• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF DALAM PROSES PEMBUATAN PERATURAN DAERAH (Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF DALAM PROSES PEMBUATAN PERATURAN DAERAH (Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

RELATIONSHIP PATTERN BETWEEN EXECUTIVE AND LEGISLATIVE IN REGIONAL REGULATION WROUGHT OUT (The Study Toward Local Regulations Entertainment Tax of South Lampung

Regency in 2011)

By

Dwi Arum Setiyawati

In the beginning of the independence of the country, Regional Legislature had a weak power, they only could build an executive board called Regional Representative Board which is lead by an Head of the Region. After a Governance Act emerged, Regional Legislature has an equal level compared to the executive in making of regional regulationvosivisions. In that process, a good cooperative system is absolutely needed in order to gain an acceptability of the provision among the society, particulary in Entertainment Tax, because of the ability ini gaining revenue in regional income. The main problem of the research was “How

Is The Pattern of The Relationship Between the Executive and Legislative in Making Regional Regulation of 2011 Entertainment Tax in South Lampung Region”

(2)

The result was known that executive and legislative had same power in making the regional regulation, therefore emerged a partner-relationship grounded on a coorporative scheme and deliberation consensus. In determining the regulation, executive and legislative coorporatively worked refer simply to democracy and transparency, in order to avoid any fraudulence which could attempted to a conflict.

(3)

ABSTRAK

POLA HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF DALAM PROSES PEMBUATAN PERATURAN DAERAH

(Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh

DWI ARUM SETIYAWATI

Awal kemerdekaan posisi legislatif atau DPRD sangat lemah hanya berwenang memilih badan eksekutif dan bernama Badan Perwakilan Daerah (BPRD) yang diketuai oleh kepala daerah. Setelah diterbitkannya Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah maka kedudukan DPRD atau legislatif daerah menjadi seimbang dengan eksekutif daerah terutama dalam proses pembuatan peraturan daerah. Pada proses pembentukan peraturan daerah diperlukan suatu kerjasama yang baik antara pihak eksekutif daerah dengan legislatif daerah sehingga peraturan daerah tersebut dapat diterima dan bermanfaat oleh semua pihak terutama peraturan tentang Pajak Hiburan karena merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana Pola Hubungan Eksekutif Daerah dengan

(4)

Perumusan Pembuatan Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan Tahun 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari wawancara mendalam dan survey, sedangkan data sekunder didapat melalui dokumen-dokumen dan literatur-literatur.

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa dalam penetapan peraturan daerah antara Lembaga Eksekutif Kabupaten Lampung Selatan dengan Lembaga Legislatif Kabupaten Lampung Selatan mempunyai kedudukan yang sejajar sehingga menimbulkan suatu hubungan kemitraan yang bertumpu pada aspek kerjasama, komunikasi dan musyawarah mufakat. Pada proses penetapan Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan tahun 2011, pihak eksekutif dengan legislatif melakukan suatu hubungan yang baik dan berjalan secara searah dan bersifat positif sehingga tidak ada kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan atau menguntungkan satu pihak tertentu saja yang dapat menimbulkan suatu konflik.

(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia menganut sistem demokrasi dimana rakyat diberikan kebebasan dan hak dalam menjalankan tatanan kehidupan dan juga diberikan jaminan hukum agar warga negara dapat mengekspresikan aspirasinya secara maksimal dan terbuka. Proses demokratisasi di tingkat lokal juga sedang giat dicanangkan oleh pemerintah salah satunya dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia diyakini dapat menciptakan demokratisasi terutama pada hubungan pusat dan daerah, dalam bidang perencanaan juga dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Undang-undang tersebut merupakan langkah awal dalam menghilangkan kelemahan pemerintahan sentralistik pada masa yang lalu. Undang-undang yang telah diamandemen tersebut pada umumnya tidak berbeda jauh dengan undang-undang sebelumnya.

(6)

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah dimaksudkan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan potensi-potensi daerah yang ada dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan pembangunan daerah yang tidak lepas dari pengawasan pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan sebagian dari cita-cita reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang berorientasi kepada politik desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah juga dapat dilacak dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa ada dua nilai dasar berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara dan Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. (Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 2)

(7)

agar kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan saja (otoriter). Dalam hal tugas atau kekuasaan, rakyat mempunyai peran serta dalam menentukan suatu keputusan demi hajat hidup orang banyak. Salah satu ciri dari negara yang menganut paham demokratis adalah adanya pembagian kekuasaan dalam menjalankan kekuasaan.

Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah terutama oleh filsuf John Lock dan Montesquieu. John Lock dalam buku Ismail Suny (1985 : 20) memisahkan kekuasaan dalam tiap-tiap negara kedalam kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang) dan juga kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Kedua kekuasaan tersebut antara eksekutif dan juga yudikatif harus dipisahkan. Selain itu setiap negara mempunyai kekuasan-kekuasaan yang lain yang disebut juga kekuasaan federatif. Setengah abad kemudian seorang filsuf yang bernama Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’Espirit des Lois” menyempurnakan bahwa didalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Menurutnya ketiga kekuasaan ini harus dipisah satu sama lainnya.

Prof. Jennings membicarakan lebih lanjut tentang “Pemisahan Kekuasaan” dan

(8)

pemisahan kekuasaan dalam arti formal adalah bila pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak dipertahankan dengan tegas. (Sir Ivor Jennings, 1956 : 267).

Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menganut suatu sistem negara manapun, Seperti yang dikatakan Ismail Suny dalam bukunya yang berjudul Pembagian Kekuasaan Negara (1978 : 21) bahwa Indonesia menganut sistem pembagiankekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan sesuai konstitusi negara yang menjelaskan bahwa tidak adanya pemisahan kekuasaan negara, namun tidak terlepas dari ajaran Trias Politica. Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan–kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang-orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh orang yang berkuasa sehingga hak asasi warga negara tetap terjamin dan tidak terjadi kesewenang-wenangan dari para penguasa. Namun pada tanggal 5 Juli 1959 Indonesia meninggalkan Trias Politica dan kembali kepada konstituen yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Sistem parlementer dianut konsep pembagian kekuasaan sehingga pemerintah dilibatkan dalam pembahasan sebuah rancangan undang-undang. Misalnya dalam hal pembentukan undang-undang yang merupakan fungsi legislasi maka kepala pemerintahan dapat terlibat. Mekanisme check and balance (sistem pengawasan dan keseimbangan) dianggap sebagai landasan teoritik yang memperbolehkan adanya keterlibatan kewenangan antar lembaga Negara.

(9)

sebelumnya sehingga terjadi keseimbangan dalam menghasilkan sebuah keputusan atau kebijakan.

Check and balance merupakan sistem dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya dengan harapan bahwa masing-masing kekuasaan tidak saling melampaui batas kekuasaannya. Adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

(10)

Praktek penyelenggaraannya, pemerintahan daerah mampu menyusun dan melakasanakan mekanisme dalam menjalankan esensi otonomi daerah. Posisi eksekutif diduduki oleh kepala daerah atau kepala wilayah bersamaan dengan dinas-dinas terkait, sedangkan posisi legislatif diduduki oleh DPRD. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yakni DPRD adalah sebagai penyelenggara pemerintah daerah yang berkedudukan sebagai mitra dari pemerintah daerah. Kepala daerah dan dinas-dinas terkait merupakan pihak eksekutif. Pihak eksekutif mempunyai tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat. DPRD berkedudukan sebagai pihak legislatif. Eksekutif dan legislatif merupakan suatu mitra kerja yang berwewenang dalam merumuskan suatu kebijakan atau bahkan suatu produk hukum. Hal tersebut merupakan salah satu penerapan pelaksanaan demokratisasi. Eksekutif daerah dan juga legislatif daerah mempunyai kekuasaan, fungsi dan peran masing-masing. Sesuai dengan konsep Trias Politica namun antar kedua pihak tersebut dipisah-pisahkan namun dalam pelaksanaanya masih ada hubungan check and balance sehingga eksekutif dan legislatif dapat saling mengontrol antara satu sama lain.

(11)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 membuat hak-hak khusus yang dimiliki oleh DPRD, hak-hak tersebut antara lain adalah hak interpelasi, hak angket, hak mengadakan perubahan atas RAPERDA, hak resolusi, hak mengajukan RAPERDA, dan hak menetapkan peraturan tata tertib.

Pembentukan peraturan daerah eksekutif dan legislatif duduk bersama-sama dalam proses tersebut. Eksekutif dan legislatif mempunyai kedudukan yang sama agar lebih mudah untuk menjalin kerjasama yang serasi dalam kemitraan dan menggunakan sistem check and balance agar dapat saling mengontrol dan mengawasi antara satu sam lain. Pihak legislatif juga menyampaikan aspirasi masyarakat setempat karena pihak legislatif yaitu DPRD merupakan suatu wadah dalam penyampaian atau penampung aspirasi aspirasi masyarakat. Pemerintah pusat dalam hal ini tidak terkait atau tidak campur tangan dalam pembuatan keputusan itu, karena pemerintah daerah telah diberikan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) kecuali urusan pertahanan dan keamanan, urusan moneter, urusan agama, urusan peradilan dan juga urusan luar negeri.

(12)

Pulau Jawa. Lampung Selatan juga banyak memiliki tempat hiburan yang dapat menunjang perekonomian daerahnya. Untuk mengaturnya diperlukan sikap pemerintah agar dapat mengawasi dan memanfaatkan tempat hiburan yang ada guna menciptakan kesejahteraan masyarakatnya.

(13)

Tabel 1 : Produk Hukum Pemerintah Daerah Lampung Selatan tahun 2011

No. Nama Tentang

1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2011

RETRIBUSI IZIN GANGGUAN

2. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2011

RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

3. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 12 TAHUN 2011

PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN 4. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG

SELATAN NOMOR TAHUN 2011

RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN 5. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG

SELATAN NOMOR 19 TAHUN 2011

RETRIBUSI IZIN TRAYEK

6. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011

PAJAK PARKIR

7. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2011

RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN

8. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2011

PAJAK SARANG BURUNG WALET

9. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 18 TAHUN 2011

RETRIBUSI PENYEDIAAN DAN/ATAU PENYEDOTAN KAKUS

10. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 17 TAHUN 2011

RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN 11. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG

SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2011

RETRIBUSI PELAYANAN PASAR

12. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 09 TAHUN 2011

PAJAK REKLAME

13. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 06 TAHUN 2011

PAJAK RESTORAN

14. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2011

PAJAK PENERANGAN JALAN

15. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 03 TAHUN 2011

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN 16. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG

SELATAN NOMOR 08 TAHUN 2011

PAJAK HOTEL

17. PERATURAN DAERAH KABUPATEN

LAMPUNG SELATAN NOMOR 07 TAHUN 2011

PAJAK HIBURAN

18. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 05 TAHUN 2011

PAJAK AIR TANAH

19. PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 02 TAHUN 2011

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

(14)

Pembuatan peraturan daerah terutama tentang Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan tentang Pajak Hiburan, pihak eksekutif daerah dan legislatif daerah harus menciptakan suatu hubungan kemitraan yang baik dan juga harus menggunakan prinsip check and balance agar tercipta suatu hubungan yang baik. DPRD mempunyai kedudukan yang tidak kalah penting dengan pihak eksekutif dalam pembuatan sebuah peraturan. Namun pada kenyataan yang penulis temui pada pra riset (14 Mei 2012) bahwa seringkali kedudukan eksekutif mengalahkan kedudukan legislatif atau dengan kata lain eksekutif memiliki peran yang lebih besar (dominan) dibandingkan dengan pihak legislatif terutama dalam merancang sebuah keputusan. Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambrong (1995 : 131) mengatakan bahwa peran DPRD (legislatif) tidak seperti yang diharapkan (melemah), terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi lemahnya kedudukan DPRD sehingga lembaga eksekutif ini tidak sepenuhnya dapat menjalankan fungsinya.

(15)

Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan yang meliputi semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga (Darwin, 2010 : 120). Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang dituntun atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran.

(16)

Tabel 2 : Anggaran Pajak Daerah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011

Sumber : http://lampungselatankab.go.id/?q=APBD

Menurut harian online SIGAP, dalam kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas pelafon anggaran sementara (PPAS) APBD Lamsel tahun 2011 target PAD yang dipatok Pemkab sebesar Rp 37.886.861.750. Jumlah target PAD itu dihasilkan dari empat item pendapatan antara lain pajak daerah sebesar Rp 8.902.000.000 retribusi daerah Rp 21.723.922.750 hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan Rp 3.635.700.000 dan PAD lainnya yang sah sebesar Rp 3.625.239.000. Sedangkan pajak hiburan sendiri dianggarkan menyumbang sebesar Rp 30.000.000.

Melihat dari kecilnya kontribusi pajak hiburan tersebut pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan segera membuat suatu peraturan yang berkaian dengan pajak hiburan dengan tujuan untuk meningkatkan pemerolehan dana pajak hiburan yang nantinya akan berpengaruh terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Adapun objek pajak yang dipungut dari

No. Jenis Pajak APBD tahun 2011

1. Pajak Air Bawah Tanah 250,000,000.00 2. Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan 2,708,373,000.00

3. Pajak Hiburan 30,000,000.00

4. Pajak Hotel 60,000,000.00

5. Pajak Penerangan Jalan 8,800,000,000.00 6. Pajak Pengambilan dan Pengolahan

Bahan Galian Golongan C 1,500,000,000.00

7. Pajak Reklame 435,500,000.00

(17)

Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran. Hiburan yang dimaksudkan adalah berupa :

 Tontonan film,

 Pagelaran kesenian musik, tari dan/atau busana,  Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya,

 Pameran,

 Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya  Sirkus, akrobat, dan sulap,

 Permainan bilyar, golf, dan boling,

 Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan,

 Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran  Pertandingan olahraga.

(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah: “ Bagaimana Pola Hubungan Eksekutif Daerah dengan Legislatif Daerah Kabupaten Lampung Selatan dalam Perumusan Pembuatan Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan Tahun 2011”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pola Hubungan Eksekutif Daerah dengan Legislatif Daerah dalam Proses Perumusan Pembuatan Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan Tahun 2011.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai pola hubungan eksekutif daerah dengan legislatif daerah dalam perumusan pembuatan peraturan daerah tentang Pajak Hiburan.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Hubungan Eksekutif dengan Legislatif

1. Pengertian Hubungan

Menurut Tams Jayakusuma (2001:25) yang dikutip dari skripsi Erick Sidauruk (2010:18), hubungan adalah suatu kegiatan tertentu yang membawa akibat kepada kegiatan yang lain. Selain itu arti kata hubungan dapat juga dikatakan sebagai suatu proses, cara atau arahan yang menentukan atau menggambarkan suatu obyek tertentu yang membawa dampak atau pengaruh terhadap obyek lainnya. Menurut pengertian di atas yang dimaksud hubungan dalam penelitian ini adalah suatu proses interaksi dimana pihak satu dengan pihak lain saling berkaitan yang dapat membawa pengaruh baik di Lembaga Eksekutif maupun Legislatif.

2. Jenis Hubungan

Menurut pendapat Yukl sebagaimana dikutip dalam skripsi Erick sidauruk (2010 : 18) : Ada beberapa jenis hubungan organisasional, yaitu:

1. hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama menguasai pihak kedua.

(20)

3. hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua selevel dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.

Sistem hubungan kemitraan bertumpu pada kepercayaan, dengan ciri-cirinya antara lain:

a. persamaan dan organisasi yang lebih landai,

b. hirarki aktualisasi yang luwes (dimana kekuasaan dipedomani oleh nilai- nilai seperti caring dan caretaking),

c. spiritualitas yang berbasis alamiah,

d. tingkat kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem, dan e. persamaan dan keadilan gender.

Menurut Bryden et al dalam Sumartono (2005 : 16) mengemukakan bahwa keunggulan-keunggulan dalam hubungan kemitraan lokal terletak pada :

1. Persiapan dari strategi setempat yang melihat seluruh kebutuhan bagi pembangunan pedesaan di wilayah tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang tersedia untuk mencapai semua ini.

2. Pertimbangan tentang cara pemberian pelayanan yang lebih efektif, termasuk kerja bersama di antara mitra, penggunaan bersama atas gedung-gedung atau sumberdaya lainnya, dan pendekatan terpadu terhadap pemberian informasi kepada orang-orang setempat.

3. Penyediaan sebuah pusat untuk promosi tentang prakarsa masyarakat.

Selain yang disebutkan di atas, masih menurut Bryden et al dalam Sumartono (2005 : 17). Ada beberapa persyaratan bagi keberhasilan kerja dalam hubungan kemitraan, yaitu badan-badan dan departemen pemerintah dan masyarakat setempat sendiri. Selanjutnya ia mengajukan pedoman terselenggaranya proses kemitraan ini yang meliputi :

1. Pelatihan semua pihak yang terlibat.

2. Penggunaan yang hati-hati bahasa yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang-orang setempat.

3. Penggunaan contoh-contoh, akuntabilitas dan kepemerintahan yang terbuka, menjabarkan tujuan-tujuan ke dalam tugas-tugas yang mudah dicapai.

(21)

5. Adaptasi secara terus menerus untuk menghadapi perubahan-perubahan dan kebutuhan-kebutuhan baru.

3. Hubungan Eksekutif dengan Legislatif

Proses interaksi antara eksekutif dengan legislatif memiliki tahap-tahap seperti input-proses-output yang akan memberikan pengaruh bagi mekanisme terhadap keberlanjutan lembaga lainnya. Hubungan eksekutif dan legislatif ini memberikan pola bagi lancarnya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara luas. Siti Nurbaya menyebutkan bahwa ada tiga pola hubungan eksekutif dengan legislatif yang secara realistis dapat dikembangkan dan ketiga bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak, baik pihak eksekutif maupun legislatif. Ketiga bentuk hubungan itu adalah :

1. Bentuk komunikasi tukar menukar informasi.

2. Bentuk kerjasama atas beberapa subjek, program, masalah dan pengembangan regulasi.

3. Klarifikasi atas berbagai permasalahan. (Kaloh, 2007: 263)

Hubungan yang terjalin antara pihak satu dengan pihak lainnya pasti akan menimbulakn pola sehingga suatu dapat menciptakan suatu keputusan. Pada intinya pola hubungan antara eksekutif dengan legislatif terdiri dari tiga bentuk hubungan menurut Kaloh (2007 :266), yaitu :

1. Searah positif

(22)

berdasarkan keinginan dan harapan masyarakat serta memperlihatkan peraturan hukum yang ada.

2. Konflik

Bentuk hubungan konflik terjadi apabila kedua lembaga tersebut saling bertentangan dalam visi menyangkut tujuan kelembagaan serta tujuan daerah. Hal ini berwujud pada pertentangan yang dapat berakibat munculnya tindakan-tindakan yang tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pencapaian-pencapaian daerah itu secara keseluruhan.

3. Searah negatif

Bentuk hubungan searah negatif terjadi apabila baik eksekutif maupun legislatif berkolaborasi (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan bersama-sama menyembunyikan kolaborasi tersebut ke publik.

Pada prinsipnya urgensi jenis hubungan antara eksekutif dan legislatif tersebut meliputi hal-hal, yaitu : representasi, anggaran, pertanggungjawaban, pembuatan peraturan daerah, pengangkatan sekretaris daerah, pembinaan dan pengawasan. Kesemua hal tersebut akan berjalan sebagaimana yang diharapkan apabila baik, eksekutif dan legislatif mempunyai visi bersama yaitu suatu visi yang bukan saja menyangkut kelembagaan, tetapi individual mereka juga merasa benar-benar terikat (commited), karena hal tersebut mencerminkan visi pribadi mereka masing-masing. (Kaloh, 2007 : 266)

B. Tinjauan tentang Pembagian Kekuasaan

(23)

mempunyai kekuasan-kekuasaan yang lain yang disebut juga kekuasaan federatif. Setengah abad kemudian seorang filsuf yang bernama Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’Espirit des Lois” menyempurnakan bahwa

didalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Menurutnya tiga ketiga kekuasaan ini haus dipisah satu sama lainnya..

Jennings membicarakan lebih lanjut tentang “Pemisahan Kekuasaan” dan

membaginya kedalam dua pengertian yaitu pemisahan kekuasaan materil dan juga pemisahan kekuasaan dalam arti formil. Pemisahan kekuasaan materil adalah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas atau fungsi kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan dalam tiga bagian (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal adalah bila pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak dipertahankan dengan tegas. (Sir Ivor Jennings, 1956 : 267).

(24)

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang. Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan. Menurut ajaran Trias Politica tersebut, kekuasaan Negara itu harus dipisah pisahkan dan dan masing-masing dilakuakan oleh organ tersendiri. Pemisahan kekuasaan itu bukan hanya dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan satu sama lain, tetapi harus pula diserahkan dan dilakukan oleh organ-organ negara yang terpisah. Adanya pemisahan kekuasan negara itu tidak berada pada satu tangan atau organ saja., sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan penyalahgunaan oleh organ tersebut.

(25)

Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba). Pada tanggal 5 Juli 1959 Indonesia meninggalkan Trias Politica dan kembali kepada konstituen yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebenarnya pada Undang-undang-Undang-undang tersebut tidak mengatur bahwa badan eksekutif terpisah dari badan legislatif. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Ismail Suny (1978 : 23) bahwa pada Orde Baru di DPR dan MPR terdapat orang-orang atau badan-badan yang sama dan merupakan bagian dari kedua badan eksekutif dan legislatif itu

Ismail Suny menjelaskan bahwa sebenarnya di dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945 tidak ada ketentuan yang memungkinkan pemerintah membubarkan parlemen. Badan legislatif walaupun tidak sepenuhnya masih dapat mengontrol badan eksekutif, sedangkan badan eksekutif tidak dapat mengontrol badan legislatif. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1950, disini disebutkan bahwa badan legislatif dapat mengontrol badan eksekutif dan sebaliknya badan eksekutif dapat mengontrol badan legislatif. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa eksekutif dapat melaksanakan fungsi legislatif serta tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif.

(26)

tegas. Dengan kata lain Indonesia terdapat pembagian kekuasaan yang tidak menekankan pada pemisahannya (bukan pemisahan kekuasaan).

C. Tinajauan tentang Eksekutif Daerah

Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Menurut Austin Ranney eksekutif adalah para pejabat politik yang memegang peranan pelaksanaan kebijakan dimana mereka dipilih atau diangkat untuk waktu terbatas dengan tugas memprakarsai kebijakan serta mengggerakkan kerja Birokrasi. Menurut John Lock kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.

Miriam Budiardjo, 295 menerangkan bahwa tugas badan eksekutif menurut tafsiran tradisional asas Trias Politica, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi dalam pelaksanaannya badan eksekutif leluasa sekali ruang geraknya. Zaman modern telah menimbulkan paradox bahwa lebih banyak undang-undang yang diterima oleh badan legislatif dan yang harus dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eksekutifnya.

Austin Ranney dalam The Governing of Men 1966 menyatakan bahwa :

(27)

badan eksekutif sudah mengganti badan legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama.”

Dikaitkan dengan pemerintah daerah, bidang eksekutif adalah wewenang dan tanggung jawab dari kepala daerah beserta perangkat administrasi negara dalam lingkungan pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah pimpinan eksekutif di lingkungan pemerintahan daerah. Kepala daerah propinsi adalah Gubernur, kepala daerah kabupaten adalah Bupati dan kepala daerah kota adalah Walikota. (Sirajuddin Fatkhurohman Zulkarnain, 2007 : 95)

“Kepala daerah dam wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan

calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil” (Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 Pasal 56)

Kedudukan kepala daerah (eksekutif) pada dasarnya sangat kuat dibandingkan dengan DPRD (legislatif). Setidaknya ada dua alasan mendasar mengapa kepala daerah memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Pertama adalah karena adanya pemilihan langsung kepala daerah oleh masyarakat sehingga memberikan legistimasi yang besar kepada kepala daerah. Kedua adalah tidak lagi akuntabel kepada DPRD melainkan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.

(28)

dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah dan perangkat daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat yang persyaratannya dan tatacaranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi yang merupakan fungsi kepala daerah untuk menyerapan aspirasi masyarakat, peningkatan partisipasi serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat.

(29)

pusat di daerah. Dengan kedua fungsi tersebut kepala daerah , harus mengamankan juga program-program pemerintah di daerah, sehingga dalam pengangkatan kepala daerah dikonsultasikan kepada pemerintah pusat untuk menentukan siapa yang pantas dan memenuhi syarat sebagai kepala daerah. (Sudono Syueb : 58)

Kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah memiliki kewenangan tindakan pemerintahan sebagai kepala daerah otonom maupun kepala wilayah. Kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah melaksanakan kewenangan atribusi, delegasi dan mandat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 26 kepala. daerah mempunyai tugas dan wewenang:

 memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

 mengajukan rancangan Perda;

 menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;  menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada

DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;  mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

 mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan

 melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(30)

Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyususnan Hukum Daerah)

D. Tinjauan tentang Legislatif Daerah .

Badan legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu yaitu legislate, yang artinya membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk membicarkan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliament,

suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan.

Sebutan lain mengutamakan representasi dan keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan People Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apapun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat. (Miriam Budiardjo 2008: 315).

Lembaga legislatif daerah diduduki oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Untuk mewujudkan cita-cita demokrasi atau kedaulatan rakyat di daerah, maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat daerah. Menurut sejarahnya, kedudukan dan wewenang DPRD menurut konstitusi di Indonesia mengalami pasang surut. Pada awal kemerdekaan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 yang diterbitkan tanggal 23 November 1945 menyebutkan DPRD yang pada saat itu bernama Badan Perwakilan Daerah (BPRD) dipimpin oleh kepala daerah, yang sekaligus adalah aparat pusat. Jadi sangat jelas bagaimana sangat lemahnya kedudukan DPRD saat itu, begitu pula wewenangnya”. (Nur

(31)

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 barulah kedudukan dan wewenang DPRD terangkai pesat. Berdasarkan undang-undang ini DPR memegang kekuasaan pemerintah daerah. Di sana disebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pertimbangan Daerah yang diketuai oleh kepala daerah dan kekuasaan pemerintah daerah ada di tangan DPRD. Sedangkan DPD bertanggung jawab kepada DPRD. Ini berarti kedudukan DPRD lebih tinggi ketimbang Kepala Daerah. (Nur Aini, 2004 : 135-154)

Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1956 menyebutkan kewenangan DPRD bahwa kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD. Bahkan kepala daerah dinyatakan sebagai alat daerah dan pusat. Dengan ini maka tersirat bahwa DPRD berada dibawah kepala daerah karena kedudukannya sebagai alat pusat. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1959 yang kemudian terbit menetapkan bahwa DPRD dan kepala daerah adalah pemerintah daerah. Mensejajarkan DPRD dengan kepala daerah sebagai mitra, bukan berarti mengangkat lembaga ini pada posisi yang lebih baik dalam pemerintahan daerah, tapi justru melepaskan lembaga ini dari fungsinya sebagai institusi demokrasi di daerah. (A. Syaukani HR, Afan Gaffar dan M. Ryaas Rasjid, 2002)

(32)

DPRD sebagai sebagai lembaga legislatif daerah yang anggotanya dipilih oleh masyarakat daerah, merupakan tumpukan masyarakat agar apresiasinya diakomodasikan. Dalam pasal 22 butir c, d dan e secara tegas dinyatakan bahwa DPRD mempunyai kewajiban membina demokrasi dalam penyelenggaan pemerintah daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah berdasarkan demokrasi ekonomi, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD mempunyai kewajiban :

1. mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

2. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;

3. mempertahankan dn memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI;

4. memperjuangkan kesejahteraan rakyat di daerah;

5. menyerap, menampung, mengimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

6. mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;

7. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerja selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya;

8. menaati Peratura Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah atau janji anggota DPRD;

9. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dan lembaga yang terkait.

(33)

1. Mengusulkan pengankatan atau pemberhentian gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan juga walikota/wakil walikota.

2. Bersama-sama gubernur, bupati dan walikota menetapkan APBD dan membentuk Peraturan Daerah.

3. Mengawasi pelaksanaan peraturan daerah, keputusan gubernur /bupati/ walikota, APBD, kebijaksanaan pemerintah daerah, kerjasama

internasional, dan berbagai peraturan perundang-undangan pada umumnya.

4. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atas suatu perjanjian internasional yang menyangkut kepenyingan daerah. 5. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, selain hak-hak diatas, DPRD juga mempunyai berbagai hak lain menurut Bagir Manan (2001 : 114-125), yaitu :

1. Hak meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah (Hak Interpelasi) adalah hak meminta keterangan merupakan hak dewan bukan hak anggota, karena itu kehendak dan materi keterangan yang diminta harus terlebuh dahulu diputus oleh DPRD. Demikian pula keputusan atas keterangan itu. Karena merupakan hak DPRD, keterangan kepala daerah harus disampaikan dalam rapat-rapat DPRD dan harus diputuskan secara terbuka.

2. Hak mengadakan penyelidikan (hak angket) adalah hak penyelidikan DPRD ditujukan untuk menyelidiki keadaan pemerintahan baik dalam rangka mengetahui pelaksanaan pemerintahan baik dalam rangka mencari bahan-bahan untuk merumuskan kebijakan. Hal penyelidikan dapat melibatkan sekaligus segala unsure dalam pemerintahan daerah maupun diluarnya baik instansi pemerintah daerah yang lain maupun anggota masyarakat umum.

3. Hak mengadakan perubahan atas rancangan peraturan daerah (RAPERDA) adalah hak unutuk mengadakan perubahan atas Raperda jarang bahkan tidak pernah dilaksanakan. Perubahan-perubahan Raperda dilakukan melalui pembahasan bersama dalam rapat kerja antara DPRD dan Pemerintah daerah.

4. Hak mengajukan pernyataan pendapat (Resolusi) adalah hak mengajukan pernyataan pendapat hanya memiliki kekuatan etik, walaupun demikian menjadi langkah awal menuju penggunaan hak-hak yang lain seperti hak untuk meminta keterangan, melakukan penyelidikan dan lain sebagainya. 5. Hak mengajukan RAPERDA adalah hak mengajukan perubahan Raperda

disebut juga juga dengan hak inisiatif. Hak ini dimiliki oleh DPRD untuk mengajukan Raperda.

(34)

tangga, peraturan tata tertib bersifat internal dan semata-mata membuat mekanisme tata kerja atau tata laksana.

Menurut Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 05 tahun 2012 alat kelengkapan DPRD di Lampung Selatan terdiri dari Badan Musyawarah, Badan Anggaran, Badan Legislasi, Badan Kehormatan dan Komisi-komisi. Adapun tugas-tugas dari badan-badan tersebut menurut Miriam Budiardjo dan Ibrahim Ambong (1995 : 131-141) adalah sebagai berikut :

1. Badan Musyawarah

Tugas Badan Musyawarah adalah sebagai berikut :

 Memberikan pertimbangan atau saran kepada Pimpinan Dewan tentang

penetapan acara sidang serta pelaksananya;

 Mengambil keputusan, jika timbul perbedaan pendapat tentang isi

risalah;

 Member saran atau penimbangan kepada Pimpinan Dewan untuk

melancarkan pembicaraan atas dasar musyawarah untuk mufakat;  Bermusyawarah dengan Kepala Daerah tentang hal-hal yang berkaitan

dengan penetapan acara serta pelaksanaannya, apabila hal ini dianggap perlu oleh Dewan atau jika diminta oleh Kepala Daerah.

2. Badan Anggaran

Tugas Badan Anggaran adalah sebagai berikut :

 Memberikan saran untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

(35)

 Membantu Kepala Daerah dalam menyusun Nota Perubahan atau RPD

dalam hal ini RAPBD;

 Memberikan pendapat kepada Dewan mengenai Nota Keuangan dan

RAPBD yang oleh Kepala Daerah disampaikan kepada Dewan 3. Badan Legislasi

Tugas Badan Legislasi adalah sebagai berikut :

 Menyusun rancangan Prolegda yang memuat daftar urutan dan

prioritas rancangan Perda beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPRD;

 Mengkoordinasi penyusunan Prolegda antara DPRD dan pemerintah

daerah;

 Menyiapkan rancangan Perda Uuul DPRD berdasarkan program

prioritas yang telah ditetapkan;

 Melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi

rancangan Perda yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan Perda tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD

 Memberikan pertimbangan terhadap rancangan Perda yang diajukan

oleh anggota, komisi dan/atau gabungan komisi, diluar priorotas rancangan Perda yang terdaftar dalam Prolegda;

 Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap

(36)

 Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas rancangan Perda

yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah;

 Membuat laporan kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik

yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.

4. Badan Kehormatan

Tugas Badan Kehormatan adalah sebagai berikut :

 Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan moral para anggota

DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD;

 Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota badan DPRD

terhadap Peraturan Tata Tertib dan Kode Edik DPRD serta sumpah atau janti;

 Melakukan penyelidikan, verivikasi dan klarifikasi atas pengaduan

pimpinan DPRD, masyarakat dan/atau wakil pemilih;

 Menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verivikasi dan

klarifikasi sebagaimana dimaksud pada poin diatas. 5. Komisi-komisi

Komisi di DPRD Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari :  Komisi A (Bagian Pemerintahan);

 Komisi B (Bagian Keuangan);

 Komisi C (Bagian Pembangunan);

(37)

E. Peraturan Daerah (Perda)

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/walikota). Menurut Maria farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan 202-203 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan yang dibentuk oleh Bupati atau Walikota/Kepala Daerah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yaitu Bupati atau Walikota/Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/Kota.

(38)

hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang perda.

Pelaksanaan kewenangan mengurus kepentingan masyarakat, maka Kepala daerah bersama-sama dengan DPRD menetapkan Peraturan Daerah (PERDA). Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur beberapa prinsip mengenai PERDA :

1. DPRD membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

2. Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD;

3. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperlihatkan cirri khas masing-masing daerah;

4. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

5. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima puluh jiuta rupiah;

(39)

7. Perda diundangkan dalam lembaran daerah dan peraturan kepala daerah dimuat dalam berita daerah;

8. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat penyidik pelanggaan Perda (PPNS Perda dan peraturan kepala daerah).

(40)

1. Mekanisme Pembuatan Peraturan Daerah

Berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.23 tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah menyatakan bahwa inisiatif pembentukan peraturan yang berasal dari kepala daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah dan Bagian Hukum denga mekanisme sebagai berikut :

1. Rancangan Peraturan Daerah disusun oleh pemimpin unit kerja berkaitan dengan materi muatan yang akan diatur dan dirancang peraturan daerah dapat dibentuk tim agar unit kerja dimana ketua tim berasal dari pimpinan unit kerja yang ditunjuk oleh kepala daerah. 2. Konsep rancangan peraturan daerah yang dilakukan oleh unit kerja

harus dilampiri dengan pokok-pokok pikiran yang terdiri dari : maksud dan tujuan pengaturan, dasar hukum, materi yang akan diatur dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

3. Konsep yang telah disusun oleh unit kerja disampaikan kepada sekretariat daerah melalui bagian hukum, kemudian sekretariat daerah menugaskan kepada biro hukum untuk melakuakan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan.

(41)

5. Bagian hukum menyusun penyempurnaan (konsep final) untuk diteruskan kepada kepala daerah kemudian kepala daerah mengadakan pemeriksaan dengan dibantu sekretaris daerah.

6. Konsep rancangan peraturan daerah yang telah disetujui oleh kepala daerah berubah menjadi rancangan peraturan daerah.

7. Rancangan peraturan daerah disampaikan kepada kepala daerah kepada ketua DPRD disertai pengantar untuk memperoleh persetujuan dewan.

(42)

Sumber : Bagian Hukum DPRD Kabupaten Lmapung Selatan Gambar 1 : Proses Penyusunan Perda

(43)

F. Tinjauan tentang Pajak Hiburan

1. Pengertian Pajak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.

Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani dikutip dari Drs. Darwin., MBp (2010 : 16) adalah :

“iuran kepada Negara yang dapat dipaksakan yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”

Sedangkan menurut Perda Kabupaten Lampung Selatan No.7 tahun 2011 pajak meupakan kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa yang berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Beberapa ciri yang melekat dalam pengertian pajak menurut Drs. Darwin., MBP (2010 : 16-17) adalah sebagai berikut :

(44)

DPR dan pajak yang dipungut tanpa adanya undang-undang yang disetujui DPR adalah perampokan negara atau aparatnya”.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. Dengan kata lain tidak ada balas jasa langsung kepada pembayar pajak.

3. Pajak dipungut negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi publik.

5. Pajak mempunyai dua fungsi yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend.

2. Jenis Pajak

Ada dua macam jenis pajak menurut Darwin (2010 : 16-105) antara lain :

a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Pajak. Pajak pusat ini secara garis besar dapat dibagi atas pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung yaitu jenis pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeser oleh pihak lain seperti Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan pajak tidak langsung adalah jenis pajak yang beban pajaknya dapat digeserkan kepada pihak lain seperti Pajak Pertambahan Nilai, Bea Masuk, Cukai dan sejenisnya.

(45)

3. Pajak Hiburan

Dalam penelitian ini, pajak yang dimaksud adalah berupa Pajak Hiburan. Menurut Darwin (2010 : 120) pajak hiburan adalah pajak atas jasa penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang dituntun atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran yang meliputi :

 Tontonan film,

 Pagelaran kesenian musik, tari dan/atau busana,  Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya,

 Pameran,

 Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya  Sirkus, akrobat, dan sulap,

 Permainan bilyar, golf, dan boling,

 Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan,  Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran

 Pertandingan olahraga.

(46)

diselenggarakan. Sedangkan wajib pakajnya adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan atau tontonan.

G. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah konsep yang terdiri dari hubungan antara sebab akibat atau kausal hipotesa antar variabel bebas dan variabel terikat atau tidak bebas dalam rangka memberikan jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang diselidiki, (Sukardi, 2005:92). Penyelenggara Pemerintahan Daerah terdiri dari Lembaga Eksekutif Daerah (Kepala Daerah dan Perangkat Daerah) dan Lembaga Legislatif Daerah (Dewan Perwakilan Rakyar Daerah). Dalam penetapan peraturan daerah mengenai pajak daerah, antara pihak eksekutif dengan pihak legislatif terjalin suatu hubungan kemitraan. Hubungan yang dimaksud dalam hal ini merupakan mitra yang sejajar, yang bertumpu pada rasa kerjasama, komunikasi dan musyawarah mufakat. Hubungan Lembaga Lembaga Eksekutif Daerah (Kepala Daerah dan Perangkat Daerah) dan Lembaga Legislatif Daerah (Dewan Perwakilan Rakyar Daerah) diatur lebih jauh dalam Undang-undang tentang peraturan daerah, sehingga dua lembaga ini mempunyai tugas, hak dan kewajiban dalam penetapan peraturan desa mengenai proses pembuatan peraturan daerah.. Hak, tugas dan kewajiban itulah yang diharap menciptakan hubungan kedua lembaga dalam bentuk kerja sama bagi pembuatan peraturan daerah

(47)
(48)

Kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan Kerangka Pikir Pola Hubungan Eksekutif Daerah dengan Legislatif Daerah dalam Proses Pembuatan Peraturan daerah tentang Pajak Hiburan tahun 2011

UU No. 32 Tahun 2004

Antara pihak pertama (eksekutif) dan kedua (legislative) selevel dimana mereka bertumpu berdasarkan aspek kerjasama, komunikasi dan

musyawarah mufakat

Penetapan Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan

Bentuk Hubungan :

(49)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

(50)

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas maka penulis dapat mengajukan beberapa saran yang harapannya akan mendapatkan perhatian dari pihak terkait sehubungan dengan penulisan ini, yaitu :

1. Eksekutif dan legislatif daerah merupakan mitra yang penting dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, seharusnya antara kedua lembaga tersebut perlu meningkatkan aspek kerjasama, komunikasi yang baik serta menerapkan asas musyawarah mufakat sehingga dapat menimbulkan suatu hubungan yang bersifat positif baik dalam proses perumusan peraturan daerah maupun sebagai pelaksana pemerintahan daerah.

(51)

POLA HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF DALAM

PROSES PEMBUATAN PERATURAN DAERAH

(Studi pada Perda Pajak Hiburan tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)

OLEH

Dwi Arum Setiyawati

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(52)

POLA HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF DALAM PROSES PEMBUATAN PERATURAN DAERAH

(Studi pada Perda Pajak Hiburan tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)

(Skripsi)

Oleh

DWI ARUM SETIYAWATI

ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

Tabel Halaman

1. Produk Hukum ... 9

2. Anggaran Pajak Daerah Kabupaten Lampung Selatan ... 12

3. Daftar Nama Kecamatan Kabupaten Lampung Selatan ... 59

(54)
(55)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H …………

Penguji

Bukan Pembimbing : Drs. Yana Ekana PS, M.Si. ………….

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. NIP. 195880109 198603 1 002

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aini Nurul, 2004. DPRD dan Demokratisasi Pemerintahan Daerah. Jakarta. LIPI Press.

Budiardjo, Miriam. 1995. Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dasar-Dasar Ilmu Politik. 2008. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Darwin, MBP, 2010. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta. Mitra Wacana

Media

Faishal, Sanafiah. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta

Farida Indarti Maria,2007. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta. Kanisius.

Fatkhurohman Sirajuddin Zulkarnain. 2007. Legislative Drafting. Malang. Yappika.

J. Keloh, 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta. PT. Rineka Cipta Jennings, Sir Ivor. 1956. The Law and the Contitution. London

Kuncoro Mudrajad, 2005. Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal.

Jakarta. Pustaka LP3ES.

Locke, John. 1884. Two Treatises on Civil Government. London.

Manan, Bagir. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta. Pusat Studi Hukum FH UII.

Mattew Milles dan Huberman, 1992. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta. UGM Press.

(57)

Nazir,Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Singarimbun, Masri dan S. Effendi, 2000. Metode Penelitian Survey. Jakarta, LP3ES

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif R dan D. Alfabeta. Bandung. Suny Ismail, 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta. Aksara Baru. Stefanus, Kotan Y., 1998 Perkembangan Pemerintahan Kekuasaan Negara.

Yogyakarta. Universitas Atmajaya

Syaukani HR, Affan Gaffar dan M. Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Dokumen

UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 07 tentang Pajak Hiburan

Disertasi/Tesis/Skripsi

Erick, Sidauruk. 2010. Hubungan Eksekutif Desa dengan Legislatif Desa dalam Penetapan Peraturan Desa Tentang Pembangunan Fisik Desa Marga Kaya. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung

Fitri Juliana Sanjaya, 2011. Hubungan Eksekutif dengan Legislatif pada Penyususnan APBD tahun 2010 Kabupaten Lampung Timur dalam Perspektif Agency Theory. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tajudin. 2002. Hubungan Legislatif dan Eksekutif Derah dalam Proses

(58)

http://www.radarlampung.co.id/read/lampung-raya/tuba-barat-mesuji/47108-

(59)

MOTTO

“ALLAH is sufficient for us”

(QS 3 : 173)

“I don’t care if you’re black, white, straight, short, tall, fat,

skinny, rich or poor. If you’re nice to me, I’ll be nice to you.

Simple as that”

(Eminem)

Berbuat baiklah selagi kamu masih bi

sa berbuat baik

(Penulis)

“Dreaming premist each and everyone of us to be quietly and

safety insane every night of ours live”

(William Dement)

“If you can imagine IT, you can achieve

IT. If you can dream IT, you can become

(60)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di Universitas Lampung maupun diperguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan tidak benar dalam pernyataan ini, saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, 7 November 2012

(61)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan hasil karya yang sederhana untuk

orang-orang terkasih

“Bapak dan Ibu”

Dua orang yang sangat aku cintai, dua orang yang telah

meberikan semangat dan motivasi dihidupku, dua orang yang

selalu sabar dalam menghadapi keluh kesahku, dua orang

yang telah mengasuh membesarkankanku. Dear Mom and

Dad, Thanks for the giving me much of love.

I’ll do my

best for you

“Kedua Adikku”

Ela dan Adit terima kasih atas curahan kasih saying

yang kalian berikan,

I really love you both.

Seluruh keluarga besarku dan sahabat-sahabatku yang telah

memberikan dukungan kepadadu, serta memberikan warna

dalam hidupku.

(62)

Judul Skripsi : POLA HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF DALAM PROSE PEMBUATAN PERATURAN DAERAH

(Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)

Nama Mahasiswa : Dwi Arum Setiyawati Nomor Pokok Mahasiswa : 0816021027

Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H. NIP.19570728 198703 1 006

2. Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan

(63)

RIWAYAT HIDUP

(64)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim,

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayat-Nya, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penulis menyadari bahwa isi yang tersaji dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, dengan segala keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pola Hubungan Eksekutif dengan Legislatif dalam Proses Pembuatan

Peraturan Daerah (Studi pada Perda Pajak Hiburan tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

(65)

sesama.

3. Bapak Drs. Denden Kurnia Derajat, M.Si. selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Terima kasih pak atas saran dan masukannya selama ini.

4. Bapak Drs. Yana Ekana P.S, M.Si. selaku dosen pembahas dan penguji serta dosen PA yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan motivasi, masukan serta arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

5. Seluruh Jajaran Dosen Pengajar, ibu Ari Darmastuti, Ibu Dwi Wahyu, Ibu Tabah, Pak Agus, Pak Sigit, Pak Pitojo, Pak Ismono, Pak Piping, Pak Maulana, Pak Syafar, Pak Robi, Pak Wondo, Pak Budi, Pak Syarif, Bang Arizka, Bang Darmawan, Bang Himawan serta dosen-dosen lain, terima kasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan. Mohon maaf apabila banyak hal yang kurang berkenan. 6. Seluruh staf administrasi dan karyawan di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Lampung yang tidak dapat ditulis satu persatu, terima kasih telah benyak memberikan ilmu dan bantuannya selama Peneliti menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan.

(66)

8. Teristimewa yang sangat ku cintai kepada orang tuaku yang telah memberi kasih sayang, perhatian, motivasi, serta materi yang tidak akan pernah terbayarkan dengan apapun, terima kasih atas dukungan bapak dan ibu selama ini. Thank you so much.

9. Kepada adik-adikku yang tercinta “Lela Tri Indriani” terima kasih udah jadi temen curhat, temen hang out, temen bobo kalo lagi ketakutan, temen berantem,

and so thanks for you’re love sista dan “Muhammad Raditya Nugroho” dedek

mba yang katanya ganteng makasih ya udah ngasih keceriaan di keluarga, makasih dek udah sering belain mba kl berantem sm mb ela, sering ngingetin mba kl ada film korea hhe. Mb sayang dedek.

10. Kepada sepupu-sepupuku yang kece-kece Rizky Yulian Saputra, Wikan Ilham, Hanin, Wanda, dek Felix Pakto, Bulek, Pakde dan semua keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semangat dan perhatian yang telah diberikan.

(67)

Juga untuk Icut, Cita, Aa’ terima kasih atas bantuannya selama ini ya  .

13. Seluruh sahabat-sahabat Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2008, Doy (pliss angongnya kurangin), Nira (mau lulus kapan??), Alvin (ayook hunting foto :p), Pey (tolong yah jgn ikutan angong), Tio, Wahyu, Mbe, Galyh, Felix, Mamas, Aris Eko (sahabat woles tercintaa), Nindi (semangat ya ngejer *ini), Nora & Hendra (Perangko aja kalah sm lo be-2), Tommy (may nyenyong yok), Shely (hai teman seperjuangankuuh), Putri & Andri (langgeng ya), Andri Marta, Baretha, Eva, Dedi, (finally, I’m the next S.I.P ya guys), Reni (mak kucingnya

buat gw sih), Mei (pengen k lambar lagi), Ari (yee, kan bener yg lulus gw duluan :p), Nanda (mana nda gamis buat gw hha), Ayu (semangat terus mb hijabes), Janto (don’t give up), Iksan (kl nikah sm mahayu undang gw ya), Suhada (keep

(68)

14. Orang-orang yang telah membantuku, serta orang-orang yang pernah hadir dalam dalam hidupku mohon maaf apabila ada nama yang penulis tidak cantumkan.

Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Akirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Bandar Lampung, 7 November 2012 Peneliti,

Gambar

Tabel 2 : Anggaran Pajak Daerah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011
Gambar 1 : Proses Penyusunan Perda
Gambar 2. Bagan Kerangka Pikir Pola Hubungan Eksekutif Daerah dengan Legislatif Daerah dalam Proses Pembuatan Peraturan daerah tentang Pajak Hiburan tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait