• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh:

Abi Hussein

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? b) Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan

yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Wakil Ketua PPATK dan dosen Fakultas Hukum Unila. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: a) Bentuk koordinasi antara

(2)

pengembangan sistem IT. b) Faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah: dari sisi sarana atau fasilitas yang mendukung, yaitu sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PPATK saat ini belum dapat secara optimal mengakses dan memeriksa semua transaksi perbankan; dari faktor aparat penegak hukum adalah PPATK dan KPK memiliki kewenangan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya; dan sisi faktor hukum atau peraturan perundang-undangan adalah PPATK tidak memiliki kewenangan penyelidikan.

Adapun saran dalam penelitian ini adalah perlu dirumuskan kebijakan untuk mewujudkan koordinasi yang sinergis antara PPATK dengan KPK dalam rangka memberantas tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi melalui peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan sistem

koordinasi sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building).

(3)

COORDINATION IN INVESTIGATION BETWEEN INTRAC COMMISSION IN THE ERADICATION OF MONEY LAUNDERING

Abi Hussein, Diah Gustiniati, SH, MH, Irzal Fardiansyah, SH, MH Legal Studies Program, Faculty of Law, University of Lampung

Email: abi.hussein @ yahoo.com.

ABSTRACT

Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) as stipulated in Law No.. 8 of 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering, an independent agency under the President of the Republic of Indonesia, which has the task of preventing and combating money laundering. INTRAC in carrying out its duties and functions require close coordination with other law enforcement agencies in particular is the Corruption Eradication Commission (KPK). The problem in this study is: How is coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering and Is inhibiting factors INTRAC coordination between the investigation and the Commission in the fight against Money Laundering. This study uses a normative approach and empirical judicial approach. Sources derived from the literature study and interviews with Vice Chairman INTRAC and lecturer at the Faculty of Law Unila. Results and discussion of research shows that: Forms of coordination between the Commission INTRAC is horizontal coordination. Coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering occurs when there are cases of corruption investigation is being conducted by the Commission in such cases there is also the element of money laundering or vice versa money laundering investigation is being conducted by INTRAC in Inside are alleged cases of corruption where corruption was committed money laundering. Factors inhibiting coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering are: facilities and infrastructure owned by INTRAC currently not optimal access and inspect all banking transactions; INTRAC and the Commission has the authority of each different; and INTRAC not have the authority investigation.

(4)

KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh:

ABI HUSSEIN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Januari

1991, yang merupakan putra kedua dari empat bersaudara

pasangan Bapak Ismail dan Ibu Dra. Ummi Thoyibah Oemar.

Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di

SDN 2 Palapa Bandar Lampung lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005,

kemudian melanjutkan studi di SMAN 3 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2009 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas

Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Penulis pada tahun 2013

mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Surabaya Udik,

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam tak

hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibu, serta kakak dan adikku tercinta yang dengan penuh memberikan

dorongan moril dan kasih sayang, sehingga berhasil menyelesaikan perkuliahan

ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah

banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbingku, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya

(9)

MOTO

“Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah

saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”

(QS. Al-Maidah ayat (2))

“Always appreciate what you have, There is always someone out there who wishes

that had what you have.”

(10)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Koordinasi

Penyidikan Antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan tindak Pidana

Pencucian Uang” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana

dan Pembimbing I yang telah memberikan saran dan masukan yang

bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar

memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan

penyelesaian studi;

4. Bapak Tri Andriman, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah membantu

memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan

bermanfaat;

5. Ibu Dona Raisa, S.H, M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi

(11)

pengembangan wawasan penulis;

7. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan

penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah SWT

memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;

8. Abangku Anshory dan adikku Marianun dan M. Rizki Romadlon yang tak

henti hentinya memberikan semangat, terima kasih atas dukungannya selama

ini; dan

9. Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun

duka.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan

tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita

semua. Amin.

Bandar Lampung, 14 Juli 2014

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Tinjauan Tentang PPATK ... 17

B. Tugas dan Wewenang PPATK ... 23

C. Tinjauan Tentang KPK ... 26

D. Tugas dan Wewenang KPK ... 29

E. Tindak Pidana Pencucian Uang ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Nara Sumber ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43

(13)

B. Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang ... 46

C. Faktor-Faktor Penghambat Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 68

V. PENUTUP ... 76

A. Simpulan ... 76

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ...

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana

dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri

oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta

kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Tindak pidana

pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem

perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pelaku dan hasil tindak pidana dalam konsep anti pencucian uang, dapat diketahui

melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas

untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan

hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat

disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas.

Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

(15)

efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan

hasil tindak pidana.1

Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh

lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan

perundang-Undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam

menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu

kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk

selanjutnya disampaikan kepada penyidik.2

Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum,

tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum,

terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai

sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak

pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu

melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan

menjadi lebih stabil dan terpercaya.3

Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin kompleks,

melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif,

memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke

berbagai sektor. Pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindak pidana

pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui

1

Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. 64

2Ibid

.

3

(16)

forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan

atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.4

Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak

disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun

2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin

dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan

kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan

peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam

kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga

penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.5

Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena

peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang

timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya

pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian,

keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya,

serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang

ini.

4

Ferry Aries Suranta, Op. Cit, hlm. 65

(17)

Pemerintah dalam rangka untuk memenuhi kepentingan nasional dan

menyesuaikan standar internasional, maka disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun

2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang.

Pencucian uang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dibedakan dalam tiga tindak

pidana, yaitu:

1. Pertama, tindak pidana pencucian uang aktif sebagaimana diatur dalam Pasal

3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu setiap orang yang menempatkan,

mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan

uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.

2. Kedua, tindak pidana pencucian uang pasif sebagaimana diatur dalam Pasal 5

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikenakan kepada setiap

orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

(18)

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut

dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang, namun dikecualikan

bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang ini.

3. Ketiga, dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan

pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang

dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan

asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan

yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini pun dianggap sama dengan

melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni

dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda

paling banyak 10 miliar rupiah. Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Harta Kekayaan yang

(19)

f. penyelundupan migran;

x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau

lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Selain itu, termasuk pula Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan

digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan

terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Indonesian

Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana

dimandatkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen

(20)

memberantas tindak pidana pencucian uang serta mempunyai fungsi sebagai

berikut:

a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;

b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

c. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan

d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan

yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana

lain.

Koordinasi antar lembaga negara dalam pemberantasan tindak pidana pencucian

uang sangat perlu dilakukan. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi

yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinasi antara PPATK dengan KPK

disebabkan karena berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan

bahwa hasil tindak pidana pencucian uang yang pertama adalah uang hasil tindak

pidana korupsi. Hampir semua uang hasil tindak pidana korupsi dilakukan

pencucian uang oleh pelakunya, oleh karena itu maka sangat penting koordinasi

antara PPATK dengan KPK. Contoh kasus korupsi yang di dalamnya terdapat

pula unsur tindak pidana pencucian uang dapat dilihat pada kasus korupsi SKK

Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini, kasus korupsi Simulator SIM dengan

(21)

Penandatangan perjanjian kerja sama atau MoU mengenai koordinasi antara

PPATK dengan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian

uang telah dilakukan pada hari Jumat tanggal 11 Februari 2011 sebagai tindak

lanjut disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal-hal yang diatur dalam

perjanjian kerja sama ini meliputi pertukaran informasi, perumusan produk

hukum, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang,

penelitian, serta pengembangan sistem IT. Berdasarkan uraian di atas, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Koordinasi Penyidikan

Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang.”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam

pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?

b. Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan

(22)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada

umumnya dan khususnya mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK dan

KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan

pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk:

a. Mengetahui koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam

pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

b. Mengetahui faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK

dan KPK dalampemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu:

a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya

pengembangan wawasan pemahaman di bidang ilmu Hukum Pidana,

khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai saran dan masukan kepada aparat penegak

hukum khususnya dalam koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK

(23)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran

atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

koordinasi menurut T. Hani Handoko adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan

dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau

bidang-bidang fungsional) suatu organisasi secara efisien.7 Tanpa koordinasi,

individu-individu atau departemen-departemen akan kehilangan pegangan atas peranan

mereka dalam organisasi, sehingga akan mulai mengejar kepentingan-kepentingan

sendiri yang sering merugikan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan.

Selain itu, G.R. Terry mengatakan koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron

dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan

pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada

sasaran yang telah ditentukan.8

Kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi

dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam

satuan pelaksananya.9 Bila tugas-tugas tersebut memerlukan aliran informasi antar

satuan, derajat koordinasi yang tinggi adalah yang paling baik.

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125

7

T. Hani Handoko Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2003, hlm. 195

8

Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bina Aksara: Jakarta, 2007, hlm. 85

9

(24)

Derajat koordinasi yang tinggi ini sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak

rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah

serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi

organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.

Menurut James D. Thompson, ada tiga macam saling ketergantungan di antara

satuan-satuan organisasi, yaitu:

1. Saling ketergantungan yang menyatu, yaitu bila satuan-satuan organisasi

tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian, tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.

2. Saling ketergantungan yang berurutan, yaitu dimana suatu satuan

organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dahulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.

3. Saling ketergantungan timbal balik merupakan hubungan memberi dan

menerima antar satuan organisasi.10

Menurut Hasibuan terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu:

1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang;

2. Rivalry, yaitu persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan;

3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; dan

4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai,

umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.11

Terhadap permasalahan yang kedua digunakan teori yang dikemukan oleh Paul R.

Lawrence dan Jay W. Locrh. Paul R. Lawrence dan Jay W. Locrh mengemukakan

(25)

dan departemen-departemen dalam organisasi yang mempersulit tugas

pengkoordinasian bagian-bagian organisasi secara efektif, yaitu:12

1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu;

2. Perbedaan dalam orientasi waktu;

3. Perbedaan dalam orientasi antar pribadi; dan

4. Perbedaan dalam formalitas struktur.

Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung

tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Semakin besar

ketidakpastian tugas yang dikoordinasikan, semakin membutuhkan informasi.

Menurut Hasibuan terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:

1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang

dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.

2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau

kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap

kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.13

Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan

menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan

jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Asas hirarki ini mengatur

bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan

(26)

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto14, dipengaruhi

oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-Undangan.

Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam

peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah

mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan

hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan

hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan,

yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam

pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo15, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh

dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses,

yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan

tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat

dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan Undang-Undang

(lembaga legislatif). Kedua, unsur penegakan hukum (polisi, jaksa dan hakim).

Unsur ketiga, yaitu unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan

sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank16, juga berbicara tentang berbagai faktor yang

turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor

kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta

simpati dan antipati pribadi.

14

Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983, Hlm. 15; Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 2007, hlm. 4-5.

15

Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 23-24.

16

(27)

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan

hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem

hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen

struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance)

dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure)

merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi

hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang

dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku

yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture)

merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan

dan pendapat tentang hukum.17

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin

diteliti atau diketahui.18 Adapun batasan pengertian dan istilah yang ingin

dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan

kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang

fungsional) suatu organisasi secara efisien.19

17

Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1977, hlm. 6-7.

18

Soerjono Soekanto. Op. cit. 1986. hlm. 124

19

(28)

b. PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia

yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian

Uang.

c. KPK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang

mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

d. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana.20

e. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah suatu upaya perbuatan untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta

Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang

atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang

sah/legal.21

E. Sistematika Penulisan

Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai

berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup

dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis

dan konseptual serta sistematika penulisan.

20

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 55

21

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat

membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: Tinjuan

Tentang PPATK, Tugas dan Wewenang PPATK, Tinjauan Tentang KPK,

Tugas dan Wewenang KPK dan Pengertian Tindak Pidana Pencucian

Uang.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,

yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian

yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data,

penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan

data, serta analisis data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan

data. Pembahasan tersebut mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK

dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan faktor-faktor

penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak

Pidana Pencucian Uang.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang PPATK

Praktek internasional di bidang pencucian uang lembaga semacam dengan

PPATK disebut dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU).

Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit dalam empat puluh

rekomendasi dari Fanancial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

Kebanyakan negara membentuk atau menugaskan badan tertentu untuk menerima

laporan tersebut yang secara umum sekarang dikenal dengan nama Financial

Intelligence Unit (FIU).22

Financial Intelligence Unit (FIU) adalah lembaga permanen yang khusus

menangani masalah pencucian uang. Lembaga ini merupakan salah satu

infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan

pencucian uang di tiap negara. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak ada dan

memainkan peranan sangat strategis karena masalah pencucian uang merupakan

persoalan yang cukup rumit, melibatkan organized crime yang memahami

berbagai teknik dan modus kejahatan canggih. Penanganan issue pencucian uang

22

(31)

menjadi bertambah berat terlebih karena karakteristik kejahatan ini pada

umumnya dilakukan melewati batas-batas negara.23

Pembentukan lembaga khusus yang menangani masalah pencucian uang telah

dilakukan cukup lama di beberapa negara. Australia misalnya memiliki

AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre) yang didirikan

pada tahun 1989. FINCEN (Financial Crime Intelligence Network) yang dikenal

sebagai Financial Intelligence Unit di Amerika Serikat yang didirikan pada tahun

1990. Sementara itu kehadiran lembaga sejenis di wilayah Asia Tenggara relatif

baru dikenal beberapa tahun belakangan ini. Lembaga tersebut antara lain AMLO

(Anti Money Laundering Office) di Thailand yang didirikan pada tahun 1999, Unit

Perisikan Kewangan di Malaysia yang berdiri pada tahun 2001, STRO

(Suspicious Transaction Reports Office) Singapura pada tahun 2000 serta The

Office of Anti Money Laundering di Filipina sejak tahun 2001. Indonesia sendiri

dalam rangka menjalankan misi di atas telah didirikan Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 17 April 2002.24

Sejarah singkat pembentukan PPATK di Indonesia diawili dengan didirikan The

Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) pada tahun 1997 yang

merupakan organisasi internasional otonom dan kolaboratif di Bangkok, Thailand.

Saat ini memiliki 41 anggota dan sejumlah international and regional observers.

Beberapa organisasi internasional kunci yang berpartisipasi dan mendukung,

upaya APG di wilayah ini termasuk Financial Action Task Force, Internasional

Moneter Fund, Bank Dunia, OECD, United Nations Office on Drugs and Crime,

23

Yunus Husein, Op. cit. Makalah 2013.

(32)

Asian Development Bank and the Egmont Group of Financial Intelligence Units.

Anggota APG berkomitmen untuk pelaksanaan yang efektif dan penegakan

standar-standar yang diterima secara internasional terhadap pencucian uang dan

pendanaan terorisme, khususnya 40 Rekomendasi dan 9 Rekomendasi Khusus

tentang Pembiayaan Teroris dari Financial Action Task Force on Money

Laundering (FATF). Indonesia meratifikasi The UN Convention Against Illicit

Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian

melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dengan

penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan

untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan

mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan,

melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.25

Indonesia pada tahun 2002 menjadi anggota Asia Pasific Group on Money

Laundering. Bank Indonesia pada tanggal 18 Juni 2001 mengeluarkan Peraturan

Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer yang

mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan identifikasi nasabah, memantau

profil transaksi dan mendeteksi asal-usul dana. Berdasarkan PBI ini Pelaporan

Transaksi Keuangan Mencurigakan disampaikan ke Bank Indonesia dan

dilakukan analisis oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) Bank

Indonesia. Sejak bulan Juni 2001 Indonesia bersama sejumlah negara lain dinilai

kurang kooperatif dan dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries

and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang

25

(33)

dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan

money laundering. FATF pada bulan Oktober 2001 mengeluarkan 8 Special

Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal

dengan counter terrorist financing.26

Pemerintah pada tahun 2002 resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara tegas mengamanatkan

pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Pemerintah RI mengangkat Dr. Yunus Husein dan Dr. I Gde Made Sadguna

sebagai Kepala dan Wakil Kepala PPATK pada bulan Oktober 2002 berdasarkan

Keputusan Presiden No. 201/M/2002. Selanjutnya pada tanggal 24 Desember

2002 keduanya mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI.27

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pada tanggal 13 Oktober 2003 mengalami perubahan dengan disahkannya

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. PPATK diresmikan oleh Menteri

Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20

Oktober 2003, dan mulai saat itu PPATK telah beroperasi secara penuh dan

berkantor di Gedung Bank Indonesia.28

Sejalan dengan berdirinya PPATK dan untuk menunjang efektifnya pelaksanaan

rezim anti pencucian uang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun

2004 tanggal 5 Januari 2004, Pemerintah RI membentuk Komite Koordinasi

26

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014

(34)

Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite

TPPU) yang diketuai oleh Menko Politik, Hukum dan Keamanan dengan wakil

Menko Perekonomian dan Kepala PPATK sebagai sekretaris Komite. Anggota

Komite TPPU lainnya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM,

Menteri Keuangan, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN dan Gubernur Bank

Indonesia. Komite ini bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan

penanganan tindak pidana pencucian uang dan mengkoordinasikan upaya

penanganan pencegahan dan pemberantasannya.29

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada Bulan Juni 2004

menetapkan rekomendasi kesembilan dalam rangka memerangi terorisme.

Sembilan rekomendasi khusus FATF mencakup serangkaian tindakan, perlu

dilakukan setiap yuridiksi dalam mengimplementasikan secara efektif upaya

melawan pendanaan teroris. Pemerintah mengangkat tiga Wakil Kepala PPATK

lainnya untuk masa jabatan 2004-2008, yaitu: Priyanto Soewarno yang

membidangi administrasi: Susno Duaji, membidangi Hukum dan Kepatuhan;

Bambang Setiawan, membidangi Teknologi Informasi. Ketiga Wakil Kepala

PPATK tersebut mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI

pada tanggal 29 Agustus 2004.30

29

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014

(35)

Indonesia pada Bulan Februari 2005 berhasil keluar dari daftar hitam Non

Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on

Money Laundering (FATF). Pada tanggal 8 November 2006, Yunus Husein

diangkat kembali sebagai Kepala PPATK untuk masa jabatan 2006-2010.31

Pemerintah dalam upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan

menguatkan keberadaan PPATK pada tahun 2010 mengesahkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,

disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2010.

Keberadaan Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan

mendesak terhadap upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan

tindak pidana lain, serta dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk

menjamin kepastian hukum, efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan

pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Lebih dari itu Undang-Undang

ini mengakomodir berbagai ketentuan dan standar internasional di bidang

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan

terorisme atau yang dikenal “FATF Revised 40+9 Recommendations”.32

31

http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014

(36)

B. Tugas dan Wewenang PPATK

PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang

mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.

Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur bahwa PPATK dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari

campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. PPATK bertanggung jawab

kepada Presiden. Setiap orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan

terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. PPATK wajib menolak

dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam

rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya. PPATK berkedudukan di Ibu Kota

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dalam hal diperlukan, perwakilan

PPATK dapat dibuka di daerah.

PPATK berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mempunyai tugas

mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam

melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai

fungsi sebagai berikut:

a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

(37)

d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang

berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

PPATK berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan

bahwa dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK

berwenang:

a. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah

dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;

b. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan;

c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang

dengan instansi terkait;

d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan

tindak pidana pencucian uang;

e. Mewakili pemerintah republik indonesia dalam organisasi dan forum

internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;

f. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang;

dan

g. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang.

PPATK berdasarkan Pasal 41 ayat (2) menyatkan bahwa penyampaian data dan

informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan

kerahasiaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan

informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana

(38)

PPATK dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem

informasi. PPATK dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap

kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, PPATK

berwenang:

a. Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak

Pelapor;

b. Menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak

pidana pencucian uang;

c. Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;

d. Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang

melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;

e. Memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban

pelaporan;

f. Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha

Pihak Pelapor; dan

g. Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi

Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.

PPATK sebagaimana Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam

rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat:

a. Meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;

b. Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;

c. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan

hasil analisis PPATK;

d. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari

instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;

e. Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta,

baik di dalam maupun di luar negeri;

f. Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya

dugaan tindak pidana pencucian uang;

g. Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait

dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;

h. Merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya

(39)

dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan;

i. Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh

atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;

j. Meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;

k. Mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan

l. Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.

C. Tinjauan Tentang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di

Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan

memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2011-2015 KPK dipimpin

oleh Ketua KPK Abraham Samad, bersama 4 orang wakil ketuanya, yakni

Zulkarnain, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dan Adnan.33

Badan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama tercatat dua kali dibentuk.

Pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini

disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.

Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan

Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data

mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah

ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi

33

(40)

keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara

langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi

langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir

tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya

kepada Kabinet Djuanda.34

Melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.

Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan

Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru

yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat,

yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama

perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan

praktek korupsi dan kolusi.35

Alasan politis kembali menyebabkan terhambatnya, seperti Direktur Utama

Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum

ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi

ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih

Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya

oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat

Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu

oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan

34

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014

(41)

bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa

Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.36

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967,

Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas

korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu

seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan

Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung, namun ternyata ketidakseriusan TPK

mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk

Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan

berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A.

Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog,

CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.37

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa kekuatan ketika hasil temuan atas kasus korupsi

di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya

posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana

Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib)

dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat

mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di

kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan

pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin

menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.38

36

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014

(42)

Usaha pemberantasan korupsi di era reformasi, dimulai oleh B.J. Habibie dengan

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut

pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas

Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden

berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas

korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,

TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN,

dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur

masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya,

KPK merupakan lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.39

D. Tugas dan Wewenang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat dengan KPK merupakan lembaga

negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen

dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi

dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya, berasaskan pada:40

39

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014

40

(43)

a. Kepastian hukum. Asas Kepastian Hukum merupakan asas dalam negara

hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-Undangan,

kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

b. Keterbukaan. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap

hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia

negara.

c. Akuntabilitas. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa

setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus

dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-Undangan yang berlaku.

d. Kepentingan umum. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang

mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,

akomodatif, dan selektif.

e. Proporsionalitas. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan

keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mempunyai tugas sebagai

berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

(44)

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

KPK dalam hal melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana yang dimaksud

dalam tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka KPK berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal melaksanakan tugas supervisi

berwenang pula melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap

instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan

(45)

KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku

tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

Apabila Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau

penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh

berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu

paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya

permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyerahan tersangka dan seluruh

berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dilakukan

dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan, sehingga segala

tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut

beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka dan seluruh

berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dilakukan

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan sebagai berikut:

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

(46)

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memberitahukan kepada penyidik atau

penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang

ditangani jika ditemukan salah satu alasan sebagaimana yang dimaksud di atas.

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,

penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian

negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan berwenang:

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang

bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang

keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,

(47)

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada instansi yang terkait; menghentikan sementara suatu transaksi

keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan

sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki

oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang

diperiksa;

g. Meminta bantuan interpol indonesia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti

di luar negeri;

h. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam

perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

E. Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan

hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta

kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.41

Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) secara populer dapat

dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan

41

(48)

perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh

organisasi kriminal (organized crime) maupun individu yang melakukan tindakan

korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya dengan tujuan

menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak

pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah

tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal.42 Keterlibatan

perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:

1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe

deposit box;

2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro;

3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;

4. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada

bank yang bersangkutan;

5. Penggunaan fasilitas transfer atau eft;

6. Pemalsuan dokumen-dokumen l/c yang bekerjasama dengan oknum

pejabat bank terkait; dan

7. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Non-bank financial institution juga merupakan target yang tak kalah menarik bagi

para pelaku pencucian uang. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam beberapa

tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah terobosan

dengan mempergunakan lembaga keuangan non bank sebagai sarana pencucian

uang. Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para

pelaku dalam hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi

misalnya dapat dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan

suatu tahapan melakukan penempatan (placement) dan sekaligus memuat unsur

layering dan integration. Pengiriman uang melalui perusahaan pengiriman uang

(money transfer), placement pada lembaga pembiayaan dan venture capital serta

42

(49)

pelunasan pinjaman pada perusahaan sewa guna usaha (leasing) merupakan

modus-modus yang dapat digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan

menggunakan non-bank financial institution.43

Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu:

1. Placement (penempatan)

Tahap ini merupakan menempatakan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas

kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem

keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian

uang tersebut masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan melalui

penyeludupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain,

menggabungkan antara uang tunai yang bersifat illegal itu dengan uang yang

diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam

deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan menstranfer ke dalam valuta

asing. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:

a. Menempatkan dana pada bank;

b. Menyetorkan uang pada bank pada bank sebagai pembayaran kredit

untuk mengaburkan audit trail;

c. Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain;

d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah sehingga mengubah kas

menjadi kredit pembiayaan; dan

e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan

pribadi, membelikan hadiah yang nilainya tinggi/mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan

melalui bank atau perusahaaan jasa keuangan lain.44

43

Yunus Husein, Op.cit, hlm. 28

44Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu untuk membuat animasi iklan dibutuhkan dua komponen animasi yaitu animasi teks yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan animasi twening objek yang

RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 merupakan penjabaran RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun 2014- 2019 dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dan Rencana

Langkah pertama pembuatan program ini adalah mengumpulkan elemen elemen yang dibutuhkan untuk membuat suatu aplikasi multimedia lalu dilanjutkan dengan menggabungkan elemen

Perbuatan Gagasan.. Ary Ginanjar dalam bukunya ESQ mengatakan bahwa pembentukan karakter tidak hanya sebatas menetapkan visi dan misi saja akan tetap aktualisasi dari

Maka dari itu penulis berinisiatif mengambil penelitian tentang Pemuda Persis yang berjudul “ Sejarah dan Perkembangan Pemuda Persis Kabupaten Bandung Barat (KBB)

terdapat hubungan yang signifikan antara stres dan gangguan insomnia pada peserta didik terhadap hasil belajar Mata Pelajaran Fisika MTs Negeri Model Makassar, sehingga dapat

Berdasarkan hasil penelitian teresebut, diketahui bahwa analisis Rhodamin B pada kerupuk berwarna merah yang beredar di beberapa pasar di kota Medan dengan metode

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak