18
Sejarah Kelas dan Masyarakat Egaliter
Mendamaikan Ras, Patronasi, hingga Borjuis dan Proletar
Muhammad Barir
10530072
Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
Pada bab kedua ini, secara garis besar, penulis memecah pembahasan
menjadi dua sub bab. Pertama, tentang kelas sosial dan Kedua, tentang kesetaraan. Dalam pembahasan mengenai kelas sosial, penulis mencoba
menguraikan berbagai ragam kelas sosial diikuti aspek kesejarahanya untuk
nantinya akan diikuti dengan teori tentang kesetaraan pada sub bab kedua.
A. Kelas Sosial
1. Patronasi
a. Definisi Patronasi
Pelras menguraikan definisi etimologis dari hubungan patronasi.
Menurutnya, “patron” berasal dari kata “patronus” yang berarti “bangsawan”, sementara “klien” berasal dari kata “clien” yang berarti pengikut.1James C. Scott mendefinisikan patronasi sebagai suatu hubungan
antara dua pihak yang melibatkan jalinan kedekatan, di mana seorang yang
menguasai sumber daya akan memberikan perlindugan kepada
bawahannya.2
1
Mengenai perbedaan pendapat ini lihat dan bandingkan teori patonalism dengan patron-klain dalam Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 404, 407.
2
b. Ciri Hubungan Patronasi3
1) Saling Menguntungkan
Hubungan patronasi dilakukan karena tuntutan kebutuhan dan balas jasa.
Selama patron masih bisa bermanfaat bagi klain atau pun sebaliknya, maka hubungan
pun masih akan terjalin. Mengenai faktor terjadinya hubungan patronasi biasanya
dikarenakan beberapa aspek seperti politik, ekonomi, dan status sosial. Alasan orang
melakukan hubungan patronasi ialah karena terbatasnya sumber daya yang melampaui
jumlah manusia, maka dari itu orang yang tidak memiliki sumber daya akan bergantung
pada orang yang memiliki sumber daya, selain itu, perlunya manusia terhadap
perlindungan menjadi salah satu faktor lain yang memicu timbulnya patronasi. George
Foster memberikan contoh mengenai faktor pendorong terciptanya patronasi dengan
kasus petani. Petani hidup di lingkungan terbatas, dengan keterbatasan tersebut mereka
akan sulit memenuhi kebutuhanya, ladang dan sawah tidaklah dimiliki oleh semua
orang, untuk itu, bagi mereka yang tidak memiliki ladang akan menjalin relasi dengan
pemilik lahan.4
2) Timbal Balik
Dalam hubungan Patronasi, yang diuntungkan tidak hanya dari pihak patron
namun juga keduanya. Klain akan mendapat perlindungan dan bantuan materil dari
sumber daya patron, sedangkan klain akan memberikan loyalitasnya pada patron dalam
berbagai bentuk mulai dari dukungan, kepatuhan, sampai jasa yang bisa dilakukan.
3
Hedi Shri Ahimsa Putra,Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 5-6.
4
Keduanya harus saling memberi dan menerima. Ketidakseimbangan akan merusak
hubungan patronasi.
3) Tatap Muka
Hubungan yang terjadi antara patron dengan Klain tidak terjadi secara sekejap
atau tiba-tiba, namun benar-benar terjalin karena rasa saling kenal, dari kenal kemudian
menjadi sebuah rasa saling percaya. Asas tatap muka menjadi istilah tersendiri dalam
hubungan patronasi yang menggambarkan kedekatan antara patron dengan klain dan
karena asas ini, patronasi sering diistilahkan dengan hubungan pertemanan dan
kekeluargaan.
4) Ekuifalensi
Antara patron dengan klain harus memberi keuntungan yang setara dan tidak
harus sama, dalam arti ukuran sesuatu yang diberikan patron kepada klain atau
sebaliknya tidak harus sama secara kuantitas dan kualitas, hal yang lebih penting adalah
keduanya sama-sama dibutuhkan baik oleh patron maupun oleh klain. Seperti halnya
seorang patron yang menjanjikan kesejahteraan pada klain dan klain memberikan tenaga
dan dukunganya kepada sang patron. Dari kasus tersebut, Antara janji dan dukungan
secara material tidaklah sama, namun jika keduanya bisa diterima berarti dianggap
setara.
Setara dan sama adalah dua istilah yang mirip namun tetap berbeda, para ahli
sosial sering kali mengistilahkan perbedaan tersebut dengan ekuifalen dan
homeomorfis. Goldner seorang sosiolog mengemukakan bahwa ekuifalen adalah
keseimbangan yang tidak bisa diukur atau dikadar namun dirasa cukup adil. Sedangkan
nilainya.5 Jadi nilai ekuifalensi yang ada pada hubungan patronasi lebih bersifat luwes
dan tidak terikat. selain itu ekuifalensi lebih mengedepankan tolok ukur rasa dari pada
materi.
5) Keterikatan Klien terhadap Patron
Antara patron dengan klain memiliki hak dan kewajiban yang tidak sama, dan
hal inilah yang mengakibatkan kedudukan yang berbeda antara patron dengan klain.
Secara sepihak, patron akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari klain, karena
patron memiliki otoritas, dan otorits tersebut didapat karena patron yang menguasai
sumber daya, namun bagi klain hal ini tidak dianggap sebagai sebuah permasalahan
selama kebutuhanya terpenuhi dan ikatan patronasi akan terus berjalan. Klain
sewaktu-waktu dapat melepas hubunganya dengan patron apabila patron dirasa menyalahi dari
harapan klain dan begitu pula sebaliknya.
c. Permasalahan-Permasalahan Patronasi
Pada dasarnya, hubungan patronasi bisa memiliki dua dampak yakni positif dan
negatif. Pertama, dampak positif, bagi klain, hubungan patronasi berguna dalam suatu tindak sosial dalam menjaga eksistensi seseorang dengan bekerja sama dengan orang
yang bisa memberikan perlindungan, dan bagi patron, hubungan patronasi bisa berguna
dalam mencari dukungan politis maupun bantuan atas jasa-jasa yang bisa ditawarkan.
Kedua, dampak negatif, seorang klien diharuskan tunduk kepada patronnya dan bersedia menjadi masyarakat kelas dua dengan hak-hak yang lebih terbatas.
d. Peristiwa-Peristiwa Patronasi
5
Patronasi sendiri memiliki beragam bentuk seperti organisasi-organisasi baik
sosial bahkan keagamaan maupun hubungan yang tidak terorganisasi secara terlembaga
dan lebih bersifat personal. Dalam patronasi tradisional, faktor terjadinya patronasi
seringkali dikaitkan dengan hal mistik sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Selatan,
penyatuan tiga kerajaan besar seperti Bone, Gowa, dan Luwu menjadi suatu bentuk
kerajaan yang dinamakan tiga boco. Penyatuan ketiga kerajaan ini terjadi diawali datangnya tokoh yang disebut To Manurung, tokoh ini dianggap oleh masyarakat telah turun dari langit untuk menegakan ketenteraman dan mengatur daerah dimana ia
diturunkan.6
Dalam dunia Islam sebagaimana yang terjadi di Libya kehadiran Muhammad
bin Ali as-Sanusi dianggap sebagai Imam Mahdi. Ia mendapatkan tempat khusus di hati
para pengikut gerakan Sanusiyah dan dianggap sebagai manusia yang tidak biasa.7
Selain itu, patronasi juga mewarnai dunia pesantren di mana kiai atau ulama telah
menjadi panutan para santrinya untuk memenuhi kebutuhan keilmuan dan kerohanian.
Ulama menjadi sebuah kelas keagamaan tersendiri, dari penelitian Clifford Geertz
(1960) yang kemudian dilanjutkan oleh Dhofier (1982) bahwa ulama pada akhirnya
membuat suatu jaringan-jaringan khusus yang memperkokoh mereka melalui hubungan
6
Hedi Shri Ahimsa Putra,Minawang: Patron-Klain di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press, 1988), hlm. 43.
7
pernikahan dan membentuk asumsi elit sosio-keagamaan yang berbeda dengan muslim
kebanyakan.8
Sejarah mencatat bahwa bagaimanapun tidak selamanya hubungan patronasi
berjalan dengan baik. Dalam sebuah birokrasi politik, patron berperan sebagai pemimpin
dan klain sebagai rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat jika mengacu pada
asas-asas patronasi pada dasarnya memiliki asumsi positif, namun dalam beberapa kasus
terutama dalam kasus perpolitikan, patronasi sering kali disalahgunakan oleh patron
dalam meraup keuntungan dari klain. Eksploitasi pihak patron terhadap klain ini
seringkali berujung pada pertikaian antara kedua belah pihak, hal ini yang sering terjadi
pada abad pertengahan dengan banyaknya eksploitasi kaum bangsawan di tengah
kesadaran rakyat akan kesetaraan.
Pada abad pertengahan, kaum feodal menjadikan politik sebagai lahan dalam
meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dari rakyat, kekuasaan hanya menjadi alat
dalam mengeksploitasi rakyat jelata. Dalam peristiwa Revolusi Perancis tahun 1789,
rakyat menjebol penjara Bastille yang merupakan lambang monarki absolut dan
menyerbu kerajaan yang saat itu berada di tangan pemerintahan raja (Louis), hal tersebut
berlanjut dengan putusnya kepala para raja di papan pancung Guillotin dan sejak itulah hak-hak istimewa para bangsawan dihapus dan kedudukan warga negara disejajarkan.9
Hal tersebut terjadi ialah karena kekaisaran perancis dengan kekuasaanya, melakukan
diskriminasi dengan hanya menarik keuntungan sepihak dari rakyatnya yang terdiri dari
8
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia
(Jakarta: Mizan, 2012), hlm. 5.
9
kaum petani yang dituntut untuk membayar pajak, sedangkan bagi bangsawan dan kaum
berada terbebas dari belenggu pajak.
2. Kelas Ekonomi
Tidak dapat dinafikan, walaupun antara ilmu sosial dengan ilmu ekonomi
merupakan aspek entitas yang berbeda, namun bagaimanapun ekonomi menjadi salah
satu faktor munculnya kelas sosial dan berbagai fenomena sosial lainya dan untuk itu,
ekonomi menjadi kajian yang banyak dibicarakan sosiolog seperti Weber dan Durkheim,
dari berbagai pembahasan sosiolog mengenai ekonomi memunculkan istilah Sosiology of Economic Lifeyang lebih sering disebut dengan “sosiologi ekonomi”. Sosiologi ekonomi membahas berbagai kasus sosial yang berkaitan dengan ekonomi seperti perkembangan
kapitalis dan dampak ekonomi terhadap kebudayaan dan agama.10
a. Definisi Kelas Ekonomi
Kelas ekonomi merupakan kelas sosial yang terbentuk karena imbas dari
interaksi manusia dalam menjalankan roda perekonomian. Istilah “ekonomi” sendiri
berasal dari bahasa Yunani asal kata “oikos” dan “namos” atau “oiko” dan “nomia” yang artinya “manajemen urusan rumah-tangga”, khususnya penyediaan dan administrasi pendapatan suatu keluarga, lembaga, maupun institusi-institusi kenegaraan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada empat definisi berkenaan dengan ekonomi
salah satunya ialah ekonomi sebagai ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan
10
pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti hal keuangan, perindustrian, dan
perdagangan.11
b. Pembagian kelas Ekonomi
Persaingan ekonomi muncul seiring umat manusia yang berlomba dalam
meraih kesejahteraan setinggi-tingginya dalam hidupnya, dari persaingan ini, manusia
terpecah menjadi beberapa kelas sosial karena ketidakmerataan kesejahteraan di antara
mereka, kelas-kelas tersebut adalah:
1) Kelas Internal (Borjuis dan Proletar)
a) Definisi Borjuis dan Proletar
Borjuis berasal dari bahasa Latin “Burgensis” yang sinonim dengan le marchand yang artinya adalah pedagang. Kaum borjuis atau kaum kota pada akhirnya identik dengan penyedia modal sebagai pemilik sumber daya. Arti borjuis
menjadi lebih eksklusif yakni sekelompok pengusaha yang tidak mau disejajarkan
dengan bangsa perancis yang kebanyakan adalah petani kemudian muncul istilah
bourg yakni kota dan dari situlah masyarakat borjuis seringkali disebut masyarakat perkotaan, sedangkan buruh (Proletar) merupakan kelas pekerja sebagai pihak yang
mengolah sumber daya.12
11
Kata ekonomi dalam ebta Setiawan, CD Kamus Besar Bahasa Indonesia offline 1.1, Ebta Setiawan freeware, 2010.
12
Lubna Sungkar, “Perang Golongan Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal Sejarah Citra Lekha,
b) Tokoh-Tokoh Penggerak Kaum Buruh
Beberapa tokoh sentral yang mengisi perdebatan seputar Borjuis dan
Proletar adalah Karl Marx dan Frederick Engels. Karl Marx (lahir 1818),
memandang bahwa telah terjadi ketimpangan antra borjuis (pemilik modal) dengan
Ploretar (buruh pekerja). Gagasan ini kemudian diteruskan oleh Frederick Engels,
dengan upaya menuangkan gagasanya dalam dunia politik dan juga ia sampaikan
dalam media cetak saat itu. Tulisan-tulisan mereka banyak diberedel oleh penguasa
karena dianggap berbahaya. Pada akhirnya tulisan-tulisan Engels pun bisa dibaca
oleh masyarakat setelah berjuang cukup keras. Perjuangan terus ia lakukan sampai ia
wafat akibat penyakit yang dideritanya.
Dalam sistem Ekonomi, ketidaksetaraan keuntungan antara borjuis dengan
proletar memunculkan beberapa permasalahan. Dari permasalahan-permsalahan
tersebut Marx melahirkan tiga teori tentang ekonomi yakni, Hukum Penimbunan
Modal (Law of Capitalist Accumulation), Hukum Konsenterasi Modal (Law of Concentration of Capital), dan Hukum tentang Meningkatnya Kemiskinan (Law of Increasing Miseary).13 Ketiga hukum itu lahir berdasarkan permasalahan-permasalahan sistem kapitalis.
Kapital sebagai sebuah sistem ekonomi memiliki berbagai permasalahan
pertama, permasalahan dalam sistem kapital adalah mengenai arti dari nilai, bahwa nilai suatu barang ditentukan sepenuhnya oleh kapitalis. Terkesan egois, tapi dengan
perhitungan dan pertimbangan terhadap semua pengeluaran produksi, tapi terkadang
13
di sinilah kesempatan kaum borjuis dalam menentukan alasan meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Kedua, Nilai Tenaga Kerja, Selain nilai barang, dalam sistem kapital yang perlu dibahas adalah nilai tenaga kerja, nilai yang didapat tenaga kerja
memang seolah terkesan adil karena diukur secara pasti berdasarkan waktu kerja dan
pembagian-pembagian bidang kerja, namun penilaian gajinya masih sangat subjektif
dari pertimbangan sang kapital, selain itu pekerja terkesan lebih bekerja keras dari
pada borjuis yang merupakan kapitalis namun malah borjuislah yang lebih banyak
meraup keuntungan. Mengenai nilai pekerja, Frederick Engels menyatakan tentang
“teori kerja lebih”. Teori kerja lebih adalah waktu kerja yang dilakukan proletar
untuk menggantikan kerja sang borjuis.14 Dalam enam hari masa kerja, waktu dibagi
menjadi dua jadwal, tiga hari untuk borjuis dan tiga hari untuk proletar, namun
keenam hari kerja semua dilakukan oleh proletar, jadi ada tiga hari kerja proletar
yang menggantikan kerja borjuis dan dengan demikian borjuis tanpa bekerja akan
mendapat upah.
2) Kelas Eksternal (Kelas Pengusaha kecil dan Pengusaha Besar)
Dalam dinamika perekonomian, terdapat persaingan pasar yang di situ terdapat
dua elemen yang saling ganti-mengganti menguasai pasar. Salah satu struktur kelas
ekonomi ini diisi oleh kelas marginal yang merupakan pengusaha produksi kecil yang
berada di tengah persaingan para pengusaha besar, namun kelas marjinal merupakan
kelas yang siap mengganti posisi kelas yang lebih besar. Keduanya saling
ganti-14
mengganti dalam laju perekonomian.15 Sebagai contohnya ialah petani desa yang siap
bersaing dengan petani kota.
Kelas yang kedua ini berbeda dengan kelas pertama. Kelas pertama mengenai
Borjuis dan Proletar merupakan kumpulan kerjasama antara dua golongan dari pemodal
dan buruh dalam suatu ikatan bersama dalam suatu industri tertentu. Kelas yang kedua
ini merupakan kelas yang terdiri dari kumpulan pengusaha dari industri yang berbeda
yang masing-masing memiliki proletar dan borjuis.
3) Kelas Manusia Pinggiran (Maginal Man)
Kelas pinggiran merupakan kelas yang berdiri di luar dari persaingan antara
kedua kelas di atas. Kelas ini terdiri dari kelompok individu yang heterogen. Masuk di
dalamnya adalah mereka yang tidak memiliki keahlian, gelandangan, dan
pengangguran.16 Jadi bisa disimpulkan bahwa kelas ini tidaklah termasuk buruh, karena
mereka yang berada pada kelas pinggiran tidak memiliki kegiatan ekonomi sama sekali.
Kelas ini terdiri dari setiap manusia yang berdiri sendiri di luar manusia ekonomi
(economic man).
c. Sejarah dan Peristiwa-Peristiwa tentang Buruh dan Perbudakan
Setelah rakyat Perancis menjebol penjara Bastille dalam peristiwa Revolusi
Perancis tahun 1789, dalam menghapus sistem feodalisme, ternyata muncul lagi musuh
utama rakyat yakni kaum proletar yang dianggap mengeksploitasi kaum buruh. Isu ini
kemudian diangkat oleh Marx dan Engels dalam mengusung perjuangan melawan kaum
15
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Terj. Suheba Kramadibrata (Jakarta: UI-Press, 1985), hlm. 47.
16
borjuis. Perjuangan ini terus berlanjut sampai pada tahun 1919 organisasi perburuhan
didirikan dengan nama ILO (International Labour Organisation) yang mengatur hak-hak kaum buruh. Indonesia sendiri semenjak 12 Juli 1950 telah menjadi anggotanya.
Di Indonesia saat ini, gerakan buruh menjadi gerakan yang mulai berdiri dan
tumbuh semakin besar dan kuat, pada 1 Mei 2013, kaum buruh melakukan demo
besar-besaran yang membuat Ibu Kota dibanjiri lautan manusia, sejak peristiwa itu, presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan bahwa 1 Mei adalah Hari Buruh. Kebangkitan
kaum buruh Indonesia ini seolah menjadi penegas bangkitnya gagasan Marx yang disadari
oleh pekerja saat ini yang dipicu banyaknya penindasan hak-hak buruh. Kebangkitan buruh
di Indonsia sering kali diidentikan dengan pembunuhan Marsinah (lahir 1969). Marsinah
merupakan aktifis pejuang nasib buruh yang dibunuh pada tahun 1993. Pada 8 Mei 1993,
jenazah Marsinah ditemukan setelah hilang tiga hari di gubuk petani dekat hutan Wilangan
Nganjuk Jawa Timur dengan kondisi sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan
benda keras. Kasus ini masuk menjadi salah satu kasus perburuhan di ILO yang dikenal
sebagai kasus 1713. Hingga sekarang belum diketahui siapa pembunuh Marsinah.17
Akhir-akhir ini, pada bulan mei 2013 kasus eksploitasi buruh kembali terjadi terungkap kasus
perbudakan di pabrik pembuatan panci di Bayur Opak, Lebak Wangi, Kabupaten
Tangerang.18Kasus ini membangkitkan isu perbudakan yang telah lama mati.
Jika melihat kilas balik kasus perbudakan, bangsa Arab juga dikenal sebagai
bangsa yang memiliki budaya kuat tentangnya. Dalam Konteks budaya Arab, Perbudakan
masuk ke dalam sistem masyarakat yang terpecah-pecah ke dalam berbagai suku, klien,
17
Voice of America, http://www.voaindonesia.com diakses tanggal 10 Mei 2013.
18
dan kabilah. Ketika terjadi peperangan, harta dari pihak yang kalah akan dirampas dan
tawanan perang akan menjadi budak. Sejarawan tidak menjelaskan secara pasti tentang
kapan awal mula munculnya perbudakan, yang pasti sejak masa nabi yusuf 1745-1635
SM,19perbudakan dan perdagangan manusia telah terjadi.
Status budak pada konteks Arab klasik sangat tersisihkan, bahkan bagi budak
yang telah merdeka, mereka akan kesulitan diterima oleh masyarakat diakibatkan oleh
kompetisi antar kelompok sosial dalam menjaga kehormatanya. Selain itu, bangsa Arab
yang sudah memiliki struktur kelompok yang mengakar sampai keluarga kecil semakin
mempersulit budak yang merdeka untuk masuk ke dalam susunan tersebut. Seperti
diketahui bahwa bangsa Arab terdiri dari kelompok-kelompok seperti perkumpulan
masyarakat tenda (hayy) yang membentuk komunitas klan (qaum) dan dari klan membentuk suku (qabi>lah),20 sehingga bagi budak yang merdeka secara otomatis tidak termasuk kedalam kelompok ini.
3. Ras
a. Definisi Ras
Asal kata “ras” masih menjadi bahan perdebatan mulai dari asal katanya bahasa
latin “generatio”, ”ratio”, dan “radix”, bahasa Spanyol “raza”, Bahasa Italia “razza”, dan bahasa perancis Lama “haraz” dalam arti yang beragam seperti generasi, akar, darah bangsawan, kain rusak, noda, dan kontaminasi. Kata ras lebih tua daripada etnisitas.21
19
Syahruddin el-Fikri, Situs-Situs dalam al-Qur’an: dari Banjir Nuh hingga Bukit Thursina
(Jakarta: Republika, 2010), hlm. 37.
20
Philip K. Hitti, History of The Arabs(Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 32.
21
Etnisitas memiliki posisi yang lebih umum jika dibandingkan dengan ras yang bersinonim
dengan spesies.
Menurut Alo Liliwerti, kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia yang salah
satunya ia artikan dengan tampilan fisik seperti, warna kulit, rambut, mata, dan bentuk
tubuh. Secara umum terdapat tiga ras: Kaukasoid, Negroid, dan Mongoloid. Dari sini ras
berhubungan dengan faktor keturunan yang secara biologis menunjukan adanya sub
species atau varietas, kelahiran atau kejadian dari sub spesies tertentu.22
b. Munculnya Ras
Asal mula ras diketahui sekitar tahun 1600 M. saat itu pertama kali ditemukan
gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan katagori warna kulit dan bentuk wajah.
Berdasarkan cirri fisik, manusia bisa dibedakan menjadi empat ras besar. Ras-ras tersebut
adalah, hitam, kuning, putih, dan merah. Pertama kali munculnya teori ras ini pada
akhirnya menumbuhkan kesadaran ras yang berujung pada persaingan. Dari adanya
persaingan, muncul kelompok ras yang berjaya dan merasa diri superior hingga melahirkan
teori rasisme.23
Istilah diskriminasi rasial juga bisa disandingkan dengan istilah kekerasan rasial,
xenophobia, dan rasisme. Sejak akhir perang dingin, nasionalisme, konflik etnis minoritas,
xenophobia, dan kekerasan rasial telah menjadi perhatian HAM terbesar tidak hanya oleh
negara-negara Eropa dan Timur yang sedang mengalami transisi, namun juga untuk
demokrasi tradisional Barat. Pada tahun 1997, Uni Eropa membentuk pusat pemantauan
22
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013). hlm. 60.
23
rasisme dan xenophobia Eropa yang bertugas mengumpulkan dan mengevaluasi data
empiris lengkap dari dua fenomena tersebut di 15 negara anggota dengan bantuan jaringan
informasi yang dibangun untuk jaringan tersebut. Dewan Eropa membentuk Komisi
Menentang Rasisme dan Intoleransi Eropa (ECRI), melibatkan 45 pakar yang ditugaskan
oleh pemerintah mereka untuk memerangi dan mengambil tindakan kepada bentuk
rasisme, xenophobia, anti-semitisme, dan intoleransi di Eropa. Hl ini sebagaimana visi
mereka untuk memerangi kekerasan, diskriminasi, dan prasangka (prejudice) dalam kenyataan perbedaan ras, agama, kewarganegaraan, dan etnis. 24
Para sosiolog sebenarnya menolak bahwa manusia bisa dipilah-pilah berdasarkan
aspek genetik, para sosiolog lebih sering memisahkan kelas sosial berdasarkan budaya.25
Namun, faktanya, Ras sering kali dijadikan alasan suatu masyarakat untuk
membeda-bedakan mereka dengan masyarakat yang lain. Di beberapa tempat di belahan dunia
terdapat beragam etnis dan ras. Sebagai contoh seperti Indonesia yang memiliki jumlah
etnis tidak kurang dari 1.072, Rata-rata kelompok etnis hanya terdiri dari orang dengan
jumlah kecil dan hanya 15 etnis yang memiliki jumlah di atas satu juta jiwa. Di antara
kelimabelas etnis tersebut adalah etnis Jawa yang jumlahnya 83,8 juta jiwa dan etnis Sunda
yang jumlahnya 30,9 juta jiwa.26
Tiap manusia yang berasal dari ras yang berbeda akan memiliki kesadaran rasnya
masing-masing yang terbentuk secara alamiah yang sangat ditentukan oleh pergaulan masa
kecilnya. Jamias, Pablo, dan Taylor menyatakan bahwa anak sejak usia enam tahun sudah
24
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013). hlm. 60.
25
Nicholas Abercrombie dkk., Kamus Sosiologi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 191.
26
memiliki kesadaran ras dan akan menguat pada usia 10 tahun.27 Sikap kesadaran ras ini
pada akhirnya memunculkan fanatisme ras dan upaya menjaga kemurnianya, namun saat
ini dengan diawali masa kolonialisme sampai pesatnya migrasi mengakibatkan adanya
“degenerasi ras”.28
Dalam masyarakat heterogen, jenis ras seseorang dapat dikenali dengan empat
metode:
1) Metode Biologis: mengenal dari ciri-ciri anatomis.
2) Metode Geografis: mengenal melalui observasi wilayah-wilayah tertentu.
3) Metode Historis: meneliti sejarah migrasi bangsa-bangsa dalam penyebaran ras.
4) Metode Kultural: mengetahui ras dengan menghubungkannya terhadap kultur.29
c. Peristiwa-Peristiwaa Diskriminasi Rasial
Segregasi rasial atau ketidakadilan rasial yang berwujut diskriminasi seringkali
bertentangan dengan kesetaraan. Dalam prinsip keadilan sosial, ketidakadilan adalah
masalah pengucilan arbitrer dari institusi masyarakat dominan.30 Peristiwa-peristiwa
27
Agus Salim, Stratifikasi Etnik…, hlm. 5.
28
John Scott, Teori Sosial: Maslah-Masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 156.
29
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013). hlm. 60.
30
diskriminasi ras seringkali terjadi akibat munculnya faham rasisme. Rasis dimaknai
sebagai penolakan terhadap golongan yang berasal dari ras lain.31
Salah satu faktor pendorong terjadinya konflik ras adalah komunikasi dan suatu
dominasi. Migrasi beberapa orang dari suatu ras ke daerah lain akan membentuk
ketergantungan pada sesama rasnya dan semakin menutup hubungan dengan ras lain
sampai akhirnya konflik indifidu bisa menjadi konflik kolektif yang melibatkan
keseluruhan ras. Pada oktober 1957 di Amerika sembilan orang kulit hitam menghadang
orang kulit putih yang sering mengolok-olok mereka. Dari banyaknya konflik indifidu ini
pada akhirnya memunculkan konflik yang besar kolektif pada tahun 1974 terjadi kekerasan
di jalanan di Boston antara kelompok kulit hitam melawan kelompok kulit putih.32
Berangkat dari contoh konflik ini, beberapa pihak mulai membaca peristiwa-peristiwa
pertikaian Ras dengan melakukan gerakan anti diskriminasi.
Salah satu tokoh yang tidak bisa dilupakan dari upayanya dalam mendobrak
tembok diskriminasi Ras di Afrika Selatan selain bapak perdamaian (Nelson Mandela)
ialah Mahatma Gandhi, upaya yang dilakukan Gandhi tergolong tidak mudah, ia sempat
menjadi cemoohan dan sasaran hinaan bahkan pelampiasan fisik. Dalam mengawali
perjuanganya, tidak ada orang yang bersedia membantunya, baru ketika ia menyatakan
untuk meninggalkan Afrika, orang-orang tersadar akan kehilangan sosok pengayom hak
minoritas. Semenjak itu ia mencoba menarik simpati dan membuktikan dukungan publik
dengan mengumpulkan sepuluh ribu tandatangan dalam membentuk advokasi kulit
31
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM ..., hlm. 60.
32
berwarna dan pada akhirnya upayanya sukses dengan diselenggarakan kongres di Natal
1894.33
Di antara faktor lainnya yakni faktor Patronasi dan Ekonomi, Ras menjadi
satu-satunya faktor yang merupakan fitrah bawaan lahir manusia. Dari sini semakin
mempertegas bahwa sampai kapan pun perbedaan ras tidak akan bisa disamakan. Warna
kulit merupakan fitrah yang niscaya dan oleh karenanya tidaklah wajar melakukan
diskriminasi dengan alasan perbedaan ras. Pada faktanya diskriminasi ini tetaplah ada dan
terkadang terjadi secara terang-terangan. Hal tersebut menjadi sebuah tembok yang bagi
perjuangan kelas tembok tersebut harus diruntuhkan demi kehidupan bersama membangun
keadilan sosial.
B. Kesetaraan
1. Definisi Kesetaraan
a. Secara Bahasa
Faham kesetaraan atau Egalitarianisme berasal dari bahasa perancis yang diserap
ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata sifat “égalitér” tanpa turut meresap kata bendanya. Egaliter bermakna bersifat sama atau sederajat sedangkan Egalitarian
merupakan orang yang menganut atau menyebarluaskan ajaran Egalitarianisme, dan
egalitarianisme sendiri memiliki dua arti pertama, doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat; kedua, asas pendirian yang
33
menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda yang mempunyai bermacam-macam
anggota sebenarnya relatif sama.34
b. Secara Istilah
Dari pertama kali istilah ini muncul para pejuang hanya mendefinisikanya sebagai
tuntutan akan kesetaraan terhadap pemerintah yang sering kali membedakan kaum jelata
dengan kaum bangsawan, namun, seiring masa, penggunaan istilah ini pun berkembang
dengan memiliki cabang pengertian dengan konteks masing-masing. Pertama, kesetaraan sebagai doktrin, di sini kesetaraan adalah kondisi yang muncul dari perasaan manusia yang
menyadari adanya kesamaan ia dengan lainnya dalam beberapa hal yang membuat adanya
kesadaran persaudaraan (fraternity). Hobbes dalam karyanya yang bertajuk Leviathan (1934) mengemukakan bahwa: “Alam menjadikan manusia setara, kalaupun ada orang
yang lebih kuat dari yang lainya atau lebih cepat berfikir dari yang lain, bukan berarti
bahwa mereka tidak setara, pembedaan hanya akan membuat seseorang yang lebih kuat
mengambil keuntungan sepihak dari orang lain”, Kedua, kesetaraan kesempatan, mengusung ide bahwa manusia memiliki hak yang sama, istilah ini diadopsi di Ingggris
“Equal” tahun 1960-an M dalam menyuarakan ketidakadilan pendidikan yang saat itu hanya bisa dirasakan oleh para anak bangsawan sedangkan anak jelata tidak memiliki
kesempatan pendidikan.Ketiga, Kesetaraan Kondisi yang menjadi asas dalam perpolitikan yang memberikan dasar bahwa tiap aturan dalam pemerintah yang berkaitan dengan
rakyatnya harus berlandaskan atas asas tidak membeda-bedakan satu dengan lainya.
Keempat, kesetaraan hasil yang memiliki dua asumsi, pertama, perbedaan hasil yang ditrima orang harus sesuai dengan usaha dan kemampuan, kedua, standar hidup manusia
34
tidak boleh berada dibawah level minimum yang telah disepakati, dan rentang kesenjangan
tidak boleh sedemikian besar sehingga mengakibatkan perbedaan kelas.35
Egalitarianism sering kali dianggap sebagai sebuah faham yang membawa konsep
yang selamanya akan menjadi utopia dan akan berhadapan dengan prinsip
multikulturalisme, namun para sosiolog mencoba merealisasikanya dengan memikirkan
beberapa program konkrit, diantaranya ialah dengan program yang memberikan efek
pengurangan ketidaksetaraan di antara produsen dan konsumen, termasuk dalam hal
perpajakan, pendidikan, kesehatan publik, perlindungan sosial, membentuk undang-undang
perlindungan buruh, petani, dan pebisnis kecil,36 namun kesetaraan akan terus mengalami
kesulitan untuk menjadikanya sebuah konsep praktis tentang menyetarakan manusia secara
total, karena bagaimanapun manusia tetaplah mahluk yang berbeda, adanya upaya dalam
menerapkan konsep egalitarianisme kedalam nilai praktis tidak akan bisa merubah
pandangan perbedaan manusia, namun hanya mungkin dalam mengurangi sekat di antara
mereka dalam membuat mereka setara.
Saat ini, kesetaraan menjadi hal yang paling diprioritaskan dalam penegakan
keadilan HAM. Kesetaraan menjadi salah satu tema besar dalam pasal 3, dan 26 dalam
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kesetataraan banyak ditafsirkan oleh beberapa pakar, salah satunya adalah John Rawls yang menyatakan, bahwa
“kebebasan yang dilakukan tidak setara akan mengakibatkan tidak terpenuhinya keadilan
yang fair. Apa yang dimaksud kesetaraan tidak berarti menuntut manusia untuk sama atau
35
William outhwaite (ed.), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (terj.) Tri Wibowo (Jakarta: Putra Grafika, 2008), hlm. 274.
36
identik. Manusia tetap dan pasti memiliki perbedaan-perbedaan seperti ras, agama, budaya,
kapasitas intelektual, jenis kelamin, keinginan, dan lain-lain. Kesetaraan digunakan adalah
karena mempertimbangkan semua perbedaan-perbedaan ini”.37
2. Sejarah Munculnya Faham Egalitarianisme
Egalitarian sebagai ide, sudah mulai muncul menjadi dasar perjuangan rakyat di
Perancis tahun 1789 dalam rangkaian tragedi Revolusi Perancis. Saat itu, rakyat menuntut
adanya kesetaraan dengan penghapusan diskriminasi sosial. Peristiwa ini berkaitan dengan
pembagian tiga golongan besar kala itu: yakni, golongan bangsawan (ordre de la noblesse), golongan rohaniawan (ordre du clerge) dan rakyat jelata (ordre de du tiers etats). Atas dasar ketidaksetaraan antara ketiga golongan itulah yang menjadi faktor utama revolusi perancis.
Kebanyakan bangsawan adalah seigneur artinya mereka memiliki tanah dan berhak memungut pajak di daerah mereka, pajak tersebut dikenal dengan droits feodaux sedangkan kaum bangsawan bebas pajak atau taille dan boleh menerapkan kerja rodi terhadap kaum jelata.38
Pada tahun 1789 terjadi demonstrasi masal yang menjadi awal perubahan peradaban
dunia. Setelah memancung kepala raja (Louis) sekeluarga di papan pancungan, beberapa
bulan kemudian, rakyat melakukan sidang penting dan berhasil mengangkat beberapa poin
penting antara lain penghapusan hak-hak istimewa kaum bangsawan dan kemudian
mengumumkan persamaan hak warga negara. Hal ini dikenal dengan istilah “declaration des droits de I’homme et ducitoyen” yang berkaitan dengan penyetaraan hak-hak manusia dan
37
Hesti Armiwulan Sochmawardiyah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 88-89.
38
Lubna Sungkar, “Perang Golongan Borjuis pada Tahun 1789”, jurnal Sejarah Citra Lekha,
kewarganegaraannya. Sejak saat itulah bangsa perancis dikenal sebagai bangsa yang turut
memberi andil besar atas lahirnya nilai-nilai kenegaraan dan kemanusiaan. Nilai-nilai
kenegaraan dan kemanusiaan ini mereka menifestasikan kedalam semboyan kenegaraan
mereka, yakni: Governement du Peuple, Par le Peuple et Pour le Peuple atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. selain itu, lahir pula konsep Liberte, Egalite, Fraternite(Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan).39
Munculnya “istilah” egaliter memang serigkali dikaitkan dengan manivesto komunis
pada bulan Februari tahun 1848 dengan tokohnya Marx dan Engels. Pada masa berikutnya
Egalitarianism semakin kuat dengan posisi Uni Soviet yang menjadi pelindung gerakan sayap
kiri anti kapitalisme.40 Kapitalisme inilah yang coba diperangi Marx. Marx percaya, bahwa
kunci yang membebaskan seorang manusia dari penindasan dan eksploitasi adalah kebebasan
di mana pun dan kapan pun.41 Seiring banyaknya kalangan yang pesimistik terhadap konsep
kesetaraan dengan menganggapnya sebagai konsep utopia, Marx tetap meyakini bahwa
seiring tak terelakanya transformasi sosial, pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang
sepenuhnya sama rata sama rasa.42
Perjuangan akan kesetaraan tidak pernah berhenti sampai saat ini, dari era revolusi,
manivesto komunis, sampai era demokrasi, upaya gencar dilakukan, perlindungan dan
kesetaraan terus diperjuangkan, tahun 1919 berdiri International Labour Organisation (ILO)
39
Inu Kencana Syafii, Ilmu Politik(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 195.
40
Andi Blunden, “Marx and Marxism”, makalah Melbourne School of Continental Philosophy, dipresentasikan Juli 2009, hlm 7.
41
Brian M. Barry, Culture and Equality: an Egalitarian Critique of Multiculturalism (united Stated of America: Harvard University Press, 2002), hlm. 4.
42
yang saat ini telah menjadi anggota PBB yang baru berdiri 1945, Indonesia kemudian pada 12
juli 1950 turut menjadi anggota ILO, selain upaya kesetaraan dalam bentuk aksi, kesetaraan