KARAKTERISTIK LINGKUNGAN TAMBAK TUMPANG
SARI DI SUBANG, JAWA BARAT SEBAGAI ACUAN
PENGEMBANGAN BUDIDAYA KEPITING BAKAU
Scylla
serrata
HERI KISWANTO
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Karakteristik Lingkungan Tambak Tumpang Sari di Subang, Jawa Barat sebagai Acuan Pengembangan Budidaya Kepiting Bakau Scylla serrata
”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
ABSTRAK
HERI KISWANTO. Karakteristik Lingkungan Tambak Tumpang Sari di Subang, Jawa Barat sebagai Acuan Pengembangan Budidaya Kepiting Bakau Scylla serrata. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan YUNI PUJI HASTUTI.
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan komoditas perikanan dengan prospek bisnis yang bagus karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Kegiatan budidaya kepiting bakau yang berkembang di Indonesia meliputi pembesaran, penggemukan, dan produksi kepiting cangkang lunak. Namun produksi budidaya belum optimal karena kurangnya informasi terkait kondisi lingkungan yang tepat untuk pemeliharaan kepiting bakau di tambak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik lingkungan tambak tumpang sari yang kemudian digunakan sebagai acuan pengembangan budidaya kepiting bakau di tambak. Hasil penelitian menunjukan bahwa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan kepiting bakau adalah salinitas kisaran 26-29 ‰, jumlah pohon mangrove 24 individu/petak tambak, dan diameter pohon mangrove 25-30 cm. Diharapkan karakteristik lingkungan pada tambak tumpang sari dapat dijadikan acuan untuk pengembangan kegiatan budidaya kepiting bakau di tambak.
Kata kunci: Scylla serrata, budidaya, tambak tumpang sari, salinitas, mangrove
ABSTRACT
HERI KISWANTO. The Environmental Caracteristics of Intercropping Pond in Subang, West Java as a Reference for The Mud Crabs Pond Aquaculture Development. Supervised by KUKUH NIRMALA and YUNI PUJI HASTUTI.
Mud crab (Scylla serrata) is a fishery commodities with a good business prospects because it has a high economic value. Mud crab culture activities was developed in Indonesia include growth out, fattening, and soft shell crab production. Yet the culture production is not optimal because the lack of information regarding to the suitable environmental conditions for pond culture of mud crabs. This study was conducted to analyze the environmental characteristic of intercropping pond which is used as the reference to mud crab culture in pond. The results showed that the environmental-parameters that affect the catches of mud crab are salinity about 26-29 ‰, the number of mangrove trees 24 individual/pond, and the diameter about 25-30 cm. Expected that environmental characteristics of intercropping pond can be used as a reference for the development of mud crab pond aquculture activities.
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN TAMBAK TUMPANG
SARI DI SUBANG, JAWA BARAT SEBAGAI ACUAN
PENGEMBANGAN BUDIDAYA KEPITING BAKAU
Scylla
serrata
HERI KISWANTO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berujudul
“Karakteristik Lingkungan Tambak Tumpang Sari di Subang, Jawa Barat sebagai Acuan Pengembangan Budidaya Kepiting Bakau Scylla serrata”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Ibu Yuni Puji Hastuti, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasihat, dan saran.
2. Bapak Dr. Ir. Sukenda, M.Sc selaku ketua Departemen Budidaya Perairan. 3. Ayahanda Ridwan dan Ibunda Helfiana atas segala dukungan, doa, dan
nasihat yang telah diberikan, serta saudara Rafi Satriawan.
4. Bapak Jajang, Kang Akbar, Bapak Wasjan, Mba Retno, Bang Aris, Bapak Marjanta, Mba Yuli, serta semua staf Departemen Budidaya Perairan. 5. Bapak Entan Sukardi, Bapak Ibrohim dan Keluarga, KUD Langgeng Jaya,
serta semua pihak yang membantu selama jalannya penelitian di lapang. 6. Rekan penelitian Iyen Suryani dan Veronika Eri Febriani yang telah
berbagi suka dan duka selama penelitian ini berlangsung.
7. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Laboratorium Lingkungan BDP yang telah memberikan bantuan dan semangat.
8. Keluarga besar BDP 48 terimakasih atas kebersamaan yang tidak akan pernah terlupakan.
9. Kakak-kakak BDP 45, 46, 47 dan adik-adik BDP 49 dan 50 yang telah memberikan banyak pengalaman tidak terlupakan.
10. Teman-teman Kostan Radar No. 10 ; Arif Alfarishi, Varino, dan Arius Susanto
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
METODE ... 2
Waktu dan Tempat ... 2
Prosedur Penelitian... 2
Penentuan Stasiun Penelitian ... 2
Pengumpulan Data Penelitian ... 3
Pengumpulan Data Produksi ... 3
Pengukuran Mikroklimat ... 4
Pengukuran Fisika-Kimia Air ... 4
Pengukuran Fisika Substrat ... 4
Pengukuran Vegetasi Mangrove ... 4
Jenis Biota dalam Tambak ... 4
Analisa Kandungan Protein Kepiting... 4
Analisis Data ... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5
Hasil ... 5
Jenis Biota dalam Tambak ... 5
Produksi Kepiting dan Udang Liar ... 5
Kondisi Mikroklimat ... 6
Kualitas Fisika-Kimia Perairan ... 6
Kualitas Fisika Substrat ... 8
Vegetasi Mangrove ... 8
Perbandingan Kandungan Protein ... 9
Pembahasan ... 9
KESIMPULAN DAN SARAN ... 12
Kesimpulan ... 12
Saran ... 12
DAFTAR PUSTAKA ... 12
RIWAYAT HIDUP ... 19
DAFTAR TABEL
1 Parameter yang diukur, satuan, alat atau metode pengukuran, dan lokasi pengukuran ... 32 Data keragaman biota akuatik pada masing-masing stasiun penelitian ... 5
3 Data produksi kepiting bakau Desa Langensari Pada Tahun 2014 ... 5
4 Data hasil tangkapan kepiting bakau pada masing-masing blok penelitian tahun 2014 ... 5
5 Data produksi udang liar pada masing-masing stasiun ... 6
6 Data hasil pengukuran mikroklimat pada setiap stasiun penelitian. ... 6
7 Data hasil pengukuran kualitas fisika substrat pada setiap stasiun penelitian ... 8
8 Data hasil pengamatan vegetasi mangrove yang terdapat di setiap stasiun penelitian ... 8
9 Data kandungan protein pada kepiting yang berasal dari tambak tumpang sari dan kepiting yang berasal dari hutan mangrove ... 9
DAFTAR GAMBAR
1 Stasiun penelitian di tambak tumpang sari di Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat ... 22 Grafik parameter fisika air; a. Suhu, b. Salinitas ... 6
3 Grafik parameter kimia air; a. Nilai pH, b. Nilai DO, c. Nilai TAN, d. Nilai Nitrit, e. Nilai Nitrat ... 7
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi pengambilan sampel pada setiap stasiun penelitian ... 152 Hasil pengukuran kualitas fisika air pada setiap stasiun penelitian... 16
3 Hasil pengukuran kualitas kimia air pada setiap stasiun penelitian ... 16
4 Dokumentasi wawancara dengan pihak terkait ... 16
5 Gambar kepiting bakau Scylla serrata hasil tangkapan di tambak tumpang sari... ... 17
6 Gambar alat tangkap kepiting bakau di Desa Langensari ... 17
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dengan prospek bisnis yang bagus karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Harga kepiting bakau dipasaran mencapai Rp 100.000,-/kg dalam bentuk mentah dan Rp 350.000,-/kg dalam bentuk olahan. Moosa et al. (1985) mengatakan bahwa daging dan telur yang gurih, kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 65,7-82,6%, dan kandungan lemak yang relatif rendah yaitu 0,9% menyebabkan kepiting bakau sangat digemari. Pemasaran kepiting bakau bukan hanya di dalam negeri namun juga meliputi ekspor kebeberapa negara seperti Amerika Serikat, Hongkong, China, Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia. Salah satu jenis kepiting bakau yang banyak di ekspor adalah Scylla serrata. Produksi Scylla serrata dunia saat ini sebagian besar berasal dari hasil penangkapan di alam termasuk juga Indonesia. Hasil tangkapan kepiting bakau di dunia tahun 2011 mencapai 44.670 ton namun mulai mengalami penurunan menjadi 38.055 ton tahun 2013 (FAO 2014). Berkurangnya hasil tangkapan berpengaruh juga pada jumlah ekspor kepiting bakau Indonesia yang mengalami penurunan dari 34.172 ton pada tahun 2013 menjadi 28.080 ton pada tahun 2014 (KKP 2014). Oleh karena itu salah satu cara meningkatkan produksi kepiting bakau adalah dengan pengembangan kegiatan budidaya.
Kegiatan budidaya kepiting bakau yang berkembang di Indonesia meliputi pembesaran, penggemukan, dan produksi kepiting cangkang lunak. Namun produksi budidaya kepiting bakau sampai saat ini belum optimal. Kurang optimalnya kegiatan budidaya diduga karena kurangnya informasi terkait kondisi lingkungan yang tepat untuk pemeliharaan kepiting bakau. Kekurangan informasi ini menjadi penyebab sulitnya menciptakan kondisi yang nyaman pada proses produksi budidaya kepiting bakau sehingga berdampak kurang baik terhadap hasil produksi. Pendekatan yang tepat untuk mengetahui kondisi lingkungan yang nyaman untuk kepiting bakau adalah dengan melakukan pengamatan secara langsung pada habitat alami. Kepiting bakau merupakan organisme yang hidup dan berkembang di sekitar ekosistem mangrove. Oleh karena itu gambaran kondisi lingkungan ekosistem mangrove dapat dijadikan acuan untuk menciptakan suasana yang nyaman pada wadah budidaya kepiting bakau.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik lingkungan tambak tumpang sari yang kemudian digunakan sebagai acuan pengembangan budidaya kepiting bakau di tambak.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari-April 2015. Lokasi penelitian terletak di tambak tumpang sari Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Analisis dilakukan di Laboratorium di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Penelitian Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun pengambilan sampel penelitian didasarkan pada jarak tambak dengan laut. Stasiun penelitian ditampilkan pada Gambar 1 dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 1 Stasiun penelitian di tambak tumpang sari di Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat
Stasiun 1 : tambak dengan jarak ± 0,5 km dari garis pantai S 06º14.714’, E 107º 40.783’
Stasiun 2 : tambak dengan jarak ± 1 km dari garis pantai S 06º14.714’, E 107º 40.961’
Stasiun 3 : tambak dengan jarak ± 1,5 km dari garis pantai S 06º15.181’, E 107º41.006’
3
Pengumpulan Data Penelitian
Metode pengumpulan data pada masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Parameter yang diukur, satuan, alat atau metode, dan lokasi pengukuran
No Parameter Alat dan metode pengukuran Satuan Tempat
1 Mikro klimat
Intensitas cahaya Lux meterd Lux in-situ
Suhu udara Lux meterd ºC in-situ
Kelembaban Lux meterd %RH in-situ
2 Fisika-kimia air
Suhu DO meterb ºC in-situ
Salinitas Hand refractometera ‰ in-situ
pH pH meterb in-situ
DO DO meterb mg/L in-situ
TAN Metode phenatg mg/L ex-situ
Nitrit Metode sulfanilamideg mg/L ex-situ
Nitrat Metode bruchineg mg/L ex-situ
3 Fisika substrat
Warna substrat Pengamatan langsung in-situ
Fraksi substrat Gravimetric % ex-situ
4 Vegetasi mangrove
Identifikasi jenis Buku identifikasif ex-situ
Jumlah individu Pengamatan langsung Individu In-situ
5 Produksi
Produksi kepiting bakau Wawancara (purpossive sampling) kg In-situ
Produksi udang liar Wawancara (purpossive sampling) kg In-situ
6 Jenis Biota Wawancara dan pengamatan
Data produksi diperoleh dengan menggunakan metode wawancara
4
Pengukuran Mikroklimat
Kondisi mikroklimat pada setiap stasiun penelitian dilakukan secara in-situ
dengan menggunakan Lux meter. Parameter yang diukur meliputi suhu udara, kelembaban, dan intensitas cahaya.
Pengukuran Fisika-Kimia Air
Pengukuran parameter fisika-kimia air pada setiap stasiun penelitian dilakukan pada dua kondisi yang berbeda yaitu pada saat ketinggian air dalam tambak 50 cm (pagi) dan pada saat ketinggian air 70 cm (sore). Pengukuran dilakukansecara in-situ dan ex-situ. Suhu, pH , DO, dan salinitas diukur secara in-situ. Sedangkan pengukuran TAN, nitrit, dan nitrat dilakukan secara ex-situ di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pengukuran Fisika Substrat
Pengukuran parameter fisika substrat dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Pengamatan warna tanah dilakukan secara in-situ. Pengukuran fraksi substrat dilakukan secara ex-situ di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pengukuran Vegetasi Mangrove
Pengukuran vegetasi mangrove dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Perhitungan jumlah pohon mangrove dilakukan secara langsung di stasiun penelitian. Sedangkan jenis mangrove diidentifikasi menggunakan buku identifikasi secara ex-situ di Laboratorium Bima 2, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Jenis Biota dalam Tambak
Informasi jenis biota yang ada pada setiap stasiun diperoleh dengan pengamatan langsung di lapang dan wawancara metode purpossive sampling. Dalam hal ini yang dijadikan narasumber adalah pemilik tambak stasiun penelitian dan Pengurus KUD yang terdapat di Desa Langensari.
Analisa Kandungan Protein Kepiting
Analisa kandungan protein daging kepiting diketahui melalui uji proximat yang dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kepiting yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Jenis Biota dalam Tambak
Jenis biota yang terdapat pada setiap stasiun penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Data keragaman biota akuatik pada masing-masing stasiun penelitian
Stasiun Biota ditebar Biota liar
1 Ikan bandeng dan ikan mujair Udang dan kepiting bakau
2 Ikan bandeng dan ikan mujair Udang dan kepiting bakau
3 Ikan bandeng dan ikan mujair Udang dan kepiting bakau
4 Ikan bandeng dan ikan mujair Udang
Berdasarkan data pada Tabel 2 di atas diketahui bahwa organisme yang terdapat pada stasiun penelitian berupa ikan bandeng, ikan mujair, udang liar, dan kepiting bakau. Namun kepiting bakau hanya terdapat pada stasiun 1, 2, dan 3. Produksi Kepiting dan Udang Liar
Berikut data produksi kepiting bakau tambak tumpang sari di Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Subang, Jawa Barat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Data produksi kepiting bakau Desa Langensari Pada Tahun 2014
Sumber Produksi tahun 2014 (kg)
Pengepul 17.100
KUD (Koperasi Unit Desa) 366
Produksi total 17.466
Berdasarkan data pada Tabel 3 di atas diketahui bahwa terdapat duanarasumber yang dijadikan sumber informasi terkait produksi kepiting bakau yaitu pengepul dan KUD. Data produksi kepiting bakau dari pengepul sebanyak 17.100 kg dan data produksi dari KUD sebanyak 366 kg. Total produksi kepiting bakau Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Subang, Jawa Barat pada tahun 2014 adalah 17.466 Kg.
Berikut hasil tangkapan kepiting pada masing-masing blok penelitian disajikan pada Tabel 4.
6
Tabel 5 Data produksi udang liar pada masing-masing stasiun
Stasiun Produksi udang liar (kg/hari)
1 ±3
2 ±5
3 ±2
4 ±2
Berdasarkan data pada Tabel 5di atas diketahui bahwa produksi udang liar berbeda pada masing-masing stasiun. Produksi paling tinggi terdapat pada stasiun 2 sebanyak ±5 kg per hari, sedangkan produksi paling rendah terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 masing-masing sebanyak ±2 kg per hari.
Kondisi Mikroklimat
Kondisi mikroklimat di tambak tumpang sari Desa Langensari, Subang, Jawa Barat pada saat pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Data hasil pengukuran mikroklimat pada setiap stasiun penelitian.
Stasiun Suhu udara ( pengambilan sampel pada stasiun penelitian dilakukan pada kondisi cuaca yang cerah. Suhu udara berkisar 29,10-38,9 ºC. Kelembaban udara berkisar 55,8-81,10 % RH. Sedangkan intensitas cahaya pada saat pengukuran berkisar 0-14990 lux. Kualitas Fisika-Kimia Perairan
Kualitas fisika-kimia perairan di tambak tumpang sari Desa Langensari, Subang, Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 2.
a b
Gambar 2 Grafik parameter fisika air; a. Suhu, b. Salinitas
Berdasarkan data pada Gambar3 di atas diketahui bahwa suhu air pada saat pagi berkisar 30-31,2 ºC dengan nilai tertinggi pada stasiun 1 yaitu 31,2 ºC dan nilai terendah pada stasiun 2 yaitu 30 ºC. Sedangkan pada sore hari suhu tertinggi
7
terdapat pada stasiun 1 yaitu 33,3 ºC dan suhu terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 31,4 ºC. Sebaran nilai salinitas mengalami penurunan seiring semakin jauhnya jarak tambak dari laut. Nilai salinitas salinitas paling rendah terdapat pada stasiun 4 pada waktu pagi yaitu 5 ‰, sedangkan salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 1 pada waktu pagi yaitu 30 ‰.
a b
c d
e
Gambar 3 Grafik parameter kimia air; a. Nilai pH, b. Nilai DO, c. Nilai TAN, d. Nilai Nitrit, e. Nilai Nitrat
8
Berdasarkan data pada Gambar3di atas diketahui bahwa nilai pH pada tiap stasiun tidak memiliki perbedaan yang signifikan, nilai pH berkisar 7,80-8,78. Sebaran kandungan oksigen terlarut (DO) berbeda pada tiap stasiun. Nilai DO paling tinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 6,7 mg/l, sedangkan nilai DO paling rendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 2,4 mg/L. Nilai Total Amonia Nitrogen (TAN) pada stasiun 2, 3, dan 4 mengalami penurunan pada saat sore, namun pada stasiun 1 mengalami peningkatan saat sore yaitu 0,0972 mg/L menjadi 0,1258 mg/L. Sebaran nilai nitrit berbeda pada tiap stasiun. Nilai nitrit paling tinggi terdapat pada stasiun 4 pada saat sore yaitu 0,0469 mg/L sedangkan nilai nitrit paling rendah terdapat pada stasiun 1 pada saat sore yaitu 0,0105 mg/L. Nilai nitrat berbeda pada tiap stasiun. Nilai nitrat paling tinggi terdapat pada stasiun 1 pada waktu pagi yaitu 0,514 mg/L, sedanggkan nilai paling rendah terdapat pada stasiun 3 ketika pagi yaitu 0,270 mg/L.
Kualitas Fisika Substrat
Kualitas fisika substrat di tambak tumpang sari Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Subang, Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Data hasil pengukuran kualitas fisika substrat pada setiap stasiun penelitian
Stasiun
Fisika
Fraksi substrat (%) Warna Jenis tanah
1 Debu : 25.61, pasir : 67.13, liat :7.26 Abu kehitaman Lempung berpasir 2 Debu : 25.24, pasir : 66.45, liat :8.31 Abu kehitaman Lempung berpasir 3 Debu : 29.98, pasir : 62.85, liat :7.16 Abu kehitaman Lempung berpasir 4 Debu : 13.45, pasir : 74.03, liat :12.52 Abu kehitaman Lempung berpasir
Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas diketahui bahwa jenis tanah sama pada semua stasiun penelitian yaitu lempung berpasir dengan warna abu kehitaman.
Vegetasi Mangrove
Berikut data vegetasi mangrove yang tumbuh di tambak tumpang sari Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Subang, Jawa barat disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Data hasil pengamatan vegetasi mangrove yang terdapat di setiap stasiun
penelitian
Stasiun Jenis mangrove Diameter (cm) Jumlah Pohon Luas tambak
9
Perbandingan Kandungan Protein
Perbandingan kandungan protein antara kepiting bakau hasil tangkapan di tambak tumpang sari dengan hasil tangkapan dari hutan mangrove disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Data kandungan protein pada kepiting yang berasal dari tambak tumpang sari dan kepiting yang berasal dari hutan mangrove
Sumber kepiting Kandungan protein daging
Tambak tumpang sari 16,81%
Hutan mangrove 11,05%
Berdasarkan data pada Tabel 9 di atas diketahui bahwa kandungan protein kepiting yang berasal dari tambak tumpang sari lebih tinggi dibandingkan kandungan protein kepiting yang berasal dari hutan mangrove yaitu 16,81% berbanding 11,05%.
Pembahasan
Desa Langensari Subang memiliki produksi kepiting bakau yang cukup besar yaitu sebanyak 17,4ton pada tahun 2014. Sumber kepiting bakau berasal dari hasil tangkapan pada lokasi tambak tumpang sari. Tambak tumpang sari merupakan kegiatan terpadu antara budidaya ikan dengan pelestarian hutan mangrove (Nuryanto 2003). Jenis mangrove yang tumbuh subur di tambak tersebut adalah jenis Avicenia marina. Asosiasi antara tambak dengan hutan mangrove merupakan lingkungan yang baik untuk menunjang pertumbuhan kepiting bakau Scylla serrata. Karena secara tidak langsung luruhan daun mangrove juga berperan sebagai penyedia unsur hara ekosistem perairan tambak karena luruhan daunya dapat didekomposisi oleh detritus akuatik yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan (Handayani 2009). Pohon mangrove yang tumbuh di dalam tambak membuat kondisi lingkungan menyerupai habitat alami kepiting bakau, sesuasi pernyataan Suryani (2006), bahwa hutan mangrove merupakan tempat memijah (spawning grown) dan tempat pengasuhan (nursery ground) kepiting bakau. Selain itu ketersediaan makanan yang melimpah menjadikan tempat ini nyaman untuk kepiting bakau.
Keberadaan suatu populasi dapat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan dan ketersediaan makanan di tempat tersebut begitu juga kepiting bakau. Menurut FAO (2011) jenis makanan kepiting bakau di alam diantaranya detritus laut, moluska, krustasea, ikan, dan bangkai tergantung lokasi tempat hidupnya. Banyaknya udang liar pada tambak tumpang sari diduga menjadi salah satu faktor penyebab kepiting bakau Scylla serrata tertarik untuk hidup di sekitar tambak. Sesuai dengan hasil penelitian La Sara et al (2007) bahwa secara umum Scylla serrata di Teluk Lawele, Sulawesi lebih banyak mengkonsumsi organisme bentik yang bergerak lambat seperti moluska dan krustase (udang). Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya hasil uji protein yang menunjukan kandungan protein daging kepiting bakau yang bersal dari tambak tumpang sari lebih tinggi dibanding kandungan protein kepiting bakau yang berasal dari perairan mangrove alami, yaitu 16,81% berbanding 11,05%.
10
juga pada blok 1 dan 3 diperoleh hasil tangkapan kepiting bakau masing-masing sebanyak 5, 2 ton/tahun dan 3,4ton/tahun. Namun pada blok 4 tidak ditemukan kepiting bakau meskipun tersedia pakan alami berupa udang liar dengan hasil tangkapan sebanyak ±2 kg/hari. Data ini menunjukan bahwa ketersediaan makanan bukansatu-satunya faktor penentu keberadaan kepiting bakau di lokasi penelitian.
Analisis kondisi lingkungan perairan tambak tumpang sari meliputi parameter fisika, kimia, dan biologi. Parameter fisika perairan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau adalah salinitas dan suhu (FAO 2011). Salinitas merupakan parameter utama yang sangat penting bagi organisme yang hidup di air payau termasuk kepiting bakau. Perubahan nilai salinitas suatu perairan dapat mempengaruhi tingkat kerja osmotik dalam tubuh kepiting dan akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan. Berdasarkan hasil pengukuran di lapang diketahui nilai salinitas perairan pada stasiun penelitian berkisar 5-30‰. Kisaran salinitas yang berbeda dan berubah-ubah disebabkan adanya pengaruh pasang surut air laut. Namun kisaran salinitas ini menyerupai salinitas habitat alami kepiting bakau di alam. Sesuai hasil penelitian Paital dan Chainy (2012) bahwa kisaran salinitas hutan mangrove di india yaitu 1-33‰.
Berdasarkan informasi dari nelayan diketahui bahwa kepiting bakau ditemukan pada blok 1, 2, dan 3 yang memiliki kisaran salinitas sebesar 20-30‰. Salinitas yang dapat ditoleransi oleh kepiting bakau menurut FAO (2011) berkisar 5-44‰. Namun kepiting bakau jenis Scylla serrata cenderung menyukai peraian dengan salinitas yang lebih tinggi dibanding jenis kepiting bakau lain (FAO 2014). Jumlah tangkapan terbanyak terdapat pada blok 2 sebesar 8,7ton/tahun dengan salinitas berkisar 26-29‰. Salinitas ini merupakan nilai paling mendekati salinitas optimum untuk kepiting bakau. Sesuai penelitian Safrina (2013), bahwa salinitas yang paling optimum untuk budidaya kepiting bakau yaitu 25‰. Namun hasil tangkapan kepiting tidak ditemukan pada blok 4 dengan kisaran salinitas
5-14‰. Kisaran salinitas ini kurang baik untuk kepiting bakau. Menurut Kong et al
(2008) salinitas lingkungan yang rendah dapat merusak protein dan lipid pada insang kepiting bakau. Kerusakan pada insang akan mengganggu penyerapan oksigen dan berdampak terhadap performa pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau.
Suhu perairan juga perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya karena berpengaruh terhadap laju metabolisme kepiting bakau. Hasil pengukuran di lapang diperoleh suhu perairan berkisar 30-33,3oC. Kisaran suhu ini masih termasuk ke dalam kisaran suhu pada habitat alami kepiting bakau. MenurutFAO (2011)kisaran suhu yang baik untuk pemeliharaan kepiting bakau adalah 25-35ºC. Berdasarkan hasil penelitian diduga suhu perairan paling mendekati suhu optimum untuk kepiting bakau berkisar 30-31,8oC pada satasiun 2 dengan jumlah tangkapan tertinggi pada blok 2 yaitu 8,7ton/tahun.Menurut Millaty (2014), suhu optimum untuk budidaya kepiting bakau yaitu 29 oC.
Selain parameter fisika air, parameter kimia juga sangat penting diperhatikan dalam kegiatan budidaya kepiting bakau. Parameter kimia air yang perlu diketahui diantaranya: Derajat Keasaman (pH), Oksigen Terlarut (DO), Total Amonia Nitrogen (TAN), Nitrit (NO2), dan Nitrat (NO3). Hasil pengukuran
11
Meskipun kisaran pH di lapang cenderung lebih tinggi, namun masih termasuk dalam kisaran yang baik untuk kepiting bakau. Sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Mwaluma (2002) juga menjelaskan bahwa nilai pH pada pemeliharaan kepiting bakau pen culture di mangrove Mtwepa, Kenya berkisar 7,95-8,25. Naik turunnya nilai pH pada tiap stasiun disebabkan adanya aktivitas metabolisme autotrof. Kaul dan Handoo (1980) menjelaskan bahwa peningkatan pH perairan disebabkan adanya peningkatan aktivitas metabolisme autotrof yang lebih cenderung menggunakan CO2 dan menghasilkan O2, sehingga
mengurangi kadar H+ di perairan.
Nilai DO pada tiap stasiun bersifat fluktuatif pada kisaran 2,4-6,7 mg/L. Nilai DO yang dioperoleh dari semua stasiun cenderung lebih rendah dibandingkan standar yang ditetapkan KEPMEN-LH (2004), bahwa nilai DO minimal untuk biota air laut yaitu >5 mg/L. Namun kandungan oksigen yang rendah tidak terlalu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup kepiting karena areal tambak tumpang sari dipengaruhi oleh pasang surut. Pergantian air yang relatif sering mengakibatkan kandungan oksigen selalu tersedia dalam petakan tambak. Rendahnya nilai DO diduga akibat tingginya dekomposisi bahan organik oleh bakteri pengurai karena suhu perairan yang cukup tinggi yaitu kisaran 30-33.3ºC. Effendi (2003) menjelaskan bahwa dekomposisi biasanya terjadi pada suhu hangat. Kecepatan dekomposisi meningkat pada kisaran suhu 5-35ºC. Pada kisaran suhu tersebut setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi dua kali lipat.
Nilai Total Amonia Nitrogen (TAN) pada tiap stasiun berkisar 0,0515- 0,3298 mg/L. Nilai TAN tersebut masih tergolong kisaran yang tidak membahayakan untuk kepiting bakau. Nilai total amonia untuk hewan laut yang ditetapkan oleh KEPMEN-LH (2004), yaitu kurang dari 0,3 mg/L. Pada stasiun 3 nilai amonia total mencapai 0,3298 mg/L, namun kondisi tersebut masih dalam toleransi kepiting bakau sesuai dengan hasil penelitian Millalena dan Banggaya (2001), nilai TAN pada pemeliharaan kepiting bakau Scylla serrata berkisar 0,1-0,95 mg/L. Nilai nitrit pada tiap stasiun berkisar 0,0105-0,0469 mg/L. Nilai nitrit pada kisaran tersebut masih aman untuk pemeliharaan kepiting bakau. Hasil penelitian Millalena dan Banggaya (2001) menjelaskan bahwa kisaran nilai nitrit pada pemeliharaan kepiting bakau di Filiphina berkisar 0,0-0,19 mg/L. Boyd (2000), menjelaskan bahwa nilai nitrit yang tinggi diperairan dapat mengikat
hemocyanin dalam darah krustase sehingga menurunkan kemampuan darah mengikat oksigen. Nilai nitrat pada tiap stasiun berkisar 0,239-0,514 mg/L. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut perairan pada semua stasiun tergolong jenis perairan dengan kesuburan sedang. Vollenweider (1968), menyatakan bahwa kandungan nitrat <0,227 mg/L tergolong perairan kurang subur, kandungan nitrat antara 0,227-1,129 mg/L tergolong perairan dengan kesuburan sedang, dan kandungan nitrat antara 1,130-11,250 mg/L tergolong perairan dengan kesuburan tinggi.
12
sejumlah kepiting bakau berukuran besar yang membuat lubang pada substrat yang lunak.Lubang tersebut berfungsi sebagai tempat berlindung dari predator , sebagai alat mencari makan, dan sebagai tempat bereproduksi. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa jenis substrat yang terdapat pada tambak tumpang sari Desa Lengensari cenderung sama yaitu lempung berpasir.
Secara keseluruhan kondisi lingkungan perairan tambak tumpang sari di Desa Langensari, Subang, Jawa Barat masih dalam kisaran toleransi hidup kepiting bakau Scylla serrata dengan kondisi terbaik terdapat pada stasiun 2. Kondisi lingkungan perairan yang paling disukai kepiting bakau berdasarkan hasil penelitian ini yaitu salinitas kisaran 26-29 ‰, suhu kisaran 30-31,8 ºC, nilai pH kisaran 8,24-8,45, nilai DO kisaran 2,8-5,7 mg/L, batas nilai TAN kisaran 0,1439-0,1106 mg/L, batas nilai nitrit kisaran 0,0144, nilai nitrat kisaran 0,263-0,305 mg/L, dengan jenis substrat lempung berpasir.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik lingkungan di tambak tumpang sari berada dalam kisaran yang baik untuk pemeliharaan kepiting bakau Scylla serrata sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan budidaya di tambak sistem tumpang sari dengan parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap hasil tangkapan adalah salinitas kisaran 26-29 ‰, jumlah pohon mangrove 24 individu/petak tambak, dan diameter pohon mangrove 25-30 cm.
Saran
Untuk ke depannya dapat dilakukan penelitian di laboratorium terkait parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap produksi kepiting bakau
Scylla serrata.
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 1975. Standard method for examination of water and wastewater, 14th ed. Washington DC: American Water Works Association, and Wather Pollution Control Federation. [APHA] American Public Health Association. 1998. Standard method for
examination of water and wastewater, 20th ed. Washington DC: American Water Works Association, and Wather Pollution Control Federation. [APHA] American Public Health Association. 1999. Standard method for
examination of water and wastewater, 20th ed. Washington DC: American Water Works Association, and Wather Pollution Control Federation. Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman,
13
Boyd CE. 2000. Water Quality An Introduction. New York: Kluwer Academic Publishers.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta (ID): Kanisius.
[FAO]. Food and Agriculture Organization. 2011. Species fact sheet Scylla serrata. Rome (IT): FAO.
[FAO]. Food and Agriculture Organization. 2014. Species fact sheet Scylla serrata. Rome (IT): FAO.
Giersen W, Stephan W, Max Z, Liesbeth S. 2007. Mangroe Guidebook for Southeast Asia. Thailand (TH): Dharmasarn Co. Ltd.
Hafsah, Tri Y, Kustono, Djuwantoko. 2009. Karakteristik tanah dan mikroklimat habitat burung maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Jurnal Manusia dan Lingkungan 16: 75-80. Handayani D. 2009. Kelimpahan dan keragaman plankton di perairan pasang
surut tambak Belanakan Subang.[Skripsi]. Jakarta (ID). Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah.
Kaul V dan Handoo JK. 1980. Physicochemical characteristic of Nilang-a high altitude forest Lake of Kashmir and its comparison with valley lakes. Proc Indian National Science Acad 46: 528-541.
[KEPMEN-LH]. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. 2004. Baku mutu air laut untuk biota air laut. Jakarta (ID): KEPMEN-LH.
[KKP]. Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2014. Volume ekspor kepiting bakau. Jakarta (ID): KKP.
Kong X, Guizhong W, Shaojing L. 2008. Seasonal variations of ATPase activity and antioxidant defense in gills of the mud crab Scylla serrata (Crustacea, Decapoda).Marine Biology 154: 269-276.
La Sara et al. 2007. The natural diet of the mud crab Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. The Philippine Agricultural Scientis
90: 6-14
Millamena OM dan Banggaya JP. 2001. Reproductive performance and larval quality of pond-raised Scylla serrata females fed various broodstock diets.
Asian Fisheries Science 14: 153-159.
Millaty R. 2014. Penentuan suhu optimum untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih kepititng bakau Scylla serrataforskal pada media dengan sistem resisrkulasi.[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Moosa MK, Aswandi I, Kasry A. 1985. Kepiting bakau, Scylla serrata (Forskal, 1775) dari perairan Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Mwaluma J. 2002. Pen culture of the mud crab Scylla serrata in Mtwapa Mangrove System, Kenya. Western Indian Ocean 1: 127-133.
Nadeak H. 2014. Penentuan pH Optimum untuk Pertumbuhan Kepititng Bakau
Scylla serratadalam Wadah Terkontrol.[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryanto, A. 2003. Syilvofihsery (Mina Hutan): Pendekatan pemanfaatan hutan mangrove secara lestari. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana/ S3. Institut Pertanian Bogor. Hal:2.
14
Paital B dan Chainy GBN. 2012. Biology and conservation of the genus Scylla in India subcontinent. Environmental Biology 33: 871-879.
Safrina MD. 2013. Penentuan salinitas optimum untuk pertumbuhan benih kepititng bakau Scylla serratadalam sistem resirkulasi.[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saleh S. 1986. Statistik Deskriptif Teori dan Aplikasi. Yogyakarta (ID): Andi Offset
Suryani M. 2006. Ekologi kepiting bakau Scylla serrataForskal dan ekosistem mangrove di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrition. In
Watanabe T. (ed): Fish Nutrition and Mariculture Tokyo. Departement of Aquatic Bioscienes Tokyo University of Fisheries. JICA.
Teddlie C, Fen Yu. 2007. Mixed method sampling a typology with examples.
Journal of Mixed Method Research 1:77-100.
15
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi pengambilan sampel pada setiap stasiun penelitian
Keterangan : luas total lokasi tambak 265 Ha
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
16
Lampiran 2 Hasil pengukuran kualitas fisika air pada setiap stasiun penelitian.
Stasiun
Fisika
Suhu (ºC) Salinitas (‰)
Pagi Sore Pagi Sore
1 31,2 33,3 30 29
2 30,0 31,8 26 29
3 31,0 32 20 20
4 30,3 31,40 5 14
Lampiran 3 Hasil pengukuran kualitas kimia air pada setiap stasiun penelitian
Stasiun
Kimia
pH DO (mg/L) TAN (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L)
P S P S P S P S P S
1 7,80 8,78 6,7 4,2 0,0972 0,1258 0,0364 0,0105 0,514 0,248
2 8,24 8,45 5,7 2,8 0,1439 0,1106 0,0144 0,0392 0,263 0,305
3 8,21 8,28 2,4 3,7 0,3289 0,1239 0,0153 0,0191 0,270 0,197
4 8,26 8,43 3,7 4 0,2231 00515 0,0469 0,0354 0,239 0,277
Keterangan: P = pagi, S = sore
Lampiran 4 Dokumentasi wawancara dengan pihak terkait
Anggota koperasi Pemilik tambak Penangkap kepiting
Pengepul kepiting Tempat pelelangan udang
17
Lampiran 5 Gambar kepiting bakau Scylla serrata hasil tangkapan di tambak tumpang sari.
Sampel Kepiting bakau Pengambilan daging
Lampiran 6 Gambar alat tangkap kepiting bakau di Desa Langensari
Alat tangkap bubu Alat tangkap pancing
1
Lampiran 7 Ringkasan data masing-masing parameter di setiap stasiun penelitian
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Koto Hiling pada tanggal 27 Agustus 1993, dan merupakan putrapertama dari dua bersaudara (Rafi Satriawan) dari keluarga Bapak Ridwan dan Ibu Helfiana. Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu SMA Negeri 1 Batusangkar dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menjalani masa perkuliahan, penulis pernah menjadi koordinator asisten praktikum Manajemen Kualitas Air pada tahun ajaran 2014/2015, danasisten Fisika Kimia Perairan pada tahun ajaran 2014/2015.Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Praktik Lapang Akuakultur (PLA) di BBPPBL Gondol, Bali pada tahun 2014 dengan komoditas kerapu cantang. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan IPB Goes to Field (IGTF) di Kabupaten Brebes pada tahun 2013. Penulis juga pernah menjadi ketua oraganisasi mahasiswa daerah yaitu Ikatan Mahasiswa Serambi Mekkah dan Pagaruyung (IMMASERAMPAG) periode tahun 2012/2013 dan 2013/2014.Sebagai anggota divisi Pengembangan Bidang Olahraga dan Seni (PBOS) Himpunan Mahasiswa Akuakultur (Himakua) IPB tahun 2013 dan 2014. Tugas akhir dalam pendidikan perguruan tinggi