• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Atas Tindakan Malpraktik Yang Dilakukan Oleh Dokter Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Juncto Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Atas Tindakan Malpraktik Yang Dilakukan Oleh Dokter Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Juncto Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

LEGAL PROTECTION OF PATIENTS TO ACTION MALPRACTICE COMMITTED BY THE DOCTOR LINKED WITH LAW NUMBER 29 OF 2004 CONCERNING THE PRACTICE OF MEDICINE CONJUNCTIO LAW NUMBER

36 OF 2009 CONCERNING HEALTH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Akhir Mahasiswa Guna Mencapai Strata 1 Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

GARRY CHANDRA SETIAWAN 316.08.001

Di Bawah Bimbingan :

HETTY HASSANAH, S.H., M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

(2)
(3)

vi

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ………...………... iii

DAFTAR ISI ………...…….…... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ……….... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 10

F. Metodologi Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG PELAKSANAAN PROFESI DOKTER DAN TENAGA MEDIS SERTA TINDAKAN MALPRAKTIK DOKTER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Tinjauan Umum Tentang Penerapan Hukum Pidana ... 20

B. Aspek Hukum Tentang Pelaksanaan Profesi Dokter ... 35

(4)

vii

... 70

B. Kasus Malpraktik yang Dilakukan oleh Dokter akibat Operasi Usus Buntu yang Menyebabkan Kelumpuhan dan Kebutaan Terhadap Pasien ... 77

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN ATAS TINDAKAN MALPRAKTIK YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG DOKTER

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN

2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

JUNCTO

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

A.

Perlindungan Hukum Terhadap Seorang Pasien Atas Tindakan

Malpraktik yang Dilakukan oleh Dokter Menurut Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Juncto

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ... 82

B. Bentuk Pengawasan terhadap Tindakan Malpraktik yang Terjadi di Indonesia ... 88

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... ix

(5)
(6)

iii Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji serta syukur Penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang

telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga

tercurahkan limpahnya kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, berkat taufik

dan hidayah-Nya Peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Tugas akhir Ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar

Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Adapun judul dari

tugas akhir ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN ATAS TINDAKAN MALPRAKTIK YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN”

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan dorongan

semua pihak dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti tidak akan bisa

menyelesaikannya. Peneliti menyadari pula bahwa isi maupun sistematika

pembahasan tugas akhir ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan akibat

keterbatasan kemampuan serta pengalaman dari penulis sendiri

(7)

iv

lindungan-NYA.

Pada proses penyusunan penelitian ini, peneliti banyak mendapat

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti

mengucapkan banyak terima kasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Hetty

Hassanah, S.H, M.H selaku wali dosen sekaligus sebagai dosen pembimbing

yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan kesabarannya dalam

membimbing penelitian tugas akhir ini, selain itu juga dalam kesempatan ini

peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soegoto, M.sc, Selaku Rektor Universitas

Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra., S.E., M.Si selaku Wakil

Rektor I Universitas Komputer Republik Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati. S.E., M.S., Ak., selaku Wakil

Rektor II Universitas Komputer Republik Indonesia;

4. Yth. Ibu Dr. Hj. Aelina Surya., selaku Wakil Rektor III Universitas

Komputer Indonesia;

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini., S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan sekaligus

pembimbing penulis di Fakultas Hukum Universitas Komputer

(8)

v

Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Bapak Dwi Iman Mutaqin, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Muntadhiro Alchujjah, S.H., L.LM., selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu dr. Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M., selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

12. Yth. Ibu Rachmani Puspitadewi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

13. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md., selaku Staff Administrasi Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

14. Yth. Bapak Muray, selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas

Komputer Indonesia;

Metaliza Patrianto, selaku kekasih hati yang selalu setia menemani dan

memberi semangat peneliti dalam mengerjakan penelitian ini. Sahabat-sahabat,

yang telah memberikan dukungan, dorongan dan semangat bagi peneliti untuk

menyelesaikan tugas akhir. Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada : Ryan

Yudhistira, Gusti Ayu Darmawati, Andyanto, Amal Gunawan, Aditya Ilham, Eko

Susanto, Juvan Collins Napitupulu, Andy Hidayat, Rani Fatimah Zahra, Firdausi

(9)

vi

universitas komputer indonesia.

Bandung, 30 Juli 2013

(10)

ix

Alexandra Indriayanti Dewi. Etika Hukum Kesehatan. Pustaka Publisher. Yogyakarta. 2008.

CST Kansil. Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 1991.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Depdikbud. Jakarta. Cetakan ke 3.1999.

Humphrey R. Djema. dalam Bambang Harianto. Jurnal Dinamika Hukum-Malpraktik Dokter Dalam Perspektif Hukum, Vol. 10 No. 2. Edisi 2 mei 2010.

J. Guwandi. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.

M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehata.

EGC. Jakarta. 1999.

Munir Fuady. Sumpah Hippocrates dan Aspek Malpraktik Dokter. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2005.

Nusye Ki Jayanti. Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran. Pustaka Yustisia. Yogyakarta, 2009.

Otje Salman Soemadiningrat. Anthon F. Susanto. Teori Hukum. Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. PT. Reflika Aditama. Bandung. 2010.

R. Abdoel Djamali dan Lenawati Tedja Permana. Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien. Abardin. Jakarta. 1988. R.Soeraryo Darsono. Etik, Hukum Kesehatan Kedokteran (Sudut Pandang

Praktikus). Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. 2004.

(11)

x BURGELIJK WETBOEK (B.W)

UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT

C. SITUS-SITUS

http/:www.tempointeraktif.com. Baku Tuding Malpraktik. diakses pada hari Jumat, 5 April 2013 pukul 15.08 WIB

http/:www.idepintar.blogspot.com.Terbukti Malpraktik. 30 Dokter Dapat Sanksi dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. diakses pada hari Senin. 19 Agustus 2013 pukul 23.16 WIB

http/:www.wordpress.com. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian, dan Keadaan Memaksa, diakses pada hari Jumat. 5 April 2013 pukul 18.49 WIB.

http/:www.freewebs.com, Malpraktik Medis, diakses pada hari Jumat. 5 April 2013 pukul 19.05 WIB.

http/:www.wordpress/apdhikakristian.com. Aspek Hukum Praktek Kedokteran.

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara hukum memberikan jaminan kesehatan

kepada masyarakat agar terciptanya sistem kesehatan yang bermutu sesuai

dengan konsep yang diharapkan pemerintah dalam mewujudkan aspek

kehidupan manusia

Dunia kedokteran dalam beberapa dasawarsa ini mengalami

peningkatan yang sangat signifikan, baik dalam segi kualitas maupun dalam

segi kuantitas. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah sub ilmu

baru dalam ilmu kedokteran yang dalam beberapa waktu lampau belum

dikenal, hal tersebut dikarenakan untuk membuat lebih terspesialisasikan

kemampuan dokter yang nantinya akan berimbas pada tujuan ilmu

kedokteran itu sendiri pada masyarakat. Secara nasional, sistem kesehatan

yang menjadi rumah bagi dunia kedokteran diakomodir dengan diberi tempat

dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai perwujudan kesejahteraan

umum bagi masyarakat1.

Iklim positif yang telah terbangun ini memberikan harapan bagi

seluruh masyarakat agar pelayanan kesehatan yang profesional, mudah

dijangkau dapat dicapai sebagaimana yang dicita-citakan dan yang

diamalkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bagian integral dari

1 Wirjono Prodjodikoro, Tindak Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit PT Eresco,

(13)

bangsa. Akan tetapi dewasa ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan

dakwaan terkait dengan kegiatan malpraktik semakin meningkat, tidak saja

di negara lain tapi juga di negara Indonesia.

Sistem kesehatan yang bertujuan terselenggaranya kesehatan,

terjangkau (offordable) dan bermutu. Kesehatan dalam masyarakat diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran dan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

yang memberikan perlindungan terhadap orang-orang yang berprofesi

sebagai tenaga kesehatan dan dalam hal ini dokter mengambil tindakan

medis sebagaimana latar belakang keilmuannya. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang dimaksud

dengan dokter adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi

spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam

maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Secara garis besar, terdapat tiga kategori dokter ahli atau spesialis di

negara-negara besar yang menjadi sasaran utama penuntutan

ketidaklayakan dalam berpraktek, yaitu spesialis bedah (ortopedi, plastik,

dan syaraf), spesialis anestesi (pembiusan) dan spesialis kebidanan dan

penyakit kandungan, maka disini perlu lebih diketahui lagi bagaimana aspek

hukum dan upaya yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan

malpraktik2.

2 2Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman,

(14)

Kritik dari masyarakat terhadap profesi kedokteran di indonesia

akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media, baik media cetak ataupun

media elektronik. Dunia kedokteran yang dulu seakan-akan tak terjangkau

oleh hukum dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan

tentang perlindungan hukum yang merupakan hak dasar sosial (The right to health care) dan hak individu (the right of self determination) yang menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan,

bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Profesi dokter yang

dalam melakukan tugasnya telah melakukan tindakan salah yang

menimbulkan kesakitan, cedera, cacat fisik, kerusakan tubuh dan bahkan

kematian. Sebagai suatu malpraktik menyebabkan seorang pasien merasa

dirugikan, sehingga korban malpraktik mengajukan permintaan kompensasi

materil dan imateril3.

Masalah itu dilihat dari banyaknya pengaduan kasus malpraktik yang

diajukan masyarakat terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan

pasien dalam melakukan tindakan medis. Meningkatnya pengaduan ini

membuktikan bahwa masyarakat mulai sadar akan haknya dalam upaya

melindungi dirinya sendiri dari pihak-pihak lain yang merugikan.

Malpraktik Medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukanoleh

tenaga medis yang tidk sesuai dengan standartd tindakan sehingga

merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau

kesengajaan dalam hukum pidana. Malpraktek medis menurut Kamus

3 R. Abdoel Djamali dan Lenawati Tedja Permana, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter

(15)

besar bahasa indonesia adalah praktik paktek kedoteran yang dilakukan

salah atau tidak tepatmenyalahi undang-undang atau kode etik4.

Ciri khas dari pekerjaan dokter ialah untuk melayani

masyarakat/umum, dengan maksud sesuai dengan tanggung jawab

kemanusiaan yang tinggi dalam menolong sesama manusia dalam hal

memeriksa, mengobati pasien, dokter tidak boleh mempunyai pertimbangan

subjektif seperti keagamaan, kebangsaan, kedudukan sosial dan lain-lain.

Dokter harus bertindak profesional dan proporsional untuk mengambil

keputusan konkrit, sikap ikhlas dan pandangan yang tajam serta arif. Adapun

tujuan ilmu kedokteran adalah5 :

1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit,

Seorang dokter dalam melakukan tindakan medis atau pengobatan

yang dimana suatu tindakan medis yang mengandung kemungkinan

untuk menyembuhkan pasien atau untuk mencegah suatu penyakit.

2. Memperingan penderitaan,

Hal ini merupakan suatu tujuan dari pengobatan dan suatu bagian

dari perjanjian terapeutik. Meringankan penderitaan berarti pula

dokter harus berusaha untuk mencegah sebanyak mungkin adanya

penderitaan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan

medis.

4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud,

Jakarta, 1990, hlm, 551

5Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman,

(16)

3. Mengantar pasien termasuk mengantar menghadapi akhir hidup.

Hal ini bukan saja suatu kewajiban dokter, tetapi juga dari tenaga

kesehatan lainnya dalam mengantar pasien menghadapi akhir

hidupnya.

Menurut Humphrey R. Djemat, ada berbagai faktor yang

melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktek tersebut dan

semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban, mulai dari

kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi

hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat

bedah tertinggal di dalam bagian tubuh) dan faktor-faktor lainnya6.

Sebagian kecil contoh kasus-kasus mengenai malpraktik yang terjadi

dapat kita lihat sebagai berikut7 :

1. Kasus dokter spesialis kulit di Jakarta yang diadukan pasiennya,

karena pasca operasi wajah pasien menjadi keloid yang diduga

akibat laser sesurfacing.

2. Kasus Ngatmi penderita kanker payudara di Jakarta, yang

tangannya membesar mengadukan dokter yang menanganinya di

Rumah Sakit Persahabatan.

3. Kasus pasien di Jakarta yang mengadukan dokter yang dinilai lalai

karena kassa tertinggal saat operasi caesar.

4. Kasus Augustianne Sinta Dame Marbun, dimana dugaannya

lantaran dokter salah mendiagnosis dengan memberikan antibiotik

6Humphrey R. Djema, dalam Bambang Harianto, Jurnal Dinamika Hukum-Malpraktik Dokter

Dalam Perspektif Hukum, Vol. 10 No. 2, Edisi 2 mei 2010

7 Baku Tuding Malpraktik, www.tempointeraktif.com , diakses pada hari Jumat, 5 April 2013

(17)

berdosis tinggi terkait dengan rencana operasi pengangkatan

rahimnya, ginjalnya mengalami kerusakan.

Contoh kasus yang akan peneliti ambil adalah seorang anak yang

lumpuh dan buta setelah melakukan operasi usus buntu di salah satu rumah

sakit di Jakarta. Seharusnya dalam praktik medis anak tersebut mendapatkan

kesembuhan atas pengobatan penyakit yang di deritanya, tetapi dengan kata

lain penanganan dokter yang menangani anak tersebut diduga telah

melakukan kelalaian yang menyebabkan buta dan kelumpuhan terhadap

anak8.

Pelaksanaan profesi dokter berkembang sejalan dengan

perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang semakin meluas dan

menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, namun profesi dokter

merupakan suatu profesi yang harus dijalankan dengan moralitas tinggi

karena harus selalu siap memberikan pertolongan kepada orang yang

membutuhkannya, oleh karena itu dalam menjalankan tugas

kemanusiaannya, dokter seharusnya selalu terikat pada Kode Etik dan

Sumpah Dokter.

Pasien sebenarnya merupakan faktor liveware (penting). Pasien harus dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil

akhir layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi

mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan

sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.

8 Kronologi Kasus Raihan, Bocah yang Lumpuh dan Buta Usai Operasi, www.liputan6.com,

(18)

Kenyataannya dalam berpraktik atau dalam berprofesi banyak terjadi

kelalaian yang dilakukan oleh dokter, dalam hal ini malpraktik medis yang

merugikan pasien dalam bentuk kecacatan fisik ataupun menyebabkan

kematian. Fenomena ini tentu saja sungguh memprihatinkan, mengingat

peranan dokter dalam menjunjung tinggi kesehatan masyarakat, artinya setiap

orang yang melakukan tindak pidana harus diberikan sanksi pidana maupun

gugatan ganti rugi hukum perdata menurut perundang-undangan yang berlaku

di Indonesia.

Masyarakat selaku manusia tidak jarang memerlukan pertolongan

antar sesama manusia, khususnya bila sedang sakit. Manusia memerlukan

jasa seorang dokter, kebutuhan akan pertolongan dokter mengakibatkan

timbulnya kontrak dan komunikasi antara dokter dan pasien, sehingga

munculah relasi antara mereka. Relasi itu didasarkan kepercayaan yang

diberikan pasien kepada dokter dengan menyerahkan dirinya untuk

disembuhkan.

Apabila dokter melakukan kelalaian dalam melaksanakan

kewajibannya, maka dalam proses perdata seorang pasien dapat menuntut

ganti rugi kepada dokter yang bersangkutan atas kelalaian yang

dilakukannya. Dalam gugatan atas wanprestasi, maka harus dibuktikan

bahwa dokter benar-benar telah mengadakan perjanjian dan bahwa dia telah

melakukan wanprestasi tersebut9.

(19)

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang

keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak

memenuhi prestasi sama sekali10.

Kelalaian yang dilakukan oleh dokter secara perdata dapat juga

dimungkinkan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Perbuatan yang melawan hukum yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak

subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari

pembuat yang telah diatur dalam undang-undang. Dengan perkataan lain

melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.

Seharusnya apabila masyarakat sadar akan hak dan kewajiban

masing-masing, maka hal-hal demikian tidak perlu terjadi, yang penting

hubungan antara dokter dan pasien harus selalu dibina, agar hal-hal yang

tidak diinginkan senantiasa tidak terjadi lagi.

Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada

pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya.

Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata,

dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian11.

Seorang dokter ataupun tenaga medis seharusnya meringankan

beban pasien, bukan malah memperburuk keadaan pasien. Sebelum

melakukan suatu tindakan medik, dokter harus meminta persetujuan pasien

atau keluarga setelah menberikan pemahaman yang benar tentang tindakan

yang akan dilakukan, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Persetujuan

merupakan suatu bagian esensial, perbuatan dokter tersebut merupakan

alasan untuk tidak mengkualifikasi sebagai suatu tindak pidana dan dapat

10 Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian, dan Keadaan Memaksa, www.wordpress.com,

diakses pada hari Jumat, 5 April 2013 pukul 18.49 WIB

(20)

menumbuhkan alasan pembenaran, jika melakukan suatu tindakan medik itu

dengan kecermatan.

Berdasarkan keadaan masalah yang telah disebutkan di atas, maka

penulis memiliki keinginan untuk melakukan penulisan hukum berupa skripsi

yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN ATAS

TINDAKAN MALPRAKTIK YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN”

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar blakang di atas, permasalahan hukum yang akan

diangkat adalah :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap seorang pasien atas tindakan

malpraktik yang dilakukan oleh dokter menurut Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran Juncto Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ?

2. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap tindakan malpraktik yang

dilakukan oleh dokter di masyarakat ?

C.

Maksud dan Tujuan

Berdasarkan latar belakang penelitian dan identifikasi masalah yang

telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap seorang

pasien atas tindakan malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter

(21)

kedokteran Juncto Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

2. Untuk mengetahui dan memahami bentuk pengawasan terhadap tindakan

malpraktik yang dilakukan oleh dokter di masyarakat berdasarkan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran Juncto Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan hukum ini diharapkan dapat diperoleh kegunaan, baik

secara teoritis maupun praktis.

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis teori ini dapat menambah pengetahuan tentang ilmu

hukum pada umumnya dan pada khususnya dapat dipergunakan sebagai

salah satu referensi atau bahan pertimbangan tentang tindakan

malpraktik yang dilakukan oleh dokter.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai

pertimbangan dalam melakukan perlindungan terhadap seorang pasien

atas perbuatan malpraktik yang dilakukan oleh dokter.

E. Kerangka Pemikiran

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang

menyebutkan bahwa :

(22)

disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 tersebut merupakan landasan perlindungan hukum kepada masyarakat,

karena kata “melindungi” mengandung asas perlindungan hukum bagi

segenap Indonesia untuk mencapai keadilan. Selain itu Pembukaan Alenia

keempat Undang- Undang Dasar 1945 juga mengandung pokok pemikiran

mengenai pancasila, dimana adil dan makmur tersebut bisa

diimplementasikan di dalam sila ke-5 (lima) Pancasila yaitu keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga dinamika berbudaya mengenai

kepentingan individu, masyarakat dan negara.

Alenia keempat Undang-Undang Dasar 1945 juga menjelaskan kata

“mewujudkan”, dimana kata mewujudkan mengandung arti untuk mencapai

kepastian hukum di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang

didukung dalam teori Jeremy Bentham (Utility) sebagai pendukung teori kegunaan yang menjelaskan kepastian sebagai tujuan hukum yang pada

dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat “The Great

Happiness for the greats number”12. Berdasarkan teori tersebut Negara

Indonesia harus melindungi setiap warga Indonesia agar semua peristiwa

hukum yang terjadi di indonesia sesuai dengan peraturan

12 Otje Salman Soemadiningrat, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan,

(23)

undangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya kepastian

hukum.

Pasien selaku warga masyarakat indonesia mempunyai hak untuk

hidup layak sesuai dengan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen keempat dinyatakan bahwa :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan”.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law

enforcement policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu

tahap formutasi (kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan

yudikatif/yudicial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana

oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum

in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap aplikasi adalah

tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari

kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi

adalah tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi

pidana.

Pada dasarnya hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan

kemanusiaan yang di dalamnya dituntut jasa yang dilakukan untuk

menciptakan suatu keadaan tertentu yang diharapkan atau juga disebut

bahwa hubungan dokter dengan pasien adalah suatu hubungan perjanjian

(24)

jasanya, yaitu melakukan pekerjaan dalam rangka penyembuhan pasien.

Hubungan dokter dengan pasien dapat diringkas dalam satu kata yaitu

kepercayaan.

Hubungan antara dokter dengan pasien yang lahir dari hubungan

kausal (sebab-akibat), selain menyangkut aspek hukum perdata juga

menyangkut aspek hukum pidana. Aspek pidana baru timbul apabila dari

pelayanan kesehatan yang dilakukan, berakibat atau menyebabkan pasien

mati atau menderita cacat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 359,

360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila hal ini

terjadi maka sanksinya bukan hanya suatu ganti rugi yang berupa materi,

akan tetapi juga dapat merupakan hukuman badan sebagaimana diatur dalam

Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa :

“Pidana terdiri atas :

1. Pidana pokok : a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda e. Pidana tutupan 2. Pidana tambahan :

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim”.

Dasar untuk mempermasalahkan aspek pidananya, berawal dari

hubungan yang timbul antara dokter dengan pasien, yaitu berupa transaksi

terapeutik sebagai upaya penyembuhan. Namun karena langkah yang diambil

oleh dokter berupa terapi dalam usahanya memenuhi kewajiban itu,

menimbulkan suatu kesalahan atau kelalaian yang berwujud suatu perbuatan

(25)

bahkan pembunuhan, baik yang disengaja maupun karena kelalaian, maka

perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan.

Secara teoritis mungkin mudah memberikan pengertian tentang

kesalahan, di mana kesalahan menurut hukum pidana terdiri dari kesengajaan

(dolus) dan kelalaian (culpa). Dalam praktiknya akan timbul, permasalahan tentang pengertian kesalahan ini, terutama yang menyangkut dengan

kesalahan dan atau kelalaian dalam bidang pelayanan kesehatan. Kesulitan

akan timbul untuk menentukan adanya suatu kelalaian karena dari semula

perbuatan atau akibat yang timbul dalam suatu peristiwa tidak dikehendaki

oleh pembuatnya. Pada hakikatnya kelalaian baru ada apabila dapat

dibuktikan adanya kekurang hati-hatian13.

Kesalahan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar

terjadi karena kelalaian, sedangkan kesengajaan jarang terjadi. Sebab apabila

seorang dokter sengaja melakukan suatu kesalahan, hukuman yang akan

diberikan kepadanya akan lebih berat

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, Dokter adalah adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan

dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik

di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik

Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

13Muladi dan Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,

(26)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Pasal 3 menyatakan :

“Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk : a. memberikan perlindungan kepada pasien;

b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan

c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi”.

Pasal 50 butir (a) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran menyatakan :

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai hak: memperoleh perlindungan hukum

sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi

dan standar prosedur operasional”.

Pasal 2 Kode Etik Kedokteran Indonesia, dinyatakan bahwa :

“Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya

menurut ukuran yang tertinggi”.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

menyatakan :

1. “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

2. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan

(27)

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

menyatakan :

“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang

telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

menyatakan :

“Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala

bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan

terjangkau”

Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat dilihat bahwa pasien

merupakan konsumen, hal ini dikarenakan bahwa pasien membutuhkan jasa

seorang dokter untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit yang di

deritanya dan dapat disimpulkan juga bahwa dokter merupakan pelaku usaha,

dikarenakan dokter memberikan jasa untuk menyembuhkan pasien.

Sebagai seorang korban, pasien berhak untuk mendapat

perlindungan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), 2),

(3), (4) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen :

1. “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak-hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

3. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

(28)

Penyelesaian perkara mengenai kasus-kasus malpraktik, dapat

diselesaikan melalui pengadilan atau diluar pengadilan melalui mediasi.

Dasar hukum menuntut kerugian yang diderita korban atas perbuatan

melawan hukum dokter dan atau tenaga medis berupa kecacatan pada fisik

pasien sesuai Pasal 1371 KUHperdata yang menyatakan bahwa:

“Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan

sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada

si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan,

menuntut penggntian kerugian yang disebabkan oleh luka atau

cacat tersebut.

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi

ini adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis yaitu metode penelitian yang digunakan dengan cara

menggambarkan data dan fakta baik berupa :

a.

Data sekunder bahan hukum primer, yaitu berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang Kesehatan diantaranya

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

b.

Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau pendapat

para ahli hukum terkemuka.

c.

Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang didapat
(29)

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu

secara yuridis normatif, yaitu dimana hukum dikonsepsikan sebagai norma,

asas atau dogma-dogma. Pada penulisan hukum ini, penulis mencoba

melakukan penafsiran hukum gramatikal, yaitu penafsiran dilakukan

dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang yang digunakan

dalam penulisan hukum ini.

3. Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pernelitian kepustakaan (Library Research). Langkah ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer berupa

bahan hukum yang mengikat, yaitu perundang-undangan, seperti

Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Bahan hukum

sekunder yang meliputi referensi hukum berupa hasil penelitian, karya

ilmiah dan bahan-bahan hukum tersier berupa berbagai artikel dari media

massa, kamus dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang

diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku teks, hasil penelitian,

majalah, artikel dan lain-lain.

5. Metode Analisis Data

Data di analisis secara normatif yang meliputi perundang-undangan,

teori-teori filsafat, pembuktian melalui pasal, dan pembuktian yang terjadi di

msyarakat. Analisis secara kualitatif yang berbentuk atas suatu penilaian

(30)

dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan dengan jalan menafsirkan

dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Normatif

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada

sebagai norma hukum agar peraturan perundang-undangan tidak boleh

saling bertentangan dengan memperhatikan hirarki peraturan

undangan dan berbicara tentang kepastian hukum, bahwa

perundang-undangan yang berlaku benar-benar dilakukan oleh para pihak penegak

hukum.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian untuk memperoleh data dalam penulisan ini adalah :

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Jl.

Dipatiukur No.112, Bandung.

2) Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran; Jl. Dipatiukur

No. 233, Bandung.

3) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan; Jl. Lengkong

kecil No.68, Bandung.

4) Perpustakaan Lembaga Administrasi Negara (LAN); Jl. Diponegoro

No. 23, Bandung.

b. Website

1) http://tempointeraktif.com

2) http:// wordpress.com

(31)
(32)

21

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN

2009 TENTANG KESEHATAN

A. Tinjauan Umum Terhadap Penerapan Hukum Pidana di Indonesia

1. Pengertian Hukum Pidana

Indonesia sebagai negara hukum tentu saja memegang teguh

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai pedoman

daripada sumber sumber hukum terutama hukum pidana sebagai dasar

kebijakan-kebijakan umum.

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan

pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak

pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa

yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana

(33)

kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan beberapa ahli hukum

tentang hukum pidana, antara lain :

a. Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana

yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah14 Perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.

b. Prof. DR. Bambang Poernomo, SH, berpendapat bahwa perumusan

mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap adalah Bahwa

perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan

hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa

yang melanggar larangan tersebut15

c. Pengertian hukum pidana menurut Pompe, hukum pidana adalah semua

aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan

apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.

d. Pengertian hukum pidana menurut Van Kan adalah hukum pidana tidak

mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan

kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah

ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana

dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan

sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada.

14Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 54

(34)

adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht)16.

e. Pengertian hukum pidana menurut G. WLG. Lemaire adalah hukum

pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan

dan larangan-larangan yang oleh pembentuk UU telah dikaitkan dengan

suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat

khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu

merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap

tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu)

dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan

serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi

tindakan-tindakan tersebut17.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak

pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana

senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar

suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang

disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada

perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan

kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian

tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar

aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan

terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku

tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan

16Moeljatno, Ibid hlm 6

17

(35)

dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan

yang erat pula.

Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan

pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk

mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit

dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh

karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci

menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya,

hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga

ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang

menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat

reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam

menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas

dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah

dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu

perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan

azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak

ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih

(36)

Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu18 :

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan

undang-undang.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh

digunakan analogi.

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan

yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi

untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya

yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan.

Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang

tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum

sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan

segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan

bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang

telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman

pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya19.

18 Nawawi Arief, Barda, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1998, hlm 36

(37)

Dilihat dari ruang lingkupnya hukum pidana dapat dikelompokkan

sebagai berikut20 :

1.

Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

2.

Hukum pidana sebagai hukum positif

3.

Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik

4.

Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif

5.

Hukum pidana material dan hukum pidana formal

6.

Hukum pidana kodifikasi dan hukum pidana tersebar

7.

Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus

8.

Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat.

Hukum pidana umum (alegemen strafrecht) adalah hukum pidana yang berlaku untuk tiap penduduk, kecuali anggota militer, nama lain dari

hukum pidana umum adalah hukum pidana biasa atau hukum pidana sipil

(commune strafrecht). Akan tetapi dilihat dari segi pengkodifikasiannya maka KUHP pun disebut sebagai hukum pidana umum, dibanding dengan

perundang-undangan lainnya yang tersebar. Hukum pidana khusus

adalah suatu peraturan yang hanya ditunjukkan kepada tindakkan tertentu

(tindak pidana subversi) atau golongan tertentu (militer) atau tindakkan

tertentu, seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi, dan

lain-lain. Menurut Samidjo, S.H. hukum pidana khusus dapat disebut21 :

20 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung, PT Citra Adhya Bakti, 2005, hlm 3.

(38)

2. Hukum pidana fiskal (pajak)

3. Hukum pidana ekonomi

4. Hukum pidana politik.

Suatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum,

diatur pula dalam peraturan pidana khusus, yang khusus itulah yang

dikenakan, Adagium untuk itu adalah, “Lex specialis derograt lex generalis” jadi, hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana umum. Hal dapat kita lihat pada KUHP nasional yang ditentukan

dalam pasal 63 ayat 2 KUHP dan pasal 103 KUHP.

Hukum pidana militer merupakan ketentuan-kententuan pidana

yang tercantum dalam KUHP militer atau disebut KUHperdata, yaitu Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Tentara, Kitab Undang-undang Displin

Tentara.

Hukum pidana fiskal (pajak) merupakan ketentuan-ketentuan

pidana yang tercatum dalam undang-undang mengenai pajak. Hukum

pidana ekonomi merupakan ketentuan yang mengatur pelanggaran

ekonomi yang dapat mengganggu kepentingan umum. Hukum pidana

politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur

kejahatan-kejahatan politik, misalnya menghianati rahasia negara, intervensi,

pemberontakan, sabotase22.

22

(39)

“hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang

-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut

beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan

Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan

konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena

istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.

Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum,

tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama,

dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih

khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang

dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian

tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan

strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana,

peristiwa pidana, serta delik23.

3. Subjek Dan Objek Hukum Pidana

Hukum pidana objektif (ius peonale) adalah seluruh garis hukum mengenai tingkah laku yang diancam dengan pidana jenis dan macam

pidana, serta bagaimana itu dapat dijatuhkan dan dilaksakan pada waktu

dan batas daerah tertentu. Artinya, seluruh warga dari daerah (hukum)

(40)

pidana objektif (ius peonale) ialah semua peraturan yang mengandung/memuat larangan/ancaman dari peraturan yang diadakan

ancaman hukuman. Hukum pidana objektif ini terbagi menjadi dua,

yaitu24:

a. Hukum pidana material, yaitu peraturan-peraturan yang

mengandung perumusan: perbuatan-perbuatan yang dapat

dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah yang

dapat dijatuhkan.

b. Hukum pidana formal, yaitu disebut juga sebagai hukum acara,

memuat peraturan-peraturan bagaimana cara negara beserta

alat-alat perlengkapannya melakukan hak untuk menghukum

(mengancam, menjatuhkan, atau melaksanakan).

Hukum pidana subjektif (ius puniendi) merupakan hak dari penguasa untuk mengancam suatu pidana kepada suatu tingkah laku

sebagaimana digariskan dalam hukum pidana objektif, mengadakan

penyidikkan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk

melaksanakan pidana yang dijatuhkan. Persoalan mengenai apakah

dasarnya atau darimana kekuasaan penguasa tersebut, jawabannya

menurut E.Y Kanter terletak pada falsafah dari hukum pidana25.

24Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori -Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan Kedua, Bandung , Penerbit Alumni, 1998 , hlm 6.

(41)

Ilmu pidana mempunyai beberapa unsur-unsur di dalamnya,

antara lain :

Unsur formal meliputi :

a. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya

tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh

manusia.

b. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan

dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang

telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat

menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu

peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.

c. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP

mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak

pidana yang telah dilakukan.

d. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur

kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan

dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang tersebut

berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar

sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam

arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena

pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki

(42)

tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta

pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban

seseorang terletak dalam keadaan jiwanya26.

Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan

hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga

perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu

memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan

hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam

dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah

unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi27 :

a. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau

kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal

membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).

b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat

dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara

material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.

c. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh peraturan

perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum,

meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam

perumusan.

26

Unsur-Unsur Tindak Pidana, www.lawcommunity.com, diakses pada hari Rabu 30 Juli 2013 pukul 16.01 WIB.

(43)

juga mengenal delik-delik pidana. Istilah delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan

permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap

orang tertentu.

5. Delik-Delik Dalam Hukum Pidana

Pada delik aduan, jaksa hanya akan melakukan penuntutan

apabila telah ada pengaduan dari orang yang menderita, dirugikan oleh

kejahatan tersebut. Pengaturan delik aduan tidak terdapat dalam Buku ke

I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke II. Tiap-tiap

delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan delik aduan,

menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang

dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak mengajukan

pengaduan tersebut.

Istilah delik atau ‘strafbaar feit’ lazim diterjemahkan sebagai tindak

pidana, yaitu suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum

(wederrechtelijk atau on rechtmatige). Tindak pidana dapat terjadi dengan melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, seperti

dalam hal pencurian, penipuan, penggelapan, dan pembunuhan. Di sisi

lain, tindak pidana juga dapat terjadi karena diabaikannya atau

dilalaikannya untuk melakukan suatu perbuatan yang diharuskan oleh

(44)

pengadilan untuk di dengar kesaksiannya dalam sidang pengadilan.

Secara umum, pengertian delik, baik dalam lapangan Hukum

Pidana maupun Hukum Perdata, dapat didefinisikan sebagai perbuatan

seseorang terhadap siapa sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatannya

itu diancamkan. Definisi semacam ini mensyaratkan bahwa sanksi itu

diancamkan terhadap seseorang yang perbuatannya dianggap oleh

pembuat undang-undang membahayakan masyarakat, dan oleh sebab itu

pembuat undang-undang bermaksud untuk mencegahnya dengan sanksi

tersebut. Perlu dicatat bahwa fakta tentang delik bukan hanya terletak

pada suatu perbuatan tertentu saja, melainkan juga pada akibat-akibat

dari perbuatan tersebut.

Pembagian delik menurut H.A.Abu Ayyub Saleh, antara lain28 :

a. Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut

delik hukuman, ancaman hukumannya lebih berat.

b. pelanggaran adalah biasanya disebut delik undang-undang

yang ancaman hukumannya memberi alternatif bagi setiap

pelanggarnya.

c. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang

dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa

melihat akibatnya. Contoh: delik pencurian pasal 362 KUHP.

d. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru

akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik. Contoh: delik

28

(45)

menjelaskan bagaimana cara melakukan pembunuhan, tetapi

yang disyaratkan adalah akibatnya yakni adanya orang mati

terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik.

e. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa

saja dan diberlakukan secara umum. Contoh: penerapan delik

kejahatan dalam buku II KUHP, misalnya delik pembunuhan

pasal 338 KUHP.

f. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan

oleh orang tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak

pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain.

g. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu

ada pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban

aparat negara untuk melakukan tindakan.

h. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan

dengan sengaja. Contoh: pasal-pasal pembunuhan,

penganiayaan dan lain-lain.

i. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya, kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau

karena salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain

menjadi korban. Contoh: seorang sopir yang menabrak pejalan

kaki, karena kurang hati-hati menjalankan kendaraannya.

j. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat

karena suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.

(46)

terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang menyertainya

itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang

berkualifikasi.

k. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa

unsur dan keadaan yang memberatkan. Contoh: pasal 362

KUHP tentang delik pencurian biasa.

l. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan

tersebut dan tidak ada perbuatan lain lagi. Contoh: seseorang

masuk dalam rumah langsung membunuh, tidak mencuri dan

memperkosa.

m. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berlanjut, sehingga harus

dipandang sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan.

n. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan

Undang-undang bersifat larangan untuk dilakukan. Contoh: perbuatan

mencuri, yang dilarang adalah mencuri atau mengambil barang

orang lain secara tidak sah diatur dalam Pasal 362 KUHP.

o. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan

jahat tetapi orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib,

maka dikenakan Pasal 164 KUHP, jadi sama dengan

(47)

sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada

pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban. Contoh :

pencurian keluarga pasal 367 KUHP, delik penghinaan pasal

310 KUHP, delik perzinahan pasal 284 KUHP.

B. Aspek Hukum tentang Pelaksanaan Profesi Dokter

1. Pengertian Umum Dokter dan Pasien

Dewasa ini, tindak pidana di bidang medis menjadi perhatian

karena perkembangannya yang terus meningkat dengan dampak/korban

yang begitu besar dan kompleks, yakni secara umum tidak hanya dapat

menguras sumber modal manusia, modal sosial, bahkan modal

kelembagaan yang dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan

terhadap korban tindak medis tersebut.

Pada kenyataan sehari-hari sering terdengar keluhan-keluhan dari

masyarakat tentang mutu pelayanan yang diterima dari rumah sakit.

Keluhan tersebut antara lain mengenai pelayanan rawat inap yang

dianggap kurang nyaman, jarang/tidak adanya kunjungan dokter ahli atau

fasilitas yang diterima tidak sesuai dengan mahalnya biaya yang

dikeluarkan pasien.

Pengertian pasien dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa :

“Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi

(48)

tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”.

Berdasarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen

keempat Pasal 28 H ayat (1), menyatakan bahwa :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan”.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, memberikan peluang terhadap pengguna jasa untuk

mengetahui apa yang menjadi dasar apabila terjadi konflik antara pasien

dan dokter.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran menyatakan bahwa :

“Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam

melaksanakan upaya kesehatan”.

Upaya pembangunan kesehatan tersebut, sangatlah penting untuk

hubungan antara profesi medis dan pasien, dalam hal ini dokter yang

secara langsung memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Masyarakat sepakat bahwa perbuatan dokter dalam melaksanakan

tugasnya yang mulia tersebut layak mendapatkan perlindungan hukum

(49)

bentuk peraturan khusus, tetapi letaknya terbagi dalam berbagai

peraturan dan perundang-undangan. Hukum kesehatan merupakan

bagian dari peraturan-peraturan dari sumber yang berlainan. Ada yang

terletak dibidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi

yang penerapan, penafsiran serta penilaian terhadap faktanya di bidang

medis. Hal tersebut menunjukan letak kesukaran hukum kesehatan,

karena menyangkut beberapa disiplin ilmu yang berlainan sekaligus.

Ada suatu bidang lain yang berkaitan erat dengan Hukum Medis,

yaitu apa yang dinamakan “Kedokteran Kehakiman”. Harus dibedakan

antara Kedokteran Kehakiman (Gerechtelijke geneeskunde) yang termasuk disiplin Medis dan Hukum Medis (Medical law) termasuk disiplin hukum

.

Namun akhir-akhir ini di negara indonesia mulai timbul penafsiran

baru, sehingga mulai timbul kekaburan batas antara Hukum Medis dan

Kedokteran Kehakiman, Sementara pendapat yang menyatukan dan

mencakup kedua bidang ini menjadi satu di dalam suatu wadah yang

dinamakan “Medico-legal”29. 2. Pengaturan Tentang Kedokteran

Setiap tindakan yang dilakukan di Indonesia, harus berlandaskan

dengan hukum yang berlaku dan yang sah. Begitu juga dengan kebijakan

dan tindakan di dalam praktik kedokteran, sehingga sudah seharusnya

para petugas kesehatan memahami dan mematuhi tentang aspek

(50)

Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,

Pasal 3 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa :

“Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :

a. Memberikan perlindungan kepada pasien;

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan

medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan

Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,

dokter dan dokter gigi”.

Dasar hukum tentang praktik kedokteran dan tenaga medis ialah

pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran , menyatakan bahwa :

“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik

kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”.

Upaya agar seorang dokter dapat mendapatkan izin praktik

dalam melakukan praktik kedokteran di indonesia ialah diatur dalam

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran yang menyatakan bahwa :

a. “Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

b. Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.

c. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu)

(51)

menjalankan tugasnya sebagai tenaga medis, hal ini berdasarkan Pasal

51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

yang menyatakan bahwa :

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

mempunyai kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”.

Berbicara tentang ruang lingkup dokter dan praktik kedokteran,

dokter juga termasuk di dalam kategori seorang tenaga medis atau bisa

dikatakan juga tenaga kesehatan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (6)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan

bahwa :

“Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan

diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 262 Tahun 1979 yang

dimaksud dengan tenaga medis adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau

(52)

1996 Tenaga Medik termasuk tenaga kesehatan, sementara itu

berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga

medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang

profesinya dalam bidang medis yaitu dokter, physician (dokter pskiater) maupun dentist ( dokter gigi )30.

Tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, antara lain :

a. Memberikan perlindungan pada pasien dan dokter

b. Memberikan kepastian hukum baik pada pasien maupun

dokter

c. Menjaga dan meningkatkan kualitas mutu pelayanan

Demi tercapainya tujuan diatas maka pemerintah membentuk 2

badan independent, yaitu31 :

a. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)

Tugas dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

(MKDKI), antara lain :

1) Mengatur kedisiplinan dokter dalam melakukan pelayanan

kesehatan

2) Menerima pengaduan, memeriksa, memutuskan kasus

kasus pelanggaran, baik pelanggaran medis maupun etika

30

Azrul Azwar, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan , Makalah kogres Nasional IV PERHUKI, Surabaya, 1996, hlm.7

31

(53)

Referensi

Dokumen terkait

tidak berbeda nyata (Tabel 5).Viabilitas spora kelima isolat yang akan diujikan untuk uji antagonis memiliki persentase viabilitas yang tinggi dengan nilai > 90 %..

Dengan merujuk pada kurikulum dan KKNI Deskriptor program Administrasi/ Manajemen Pendidikan (S1) mengenai sejauh mana kompetensi tersebut dapat dipenuhi serta

Dengan adanya web untuk sebuah dealer sepeda motor suzuki maka semua proses pemesanan kendaraan yang terjadi didalam sebuah dealer sepeda motor akan menjadi lebih efisien dan

Dengan demikian, ketika ketiga unsur ini tidak dimiliki oleh suatu ilmu pengetahuan, yaitu tidak mampu mendatangkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia,

1) Kerja sama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian dan TP-PKK Pusat dalam melakukan penilaian pemanfaatan TOGA. 2) Kesepakatan Negara anggota WHO SEARO, dalam

Termofisika adalah cabang dari ilmu fisika yang mempelajari tentang proses perpindahan energi sebagai kalor dan usaha antara sistem dan

Dari permasalahan tersebut peneliti mengambil tema penelitian yakni pengembangan media diorama pada materi perairan laut.Tujuan penelitian ini adalah untuk

Dalam buku yang ditulis Julius Pour tertulis, bahwa pada tanggal 13 Februari 1967, Jenderal Nasution secara terbuka mencurigai Presiden Soekarno terlibat dalam