• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon Zizanioides) Dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung Di Waduk Cirata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon Zizanioides) Dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung Di Waduk Cirata"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KAPASITAS FITOREMEDIASI TANAMAN VETIVER (Chrysopogon zizanioides) DALAM MEREDUKSI LIMBAH CAIR

ORGANIK STUDI KASUS KERAMBAK JARING APUNG DI WADUK CIRATA

JEFRI NURSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon zizanioides) dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung di Waduk Cirata adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, September 2016

Jefri Nursanto

(3)

RINGKASAN

JEFRI NURSANTO. Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon zizanioides) dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung di Waduk Cirata. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan HEFNI EFFENDI.

Pencemaran perairan merupakan masalah global utama yang hingga saat ini banyak memberikan dampak negatif terhadap bidang akuakultur namun budidaya perikanan juga turut memberikan dampak negatif terhadap kualitas air di lingkungan perairan. Budidaya perikanan yang dilakukan dengan menggunakan air yang tercemar limbah akan menurunkan produksi organisme budidaya dan berdampak langsung pada aspek sosial dan ekonomi. Secara garis besar, budidaya perikanan juga menghasilkan limbah yang berasal dari kegiatan budidaya berupa feses, hasil metabolisme tubuh, sisa pakan yang tidak tercerna oleh organisme budidaya, maupun organisme yang mati di dasar perairan yang dapat menurunkan kualitas air budidaya ikan khususnya di waduk cirata. Tingginya unsur hara, terutama nitrogen (N) dan fosfor (P) yang menyebabkan kandungan kedua zat tersebut menjadi sangat melimpah di dalam perairan. Di lain pihak, tingginya kedua unsur hara tersebut akan mengakibatkan perairan menjadi sangat subur (eutrofikasi) yang seringkali ditandai oleh terjadinya blooming algae di dalam perairan, terjadi kondisi anoksia, sehingga perairan dapat membahayakan makhluk hidup yang ada di dalamnya

Fitoremediasi merupakan salah satu cara untuk dekontaminasi limbah dengan menggunakan tanaman dan bagian-bagiannya, secara in situ atau ex situ. Salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk itu adalah vetiver (Chrysopogon zizanioides). Vetiver mampu bertahan hidup di daerah tergenang dan daerah bersalinitas moderat. Truong et al. (2008) menyatakan bahwa rumput vetiver ini mampu tumbuh di wetland area dan efektif mengurangi air limbah.

Penelitian bertujuan untuk mempelajari kemampuan vetiver dalam mereduksi limbah organik terlarut dalam air dan menganalisis laju pertumbuhannya. Pada penelitian terdapat tiga perlakuan, yakni vetiver dengan bobot 15 g dan 30 g serta control, dengan ulangan sebanyak tiga kali, selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap air waduk yang banyak dicemari oleh limbah anorganik dan limbah organik khususnya dari kegiatan karamba jaring apung. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa vetiver bobot 15g dan 30 g tidak berbeda nyata pada waktu yang sama untuk memperbaiki kualitas air, tetapi dalam setelah satu bulan memperlihatkan perbedaan yang signifikan, yakni vetiver 30 g lebih baik dari 15 g. Vetiver tidak mempengaruhi secara nyata kualitas air, namun cenderung memperbaiki kualitas air. Vetiver mampu tumbuh dengan baik pada media limbah cair organik. Vetiver yang untuk fitoremediasi, idealnya adalah vetiver yang masih muda

(4)

SUMMARY

JEFRI NURSANTO. Phytoremediation Capacity Analized of Vertiver (Chrysopogon zizanioides) in Reducting Organic Liquid Waste, Study Case on Kerambak Jaring Apung in Cirata Reservoir. Supervised by ETTY RIANI dan HEFNI EFFENDI

Water pollution is a major global concern that until now gives many negative impacts on the aquaculture field. Aquaculture also have a negative impact on water quality in aquatic environments. Aquaculture which done by using the contaminated water waste will decrease the production cultivation organisms and gives direct impact on social and economic aspects. Aquaculture also produces waste originating from aquaculture activities, in the form of feces, the metabolism of the body, leftover the food that not digested by the cultivation organisms, or organisms that die in the bottom waters that can degrade water quality, especially fish farming in reservoirs. High nutrients, especially nitrogen (N) and phosphorus (P) which causes the contents of these two substances to be very abundant in the waters. In another case, the high of two nutrients would result to be very fertile waters (eutrophication), which are often characterized by the occurrence of

blooming algae in the waters, anoxia conditions occur, so the water can be harmful to living things in it.

Phytoremediation is one way to decontaminate waste by using plants and parts thereof, by in situ or ex situ. One species of plants that can be used for that is vetiver (Chrysopogon zizanioides). The Vertiver able to survive in inundated areas and moderate-salinity areas. Truong et al. (2008) stated that vetiver grass is able to grow in the wetland area and effectively reduce wastewater.

The research aims to study the ability of vetiver in reducing organic waste dissolved in the water and analyzing the growth rate. In the research, there are three treatments of the vertiver, 15 g, 30 g, and the control which repeated in three times. Then carried out observations of reservoir water contaminated by sewage that many inorganic and organic waste, especially from KJA. The results showed that the vetiver 15 g and 30 g were not significantly different at the same time to improve water quality, but one month after, its showed a significant difference, that 30 g vetiver better than 15 g. Vetiver does not significantly affect water quality, but tends to improve the water quality. Vertiver is able to grow well on the organic liquid waste medium. Vertiver for phytoremediation is ideally young vertiver.

(5)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

ANALISIS KAPASITAS FITOREMEDIASI TANAMAN VETIVER (Chrysopogon zizanioides) DALAM MEREDUKSI LIMBAH CAIR

ORGANIK STUDI KASUS KERAMBAK JARING APUNG DI WADUK CIRATA

JEFRI NURSANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam Dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September sampai Desember 2015 ini ialah Analisis Kapasitas Fitoremediasi Tanaman Vetiver (Chrysopogon zizanioides) Dalam Mereduksi Limbah Cair Organik Studi Kasus Kerambak Jaring Apung Di Waduk Cirata.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi : Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc dan Prof Dr Ir H Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL) IPB, yang telah memberikan motivasi selama studi dan masukan pada saat ujian sidang tesis. Kepada DIKTI melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) 2013/2014, terima kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fitri Riani, Beni Staria Maulana, Syaminan, Sari Nurlita, Pratiwi, Kiki, Rastya Gesilia, dan Andria atas nasehat, bantuan serta persahabatannya selama ini. Pak Eman, Ka Bagus Utomo S.Pi, Pak Nata, dan pak John Hendrik selaku staf PPLH IPB, terima kasih atas bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL) atas semua ilmu, pengalaman dan bimbingannya. Teman-teman PSL angkatan 2013 terima kasih atas kebersamaan, keceriaan, dan semangat yang diberikan. Ucapan terima kasih kepada teman-teman Asrama Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah dan Keluarga Besar HIMPAST Dan PPMI Bogor atas bantuan dan kerjasamanya.

Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Ayahanda Yelfitra , Ibunda Ida Nursanti dan Angga Maulana Dan Defita Nurfitria adik-adikku tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pikiran 3

Rumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Pencemaran Air 6

Dampak Aktivitas Manusia di Peraira Waduk 7

Sistem Fitoremedias 8

Karakteristik Rumput Vertiver (Chrysopogon zizanoides) 10

METODE 13

Waktu dan Tempat Penelitian 13

Alat dan Bahan 13

Prosedur Penelitian 14

Persiap Tanaman Vertiver 14

Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Digantung (THSD) 14 Pelaksanaan Penelitian dengan Sistem Vetiver Digantung 14 Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) 15 Pelaksanaan Percobaan Fitoremediasi dengan Vertiver terapung 15

Laju PertumbuhanVertiver 16

Analisis Kualitas Air 16

Analisis Data 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Suhu Perairan 17

Kelarutan Oksigen (DO) 20

BOD (Biological Oxygen Demand) 22

Ammonia (N-NH3) 24

Nitrat (N-NO3) 27

Phosfat (P-PO4) 30

Derajat Keasaman (pH) 32

(11)

Hubungan antara Parameter Kualitas Air dengan Pertumbuhan Vertiver 37

Rekomendasi 39

SIMPULAN

Simpulan 40

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 45

RIWAYAT HIDUP 46

DAFTAR TABEL

1 Parameter kuliatas air 16

2 Hasil analisis korelasi antara kualitas air dengan pertumbuhan vetiver 38

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram kerangka pemikiran penelitian 4

2 Karakteristik Morfologi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides) 11 3 Peta lokasi penelitian Waduk Cirata, Jawa Barat 13 4 Desain Wadah Teknik Fitoremediasi Limbah Organik 14 5 Pelaksanaan penelitian dengan perlakuan tanaman vetiver di letakan

secara digantung pada box stryfoam 15

6 Pelaksanaan penelitian dengan perlakuan tanaman vetiver di letakan

secara terapung box stryfoam 15

7 Suhu air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara

digantung pada bulan November 19

8 Suhu air pada perlakuan tanaman vetiver yang di letakan secara

terapung pada bulan Desember. 19 9 Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air pada perlakuan tanaman

vetiver dengan metode secara menggantung pada bulan November 21 10 Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air pada perlakuan tanaman vetiver

dengan metode secara terapung pada bulan Desember 22 11 Nilai konsentrasi BOD dalam air pada perlakuan tanaman vetiver

dengan metode secara menggantung pada bulan November 23 12 Nilai konsentrasi BOD dalam air pada perlakuan tanaman vetiver

dengan metode secara terapung pada bulan Desember 23 13 Konsentrasi amonia dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan

metode secara digantung di bulan November 26 14 Konsentrasi amonia dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan

(12)

15 Konsentrasi nitrat dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan

metode digantung di bulan November 28 16 Konsentrasi nitrat dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan

metode terapung di bulan Desember 29 17 Konsentrasi phospat dalam air pada perlakuan rumput vetiver

dengan metode digantung di bulan November 31 18 Konsentrasi phospat dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan

metode digantung di bulan Desember 31 19 Nilai (pH) air pada perlakuan rumput vetiver dengan metode

digantung pada bulan November 33

20 Nilai (pH) air pada perlakuan rumput vetiver dengan metode

terapung pada bulan Desember 33

21 Panjang tanaman vetiver pada perlakuan rumput vetiver digantung

pada bulan November 35

22 Panjang tanaman vetiver pada perlakuan rumput vetiver dengan metode

digantung pada bulan November 35

23 Panjang tanaman vetiver pada perlakuan rumput vetiver dengan metode

terapung di bulan Desember 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Suhu rata-rata perairan yang diberi perlakuan rumput vetiver 46 2 Kelarutan oksigen rata-rata perairan (ppm) diberi perlakuan rumput 46 3 Konsetrasi BOD rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan rumput 46 4 Konsentrasi amonia rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan 47 5 Kelarutan nitrat ammonia rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan 47 6 Kelarutan phospat rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan 47 7 Kelarutan phospat rata-rata perairan (ppm) yang diberi perlakuan 48 8 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)

terhadap suhu perairan 48

9 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)

terhadap kelarutan oksigen dalam air 48

10 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)

terhadap nilai BOD dalam air 49

11 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)

terhadap kelarutan ammonia dalam air 49

12 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)

terhadap kelarutan nitrat dalam air 49

13 Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan (berat rumput vetiver)

terhadap kelarutan phospat dalam air 50

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Dalam kenyataannya air bukan hanya dibutuhkan manusia saja, namun juga dibutuhkan oleh semua makhluk hidup tanpa kecuali. perkotaan telah terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan di Indonesia terutama terjadi di sungai, danau, waduk, dsb, bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini pencemaran cenderung terus meningkat. Penyebab utama pencemaran ini adalah akibat limbah rumah tangga (40%), limbah industri (30 %), dan sisanya berasal dari limbah pertanian dan peternakan (Kurniadie 2001). Salah satu waduk yang sudah tercemar adalah Waduk Cirata.

Waduk Cirata adalah salah satu waduk serbaguna, yang selain dimanfaatkan sebagai sumberdaya PLTA, juga dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan pariwisata. Hal ini terjadi karena waduk juga dimanfaatkan untuk upaya memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar waduk. Adapun salah satu pemanfaatan dari Waduk Cirata adalah pemanfaatan untuk kegiatan budidaya ikan pada karamba jaring apung (KJA). Bahkan kegiatan budidaya dalam KJA ini terlihat jauh lebih menonjol dibanding kegiatan lain yang sama-sama memanfaatkan potensi sumberdaya alam setempat. Kegiatan perikanan sangat pesat perkembangannya tersebut ditunjukkan oleh pertambahan jumlah KJA yang tersebar di perairan waduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun (BPWC 2014).

(14)

2

Fitoremediasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendekontaminasi limbah perairan dengan menggunakan tanaman dan bagian-bagiannya baik secara in situ maupun ex situ (Cunningham et al. 1995). Beberapa penelitian sebelumnya tentang fitoremediasi tanaman air yang menyerap zat pencemar dalam limbah yakni fitoremediasi dengan menggunakan tanaman

Ipomoea aquatica, Paspalum vaginatum, Phragmites australis (Lin et al. 2002); fitoremediasi dengan menggunakan tanaman Scirpus acutus, Eleocharis palustris;

Sparganium emersum (Michael 2003); fitoremediasi dengan menggunakan tanaman Hydrilla verticilata (Rahman et al. 2011); fitoremediasi dengan menggunakan tanaman eceng gondok (Syahputra 2005 ); fitoremediasi dengan menggunakan tanaman genjer (Priyanti dan Yunita, 2013). Selain hal tersebut, khusus untuk di wilayah tambak, fitoremediasi dengan menggunakan tanaman dengan menggunakan vegetasi Phragmites australis,Spartina alterniflora dan

Scirpus mariqueter (Shi et al. 2011). Selain hal tersebut juga dilakukan fitoremediasi terutama untuk limbah yang berasal dari kegiatan budidaya udang vaname, dengan menggunakan tanaman vetiver, dan hasilnya bahwa tanaman vetiver merupakan tanaman yang mampu menurunkan limbah oganik yang berasal dari kegiatan budidaya udang vaname (Raharjo et al. 2015 a, b, c).

Diantara tanaman yang prospektif untuk digunakan sebagai agen fitoremediasi limbah organik adalah vetiver (Chrysopogon zizanioides). Vetiver patut dipertimbangkan mengingat berbagai sifat positifnya, antara lain tidak memerlukan persyaratan tumbuh khusus, dapat tumbuh dengan baik pada media yang sangat ekstrim, dan sistim perakarannya masif (Truong 2011). Tanaman ini memiliki kapabilitas spesifik dalam mereduksi material organik seperti COD, BOD, amonia, dan juga logam seperti Zn (90%), As (60%), Pb (30-71%), dan Hg (13-15%) (Truong 2004). Krateristik dari tanaman Vetiver ini, sejenis rumput abadi dengan kemampuan adaptasi ekologis yang kuat dan produktivitas biomassa yang besar, mudah untuk mengelola dan dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah yang berbeda, yang membuatnya calon fitoremediator ideal untuk mengendalikan pencemaran lingkungan.

Penelitian tentang vetiver umumnya sebagai agen fitoremediasi pada tanah, seperti detoksifikasi dan fitoremediasi tanah terkontaminasi dengan fly ash dari pembangkit listrik termal (Ghosh et al. 2014), dan pengendalian erosi (Dalton 1996). Rumput vetiver memiliki salah satu karateristik yang unik, karena tanaman ini memiliki akar yang sangat panjang, sehingga rumput ini mampu mengikat sedimen yang mengandung pencemar dengan baik, dan sangat efisien dalam menyerap nutrisi yang larut seperti N dan P dan logam berat dalam air yang tercemar. Penggunaan tanaman vetiver sebagai fitoremediator, belum banyak yang mengkaji tentang kemampuan vetiver dalam mendegradasi limbah cair organik. Oleh karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat kemampuan tanaman vetiver dalam mereduksi limbah organik, di wilayah yang tercemar berat oleh limbah organik seperti di perairan Waduk Cirata yang saat ini merupakan perairan yang tercemar berat oleh limbah organik.

(15)

3 Kerangka Pikiran

Sumber air Waduk Cirata berasal dari aliran Sungai Citarum. Oleh karena itu ke dalamnya juga bermuara limbah rumah tangga (domestik), air sisa kegiatan pertanian, termasuk di dalamnya limbah dari kegiatan perikanan (KJA), serta air tanah yang terbawa ketika hujan. Adanya asupan limbah rumah tangga (domestik) dan limbah kegiatan pertanian dan perikanan dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas air yang pada akhirnya menyebabkan keseimbangan ekosistem waduk terganggu. Terganggunya keseimbangan ekosistem waduk dapat menyebabkan penurunan produktivitas waduk dan mengurangi daya guna waduk (sebagai tempat pemeliharaan ikan). Terganggunya keseimbangan ekosistem waduk ini seringkali direpleksikan dengan terjadinya kematian massal ikan. Selain itu, terganggunya keseimbangan ekosistem waduk juga menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sanz-Lazaro et al. (2011) yang mengatakan bahwa budidaya ikan dapat mempengaruhi kualitas air, tidak hanya parameter fisik, kimia dan biologi, tetapi juga fungsi ekosistem dari sudut pandang trofik, sehingga akan mempengaruhi rantai makanan dan keseimbangan antara kelompok trofik.

Salah satu teknologi dalam proses bioremediasi adalah dengan menggunakan tanaman (fitoremediasi). Pemanfaatan tanaman vetiver diharapkan mereduksi limbah cair organik. Menurut Truong et al. (2004) tumbuhan vetiver mampu menyerap N dan P yang tercemar dalam air, toleran terhadap herbisida dan pestisida, sangat toleran terhadap Al, Mn, dan logam berat seperti As, Cd, Cr, Ni, Pb, Hg, Se dan Zn dalam tanah dan air. Perubahan kandungan bahan organik pada kuliatas air Waduk Cirata dapat dilihat pada nilai uptake rate dan laju pertumbuhan pada proses fitoremediasi menggunakan tanaman vetiver.

(16)

4

Gambar 1 : Diagram kerangka pemikiran penelitian

Rumusan Masalah

Pencemaran perairan merupakan masalah global utama yang hingga saat ini banyak memberikan dampak negatif terhadap bidang akuakultur namun budidaya perikanan juga turut memberikan dampak negatif terhadap kualitas air di lingkungan perairan. Budidaya perikanan yang dilakukan dengan menggunakan air yang tercemar limbah akan menurunkan produksi organisme budidaya dan berdampak langsung pada aspek sosial dan ekonomi. Secara garis besar, budidaya perikanan juga menghasilkan limbah yang berasal dari kegiatan budidaya berupa feses, hasil metabolisme tubuh, sisa pakan yang tidak tercerna oleh organisme budidaya, maupun organisme yang mati di dasar perairan yang dapat menurunkan kualitas air budidaya ikan khususnya di waduk.

Terdapat berbagai masalah yang terkait dengan kualitas air, seperti derajat keasaman (pH) yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, kandungan bahan organik

Waduk Citara

AktivitasManusia

Transportasi Domestik K J A

(Kerambak Jaring Apung)

Limbah Organik Fitoremediasi

Chrysopogon zizanioides L

Kualitas Air a. pH

b. BOD5

c. Suhu

d. Bahan Organik

Pertumbuhan Tanam a. Laju Pertumbuhan

tanaman vetiver b. Pertambahan Tunas c. Pertumbuhan Akar

(17)

5 yang tinggi, kontaminasi zat tercemar dsb. Namun diantara masalah-masalah tersebut, adanya kontaminasi bahan pencemar seringkali menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Salah satu bahan pencemar yang sering bermasalah pada perairan yang didalamnya terdapat budidaya dalam KJA antara lain adalah tingginya unsur hara, terutama nitrogen (N) dan fosfor (P), sehingga kandungan keduanya menjadi sangat melimpah di dalam perairan. Di lain pihak, tingginya kedua unsur hara tersebut akan mengakibatkan perairan menjadi kelewat subur (eutrof)yang seringkali ditandai oleh terjadinya blooming algae di dalam perairan, terjadi kondisi anoksia, sehingga perairan dapat membahayakan makhluk hidup yang ada di dalamnya (Effendi 2000).

Di Waduk Cirata hal tersebut di atas dapat terjadi, mengingat pada waduk ini terdapat kegiatan-kegiatan, seperti wisata perahu, restoran apung, transportasi dan aktivitas KJA yang semuanya akan mensuplai a limbah organik dalam jumlah yang sangat besar. Hal tersebut pada akhirnya memberi dampak negatif terhadap fungsi dan pemanfaatan waduk. Menurut BPWC (2014) jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata melebihi daya dukung yang telah ditetapkan. Oleh karena itu maka kegiatan yang paling banyak menyumbang limbah organic ke dalam Waduk Cirata diduga berasal dari limbah pakan budidaya dalam KJA. Oleh karena itu maka harus dicari cara untuk menanggulangi hal tersebut, dan salah satunya melalui penggunaan rumput vetiver. Berdasarkan hal tersebut di atas, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kemampuan tanaman rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides) dalam mereduksi limbah organik terlarut dalam air yang berasal dari limbah domestik di Waduk Cirata menggunakan vetiver system ?

2. Bagaimana laju pertumbuhan tanaman rumput vetiver apabila dalam limbah organik?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kemampuan tanaman rumput vetiver/ akar wangi (Chrysopogon zizanioides) dalam mereduksi limbah organik terlarut dalam air yang berasal dari limbah domestik di Waduk Cirata menggunakan vetiver system

2. Menganalisis laju pertumbuhan tanaman rumput vetiver dalam limbah organik 3. Menyusun strategi minimalisasi pencemaran melalui teknologi fitoremediasi

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat dimanfaatkan untuk: 1. Memberi rekomendasi pengembangan pengolahan Waduk Cirata dengan

memanfaatkan tanaman akar wangi sebagai penyerap limbah cair organik dan domestik

(18)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Air

Pencemaran atau seringkali disebut sebagai polusi, saat ini merupakan kejadian yang sering terjadi di sekitar kita. Pencemaran pada umumnya ditimbulkan oleh proses aktivitas manusia yang berakibat merugikan terhadap kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung (Sutrisno et al. 1991). Menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa terjadinya penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam lingkungan, yang biasanya dapat memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungannya.

Pencemaran juga dapat terjadi apabila ada gangguan terhadap daur suatu zat, misalnya laju produksi suatu zat melebihi laju penggunaan zat, sehingga terjadi pembuangan (Soemarwoto, 1992). Menurut Odum (1971) suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki terhadap air, tanah dan udara. Dengan demikian apabila dilihat dari media yang dicemari, maka pencemaran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: pencemaran air, tanah dan udara (Darmono, 2001, Kristianto,2004 serta Riani, 2012). Menurut Riani (2012) apabila terjadi pencemaran lingkungan, maka bagian lingkungan yang paling menderita adalah air.

Air merupakan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Namun demikian mengingat air selalu bersiklus, maka air masuk pada kategori sumberdaya alam yang dapat diperbarui. Namun demikian sifat air yang sangat istimewa mengakibatkan air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia (Riani, 2012). Dalam penggunaannya, air banyak digunakan oleh manusia untuk berbagai kegiatan antropogenik, dengan tujuan bermacam-macam. Oleh karena itu maka air yang sifatnya sangat istimewa dan banyaknya kegiataan antropogenik mengakibatkan air dengan mudahnya dapat tercemar.

Air dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria yang berbeda-beda, berdasarkan tujuan penggunaannya. Oleh karenanya maka kualitas air untuk berbagai jenis kegiatan kriterianya tidak sama antara yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini, air yang sangat kotor sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai air minum, seringkali masih dikategorikan cukup bersih untuk kebutuhan seperti mencuci, pembangkit tenaga listrik, pendingin mesin dan berbagai kegiatan lainnya. Pencemaran air dapat merupakan masalah regional maupun lingkungan global, dan sangat erat kaitannya dengan kualitas tanah maupun dengan kualitas udara yang ada di sekitarnya (Riani, 2012).

(19)

7 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan diartikan sebagai masuknya atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997, pencemaran hanya terjadi jika diakibatkan oleh manusia, sementara dalam UU No. 4 tahun 1982, definisi pencemaran mencakup sumber penyebab alami. Berdasarkan pengertian ini, masalah pencemaran air terkait dengan tiga hal penting, yaitu: (1) unsur yang masuk atau dimasukkan ke dalam air, (2) kualitas dan penurunan kualitas air, serta (3) peruntukkan air.

Menurut Kristianto (2004), pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal. Oleh karenanya maka pada kondisi tercemar, maka kondisinya keluar dari kemurniannya. Menurut Hart dan Fuler (1980), air dikatakan tercemar jika mengalami hal-hal berikut :

a. Air mengandung zat, energi dan atau komponen lain yang dapat merubah fungsi air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran.

b. Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas toleransi tertentu atau disebut baku mutu hingga menimbulkan gangguan terhadap pemanfaatannya. Dengan kata lain air tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Menurut Riani (2012) pada kondisi tercemar, beberapa parameter kualitas air keluar dari kisaran toleransinya, sehingga pada umumnya menjadi faktor pembatas untuk kehidupan organisme

Dampak Aktivitas Manusia di Perairan Waduk

Menurut Achmad (2011), Indonesia sebagai negara berkembang, pencemaran oleh air domestik merupakan pencemar terbesar, yaitu sekitar 85% limbah yang masuk ke badan air. Hal ini karena belum adanya pengolahan limbah sebelum dibuang ke badan air. Khusus di negara maju, limbah domestik yang masuk ke badan air hanya sekitar 15%. Sumber pencemaran dari pertanian berasal dari penggunaan pupuk dan pestisida. Pupuk yang digunakan tidak seluruhnya terserap kedalam tanah, namun ada yang terbuang ke sungai. Apabila penggunaan pupuk urea untuk sekali panen sebanyak 300 kg/Ha, pupuk TSP sebanyak 100 kg/Ha, kadar kandungan nitrogen (N) di pupuk urea sebesar 45%, dan kandungan fosfor (P) di pupuk TSP sebesar 20%, dan asumsi limbah pupuk yang masuk ke waduk sebesar 10 (Achmad 2011).

Di beberapa waduk, pembudidaya ikan memanfaatkan waduk sebagai lahan budidaya ikan dengan menggunakan sistem keramba atau Keramba Jaring Apung (KJA). Sifat perairan waduk yang masih dianggap sebagai common property (milik bersama) dan open access (sifat terbuka) menyebabkan pertumbuhan KJA di berbagai tempat berkembang sangat pesat dan cenderung tidak terkontrol dan tak terkendali. Hal tersebut didukung dengan budidaya ikan berbasis pakan buatan (pelet) dimana aktivitas budidayanya menggunakan pemberian pakan hampir 70% dari proses produksinya (Garno 2002).

(20)

8

terbukanya lapangan pekerjaan. Menurut Bony (2008), budidaya ikan memberikan kontribusi signifikan terhadap pasokan pangan global, yakni menyediakan sekitar 30% dari produksi perikanan. Sedangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran perairan khususnya akibat limbah organik yang berasal dari limbah lumpur/sedimen (sludge) dari feces dan sisa pakan (aquaculture effluents), baik berupa deplesi oksigen dan eutrofikasi serta blooming alga.

Keadaan ini diperkuat oleh pendapat (Kioussiset al 2000), Perairan alami dapat terkontaminasi, dan kualitasnya menurun, oleh keluarnya polutan anion hara seperti nitrat, nitrit dan fosfat. NO3, NO2, dan PO4 adalah tiga konsentrasi

yang biasanya ditemukan dalam pembuangan limbah air dari sirkulasi sistem produksi perikanan budidaya.

Menurut Grepin (2010), Penurunan kualitas air ini dapat disebabkan oleh kegiatan lain yang berasal dari limbah industri, domestik, pertanian dan lain-lain serta dari kegiatan budidaya ikan itu sendiri (kotoran ikan/feces dan sisa pakan).

Penurunan kualitas air dari limbah organik akibat kegiatan budidaya ikan itu sendiri umumnya diakibatkan oleh banyaknya pelepasan produk limbah yang berasaldari metabolisme ikan (feces) dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya. Keberadaan feces sangat tergantung pada tingkat efektifitas konversi pakan dari ikan yang dibudidayakan, dimana konversi pakan (KP) ideal secara teoritik adalah 1 kg pakan yang diberikan akan menghasilkan 1 kg daging (faktor KP = 1). Namun kenyataan di lapangan KP pada kegiatan budidaya lebih dari 1. Dalam hal ini semakin besar nilai konversi pakan, maka akan semakin besar pula limbah (feces) yang akan dihasilkan. Selain hal tersebut, sisa pakan yang dihasilkan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA sangat tergantung pada tingkat efisiensi pemberian pakan. Semakin rendah efisiensi pemberian pakan maka akan semakin banyak sisa pakan yang dihasilkan.

Sistem Fitoremediasi

Fitoremediasi berasal dari dua kata yaitu phyto berasal dari Bahasa Yunani yaitu phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), serta kata remediation yang merupakan Bahasa Latin remediare (to remedy) yang berarti memperbaiki/ menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Berdasarkan kedua kata tersebut, maka fitoremediasi dapat dikatakan sebagai suatu sistem dimana tanaman tertentu yang umumnya bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan air) berupaya untuk mengubah zat kontaminan (pencemar) dari kadar yang masuk pada kategori bahaya, menjadi kurang atau tidak berbahaya, bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi (Wang et al. 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa fitoremediasi menggunakan tanaman hijau untuk membersihkan limbah/daerah yang terkontaminasi bahan yang berbahaya/beracun. Konsep penggunaan tanaman untuk menghilangkan nutrien yang berasal dari air limbah dan senyawa-senyawa lain pada dasarnya sudah diimplementasikan sejak 300 tahun yang lalu, yang dilaksanakan pada pembuangan air limbah.

(21)

9 Teknologi ini potensial untuk diaplikasikan, aman digunakan dengan dampak negatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna terhadap kebijakan pemerintah, komunitas masyarakat dan lingkungan, biaya relatif rendah, mampu mereduksi volume kontaminan, dan memberikan keuntungan langsung bagi kesehatan masyarakat. Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi yang lebih murah (Fahruddin 2010).

Keuntungan utama dari aplikasi teknik fitoremediasi dibandingkan dengan system remediasi lainnya adalah kemampuannya untuk menghasilkan buangan sekunder yang lebih rendah sifat toksiknya, lebih bersahabat dengan lingkungan serta lebih ekonomis. Kelemahan fitoremediasi adalah dari segi waktu yang dibutuhkan lebih lama dan juga terdapat kemungkinan masuknya kontaminan ke dalam rantai makanan melalui konsumsi hewan dari tanaman tersebut (Fahruddin 2010).

Metode remediasi yang dikenal sebagai fitoremediasi ini mengandalkan pada peranan tumbuhan dalam menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik.

Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu:

fitoekstraksi, fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan interaksi dengan mikroorganisme pendegradasi polutan (Kelly 1997).

Menurut Youngman (1998) untuk menentukan tanaman yang dapat digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang mempunyai sifat: a) Cepat tumbuh, b) Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang singkat, c) Mampu meremediasi lebih dari satu polutan, d) Toleransi yang tinggi terhadap polutan.

Menurut Truong dan Hart (2001), penghilangan unsur N dan P dalam pencemaran air oleh vegetasi (fitoremediasi) merupakan cara yang paling efektif, biayanya murah dan ramah lingkungan. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wang et al. (2010) yang mendapatkan hasil bahwa fitoremediasi bukan hanya dinilai tidak inovatif saja tetapi juga ramah lingkungan dan ekonomis, sehingga lebih sesuai dengan solusi keteknikan untuk banyak masalah lingkungan di dunia. Namun demikian walaupun aplikasi ini sederhana, namun sudah menjadi teknologi baru ini mempunyai kemampuan sangat baik untuk berbagai bidang dan cara-cara yang berbeda yang dapat digunakan untuk memerangi terjadinya pencemaran perairan.

Menurut Truong et al. (2010) serta Otte dan Jacob (2006), mekanisme remediasi tumbuhan berlangsung secara alami dengan melalui enam tahap proses yang berlangsung secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya. Adapun keenam tahapan proses tersebut adalah sebagai berikut:

Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan untuk menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga hyperacumulation.

Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan yang dilakukan oleh akar, dan selanjutnya zat rersebut akan menempel pada akar.

(22)

10

Zat-zat tersebut akan menempel erat pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air yang terdapat dalam media tersebut.

Rhyzodegradetion disebut juga enhanced rhezosphere biodegradation, or

plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan, misalnya ragi, fungi dan bakteri.

Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan oleh tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks, hingga menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana, dan selanjutnya malah dapat bermanfaat bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar, dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Terkait hal tersebut, beberapa tumbuhan mengeluarkan enzim berupa bahan kimia yang berperan dalam mempercepat proses degradasi bahan pencemar.

Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfir. Pada beberapa tumbuhan setiap batangnya dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter/hari.

Karakteristik Rumput Vetiver (Chrysopogon zizanioides)

Tanaman Vetiver termasuk Family Gramineae, berumpun lebat, akar tunggal bercabang banyak dan berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Rumpun tanaman akar wangi terdiri atas beberapa anak rumpun yang nantinya dapat dijadikan bibit (Raoet al 2008). Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides, L) adalah tumbuhan yang berasal dari India dan secara tradisional telah digunakan untuk perlindungan kontur (lereng). Rumput vetiver sebelumnya dikenal dengan nama latin Vetiveria zizanioides yang kemudian reklasifikasi ulang menjadi

Chrysopogon zizanioides L (Gambar 2). Sistem fitoremediasi dengan menggunakan vetiver ini membutuhkan biaya yang murah dan terbukti sangat efektif yang menawarkan solusi lingkungan. Di Indonesia rumput vetiver lebih dikenal dengan nama "akar wangi" yang biasanya dimanfaatkan minyak atsiri dari akarnya.

(23)

11 mempertahankan kelembaban tanah dan memerangkap sedimen serta zat-zat kimia pertanian. Tumbuhan vetiver memiliki karakteristik yang sangat unik, seperti diuraikan di bawah ini

Gambar 2 Karakteristik Morfologi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides) yang memiliki panjang akar hingga dua meter (Sumber: Truong et al.

2011).

Karakteristik Morfologi

Rumput vetiver tidak memiliki stolons atau rimpang, akarnya halus terstruktur dapat tumbuh dengan sangat cepat (dalam beberapa aplikasi kedalaman perakaran dapat mencapai 3-4 m pada tahun pertama) (Gambar 2). Sistem akar yang dalam ini membuat tanaman ini sangat toleran kekeringan dan sulit tercabut oleh arus yang kuat dan apabila batang tanaman ini terkubur oleh sedimen yang terperangkap maka akan tumbuh akar baru pada batang. Ketika ditanam rapat, tanaman pagarnya yang lebat berguna sebagai penyaring sedimen yang efektif dan penyebar air (Truong et al. 2011).

Akar vetiver mampu menembus lapisan setebal 15 cm yang sangat keras. Dilereng yang sangat keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini sama seperti besi yang masuk menembus lapisan tekstur tanah dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya (Booth 2004).

(24)

12

penelitiannya sebenarnya telah banyak dilakukan, khususnya untuk limbah yang berasal dari rumah tangga (tinja).

Batangnya keras dan tegak yang dapat mengatasi aliran air yang relatif kuat. Karakteristik lainnya, rumput ini sangat tahan terhadap hama, penyakit dan api.

Beberapa karakteristik rumput vetiver yang sudah diuraikan di atas menunjukkan bahwa secara morfologi rumput vetiver mempunyai kemampuan yang luar biasa, sebagai bioengineering (rekayasa teknologi dengan memanfaatkan tanaman) dan fitoremediasi penggunaan teknologi hijau dengan menggunakan tanaman yang berfungsi menghilangkan pencemar yang mengkontaminasi tanah dan air). Oleh karena itu maka fitoremediasi bagus sekali bila dilakukan menggunakan rumput vetiver. Hal ini disebabkan rumput vetiver secara morfologi memiliki akar yang panjang, sehingga rumput ini mampu mengikat sedimen yang mengandung pencemar dengan baik. Selain hal tersebut vetiver juga mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan ekstrim (kualitas air/studi kasus N, P dan pestisida maupun keadaan iklim). Rumput vetiver juga mempunyai kemampuan menahan dorongan arus dan memperangkap sedimen yang mengandung nutrien terutama senyawa-senyawa yang mengandung unsur N dan unsur P.

Karakteristik Fisiologi

Keunikan fisiologi dari rumput ini adalah bahwa vetiver mempunyai tingkat toleransi yang tinggi, baik terhadap kondisi kekeringan maupun basah (banjir), keasaman dan kebasaan (pH 3,3 – 12,5), suhu -14 - 55 oC, curah hujan minimum 300 mm, tumbuh dengan baik kondisi kelembaban tinggi walaupun dapat pula tumbuh di tanah yang keringdan sinar matahari penuh, salinitas antara 0 – 22,5 %

Selain itu vetiver juga memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap kandungan logam berat yang tinggi, persen pengurangan (% high removal) untuk N dan P dari pencemar air organik, % high removal COD, N, dan P pada leachate yang berasal dari sampah organik (Truong et al. 2011).

Karakteristik Ekologi

(25)

13

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Desember 2015. Pengambilan sampel dan pengukuran kualitas air dilakukan di Waduk Cirata, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Gambar 3). Analisis parameter kualitas air dilaksanakan pada Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian : Waduk Cirata, Jawa Barat

Alat Dan Bahan

(26)

14

Prosedur Penelitian Persiapan Tanaman Vetiver

Dalam penelitian ini digunakan bibit tanaman vetiver (Chrysopogon zizanioides L) berumur dua minggu. Selanjutnya tanaman vetiver ini digunakan menjadi bahan perlakuan dalam penelitian. Adapun yang menjadi perlakuan di sini adalah bobot vetiver, oleh karena itu maka pada tanaman vetiver selanjutnya dilakukan penimbangan biomassa tanaman yaitu 15 gr dan 30 gr. Setelah itu tanaman vetiver dipotong dengan ukuran yang sama, yakni helaian daunnya dipotong, sehingga panjang daunnya sama yakni 10 cm. Tanaman vetiver ini selanjutnya ditanam pada pot kecil yang berisi media tanah. Adapun wadah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Desain wadah teknik fitoremediasi limbah organik menggunakan rumput vetiver

Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Digantung (THSD)

Pada tahap penelitian dibuat percobaan dengan perlakuan yakni vetiver diletakan dengan cara digantung pada skat bambu yang letakan pada box

styrofoam . Pada percobaan ini dilakukan proses aklimatisasi, tujuan tahap ini agar tumbuhan uji tersebut dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tempat percobaan. Proses aklimatisasi dilakukan dengan cara penanaman tumbuhan vetiver. selama empat minggu.

Pelaksanaan Penelitian dengan Sistem Vetiver Digantung

(27)

15 tanaman vetiver. Pengukuran kualitas air dilakukan seminggu sekali selama empat minggu.

Gambar 5. Pelaksanaan penelitian dengan perlakuan tanaman vetiver di letakan secara digantung pada box stryfoam

Percobaan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST)

Hal-hal yang dilakukan pada penelitian tahap ini hampir sama dengan perlakukan pada vetiver diletakan dengan cara terapung (Gambar 6). Pada tahap ini menggunakan tanaman vetiver yang berumur enam minggu. Tujuan dari tahap kedua yaitu mengamati laju pertumbuhan pada tanaman vetiver dan menganalisis kapasitas tanaman vetiver berumur enamminggu dalam menyerap bahan organik yang terlarut dalam air. penelitian ini dilakukan selama waktu empat minggu

Gambar 6. Pelaksanaan penelitian dengan perlakuan tanaman vetiver di letakan secara terapung box stryfoam

(28)

16

tujuan melihat kemampuan vetiver dalam menyerap limbah organik dengan tidak adanya penambahan limbah cair organik, dan mengamati laju pertumbuhan pada vetiver. Pengamatan di lakukan setiap minggu (seminggu sekali), selama waktu empat minggu.

Laju Pertumbuhan Tumbuhan Vetiver

Data pertumbuhan Vetiver selanjutnya dihitung laju pertumbuhannya. Perhitungan dilakukan setiap perminggu selama waktu penelitian dua bulan. Laju pertumbuhan relatif (RGR) tumbuhan vetiver pada penelitian ini dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

��� =�� � − �� �ο�� − ��

Keterangan :

RGR = Relative growth rate (cm/hari) Xo = Panjang pada awal tanam (cm)

X = Panjang tumbuhan pada akhir pengamatan (cm) tX = waktu awal pengamatan(hari) dan

to = waktu akhir pengamatan (hari)

Analisis Kualitas Air

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel air di kolam budidaya keramba jaring apung yang terletak di Waduk Cirata, pengambilan sampel dengan menggunakan botol polietilen. Analisis kualitas air (fisika dan kimia) dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (analisis di laboratorium). Analisis parameter pH, suhu dan DO dilakukan secara in-situ, sedangkan parameter lainnya (BOD5, NH3, N-NO3, P-PO4, dan sulfida) dilakukan di laboratorium. Analisis

kimia air dilakukan di Laboratorium PPLH IPB dengan menggunakan spektrofotometer, dan metode pengambilan dan pengukuran parameter fisika dan kimia air yang dilakukan mengacu pada SNI 06-2412-1991. Lebih jelasnya parameter-parameter kualitas air yang diamati dan alat yang digunakan serta tempat analisis pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter kuliatas air

No Parameter Satuan Metode Analisis/Alat Tempat Analisis Fisik

1 Suhu oC Termometer Lapangan

Kimia

2 pH - Potensiometrik Laboratorium

3 DO mg/l Winkler Modf Lapangan

(29)

17

5 Ammonia mg/l Phenat Laboratorium

6 Nitrat mg/l Reduksi Cd Laboratorium

7 Fosfat mg/l Stanus Klorida Laboratorium

8 Sulfida mg/l Iodiometri Laboratorium

Analisis Data

Data yang diperoleh baik pada perlakuan vetiver menggantung maupun pada vetiver terapung, dianalisis menggunakan program microsoft excel 2013 dan SS, yang meliputi analisis rancangan acak lengkap (ANOVA) dan uji F pada selang kepercayaan 95%.

Selain dilakukan analisis terhadap setiap parameter yang diukur, pada penelitian ini juga dianalisis hubungan antara kualitas air dengan tinggi tanaman, dengan menggunakan korelasi Pearson.

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil analisis statistik, selanjutnya disusun rekomendasi yang dapat menurun pencermaran melalui teknologi fitoremediasi yang di lakukan secara deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini selain dilakukan percobaan berupa perlakuan dengan menggunakan rumput vetiver yang diletakan dengan cara sistem digantung dan vetiver diletakan dengan cara sistem terapung, juga dilakukan pengamatan terhadap berbagai parameter kualitas air, yakni terhadap suhu perairan, kelarutan oksigen dalam air (DO/dissolved oxygen), biological oxygen demand (BOD), kandungan nitrat, nitrit dan ammonia dalam air. Pengaruh dari perlakuan dan pengaruh waktu terhadap parameter-parameter kualitas air seperti tersebut di atas, diuraikan di bawah ini. Selain hal tersebut juga dilakukan pengukuran pertumbuhan yang dilihat dari panjang tanaman maupun pada akar tanaman.

Suhu Perairan

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap suhu air yang diberi perlakuan berupa pemberian rumput vetiver 15 gram, 30 gram dan kontrol (tidak diberi rumput vetiver). Hasil pengukuran suhu yang dilakukan selama perlakuan pada vetiver diletakan dengan cara digantung, yakni pada bulan November memperlihatkan bahwa rata-rata suhu perairan pada kedua bulan tersebut berkisar antara 25 hingga 28°C (Lampiran 1, Gambar 7 dan Gambar 8). Pada Lampiran 1, Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa suhu rata-rata pada bulan November umumnya lebih tinggi dibanding dengan suhu rata-rata pada perlakuan veriver diletakan dengan cara terapung yang dilakukan pada bulan Desember.

(30)

18

H0 : Tidak ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap suhu H1 : Ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap suhu

Hasil analisis statistik tersebut baik pada pemberian rumput vetiver 15 gram, 30 gram dan kontrol memperlihatkan bahwa pada vetiver diletakan dengan cara digantung yakni vetiver yang berumur dua minggu dan diletakan dengan cara digantung pada box styrofoam yang berisi limbah cair organik, maupun pada vetiver diletakan dengan cara terapung, yakni vetiver berumur enamminggu yang diletakan mengampung pada box styrofoam yang berisi limbah organik, menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0.5664 > 0.05 (Lampiran 8). Hal ini mengandung arti bahwa pada pengujian tersebut, terima H0. Hal ini berarti bahwa baik pada percobaan awal maupun pada percobaan kedua, tidak ada pengaruh perlakuan terhadap suhu perairan, sehingga perlakuan yang menggunakan tanaman kontrol, 15 gr, 30 gr vetiver yang berumur dua minggu dan diletakan digantung pada box

styrofoam tidak memberikan efek yang berbeda pada suhu. Hal yang sama juga terjadi pada percobaan vetiver diletakan dengan cara terapung yang dilakukan pada bulan Desember, yakni perlakuan dengan vetiver berumur enamminggu yang diletakan terapung pada box styrofoam yang berisi limbah, juga tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada perlakuan baik dengan menggunakan tanaman 15 gr, 30 gr, maupun kontrol tidak memberikan efek yang berbeda terhadap suhu pada bulan yang sama, atau tidak ada pengaruh perlakuan terhadap suhu perairan. Oleh karena itu maka penempatan rumput vetiver pada perairan tidak akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu.

Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian untuk melihat perbedaan keduanya. Hasilnya menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.8120 > 0.05. Hal tersebut mengandung arti terima H0 atau dengan kata lain tidak ada pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap suhu, sehingga yang membedakan keduanya diduga hanya dari aspek waktu (bulan November dan Desember).

Pada kedua percobaan tersebut, baik percobaan vetiver diletakan dengan cara digantung di bulan November maupun percobaan kedua di bulan Desember memperlihatkan bahwa vetiver yang berumur dua minggu dan diletakan digantung pada box styrofoam yang berisi limbah cair organic berbeda nyata dengan vetiver yang berumur berumur enamminggu yang diletakan mengampung pada box

(31)

19

Gambar 7. Suhu air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara digantung pada bulan November

Gambar 8. Suhu air pada perlakuan tanaman vetiver yang di letakan secara terapung pada bulan Desember.

Pada penelitian ini terdapat hal yang cukup unik dalam hal perbedaan suhu antara vetiver diletakan dengan cara digantung (bulan November) dengan vetiver diletakan dengan cara terapung (bulan Desember). Dalam hal ini pada bulan yang sama pengaruh perlakuan tidak terjadi. Namun demikian pada bulan yang berbeda terjadi perbedaan yang nyata, yakni suhu bulan November lebih tinggi dari suhu bulan November. Hal ini diduga terjadi karena pengaruh waktu (bulan) yang berbeda dan pengaruh iklim mikro, yakni pada bulan November tidak ada hujan, dan suasana iklim pada saat itu relative panas, sedangkan pada bulan Desember sudah mulai turun hujan, bahkan akhirnya menjadi bulan yang dalam sehari-harinya turun hujan, dan umumnya hari-hari di bulan Desember kebanyakan mendung. Hal tersebut mengakibatkan penetrasi sinar matahari ke dalamnya menjadi sangat

0

Kontrol vetiver 15 gr vetiver 30 gr

0

(32)

20

berkurang, sehingga menyebabkan suhu rata-rata pada bulan Desember lebih rendah dibanding bulan November. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pada dasarnya tidak ada pengaruh perlakuan terhadap suhu perairan, namun perbedaan suhu perairan lebih disebabkan oleh iklim mikro pada waktu (bulan) yang berbeda.

Suhu perairan yang diberi perlakukan dengan rumput vetiver adalah 25 hingga 28 °C. Hal ini memperlihatkan bahwa suhu perairan tersebut, merupakan suhu yang sesuai dengan suhu alami perairan tersebut yang umum dijumpai di wilayah tropis. Menurut Fry (1987) suhu merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia, dalam hal ini jika suhu tinggi maka laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul juga akan meningkat dan sebaliknya. Oleh karena itu maka suhu perairan pada wadah yang diberi perlakuan pada penelitian ini dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya, karena nilai suhu tersebut masuk pada kategori yang cukup tinggi, namun masuk ke dalam kisaran yang baik untuk kehidupan biota akuatik.

Kelarutan Oksigen (DO)

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kelarutan oksigen dalam air atau DO pada perairan yang diberi perlakuan berupa pemberian rumput vetiver 15 gram, 30 gram, dan kontrol (tidak diberi rumput vetiver), baik pada vetiver diletakan dengan cara sistem digantung maupun pada vetiver diletakan dengan cara terapung . Hasil pengukuran DO yang dilakukan selama perlakuan, yakni pada bulan Desember dan November memperlihatkan bahwa rata-rata DO dalam perairan pada kedua bulan tersebut berkisar antara 5 hingga 6 ppm (Lampiran 2, Gambar 9 dan Gambar 10). Pada Pada Lampiran 2, Gambar 9 dan Gambar 10 terlihat bahwa DO rata-rata pada perlakuan vetiver diletakan dengan cara terapung yang dilakukan pada bulan Desember umumnya lebih tinggi dibanding dengan DO rata-rata pada perlakuan vetiver diletakan dengan cara digantung pada bulan November. Hal ini diduga karena pada bulan November tidak ada hujan, dan suasana iklim pada saat itu relative panas. Berbeda dengan pada bulan November, pada bulan Desember sudah mulai turun hujan yang menyebabkan suhu rata-rata pada bulan Desember lebih rendah dibanding bulan November, sehingga kelarutan oksigennya meningkat.

Data-data DO yang didapatkan dari penelitian ini selanjutnya diuji dengan sidik ragam (anova) dua faktor untuk menguji hipotesis:

H0 : Tidak ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap DO H1 : Ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap DO

(33)

21 kontrol, 15 gr, 30 gr vetiver yang berumur dua minggu dan diletakan digantung pada box styrofoam tidak memberikan efek yang berbeda pada DO. Hal yang sama juga terjadi pada percobaan di bulan Desember, yakni vetiver berumur enamminggu yang diletakan mengampung pada box styrofoam yang berisi limbah juga tidak berbeda nyata atau tidak memberikan efek yang berbeda terhadap kelarutan oksigen pada bulan yang sama, atau dengan kata lain rumput vetiver pada perlakuan yang manapun, tidak mengakibatkan terjadinya perubahan kelarutan oksigen. Hal ini memperlihatkan bahwa rumput vetiver walau merupakan makhluk hidup yang melakukan respirasi (pernapasan), namun tidak mengakibatkan berkurangnya kelarutan oksigen dalam perairan.

Selain hal tersebut setelah dilakukan pengujian untuk melihat perbedaan antara perlakuan vetiver diletakan dengan cara terapung dan digantung, menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.8120 > 0.05. Hal tersebut mengandung arti terima H0, sehingga tidak ada pengaruh perlakuan terhadap kelarutan oksigen, adapun yang membedakan keduanya diduga hanya dari aspek waktu (bulan November dan Desember). Berdasarkan waktu (bulan), kedua percobaan tersebut, mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.0001 < 0.05 yang artinya bahwa tolak H0 atau ada perbedaan pengaruh keduanya terhadap kelarutan oksigen. Hal ini diduga karena adanya pengaruh waktu dan pengaruh iklim mikro, yakni pada bulan November tidak ada hujan, dan suasana iklim pada saat itu relative panas. Adanya suhu yang relative panas di bulan November mengakibatkan sulitnya oksigen melarut dalam perairan. Berbeda dengan pada bulan November, pada bulan Desember sudah mulai turun hujan yang menyebabkan suhu perairan menjadi lebih rendah, sehingga meningkatkan kelarutan oksigen rata-rata dalam perairan.

Gambar 9. Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara menggantung pada bulan November

0

(34)

22

Gambar 10. Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara terapung pada bulan Desember

Adanya vetiver yang lebih banyak (30 gram), tidak berakibat pada kelarutan oksigen dalam air. Hal ini berbeda dengan perairan yang ditumbuhi alga dalam jumlah yang lebih banyak (blooming alga), dan kelarutan oksigennya meningkat. Menurut Islam (2005) dan Stickney (2005) blooming alga adalah pertumbuhan tanaman sangat renik dan pertumbuhan tanaman air tingkat tinggi yang cepat, akan dapat menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menjadi lebih rendah (deplesi DO) dalam air terutama pada malam hari, sehingga dapat menyebabkan kematian ikan. Namun pada penelitian ini kelarutan oksigen dalam perairan yang diberi perlakukan dengan rumput vetiver memperlihatkan nilai antara 5 hingga 6 ppm. Hal ini memperlihatkan bahwa DO dalam perairan masuk pada kategori baik. Oleh karena itu maka kelarutan oksigen dalam air pada perairan yang diberi perlakuan berupa penambahan rumput vetiver ini, tidak mengakibatkan menurunnya kelarutan oksigen dalam air, sehingga dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya

BOD (Biological Oxygen Demand)

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap penggunaan oksigen oleh mikroorganisme dalam air atau BOD pada perairan yang diberi perlakuan berupa pemberian rumput vetiver 15 gram, 30 gram dan kontrol. Hasil penelitian terhadap BOD memperlihatkan bahwa nilai BOD baik pada vetiver diletakan dengan cara terapung bulan Desember dan pada vetiver diletakan dengan cara digantung pada bulan November memperlihatkan rata-rata nilanya berkisar antara 2,4 hingga 2,9 ppm (Lampiran 3, Gambar 9 dan Gambar 10). Pada Lampiran 3, Gambar 11 dan Gambar 12 terlihat bahwa BOD rata-rata pada bulan Desember umumnya lebih rendah dibanding dengan BOD rata-rata pada bulan November.

0

(35)

23

Gambar 11. Nilai konsentrasi BOD dalam air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara menggantung pada bulan November

Gambar 12. Nilai konsentrasi BOD dalam air pada perlakuan tanaman vetiver dengan metode secara terapung pada bulan Desember

Pada penelitian ini nilai BOD yang didapatkan selanjutnya diuji dengan sidik ragam (anova), untuk menguji hipotesis

H0 : Tidak ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap BOD H1 : Ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap BOD

Hasil anova tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil anova terhadap nilai BOD dengan perlakuan pemberian rumput vetiver 15 gram, 30 gram dan kontrol memperlihatkan bahwa baik pada vetiver diletakan dengan cara digantung yakni vetiver yang berumur dua minggu dan diletakan digantung pada box styrofoam

yang berisi limbah cair organik, maupun pada vetiver diletakan dengan cara terapung, yakni vetiver berumur enamminggu yang diletakan mengampung pada box styrofoam yang berisi limbah organik, menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0.7787 > 0.05, sehingga H0 diterima. Hal ini berarti bahwa baik pada

Kontrol Vetiver 15 g Vetiver 30 g

0

(36)

24

percobaan awal maupun pada percobaan kedua, memperlihatkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap BOD di dalam perairan, atau dengan kata lain perlakuan tanaman kontrol, 15 gr dan 30 gr vetiver yang berumur dua minggu dan diletakan digantung pada box styrofoam tidak memberikan efek yang berbeda pada BOD. Hal yang sama juga terjadi pada percobaan di bulan Desember, yakni vetiver berumur enamminggu yang diletakan mengampung pada box styrofoam yang berisi limbah juga tidak berbeda nyata. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa rumput vetiver dengan jumlah 15 hingga 30 gram belum mampu menyerap bahan organic dengan signifikan, sehingga tidak mengakibatkan berkurangnya BOD dalam perairan.

Hasil pengujian untuk melihat perbedaan keduanya menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.8120 > 0.05, sehingga H0 diterima, yang artinya tidak ada pengaruh perlakuan peletakan vetiver (diletakan dengan cara terapung dan tergantung) terhadap BOD, sehingga yang membedakan keduanya diduga hanya dari aspek waktu (bulan November dan Desember). Namun demikian hasil pengujian terhadap waktu yang berbeda (percobaan di bulan November dan percobaan di bulan Desember) memperlihatkan bahwa pada kedua waktu tersebut mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.0069 < 0.05 yang artinya bahwa tolak H0 atau ada perbedaan pengaruh keduanya terhadap BOD (Lampiran 10). Perbedaan ini diduga terjadi karena sama halnya dengan pada pengukuran suhu dan DO, pada bulan November suasana iklim relative panas, sehingga memicu terjadinya metabolism yang lebih tinggi. Berbeda dengan pada bulan November, pada bulan Desember sudah mulai turun hujan yang menyebabkan suhu rata-rata pada bulan Desember lebih rendah dibanding bulan November, sehingga metabolisme makhluk hidup, termasuk metabolism mikroorganisme dalam perairan, relatif lebih rendah, sehingga menyebabkan BOD yang juga lebih rendah. Selain hal tersebut, adanya hujan di bulan Desember juga diduga mengakibatkan terjadinya pengenceran terhadap bahan organic, yang pada akhirnya mengakibatkan nilai BOD pada bulan Desember menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, maka diduga turunnya bahan organik (yang dicerminkan dari nilai BOD), bukan disebabkan oleh pengaruh perlakuan, namun relative lebih disebabkan oleh iklim mikro.

Nilai BOD dalam perairan yang diberi perlakukan dengan rumput vetiver memperlihatkan nilai yang kurang dari 3 ppm. Hal ini memperlihatkan bahwa BOD dalam perairan tersebut, masih cukup baik. Oleh karena itu maka BOD dalam perairan yang diberi perlakuan ini dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya.

Ammonia (N-NH3)

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap ammonia terlarut dalam air atau N-NH3 pada perairan yang diberi perlakuan berupa pemberian rumput

(37)

25 rendah dibanding dengan amonia rata-rata pada vetiver diletakan dengan cara digantung di bulan November.

Apabila dilihat dari konsentrasinya, terlihat bahwa konsentrasi ammonia tertinggi terjadi pada perlakuan kontrol (yang tidak ditambahkan tanaman rumput vetiver ke dalamnya) yakni pada vetiver diletakan dengan cara digantung bulan November dengan konsentrasi rata-rata mencapai 0,31 ppm. Selain itu, rata-rata ammonia kontrol pada vetiver diletakan dengan cara terapung bulan Desember juga lebih tinggi dari konsentrasi ammonia pada bulan tersebut yang diberi perlakuan rumput vetiver.

Tingginya ammonia pada perairan, terutama pada perlakuan kontrol menunjukan bahwa di dalam perairan terdapat banyak limbah yang berasal dari limbah yang mengandung protein. Menurut Timmons dan Ebeling (2010), nitrogen organik dan anorganik yang dihasilkan di dalam kolam ikan pada umumnya merupakan komponen buangan yang salah satunya berasal dari pakan ikan, yang selanjutnya dapat mempengaruhi perairan penerima dan menyebabkan peningkatan biomassa ganggang dan tanaman gulma lainnya serta beberapa kasus mengakibatkan konsentrasi ammonianya dalam perairan melebihi nilai ambang batas yang ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Grepin (2010), bahwa penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan baik yang ada di dalam perairan, maupun yang berada di luar perairan, seperti yang berasal dari limbah industri, dari limbah domestik, dari limbah pertanian dan lain-lain. Namun demikian juga dapat berasal dari kegiatan budidaya ikan itu sendiri, terutama yang berasal dari kotoran ikan/feces dan sisa pakan). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Summerfelt et al. (1999) yang menyatakan bahwa sistem budidaya perikanan pada umumnya akan menghasilkan limbah berupa lumpur (sludge) yang berasal dari kotoran (feces) dan juga berasal dari sisa pakan yang belum terolah, yang selanjutnya akan langsung masuk ke dalam perairan penerima (upon receiving waters). Di lain pihak, limbah cair ataupun lumpur dari kolam/tambak ini akan dapat membahayakan kehidupan dalam perairan penerimanya, karena kandungan bahan organiknya (terutama proteinnya) tinggi. Di lain pihak dalam protein terdapat nitrogen dan fosfat.

Menurut beberapa literature dan hasil dari wawancara dengan berbagai pihak memperlihatkan bahwa jumlah keramba jaring apung yang beroperasi di Waduk Cirata, tempat melakukan penelitian ini, jauh melebihi jumlah yang dapat didukung oleh perairan (jauh melebihi daya dukung perairan), sehingga penurunan kualitas air dari limbah organik, diduga akibat kegiatan budidaya ikan itu sendiri yang jumlahnya jauh melebihi ambang batas yang diperbolehkan. Hal tersebut berakibat pada buangan atau limbah yang berasal dari kegiatan metabolisme ikan (feces) maupun dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya meningkat. Oleh karena itu, maka tingginya ammonia pada perairan di Waduk Cirata diduga berasal dari limbah sisa pakan yang mengandung protein cukup tinggi.

(38)

26

Gambar 13. Konsentrasi amonia dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan metode secara digantung di bulan November

Gambar 14. Konsentrasi amonia dalam air pada perlakuan rumput vetiver dengan metode secara terapung di bulan Desember

Pada penelitian ini nilai ammonia yang didapatkan selanjutnya diuji dengan sidik ragam (anova). Data ammonia (ammonia) pada vetiver diletakan dengan cara digantung dan vetiver diletakan dengan cara terapung selanjutnya diuji dengan anova dua factor, untuk menguji hipotesis

H0 : Tidak ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap ammonia H1 : Ada pengaruh perlakuan/waktu/interaksi terhadap ammonia

Namun hasil anova memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata (nilai signifikansi sebesar 0.7787 > 0.05) (Lampiran 11), sehingga H0 diterima, atau dengan kata lain adanya rumput vetiver walaupun merupakan tanaman yang mampu menyerap ammonia, namun penyerapan antara vetiver dengan bobot 15 gram maupun dengan berat 30 gram, tidak signifikan dalam mengurangi kandungan ammonia dalam air. Hal ini diduga terjadi karena vetiver yang dimasukan ke dalam percobaan masih relative sedikit sehingga hanya menyerap jumlah ammonia yang juga relative rendah. Hal yang sama juga terjadi pada percobaan di bulan Desember, yakni vetiver berumur enam minggu yang diletakan mengampung pada box styrofoam yang berisi limbah juga tidak berbeda nyata, sehingga tidak ada

Kontrol Vetiver 15 g Vetiver 30 g

0

Gambar

Gambar 1 : Diagram kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Karakteristik Morfologi Rumput vetiver (Chrysopogon zizanioides)
Gambar 3.  Peta lokasi penelitian : Waduk Cirata, Jawa Barat
Gambar 4.  Desain wadah  teknik fitoremediasi limbah organik menggunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait