• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto Dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan Fe, Zn Dan Hormon Testosteron Dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto Dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan Fe, Zn Dan Hormon Testosteron Dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata)"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAGA,

SAMBILOTO DAN PARE TERHADAP DIFERENSIASI

SEL-SEL LEUKOSIT, KANDUNGAN Fe, Zn dan

HORMON TESTOSTERON DALAM PLASMA BURUNG

PERKUTUT (

Geopelia striata

L.)

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan menyatakan bahwa tesis Pengaruh Pemberian

Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit,

Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata)

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Januari 2007

Muhammad Juraid Wattiheluw

(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW. Effects of saga (Abrus precatorius

L.), sambiloto (Andrographis paniculata Ness) and pare (Momordica charantia L.) leaves extracts on differential leucocyte cell, Fe, Zn, and testosterone levels in turtledove (Geopelia striata L.) plasma. Under supervisions of Wiranda G. Piliang and Lulu Lusianti Fitri.

Turtledove is a seed eater bird species and most of male bird emit song. In order to produce song quality, many breeders supply good diet added with herbal supplements such as leaves of saga, sambiloto, and pare.

(4)

ABSTRAK

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW. Pengaruh pemberian ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.), sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dan pare (Momordica charantia L.) terhadap diferensiasi sel-sel leukosit kandungan Fe, Zn dan hormon testosteron dalam plasma burung perkutut (Geopelia striata L.). Dibimbing oleh Wiranda G. Piliang dan Lulu Lusianti Fitri.

Perkutut merupakan burung pemakan biji yang memiliki kelebihan mampu mengemisikan suara yang terdengar merdu. Suara merdu tersebut umumnya dihasilkan oleh individu perkutut jantan. Untuk memproduksi suara yang berkualitas perlu diperhatikan suplai pakan yang dapat menunjang faktor kesehatan sehingga penampilan suara burung menjadi prima. Selain penambahan pakan pokok/dasar, peternak juga melakukan penambahan suplemen antara lain melalui pemberian dedaunan seperti daun saga, daun sambiloto, dan daun pare pada diet yang dipercaya dapat meningkatkan kesehatan burung agar burung dapat memiliki penampilan suara ya ng berkualitas.

(5)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAGA,

SAMBILOTO DAN PARE TERHADAP DIFERENSIASI

SEL-SEL LEUKOSIT, KANDUNGAN Fe, Zn dan

HORMON TESTOSTERON DALAM PLASMA BURUNG

PERKUTUT (

Geopelia striata

)

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(7)

Judul Tesis

Nama NIM

:

: :

Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata) Muhammad Juraid Wattiheluw

D.051030051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Wiranda G. Piliang, M.Sc Ketua

Dr.Lulu Lusianti Fitri, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas Rahmat-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat berjalan dengan lancar, Tesis ini berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata)”. Penulisan Tesis ini untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) pada Program Studi Ilmu Ternak di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan Tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada komisi pembimbing Ibu Prof.Dr.Ir.Wiranda G. Piliang, M.Sc dan Ibu Dr.Lulu Lusianti Fitri, M.Sc yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan wawasan yang berarti bagi penulis, sehingga mampu menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.Nahrowi, M.Sc selaku penguji, yang telah banyak memberikan masukkan dan saran kepada penulis. Kepada Ketua dan Staf pengajar program studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB trima kasih atas pengetahuan bermanfaat yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa IPB, juga kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dalam dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan.

Terima kasih penulis ucapkan kepaka Rektor UNPATTI, Dekan Fakultas Pertanian UNPATTI, Direktorat Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS yang telah memberikan beasiswa BPPS, Pemerintah Daerah Tingkat I MALUKU yang telah memberikan bantuan penelitian, Ibu Ketua Yayasan Van De Venter Maas, Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri dan Pimpinan Bird Farm Perkutut Prima Bogor yang telah memberikan bantuan tempat penelitian.

(9)

serta Ibu Hj. Hasmawati yang telah memberikan kasih sayangnya selama ini. Istri tercinta Ida Frieda Djufri dan Ananda tersayang Athaurrahman Dzaky Wattiheluw serta saudara-saudaraku yang tercinta Rosna Wattiheluw, M. Subhan Wattiheluw, M. Rusli Wattiheluw, M. Isbaid Wattiheluw, dan M. Munawir Wattiheluw serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah swt. membalas segala amal ibadahnya, amin.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi masyarakat umum terutama bagi diri penulis pribadi.

Bogor, Maret 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 06 Agustus 1975 dari ayah H. Syarifuddin Wattiheluw dan Hj. Djohra Tuhepaly/Wattiheluw. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus SD Negeri 1 Ambon, tahun 1990 lulus SMP Negeri 11 Ambon, tahun 1993 lulus SMA Negeri 4 Ambon, tahun 1994 lulus seleksi dan masuk ke Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung kemudian lulus tahun 2000. Tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke program magister sains di program studi ilmu ternak sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang disponsor dari Beasiswa program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

(11)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAGA,

SAMBILOTO DAN PARE TERHADAP DIFERENSIASI

SEL-SEL LEUKOSIT, KANDUNGAN Fe, Zn dan

HORMON TESTOSTERON DALAM PLASMA BURUNG

PERKUTUT (

Geopelia striata

L.)

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan menyatakan bahwa tesis Pengaruh Pemberian

Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit,

Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata)

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Januari 2007

Muhammad Juraid Wattiheluw

(13)

ABSTRACT

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW. Effects of saga (Abrus precatorius

L.), sambiloto (Andrographis paniculata Ness) and pare (Momordica charantia L.) leaves extracts on differential leucocyte cell, Fe, Zn, and testosterone levels in turtledove (Geopelia striata L.) plasma. Under supervisions of Wiranda G. Piliang and Lulu Lusianti Fitri.

Turtledove is a seed eater bird species and most of male bird emit song. In order to produce song quality, many breeders supply good diet added with herbal supplements such as leaves of saga, sambiloto, and pare.

(14)

ABSTRAK

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW. Pengaruh pemberian ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.), sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dan pare (Momordica charantia L.) terhadap diferensiasi sel-sel leukosit kandungan Fe, Zn dan hormon testosteron dalam plasma burung perkutut (Geopelia striata L.). Dibimbing oleh Wiranda G. Piliang dan Lulu Lusianti Fitri.

Perkutut merupakan burung pemakan biji yang memiliki kelebihan mampu mengemisikan suara yang terdengar merdu. Suara merdu tersebut umumnya dihasilkan oleh individu perkutut jantan. Untuk memproduksi suara yang berkualitas perlu diperhatikan suplai pakan yang dapat menunjang faktor kesehatan sehingga penampilan suara burung menjadi prima. Selain penambahan pakan pokok/dasar, peternak juga melakukan penambahan suplemen antara lain melalui pemberian dedaunan seperti daun saga, daun sambiloto, dan daun pare pada diet yang dipercaya dapat meningkatkan kesehatan burung agar burung dapat memiliki penampilan suara ya ng berkualitas.

(15)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAGA,

SAMBILOTO DAN PARE TERHADAP DIFERENSIASI

SEL-SEL LEUKOSIT, KANDUNGAN Fe, Zn dan

HORMON TESTOSTERON DALAM PLASMA BURUNG

PERKUTUT (

Geopelia striata

)

MUHAMMAD JURAID WATTIHELUW

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(17)

Judul Tesis

Nama NIM

:

: :

Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata) Muhammad Juraid Wattiheluw

D.051030051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Wiranda G. Piliang, M.Sc Ketua

Dr.Lulu Lusianti Fitri, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(18)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas Rahmat-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat berjalan dengan lancar, Tesis ini berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit Kandungan Fe, Zn dan Hormon Testosteron dalam Plasma Perkutut (Geopelia striata)”. Penulisan Tesis ini untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) pada Program Studi Ilmu Ternak di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan Tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada komisi pembimbing Ibu Prof.Dr.Ir.Wiranda G. Piliang, M.Sc dan Ibu Dr.Lulu Lusianti Fitri, M.Sc yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan wawasan yang berarti bagi penulis, sehingga mampu menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.Nahrowi, M.Sc selaku penguji, yang telah banyak memberikan masukkan dan saran kepada penulis. Kepada Ketua dan Staf pengajar program studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB trima kasih atas pengetahuan bermanfaat yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa IPB, juga kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dalam dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan.

Terima kasih penulis ucapkan kepaka Rektor UNPATTI, Dekan Fakultas Pertanian UNPATTI, Direktorat Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS yang telah memberikan beasiswa BPPS, Pemerintah Daerah Tingkat I MALUKU yang telah memberikan bantuan penelitian, Ibu Ketua Yayasan Van De Venter Maas, Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri dan Pimpinan Bird Farm Perkutut Prima Bogor yang telah memberikan bantuan tempat penelitian.

(19)

serta Ibu Hj. Hasmawati yang telah memberikan kasih sayangnya selama ini. Istri tercinta Ida Frieda Djufri dan Ananda tersayang Athaurrahman Dzaky Wattiheluw serta saudara-saudaraku yang tercinta Rosna Wattiheluw, M. Subhan Wattiheluw, M. Rusli Wattiheluw, M. Isbaid Wattiheluw, dan M. Munawir Wattiheluw serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah swt. membalas segala amal ibadahnya, amin.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi masyarakat umum terutama bagi diri penulis pribadi.

Bogor, Maret 2007

(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 06 Agustus 1975 dari ayah H. Syarifuddin Wattiheluw dan Hj. Djohra Tuhepaly/Wattiheluw. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus SD Negeri 1 Ambon, tahun 1990 lulus SMP Negeri 11 Ambon, tahun 1993 lulus SMA Negeri 4 Ambon, tahun 1994 lulus seleksi dan masuk ke Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung kemudian lulus tahun 2000. Tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke program magister sains di program studi ilmu ternak sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang disponsor dari Beasiswa program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... . DAFTAR GAMBAR ... . DAFTAR LAMPIRAN ... . PENDAHULUAN ... . Latar Belakang ... . Tujuan ... . Manfaat ... . TINJAUAN PUSTAKA ... .

Ciri-ciri dan Taksonomi Perkutut

...

Tanaman Saga (Abrus precatorius Linn) ...

Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Saga ... Kandungan Kimia dan Pemanfaatannya ... Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ...

Sejarah dan Deskripsi Tanaman Sambiloto ... Kandungan Kimia dan Pemanfaatannya ... Tanaman Pare (Momordica charantia L.) ...

Sejarah dan Deskripsi Tanaman Pare ... Kandungan Kimia dan Pemanfaatannya ... Diferensiasi Leukosit ... Ukuran dan Sistem Pertahanan Heterofil ... Ukuran dan Peranan Monosit ... Karakter dan Peranan Limfosit ... Sejarah Singkat Zat besi (Fe) ... Mekanisme Penyerapan dan Metabolisme Zat Besi ... Deskripsi dan Mekanisme Penyerapan Seng (Zn) ... Senyawa Seng (Zn) di Dalam Tubuh ... Hormon Reproduksi Jantan ... Klasifikasi Hormon ... Peranan Hormon Kelenjar Kelamin ... Biosintesis Hormon Testosteron ... Testosteron dalam Plasma Darah ... Karakteristik Sex Sekunder ... Suara Burung ...

Pengertian dan Peranan Suara ... Organ Penghasil Suara ... Kriteria Suara Perkutut ... Durasi Suara ...

(22)

MATERI DAN METODE ... . Waktu dan Tempat Penelitian ... . Materi Penelitian ... . Metode Penelitian ... . HASIL DAN PEMBAHASAN ... .

Kandungan Nutrisi Pakan Burung Perkutut ... Hasil Ekstraksi Daun Saga, Sambiloto dan Pare ...

Hasil Analisa Kandungan Nutrien Ekstrak Daun Saga,

Sambiloto dan Pare ... Konsumsi Ransum dan Konsumsi Nutrien Perlakuan ...

Diferensiasi Sel-Sel Leukosit ... Kandungan Mikro Mineral dan Hormon Testosteron dalam Plasma .... Durasi Suara Perkutut ...

KESIMPULAN ... . DAFTAR PUSTAKA ... . LAMPIRAN ...

25 25 25 27 33 33 37

38 40 43 46 50

53

(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1.

2. 3. 4. 5. 6.

7. 8.

9.

Persentase diferensiasi sel darah putih pada unggas (Sturkie 1976) ... Konsentrasi hormon testosteron di dalam plasma darah unggas jantan .... Kandungan nutrien pakan utama ... Persentase rendemen yang dihasilkan dari proses ekstraksi ... Kandungan nutrien ekstrak daun (asfed) ... Rataan konsumsi ransum dan kons umsi nutrien perlakuan burung selama 39 hari pengamatan ...

Rataan diferensiasi sel-sel leukosit pada perkutut (%) ... Rataan dan simpangan baku kandungan mikro mineral dan hormon testosteron dalam plasma perkutut ...

Rataan durasi suara burung perkutut (detik) ... 11 19 34 37 39

41

44

(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

9. 10.

Perkutut (Geopelia striata L.) jantan dewasa ……….. Tanaman saga (Abrus precatorius L.) ………... Tanaman sambiloto (Andrographis paniculat, Ness) ………... Tanaman pare (Momordica charantia L.) ………... Metabolisme zat besi (Sumber : Leeson dan Summers 2001) ... Lintasan biosintesis hormon testosteron pada unggas (Sturkie 1976) ... Syrinx burung (King and Mc Lelland 1989) ………... Diagram sistem kontrol suara pada burung (Brenowitz and

Lent 2002) ………...………..

Oscilogram durasi suara perkutut (Raimund 1999) ………... Tampilan bagian dalam kandang penelitian ……….

4 5 6 9 15 18 21

22

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1.

2. 3.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Prosedur analisa laboratorium ………... Penetapan mineral Fe dan Zn dari plasma perkutut ………... Kandungan nutrien daun segar tanaman saga, sambiloto, dan pare hutan (As fed) ... Hasil anova heterofil perkutut ………...………... Hasil anova monosit perkutut ...………... Hasil anova limfosit perkutut ………...………... Hasil anova zat besi (Fe) perkutut ………...………... Hasil anova seng (Zn) perkutut ………...………... Hasil anova testosteron perkutut ………...………... Hasil anova durasi silabel ………...………... Hasil anova durasi antar silabel ………...………... Oscillogram durasi suara (silabel dan antar silabel) perkutut ...

58 71

(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkutut merupakan salah satu burung pemakan biji-bijian dan termasuk dalam keluarga merpati (Columbidae) yang mempunyai kemampuan dan kelebihan dibandingkan dengan burung lainnya. Kemampuan tersebut diantaranya mampu hidup dan berkembang biak pada kandang yang relatif kecil, baik berlantai tanah maupun berlantai kayu yang dapat dengan mudah dipindahkan. Adapun kelebihannya adalah perkutut mampu mengemisikan suara yang terdengar merdu.

Saat ini, penggemar perkutut di Indonesia terus berkembang dan banyaknya pemunculan peternakan perkutut memotivasi peternak, selain sebagai hobi, juga mendatangkan keuntungan karena perkutut memiliki nilai komersial yang relatif tinggi bila mampu bersuara dengan alunan merdu. Maraknya kegiatan kontes perkutut pada tingkat lokal maupun nasional menunjukkan respon dari masyarakat untuk mendapatkan dan mengupayakan penangkaran melalui proses pemeliharaan serta penerapan manejemen yang baik hingga dapat menghasilkan perkutut berkualitas prima, yakni perkutut yang mampu bersuara merdu yang umumnya dihasilkan oleh perkutut berjenis kelamin jantan.

Manejemen pemeliharaan yang dilakukan salah satunya adalah melalui cara pemberian pakan yang disukai oleh perkutut dan mengandung nilai gizi yang cukup. Selain itu, faktor kesehatan dari ternak tersebut perlu diperhatikan sehingga ternak dapat mengkonsumsi pakan dengan baik dan menghasilkan penampilan (performan) yang menarik. Pakan yang kurang menarik dan bernilai gizi rendah secara tidak langsung berdampak terhadap defisiensi nilai gizi pakan perkutut dan mengakibatkan menurunnya konsumsi. Jika terjadi defisiensi nilai gizi pakan dalam tubuh perkutut maka akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit dan individu perkutut jantan tidak dapat memperlihatkan kemampuan dan kelebihan memproduksi suara yang berkualitas.

(27)

menghasilkan suara yang merdu. Selain itu, peternak pada Bird Farm Perkutut Prima juga memberikan penambahan daun saga sebanyak 30 lembar dengan tujuan memperbaiki dan menghasilkan suara perkutut sehingga terdengar lebih jelas (bening), bersih, dan merdu. Untuk pemberian daun saga, daun sambiloto, dan daun pare sebagai pakan tambahan pada perkutut masih sangat terbatas informasinya yang terpenting lagi efek pemberiannya pada diferensiasi sel-sel leukosit, kandungan mineral Fe dan Zn, hormon testosteron, dan suara. Oleh karena itu, tesis ini menjelasakan mengenai pengaruh pemberian ekstrak daun saga, daun sambiloto, dan daun pare terhadap diferensiasi sel-sel leukosit, kandungan mineral Fe dan Zn dan hormon testosteron yang selanjutnya mempengaruhi produksi suara.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun saga, sambiloto dan pare terhadap diferensiasi sel-sel leukosit, kandungan mineral (Fe dan Zn) dan hormon testosteron sebagai faktor yang bertanggung jawab pada kualitas produksi suara.

Manfaat

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Ciri-ciri dan Taksonomi Perkutut

Perkutut (Geopelia striata) merupakan salah satu burung pemakan biji. Perkutut termasuk bangsa merpati- merpatian (Columbidae). Di alam bebas, perkutut umumnya hidup secara berkelompok dengan lingkungan ya ng mempunyai rerumputan, daerah bukit berbatu dan dataran rendah maupun tinggi yang banyak ditumbuhi rerumputan. Hal ini disebabkan karena makanan perkutut berupa biji-bijian yang berasal dari rerumputan seperti millet, jewawut, gabah lampung, ketan hitam dan lain- lain. Perkutut tersebar dari semenanjung Malaya sampai Australia, sedangkan penyebaran perkutut di Indonesia bermula dari Irian yang terus menyebar ke arah barat, yaitu Lombok, Bali, Jawa, Madura, hingga ke Sumatera (MacKinnon 1988).

Perkutut memiliki kelebihan dibanding satwa unggas lainnya. Kelebihan tersebut terutama karena menghasilkan bunyi suara yang indah. Keindahan suara tersebut lebih dominan pada burung jantan bila dibandingkan dengan burung betina dan pada umumnya pejantan dipilih untuk diperlombakan sehingga memiliki nilai jual yang relatif tinggi.

(29)

pejantan, pupur tidak lebih dari separuh bagian kepala (sehingga warna bulu kepala terkesan gelap), kepala kecil dan bundar, paruh lurus, serta ekor pendek. Selain itu, secara keseluruhan ukuran tubuhnya tampak lebih kecil daripada perkutut jantan (Sutejo 2002)

Gambar 1. Perkutut (Geopelia striata) jantan dewasa

Peterson (2003) melaporkan bahwa taksonomi perkutut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Aves

Bangsa : Columbiformes Suku : Columbidae Marga : Geopelia

Jenis : Geopelia striata L. (1766)

Tanaman Saga (Abrus precatorius L.)

Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Saga

(30)

Daun dari tanaman saga majemuk, berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun saga menyerupai daun tamarindus indica dengan bersirip ganjil dan memiliki rasa agak manis (Gambar 2). Tumbuhan ini banyak tumbuh secara liar di hutan-hutan, ladang- ladang atau sengaja dipelihara di pekarangan. Saga dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (BPPT 2002).

[image:30.596.185.433.217.405.2]

Gambar 2. Tanaman saga (Abrus precatorius L.)

Kandungan Kimia dan Pemanfaatannya

Tanaman saga sedikit berbeda dengan tanaman lain, memiliki sifat khas antara lain sifat yang mengandung rasa manis yang terdapat dalam bagian akar dan daun. Kandungan kimia yang terkandung dalam daun tanaman saga berdasarkan Sudibyo (1998) dan Subahar (2004) sebagai berikut : glisirhizin, abrin, trigonelina, prekatorina dan kholina. Komposisi kimia tanaman saga yang lain menurut laporan BPPT (2002) antara lain protein, vitamin A, B1, B6, C; kalsium oksalat, glisirizin, flisirizinat, polygalacturomic acid dan pentosan.

(31)

Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)

Sejarah dan Deskripsi Tanaman Sambiloto

Tanaman sambiloto merupakan salah satu bahan obat tradisional yang mempunyai sifat khas seperti rasa pahit, mendinginkan tubuh dan membersihkan darah. Obat tradisional itu sudah dikenal sejak zaman dulu, baik oleh orang Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia. Popularitas sambiloto dalam dunia pengobatan tradisional tidak disangsikan lagi karena terbukti mujarab dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit, dari yang ringan seperti influenza hingga yang parah seperti kanker (Prapanza dan Marianto 2003).

Tanaman sambiloto sudah dikenal di beberapa negara, seperti Inggris, Arab, Persia, Cina, India, Vietnam, Malays ia, Filipina dan Sri Lanka. Di Indonesia, sambiloto dikenal di wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Diduga sambiloto berasal dari kawasan Asia Tropik. Di Pulau Jawa, sambiloto ditemukan pertama kali sekitar pertengahan dasawarsa kedua abad ke-19. Tanaman sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab atau di pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl. Tinggi tanaman bervariasi antara 30-100 cm. Daunnya kecil-kecil, berbentuk lanset (pedang), ujung runcing, tepi rata, tangkai pendek dan letaknya saling berhadapan. Panjang daun 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Permukaan atas daun hijau tua dan permukaan bawahnya hijau muda (Gambar 3) (Prapanza dan Marianto 2003).

(32)

Menurut Prapanza dan Marianto (2003) secara taksonomi (klasifikasi berdasarkan ciri-ciri dan sifat fisik tumbuhan), sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi (divisio) : Angiospermae Kelas (class) : Dicotyledoneae Bangsa (ordo) : Personales Suku (family) : Acanthaceae Marga (genus) : Andrographis

Jenis (spesies) : Andrographis paniculata Ness

Kandungan Kimia dan Pemanfaatannya

Tanaman sambiloto sama dengan tanaman obat yang lain, yakni memiliki rasa pahit pada semua bagian tanaman seperti buah, daun, biji dan akar, terasa pahit jika dimakan atau direbus untuk diminum. Rasa pahit itu disebabkan adanya senyawa andrographolid yang banyak terdapat di dalam tanaman, terutama bagian daun dan batangnya. Daun sambiloto mengandung komposisi kimia, yaitu daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-doksi-11-12-didehidrografolid, dan homoandrografolid. Juga terdapat flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, kalium, natrium), asam kersik dan damar (BPPT 2002).

Flavonoid adalah pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon yang larut dalam air. Flavonoid merupakan senyawa dengan inti C6

-C3-C6 artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 disambungkan oleh

rantai alifatik tiga karbon (C3). Flavonoid memiliki gugus hidroksil yang

merupakan senyawa polar seperti air, metanol, etanol, dan aseton. Flavonoid

berfungsi sebagai antiradang, hormon pertumbuhan (in vitro), dan inhibitor enzim dengan mengkompleks protein (Robinson 1991, Barnes et al. 1994, Sudibyo 1998).

(33)

yang terasa pahit ini juga meningkatkan produksi antibodi (immunostimulant). Efek farmakologisnya yang diketahui adalah mampu merangsang daya tahan seluler (fagositosis), memproduksi anti bodi (immunostimulant), antiradang dan fungsi lainnya adalah :

- Antiinfeksi sehingga biasa digunakan sebagai antibiotik untuk melawan virus

- Mempunyai efek antihistamin (antibatuk) - Antiracun (detoksikasi)

- Mampu mencegah penggumpalan darah (antitrombosis) dan menghancurkan penggumpalan darah (trombolisis)

Tanaman Pare (Momordica charantia L.)

Sejarah dan Deskripsi Tanaman Pare

Tanaman pare adalah tanaman yang memiliki sifat khas yaitu rasa pahit, mendinginkan, dan membersihkan darah (Sudibyo 1998). Di balik rasa pahit tersebut terkandung khasiat sebagai obat berbagai jenis penyakit dan bahan olahan untuk aneka masakan. Pare diperkirakan berasal dari Asia tropis, terutama Myanmar dan India bagian barat, tepatnya di Assam. Tanaman ini juga ditemukan di Nepal, Sri Lanka, Cina dan beberapa Negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Umumnya pare banyak tumbuh di daerah tropis, termasuk di wilayah Amazon, Afrika, Asia, dan Karibia. Di wilayah Indonesia tanaman pare ditemukan di beberapa daerah yaitu daerah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Nias, Sulawesi dan Maluk u (Subahar 2004).

(34)

menjari 5-7, pangkal berbentuk jantung, warnanya hijau tua. Taju bergigi kasar sampai berlekuk menyirip seperti yang tertera pada Gambar 4 (Sudibyo 1998).

Gambar 4. Tanaman pare (Momordica charantia L.)

Menurut Subahar (2004) bahwa pare dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri-ciri dan sifat fisik tumbuhan sebagai berikut :

Divisi (divisio) : Spermatophyta Kelas (class) : Dicotyledoneae Bangsa (ordo) : Cucurbitales Suku (family) : Cucurbitaceae Marga (genus) : Momardica

Jenis (spesies) : Momardica charantia L.

Kandungan Kimia dan Pemanfaatannya

(35)

demam, malaria, menambah nafsu makan, pelancar ASI, sakit saat haid, sariawan, serta menyuburkan rambut pada anak balita (Sudibyo 1998; Subahar 2004).

Alkaloid merupakan senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid diklasifikasikan berdasarkan strukturnya masih sulit dilakukan karena memiliki struktur ya ng banyak jenisnya. Namun berdasarkan cincin nitrogen dan biosintesisnya, alkaloid dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu alkaloid sejati, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid (Pelletier 1983, Bruneton 1993). Menurut Solomon dan Graham (1980), kegunaan alkaloid dalam bidang kesehatan adalah untuk memacu sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, dan dapat melawan infeksi mikroba.

Saponin merupakan bahan baku untuk sintesis steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Saponin steroid mempunyai aktivitas sebagai hormon, sedangkan derivat triterpenoid yaitu triterpene ya ng berfungsi sebagai ekspektoran untuk mengangkat lendir esofagus. Selain itu, saponin berfungsi pada sebagai anti inflamasi dan analgesik (Robinson 1991, Sudibyo 1998).

Diferensiasi Leukosit

Sel darah putih atau leukosit (bahasa yunani leuko = putih) pada unggas sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Sel darah putih dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Granulosit dan Agranulosit. Granulosit mempunyai bentuk inti tidak teratur, dan dalam sitoplasma terdapat granula spesifik yang dinamakan heterofil, eosinofil, dan basofil. Granula-granula sitoplasma ini mempunyai afinitas terhadap zat warna spesifik yang mampu berikatan pada granula. Agranulosit mempunyai inti dengan bentuk teratur, namun sitoplasma nya tidak mempunyai granula spesifik. Agranulosit dapat digolongkan sebagai monosit dan limfosit (Frandson 1992).

(36)
[image:36.596.108.509.105.191.2]

Tabel 1. Persentase diferensiasi sel darah putih pada unggas (Sturkie 1976)

Diferensiasi Leukosit (%) Spesies Jenis

Kelamin Umur Heterofil Monosit Limfosit Ayam Itik Pekin Merpati Puyuh Jantan Jantan - Jantan Dewasa Dewasa - Dewasa 27.20 52.00 23.00 20.80 10.20 3.70 6.60 2.70 59.10 31.00 65.60 73.60

Ukuran dan Sistem Pertahanan Heterofil

Penggunaan istilah sel darah putih polimorfonuklir lazimnya terbatas pada

heterofil. Pada hewan dewasa normal, granulosit dibentuk di sumsum tulang belakang. Heterofil dapat bertahan hidup dalam jangka waktu beberapa jam. Diameter heterofil pada ayam kira-kira 10-15µm, memiliki inti yang khas, terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 dan 5 lobus dengan tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau merah lembayung (Hoffbrand 1987).

Frandson (1992) menyatakan bahwa heterofil mengandung granula yang memberikan warna indiferen dan tidak merah atau pun biru. Heterofil merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara bermigrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri, menemb us dinding pembuluh darah, dan menyerang bakteri untuk dihancurkan. Dalam proses tersebut banyak heterofil yang mendegradasi jaringan yang mati (nekrotik) di daerah itu, dan menghasilkan suatu zat semicair yang disebut nanah (pus), sedangkan akumulasi nana h lokal disebut abses. Jumlah heterofil di dalam darah meningkat cepat tatkala terjadi infeksi yang akut. Hitungan atas sel-sel darah putih yang menunjukkan peningkatan, merupakan diagnosis adanya infeksi (Frandson 1992).

(37)

sel-sel (diapedesis), kemudian dengan gerakan amuboid masuk ke jaringan untuk memfagositosiskan partikel-partikel asing (Sturkie 1976).

Ukuran dan Peranan Monosit

Monosit merupakan bagian dari kelompok agranulosit yang berasal dari sumsum tulang dan mempunyai garis tengah berkisar dari 9-12 µm. Inti berbentuk oval, berbentuk kaki kuda, atau berbentuk ginjal dan umumnya terletak konsentris. Kromatin kurang padat dan menunjukkan susunan yang lebih fibriler daripada limfosit. Inti monosit biasanya mengandung 2 atau 3 anak inti yang dapat dilihat dalam sediaan hapus darah (Junqueira dan Carneiro 1982).

Monosit, sel-sel darah putih yang menyerupai heterofil, bersifat fagositik yaitu kemampuan untuk menyerang material asing, seperti bakteri. Akan tetapi, jika heterofil fungsi utamanya untuk mengatasi infeksi yang akut, monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut, seperti tuberculosis. Ketika monosit darah masuk ke dalam jaringan maka monosit tersebut akan berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag. Masa hidup monosit dapat bertahan sampai bulanan (Frandson 1992). Monosit beredar melalui aliran darah dan mampu menembus dinding kapiler, masuk ke dalam jaringan penyambung, dan berdiferensiasi menjadi sel-sel fagositik sistem makrofag (Junqueira dan Carneiro 1982).

Karakter dan Peranan Limfosit

Umumnya limfosit terdapat dalam darah tepi dan merupakan sel kecil dengan diameter kurang dari 10 µm. Ukuran dan penampilannya bervariasi, dan mempunyai nukleus relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma. Masa hidup limfosit dapat mencapai tahunan (Frandson 1992).

(38)

Bentuk yang lebih besar dipercaya telah dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau protein asing.

Fungsi utama limfosit pada hewan (unggas) adalah responsnya terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler. Sistem kekebalan sekunder (limfositik) terbentuk apabila suatu antigen menyentuh dan merangsang T- limfosit (timus limfosit). T- limfosit adalah dari limfosit yang berasal dari sel-sel batang sumsum tulang dan diproses di dalam timus sebelum bergerak ke jaringan limfosit tubuh hewan. Apabila T- limfosit mengalami pendedahan terhadap antigen, T- limfosit akan dirangsang untuk bereplikasi secara cepat dan menghasilkan lebih banyak lagi, yang juga dapat bekerja langsung melawan antigen yang spesifik. Antigen ini meliputi agen-agen seperti jamur, organisme Brucella, baksil turberkel, sel-sel kanker, dan organ-organ yang ditransplantasi. Selain T- limfosit ada juga B- limfosit yang berasal dari antibodi yang dihasilkan sebagai respons terhadap interaksi suatu antigen spesifik dengan limfosit yang mengalami pemrosesan awal. Pada bangsa burung limfosit ini diproses di dalam bursa Fabricius, suatu organ limfoid yang terletak di dekat kloaka unggas muda. Pada mamalia, B- limfosit diproses di dalam jaringan yang disebut ekuivalen bursa, kemungkinan di dalam hati atau limpa (Frandson 1992).

Oleh karena itu, sel-sel darah putih sangat penting peranannya sebagai antibodi terhadap setiap benda asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap tubuh, supaya tubuh tetap sehat dan bisa berproduktivitas secara baik. Salah satu produktivitas yang dapat ditampilkan dari burung perkutut yaitu kemampuan dalam menghasilkan suara.

Sejarah Singkat Zat besi (Fe)

(39)

heme ditemukan dalam hemoglobin dan dalam otot yang disebut myoglobin yang terdapat dalam daging.

Mekanisme Penyerapan dan Metabolisme Zat Besi

Kandungan zat besi di dalam tubuh sebesar 0.005% dari bobot badan. Total zat besi di dalam hemoglobin darah sekitar 57% dan 7% di dalam myoglobin

(Leeson dan Summers 2001).

Mekanisme penyerapan zat besi merupakan mekanisme pengatur (gatekeeper) metabolisme zat besi. Penyerapan zat besi berkisar 2-40% dari zat masukan (intake) zat besi dengan rataan sekitar 5-15%. Penyerapan zat besi non

heme ditemukan pada bahan makanan asal hewan maupun tanaman yang merupakan penyerapan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan penyerapan zat besi heme. Zat besi yang terdapat dalam bentuk inorganik terdapat dalam makanan terutama dalam bentuk oksidasi seperti ion ferri (Fe+++). Zat besi dalam bentuk tereduksi, ion fero (Fe++) lebih mudah diserap karena mudah larut dalam cairan pencernaan. Faktor- faktor yang mempengaruhi reduksi zat besi sehingga berpengaruh dalam penyerapan, yaitu kadar keasaman, pH atau keasaman dalam lambung dan bagian atas usus halus. Tersedianya asam askorbat dan fruktosa akan meningkatkan penyerapan dengan cara mengubah bentuk zat besi dalam bentuk ion feri menjadi ion fero (Pilliang 2004).

Proses penyerapan zat besi dari makanan berlangsung melalui sel-sel epitel mukosa usus duodenum setelah makanan meninggalkan lambung. Dari lokasi tersebut zat besi masuk ke kapiler darah di dalam mukosa, di mana zat besi ditranspor oleh suatu protein yang disebut transferin yang terdapat dalam sirkulasi darah. Transferin merupakan protein dengan berat molekul 74 000 dan mampu mengikat 2 atom besi ferri. Transferin diperkirakan hanya sekitar 0.1% dari besi tubuh total. Peranan utamanya adalah mentranspor besi dari sistem

retikuloendotelial dan usus ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin pada pembentukan sel darah merah selanjutnya, dan sebagian kecil akan digunakan untuk membentuk myoglobin di dalam otot. Sekitar 25% bergabung dengan

(40)

hilang dari tubuh melalui feses, urine, dan keringat. Pada hewan betina induk mensuplai zat besi pada fetus terutama saat perioda kebuntingan, pada anak-anak ketika sedang menyusui, dan pada manusia ketika wanita sedang menstruasi (Dallman 1986; Frandson 1992; Pilliang 2004).

Metabolisme zat besi dibagi dalam dua siklus (Gambar 5), yaitu satu siklus internal dengan pemanfaatan kembali besi secara terus menerus dari katabolisme sel dalam tubuh dan satu siklus eksternal yang digambarkan oleh hilangnya besi dari tubuh dan penyerapan dari makanan (Leeson dan Summers 2001).

Komponen utama metabolisme besi internal adalah pemanfaatan kembali besi dari katabolisme sel darah merah. Besi yang dibebaskan dari hemoglobin

[image:40.596.113.510.407.723.2]

dalam sistem retikuloendotelial kemudian diambil oleh transferin dan diangkut ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin dalam sel darah merah baru. Sebagian besi digunakan dalam pembentukan sel-sel lainnya, tetapi bagian utama metabolisme besi internal adalah suatu daur ulang besi dalam massa sel darah merah (Leeson dan Summers 2001).

(41)

Deskripsi dan Mekanisme Penyerapan Seng (Zn)

Wasito et al. (2003) melaporkan bahwa mineral seng merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan tubuh yang berfungsi sebagai pelindung dasar untuk sistem kekebalan tubuh. Seng juga berperan sangat penting dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Selain itu, seng merupakan bahan dasar hormon disamping mangan atau vitamin yang melengkapi.

Piliang (2006) melaporkan bahwa tikus yang diberi perlakuan vitamin D dalam ransumnya, dapat mengabsorpsi mineral seng dari ransum secara lebih baik. Mineral seng diabsorpsi dengan bantuan proses difusi dalam duodenum dan jejunum bagian atas. Absorpsi mineral seng dipengaruhi oleh ukuran tubuh, kadar mineral seng dalam ransum serta terdapatnya zat-zat yang dapat mengganggu absorpsi mineral seng antara lain mineral kalsium, fitat dan vitamin D. Mineral seng sangat tersedia bagi tubuh dalam bentuk seng sulfat.

Prasad (1991) menjelaskan bahwa jika kandungan seng dalam makanan cukup tinggi, maka kadar seng dalam plasma dan sintesis de novo metallotionin secara bersamaan juga meningkat. Mengingat adanya berbagai interaksi yang terjadi selama pengangkutan melalui sel usus, maka ada kemungkinan bahwa status seng mengatur laju dan besarnya penyerapan, sebagian melalui perubahan-perubahan pada kadar metallotionin. Cousins (1979) menyatakan bahwa albumin dapat membantu mengatur laju penyerapan seng karena hampir 67% seng dalam plasma berkaitan dengan albumin.

Senyawa Seng (Zn) dalam Tubuh

(42)

dengan aktifitas metabolik dalam jaringan-jaringan lain dalam tubuh. Tanda-tanda klasik defisiensi mineral seng antara lain hilangnya nafsu makan, pertumbuhan yang terhambat, serta testes yang mengecil (testicular atrophy) sehingga sekresi testosteron menurun (Pilliang 2004).

Hormon Reproduksi Jantan

Klasifikasi Hormon

Hormon dapat diklasifikasikan menurut komposisi kimiawi, sifat kelarutan, lokasi reseptor dan sifat sinyal yang digunakan sebagai perantara bagi kerja hormon di dalam sel. Secara kimiawi, hormon dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu steroid dan protein (polypeptide) serta turunannya. Hormon testosteron tergolong sebagai hormon steroid yang memiliki sifat kelarutan lipofilik (larut dalam lemak) dan berasal dari kolesterol. Setelah disekresi, hormon steroid akan terikat dengan protein pengangkut dan mempunyai usia paruh plasma yang panjang (berjam-jam sampai berhari- hari) serta lokasi reseptor yang terdapat pada intraseluler (Murray et al. 1999).

Peranan Hormon Kelenjar Kelamin

Hormon- hormon yang digolongkan sebagai hormon kelamin salah satunya adalah androgen yang merupakan hormon steroid. Androgen (hormon jantan) yang utama adalah testosteron (Sturkie 1976).

Fungsi endokrin dari testis terutama adalah menghasilkan testosteron yang disintesis di dalam sel Leydig (sel interstitial) yang tersebar dalam jaringan ikat antara tubulus seminiferus yang bergelung akibat rangsangan LH (Luteinizing Hormone, ICSH atau Interstitial Cell Stimulating Hormone) (Murray et al.1999).

Frandson (1992) menjelaskan bahwa testosteron meningkatkan anabolisme protein yang dapat mempengaruhi pertambahan berat tubuh pada hewan jantan bila dibandingkan dengan betina. Selain itu, testosteron memacu perkembangan dan fungsi kelenjar-kelenjar kelamin aksesori yang menyebabkan berkembangnya karakteristik kelamin sekunder dan mengontrol sekresi LH (Luteinizing Hormone,

(43)

memperbesar larynx, ’vocal cords’ meningkat sehingga menjadi panjang dan tebal serta suara lebih dalam.

Biosintesis Hormon Testosteron

Hormon testosteron mempunyai rumus kimia C19H27O2 dengan struktur

[image:43.596.105.535.361.724.2]

dasar yang sama denga n hormon steroid lainnya. Atom karbon ke-3 berikatan dengan keton, dan pada atom karbon ke-17 berikatan dengan gugus hidroksil. Testis merupakan sumber hormon testosteron yang potensial dan sel yang mensintesis hormon testosteron adalah sel Leydig. Sel Leydig menggunakan asam asetat, dalam bentuk asetil-CoA yang merupakan prekursor kolesterol dan hormon testosteron. Reaksi tersebut dapat dilihat pada biosintesis hormon testosteron hewan unggas melalui dua lintasan menurut Sturkie (1976) yang ditampilkan pada Gambar 6.

(44)

Testosteron dalam Plasma Darah

Testosteron terikat dalam ß-globulin plasma dengan spesifisitas, afinitas yang relativ tinggi dan kapasitas terbatas. Protein ini, biasanya dinamakan globulin pengikat hormon seks (SHBG; sex hormon-binding globulin) yang diproduksi di dalam hati. SHBG dan albumin mengikat 97-99% dari hormon testosteron yang beredar, hanya sebagian kecil dari hormon testosteron yang berada dalam bentuk bebas (biologis aktif) di dalam sirkulasi darah (Murray et al. 1999). Sama halnya dengan pendapat William (1983) bahwa 97% hormon testosteron berada di dalam plasma yang terikat oleh protein: 40% terikat oleh β-globulin atau disebut gonadal steroid-binding globulin (GBG), 40% albumin, dan 17% terdiri dari protein yang lain. Kecepatan sekresi testosteron rata-rata sebesar 4-9 mg/d (13.9-31.2 nmol/d) dalam kondisi normal pada jantan dewasa. Sama halnya dengan pendapat William (1983) bahwa 97% hormon testosteron berada di dalam plasma yang terikat oleh protein: 40% terikat oleh β-globulin atau disebut gonadal steroid-binding globulin

(GBG), 40% albumin, dan 17% terdiri dari protein yang lain. Kecepatan sekresi testosteron rata-rata sebesar 4-9 mg/d (13.9-31.2 nmol/d) dalam kondisi normal pada jantan dewasa.

[image:44.596.111.510.532.601.2]

Sturkie (1976) mengungkapkan bahwa kadar testosteron yang terdapat di dalam darah bervariasi pada hewan unggas jantan. Konsentrasi testosteron di dalam plasma darah hewan unggas jantan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Konsentrasi hormon testosteron di dalam plasma darah unggas jantan

Jenis Unggas Status Reproduksi Konsentrasi Testosteron (ng/100ml) Ayam

Puyuh Merpati

Dewasa

Photostimulated Dewasa

84 -783 18 – 45 15 - 98

Karakteristik Sex Sekunder

(45)

larynx, ‘vocal cord’ meningkat menjadi panjang dan tebal, dan suara menjadi lebih dalam. Hasil penelitian Nalbandov (1990) tentang pengaruh sifat seks sekunder suara pada anak laki- laki yang dikastrasi setelah pubertas menghasilkan adanya suara tinggi yang tetap dipertahankan. Perubahan-perubahan kualitatif dan kuantitatif disebabkan oleh defisiensi androgen pada umumnya lebih nyata bila terjadi sebelum pubertas.

Suara Burung

Pengertian dan Peranan Suara

Cromer (1994) berpendapat bahwa suara merupakan gelombang longitudinal yang merambat melalui udara, air, dan zat padat. Suara mempunyai peranan penting dalam kehidupan terutama bagi burung bernyanyi seperti halnya perkutut. Burung bernyanyi menggunakan suara untuk berkomunikasi antara satu dengan lainnya dan memperoleh informasi tentang sekelilingnya.

Berdasarkan tipenya ada dua jenis suara pada burung perkutut, yaitu suara

call (suara isyarat) dan song (suara nyanyian) (Sutejo 2002). Suara isyarat digunakan dalam berkomunikasi antar sesama yang biasanya pendek-pendek, misalnya suara me manggil dan menyongsong kawin. Jenis suara nyanyian biasanya panjang, berirama dalam waktu lama, dan diulang-ulang secara teratur dengan irama khusus. Suara nyanyian ini biasanya terdengar kalau burung dalam keadaan sehat.

Organ Penghasil Suara

(46)

Arnold et al. (1976) mengungkapkan bahwa perkembangan syrinx diatur oleh hormon-hormon gonad.

Brenowitz dan Lent (2002) menjelaskan bahwa produksi suara (song)dan proses belajar bersuara (song learning) dikontrol oleh sebuah daerah di otak yang disebut vocal control region (VCR). Kerja VCR sangat dipengaruhi hormon testosteron dan fotoperioda.

[image:46.596.135.494.214.575.2]

Gambar 7. Syrinx burung (King and Mc Lelland 1989)

(47)

(nXIIts) yang ada dalam batang otak, dan akhirnya sepanjang neuron motorik menuju ke otot syrinx.

Jalur proses belajar (learning) menghubungkan HVC ke RA melalui wilayah X, DLM (Dorsolateral Nucleus of the Medial Anterior Thalamus) dan LMAN (Lateral Nucleus of the Anterior Neostratum). Kondisi ini berulang karena pada LMAN juga memproyeksikan ke wilayah X. Gangguan pada jalur ini mempengaruhi perkembangan suara (song).

Gambar 8. Diagram sistem control surara pada burung (Brenowitz and Lent 2002).

Keterangan : Jalur posterior/produksi suara

Jalur anterior/proses belajar bersuara

Kriteria Suara Perkutut

(48)

Menurut (Sutejo 2002) anggungan perkutut didasarkan atas lima kriteria yang juga merupakan dasar penilaian. Kelima kriteria tersebut terdiri dari suara depan, suara tengah, suara ujung, dasar suara dan irama.

Kriteria pertama adalah suara depan (angkatan). Suara depan ini merupakan suara bagian awal atau silabel (syllable) pertama pada tahap perkutut manggung. Burung yang mempunyai suara depan panjang (klauu, kleoo, klaoo, weoo), mengalun dan menjerit seperti melempar tergolong katagori baik sehingga nilainya tinggi.

Kriteria kedua adalah suara tengah merupakan bagian tahap manggung antara suara depan dengan suara ujung. Suara depan ini dapat terdiri dari beberapa silabel sampai sebelum silabel akhir. Suara tengah dianggap baik bila artikulasi jelas, renggang, tebal dan jernih. Contoh suara tengah yang baik ”ke-tek”.

Kriteria ketiga adalah suara ujung merupakan suara akhir pada waktu perkutut manggung atau silabel akhir. Suara ujung dianggap baik bila muncul suara ”kuuung” yang menggaung, berat, panjang dan dengan nada menurun. Makin panjang kung- nya, semakin baik nilainya.

Kriteria keempat adalah dasar suara. Dasar suara perkutut yang baik harus lantang (bisa keras, nyaring, tebal), jelas terdengar dan nadanya tidak naik turun.

Kriteria kelima adalah irama atau lagu merupakan keserasian antara suara depan, tengah dan belakang. Semakin serasi dan pembagian ritmenya seimbang, semakin tinggi nilainya. Perkutut yang bagus pada saat manggung, memiliki

pause (masa selang) antara hurketekuk satu dengan hurketekuk berikutnya sehingga terdengar selaras atau serasi. Keserasian ini disebut wilet. Pause sangat menentukan dalam memberikan kenyamanan irama bagi pendengarnya dengan demikian pause disebut juga durasi antar silabel.

Durasi Suara

(49)
[image:49.596.115.507.141.336.2]

merupakan durasi dalam satu silabel; (6) durasi antar silabel yang merupakan durasi antara silabel pertama dan silabel kedua.

Gambar 9. Oscilogram durasi suara perkutut (Raimund 1999) Keterangan Gambar :

(50)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan awal bulan Maret 2005 sampai akhir bulan Mei 2005 di Bird Farm Perkutut Prima, Desa Sukakarya Mega Mendung Bogor selama 10 (sepuluh) minggu.

Analisis Proksimat pada pakan (gabah lampung, milet, jawawut dan ketan hitam) dan pada ekstrak daun (Saga, Sambiloto dan Pare) dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Analisis mineral (Fe, Mg dan Zn), vitamin A dan vitamin C pada pakan (gabah lampung, milet, jawawut dan ketan hitam) dan pada ekstrak daun (Saga, Sambiloto dan Pare) dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram, sedangkan analisis mineral (Fe dan Zn) pada plasma darah dilaksanakan di Laboratorium Mineral BBIA Bogor, Perhitungan profil darah (diferensiasi sel darah putih) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Adapun analisis hormon testosteron pada plasma darah dilaksanakan di Laboratorium Radioimmunoassay (RIA) BATAN Jakarta Selatan.

Prosedur ana lisa proksimat, mineral (Fe, Mg dan Zn), vitamin A dan vitamin C pada ransum penelitian (pakan utama dan ekstrak daun) dapat dilihat pada Lampiran 1.

Materi Penelitian

Hewan Percobaan

(51)

Kandang dan Perlengkapan Penelitian

Pemeliharaan perkutut selama penelitian dilakukan pada kandang berla ntai beton, berdinding kawat dan beratap asbes yang dapat dilihat pada Gambar 10.

[image:51.596.145.482.134.344.2]

Gambar 10. Tampilan bagian dalam kandang penelitian

Petak kandang penelitian pada Gambar diatas berukuran 120 cm x 60 cm x 180 cm sebanyak 25 petak kandang yang terbagi atas 2 kandang induk yang tiap kandang induk berisi 12 dan 13 petak kandang. Tiap petak ditempatkan 1 ekor perkutut yang dilengkapi dengan tempat pakan sebanyak 4 buah, terdiri dari tempat pakan (millet, jawawut, ketan hitam dan gabah lampung) dan tempat minum yang terbuat dari plastik. Sebagai alat penerangan digunakan lampu pijar 40 watt yang dipasang di bagian tengah pada tiap petak. Selain itu, tiap petak dilengkapi dengan nomor kandang untuk mempermudah dalam pencatatan data selama penelitian serta timbangan.

Ransum Penelitian

Bahan dan Susunan Ransum

Bahan ransum penelitian yang digunakan terdiri dari pakan utama dan ekstrak daun. Pakan utama terdiri dari milet, jawawut, ketam hitam dan gabah lampung yang diproduksi oleh Sari Alam Solo dan dibeli dari Bird Farm Perkutut Prima di Bogor.

(52)

dimana daun-daun tersebut diberikan pada hewan percobaan dalam bentuk ekstrak daun saga, sambiloto dan pare.

Metode Penelitian

Persiapan Ekstrak Daun

Ekstrak daun dihasilkan melalui ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan metode maserasi daun. dimana bahan (daun segar) ditimbang, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Selanjutnya akuades disiapkan untuk perendaman dengan perbandingan (1 : 5 g/g) selama 24 jam, setelah itu disaring menggunakan kertas saring Whatman no.40 dan ditampung dalam sebuah wadah kosong yang telah diketahui beratnya. Hasilnya di uapkan menggunakan Rotary Evaporator dengan suhu 400C sehingga yang tersisa adalah ekstrak daun berupa gel. Selanjutnya ekstrak dan wadah ditimbang beratnya sehingga dapat diketahui berat ekstrak daun yaitu (berat ekstrak + berat wadah) – berat wadah. Sebagai catatan, ekstrak daun (Saga, Sambiloto dan Pare) yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Dasar perhitungan konsentrasi ekstraksi perlakuan dedaunan berdasarkan pemberian berat daun saga segar sebanyak 30 lembar daun/ekor/minggu (Farm Prima Perkutut). Nilai konversi rataan berat segar 30 lembar daun saga sebesar 0.27 g (X), sehingga dapat dihitung konsentrasi ekstrak daun saga/ekor/minggu

dengan rumus yaitu % rendemen daun saga ( x100%

segar Berat

ekstrak Berat

) x rataan

berat segar 30 lbr daun saga (X) atau 6.78% x 0.27 g = 0.018 g/ekor/minggu. Hasil perhitungan tersebut merupakan nilai konsentrasi ekstrak yang berlaku juga pada ekstrak daun sambiloto dan pare, sedangkan kombinasi ekstrak dedaunan konsentrasi ekstraknya sama yaitu 0.018 g/ekor/minggu sehingga setiap konsentrasi ekstrak dedaunan sebesar 0.006 g/ekor/ minggu.

(53)

Adapun ransum perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut : Perlakuan A

B C D E

= = = = =

Pakan utama (kontrol)

Pakan kontrol + 0.018 gram ekstrak daun saga Pakan kontrol + 0.018 gram ekstrak daun sambiloto Pakan kontrol + 0.018 gram ekstrak daun pare hutan

Pakan kontrol + Kombinasi (0.006 gram ekstrak daun saga + 0.006 gram ekstrak daun sambiloto + 0.006 gram ekstrak daun pare).

Pelaksanaan Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan kandang dan perlengkapannya terlebih dahulu dibersihkan. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan adanya gangguan penyakit sehingga mengakibatkan penyimpangan hasil penelitian. Pembersihan kandang dan peralatan dilakukan satu minggu sebelum anak perkutut datang. Anak perkutut yang baru datang ditimbang dengan menggunakan timbangan digital untuk mengetahui keragaman berat hingga ketelitian 0.1 g. Selanjutnya ditempatkan pada kandang perlakuan dan ulangan sesuai dengan unit kandang pengacakan. Kandang penelitian ini berada di atas bukit dengan ketinggian 700 m dari atas permukaan laut dengan suhu lingkungan berada dalam kisaran 24–27 0C. Tahap ini juga merupakan awal adaptasi perkutut selama 2 minggu.

(54)

Pemberian ekstrak daun saga, sambiloto, dan pare diberikan seminggu sekali setiap ekor pada pagi hari dengan cara ekstrak daun dilarutkan terlebih dahulu kemudian diberikan dengan menggunakan syringe secara oral. Pengambilan sampel darah untuk pengukuran (diferensiasi leukosit, mineral (Fe dan Zn) dan hormon testosteron) dan perekaman suara dilakukan pada minggu ke-10 hingga minggu ke-11 saat burung perkutut berumur 6-8 bulan. Pengambilan sampel darah dilakukan mulai jam 07.00-09.00 pada minggu ke-10. Sampel darah diambil dengan menggunakkan syringe steril kapasitas 1 cc di vena bawah sayap dan sampel darah yang diambil sebanyak 0.21 cc. Kemudian 0.2 cc sampel darah dimasukkan ke dalam tabung evendov kapasitas 1.5 cc yang mengandung antikoagulan heparin untuk diambil plasmanya dengan cara disentrifuga pada 10 000 rpm, suhu 10 0C, selama 5 menit, sehingga dapat digunakan untuk mengukur mineral Fe, Zn dan hormon Testosteron, sedangkan sisa sampel darah 0.01 cc yang ada dalam syringe diteteskan pada salah satu ujung gelas objek lalu dibuat apusan dengan bantuan gelas objek yang lain. Apusan pada gelas objek tersebut digunakan untuk menghitung Diferensiasi Sel-Sel Leukosit.

Untuk perekaman dilakukan selama 6 jam mulai jam 08.00-14.00 setiap hari selama 6 hari, yang mana 3 jam I untuk kandang I (12 unit) dan 3 jam berikutnya untuk kandang II (13 unit) dan dilakukan pergantian waktu setiap hari selama perekaman.

Parameter burung perkutut yang diamati yaitu konsumsi ransum, konsumsi nutrien, diferensiasi sel-sel leukosit, mineral (Fe dan Zn), hormon testosteron, dan durasi (silabel dan antar silabel). Untuk data konsumsi ransum dan konsumsi nutrien ditabulasi dan dibahas secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran jumlah nutrisi yang dikonsumsi perkutut. Untuk perhitungan setiap parameter sebagai berikut:

1. Konsumsi ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum setiap kelompok ulangan dihitung setiap 4 hari berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum.

2. Konsumsi nutrien

(55)

- Konsumsi nutrien kelompok B diperoleh dari :

[?(ANR x KRB)] + (AEksB x 0.018 gram)

- Konsumsi nutrien kelompok C diperoleh dari :

[?(ANR x KRC)] + (AEksC x 0.018 gram)

- Konsumsi nutrien kelompok D diperoleh dari :

[?(ANR x KRD)] + (AEksD x 0.018 gram)

- Konsumsi nutrien kelompok E diperoleh dari :

[?(ANR x KRE)] + (AEksB x 0.006 gram) + (AEksC x 0.006 gram) +

(AEksD x 0.006 gram)

Keterangan : ANR AEksB AEksC AEksD KRA KRB KRC KRD KRE : : : : : : : : :

Analisa nutrien ransum (pakan pokok) Analisa ekstrak saga (perlakuan B) Analisa ekstrak sambiloto (perlakuan C) Analisa ekstrak pare (perlakuan D)

Konsumsi ransum (pakan pokok) pada perlakuan A Konsumsi ransum (pakan pokok) pada perlakuan B Konsumsi ransum (pakan pokok) pada perlakuan C Konsumsi ransum (pakan pokok) pada perlakuan D Konsumsi ransum (pakan pokok) pada perlakuan E

3. Diferensiasi Sel-Sel Leukosit

Uji pada darah perkutut yang dilakukan pada penelitian ini adalah : Diferensiasi Leukosit preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa, perhitungan dan klasifikasi per 100 leukosit.

Metoda perhitungan jumlah eritrosit dan diferensiasi leukosit mengikuti metode Djojosoebagio (1989) sebagai berikut :

(56)

4. Mineral Fe dan Zn dari Plasma

Sampel darah yang diambil plasmanya dengan cara disentrifuga pada 10 000 rpm, suhu 10 0C, selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pengukuran Fe dan Zn dari plasma mengikuti metode AAS (Price 1979) seperti pada Lampiran 2.

6. Analisis Kadar Hormon Testosteron

Plasma diukur kandungan hormon testosteron dengan menggunakan kit COAT-A Count Testosteron buatan DPC Los Angles, USA. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif dan menggunakan radioaktif 125I (Jaffe dan

Behrman 1974).

7. Analisis Suara Perkutut

Analisis durasi silabel dan durasi antar silabel dari suara perkutut dilakukan pada 238 cuplikan suara dari 22 individu perkutut (Purnamasari 2006). Cuplikan suara direkam dengan audio tape recorder merek Sony TCM-323. Hasil rekaman dikonversikan dalam bentuk digital audio pada format WAVE, kemudian dianalisis melalui program avisoft-SASLab Pro versi 3.74 (Raimund 1999).

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 5 ulangan dan 5 perlakuan.

Model statistika RAL sebagai berikut :

Yij = µ + ti + ?ij

di mana :

Yij

µ ti

?ij

j i

=

= = = = =

Respon dari suatu percobaan yang memperoleh perlakuan ke- i dan ulangan ke-j

Rataan umum hasil percobaan Pengaruh perlakuan ransom ke- i

Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke- i dan ulangan ke-j 1,2,3,4,5 (ulangan)

(57)
(58)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrisi Pakan Burung Perkutut

Penelitian ini menggunakan 4 macam pakan utama berupa biji-bijian, yaitu gabah lampung, milet, jawawut dan ketan hitam. Adapun hasil analisa kandungan nutrisi pakan utama dapat dilihat pada Tabel3.

Berdasarkan hasil analisa nutrien pada masing- masing pakan utama maka terlihat kandungan protein kasar untuk jewawut sebesar 11.38%, ketan hitam 11.37%, milet sebesar 10.50%, dan gabah lampung sebesar 8.75%. Kandungan protein pada pakan utama tersebut sebagai zat nutrisi yang menunjang pertumbuhan perkutut sehingga ternak tersebut memiliki performen yang baik dan menghasilkan suara yang merdu. Menurut Soemadi dan Mutholib (2003) jumlah protein yang dikonsumsi burung ocehan dari pakan yang disediakan harus seimbang dengan kebutuhannya, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila protein yang dikonsumsi berlebih maka sisanya akan diubah menjadi lemak sehingga menyebabkan burung menjadi gemuk dan terlihat malas. Sebaliknya, bila terjadi defisiensi konsumsi protein maka mengakibatkan burung menjadi kurus, kerdil, pertumbuhan bulu tidak sempurna, bersifat kanibal, tid ak bergairah dan enggan bersuara. Untuk bersuara, burung memerlukan protein kurang lebih 35% dari jumlah makanannya (Soemadi dan Mutholib 2003).

(59)
[image:59.596.112.512.126.461.2]

Tabel 3. Kandungan nutrien pakan utama

Komponen Gabah Lampung Milet Jewawut Ketan Hitam

Kadar Air (%) Bahan Kering (%) Kadar Abu (%) Protein Kasar (%)

Lemak Kasar (%)

Serat Kasar (%) Gross energi (kal/g) Ca (mg/100g) P (mg/100g) Mg (mg/100g)

Fe (mg/100g)

Zn (mg/100g)

Vitamin A (mg/100g)

Vitamin C (mg/100g)

12.87 87.13 4.68 8.75 1.51 6.21 3 540 35.20 59.60 101.60 0.20 2.60 0.013 70.40 13.63 86.37 2.55 10.50 1.44 2.33 3 487 30.00 119.00 109.40 2.00 2.30 0.008 22.00 12.51 87.49 3.86 11.38 2.53 5.64 3 860 19.80 50.00 122.10 7.80 3.60 0.023 26.40 11.47 88.53 4.68 11.37 2.43 3.11 3 829 12.20 77.20 116.60 7.00 2.50 0.031 88.00 Keterangan :

• Hasil Analisis Proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram (2005)

• Hasil analisis dengan Bomb Calorimetry di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram (2005)

• Hasil analisis dengan Spectrophotometer di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Mataram (2005)

Pakan yang baik dipilih berdasarkan dari kemampuannnya untuk menghasilkan energi. Jawawut diketahui memiliki gross energi yang tertinggi sebesar 3860 kal/g dibandingkan dengan ketan hitam (3829 kal/g), gabah lampung (3540 kal/g), dan milet (3487 kal/g). Gross energi yang tinggi pada Tabel 3 sesuai dengan tingginya lemak kasar yang dibutuhkan sebagai sumber energi. Menurut Fitri (2001) bahwa energi yang cukup bagi burung berkicau dibutuhkan untuk memproduksi suara.

(60)

Meskipun serat kasar tidak mengandung nutrisi penting tetapi fungsinya sebagai pengatur ekskresi sisa makanan sangatlah penting. Menurut Piliang (2006) serat kasar membantu mempercepat ekskresi sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan. Diketahui dalam keadaan tanpa serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat menyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga ekskresi feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, pakan dengan serat kasar tinggi dapat mengurangi berat badan karena serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, serat kasar tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan (Piliang 2006).

Diketahui bahwa kandungan Ca dan P dalam pakan perkutut pada Tabel 3 berbeda-beda. Kandungan Ca tertinggi ditemukan berturut-turut pada gabah lampung (35.20 mg/100g), milet (30.00 mg/100g), jawawut (19.80 mg/100g), dan yang terendah ketan hitam (12.20 mg/100g). Adapun kandungan P yang tertinggi ditemukan pada milet (119.00 mg/100g) bila dibandingkan dengan ketan hitam (77.20 mg/100g), gabah lampung (59.60 mg/100g), dan jewawut (50.00 mg/100g). Peranan Ca bagi tubuh organisme terutama berfungsi pada berbagai proses antara lain proses pembentukan tulang, pembekuan darah, kontraksi otot dan proses induksi rangsangan saraf, sedangkan P berfungsi dalam kontraksi otot, pembentukan tulang dan aktivitas sekretoris. Kedua unsur ini sangat menentukan dalam proses pembentukan tulang dan telur, serta berperan dalam metabolisme karbohidrat. Burung yang mengalami kekurangan unsur tersebut akan memperlihatkan gejala nafsu makan menurun, pertumbuhan terganggu, terjadi pelunakan tulang (osteoporosis) dan bentuk tulang tidak normal (rakhitis) (Soemadi dan Mutholib 2003; Piliang 2004, 2006).

(61)

jaringan tubuh lainnya. Selain berperan dalam pembentukan tulang, Mg berperan dalam metabolisme karbohidrat dan fungsi sel saraf. Kekurangan Mg mengakibatkan pertumbuhan menjadi lambat, lesu dan nafas tidak teratur. Defisiensi yang akut menyebabkan terjadinya vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah), kepucatan dan kematian (Soemadi dan Mutholib 2003, Piliang 2004).

Kandungan zat besi (Fe) pakan utama banyak terdapat pada jawawut (7.80 mg/100g) bila dibandingkan dengan ketan hitam (7.00 mg/100g), milet (2.00 mg/100g), dan gabah lampung (0.20 mg/100g). Zat besi memiliki peranan penting dalam proses pembentukan sel darah merah. Selain itu, untuk mentransport oksigen dalam bentuk hemoglobin. Apabila terjadi defisiensi maka dapat menyebabkan burung mengalami kekurangan darah yang ditandai dengan warna kulit burung tampak pucat (Leeson dan Summers 2001).

Berdasarkan hasil analisis nutrien pakan utama, Jawawut memiliki kandungan Zn tertinggi sebesar 3.60 mg/100g, selanjutnya diikuti oleh gabah lampung (2.60 mg/100g), ketan hitam (2.50 mg/100g), dan milet (2.30 mg/100g). Zn di dalam tubuh mempunyai peranan dalam perkembangan karakteristik seks sekunder dan pertumbuhan tubuh. Defisiensi Zn mengakibatkan pertumbuhan tubuh burung terganggu, bulu-bulu tumbuh kurang baik sehingga sayap memendek, testis yang mengecil (testicular atrophy), dan dapat menyebabkan kematian (Leeson dan Summers 2001, Piliang 2004). .

Kandungan vitamin A dan vitamin C yang terbesar terdapat dalam ketan hitam (0.031 dan 88.00 mg/100g). Vitamin A berperan dalam proses metabolisme sel, penglihatan, memelihara jaringan epitel yang melapisi saluran pencernaan, reproduksi dan perkembangan tulang. Adapun vitamin C dibutuhkan untuk pembentukan dan pemeliharaan suatu zat dalam tulang dan jaringan lunak serta dapat pula sebagai katalisator jaringan yang membantu dalam proses penyembuhan. Defisiensi vitamin C ditandai gejala askorbat dan pendarahan di seluruh tubuh (Leeson dan Summers 2001, Piliang 2004).

(62)

Mg, Fe, dan Zn. Adapun gabah lampung memiliki kandungan serat kasar dan Ca yang lebih tinggi, sedangkan ketan hitam memiliki vitamin A dan vitamin C yang terbanyak kemudian milet hanya mempunyai kandungan P yang terbesar dari pakan pokok yang lain.

Hasil Ekstraksi Daun Saga, Sambiloto dan Pare

Ekstraksi adalah cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah, sedangkan maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan pada suhu ruangan. Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi dan maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan tersebut (Winarno et al. 1973, Darwis 2000). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka daun (saga, sambiloto dan pare) diekstrak dengan menggunakan metode maserasi air (H2O),

[image:62.596.112.516.529.693.2]

yang proses akhirnya menghasilkan rendemen yang dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 terlihat bahwa daun sambiloto menghasilkan persentase nilai rendemen yang lebih tinggi (12.92%) dibandingkan dengan daun pare hutan (7.58%) dan daun saga (6.78%). Besaran persentase nilai rendemen yang dihasilkan akan berbanding terbalik dengan kandungan kadar air yang berada pada masing- masing daun segar, oleh karena itu persentase nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air.

Tabel 4. Persentase rendemen yang dihasilkan dari proses ekstraksi

Jenis Daun Berat segar (gr) Berat ekstrak (gr) Rendemen (%)

Saga

(Abrus precatorius linn)

Sambiloto

(Andrographis paniculata Ness)

Pare Hutan

(Momordica Charantia, L)

275.43

181.23

200.00

18.67

23.42

15.16

6.78

12.92

7.58

Keterangan: Hasil proses ekstraksi di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA IPB (2005)

(63)

sebesar 83.25% dan daun saga sebesar 83.39% (Lampiran 3). Persentase nilai rendemen tersebut digunakan untuk perhitungan berapa besar konsentrasi ekstrak daun yang diberikan pada setiap ekor perkutut dalam satu minggu. Dasar perhitungan konsetrasi ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare) berdasarkan kebiasaan peternakan perkutut dalam memberikan daun saga sebanyak 30 lembar yang dikonversikan seberat 0.27 g dan nilai rendemen yang dihasilkan sebesar 6.78% sehingga menghasilkan konsentrasi ekstrak daun saga sebesar 0.018 g/ekor/minggu. Konsentrasi ekstrak daun tersebut diberikan dengan konsentrasi yang sama pada ekstrak daun sambiloto dan pare.

Berdas

Gambar

Gambar 2. Tanaman saga (Abrus precatorius L.)
Tabel 1. Persentase diferensiasi sel darah putih pada unggas (Sturkie 1976)
Gambar 5. Metabolisme zat besi (Sumber : Leeson dan Summers 2001)
Gambar 6. Lintasan  biosintesis hormon testosteron pada unggas (Sturkie 1976).
+7

Referensi

Dokumen terkait