STUDI KASUS PENGEMBANGAN KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI
SYAMSUL HADI
P-062040214
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan. Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Februari 2012
Syamsul Hadi
Syamsul Hadi. 2012. Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Di bawah bimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua dan Surjono Hadi Sutjahjo dan Setiahadi sebagai anggota.
Pembangunan kota baru diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pengembangan wilayah, namun pada kenyataannya seringkali menimbulkan masalah baru, sehingga menjadi tidak berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan, dengan studi kasus di Kota Baru Bumi Serpong Damai. Pada penelitian menganalisis kualitas air dan kualitas udara dan selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu, menganalisis keberlanjutan BSD dengan menggunakan MDS, mencari parameter kunci dengan analisa prospektif dan membuat model pengendalian lingkungan dengan model dinamik serta mencari prioritas kebijakannya. Penelitian memperlihatkan lingkungan perairan di kawasan Kota Baru BSD tercemar limbah organik yang mudah urai (BOD) dan yang sulit urai (COD), sedangkan atmosfirnya tercemar gas beracun CO, serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Hasil analisis keberlanjutan memperlihatkan bahwa Kota Baru BSD masuk pada kategori kurang berkelanjutan (46,75), hanya dimensi infrastruktur dan teknologi (52,20), dimensi ekonomi (53,17) dan dimensi hukum dan kelembagaan (59,95) yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi (42,22) dan dimensi sosial-budaya (26,49) statusnya tidak berkelanjutan. Hasil analisis prosfektif memperlihatkan bahwa di Kota Baru BSD terdapat 22 faktor pengungkit yang harus diperhatikan agar BSD menjadi berkelanjutan. Model pengendalian lingkungan yang dibangun agar dalam pembangunan kota baru dapat dikendalikan lingkungannya dan berkelanjutan harus memperhatikan limbah cair, kualitas udara, keberadaan IPAL, keberadaan kawasan bisnis, perumahan dan pertokoan, harus memperhatikan budaya lokal dan penegakan hukum serta harus memperhatikan efektifitas dan efisiensi sarana jalan dan pengadaan transportasi umum. Strategi kebijakan pengembangan kota baru hendaknya dapat menumbuhkan pembangunan IPAL hingga 7%, kewajiban penggunaan katalisator pada kendaraan bermotor, pembatasan umur kendaraan, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, memperbaiki jalan rusak hingga 30%, peningkatan pajak kendaraan pribadi, pengendalian pertumbuhan penduduk dan pembangunan pemukiman terpadu sehat. Prioritas kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan adalah mengadakan teknologi produksi bersih, membangun IPAL, jaringan jalan dan transportasi yang efektif dan efisien,berikut kendaraan umumnya, peduli terhadap budaya local, dan membentuk kelembagaan.
Syamsul Hadi. 2012. A Model For Environment Control Of Sustainable New Town Development. (Case Study: New Town Development Of Bumi Serpong Damai. Under the direction of Bambang Pramudya, Surjono Hadi Sutjahjo and Setiahadi.
Development of new town is expected to solve such problems as migration reduction to large cities, regional economic development, etc., but the reality does not correspond to the objectives. Environment is one of impacts that are not examined carefully when new town was planned and developed. The objective of the study is to formulate a model of environmental control over of new town development, in order to achieve its sustainability objective. A case study of the research was conducted in a new town Bumi Serpong Damai (BSD) in Banten Province, Indonesia. The study has analyzed the quality of air and water and then comparing both with a standardized environment quality, has analyzed sustainability of BSD using multidimensional scaling (MDS) tools, has formulated key parameters using Prospective tools, has developed an environment control model using system dynamics tools, and then has formulated prioritized policies. The study has revealed that water and land around BSD area is contaminated with organic waste such as BOD and COD, while the atmosphere contains toxic gas such as CO, SOx, NOx, ozon (O3) and TSP. Using the MDS tools for sustainability analysis, it has been revealed that BSD city is categorized as less sustainable (46,75), less than 50 points. In both aspects as ecology (42,22) and social culture (26,49) BSD city is categorized not sustainable. Only in such aspects as infrastructure and technology (52,20), economy (53,17) and law and institutions (59,95) are closed to be categorized sustainable. The Prospective tools has identified 22 leverage factors be considered for BSD city to achieve its sustainability, 5 of which have been identified as key parameters, including (1) air pollution, (2) availability of sewerage system facilities, (3) transportation facilities, (4) environment institution, and (5) road infrastructure. The system dynamics and the forum group discussion have formulated a model of environmental control over new town development consisting of sub models for environment, social, and economy. Among four alternative scenarios formulated, the realistic one to be implemented is the third scenario, consisting of such actions as 5% annual increase on development of sewerage system facilities, gas emission control for vehicles, restriction on vehicle age, improvement of road infrastructure capacity, 20% increase on upgrading of deteriorated road, extension of road infrastructure, population control, and policies on urbanization. Recommended policies to achieve its sustainability include the use of clean production technology, sewerage system facilities, road network development, adequate public transportation, admiration toward indigenous local culture, and development of appropriate institutions.
Berkelanjutan Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Di bawah bimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua dan Surjono Hadi Sutjahjo dan Setiahadi sebagai anggota.
Meningkatnya kepadatan penduduk telah mendorong terjadinya urbanisasi, sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya urban sprawl. Akibat adanya urban sprawl ini seringkali muncul berbagai permasalahan, diantaranya menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan prasarana dan sarana dasar, terjadinya kesenjangan, munculnya berbagai masalah sosial, merebaknya masalah kriminalitas, tingginya tingkat pengganguran, dsb. Kondisi tersebut mendorong dibangunnya kota baru di kota satelit, namun juga seringkali tidak terlalu merubah keadaan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan. Pada penelitian ini dilakukan analisis kualitas lingkungan, analisis keberlanjutan, analisis prospektif, merancang model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan dan merumuskan strategi dan alternative kebijakan kota baru berkelanjutan.
Penelitian dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dengan mengambil data primer dan data sekunder. Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data kualitas udara dan kualitas air, selain itu juga melakukan wawancara dengan stakeholder yang diambil secara purposive. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis. Data kualitas udara dan kualitas air dianalisis secara deskriptif. Pada analisis keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan MDS, sedangkan untuk mendapatkan parameter kunci dilakukan analisis prospektif dan pembuatan model dibuat dalam bentuk model dinamik, dan selanjutnya hasil analisis tersebut di atas, dibuat prioritas kebijakannya.
BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan parameter lainnya yakni Nitrat-NO3-N, Total Fosfat (PO4-P), Kadmium-Cd, Deterjen, Timah Hitam- Pb, Air Raksa (Hg), Arsen-As dan Fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Kondisi atmosfir di kawasan BSD tercemar gas beracun CO, selain itu juga tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP.
Hasil analisis Rap-KOBA di Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa BSD termasuk dalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan gabungannya sebesar 46,75. Adapun nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan, dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan.
teknologi parameter kuncinya adalah ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Pada dimensi hukum dan kelembagaan parameter kuncinya adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru, egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, konsistensi penegakan hukum, tersedianya organisasi pengelola lingkungan, intensitas pelanggaran hukum dan sinkronisasi peraturan dengan pusat. Parameter kunci tersebut harus segera diperbaiki, sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil mungkin parameter yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai indeks keberlanjutan kawasan Kota Baru BSD.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
STUDI KASUS PENGEMBANGAN KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI
SYAMSUL HADI
P-062040214
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ujian Terbuka
2. Dr. Ir. Widiatmaka
1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto
penulis, sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. sebagai ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah berkenan membimbing, mengarahkan, serta memberikan masukan, serta memberikan dorongan moril mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada pimpinan dan staf pengembang Kota Baru Bumi Serpong Damai, Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Banten atas bantua.n informasi dan data yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para responden telah banyak memberikan masukan selama penulis melakukan penelitian di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar dan Dr. Etty Riani yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga saat ujian prakualifikasi; Dr Widiatmaka dan Prof Dr Asep Syafei yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga pada ujian tertutup; Dr. Hazaddin TS dan Dr. Yanuar yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga pada ujian terbuka serta Dr. Etty Riani yang walaupun tidak menjadi penguji tapi telah berkenan mengoreksi draft disertasi. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua PS-PSL juga dihaturkan terimakasih yang tidak terhingga, karena penulis telah diijinkan kuliah di Program S-3 PSL IPB. Kepada teman-teman S3 PSL-IPB angkatan IV dan teman-teman di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum yang telah banyak membantu dan menyumbangkan berbagai pemikiran juga dihaturkan terima kasih yang tidak terhingga. Kepada isteriku Renita Zein serta anak-anakku Farrel Hadi dan Sindu Hadi yang dengan sabar selalu memberikan dorongan dan semangat, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini juga diucapkan terimakasih.
Akhirnya, “tiada gading yang tak retak “, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat diharapkan. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Jakarta, Februari 2012
anak pertama dari lima bersaudara, anak dari pasangan bapak Atfali dan ibu Kunasi. Penulis telah menikah dengan Renita Zein pada tahun 1988, dan dikaruniai dua orang putra yaitu Farrel Hadi dan Sindu Hadi.
Selesai dari Sekolah Menengah Atas di Tulungagung, penulis kemudian menempuh pendidikan Sarjana strata satu yang ditempuh di Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 1983. Gelar Master of Regional Planning diperoleh penulis pada tahun 1994 setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjana pada Department of City and Regional Planning, Cornell University, di New York, United States of America. Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
iv
DAFTAR TABEL……….. vi
DAFTAR GAMBAR……… vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah……… 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 7
1.4 Kerangka Pemikiran……… 8
1.5 Kebaruan Penelitian... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 11
2.1 Permukiman………... 11
2.2 Kota Baru……… 12
2.2.1 Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru……… 14
2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan……… 16
2.3 Kebijakan Pengembangan Perkotaan………... 17
2.4 Perkembangan Penduduk Perkotaan……….. 18
2.5 Kebijakan……… 22
2.6 Analisis dan Proses Kebijakan………... 24
2.7 Pelestarian dan Degradasi Lingkungan …...……….. 27
2.8 Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang………….. 28
2.9 Pencemaran……… 30
2.10 Pembangunan Berkelanjutan……….. 33
2.11 Model Dinamik…………...………... 35
2.12 Rapid Appraisal Analysis…..………... 37
2.13 Analisis Prospektif……… …..………... 39
BAB III METODE PENELITIAN……… 41
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………... 41
3.2 Rancangan Penelitian………. 41
3.3 Teknik pengumpulan Data………. 41
3.4 Metode Pengambilan Sampel………. 41
3.5 Teknik Analisis Data……….. 42
a. Analisis Keberlanjutan……….. 42
b. Analisis Prospektif……… 45
3.6 Perancangan Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan………. 49
3.7 Pemodelan Sistem………. 50
a. Analisis Kebutuhan……….. 50
b. Formulasi Masalah………... 52
c. Identifikasi Sistem……… 52
d. Pembuatan Model.……… 53
e. Simulasi Model…...……….. 53
v
4.3 Permukiman ………... 60
4.4 Sosial Budaya ……… 62
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN……… 63
5.1 Kualitas Lingkingan BSD……… 63
5.2. Analisis Keberlanjutan……… 65
5.2.1. Dimensi Ekologi ……….………... 66
5.2.2. Dimensi Ekonomi……… 70
5.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya……….… 74
5.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi………..… 78
5.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan………. 84
5.2.6. Multidimensi……… 87
5.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan ………...… 93
5.3. Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD…….……. 105
5.3.1. Submodel Lingkungan……….…….… 106
5.3.2. Submodel Ekonomi………..…… 118
5.3.3. Submodel Sosial………...…… 127
5.3.4. Validitas Model ………...……… 132
5.3.5. Skenario……… 139
5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD ……… 155
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……… 159
DAFTAR PUSTAKA…... 161
vi
Tabel Halaman
1. Konsep kota baru ... 15
2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001... 21
3. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 ha) di Wilayah Jabotabekjur ... 21
4. Kualitas air Sungai Ciliwung ... 22
5. Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan ... 26
6. Jenis dan sumber data yang diperlukan pada penelitian ... 43
7. Rincian jumlah responden penelitian... 44
8. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan... 48
9. Rencana penggunaan lahan dalam pembangunan KB – BSD ... 58
10. Kualitas udara di BSD ... 64
11. Kualitas air di BSD ... 64
12. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis RAP-KOBA ... 91
13. Hasil analisis RAP-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinan (R2) ... 91
14. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%... 92
15. Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ... 94
16. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air ... 136
17. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara ... 136
18. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa ... 137
19. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain... 137
vii
1. Kerangka permasalahan penelitian ... 7
2. Kerangka pemikiran penelitian... 10
3. Perkembangan penduduk perkotaan ... 19
4. Variasi analisis kebijakan (Parsons, 2005) ... 24
5. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 1998) ... 28
6. Dimensi pembangunan berkelanjutan (Khannaet al., 1999) ... 35
7. Tahapan penelitian... 44
8. Proses aplikasi MDS... 46
9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 48
10. Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ... 50
11. Diagram INPUT-OUTPUT model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ... 54
12. Lokasi BSD sebagai hinterland Provinsi DKI Jakarta... 55
13. Master plan BSD... 57
14. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD... 66
15. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilairoot mean square(RMS) ... 67
16. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD... 71
17. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) ... 72
18. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD ... 75
19. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) ... 76
20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD... 79
21. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square(RMS)... 80
22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota Baru BSD... 85
23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square(RMS). ... 86
24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD ... 89
25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan Kota Baru BSD... 90
viii
pembangunan kota baru berkelanjutan ... 107
29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam
pembangunan kota baru berkelanjutan ... 108 30. Diagram stockflow submodel lingkungan dalam pembangunan
kota baru berkelanjutan... 109 31. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran
(ton/hari) parameter BOD, COD, NO3dan PO4... 110 32. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran
(ton/hari) parameter BOD... 110 33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran
(ton/hari) parameter COD... 112 34. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran
(ton/hari) parameter NO3 ... 113 35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran
(ton/hari) parameter PO4... 114 36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara
ambien (µg/Nm3) parameter NOx, COxdan SOx... 115 37. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udara
ambien (µg/Nm3) parameter NOx ... 115 38. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udara
ambien (µg/Nm3) parameter COx... 116 39. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udara
ambien (µg/Nm3) parameter SOx... 117 40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan
kota baru berkelanjutan... 118 41. Diagram stockflow submodel ekonomi dalam pembangunan
kota baru berkelanjutan... 119 42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (Jutaan
rupiah)... 120 43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan
transportasi dan komunikasi (Jutaan rupiah) ... 121 44. Simulasi sub-model ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan
hotel dan restoran (Jutaan rupiah)... 121 45. Simulasi sub-model ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa
(Jutaan rupiah) ... 122 46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank,
persewaan dan jasa perusahaan (Jutaan rupiah) ... 122 47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor
ekonomi lain (jutaan rupiah)... 123 48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total
panjang jalan (km) ... 124 49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur
ix
51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan
roda dua dan roda empat... 127
52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan... 128
53. Diagram stockflow submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ... 128
54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan penduduk usia kerja (15-65), jumlah rumah serta penduduk commuter ... 130
55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk ... 130
56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (15-65) ... 131
57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah ... 131
58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang commuter ... 132
59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4... 141
60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4... 142
61. Beban pencemaran NO3(ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 142
62. Beban pencemaran PO4(ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4... 143
63. Emisi COx(µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 144
64. Emisi NOx(µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 144
65. Emisi SOx(µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 145
66. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan komunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 146
67. Sub model ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan restoran skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 146
68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4... 147
69. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa perusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 147
70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4... 148
71. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 148
72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4... 149
73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 149
74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 150
75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 150
76. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario 1, 2, 3 dan 4 ... 151
77. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario 1, 2, 3 dan 4... 152
78. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter, skenario 1, 2, 3 dan 4... 152
10. Grafik fluktuasi debit di depan satu rumah ... 3
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Parameter kualitas air yang dianalisa, bakumutu yang ditetapkan
dan metoda yang digunakan... 171 2 Formula matematika (stockflow diagram) ... 172 3 Hasil simulasi model pengendalian lingkungan dalam
pembangunan kota baru berkelanjutan ... 176 4 Skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota
baru berkelanjutan... 179 5 Hasil simulasi dari setiap skenario model pengendalian lingkungan
1.1. Latar Belakang
Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus
permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan
kebutuhan ruang untuk penduduk yang terus menerus bertambah setiap tahunnya
(George, 2006). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terutama bagi pertumbuhan
wilayah dan kota. Kota dengan kepadatan tinggi akan membawa banyak masalah
terutama berkaitan dengan permasalahan keberlanjutan kawasan perkotaan (Ng, 2010).
Hal yang sama juga terjadi pada kota-kota yang sudah mencapai titik jenuh, perlu
adanya sebuah solusi yang relevan sehingga permasalahan penduduk tidak semakin
meluas ke sektor lainnya.
Hal lain yang akan terjadi dari tingginya tingkat hunian akibat pertumbuhan
penduduk di wilayah kota adalah tumbuhnya wilayah terbangun secara sporadis (urban
sprawl) di pinggiran kota dan di tempat lain, sehingga pertumbuhan kota menjadi tak
terkendali (primacy) dan tidak efisien (Soule, 2006; Squires, 2002; Bruegmann, 2006).
Tingginya tingkat hunian di wilayah perkotaan juga bukan hanya menyebabkan
terjadinya ketidak-seimbangan pertumbuhan kota-desa dan kota besar-kota kecil, namun
juga dapat menimbulkan ketimpangan kawasan, yang berakibat pada terjadinya
polarisasi ekonomi. Terjadinya ketimpangan kawasan juga mengakibatkan terjadinya
perubahan fisik wilayah perkotaan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya
kesenjangan yang cukup tinggi1.
Salah satu bentuk pembangunan kawasan perkotaan yang diperkirakan akan
merefleksikan visi pengembangan perkotaan adalah pembangunan dan pengembangan
kota baru. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh Golany (1976) yang
mengatakan bahwa kota baru adalah kota yang sama sekali baru, direncanakan dan
dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru yang di dalamnya terkandung
unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana
1
Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 494/PRT/M/2005 telah menetapkan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNPK) yang salah satu kebijakannya adalah memantapkan peran dan fungsi kota dalam pembangunan nasional. Salah satu strategi yang dilakukan adalah menyiapkan dan mengembangkan panduan bagi daerah untuk melakukan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (sustainable cities).
pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi, serta prasarana penggerakan dan sarana
perhubungan.
Konsep kota baru dirancang untuk dapat menunjang aktivitas pada kota yang
menjadi pusat kegiatan dengan tujuan utama mengatasi masalah kependudukan
(Simmonds dan Hack, 2000). Beberapa kota baru yang dapat diambil contoh daribest
practice negara-negara yang sedang menjalankan konsep yang sama yaitu Kota Baru
Putra Jaya dan Cyberjaya di Malaysia yang dikonsep untuk memecah konsentrasi
permukiman di Kuala Lumpur yang sudah terlalu padat dan Cyberjaya yang dikonsep
khusus sebagai kota baru yang fokus utamanya diperuntukkan sebagai kota industri.
Kota baru telah dikembangkan dan dibangun di beberapa kabupaten/kota yang ada
di Indonesia, diantaranya di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan
sebagainya. Dalam pembangunan kota baru, idealnya termasuk pada kategori sebagai
berikut, yakni (i) kota yang lengkap, yang ditentukan, direncanakan dan dibangun di
suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk, (ii) kota yang dibangun
lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi permukiman atau kota
kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu pengembangan dan
mengurangi kota induk, (iii) kota yang mandiri, mampu memenuhi pelayanan
kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya (self
contained new town), (iv) lingkungan permukiman skala besar untuk mengatasi
kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya masih
bergantung pada kota induknya (dependent town), sehingga dapat disamakan dengan
kota satelit dari kota utama/kota inti.
Pada kenyataannya, kota baru yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti
kategori tersebut di atas. Bahkan bukan hanya itu, pada pembangunan kota baru juga
kerap terjadi penyimpangan mulai dari tahap perencanaan, tahap implementasi, dan
kebijakan pengembangannya. Selain itu juga seringkali terjadi ketidak-sesuaian pada
aspek regulasi, misalnya terkait dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
kabupaten/kota maupun RTRW provinsi beserta rencana rincinya. Dalam prakteknya,
pembangunan kota baru di suatu wilayah kabupaten/kota induk sangat ditentukan oleh
perusahaan pengembang yang memperoleh ijin prinsip untuk pembebasan tanah.
berhasil dibebaskan pengembang, yang tidak harus sama dengan rencana lokasi semula
yang tercantum dalam dokumen ijin prinsip.
Hal lain yang juga sering terjadi adalah masih minimnya peran pemerintah pusat
serta belum diimplementasikannya kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Pada
prakteknya, pemerintah pusat tidak terlibat dalam proses pembangunan kota baru di
Indonesia. Penentuan lokasi suatu rencana kota baru, misalnya, selayaknya
mempertimbangkan lokasi relatif dari kota-kota yang sudah ada, karena kota-kota
tersebut membentuk suatu jaringan kota-kota dalam suatu sistem yang mendukung
jaringan kegiatan sosial ekonomi, distribusi barang dan jasa, serta kegiatan sosial
budaya penduduk. Sebagai suatu sistem kota, dan mencakup beberapa ukuran kota
dengan fungsi masing-masing yang saling tergantung, keberadaan kota-kota tersebut
terletak pada suatu wilayah yang cukup luas, yang melebihi batas-batas wilayah
provinsi untuk ukuran di Indonesia atau bahkan antar pulau. Dengan demikian,
minimnya keterlibatan pemerintah pusat dalam proses pengembangan kota-kota baru di
Indonesia, akan dibayar mahal oleh masyarakat di kawasan kota baru maupun kawasan
di sekitarnya. Permasalahan lingkungan, misalnya berupa bencana banjir yang
frekuensinya makin sering, pencemaran udara dan pencemaran air, penurunan muka air
tanah dan intrusi air laut, adalah beberapa permasalahan lingkungan yang akan dihadapi.
Permasalahannya adalah bahwa bencana lingkungan tersebut akan terjadi dalam suatu
kurun waktu yang cukup panjang, yang memungkinkan para pengambil keputusan tidak
segera menyadarinya.
Model-model kota baru yang ada di Indonesia, diantaranya terdapat di Batam
(Batam Centre), Jakarta (Bumi Serpong Damai), dan Semarang (Bukit Semarang Baru).
Dari berbagai kota baru yang sudah terbangun dan menurut pengamatan telah
dikembangkan dengan relatif baik dan menarik untuk dikaji adalah kota baru Bumi
Serpong Damai (BSD) yang berlokasi di Provinsi Banten.
BSD terletak sekitar 30 km (18,6 mil) ke arah barat daya Jakarta dan telah
diresmikan pada 16 Januari 1989. Pembangunan BSD belum seluruhnya selesai, dari
luas kawasan yang direncanakan 6.000 Ha, baru 25%-nya yang telah dibangun untuk
perumahan, perdagangan, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Dari
600.000 jiwa orang yang direncanakan bertempat tinggal di BSD, saat ini baru dihuni
tahun 2004 baru sebanyak 14.338 unit rumah dengan berbagai tipe yang telah dibangun.
Pembangunan Kota Baru BSD ini direncanakan akan selesai pada tahun 2020 dari target
semula tahun 2014 (Arifin dan Dillon, 2005).
Pembangunan kota baru pada umumnya dan Kota Baru BSD pada khususnya,
mempunyai tujuan utama untuk membangun ekonomi nasional melalui pengembangan
ekonomi lokal. Pembangunan ini juga telah memberi kontribusi dari sisi pertumbuhan
ekonomi nasional dan pertumbuhan penduduk. Namun dilain pihak, aspek lingkungan
(ekologi) belum mendapat perhatian yang lebih serius. Hal ini terlihat dari menurunnya
daya dukung lingkungan yang terjadi di wilayah perkotaan, terjadinya musibah banjir
dengan frekuensi yang lebih sering, terjadinya konflik sosial baik secara vertikal
maupun horizontal, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Untuk itu maka
pembangunan kota baru di masa yang akan datang, tidak boleh hanya memperhatikan
aspek ekonomi, namun juga harus memperhatikan aspek ekologi dan aspek
sosial-budaya, sehingga kota baru yang dibangun akan menjadi kota baru yang berkelanjutan.
Dalam rangka menciptakan kota baru yang berkelanjutan, sebenarnya pemerintah
sudah membuat komitmen terhadap kesepakatan internasional Millenium Development
Goals (MDG) 2015, Habitat, serta Protocol Kyoto. Namun demikian, implementasi
kebijakan tersebut sangat sulit dilakukan. Selain itu juga disinyalir ada indikasi salah
memaknai dalam mengartikan lingkungan pada pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan, mengingat lingkungan lebih diartikan dalam arti sempit. Oleh karena itu,
maka pembangunan berkelanjutan hingga saat ini masih merupakan slogan yang sudah
dikenal namun maknanya masih belum dimengerti secara baik dan benar. Kondisi yang
sama juga terjadi pada pembangunan dan pengembangan kota-kota baru yang justru
tidak fokus pada permasalahan yang sedang dihadapi, yaitu permasalahan
kependudukan dan keterbatasan lahan untuk permukiman. Kota-kota baru yang sedang
berkembang ini justru malah menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, terutama
terkait dengan masalah lingkungan, masalah banjir, permasalahan penyediaan
infrastruktur, pencemaran air dan udara, dsb. Namun yang paling mengkhawatirkan
dari pembangunan kota baru adalah timbulnya pencemaran air dan udara.
Ada berbagai kemungkinan sulitnya mengimplementasikan kebijakan yang ada
dan sulitnya mencegah terjadinya pencemaran air dan udara akibat dari pembangunan
eksisting di lapangan, dan dibuat dengan tanpa melibatkan masyarakat danstakeholders
yang berkepentingan, serta kebijakan yang dibuat tidak bersifat terpadu (lintas sektoral)
dan belum bersifat holistik. Atas dasar itu, maka dalam rangka menciptakan kota baru
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta dalam rangka mencegah terjadinya
pencemaran air dan udara serta kerusakan lingkungan akibat dibangunnya kota baru,
maka perlu dicari alternatif kebijakan yang paling ideal untuk kota baru dan parameter
kunci apa yang ada pada pengelolaan kota baru. Perlu dirumuskan model pengendalian
lingkungan dalam pembangunan kota baru yang berkelanjutan, sehingga pembangunan
kota baru akan bermanfaat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, dengan
melibatkan pendapat dan keinginan masyarakat serta pendapat dan keinginan para
stakeholders(lintas departemen terkait) sehingga lebih mudah diimplementasikan.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Golany (1976), yang dimaksud dengan kota baru adalah suatu kota yang
direncanakan, didirikan dan kemudian dikembangkan secara lengkap di atas suatu
wilayah yang sama sekali baru setelah ada kota atau kota-kota lainnya yang telah
tumbuh dan berkembang terlebih dahulu. Idealnya, kota baru merupakan permukiman
yang dibangun di atas lahan dalam skala besar, sehingga memungkinkan untuk
menunjang kebutuhan berbagai jenis dan harga tempat tinggal serta kegiatan kerja bagi
masyarakat di dalam lingkungan kota itu sendiri. Salah satu contoh kota baru yang
hingga saat ini diharapkan akan mendekati definisi tersebut di atas adalah Kota Baru
Bumi Serpong Damai (BSD).
Permasalahan dari pembangunan kota-kota baru adalah relatif belum adanya
konsep yang jelas dan terintegrasi antara kebutuhan perumahan, pengaturan aktivitas
dan fungsi kawasan, serta keseimbangan alam dan adanya kerusakan lingkungan dan
pencemaran akibat terbangunnya kota baru. Sesuai prinsip kota berkelanjutan yang
dikemukakan Fauzi (2004), bahwa keberlanjutan memuat tiga hal yang harus seimbang
yaitu antara ekonomi, lingkungan, dan sosial. Begitu`pula menurut Munasinghe (1993),
pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi,
tujuan ekologi dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi dan
pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam.
demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya
harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial. Dalam hal ini ada
indikasi bahwa terdapat sebuah benang merah yang relatif masih terputus karena
pembangunan kota-kota baru justru melanggar beberapa hal yang terkait dengan
keseimbangan alam dan lingkungan serta mengakibatkan terjadinya pencemaran,
adanya ketidak jelasan fungsi kawasan yang ada pada kota baru tersebut serta orientasi
yang masih lebih menekankan pada profit, dan masih belum menekankan pada prinsip
keberlanjutan kota baru tersebut.
Sesuai dengan tujuan pembangunan ideal, maka pembangunan kota baru mandiri,
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pengembangan wilayah, mampu
menampung kelebihan penduduk, menahan arus migrasi yang mengarah ke Jakarta, dan
diharapkan mampu meningkatkan taraf ekonomi kawasan. Namun demikian sejalan
dengan pembangunan kota baru mandiri ini seperti yang terjadi di Kota Baru BSD,
muncul berbagai permasalahan, diantaranya muncul berbagai dampak negatif terhadap
lingkungan yang akan merugikan, baik ditinjau dari skala lokal, regional maupun skala
nasional. Selain itu juga muncul kesenjangan sosial antara penghuni BSD dan
masyarakat sekitarnya, muncul berbagai konflik baik konflik horizontal maupun konflik
yang vertikal, serta muncul berbagai permasalahan lainnya seperti adanya bencana
banjir di lokasi sekitar, terjadi pencemaran air dan udara serta berbagai kerusakan
lingkungan lainnya. Untuk lebih jelasnya kerangka permasalahan penelitian tersebut
disajikan pada Gambar 1. Dengan demikian, berdasarkan informasi dan uraian
sebelumnya, maka muncul pertanyaan penelitian pada pembangunan kota baru mandiri
antara lain adalah:
1. Bagaimana kondisi lingkungan di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya
berdasarkan kondisi (kualitas) air dan udara di kota baru?
2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD?
3. Faktor apa yang perlu diperhatikan dalam pengendalian lingkungan di Kota Baru
BSD secara berkelanjutan?
4. Bagaimana model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD
yang berkelanjutan?
Gambar 1. Kerangka permasalahan penelitian
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan
pada pembangunan kota baru berkelanjutan, sehingga dari sini akan dapat ditemukan
benang merah antara kebutuhan lahan permukiman, pengaturan aktivitas dan fungsi
kawasan, serta keseimbangan lingkungan dan alam. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut secara spesifik, maka tujuan khusus penelitian ini mencakup:
1. Mengkaji kualitas lingkungan di kawasan kota baru dan sekitarnya dengan
menganalisis kualitas lingkungan di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya
2. Melakukan analisis terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di
Kota Baru BSD
3. Melakukan analisis terhadap faktor yang perlu diperhatikan dalam pengendalian
lingkungan di Kota Baru BSD agar berkelanjutan
4. Merancang model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru
BSD berkelanjutan
5. Merumuskan prioritas kebijakan Kota Baru BSD berkelanjutan Ketidakjelasan Konsep
Kota Baru Secara Aktifitas dengan Fungsi Kawasan
Ketidaksinkronan Kebijakan Rencana Pembangunan Kota Baru dan Rencana Tata
Ruang Wilayah dan Kota
Kota Baru Masih Kota baru yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan
Manfaat dari penelitian ini adalah:
• Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini akan menambah pengetahuan bagi ilmu
lingkungan terutama dalam penerapan aplikasi cara berfikir sistem, dalam
merumuskan pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan
dan pada penerapan metode simulasi dinamika sistem untuk analisis kebijakan,
sehingga akan memperkaya metodologi ilmu lingkungan sekaligus akan menjadi
salah satu alternatif pilihan model strategi kebijakan pembangunan kota baru
mandiri yang berkelanjutan.
• Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam
menyusun kebijakan rencana pembangunan dan pengelolaan kotabaru yang
berkelanjutan.
• Bagi pengembang, penelitian ini bermanfaat untuk memahami strategi dan prospek
pengembangan usaha, sehingga terbangun kemitraan (partnership)dengan berbagai
pihak terkait, atas dasar prinsip saling menguntungkan.
• Bagi penduduk setempat dan sekitarnya, penelitian ini bermanfaat untuk membantu
memahami proses perencanaan pembangunan wilayah kota baru, sehingga
masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pengelolaannya, terutama dalam
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran.
1.4. Kerangka Pemikiran
Meningkatnya jumlah penduduk dan ketidak mampuan sektor pertanian dalam
menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan, telah mendorong masyarakat desa
melakukan urbanisasi, sehingga pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan
meningkat dan telah mengakibatkan tingginya kebutuhan akan lahan hunian dan
merupakan faktor-faktor penggerak utama terjadinya perkembangan wilayah pinggiran
kota yang tidak terkendali yang disebut dengan urban sprawl (tumbuhnya wilayah
terbangun secara sporadis di pinggiran kota dan di tempat lain). Adapun penyebab
terjadinya urban sprawl diantaranya adalah karena lambatnya langkah-langkah
antisipatif perencanaan dan masih terbatasnya kemampuan pemerintah dalam
menyediakan pelayanan prasarana dan sarana, masih belum ketatnya pemerintah dalam
melakukan pengendalian tata ruang dan tata guna lahan, khususnya untuk mendukung
ini seringkali muncul berbagai permasalahan, diantaranya menurunnya kualitas
lingkungan hidup dan kualitas hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas
penyediaan pelayanan prasarana dan sarana dasar, serta munculnya berbagai
permasalahan sosial ekonomi perkotaan seperti terjadinya kesenjangan, munculnya
berbagai masalah sosial, merebaknya masalah kriminalitas, tingginya tingkat
pengangguran, dan sebagainya.
Sebenarnya telah dilakukan penelitian pada kota baru mandiri BSD, namun
penelitian tersebut masih bersifat parsial, yakni lebih terfokus pada aspek sosial saja,
aspek ekonomi saja, serta penelitian pada aspek teknis saja; sedangkan penelitian yang
bersifat holistik yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi yang dikemas
menjadi Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru
Berkelanjutan masih belum dilakukan. Oleh karena itu, dalam rangka menjawab permasalahan tersebut di atas maka diperlukan kebijakan yang bersifat holistik
(berdasarkan penglihatan secara menyeluruh) dengan melibatkan berbagai departemen
(lintas sektoral), masyarakat dan semua stakeholders, serta para pakar yang terkait di
dalamnya. Selain itu juga diperlukan adanya skenario yang optimal dalam memprediksi
semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang serta
pengelolaannya, sehingga akan meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Untuk
lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
1.5. Kebaruan Penelitian
Kebaruan (novelty) penelitian ini dapat dilihat dari aspek pendekatan (research
approach) yang digunakan. Pendekatan sistem dinamik untuk merancang model
interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem ekologi, ekonomi dan sosial di
wilayah kotabaru dalam rangka melakukan pengendalian terhadap terjadinya kerusakan
lingkungan dan pencemaran, dan akan menghasilkan formulasi strategi kebijakan
pengelolaan kotabaru mandiri yang terintegrasi dalam suatu sistem perkotaan di
sekitarnya, dan berkelanjutan yang applicable sesuai kebutuhan stakeholders dan
masyarakat di masa yang akan datang. Oleh karena itu maka hasil penelitian ini dapat
membantu mengidentifikasi berbagai permasalahan yang akan menjadi bahan
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
Angka pertumbuhan ekonomi yang tak sebanding dengan pertumbuhan
penduduk
Pertumbuhan penduduk
Angka pengangguran yang cukup tinggi di daerah
pedesaan
Maraknya bangunan liar dan menurunnya sanitasi lingkungan Kebutuhan rumah, sarana prasarana,
daya dukung lingkungan yang meningkat cukup tinggi
Ketimpangan kawasan
Penurunan kesejahteraan
Pembangunan kota baru
Kota baru Bumi Serpong Damai (BSD)
Kota baru Bumi Serpong Damai yang mandiri dan berkelanjutan Permen PU No. 494/PRT/M/2005
Kajian kondisi eksisting kota baru BSD
Potret kondisi eksisting dari aspek ekologi, ekonomi dan
sosial
Rancangan model pengendalian lingkungan variabel dalam subsistem ekologi, ekonomi&sosial
Kualitas air dan kualitas udara
Analisis model dinamis
Simulasi model dinamis
Uji validasi dan sensitifitas model Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
2.1. Permukiman
Menurut Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun
2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
dan perikehidupan dan penghidupan. Adapun yang dimaksud dengan tempat tinggal di
sini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari rumah
dan pekarangannya, dengan demikian maka salah satu komponen permukiman adalah
perumahan.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan
dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya
dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Pada
hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumber daya manusia
dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat tinggalnya.
Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman juga diyakini mampu
mendorong kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan
permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi
dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif.
Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan
barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah dapat dilakukan kegiatan
ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, maka
permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan
fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan
dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Sebenarnya upaya untuk
merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
yang menyatakan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
2.2. Kota Baru
Perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan di sektor
pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi
(Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Hal ini sesuai dengan
pendapat Richardson (1977) yang mengatakan bahwa kota merupakan wilayah
administratif yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat
tinggi dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian
utamanya adalah kegiatan perekonomian non pertanian. Menurut Gallion (1986) kota
adalah wilayah geografis tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia,
dan manusia-manusia tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi.
Berdasarkan definisi tersebut, maka perkotaan bisa dikatakan sebagai suatu
ekosistem yang terbentuk oleh kegiatan manusia. Ekosistem kota sangat tergantung
pada ekosistem lain dalam hal pemenuhan kebutuhan materi dan energi. Menurut azas
lingkungan yang dikemukakan oleh Soeriaatmadja (1977) ekosistem yang kuat (mantap)
akan mengeksploitasi ekosistem yang lebih lemah (tidak mantap). Oleh karena itu
maka jika tidak ada aturan dan kebijakan yang baik, maka akan terjadi eksploitasi
berbagai sumberdaya alam dari ekosistem pedesaan oleh ekosistem kota.
Perkembangan wilayah perkotaan dan tingginya tingkat urbanisasi ke wilayah
perkotaan menyebabkan meningkatnya kepadatan penduduk serta tingginya kebutuhan
lahan hunian. Tingginya lahan hunian ini menjadi faktor penggerak utama terjadinya
perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali, yaituurban sprawl.Urban
sprawl ini terjadi karena lambatnya langkah antisipatif perencanaan dan terbatasnya
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana dan sarana serta dalam
pengendalian tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mendukung fungsi optimum
pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Terjadinya urban sprawl ini memunculkan
berbagai permasalahan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas
hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan
prasarana dan sarana dasar, munculnya masalah-masalah sosial ekonomi perkotaan
Dalam beberapa waktu belakangan ini di dalam kota atau di sekitar kota, atau
malah di lokasi hinterland perkotaan sering terbentuk kota baru baik yang sebelumnya
memang sudah direncanakan, maupun yang tumbuh dengan sendirinya. Visi
pengembangan perkotaan ini juga terlihat dari definisi kota baru yaitu kota yang sama
sekali baru direncanakan dan dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru
yang di dalamnya terkandung unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai
prasarana dan sarana pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi serta prasarana
penggerak dan sarana perhubungan (Golany, 1976). Definisi tersebut, memberi
beberapa pengertian kota baru, yaitu (i) Kota yang lengkap, yang ditentukan,
direncanakan dan dibangun di suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk,
(ii) Kota yang dibangun lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi
permukiman atau kota kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu
pengembangan dan mengurangi kota induk, (iii) Kota yang mandiri, mampu memenuhi
pelayanan kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya
(self-contained new town), (iv) Lingkungan permukiman skala besar yang dimaksudkan
untuk mengatasi kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya
masih bergantung pada kota induknya (dependent town). Kota baru ini dapat disamakan
dengan “kota satelit” dari kota utama/kota inti.
Menurut Urban Land Institute (ULI) kota baru merupakan suatu proyek
pembangunan lahan yang luasnya mampu menyediakan unsur-unsur lengkap yang
mencakup perumahan, perdagangan, industri, yang secara keseluruhan dapat
memberikan kesempatan hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut. Pada kota
baru terdapat spektrum jenis dan harga rumah lengkap, ruang terbuka bagi kegiatan
pasif dan aktif yang permanen dan ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat
tinggal dan dampak kegiatan industri, pengendalian, dan estetika yang kuat. Oleh
karena itu maka untuk keperluan pembangunan awal, diperlukan biaya dan investasi
yang cukup besar (Sudjarto, 1993).
MenurutAdvisory Commission on Intergovernmental Relation(Sudjarto, 1993),
kota baru adalah:
• Kota yang memungkinkan untuk menunjang berbagai jenis rumah tinggal dan
kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam lingkungan itu
• Daerahnya dikelilingi jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari
wilayah pertanian di sekitarnya juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi
jumlah penduduk dan luas wilayahnya.
• Dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu
proporsi yang peruntukan lahannya sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan,
fasilitas, dan utilitas umum, serta ruang terbuka pada proses perencanaannya.
Tujuan pembangunan kotabaru antara lain adalah untuk menampung kelebihan
jumlah penduduk yang tinggal di suatu kota induk yang sudah berkembang dan untuk
menahan terjadinya perpindahan penduduk dari kota-kota sekitar kota induk yang telah
berkembang. Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan wilayah sekitar kota induk,
karena pembangunan kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang ditujukan
untuk memantapkan fungsi kota serta keterkaitannya secara fungsional dan spasial agar
dapat berfungsi optimal dalam penyediaan fasilitas sosial dan ekonomi, penyediaan
kebutuhan perumahan dan fasilitas sosial ekonomi.
2.2.1. Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru
Pada dasarnya berdasarkan masanya ada empat jenis kota baru yakni kota baru
masa pra revolusi industri, kota baru masa revolusi industri, kota baru pasca revolusi
industri dan kota baru masa kini. Ke-empat jenis kota baru ini mempunyai konsep
pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya, begitupun dengan tujuan
pembentukan kota baru tersebut. Untuk lebih jelasnya jenis kota baru, konsep
pengembangan dan tujuan pembentukan kota baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Soegijoko dan Tjahjati (1997), berdasarkan permasalahan kebutuhan dan
perkembanganya, maka kota baru modern yang dikembangkan pada umumnya ada tiga
jenis antara lain:
Kota baru yang dikembangkan sebagai suatu upaya penyelesaian masalah perkotaan dan internal yang berupa program rehabilitasi, peningkatan kualitas lingkungan, atau
peremajaan bagian kota berskala besar yang sudah tumbuh dan berkembang.
Kedua suatu pembangunan skala besar dari suatu kota kecil sehingga memiliki kelengkapan setara kota.
wilayah pinggiran kota maupun pada lokasi yang berjarak dekat dengan kota induk
atau suatu permukiman baru yang mandiri pada suatu wilayah yang sama sekali baru
dibuka.
Tabel 1. Konsep kota baru
Masa
Eksploitasi Sumber daya alam
Prestise kekuasaan pemerintahan
Pertahanan tanah jajahn Kolonisasi
Eksploitasi SDA dan Manusia
Industrialisasi Urbanisasi Kapitalisme
Eksploitasi SDA dan Manusia
Kota Baru pasca
revolusi Industri Industrialisasi dan urbanisasi
Degradasi Kualitas kehidupan di Kota Industri
Mengembalikan Kehidupan yang layak dan manusiawi yang layak dan mandiri Keserasian lingkungan
Perkembangan metropolis dan wilayah metropolitan
Degradasi kualitas kehidupan kota besar Perkembangan kota secara sporadis dan
kontinu
Menghambat arus urbanisasi dan memperbaiki kualitas kehidupan
Keseimbangan kota desa Pemerataan
pembangunan
Menghambat urbanisasi Pemecahan masalah
kebutuhan permukiman Pembangunan kota yang
berwawasan lingkungan
Selanjutnya secara fungsional Soegijoko dan Tjahjati (1997) membagi
berdasarkan ketiga jenis kotabaru dalam dua kategori berikut ini:
1. KotabaruPenunjang,yakni kota baru yang tidak mempunyai kekuatan ekonominya sendiri, sehingga:
secara ekonomis dan fisik tergantung pada kota induknya.
kotabaru sebagai tempat tinggal, kommuter ke induk
pelayanan dari kota induk
jarak dengan kota induk 20 - 40 km
kota yang masuk kota baru penunjang adalah kota baru satelit, kotabaru dalam kota dan kawasan permukiman skala besar di kota induk
2. Kotabaru Mandiri, yakni kota baru yang secara ekonomis dan fisik memiliki kemandirian, sehingga merupakan kota baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan berkembang secara mandiri
berperan sebagai pusat pengembangan di suatu wilayah
penduduk bermukim dan mencari kehidupan di kotabaru
penduduk bukan “kommuter”
jarak dari kota induk ≥ 40 - 60 km
Kota yang termasuk ke dalam kota baru mandiri adalah kotabaru umum, kotabaru
industri, kotabaru perusahaan (pertambangan, perkebunan), kota baru pusat
pemerintahan dan kota baru instalasi khusus (militer, riset, universitas),
2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan
Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks,
sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi.
Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini para ahli sepakat untuk
sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang
menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).
Selain definisi operasional di atas, Fauzi (2004) melihat bahwa konsep kota
berkelanjutan dapat diidentikan dengan konsep keberlanjutan itu sendiri sehingga
1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidak seimbangan sektoral yang dapat
merusak produksi pertanian dan industri
2. Keberlanjutan lingkungan, sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya
alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan
keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang
tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi
3. Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang
mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan,
pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga
tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi, tujuan ekologi, dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi dan pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan
masalah konservasi sumberdaya alam. Tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Oleh karena itu, maka tujuan pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi,
tujuan ekologi, dan tujuan sosial.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setidaknya pembangunan kota baru harus
mengikuti peraturan dan tatanan yang berlaku, sehingga kaidah pembangunan kota
berkelanjutan dapat dipenuhi untuk memperoleh model kebijakan dalam mewujudkan
kota mandiri berkelanjutan.
2.3. Kebijakan Pengembangan Perkotaan
Saat ini pembangunan perkotaan diupayakan untuk ditingkatkan dan
diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana tata
ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, serta
kegiatan ekonomi dan sosial lainnya, agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien,
dan tercipta lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman. Sejalan dengan terjadinya
pembangunan kota dan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di
lebih ditingkatkan dan diperluas hingga dapat makin merata dan menjangkau
masyarakat berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan permukiman
tersebut, tetap memperhatikan rencana tata ruang dan keterkaitan serta keterpaduannya
dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Kaitan dengan terjadinya pembangunan kota secara pesat ini, maka air, tanah dan
lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur
dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk kepentingan
permukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan, dan kelistrikan serta
prasarana pembangunan lainnya.
2.4. Perkembangan Penduduk Perkotaan
Hingga saat ini kota masih merupakan tempat tujuan untuk memperjuangkan
harapan, oleh karena itu maka pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih pesat
dibanding di pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena adanya:
a. Pertumbuhan penduduk alamiah, yang berasal dari selisih antara jumlah penduduk
yang dilahirkan dengan jumlah penduduk yang meninggal dunia.
b. Migrasi penduduk yang merupakan selisih jumlah penduduk yang masuk ke suatu
kota dengan jumlah penduduk yang pergi meninggalkan kota.
c. Reklasifikasi status kawasan yakni perbedaan dalam definisi perkotaan antara satu
sensus dengan sensus lain, selain itu juga terjadi karena adanya perluasan batas
wilayah kawasan perkotaan atau berubahnya status kawasan dari pedesaan menjadi
perkotaan.
Diantara ketiga hal yang penyebab pertumbuhan penduduk perkotaan, yang
pengaruhnya paling kecil adalah pertumbuhan penduduk secara alami; sedangkan faktor
yang paling dominan dalam pertumbuhan penduduk perkotaan adalah migrasi dan
reklasifiksi status kawasan. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong dan faktor
penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan migrasi menuju perkotaan. Adapun
yang dimaksud dengan faktor pendorong di sini adalah kekuatan dari luar perkotaan
(kekuatan eksternal), sedangkan faktor penarik adalah kekuatan yang berasal dari dalam
perkotaan itu sendiri (kekuatan internal). Ada berbagai kekuatan eksternal yang
mempengaruhi perkembangan perkotaan, salah satu diantaranya adalah urbanisasi
mampu lagi menyediakan lapangan kerja. Faktor eksternal ini diperkuat oleh faktor
internal berupa ketersediaan infrastruktur yang relatif lengkap dan ketersediaan moda
angkutan yang relatif mudah dan murah, yang mengakibatkan konsentrasi kegiatan
ekonomi di perkotaan semakin besar; sehingga semakin memperkuat dalam menarik
penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Hal ini tentu saja akan semakin
memicu terjadinya reklasifikasi kawasan dalam bentuk perluasan wilayah kota dan
munculnya kawasan perkotaan baru. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk
perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perkembangan penduduk perkotaan
Sumber: Hasil Sensus Penduduk 1980-2010 (Badan Pusat Statistik)
Perkembangan kawasan perkotaan pada umumnya akan terjadi apabila di wilayah
perkotaan dan wilayah sekitarnya terjadi perubahan penggunaan lahan. Contoh untuk
hal ini adalah wilayah Jabodetabek pada kurun waktu 1992-2001, dalam hal ini pada
kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan lahan hutan dan pertanian kurang-lebih
19% (Djakapermana, 2004). Terjadinya penurunan luasan lahan hutan dan pertanian
tersebut diduga karena adanya alih fungsi dari kawasan hutan dan pertanian menjadi
lahan yang kurang dapat menyerap air dan mengakibatkan meluasnya lahan terbuka dan
kawasan permukiman yang luasnya mecapai 13,70%. Kondisi ini pada akhirnya akan
memperbesar terjadinya run off yang dapat mengakibatkan sering terjadinya banjir.
Adapun sisa lahan yang tidak digunakan untuk permukiman (sebesar 4,99%) merupakan
1980 1990 2000 2010 2015
Penduduk Kota 32.85 54.06 85 117.5 150
Penduduk Nasional 147.09 182.1 207.32 228.66 250
0 50 100 150 200 250 300
Jumlah Penduduk Kota (Juta)
lahan bervegetasi campuran dan lahan lainnya, yang diduga akan memperbesar
terjadinyarun off.
Meningkatnya penggunaan lahan permukiman berkaitan dengan perkembangan
perkotaan, telah melahirkan banyak perumahan baru, baik berskala kecil maupun
berskala besar (Hidayat, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan
permukiman skala besar (>500 ha) mulai terjadi pada tahun 1990-an, yang tidak lain
merupakan era mulai dibangunnya kota-kota baru oleh pengembang swasta.
Dibangunnya beberapa kawasan perumahan di wilayah perkotaan, mengakibatkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan, karena lahan tersebut dijadikan kawasan
perumahan, sebagai contoh perubahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang
dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun lokasi perumahan, luasnya serta pengembang yang
membangunnya di lokasi tersebut dan kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di
Wilayah Jabotabekjur dapat dilihat pada Tabel 3.
Aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan
dan lain-lain) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang
ada diperkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di
perkotaan (The Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal Project In The
City of Jakarta, 1990)sebagai contoh, sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai
70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang dari dari
12.000m3 (Sutjahjo et al., 2005). Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa limbah/sampah) yang perlu diproses
dengan kemampuan decomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses
dekomposisi tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan
dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan
(Martin et al., 1985). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi
bahan pencemar. Kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan
membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al., 2005). Selanjutnya dikatakan
bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk
memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di
Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001
No. Jenis penggunaanLahan Tahun 1992 Tahun 2001 Perubahan
(Ha) (%) (Ha) (%) (%)
1 Lahan terbuka 142.718,90 19,94 169.276,80 23,65 + 3,71
2 Lahan pertanian 104.186,40 14,55 104.108,90 14,54 - 0,01
3 Lahan bervegetasi
campuran 179.614,70 24,67 183.534,80 25,64 + 0,97
4 Hutan 197.792,00 27,63 64.084,14 8,95 - 18,68
5 Permukiman 68.169,24 9,52 139.684,10 19,51 + 9,99
6 Lahan lainnya 26.351,64 3,68 55.144,35 7,70 + 4,02
Jumlah 715.832,90 100,00 715.832,90 100,00
Sumber: Djakapermana,2004
Tabel 3. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di Wilayah Jabotabekjur
Keterangan : **= tidak ada data. Sumber : * Hidayat (2005)
No. Nama Luas (Ha) Lokasi
1 Lipo Cikarang* 5000 Kab. Bekasi
2 Cikarang Baru* 2000 Kab. Bekasi
3 Kota Legenda (Bekasi 2000)* 2000 Kab & Kodya Bekasi
4 Harapan Indah* 800 Kab. Bekasi
5 Bukit Jonggol Asri* 30000 Kab. Bogor
6 Citra Indah* 1000 Kab. Bogor
7 Kota Taman Metropolitan* 600 Kab. Bogor
8 Kota Wisata* 1000 Kab. Bogor
9 Bukit Sentul* 2000 Kab. Bogor
10 Rancamaya* 550 Kab. Bogor
11 Kota Cileungsi* 2000 Kab.Bogor
12 Resort Danau Lido* 1700 Kab. Bogor
13 Taruma Resort* 1100 Kab. Bogor
14 Talaga Kahuripan* 750 Kab. Bogor
15 Maharani Citra Pertiwi * 1679 Kab. Bogor
16 Kotabaru Tigaraksa * 3000 Kab. Tangerang
18 Puri Jaya * 7145 Kab. Tangerang
19 Citra Raya * 3000 Kab. Tangerang
20 Lippo Karawaci* 2000 Kab. Tangerang
21 Gading serpong * 1500 Kab. Tangerang
22 Bintaro Jaya * 2321 Kab. Tangerang
23 Bumi Serpong Damai* 6000 Kab. Tangerang
24 Pantai Indah Kapuk* 800 DKI Jakarta
25 Bukit Harmoni ** Cianjur
26 Kota Bunga ** Cianjur
27 Green Apple Village ** Cianjur
28 Mutiara Depok ** Depok