• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN TEMBAK DI TEMPAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN TEMBAK DI TEMPAT"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penegakan hukum pidana diberikan kewenangan di antaranya kewenangan untuk menembak dengan senjata api atau lebih sering dikenal dengan kewenangan tembak di tempat. Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya oleh anggota Polri agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia? (2) Bagaimanakah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Kepolisian Daerah Lampung, Pegawai Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Lampung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(2)

dan pendataan terhadap anggota Polri yang memegang senjata api, sehingga dapat diantisipasi dan ditempuh langkah-langkah kongkrit pencegahan penyalahgunaan senjata api oleh anggota kepolisian. (2) Perlu diberikan tindakan dan hukuman tegas kepada anggota polri yang terbukti menyalahgunakan senjata api, hal ini akan memberikan efek jera dan sebagai pelajaran bagi anggota polri lainnya agar tidak menyalahgunakan senjata api. (3) Perlu ditingkatkan kedisiplinan dalam melaksanakan prosedur penggunaan senjata api ketika melaksanakan tugas di lapangan. Selain itu anggota kepolisian yang memegang senjata api hendaknya mampu memisahkan kepentingan dinas dan permasalahan pribadi atau keluarga secara proporsional, sehingga tidak berpengaruh negatif pada pelaksanaan tugas-tugas kepolisian, terutama yang dapat berpotensi penyalahgunaan senjata api.

(3)

KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN

TEMBAK DI TEMPAT (Skripsi)

Oleh

ANAND FAIZA BERLIAN

0912011007

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 5

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Polri ... 16

B. Pengertian Tembak di Tempat dan Alasan Polri Berkaitan Instruksi Tembak di Tempat ... 20

C. Dasar Hukum Instruksi Tembak di Tempat ... 22

D. Kebijakan Tembak di Tempat Dihubungkan dengan HAM ... 31

III METODE PENELITIAN ... 43

A. Pendekatan Masalah ... 43

B. Sumber dan Jenis Data ... 43

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 45

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 45

E. Prosedur Pengolahan Data ... 46

(5)

A. Karakteristik Responden ... 48

B. Pengaturan Kewenangan Tembak di Tempat yang Dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 49

C. Kewenangan Yang Dimiliki Kepolisian Republik Indonesia Dalam Pelaksanaan Tembak di Tempat ... 59

V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003

(7)

Judul Skripsi : KEWENANGAN YANG DIMILIKI KEPOLISIAN

REPUBLIK INDONESIA DALAM

PELAKSANAAN TEMBAK DI TEMPAT

Nama Mahasiswa : ANAND FAIZA BERLIAN

No. Pokok Mahasiswa : 0912011007

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H.

NIP. 19631217 198803 2 003

Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H.

(8)

MOTTO

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah

dilaksanakan / diperbuatnya

(Ali Bin Abi Thalib)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit

kembali setiap kali kita jatuh

(Confusius)

Tidak ada kekayaan yang melebihi akal dan tidak ada kemelaratan yang

melebihi kebodohan

(9)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT

atas Rahmat dan Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah

Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayah dan Ibu,

sebagai orang tua tercinta penulis yang telah mendidik, membesarkan

dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan

kasih sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus

untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Kakak dan adikku tercinta

Adhitya Berlian, Dipo Satria berlian dan Athira Azzahra,

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju

memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi

dari sekarang.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 18 Desember 1990,

merupakan putra ketiga, anak ketiga dari empat bersaudara,

pasangan Bapak Hudiani Berlian dan Ibu Rosnawati.

Penulis menempuh pendidikan TK Pertiwi Teladan Kota Metro selesai pada tahun

1997, Sekolah Dasar (SD) Teladan Kota Metro diselesaikan pada Tahun 2003,

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kota Metro diselesaikan pada tahun

2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 1 Kota Metro diselesaikan pada

Tahun 2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian

(11)

i

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan

skripsi berjudul: Kewenangan Yang Dimiliki Kepolisian Republik Indonesia Dalam Pelaksanaan Tembak Di Tempat, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan

terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembahas I Skripsi, yang

memberikan saran dan kritik dalam penulisan Skripsi ini.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing I, atas

kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses

(12)

ii

ini.

5. Bapak A. Irzal Ferdiansyah, S.H., M.H., selaku Pembahas II, atas masukan

dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini.

6. Bapak Charles Jackson, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan masukan dan saran yang diberikan selama menempuh studi.

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah lampung beserta

segenap jajarannya yang telah memberikan izin penelitian serta bantuan

kepada penulis selama proses penelitian.

10.Kepala Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI Kantor

Wilayah Lampung beserta segenap jajarannya yang telah memberikan izin

penelitian serta bantuan kepada penulis selama proses penelitian.

11.Nenekku Tercinta Alm. Siti Zainab yang selalu memberikan dukungan dan

support kepadaku selama menjalani studi, sebelum akhirnya Nenekku

Meninggal Dunia.

12.Keluarga Besar Siwa Gilir Tercinta, Umik, Semuhun, Razaa, Lati anah,

Maksu, Pak muda, Pak ami, Ohti, Ibu, Uda Aci, Abah, Papah, dan yang tidak

(13)

iii

tidak bisa disebutkan satu persatu.

14.Teman wanita terdekatku Ika Meyta Sari yang selalu memberikan dukungan

dan support kepadaku selama menjalani studi.

15.Seluruh teman-teman angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana

2009 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

16.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan

dukungannya.

17.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan

mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2013

Penulis

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sejak terpisah dari Tentara Nasional

Indonesia (TNI) berdasarkan Ketetapan MPR RI nomor VI/MPR/2000 telah

mengalami banyak perubahan. Perubahan itu tidak hanya pada struktural

organisasi Polri saja melainkan juga perubahan pada fungsi, tugas, kedudukan dan

kewenangan Polri. Setelah berpisah dari TNI, Polri sekarang ini memiliki

kedudukan dan yang lebih mandiri (independent) dimana Polri Polri lagi berada di bawah panglima TNI melainkan langsung di bawah Presiden.

Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa

Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Dengan

kedudukan yang seperti itu, Polri langsung bertanggungjawab kepada Presiden.

Polri pada era sekarang ini, harus mampu mengikuti perkembangan kemajuan

yang ada di masyarakat terutama perkembangan di bidang hukum.1

Polri sebagai aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan

masyarakat harus mampu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan

tidak melanggar HAM. Melihat kondisi keamanan di Negara Indonesia sekarang

1

(15)

lebih berat, karena sejak bergulirnya reformasi kejahatan yang bersifat

transnasional mulai merebak di Negara Indonesia ini. Kejahatan seperti kejahatan

terorisme yang dulunya sebelum reformasi jarang terjadi sekarang ini sering

terjadi, hal ini dapat kita lihat dengan adanyan serangan Bom Bali 1 dan 2, serta

kejahatan tentang peredaran narkoba yang bersifat internasioanal.2

Adanya tantangan yang semakin berat tersebut, Polri yang sekarang sudah mandiri

diharapkan dapat menunjukkan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya

dengan baik. Untuk menunjang pelaksanaan kerjanya tersebut Polri dibekali

dengan berbagai kewenangan. Salah satunya adalah kewenangan untuk

menembak dengan senjata api atau lebih sering kita kenal dengan kewenangan

tembak di tempat. Penggunaan kewenangan ini oleh anggota Polri sering

digunakan untuk menangkap pelaku tindak pidana yang kadang dari pelaksanaan

kewenangan tersebut kadang dapat menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana.

Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat kian hari kian marak digunakan oleh

aparat kepolisian, hal ini dapat kita lihat dari berbagai media massa baik itu media

televisi maupun koran yang hampir tiap hari memberitakan tentang penggunaan

kewenangan ini.

Reformasi hukum di Indonesia dalam menerapkan asas praduga tak bersalah

adalah pada legal guilt bukan pada factual guilt, namun demikian dalam berbagai kasus pidana yang menimpa para penyelenggara Negara Indonesia, dengan

memahami asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah secara

hakiki,maka logikanya harus dibalik, para penyelenggara negara yang terlibat

perkara pidana harus mampu memberikan teladan melalui menon-aktifkan diri

2 Ibid

(16)

dari jabatannya sampai ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum

tetap.3

Tindakan Polisi dalam aplikasi empiris adalah salah satu bentuk putusan Polisi

dari menterjemahkan Undang-undang, kemudian diterapkan di lapangan dalam

tindakan nyata adalah salah satu realitas hukum. Fungsi lain Polisi adalah di

bidang reserse yaitu bagian penegakan hukum di bidang kriminal, hal-hal yang

tidak diinginkan secara akal sehat ditemui di lapangan yang menuntut Polisi

segera bertindak, pilihan tindakan sepenuhnya berada ditangan Polisi sebagai

pengambil kebijakan dengan menimbang-nimbang kebijakan yang tepat sesuai

dengan kekuasaan diskresi-fungsional Kepolisian yang diberikan pada Polisi.

Prosedur penggunaan senjata api secara formal telah diatur, tetapi belum

menjamin pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan tidak bertentangan dengan

perundang-undangan lain yang berlaku. Tentu dalam prosedur formal menjadi

standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, akan tetapi

kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang dilakukan oleh seorang Polisi.

Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan informal di Satuan kerja Polri,

umpamanya yang bersifat situasional yaitu penggunaan senjata api serta eksekusi

tanpa proses hukum semestinya. Misalnya perintah “tembak di tempat” terhadap

pelanggar hukum pada setiap hari raya nasional. Juga perintah serupa ditujukan

pada para pelaku tindak pidana kategori residivis yang tertembak atau sadis dalam

melakukan kejahatannya.

3

(17)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

a. Bagaimanakah pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh

Kepolisian Negara Republik Indonesia?

b. Bagaimanakah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik

Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat ?

2. Ruang Lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum

pidana yang meliputi pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kewenangan yang dimiliki oleh

Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat. Penelitian

ini dilaksanakan pada Tahun 2013.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik

Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

(18)

a. Manfaat Teoritis

Secara Teoritis, peneliti berharap agar hasil dari penelitian dapat mengetahui

sekaligus menganalisis pengaturan kewenangan tembak di tempat yang

dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Secara Praktis, peneliti berharap bahwa hasil penelitian berupa skripsi ini

dapat berguna bagi masyarakat luas pada umumnya terutama yang

berhubungan dengan pengaturan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Asas kepastian hukum tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke

empat tentang keadilan sosial. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam tata

urutan peraturan hukum di Indonesia, merupakan peraturan hukum tertinggi yang

menjadi dasar bagi peraturan-peraturan dibawahnya. Dalam Pasal 1 Ayat (3)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum (rechtstaat), dimana negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaann pemerintahannnya didasarkan atas hukum dan

menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi.

4

(19)

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa Negara hukum yaitu:

“Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam negara saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.”

Suatu perbuatan dalam sistem hukum Indonesia, merupakan tindak pidana atau

perilaku melanggar hukum pidana apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada

menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini berkenaan

dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan

pidana dalam Undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.”5

Pasal 1 ayat (1) KUHP ditegaskan oleh Pasal 28-I ayat (1) Undang-undang Dasar

1945 dan dengan demikian memperoleh jaminan secara konstitusional. Pasal 28-I

ayat (1) menyatakan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”6

Salah satu tugas Polisi adalah menegakkan hukum yang di dalam banyak

digunakan penerapkan hukum atau Undang-Undang. Dalam kenyataannya banyak

ketentuan Undang-undang yang didalam penerapannya di lapangan membutuhkan

diskresi kepolisian, hal ini disebabkan karena situasi dan keadaan yang dihadapi

5

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2004, hlm. 74

6

(20)

oleh Polisi di lapangan sangat berbeda. Misalnya Pasal 5 ayat (1.a) butir ke-4

KUHAP yang menyatakan bahwa karena kewajibannya (setiap anggota polisi)

mempunyai wewenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.7

Arti dari Pasal 5 ayat (1.a) butir ke-4 KUHAP amat luas dan tidak mudah

diterapkan dalam tindakan Kepolisian, karena seorang Polisi harus memiliki

kemampuan untuk menafsirkan Undang-undang, walaupun sudah ada

penjelasannya pada KUHAP Pasal 5 ayat (1.a) butir ke-4. Adapun batasan dari

Pasal 5 ayat (1) tentang tindakan lain, yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. e. Menghormati Hak Asasi Manusia.

Polisi dalam melaksanakan tugasnya, dapat menggunakan kekerasan asal dalam

batasan-batasan yang diperbolehkan oleh peraturan Perundang-undangan. Jadi

disatu sisi hukum mencegah kekerasan yang semena-mena, namun disisi lain

hukum boleh menggunakan kekerasan apabila dalam keadaan terpaksa. Hal ini

sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang

menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri.

7

(21)

Anggota polisi dalam bertugas di lapangan dituntut dapat menerapkan Pasal

Undang-undang yang kadang-kadang belum diatur jelas ketentuannya, untuk itu

penerapan diskresi Kepolisian perlu dipelajari Polisi dan perlu dipahami

model-model permasalahan apa yang dapat didiskresi. Penggunaan senjata api dalam

menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut bukanlah hal yang mustahil,

penggunaan senjata api secara formal diatur dengan ketat, misalnya saat

menghadapi bentuk-bentuk ancaman/perlawanan, ancaman terhadap anggota

Polri, ancaman terhadap masyarakat dan ancaman terhadap diri tersangka itu

sendiri. Juga ada asas-asas penggunaan senjata api yang berpatokan pada asas

legalitas (setiap tindakan Kepolisian harus didasarkan pada peraturan yang

berlaku) dan asas kewajiban serta kewenangan diskresi (penggunaan senjata api

harus mempertimbangkan manfaat dan kepentingannya serta harus ditujukan

untuk terwujudnya kepastian hukum dan menjamin kepentingan umum).8

Tindakan-tindakan yang dilakukan sebelum meningkat pada taraf penggunaan

senjata api lebih dulu dilakukan pengawasan Polisi dimana dilakukan untuk

melihat pada sasaran sampai sejauh mana pelanggaran hukum telah dilakukan

oleh seseorang atau sekelompok, kemudian Polisi memberikan peringatan dan

anjuran dimana diberikan kepada seseorang atau sekelompok apabila diketahui

akan terjadi suatu pelanggaran hukum.

Penggunaan kekerasan dengan senjata api dalam tugas Polisi merupakan tindakan

paling terakhir, apabila penggunaan kekerasan dengan suara keras dan

penggunaan kekerasan dengan tenaga jasmani tidak berhasil untuk mengatasi

8

Arman Pasaribu. Penyimpangan Tembak di Tempat oleh Aparat Kepolisian Sebuah

(22)

ancaman yang dapat menyerang anggota Polisi tersebut dan Masyarakat

Penggunaan kekerasan dengan senjata api oleh anggota Polisi harus terlebih

dahulu memperhatikan asas-asas sebagai berikut:

a. Asas Legalitas

Asas legalitas dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des

Lois, sebagai suatu asas yang bertujuan untuk melindungi manusia dari tindakan kesewenang-wenangan.9 Asas legalitas adalah setiap tindakan polisi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan (Asas legalitas ini

berlaku pula terhadap ketentuan penggunaan senjata api oleh Polisi dimana

penggunaannya harus berdasarkan undang-undang). Rumusan mengenai

kepastian hokum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (1) dikenal

sebagai asas legalitas.

b. Asas Plichtmigheid (asas kewajiban)

Menurut Oemar Seno Adji asas kewajiban adalah:

“Setiap tindakan Polisi harus berdasarkan pada kewenangan hukum yang diberikan kepada Polisi yang bersangkutan, dan didasarkan kepada kewajiban Polisi untuk bertindak mengatasi gangguan Kamtibnas yang sedang terjadi, berdasarkan penilaian dari Anggota Polisi yang bersangkutan, dengan Asas ini memperkenankan Polisi mengambil langkah dan tindakan dalam keadaan terpaksa, untuk mengatasi gangguan atau keamanan dan ketertiban umum.”10

c. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang

dibela dengan kepentingan hukum yang dilanggar. Harus diingat ketika

9

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta. 2008. hlm. 37.

10

(23)

seseorang dicurigai dan akan ditangkap, orang tersebut tidak saja kehilangan

kebebasannya tetapi harga dirinya juga hancur. 11 Oleh sebab itu, ada baiknya seorang Polisi menyimak beberapa hal berikut ini:

a) Jangan gunakan kekerasan lebih dari seperlunya pada saat melakukan penangkapan.

b) Menghukum orang yang melanggar hukum bukanlah tugas polisi, itu adalah tugas dan fungsi pengadilan.

c) Jelaskan kepada orang yang dicurigai atau tersangka pelanggaran apa yang telah dilakukan.

d) Hargai hak asasi manusia dari yang menjadi tersangka.12

Melakukan kekerasan fisik secara etis dalam perpolisian didasarkan pada satu

prinsip, yaitu proporsionalitas. Meurut prinsip ini, pertama-tama petugas

kepolisian harus bertanya kepada dirinya sendiri, tujuan apa yang ingin ia

capai dalam sebuah situasi dan metode apa yang ingin digunakan untuk

mencapai tujuan tersebut, dimana Polisi hanya boleh menggunakan kekuatan

secukupnya saja.13

Pelaku kejahatan sering berkeliaran dan bercampur baur dengan masyarakat.

Pelaku kejahatan ini kadang-kadang sulit untuk dibedakan dengan warga

masyarakat biasa, karena mereka berpura-pura taat pada hukum, tetapi apabila

ada kesempatan mereka dengan cepat melakukan kejahatan. Para pelaku

kejahatan dewasa ini dalam melakukan kejahatannya cenderung menggunakan

kekerasan fisik.

11Ibid

, hlm 97

12 Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Organisasi Internasional Untuk Migrasi, Perpolisian Masyarakat, Jakarta 2006, hlm. 43

13Ibid

(24)

Alasan-alasan mengapa para penjahat cenderung untuk melakukan kekerasan,

karena mereka beranggapan:

a. Penjahat tersebut mempunyai anggapan bahwa kejahatan itu hanya akan berhasil kalau dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik (senjata api, pisau dan golok).

b. Untuk membuktikan keberaniannya, para penjahat tersebut sengaja melakukan kekerasan fisik agar ia disegani dalam kelompoknya.

c. Adanya kelainan jiwa dalam diri sipenjahat tersebut.

d. Kekerasan fisik yang dilakukannya itu dengan tujuan agar ia tidak tertangkap Polisi.14

Achmad Ali berpendapat bahwa:

“Asas praduga tak bersalah berdasarkan arti sebenarnya seharusnya digunakan hanya di dalam sidang pengadilan, menurut anggota Komnas HAM itu, jika dalam setiap kasus diterapkan prinsip praduga tak bersalah, maka kapan polisi akan bisa menangkap pelaku kejahatan atau tersangka. Ia mengatakan polisi berdasarkan bukti yang cukup dapat menangkap tersangka, karena menduga orang tersebut bersalah telah melakukan tindakan yang dilarang oleh hukum dan peraturan.”15

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan

pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya

juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel,

karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut

(non-retroaktif). Kalimat dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor

4 Tahun 2004, dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah:

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh

(25)

Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt

yang berarti” (dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau

tidak dapat diragukan sama sekali.16

Setiap anggota Polisi harus memperlakukan setiap orang yang dihadapinya tidak

bersalah secara sopan, hormat dan profesional. Selain itu setiap anggota Polisi

tidak boleh sama sekali menggunakan alat-alat yang penggunaannya dibatasi

untuk menghukum tersangka, dimana alat-alat tersebut hanya dapat digunakan

jika memang diperlukan, seperti untuk mencegah tersangka melarikan diri atau

tindakan tersangka yang dapat membahayakan petugas.

Berdasarkan Prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa Bangsa tentang

penggunaan kekerasan dan senjata api oleh Petugas Kepolisian, terdapat beberapa

tahapan yang harus ditempuh oleh Polisi dalam menggunakan senjata api yaitu:

a. Cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu. b. Kekerasan dipakai hanya bila sangat diperlukan.

c. Kekerasan dipakai hanya untuk tujuan penegakkan hukum yang sah d.Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.

e.Penggunaan kekerasan harus selalu proporsional dengan tujuannya (yang sesuai dengan hukum).

f. Harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan. g. Kerusakan dan luka-luka harus dikurangi.

h.Harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam penggunaan kekerasan yang beragam.

i. Semua petugas harus dilatih dalam menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam.

j. Semua petugas harus dilatih tentang menggunakan cara-cara tanpa kekerasan.17

(26)

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konnsep- konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan

dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti.18

a. Kewenangan tembak di tempat adalah kekuasaan atau tindakan khusus yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada anggota kepolisian

untuk menembak para pelaku kejahatan atau tindak pidana yang berpotensi

kuat membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa petugas atau orang

lain di sekitarnya, serta bertujuan untuk melumpuhkan pelaku, bukan untuk

mematikan.19

b. Kepolisian Republik Indonesia menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan

dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

c. Tembak di tempat adalah adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh

pihak media masa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu

tindakannya berupa tembakan terhadap tersangka. Istilah tembak di tempat

didalam Kepolisian dikenal dengan Suatu Tindakan Tegas, dimana tindakan

tegas tersebut berupa tindakan tembak di tempat. Bila tembak di tempat

diartikan menurut kamus bahasa Indonesia, maka dapat diartikan, Tembak

adalah melepaskan peluru dari senjata api (senapan, meriam), Di adalah kata

depan untuk menandai sesuatu perbuatan atau tempat, Tempat adalah tempat

18Ibid

, hlm. 132

19

(27)

adalah sesuatu untuk menandai atau memberi keterangan disuatu tempat, dan

Di tempat adalah menunjukkan keterangan di suatu tempat atau lokasi.20

E. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka

penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan

hubungannya yaitu sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, selanjutnya merumuskan masalah

dalam menentukan Ruang Lingkup, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Konseptual

dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau

teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari kewenangan yang dimiliki oleh

Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan tembak di tempat .

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian

meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Data Jenis, Pengumpulan Data dan

Pengolahan Data serta Analisa Data.

20

(28)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok

permasalahan tentang yaitu pengaturan kewenangan tembak di tempat yang

dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan untuk mengetahui

kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam pelaksanaan

tembak di tempat.

V. PENUTUP

Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil

penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi Tugas dan Wewenang Polri

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman

masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, fungsi kepolisian adalah

salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa kepolisian

merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam

negeri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang

(30)

1) Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

2) Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.

Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Kepolisian

adalah:

1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

2) Menegakkan hukum

3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok tersebut,

memiliki fungsi yaitu:

1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan

3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa

7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya 8) Melaksanakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium

forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian

(31)

10)Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

11)Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian

12)Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, wewenang Kepolisian

adalah:

1) Menerima laporan dan/atau pengaduan

2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakatantara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsaAliran yang dimaksud adalah semua atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.

5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian

6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan

7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian

8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang 9) Mencari keterangan dan barang bukti

10)Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

11)Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

12)Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat

13)Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang:

1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya

2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor 3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor

(32)

5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam

6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan

7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian

8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional

9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait

10)Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional

11)Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Penyelenggaraan tugas sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam proses pidana

diatur dalam Pasal 16, di mana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

untuk:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan

3) Membawa dan menghadapkan orang pada penyidik dalam rangka penyidikan 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara

8) Mengadakan penghentian penyidikan

9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum

10)Mengajukan permintaan secara langsung pada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana

11)Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan dari penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum

(33)

B.Pengertian Tembak di Tempat dan Alasan Polri Berkaitan dengan Instruksi Tembak di Tempat

Tembak di tempat adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh pihak media

masa atau masyarakat terhadap Polisi yang melakukan suatu tindakannya berupa

tembakan terhadap tersangka. Istila tembak di tempat didalam Kepolisian dikenal

dengan Suatu Tindakan Tegas, dimana tindakan tegas tersebut berupa tindakan

tembak di tempat.1

Tembak di tempat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan

peluru dari senjata api disuatu tempat atau lokasi. Bila tembak di tempat dikaitkan

dengan tugas dan wewenang kepolisian maka tembak di tempat dapat diartikan

sebagai suatu perbuatan berupa melepaskan peluru dari senjata api oleh Polisi

terhadap tersangka disuatu tempat atau lokasi. Kewenangan ini tertulis di dalam

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi

kepolisian.

Pada dasarnya yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak di tempat

harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak di tempat dan prosedur tetap

penggunaan senjata api oleh Polri. Setelah pelaksanaan kewenangan tembak di

tempat selesai maka setiap anggota Polri yang terlibat dalam pelaksanaan

kewenangan tembak di tempat harus membuat laporan/berita acara sebagai bentuk

pertanggungjawabannya kepada atasannya serta juga harus mempertanggung

jawabkan tindakannya di hadapan hukum.

1

(34)

Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tindakan polisi setelah melakukan tindakan

tembak di tempat polisi wajib:

a. Mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api. b. Memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak.

c. Memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api.

d. Membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.

Tindakan yang harus dilakukan setelah menggunakan senjata api, disarankan

untuk melakukan tindakan berikut ini:

a. Memberikan perawatan medis bagi semua yang terluka (korban dan penyerang yang memerlukan perawatan medis).

b. Mengijinkan dilakukan penyelidikan bila diperlukan.

c. Menjaga tempat kejadian perkara untuk penyelidikan lebih lanjut. d. Memberitahu keluarga dan teman-teman orang yang terluka. e. Melaporkan kejadian.

Penggunaan senjata api terdapat berbagai tingkatan tanggung jawab, tergantung

pada orang-orang yang menggunakannya, tujuan yang hendak dicapai, tempat

kejadian dan tingkat tanggung jawab yang mereka miliki terhadap warga atau

pihak-pihak yang tidak terlibat. Dalam hal laporan kejadian dimana laporan dan

tinjauan atasan harus dilakukan setelah terjadinya penggunaan kekerasan dan

senjata api. Setelah itu atasan harus bertanggung jawab atas semua tindakan

anggota polisi yang berada di bawah kepemimpinannya, jika atasan tersebut

mengetahui atau seharusnya mengetahui terjadinya penyalahgunaan wewenang

maka tindakan yang harus dilakukan berdasarkan Pasal 49 ayat (2) adalah:

a. Petugas wajib memberikan penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan, dan akibat dari tindakan yang telah dilakukan.

(35)

c. Tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Laporan yang harus dibuat dan diberikan kepada atasan berdasarkan Pasal 14 ayat

(4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009

Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian memuat antara lain:

a. Tanggal dan tempat kejadian.

b.Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan Kepolisian.

c. Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan. d. Rincian kekuatan yang digunakan.

e. Evaluasi hasil penggunaan kekuatan.

f. Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

Informasi yang harus dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 4

yang memuat antara lain:

a.Bahan laporan penggunaan kekuatan tahap 4 sampai dengan tahap 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) ayat (1) huruf d, e, dan huruf f. b. Mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan.

c.Mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri dan atau masyarakat.

d.Bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan peningkatan kemampuan profesional anggota Polri secara berkesinambungan.

e. Bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan. f. Bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait

penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan.

C.Dasar Hukum Instruksi Tembak di Tempat

Baharudin Djavar berpendapat:

(36)

Baharudin pun mengatakan setiap anggota polisi tetap bertindak tegas dalam

menangani kasus kejahatan. Hanya saja, ketegasan dalam bertindak tidak bisa

diukur dari penembakan atau tidak. Ketegasan Polisi bukan dilihat orang yang

ditembak mati, tetapi siapa yang melanggar hukum akan ditindak tegas.2

Tindakan diskresi secara legal dapat dilakukan oleh Polri. Dasar hukum diskresi bagi petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan

tugasnya dapat dilihat pada. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia:

a. Pasal 15 ayat (2) huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang melaksanakan

kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

b. Pasal 16 ayat (1) huruf l: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang

proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk

mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dimana

tindakan lain harus memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 16 ayat (2), sebagai

berikut:

1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan.

3) Hukum patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

5) Menghormati hak asasi manusia.

(37)

c. Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan

yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan Perundang-undangan,

serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), yang berhubungan dengan penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum

yang dapat dipertanggung jawabkan. Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang

memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat

melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab.

Menurut kamus umum yang disusun oleh Alvina Trent Burrow yang dikutip dari

Erlyn Indarty mengartikan diskresi sebagai “Kemampuan untuk memilih secara

bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri”3

Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T. Simorangkir, dan kawan-kawan

diskresi diartikan sebagai: “Kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi

yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.4

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

terdapat 8 (delapan) unsur yang terkandung di dalam pengertian diskresi tersebut,

kedelapan unsur dimaksud meliputi:

3Ibid 4

(38)

a. Kemerdekaan.

b. Otoritas/kewenangan.

c. Kebijaksanaan, termasuk dalam hal ini bijaksana. d. Pertimbangan.

e. Pilihan, diambil dari memilih. f. Keputusan.

g. Tindakan.

h. Ketepatan, khususnya dalam kaitan ini tepat.5

Berdasarkan penggabungan kedelapan unsur di atas diskresi secara lebih luas

dapat diartikan sebagai Kemerdekaan dan atau otoritas (seseorang/

sekelompok/suatu institusi) untuk secara bijaksana dan dengan penuh

pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat keputusan dan/atau

mengambil tindakan tertentu yang dipandang paling tepat.

Hal di atas bermakna bahwa apabila kata diskresi itu digabungkan dengan kata

Kepolisian, maka menjadi Diskresi Kepolisian yang dapat diartikan sebagai suatu

kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas

dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.6

Thomas J. Aaron merangkum diskresi kepolisian yang dikutip dalam bukunya

Erlyn Indarty sebagai:

“Suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada Polisi untuk mengambil

keputusan dalam situasi tertentu, yang membutuhkan pertimbangan tersendiri dan menyangkut masalah moral serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”.7

Mengkritisi pengertian diskresi yang disodorkan oleh Thomas J. Aaron, Erlyn

Indarty mencoba mengkombinasikan dan mencangkup unsur-unsur diskresi yang

(39)

ada untuk kemudian menawarkan dan mendapatkan pengertian diskresi

Kepolisian, yakni:

“Kemerdekaan dan atau otoritas Polisi baik sebagai individu maupun

institusi untuk secara bijaksana dan dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat keputusan dan atau mengambil tindakan kepolisian tertentu uang dipandang paling tepat”.8

Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka pada dasarnya merupakan

langkah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak

di tempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang

tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang

Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya:

a. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu.

b. Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan.

c. Tindakan keras hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah. d.Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk

menggunakan menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum. e.Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan

secara proporsional dengan tujuan dan sesuai dengan hukum.

f. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi.

g.Harus ada batasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras.

h.Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.

Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan

benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia dan bila tindakan

keras atau penggunan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka hal ini sesuai

dengan pasal Pasal 47 ayat (1). Selain itu menurut ayat (2) pemberlakuan tembak

di tempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk:

8

(40)

a. Dalam menghadapi keadaan luar biasa.

b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat.

c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat . d. Mencegah terjadinya luka berat atau yang mengancam jiwa orang.

e.Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.

f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Polisi dalam menghadapi tersangka yang melakukan tindak kejahatan terkadang

harus dilakukan tindakan kekerasan yang menjadi suatu kewenangan tersendiri

bagi polisi. Dalam terminologi hukum kewenangan tersebut disebut sebagai

tindakan diskresi.

Menurut Untung S. Radjab dalam bukunya Kedudukan dan Fungsi Polisi

Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan berpendapat bahwa:

“Untuk memelihara tegaknya keamanan dan ketertiban umum sering dengan

terpaksa dilakukan tindakan-tindakan kekerasan, yang secara faktual pasti dapat dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam kaitan ini, para pakar lalu menempatkan Polisi pada posisi diperbolehkan bertindak apa saja.”9

Sadjijono mengemukakan bahwa dalam pemberlakuan tindakan tembak di tempat

terhadap tersangka oleh polisi harus berdasrkan pada asas-asas hukum yang

berkaitan dengan penyelenggaraan tugas dan wewenang kepolisian yaitu sebagai

berikut:

a. Asas legalitas (Legaliteitsbeginsel rechtmatigheid), yaitu asas dimana tindakan kepolisian harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. b. Asas kewajiban (Plichmatigheid beginsel plicmatigheid), yaitu asas yang menyatakan bahwa kepolisian dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan kewajiban dan tanggungjawab demi kepentingan umum. Asas keharusan/kewajiban ini didasarkan pada suatu syarat antara lain:

1) Tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan Perundang-undangan.

9

(41)

2) Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.

3) indakan yang dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang.

c. Asas Partisipasi (deelneming beginsel), yaitu tindakan yang dilakukan kepolisian diusahakan mendapatkan dukungan atau partisipasi dari masyarakat, karena tugas-tugas yang diemban oleh polisi tidak akan dapat terwujud sesuai dengan harapan tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari masyarakat.

d. Asas preventif (Preventife beginsel), bahwa tindakan kepolisian lebih mengutamakan pencegahan daripada penindakan dan

e. Asas subsidaritas (subsidieren beginsel) yakni adalah asas dimana dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kepolisian mengadakan bantuan dan hubungan serta kerjasama dengan berbagai pihak baik di dalam negeri maupun diluar negeri yang bersifat fungsional.10

Pada Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur tembak di tempat, dimana dalam

menggunakan senjata api harus:

a. Petugas memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.

b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang

jelas dengan cara:

1) Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang

bertugas.

2) Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran

untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya.

3) Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan

dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain

10

(42)

disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu

dilakukan.

Penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan fungsi kepolisian, dimana dapat

dibagi berdasarkan tahapannya adalah:

a. Untuk tahapan Preemptif yaitu mengantisipasi bakal terjadinya kejahatan atau

penyimpangan terhadap fungsi intelejen.

b. Untuk tahapan Preventif yaitu mencegah kejahatan atau penyimpangan yang

terjadi serta bimbingan dan tindakan Kepolisian yang bersifat administrasi

terhadap fungsi Sabhara serta lalu lintas.

c. Ketika kejahatan atau penyimpangan sudah terjadi dan hukum perlu

ditegakkan, maka terdapat tahap Represif yaitu dalam kaitannya dalam proses

peradilan pidana atau Criminal Justice System. Selain itu lalu lintas, Reserse, adalah fungsi yang terutama melakukan itu.

d. Adapun Brimob adalah fungsi kepolisian para militer yang bias bertugas

dalam rangka Represif maupun Preventif, khususnya terkait kejahatan

berintensitas tinggi.11

Polisi dalam memilih tindakan yang harus diambil dan tindakan tersebut ternyata

memilih kekerasan yang harus digunakan, polisi harus memperhatikan tingkatan

kerjasama si tersangka dalam situasi tertentu serta mempertimbangkan rangkaian

logis dan hukum sebab akibat. Dalam situasi tersebut polisi harus memutuskan

cara apa yang akn ditempuh, teknik spesifik dan tingkat kekerasan yang akan

digunakan berdasarkan keadaan.

11

(43)

Bila prosedur dalam Pasal 48 dan dalam tabel diatas sudah dilaksanakan oleh

petugas Kepolisian dalam menghadapi tersangka dan tersangka tidak

mengindahkan hal-hal tersebut maka petugas kepolisian tersebut dapat melakukan

upaya tembak di tempat terhadap tersangka untuk melumpuhkan dan

memberhentikan tersangka agar tidak melakukan hal-hal yang lebih

membahyakan bagi pelaku, petugas kepolisian, dan masyarakat yang ada di

sekitarnya.

Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan kerasa kepolisian berupa tembak

di tempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan

Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan terlebih dahulu,

adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah:

(1) Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkan bahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan.

(2) Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya.

(3) Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut:

a. Untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota Polri atau masyarakat.

b. Untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka.

(44)

Setiap anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan dalam

melakukan suatu tindakan terhadap bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau

tersangka, Tahapan ini pun diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala

Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 terdiri dari:

a. Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. b. Tahap 2: perintah lisan.

c. Tahap 3: kendali tangan kosong lunak. d. Tahap 4: kendali tangan kosong keras.

e.Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.

f. Tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri, atau anggota masyarakat.

D.Kebijakan Tembak di Tempat Dihubungkan dengan HAM

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal

dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.

Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi

manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain

sebagainya. Hal yang perlu diingat bahwa Hak asai Manusia merupakan hak yang

bersifat perlindungan minimal, melekat pada manusia, universal atau berlaku

umum, tidak dapat dipisahkan, kesetaraan, tidak dapat dibagi, fundamental, dan

tidak bersifat absolut.

Pada dasarnya anggota Polri diberikan perlindungan HAM dimana perlindungan

tersebut diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Peraturan kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009. Dengan adanya perlindungan HAM

(45)

dilakukan oleh Polri. Dimana pelanggaran HAM dapat terjadi pada orang-orang

yang mempunyai kewenangan. Dalam kaitan tersebut berdasarkan

Undang-undang, polisi adalah salah satu lembaga yang mempunyai wewenang untuk

membatasi Hak Asasi Manusia seseorang. Sesuai dengan peran Polri dalam

memelihara keamanan dan ketertiban, masyarakat, menegakkan hukum,

memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, maka dalam

melaksanakan tugasnya tersebut Polri wajib dan bertanggung jawab melindungi,

menegakkan dan memajukan Hak Asasi Manusia, yakni:

a) Dalam rangka perlindungan dan pelayanan masyarakat, antara lain:

(1) Melayani laporan dan pengaduan terjadinya pelanggaran hukum termasuk

pelanggaran HAM.

(2) Memberikan perlindungan terhadap tempat-tempat yang telah dan

diperkirakan dapat menjadi sasaran pelanggaran HAM

b) Dalam rangka pembimbingan masyarakat, antara lain:

(1) Memberikan informasi kepada masyarakat dalam meningkatkan kesadaran

hukum dan pemahaman HAM.

(2) Mengarahkan dan mendayagunakan masyarakat agar menghormati hukum

dan ketentuan HAM.

(3) Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan unsur

Satpam, Polsus dan unsur potensi masyarakat lainnya untuk membantu

Polri dalam penegakkan HAM.

c) Dalam menjalankan tugas penegakan hukum, misalnya memanggil, untuk

sebagai saksi, ataupun tersangka, menangkap, memeriksa, menahan, menyita

(46)

masyarakat lainnya, dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak

bersalah (presumtion of innocent) meskipun polisi melakukan tindakan awal dengan presumtion of guilty (praduga bersalah secara terbatas).

d) Dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

(1) Melarang masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri dalam

menghadapi pelanggaran HAM atau kejahatan yang terjadi di lingkungan

masyarakat setempat.

(2) Memberi contoh yang baik dalam kehidupan bermasyarakat sehar-hari

dengan berperilaku yang baik dan sopan dan menghormati HAM.

(3) Cepat tanggap dan membantu kelompok rentan yang berpotensi terjadi

pelanggaran HAM, dilingkungan tempat tinggal atau tempat-tempat yang

dicurigai.

Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara Republik

Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi

terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,

serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM.

Pasal 14 ayat (1) menyatakan:

“Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

(47)

Pasal 16 ayat (2):

“Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagaimana yang

dimaksud dalam huruf E yaitu: “Menghormati Hak AsasiManusia.”

Pasal 19 ayat (1):

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.”

Tindakan kekerasan yang melanggar HAM dalam hal-hal tertentu tindakan

kekerasan dibenarkan oleh Konvensi HAM yaitu Pasal 29 Deklarasi Umum

HAM, tindakan kekerasan tersebut bermaksud untuk menjamin hak orang lain,

moral, ketertiban dan keselamatan umum yang harus ditegakkan oleh

Undang-Undang. Dimana peran utama kepolisian ditunjukkan melalui sifat-sifat untuk

melakukan hal-hal berdasarkan pada:

1.Wewenang yang diberikan kepada polisi dalam penangkapan dan penahanan.

2. Kesanggupan anggota polisi untuk bekerja selama 24 jam setiap hari. 3. Kesanggupan anggota polisi untuk melakukan tindakan segera.12

Berdasarkan ketentuan/peraturan tentang HAM, unsur-unsur dari penggunaan

senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang merupakan pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh aparat pada saat melaksanakan tugas, yaitu:

a. Bahwa telah ada suatu tindakan mengurangi hak hidup seseorang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang HAM. Pengurangan hak hidup seseorang tersebut dilakukan dengan cara memakai kekerasan berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur.

b. Bahwa selain merupakan tindakan pembatasan hak hidup seseorang, penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian juga merupakan tindakan penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang HAM. Dimana aparat kepolisian bertindak diluar batas kemanusiaan

12HAM dan Penegakan Hukum

(48)

ketika sedang melaksanakan tugasnya dan tidak lagi menghormati hak hidup seseorang.

Bahwa perbuatan pengurangan hak hidup seseorang dan tindakan penyiksaan

yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada saaat melaksanakan tugasnya,

khususnya pada saat menggunakan senjata api telah melanggar kewajiban dan

tanggung jawab dari kepolisian sebagai bagian dari pemerintah sebagaimana

diatur dalam Pasal 71 Undang-undang HAM, yang menyebutkan bahwa:

“Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,

menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM

yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi-Konvensinya menyatakan

keadaan ini sebagai tindakan kekerasan yang eksepsional. Hal ini juga disebut

dengan diskresi. Didalam kriminologi, terdapat teori-teori kriminologi yang fokus

terhadap situasi dimana terjadinya tindak kejahatan. Terdapat tiga (3) pendekatan

yaitu, environmental criminology, the rational choice perspective dan routine activity approach. Ketiganya sering disebut sebagai opportunity theories karena analisis yang digunakan mempertimbangkan variabel situasi yang didalamnya

terdapat kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan secara spesifik.13

Reserse Kriminal selaku unsur teknis operasional, Bareskrim bertugas

menemukan pelaku pelanggaran hukum maupun kejahatan untuk diproses sesuai

hukum yang berlaku karena lebih memfokuskan pada tindakan atau penindakan

terhadap para pelanggar hukum. Bareskrim Polri lebih dominan dalm upaya

represif daripada preventifnya. Reserse melaksanakan praktek-praktek kepolisian

13

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian-urainan tersebut di atas, untuk lebih mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi pada proses pendinginan mesin mobil, maka penulis tertarik membuat suatu alat

PerubahanStrukturSosialEkonomidariEkonomiPertanisankeEkonomiIndustr ipadaMasyarakatDesaKubangwunguKecamatanKetangguganKabupatenBr ebesTahun 1969-2010 .Jurnal: Journal of

dua variabel, yaitu insentif dan beban kerja dan produktivitas kerja karyawan sebagai variabel terikat ( dependent )..

Memberi dan meminta informasi terkait waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun Memahami percakapan yang berhubungan dengan hari ulang tahun seseorang Memahami penyebutan

M.Pd SMA NEGERI 1 SURAKARTA Kota Surakarta Jawa Tengah JOGJAKARTA 140 Berti Sagendra, S.Pd SMK NEGERI 4 SEMARANG Kota Semarang Jawa Tengah JOGJAKARTA 141 Dadang

Peningkatan motivasi belajar dengan implementansi metode point dibuktikan dari beberapa hal berikut yakni : ketekunana mahasiswa terhadap tugas yang diberikan oleh dosen,

Alhamdulillahirobbil „aalamiin dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah.. RKA - SKPD 3.1 Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah