki indeks penghambat yang lebih besar dibandingkan penggunaan bubuk kayu manis 10 %. Menurut Horsfall (1956) pengaruh sinnamaldehid C6H8

(24)

14

Berdasarkan hasil pengujian difusi sumur, terlihat bahwa edible coating dengan minyak kayu manis 0,6 % memiliki indeks penghambat tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Apabila dilihat dari karakteristik larutan edible coating AM, penggunaan minyak kayu manis memberikan penampakan visual yang lebih baik. Berdasarkan karakteristik fisik, warna dari edible coating minyak kayu manis adalah putih sehingga tidak mempengaruhi warna produk ketika diaplikasikan. Kekentalan edible coating juga tidak berbeda secara signifikan dengan kekentalan edible coating tanpa antimikroba. Oleh karena itu penggunaan minyak kayu manis secara visual menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan edible coating bubuk kayu manis. Pemilihan konsentrasi antimikroba yang akan digunakan tidak hanya berdasarkan efektivitas kayu manis, tetapi karakteristik fisik edible coating, sehingga penggunaan edible coating minyak kayu manis 0,6 % menjadi konsentrasi terpilih untuk diaplikasikan pada dodol talas.

Karakteristik Edible Coating

Pengujian karakteristik pH dan viskositas dilakukan terhadap edible coating yang akan diaplikasikan pada dodol talas, yakni edible coating AM minyak kayu manis 0,6 %. Pengujian juga dilakukan terhadap edible coating tanpa AM untuk membandingkan karakteristik antar keduanya. Adapun karakteristik dari edible coating tapioka dengan dan tanpa antimikroba (AM) dapat dilihat pada Tabel4.

Tabel 4 Karakteristik edible coating tanpa dan dengan antimikroba

Karakteristik Edible coating tapioka

Tanpa AM Dengan AM keasaman yang semakin tinggi. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Nilai pH larutan coating sebaiknya mendekati 7, sehingga tidak akan mempengaruhi rasa (asam) dari produk. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai pH edible coating AM lebih rendah dibandingkan dengan nilai pH edible coating tanpa AM. Nilai pH edible coating AM sebesar 6,50 sedangkan edible coating tanpa AM sebesar 6,71. Menurunnya pH edible coating setelah ditambahkan minyak kayu manis disebabkan karena minyak kayu manis yang bersifat agak asam, yakni memiliki pH 5. Namun demikian pH yang dihasilkan masih cenderung netral, sehingga tidak mempengaruhi rasa dari produk

(25)

15 edible coating dengan AM sebesar 3.480 cP. Nilai viskositas yang semakin tinggi mengindikasikan kestabilan larutan yang lebih baik. Bertambahnya viskositas setelah ditambahkan minyak kayu manis disebabkan karena viskositas minyak kayu manis yang tinggi. Penambahan minyak pada suatu larutan dapat meningkatkan viskositasnya.

Pengamatan terhadap edible coating juga dilakukan secara visual terhadap warna dan aroma. Perbedaan edible coating tanpaAM dan edible coating AM dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 (a) Edible coating tanpa antimikroba; (b) Edible coating antimikroba Berdasarkan hasil visual, terlihat bahwa perbedaan warna tidak terlihat secara signifikan. Warna edible coating tanpa AM yaitu putih, sedangkan edible coating AM berwarna sedikit kekuningan. Warna kuning tersebut merupakan pengaruh dari minyak kayu manis yang berwarna kuning. Aroma antara kedua edible coating, terasa jelas perbedaannya. Edible coating AM memiliki aroma kayu manis yang kuat, sedangkan edible coating tanpa AM tidak berbau.

Aplikasi Edible Coating pada Dodol Talas

Edible coating yang memiliki konsentrasi antimikroba kayu manis terbaik selanjutnya diaplikasikan ke dodol talas. Dodol talas yang telah dilapisi edible coating disimpan selama 19 hari untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi. Pengujian kadar air, kadar asam lemak bebas (FFA), dan total mikroba dengan metode TPC (Total Plate Count) dilakukan selama penyimpanan. Pengujian dilakukan pada setiap perlakuan. Adapun perlakuan yang diaplikasikan diantaranya perlakuan edible coating (tanpa edible coating, edible coating tanpa AM, dan edible coating AM) serta perlakuan kemasan (dengan kemasan plastik PP dan tanpa kemasan).

Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter penentu mutu dari sebuah produk atau makanan. Kandungan kadar air akan menentukan daya simpan produk pangan dan tingkat kerusakannya. Menurut Winarno (1997), kadar air sangat berpengaruh dalam menentukan umur simpan dari produk pangan, karena akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan), sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non-enzimatis), kerusakan

(26)

16

mikrobiologis, dan perubahan enzimatis. Kadar air yang terkandung dalam produk pangan mudah mengalami perubahan, baik itu peningkatan ataupun penurunan kadar air selama penyimpanan. Begitu pula dengan produk pangan dodol talas yang mengalami perubahan laju kadar air selama penyimpanan. Laju perubahan kadar air dodol talas dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik laju perubahan kadar air dodol talas selama penyimpanan Grafik pada Gambar 7 menunjukkan bahwa dodol talas yang diujikan mengalami peningkatan kadar air selama penyimpanannya pada setiap perlakuan. Hal tersebut ditandai dengan slope yang positif pada grafik. Peningkatan laju kadar air disebabkan oleh terikatnya uap air yang berasal dari lingkungan penyimpanan ke dalam produk. Peningkatan kadar air pada dodol talas menjadi salah satu faktor penentu keawetan produk.

Laju peningkatan kadar air antar perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada grafik terlihat bahwa laju perubahan kadar air terkecil dimiliki oleh produk dodol talas dengan edible coating AM dengan laju perubahan rata-rata 0,6929. Kecilnya laju perubahan kadar air pada perlakuan tersebut disebabkan oleh karakteristik edible coating AM yang lebih stabil. Kestabilan yang tinggi pada edible coating yang digunakan akan membuat lapisan coating yang terbentuk menjadi lebih kompak dan padat, sehingga kemampuan sebagai barrier terhadap uap air semakin meningkat.

(27)

17 permukaannya, sehingga transmisi uap air akan semakin mudah terjadi. Banyaknya kandungan air yang terdapat pada dodol talas dapat mengindikasikan perubahan mutu yang semakin menurun selama penyimpanan.

Apabila dilihat dari perlakuan penggunaan kemasan, kemasan yang digunakan pada produk dodol talas berpengaruh terhadap laju transmisi uap air sehingga dapat menekan peningkatan laju kadar air. Berdasarkan rata-rata slope, penggunaan kemasan plastik PP mampu memberikan laju peningkatan kadar air yang rendah dengan slope 0,6978. Perlakuan tanpa kemasan memiliki laju perubahan yang lebih besar yaitu 1,2046. Penggunaan plastik PP sebagai kemasan mampu menjadi barrier sehingga transmisi uap air tidak terjadi karena plastik PP memiliki sifat permeabilitas uap air yang rendah.

Interaksi antara perlakuan edible coating (tanpa edible coating, edible coating tanpa AM, dan edible coating AM) dengan kemasan (kemasan plastik dan tanpa kemasan) memberikan hasil yang berbeda nyata jika dilihat pada grafik. Demikian pula berdasarkan uji keragaman yang dilakukan pada taraf α = 5 %, yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Perlakuan yang memberikan laju peningkatan kadar air terkecil adalah dodol talas edible coating AM dengan kemasan plastik yang memiliki slope 0,6289, sedangkan interaksi terburuk adalah dodol talas tanpa edible coating dan tanpa kemasan yang memberikan perbedaan yang signifikan dengan laju perubahan sebesar 1,4565.

Pendugaan umur simpan dapat diketahui dengan melihat perbandingan antara selisih kadar air (kadar air SNI – kadar air awal) dengan nilai laju perubahannyapada setiap perlakuan. Hasil analisis diketahui bahwa setiap perlakuan memiliki umur simpan produk yang berbeda berdasarkan laju kadar air. Pendugaan umur simpan dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5 Pendugaan umur simpan dodol talas berdasarkan kadar air Perlakuan Umur simpan (hari)

(28)

18

Peningkatan umur simpan dodol talas tidak terjadi secara signifikan apabila dilihat dari parameter kadar air. Hal tersebut disebabkan karena masih tingginya kadar air produk saat awal proses penyimpanan. Sifat edible coating tapioka yang memiliki permeabilitas uap air cukup tinggi juga dapat menjadi penyebab dodol talas dengan edible coating memiliki umur simpan yang tidak berbeda signifikan. Penggunaan antimikroba kayu manis tidak terlalu berpengaruh tehadap umur simpan produk berdasarkan kadar airnya. Minyak kayu manis yang ditambahkan hanya mampu meningkatkan sifat hidrofobik edible coating, namun tidak dapat mencegah terjadinya transmisi uap air pada produk, sehingga antara produk edible coating tanpa AM dan produk edible coating AM memiliki umur simpan yang hampir sama. Namun demikian, umur simpan dodol talas berdasarkan parameter kadar air tetap mengalami peningkatan pada setiap perlakuan.

Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Pengujian asam lemak bebas dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan produk akibat proses hidrolisis yang terjadi. Uji kandungan asam lemak bebas pada produk juga dapat dijadikan indikator terjadinya ketengikan pada produk pangan. Asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) merupakan asam lemak yang terpisah dari trigliserida, digliserida, monogliserida, dan gliserin bebas yang terbentuk karena adanya pemanasan, proses oksidasi, dan adanya kandungan air pada bahan pangan. Menurut Ketaren (2008), ada beberapa faktor yang mampengaruhi ketengikan diantaranya suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang sersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi.

Dodol talas adalah produk pangan dengan kadar lemak tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan kerusakan akibat ketengikan sangat mudah terjadi. Ketengikan pada dodol talas ditandai dengan bau dan rasa tidak sedap atau tengik pada produk pangan. Proses ketengikan pada produk pangan menandakan produk yang telah mengalami kerusakan, semakin tinggi kadar FFA dalam produk maka semakin tinggi pula proses hidrolisis yang terjadi. Akibat dari proses hidrolisis adalah mampu menurunkan nilai gizi karena rusaknya asam lemak esensial dalam lemak dan kerusakan vitamin. Menurut Gunawan dkk. (2003), asam lemak bebas atau FFA menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh lemak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Pada reaksi hidrolisis, terjadi pemutusan rantai panjang yang akan dihasilkan gliserida dan asam lemak bebas dengan rantai pendek (C4 – C12) (Djatmiko dan Pandjiwidjaja 1984).

Ketengikan pada produk juga disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi yang terjadi pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Oksidasi terjadi akibat adanya interaksi antara lemak yang terdapat pada dodol talas dengan gas (oksigen) yang akan membentuk senyawa peroksida dan hidroperoksida. Asam lemak pada produk akan terurai yang disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas.Perubahan kadar asam lemak bebas (FFA) dodol talas selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 8.

(29)

19 hidrolisis komponen trigliserida pada lemak dalam dodol talas. Proses ini mengakibatkan perubahan rasa dan aroma pada dodol talas. Hasil uji FFA dodol talas dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 8 Grafik laju perubahan kadar asam lemak bebas (FFA) dodol talas selama penyimpanan

Perlakuan dodol talas dengan edible coating memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf α = 5 %. Hasil uji lanjutan Duncan menunjukkan bahwa dodol talas dengan edible coating tanpa AM tidak memiliki perbedaan nyata yang signifikan dengan perlakuan tanpa edible coating ataupun edible coating AM. Namun demikian, dodol talas tanpa edible coating dan dengan edible coating AM memiliki perbedaan yang signifikan. Apabila dilihat pada grafik, perlakuan edible coating berpengaruh nyata terhadap laju peningkatan kadar FFA pada dodol talas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa laju perubahan kadar FFA terkecil adalah dodol talas dengan perlakuan edible coating AM dengan slope rata-rata 0,0193. Dilanjutkan dengan dodol talas dengan edible coating tanpa AM yang memiliki laju perubahan kadar FFA terkecil kedua, diikuti dengan dodol talas tanpa edible coating, dengan masing-masing slope sebesar 0,03475 dan 0,0491.

Peningkatan kadar FFA sangat berkaitan erat dengan kandungan kadar air pada produk. Dilihat dari laju kadar air dodol talas dengan perlakuan penggunaan edible coating, juga dihasilkan laju peningkatan yang sesuai yakni perlakuan edible coating AM dari yang terkecil hingga perlakuan tanpa edible coating yang terbesar. Sifat edible coating yang dilapisi pada produk juga berperan sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas O2 dan CO2 (Krochta et al. 1994). Menurut Santoso et al. (2004), coating dapat memperlambat terjadinya hidrolisis dan proses sinersis, selain itu dapat menghambat penetrasi gas oksigen karena matriks coating mempunyai ikatan yang kuat, rapat, dan kompak yang menyebabkan permeabilitas gas rendah. Menurut Mathlouthi (1994), pati dapat menurunkan sifat permeabilitas terhadap uap air dan gas pada edible coating maupun edible film.

Perlakuan kemasan pada dodol talas juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju peningkatan FFA pada taraf α = 5 %, dan berdasarkan uji lanjut Duncan kedua perlakuan memberikan perbedaan yang signifikan. Pada grafik terlihat bahwa dodol talas yang dikemas dengan menggunakan plastik

(30)

20

memiliki laju terkecil dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 0,0239, sedangkan dodol talas tanpa kemasan memiliki laju perubahan yang lebih besar yaitu 0,0449. Penggunaan kemasan plastik mampu memperkecil laju peningkatan kadar FFA dodol talas selama penyimpanan. Hal tersebut disebabkan oleh plasik yang digunakan memiliki sifat barrier terhadap pertukaran gas dan juga uap air pada produk, sehingga dapat menekan reaksi oksidasi dan hidrolisis yang mampu menyebabkan terbentuknya senyawa asam lemak bebas (FFA).

Interaksi antara perlakuan edible coating dan kemasan juga tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada taraf α = 5 %. Hasil yang tidak berbeda nyata pada interaksi antar perlakuan dapat disebabkan karena adanya kemungkinan proses hidrolisis dan oksidasi telah terjadi saat proses pembuatan produk. Menurut Ketaren (2008), proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar dan selama proses pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi. Reaksi oksidasi termasuk ke dalam reaksi autocatalytic yakni laju reaksi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Hal tersebut disebabkan karena adanya hasil oksidasi awal yang dapat mempercepat reaksi oksidasi selanjutnya yang dikenal dengan reaksi berantai (Schultz et al.1962). Dari interaksi antara kedua perlakuan, dapat dilihat bahwa laju perubahan FFA terkecil dimiliki oleh dodol talas edible coating AM dengan kemasan plastik, sedangkan yang terbesar adalah dodol talas tanpa edible coating dan tanpa kemasan.

Kadar FFA pada produk dodol talas menjadi parameter yang penting apakah dodol talas masih layak dikonsumsi atau tidak. Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan membandingkan selisih kadar FFA (kadar FFA SNI – kadar FFA awal) dengan nilai laju perubahannya. Pendugaan umur simpan berdasarkan kadar FFA dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Pendugaan umur simpan dodol talas berdasarkan kadar FFA Perlakuan Umur simpan (hari)

Produk dengan umur simpan terkecil adalah dodol talas tanpa edible coating tanpa kemasan plastik (A1B2) yaitu selama 6 hari. Umur simpan terkecil selanjutnya yaitu dodol talas edible coating tanpa AM tanpa kemasan plastik (A2B2) yaitu selama 9 hari. Dodol talas dengan perlakuan tanpa edible coating dan edible coating tanpa AM dengan menggunakan kemasan plastik (A1B1 dan A2B1) memiliki umur simpan yang lebih tinggi, yaitu 14 dan 16 hari. Dodol talas edible coating AM memiliki perbedaan umur simpan yang cukup signifikan yakni 19 hari untuk dodol talas tanpa kemasan (A3B2) dan 23 hari untuk dodol dengan kemasan plastik (A3B1).

(31)

21 perbedaan signifikan antar perlakuan. Hal tersebut membuktikan bahwa setiap perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh terhadap umur simpan dodol talas. Pendugaan umur simpan yang cukup lama pada produk dapat disebabkan oleh kecilnya nilai kadar FFA pada awal proses pembuatan produk, sehingga reaksi autocatalytic saat proses oksidasi dan hidrolisis tidak meningkat jauh. Sifat edible coating tapioka yang juga memiliki permeabilitas rendah terhadap gas O2 mampu menghambat proses terjadinya oksidasi.

Kadar Total Mikroba

Total mikroba yang terkandung pada produk pangan akan mengalami peningkatan selama penyimpanan. Begitu pula dengan mikroba yang terkandung pada dodol talas yang diujikan. Meningkatnya mikroba yang terkandung pada produk pangan dapat berasal dari lingkungan luar yang mencemari produk. Aktivitas mikroba juga dipengaruhi oleh aw produk, semakin tinggi aw maka

semakin besar peluang mikroba untuk tumbuh. Nilai aw merupakan jumlah air

bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw juga

berkaitan erat dengan kandungan kadar air pada produk. Kandungan kadar air yang terus mengalami peningkatan selama penyimpan akan menyebabkan sinersis dari coating dan dapat meningkatkan nilai aw sehingga mikroba dapat tumbuh dan

berkembang biak. Menurut Santoso et al. (2004), adanya penetrasi gas oksigen akan memacu berkembangnya mikroba aerobik untuk tumbuh. Kapang adalah jenis mikroba yang diindikasikan dapat tumbuh di area pemukaan dodol. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi pada produk semi basah seperti dodol dapat dijadikan sebagai nutrien yang dibutuhkan oleh kapang untuk tumbuh. Suhu optimum pertumbuhan untuk sebagian besar kapang adalah 25o-30 oC. kebanyakan kapang adalah mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar.Laju pertumbuhan total mikroba dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik laju perubahan total mikroba dodol talas selama penyimpanan Hasil uji TPC membuktikan bahwa total mikroba yang tumbuh pada dodol talas terus mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal tersebut juga terlihat pada grafik laju perubahan total mikroba yang memiliki slope positif. Namun demikian, berdasarkan uji keragaman pada taraf α = 5 % (Lampiran 4) pengaruh yang terjadi pada setiap perlakuan tidak memiliki perbedaan yang nyata. Baik itu

(32)

22

antar perlakuan edible coating (tanpa edible coating, edible coating tanpa AM, dan edible coating AM), antar perlakuan kemasan (dengan kemasan plastik PP dan tanpa kemasan), ataupun interaksi antara kedua perlakuan (edible coating dan kemasan). Hasil yang tidak berbeda nyata ini dapat disebabkan karena pencemaran mikroba tetap terjadi pada setiap perlakuan dan tidak dapat dicegah sepenuhnya. Mikroba yang tumbuh pada pemukaan dodol talas ini diakibatkan oleh adanya kontaminasi yang terjadi saat proses produksi, pengemasan, ataupun penyimpanan. Kondisi penyimpanan pada suhu ruang juga menjadi kondisi optimal mikroba untuk tumbuh, sehingga penghambatan pertumbuhan mikroba tidak optimal.

Grafik pada Gambar 9 terlihat bahwa perbedaan laju pertumbuhan mikroba tetap terjadi walaupun perbedaan laju pertumbuhan pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata. Pada perlakuan edible coating, terlihat bahwa dodol talas dengan edible coating AM memiliki laju pertumbuhan mikroba yang paling rendah, dengan slope rata-rata 3.936,2667. Urutan kedua laju pencemaran terkecil adalah dodol talas tanpa edible coating dengan slope 14.153,7334 dan laju perubahan terbesar yaitu dodol talas edible coating tanpa AM dengan slope 16.680,75. Hasil pengujian total mikroba telah membuktikan bahwa edible coating antimikroba kayu manis yang diaplikasikan pada dodol talas mampu menghambat atau mengurangi pertumbuhan kapang selama penyimpanan. Selain mampu menghasilkan zona penghambat pada uji difusi sumur, konsentrasi minyak kayu manis 0,6 % yang ditambahkan ke dalam larutan coating juga efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang di dodol talas. Proses penghambatan aktivitas kapang terjadi karena telah aktifnya senyawa antimikroba yang terdapat dalam kayu manis seperti senyawa sinnamaldehid yang telah bekerja dalam melakukan denaturasi protein sel dan merusak membran sel mikroba.

Dodol talas dengan perlakuan tanpa edible coating dan edible coating tanpa AM memiliki tingkat cemaran mikroba yang cukup tinggi selama penyimpanan. Hal tersebut disebabkan karena kedua produk tersebut tidak memiliki senyawa antimikroba, sehingga pencemaran mikroba terjadi dan mikroba khususnya kapang tumbuh dengan pesat. Namun, dodol talas dengan perlakuan tanpa edible coating memiliki laju pertumbuhan rata-rata yang lebih kecil dibandingkan dodol talas dengan edible coating tanpa AM. Hal tersebut diduga karena kandungan air pada lapisan edible coating menjadikan kadar air produk menjadi lebih banyak dibandingkan dengan produk tanpa edible coating. Tingkat pencemaran yang lebih tinggi juga dapat disebabkan oleh kontaminasi saat proses pencelupan produk pada larutan coating. Hal ini mampu membuat mikroba dapat tumbuh dengan cepat. Berdasarkan hasil uji difusi sumur telah membuktikan bahwa edible coating tanpa AM tidak mampu menghambat pertumbuhan kapang A. niger.

(33)

23 tidak memiliki antimikroba. Pertumbuhan kapang akan semakin cepat karena adanya komponen air dan lemak di dalam dodol talas. Adanya air dan lemak dimanfaatkan oleh kapang untuk mendukung pertumbuhannya, sehingga metabolisme kapang serta aktivitas enzim menjadi lebih cepat reaksinya.

Pada grafik di Gambar 9, interaksi antar kedua perlakuan (edible coating dan kemasan) yang memiliki laju perubahan total mikroba terbesar adalah dodol talas dengan edible coating tanpa AM tanpa kemasan. Laju perubahan terkecil adalah dodol talas dengan edible coating AM dengan kemasan. Hingga hari terakhir penyimpanan, total mikroba dengan perlakuan terbaik memiliki cemaran sebasar 1,8 x 104. Berdasarkan standar SNI (2986:2013), persyaratan terhadap angka lempeng total maksimal adalah 1 x 104 koloni/g. Jumlah cemaran mikroba pada dodol talas edible coating AM dengan kemasan walaupun memiliki tingkat cemaran terkecil, namun tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal ini disebabkan oleh penggunaan edible coating AM dan kemasan plastik mampu menghambat pertumbuhan kapang yang terdapat di permukaan dodol talas, namun tidak dapat menghentikan pertumbuhan mikroba.

Tumbuhnya kapang pada dodol talas muncul pada hari yang berbeda pada setiap perlakuan. Adanya kapang ditandai dengan munculnya benang-benang halus berwarna putih. Produk yang pertama kali ditumbuhi kapang adalah dodol talas tanpa edible coating dan edible coating tanpa kemasan yang ditumbuhi kapang pada hari ke-9 penyimpanan untuk ulangan ketiga dan hari ke-12 untuk ulangan pertama dan kedua. Munculnya kapang dihari yang sama pada kedua produk dengan perlakuan berbeda disebabkan karena laju pertumbuhan kapang yang lebih pesat pada kedua perlakuan tersebut. Edible coating yang digunakan tidak mampu menghambat pertumbuhan kapang yang mencemari produk, sehingga kapang dengan leluasa berkembang biak.

Produk selanjutnya yang mengalami kerusakan adalah dodol talas tanpa edible coating dan dengan edible coating tanpa AM yang dikemas dengan plastik. Dodol talas yang menggunakan edible coating AM baik itu dikemas ataupun tidak, mampu bertahan sampai hari terakhir penyimpanan. Penggunaan minyak kayu manis pada edible coating mampu mempertahankan kondisi produk tetap stabil dan tetap dalam kondisi yang baik tanpa ditumbuhi kapang di permukaan dodol talas. Kondisi dodol talas selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 (a) Dodol talas yang ditumbuhi kapang; (b) Dodol talas edible coating AM di hari terakhir penyimpanan

(34)

24

Pengaruh Interaksi Parameter Kadar Air, Kadar FFA, dan Total Mikroba Peningkatan kadar FFA dan total mikroba berkaitan erat dengan peningkatan kadar air. Kandungan kadar air pada suatu produk dapat menentukan tingkat kerusakannya. Kadar air dalam produk berpengaruh pada peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA) dan juga total mikroba. Hal tersebut dikarenakan kadar FFA pada dodol talas dipengaruhi oleh proses hidrolisis lemak pada dodol akibat adanya uap air di dalamnya. Kurashige (1993) mengatakan bahwa pengaruh air terhadap laju reaksi hidrolisis sangat penting karena air dapat menyebabkan proses hidrolisis minyak. Oleh karena itu, peningkatan laju FFA dodol talas selama penyimpanan terjadi seiring dengan peningkatan laju kadar air. Begitu pula dengan total mikroba atau tingkat pencemaran produk, semakin tinggi kadar air pada suatu produk, maka semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya pencemaran. Hal tersebut disebabkan oleh mikroba yang dapat mudah tumbuh pada aw tinggi. Semakin tinggi kandungan air yang terdapat pada produk pangan,

maka semakin tinggi pula nilai aw produk. Berdasarkan hasil penelitian Irsyad

(2011), mikroba akan tumbuh pada dodol talas saat nilai aw telah mencapai

0,80.Interaksi laju perubahan antar parameter kadar air, kadar FFA, dan total mikroba dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hubungan interaksi laju perubahan kadar air, kadar FFA dan total mikroba dodol talas selama penyimpanan

Pada Gambar 11 terlihat bahwa interaksi antara laju perubahan kadar air dengan kadar FFA dan total mikroba menunjukkan slope yang positif. Hal tersebut berarti bahwa semakin besar laju perubahan kadar air maka akan semakin besar pula laju perubahan kadar FFA dan total mikroba pada produk. Interaksi antara laju perubahan kadar air dan laju perubahan kadar FFA pada grafik terlihat bahwa laju perubahan FFA meningkat seiring dengan laju perubahan kadar air. Pada laju kadar air terendah, laju perubahan kadar FFA juga menunjukkan nilai terendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sedikitnya perubahan kadar air pada produk, yang mampu menekan perubahan kadar FFA produk yang menyebabkan bau dan rasa tengik.Begitu pula halnya dengan laju perubahan total mikroba, laju

0

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60

(35)

25 kadar air terendah menunjukkan laju perubahan total mikroba terendah. Hal tersebut disebabkan oleh sedikitnya laju transmisiuap air yang dapat meminimalisasi terjadinya sinersis pada lapisan produk, sehingga peningkatan nilai aw produk dapat ditekan. Nilai aw yang rendah mampu menghambat

pertumbuhan dari mikroba yang menyebabkan laju perubahannya semakin kecil. Hal yang sama juga terjadi pada laju perubahan kadar air dengan nilai terkecil kedua, yang menunjukkan peningkatan kadar FFA dan total mikroba.

Pada grafik terlihat bahwa terjadi penurunan laju kadar FFA dan juga total mikroba pada laju kadar air terendah ketiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan kadar FFA dan total mikroba tidak hanya dipengaruhi oleh kadar air. Perubahan laju FFA juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti proses oksidasi, kerusakan oleh anzim, dan juga aktivitas mikroba (Ketaren 2008). Berdasarkan grafik terlihat bahwa laju perubahan mikroba menurun pada laju kadar air ini, hal tersebut dapat mempengaruhi kadar FFA pada produk. Lebih rendahnya laju perubahan total mikroba dibandingkan laju perubahan kadar air yang lebih besar dapat disebabkan oleh tingkat pencemaran yang lebih rendah. Laju perubahan kadar air yang besar memungkinkan terjadinya sinersis yang dapat meningkatkan nilai aw, akan tetapi tingkat pencemaran mikroba tidak hanya disebabkan oleh

nilai aw yang tinggi. Senyawa antimikroba yang terkandung pada produk dapat

menyebabkan tingkat pencemaran yang lebih rendah, hal ini karena laju perubahan kadar air ini merupakan laju perubahan kadar air produk dengan perlakuan edible coating AM. Produk ini tidak dilapisi oleh kemasan plastik yang menyebabkan transmisi uap air lebih tinggi, namun karena adanya senyawa antimikroba yang digunakan menyebabkan laju pencemaran lebih rendah.

Kadar FFA yang rendah pada laju perubahan kadar air terkecil ketiga, disebabkan karena rendahnya pula tingkat pencemaran mikroba yang terjadi. Menurut Ketaren (2008), kontaminasi mikroba mampu menghasilkan enzim yang memproduksi asam lemak bebas. Mikroba jenis kapang yang sering tumbuh di dodol seperti Aspergillus ataupun Penicillium mampu menghidrolisis lemak dalam keadaan aerobik. Mikroba yang mencemari produk mampu menghasilkan enzim yang yang dapat memecahkan protein dalam bahan pangan berlemak, sehingga menghasilkan bau dan rasa tidak enak.

(36)

26

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Edible coating dengan penambahan kayu manis sebagai senyawa antimikroba (AM) mampu memberikan efek penghambat yang baik. Konsentrasi antimikroba terpilih yang mampu memberikan zona penghambat tertinggi adalah edible coating antimikroba minyak kayu manis 0,6 % yang memiliki indeks penghambat 24,11 mm.Adapun karakteristik pH dan viskositas edible coating tanpa antimikroba dan edible coating antimikroba tidak berbeda secara signifikan, yakni 6,71 dan 3.460 cP serta 6,50 dan 3.480 cP.

Hasil pengujian selama umur simpan produk menunjukkan bahwa terjadi penurunan mutu produk selama penyimpanan. Pada analisis kadar air terdapat interaksi antar perlakuan (tanpa edible coating, edible coating tanpa AM, dan edible coating AM) dengan penggunaan kemasan (kemasan plastik dan tanpa kemasan plastik). Hal ini dibuktikan dengan analisis ragam α = 5% dengan hasil berbeda nyata. Interaksi terbaik dimiliki oleh perlakuan edible coating AM dengan kemasan plastik, yang memiliki kadar air terendah dengan slope 0,6289. Analisis FFA yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah edible coating AM dengan kemasan plastik dengan besaran laju perubahan 0,0178. Hasil pengujian total plate count (TPC) terhadap produk, hingga pengujian hari terakhir (hari ke-19), hanya terdapat produk dengan dua perlakuan yang masih memiliki kondisi baik, yakni poduk dengan edible coating AM dengan kemasan plastik dan tanpa kemasan plastik. Hal tersebut terbukti dari laju perubahan total mikroba yang memiliki slope 2.940,3333 dan 4.932,2.

Pendugaan umur simpan dodol talas dengan perlakuan terbaik yaitu edible coating AM dengan kemasan plastik, dianalisis berdasarkan parameter kadar air dan kadar FFA. Berdasarkan parameter kadar air, umur simpan dodol talas hanya mencapai 13 hari, sedangkan berdasarkan kadar FFA umur simpan dodol talas mampu mencapai 23 hari.

Saran

Pada penelitian ini penggunaan minyak kayu manis dengan konsentrasi 0,6 % memiliki rasa dan aroma yang kurang disukai. Diharapkan pada penelitian selanjutnya, dilakukan optimasi kembali penggunaan konsentrasi kayu manis yang berbeda untuk menghasilkan aroma dan rasa terhadap produk yang lebih baik, namun tetap memiliki zona penghambat kapang yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

(37)

27 [AOAC] Association of Analytical Communities. 1971. Official Methods of Analyst of the Association of the Annalytical Chemists. Washington D.C. (US): Association of Analytical Communities.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Indonesia.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 2986-2013. Dodol Beras Ketan. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional

Budiman. 2011. Aplikasi pati singkong sebagai bahan baku edible coating untuk memperpanjang umur simpan pisang cavendish (Musa cavendishii.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bullerman. 1974. Inhibition of growth and aflatoxin production by cinnamon and clove oils: cinnamic aldehyde and eugenol. J. Food science. 46(4):1107.

Djatmiko B, Widjaja P. 1984. Teknologi Minyak dan Lemak. Bogor (ID): IPB Pr. Donhowe IG, Fennema. 1994. Edible film and coating: characteristics, formation,

definition and testing methods. Di dalam: Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos MO, editor. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Lancaster (US): Technomic Publ.

Fardiaz S, Ratih D, Slamet B. 1987. Bahan Tambahan Kimiawi. Bogor (ID): IPB Pr.

Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID). Direktorat Jendral Pendidikan antar Universitas IPB.

Gaman PM, Sherringtn KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Yogyakarta (ID): UGM-Press.

Gunawan M, Triatmo, Rahayu A. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng. Semarang (ID): UNDIP.

Horsfall JG. 1956. Principles of Fungicidal Action. Waltham, Mass (US): Chronica Botanica Co.

Irsyad. 2011. Perbaikan proses untuk peningkatan umur simpan dodol talas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ketaren. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI Press.

Koswara S. 2012. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian Bagian 1: Pengolahan Umbi Talas. Bogor (ID): SEAFAST IPB.

Krochta JM, Elizabeth AB, Myrna ONC. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. New York (US): Technomic Publishing Co.

Kurashige J, Matsuzaki N, Takashi H. 1993. Enzymatic modification of canola/palm oil mixture effects on the fluidity of the mixture. Journal of American Oil Chemistry Society. 70(9):849-852.

Kurnia D R D. 2010. Studi aktivitas enzim lipase dari Aspergillus niger sebagai biokatalis pada proses gliserolisis untuk menghasilkan monosilgliserol [tesis]. Semarang (ID). Universitas Diponegoro

Layuk P, Marseno DW, Haryadi. 2002. Karakteristik komposit film edible pektin daging buah pala (Myiristica fragrans Houtt) dan tapioka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 8(2):178-183.

(38)

28

Mathlouthi. 1994. Food Packaging and Preservation. London (UK): Blackie Academic and Professional.

Nisperos-Cariiedo MO. 1994. Edible Coatings and Films Based on Polysaccharides. Lancaster (US): Technical Publ. Co.

Roddriguez A, Nerin C, Battle R. 2008. New cinnamon-based active paper packaging against Rhizopus stolonifer food spoilage. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 56(15):6364.doi:10.1021/jf8006999q.

Santoso B, Saputra D, Pambayun R. 2004. Kajian teknologi edible coating dari pati dan aplikasinya untuk pengemas primer lempok durian. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 15(3):239-244.

Schultz HW, Sinnhuber RO, Cain RF, Yu TC, Mary L, Palmateer RE, Chandrasekharappa G. 1962. Development of Irradiation Sterilized, Shelf-Stable Fish and Seafood Products. Corvallis (OR): US Army Quartermaster-Corps. Progr. Rept.

Tertibeni. 2012. Aplikasi pelatis antimikroba dari kayu manis pada lempuk durian [skripsi]. Bogor (ID): Institur Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1  Diagram alir pembuatan dodol talas (Irsyad 2011)
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan edible coating antimikroba (Budiman
Gambar 4  Diagram alir uji efektivitas edible coating terhadap penghambatan
Gambar 5  Diagram alir proses aplikasi edible coating pada dodol talas
+7

Referensi

Dokumen terkait