ABSTRAK
KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Oleh:
Abi Hussein
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? b) Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Wakil Ketua PPATK dan dosen Fakultas Hukum Unila. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: a) Bentuk koordinasi antara
pengembangan sistem IT. b) Faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah: dari sisi sarana atau fasilitas yang mendukung, yaitu sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PPATK saat ini belum dapat secara optimal mengakses dan memeriksa semua transaksi perbankan; dari faktor aparat penegak hukum adalah PPATK dan KPK memiliki kewenangan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya; dan sisi faktor hukum atau peraturan perundang-undangan adalah PPATK tidak memiliki kewenangan penyelidikan.
Adapun saran dalam penelitian ini adalah perlu dirumuskan kebijakan untuk mewujudkan koordinasi yang sinergis antara PPATK dengan KPK dalam rangka memberantas tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi melalui peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan sistem
koordinasi sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building).
COORDINATION IN INVESTIGATION BETWEEN INTRAC COMMISSION IN THE ERADICATION OF MONEY LAUNDERING
Abi Hussein, Diah Gustiniati, SH, MH, Irzal Fardiansyah, SH, MH Legal Studies Program, Faculty of Law, University of Lampung
Email: abi.hussein @ yahoo.com.
ABSTRACT
Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) as stipulated in Law No.. 8 of 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering, an independent agency under the President of the Republic of Indonesia, which has the task of preventing and combating money laundering. INTRAC in carrying out its duties and functions require close coordination with other law enforcement agencies in particular is the Corruption Eradication Commission (KPK). The problem in this study is: How is coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering and Is inhibiting factors INTRAC coordination between the investigation and the Commission in the fight against Money Laundering. This study uses a normative approach and empirical judicial approach. Sources derived from the literature study and interviews with Vice Chairman INTRAC and lecturer at the Faculty of Law Unila. Results and discussion of research shows that: Forms of coordination between the Commission INTRAC is horizontal coordination. Coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering occurs when there are cases of corruption investigation is being conducted by the Commission in such cases there is also the element of money laundering or vice versa money laundering investigation is being conducted by INTRAC in Inside are alleged cases of corruption where corruption was committed money laundering. Factors inhibiting coordination between INTRAC investigation and the Commission in combating Money Laundering are: facilities and infrastructure owned by INTRAC currently not optimal access and inspect all banking transactions; INTRAC and the Commission has the authority of each different; and INTRAC not have the authority investigation.
KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA PPATK DAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Oleh:
ABI HUSSEIN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Januari
1991, yang merupakan putra kedua dari empat bersaudara
pasangan Bapak Ismail dan Ibu Dra. Ummi Thoyibah Oemar.
Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di
SDN 2 Palapa Bandar Lampung lulus pada tahun 2002.
Penulis melanjutkan studi di SMPN 1 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005,
kemudian melanjutkan studi di SMAN 3 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.
Penulis pada tahun 2009 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Penulis pada tahun 2013
mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Surabaya Udik,
PERSEMBAHAN
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta sholawat dan salam tak
hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.
Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:
Ayah dan Ibu, serta kakak dan adikku tercinta yang dengan penuh memberikan
dorongan moril dan kasih sayang, sehingga berhasil menyelesaikan perkuliahan
ini.
Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah
banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.
Para dosen pembimbingku, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya
MOTO
“Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah
saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Maidah ayat (2))
“Always appreciate what you have, There is always someone out there who wishes
that had what you have.”
SANWACANA
Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Koordinasi
Penyidikan Antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan tindak Pidana
Pencucian Uang” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana
dan Pembimbing I yang telah memberikan saran dan masukan yang
bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Bapak Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar
memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan
penyelesaian studi;
4. Bapak Tri Andriman, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah membantu
memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan
bermanfaat;
5. Ibu Dona Raisa, S.H, M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi
pengembangan wawasan penulis;
7. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan
penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah SWT
memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;
8. Abangku Anshory dan adikku Marianun dan M. Rizki Romadlon yang tak
henti hentinya memberikan semangat, terima kasih atas dukungannya selama
ini; dan
9. Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun
duka.
Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan
tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Bandar Lampung, 14 Juli 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17
A. Tinjauan Tentang PPATK ... 17
B. Tugas dan Wewenang PPATK ... 23
C. Tinjauan Tentang KPK ... 26
D. Tugas dan Wewenang KPK ... 29
E. Tindak Pidana Pencucian Uang ... 34
III. METODE PENELITIAN ... 41
A. Pendekatan Masalah ... 41
B. Sumber dan Jenis Data ... 41
C. Penentuan Nara Sumber ... 42
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43
B. Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang ... 46
C. Faktor-Faktor Penghambat Koordinasi Penyidikan Antara PPATK dan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 68
V. PENUTUP ... 76
A. Simpulan ... 76
B. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ...
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana
dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri
oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta
kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Tindak pidana
pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem
perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelaku dan hasil tindak pidana dalam konsep anti pencucian uang, dapat diketahui
melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas
untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan
hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat
disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas.
Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan
hasil tindak pidana.1
Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh
lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-Undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu
kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk
selanjutnya disampaikan kepada penyidik.2
Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum,
tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum,
terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai
sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak
pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu
melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan
menjadi lebih stabil dan terpercaya.3
Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin kompleks,
melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif,
memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke
berbagai sektor. Pemerintah dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui
1
Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. 64
2Ibid
.
3
forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan
atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.4
Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak
disahkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin
dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan
kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan
peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga
penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.5
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena
peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang
timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya
pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian,
keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya,
serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang
ini.
4
Ferry Aries Suranta, Op. Cit, hlm. 65
Pemerintah dalam rangka untuk memenuhi kepentingan nasional dan
menyesuaikan standar internasional, maka disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Pencucian uang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dibedakan dalam tiga tindak
pidana, yaitu:
1. Pertama, tindak pidana pencucian uang aktif sebagaimana diatur dalam Pasal
3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu setiap orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.
2. Kedua, tindak pidana pencucian uang pasif sebagaimana diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikenakan kepada setiap
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang, namun dikecualikan
bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Ketiga, dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan
pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang
dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini pun dianggap sama dengan
melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni
dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda
paling banyak 10 miliar rupiah. Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Harta Kekayaan yang
f. penyelundupan migran;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau
lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Selain itu, termasuk pula Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Indonesian
Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana
dimandatkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan lembaga independen
memberantas tindak pidana pencucian uang serta mempunyai fungsi sebagai
berikut:
a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
c. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan
yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana
lain.
Koordinasi antar lembaga negara dalam pemberantasan tindak pidana pencucian
uang sangat perlu dilakukan. PPATK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sangat memerlukan koordinasi
yang erat dengan lembaga penegak hukum lain khususnya adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinasi antara PPATK dengan KPK
disebabkan karena berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan
bahwa hasil tindak pidana pencucian uang yang pertama adalah uang hasil tindak
pidana korupsi. Hampir semua uang hasil tindak pidana korupsi dilakukan
pencucian uang oleh pelakunya, oleh karena itu maka sangat penting koordinasi
antara PPATK dengan KPK. Contoh kasus korupsi yang di dalamnya terdapat
pula unsur tindak pidana pencucian uang dapat dilihat pada kasus korupsi SKK
Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini, kasus korupsi Simulator SIM dengan
Penandatangan perjanjian kerja sama atau MoU mengenai koordinasi antara
PPATK dengan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian
uang telah dilakukan pada hari Jumat tanggal 11 Februari 2011 sebagai tindak
lanjut disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal-hal yang diatur dalam
perjanjian kerja sama ini meliputi pertukaran informasi, perumusan produk
hukum, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang,
penelitian, serta pengembangan sistem IT. Berdasarkan uraian di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Koordinasi Penyidikan
Antara PPATK dan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?
b. Apakah faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Pidana pada
umumnya dan khususnya mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK dan
KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian dilakukan
pada tahun 2014.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk:
a. Mengetahui koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Mengetahui faktor-faktor penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK
dan KPK dalampemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian ini, yaitu:
a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pengembangan wawasan pemahaman di bidang ilmu Hukum Pidana,
khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai saran dan masukan kepada aparat penegak
hukum khususnya dalam koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran
atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6
koordinasi menurut T. Hani Handoko adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan
dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau
bidang-bidang fungsional) suatu organisasi secara efisien.7 Tanpa koordinasi,
individu-individu atau departemen-departemen akan kehilangan pegangan atas peranan
mereka dalam organisasi, sehingga akan mulai mengejar kepentingan-kepentingan
sendiri yang sering merugikan pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan.
Selain itu, G.R. Terry mengatakan koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron
dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan
pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada
sasaran yang telah ditentukan.8
Kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi
dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam
satuan pelaksananya.9 Bila tugas-tugas tersebut memerlukan aliran informasi antar
satuan, derajat koordinasi yang tinggi adalah yang paling baik.
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125
7
T. Hani Handoko Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2003, hlm. 195
8
Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bina Aksara: Jakarta, 2007, hlm. 85
9
Derajat koordinasi yang tinggi ini sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak
rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah
serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi
organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.
Menurut James D. Thompson, ada tiga macam saling ketergantungan di antara
satuan-satuan organisasi, yaitu:
1. Saling ketergantungan yang menyatu, yaitu bila satuan-satuan organisasi
tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian, tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
2. Saling ketergantungan yang berurutan, yaitu dimana suatu satuan
organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dahulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
3. Saling ketergantungan timbal balik merupakan hubungan memberi dan
menerima antar satuan organisasi.10
Menurut Hasibuan terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu:
1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerja sama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang;
2. Rivalry, yaitu persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan;
3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai; dan
4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai,
umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat.11
Terhadap permasalahan yang kedua digunakan teori yang dikemukan oleh Paul R.
Lawrence dan Jay W. Locrh. Paul R. Lawrence dan Jay W. Locrh mengemukakan
dan departemen-departemen dalam organisasi yang mempersulit tugas
pengkoordinasian bagian-bagian organisasi secara efektif, yaitu:12
1. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu;
2. Perbedaan dalam orientasi waktu;
3. Perbedaan dalam orientasi antar pribadi; dan
4. Perbedaan dalam formalitas struktur.
Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung
tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Semakin besar
ketidakpastian tugas yang dikoordinasikan, semakin membutuhkan informasi.
Menurut Hasibuan terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu:
1. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang
dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya.
2. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau
kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap
kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.13
Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan
menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggung jawab yang disesuaikan dengan
jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Asas hirarki ini mengatur
bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto14, dipengaruhi
oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-Undangan.
Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam
peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan,
yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo15, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh
dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses,
yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan
tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat
dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan Undang-Undang
(lembaga legislatif). Kedua, unsur penegakan hukum (polisi, jaksa dan hakim).
Unsur ketiga, yaitu unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan
sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank16, juga berbicara tentang berbagai faktor yang
turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor
kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta
simpati dan antipati pribadi.
14
Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983, Hlm. 15; Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 2007, hlm. 4-5.
15
Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 23-24.
16
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan
hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem
hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen
struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance)
dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure)
merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi
hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang
dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku
yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture)
merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan
dan pendapat tentang hukum.17
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin
diteliti atau diketahui.18 Adapun batasan pengertian dan istilah yang ingin
dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan
kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang
fungsional) suatu organisasi secara efisien.19
17
Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1977, hlm. 6-7.
18
Soerjono Soekanto. Op. cit. 1986. hlm. 124
19
b. PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia
yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian
Uang.
c. KPK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang
mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
d. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.20
e. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah suatu upaya perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta
Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang
atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang
sah/legal.21
E. Sistematika Penulisan
Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup
dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis
dan konseptual serta sistematika penulisan.
20
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 55
21
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat
membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: Tinjuan
Tentang PPATK, Tugas dan Wewenang PPATK, Tinjauan Tentang KPK,
Tugas dan Wewenang KPK dan Pengertian Tindak Pidana Pencucian
Uang.
III.METODE PENELITIAN
Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,
yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian
yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data,
penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan
data, serta analisis data.
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan
data. Pembahasan tersebut mengenai koordinasi penyidikan antara PPATK
dan KPK dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan faktor-faktor
penghambat koordinasi penyidikan antara PPATK dan KPK dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang.
V. PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang PPATK
Praktek internasional di bidang pencucian uang lembaga semacam dengan
PPATK disebut dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU).
Keberadaan FIU ini pertama kali diatur secara implisit dalam empat puluh
rekomendasi dari Fanancial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Kebanyakan negara membentuk atau menugaskan badan tertentu untuk menerima
laporan tersebut yang secara umum sekarang dikenal dengan nama Financial
Intelligence Unit (FIU).22
Financial Intelligence Unit (FIU) adalah lembaga permanen yang khusus
menangani masalah pencucian uang. Lembaga ini merupakan salah satu
infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan
pencucian uang di tiap negara. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak ada dan
memainkan peranan sangat strategis karena masalah pencucian uang merupakan
persoalan yang cukup rumit, melibatkan organized crime yang memahami
berbagai teknik dan modus kejahatan canggih. Penanganan issue pencucian uang
22
menjadi bertambah berat terlebih karena karakteristik kejahatan ini pada
umumnya dilakukan melewati batas-batas negara.23
Pembentukan lembaga khusus yang menangani masalah pencucian uang telah
dilakukan cukup lama di beberapa negara. Australia misalnya memiliki
AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre) yang didirikan
pada tahun 1989. FINCEN (Financial Crime Intelligence Network) yang dikenal
sebagai Financial Intelligence Unit di Amerika Serikat yang didirikan pada tahun
1990. Sementara itu kehadiran lembaga sejenis di wilayah Asia Tenggara relatif
baru dikenal beberapa tahun belakangan ini. Lembaga tersebut antara lain AMLO
(Anti Money Laundering Office) di Thailand yang didirikan pada tahun 1999, Unit
Perisikan Kewangan di Malaysia yang berdiri pada tahun 2001, STRO
(Suspicious Transaction Reports Office) Singapura pada tahun 2000 serta The
Office of Anti Money Laundering di Filipina sejak tahun 2001. Indonesia sendiri
dalam rangka menjalankan misi di atas telah didirikan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 17 April 2002.24
Sejarah singkat pembentukan PPATK di Indonesia diawili dengan didirikan The
Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) pada tahun 1997 yang
merupakan organisasi internasional otonom dan kolaboratif di Bangkok, Thailand.
Saat ini memiliki 41 anggota dan sejumlah international and regional observers.
Beberapa organisasi internasional kunci yang berpartisipasi dan mendukung,
upaya APG di wilayah ini termasuk Financial Action Task Force, Internasional
Moneter Fund, Bank Dunia, OECD, United Nations Office on Drugs and Crime,
23
Yunus Husein, Op. cit. Makalah 2013.
Asian Development Bank and the Egmont Group of Financial Intelligence Units.
Anggota APG berkomitmen untuk pelaksanaan yang efektif dan penegakan
standar-standar yang diterima secara internasional terhadap pencucian uang dan
pendanaan terorisme, khususnya 40 Rekomendasi dan 9 Rekomendasi Khusus
tentang Pembiayaan Teroris dari Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF). Indonesia meratifikasi The UN Convention Against Illicit
Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian
melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dengan
penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan
untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan
mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan,
melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.25
Indonesia pada tahun 2002 menjadi anggota Asia Pasific Group on Money
Laundering. Bank Indonesia pada tanggal 18 Juni 2001 mengeluarkan Peraturan
Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer yang
mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan identifikasi nasabah, memantau
profil transaksi dan mendeteksi asal-usul dana. Berdasarkan PBI ini Pelaporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan disampaikan ke Bank Indonesia dan
dilakukan analisis oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) Bank
Indonesia. Sejak bulan Juni 2001 Indonesia bersama sejumlah negara lain dinilai
kurang kooperatif dan dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries
and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang
25
dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan
money laundering. FATF pada bulan Oktober 2001 mengeluarkan 8 Special
Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal
dengan counter terrorist financing.26
Pemerintah pada tahun 2002 resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara tegas mengamanatkan
pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pemerintah RI mengangkat Dr. Yunus Husein dan Dr. I Gde Made Sadguna
sebagai Kepala dan Wakil Kepala PPATK pada bulan Oktober 2002 berdasarkan
Keputusan Presiden No. 201/M/2002. Selanjutnya pada tanggal 24 Desember
2002 keduanya mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI.27
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pada tanggal 13 Oktober 2003 mengalami perubahan dengan disahkannya
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. PPATK diresmikan oleh Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20
Oktober 2003, dan mulai saat itu PPATK telah beroperasi secara penuh dan
berkantor di Gedung Bank Indonesia.28
Sejalan dengan berdirinya PPATK dan untuk menunjang efektifnya pelaksanaan
rezim anti pencucian uang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun
2004 tanggal 5 Januari 2004, Pemerintah RI membentuk Komite Koordinasi
26
http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite
TPPU) yang diketuai oleh Menko Politik, Hukum dan Keamanan dengan wakil
Menko Perekonomian dan Kepala PPATK sebagai sekretaris Komite. Anggota
Komite TPPU lainnya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Keuangan, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN dan Gubernur Bank
Indonesia. Komite ini bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan
penanganan tindak pidana pencucian uang dan mengkoordinasikan upaya
penanganan pencegahan dan pemberantasannya.29
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada Bulan Juni 2004
menetapkan rekomendasi kesembilan dalam rangka memerangi terorisme.
Sembilan rekomendasi khusus FATF mencakup serangkaian tindakan, perlu
dilakukan setiap yuridiksi dalam mengimplementasikan secara efektif upaya
melawan pendanaan teroris. Pemerintah mengangkat tiga Wakil Kepala PPATK
lainnya untuk masa jabatan 2004-2008, yaitu: Priyanto Soewarno yang
membidangi administrasi: Susno Duaji, membidangi Hukum dan Kepatuhan;
Bambang Setiawan, membidangi Teknologi Informasi. Ketiga Wakil Kepala
PPATK tersebut mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung RI
pada tanggal 29 Agustus 2004.30
29
http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014
Indonesia pada Bulan Februari 2005 berhasil keluar dari daftar hitam Non
Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF). Pada tanggal 8 November 2006, Yunus Husein
diangkat kembali sebagai Kepala PPATK untuk masa jabatan 2006-2010.31
Pemerintah dalam upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan
menguatkan keberadaan PPATK pada tahun 2010 mengesahkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,
disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2010.
Keberadaan Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan
mendesak terhadap upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana lain, serta dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk
menjamin kepastian hukum, efektifitas penegakan hukum serta penelusuran dan
pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Lebih dari itu Undang-Undang
ini mengakomodir berbagai ketentuan dan standar internasional di bidang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme atau yang dikenal “FATF Revised 40+9 Recommendations”.32
31
http://www.ppatk.go.id/, Sejarah Pembentukkan PPATK, diakses tanggal 01 Maret 2014
B. Tugas dan Wewenang PPATK
PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden Republik Indonesia yang
mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur bahwa PPATK dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari
campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. PPATK bertanggung jawab
kepada Presiden. Setiap orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. PPATK wajib menolak
dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam
rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya. PPATK berkedudukan di Ibu Kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dalam hal diperlukan, perwakilan
PPATK dapat dibuka di daerah.
PPATK berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mempunyai tugas
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai
fungsi sebagai berikut:
a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang
berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
PPATK berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan
bahwa dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK
berwenang:
a. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah
dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
b. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan;
c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang
dengan instansi terkait;
d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan
tindak pidana pencucian uang;
e. Mewakili pemerintah republik indonesia dalam organisasi dan forum
internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
f. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang;
dan
g. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
PPATK berdasarkan Pasal 41 ayat (2) menyatkan bahwa penyampaian data dan
informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan
kerahasiaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan
informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana
PPATK dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem
informasi. PPATK dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, PPATK
berwenang:
a. Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak
Pelapor;
b. Menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak
pidana pencucian uang;
c. Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;
d. Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;
e. Memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban
pelaporan;
f. Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha
Pihak Pelapor; dan
g. Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi
Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.
PPATK sebagaimana Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam
rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat:
a. Meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;
b. Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
c. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan
hasil analisis PPATK;
d. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari
instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;
e. Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta,
baik di dalam maupun di luar negeri;
f. Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya
dugaan tindak pidana pencucian uang;
g. Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait
dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;
h. Merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya
dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan;
i. Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh
atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
j. Meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;
k. Mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
l. Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.
C. Tinjauan Tentang KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di
Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2011-2015 KPK dipimpin
oleh Ketua KPK Abraham Samad, bersama 4 orang wakil ketuanya, yakni
Zulkarnain, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dan Adnan.33
Badan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama tercatat dua kali dibentuk.
Pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini
disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan
Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data
mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah
ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi
33
keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara
langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi
langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir
tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya
kepada Kabinet Djuanda.34
Melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru
yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat,
yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktek korupsi dan kolusi.35
Alasan politis kembali menyebabkan terhambatnya, seperti Direktur Utama
Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum
ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi
ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih
Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya
oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu
oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan
34
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014
bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa
Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.36
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967,
Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas
korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu
seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung, namun ternyata ketidakseriusan TPK
mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk
Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.37
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa kekuatan ketika hasil temuan atas kasus korupsi
di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya
posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana
Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib)
dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di
kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin
menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.38
36
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014
Usaha pemberantasan korupsi di era reformasi, dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas
Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas
korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN,
dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur
masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya,
KPK merupakan lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.39
D. Tugas dan Wewenang KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat dengan KPK merupakan lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, berasaskan pada:40
39
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberatasan_Korupsi, diakses tanggal 01 Maret 2014
40
a. Kepastian hukum. Asas Kepastian Hukum merupakan asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-Undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
b. Keterbukaan. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
c. Akuntabilitas. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-Undangan yang berlaku.
d. Kepentingan umum. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif.
e. Proporsionalitas. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPK dalam hal melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana yang dimaksud
dalam tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka KPK berwenang:
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal melaksanakan tugas supervisi
berwenang pula melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan
KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Apabila Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyerahan tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dilakukan
dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan, sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka dan seluruh
berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan sebagai berikut:
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memberitahukan kepada penyidik atau
penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani jika ditemukan salah satu alasan sebagaimana yang dimaksud di atas.
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait; menghentikan sementara suatu transaksi
keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan
sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki
oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa;
g. Meminta bantuan interpol indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti
di luar negeri;
h. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
E. Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan
hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta
kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.41
Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) secara populer dapat
dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan
41
perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh
organisasi kriminal (organized crime) maupun individu yang melakukan tindakan
korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya dengan tujuan
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak
pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah
tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal.42 Keterlibatan
perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe
deposit box;
2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro;
3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
4. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada
bank yang bersangkutan;
5. Penggunaan fasilitas transfer atau eft;
6. Pemalsuan dokumen-dokumen l/c yang bekerjasama dengan oknum
pejabat bank terkait; dan
7. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Non-bank financial institution juga merupakan target yang tak kalah menarik bagi
para pelaku pencucian uang. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam beberapa
tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah terobosan
dengan mempergunakan lembaga keuangan non bank sebagai sarana pencucian
uang. Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para
pelaku dalam hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi
misalnya dapat dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan
suatu tahapan melakukan penempatan (placement) dan sekaligus memuat unsur
layering dan integration. Pengiriman uang melalui perusahaan pengiriman uang
(money transfer), placement pada lembaga pembiayaan dan venture capital serta
42
pelunasan pinjaman pada perusahaan sewa guna usaha (leasing) merupakan
modus-modus yang dapat digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan
menggunakan non-bank financial institution.43
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu:
1. Placement (penempatan)
Tahap ini merupakan menempatakan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas
kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem
keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian
uang tersebut masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan melalui
penyeludupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain,
menggabungkan antara uang tunai yang bersifat illegal itu dengan uang yang
diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam
deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan menstranfer ke dalam valuta
asing. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
a. Menempatkan dana pada bank;
b. Menyetorkan uang pada bank pada bank sebagai pembayaran kredit
untuk mengaburkan audit trail;
c. Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain;
d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah sehingga mengubah kas
menjadi kredit pembiayaan; dan
e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan
pribadi, membelikan hadiah yang nilainya tinggi/mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan
melalui bank atau perusahaaan jasa keuangan lain.44
43
Yunus Husein, Op.cit, hlm. 28
44Ibid