DI MTS NURUL ILMI TANGERANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Akademik Program Kualifikasi Kependidikan dan
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
EUIS FATMAWATI 107011000414
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DI MTS NURUL ILMI TANGERANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
EUIS FATMAWATI 107011000414
Dosen Pembimbing
Yudhi Munadi, M.Ag NIP. 19701203 199803 1 003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Euis Fatmawati
Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 24 Agustus 1998
Nim : 107011000414
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul skripsi : Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam
Pembelajaran SKI Berbantuan Media Film Di
MTs Nurul Ilmi Tangerang
Dosen Pembimbing : Yudhi Munadi, M.Ag
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil
karya sendri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya
tulis.
Jakarta, 4 Januari 2013
i
Pendidikan Agama Islam “Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Berbantuan Media Film pada Mata Pelajaran SKI di MTs Nurul Ilmi Tangerang”.
Media merupakan sumber-sumber belajar selain guru yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan secara terencana oleh seorang guru atau pendidik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi pembelajaran siswa dan afeksi siswa saat dan sesudah pembelajaran dengan berbantuan media film.
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Nurul ‘Ilmi Tangerang dari bulan Maret 2012. Yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan dewan guru MTs Nurul “Ilmi Tangerang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Dengan melakukan wawancara dengan informan siswa diketahui bahwa pembelajaran dengan berbantuan media film dapat mengembangkan afeksi siswa dalam belajar. Dengan ditandai sikap siswa yang menerima, mendengar, dan memperhatikan guru yang menjelaskan pelajaran didepan kelas.
ii
Pendidikan Agama Islam “Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Berbantuan Media Film pada Mata Pelajaran SKI di MTs Nurul Ilmi Tangerang”.
Media are sources of learning than teachers who called the dealer or connecting instructional messages held in a planned or created by a teacher or educator.
This study aims to determine the situation and affective student learning during and after the learning of students with media-assisted film. This study was conducted in MTs Nurul 'ILMI Tangerang from March 2012. Used as informants in this study were students of class VII and the teaching body MTs Nurul "Ilmi Tangerang.
The method used in this study were interviews and observation. By conducting interviews with informants note that students learning with media-assisted film can develop students' affective learning. With the attitude of the students indicated that receive, listen, and pay attention to the teacher explaining the lesson in the classroom.
iii
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang
Maha Esa, Tuhan dan pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan sholawat serta
salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat-sahabat dan para pengikutnya yang setia sampai hari akhir nanti.
Teristimewa, ucapan terimakasih penulis curahkan kepada Ayahanda (H. Arsidi) dan Ibunda tercinta (Hj. Masminah) yang telah mendidik penulis dari buaian hingga sekarang yang selalu berjuang baik materil maupun moril hingga
penulis dapat menyelesaikan kuliah. Terima kasih banyak atas kesabarannya,
ketulusannya dan perjuangan ayahanda dan ibunda tercinta, penulis tidak akan
dapat membalas jasanya. Semoga Allah selalu memberikan balasan yang lebih
atas semua yang telah ayahanda dan ibunda berikan untuk penulis.
Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana
Strata Satu (S1), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, penulis
membuat skripsi dengan judul “Efektifitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam Pembelajaran SKI Berbantuan Media Film”.
Selama penyusunan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
dihadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu,
pengumpulan data, maupun biaya yang tidak sedikit, dan sebagainya. Namun
denganakerja keras dan kesungguhan hati serta dorongan dan motivasi dari
berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Yudhi Munadi, M.Ag, Sebagai Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing serta memberikan motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2. Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh
iv penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan Asisten Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah membimbing dan mendidik penulis dengan memberikan bekal
ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.
5. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah beserta stafnya, yang telah
memberikan pelayanan dalam penyediaan buku-buku yang diperlukan
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi
6. Siti Huliah, SE Kepala Sekolah MTs Nurul Ilmi Tangerang beserta
guru-guru, karyawan dan para siswa-siswi, yang telah memperkenankan penulis
mengadakan penelitian dan terima kasih atas bantuan dan kesediannya
memberikan data guna melengkapi penelitian ini.
7. Teristimewa, Hendri Heryandi, terimakasih telah memberikan motivasi,
semangat, dan doa yang tulus kepada penulis.
8. Kakak-kakak dan adik tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan do’a kepada penulis.
9. Sahabat-sahabat PAI angkatan 2007 (terkhusus) Siti Humaeroh, Syifa
Fauziyah, Dina Merliana, Reni Adhani, semangat dan keceriaannya tak
terlupakan.
10.Serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih
atas bantuan dan motivasinya kepada penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
Semoga segala kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT. Semoga rahmat, taufiq dan hidayah-Nya selalu dilimpahkan pada kita semua sepanjang kehidupan kita.Amiin…
Jakarta, 4 Januari 2013
Penulis
v
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Perumusan Masalah ... 5
E. Tujuan Penelitian... .... 5
F. Kegunaan Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI A. Efektifitas Pembelajaran ... 7
1. Pengertian Efektivitas ... 7
2. Prinsip-prinsip Efektifitas ... 12
3. Cara Mengetahui Keefektifan Hasil Belajar ... 12
B. Ranah Afektif ... 13
1. Definisi Afektif ... 13
2. Karakteristik ranah afektif... 15
3. Tingkatan Afektif ... 20
4. Peroses Pembentukan Sikap ... 25
C. Media Pembelajaran ... 27
1. Definisi Media ... 27
2. Pertimbangan Dalam Memilioh Media Pembelajaran ... 28
3. Fungsi Media Pembelajaran ... 29
4. Prinsip-prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media ... 35
5. Media Berbasis Audio Visual ... 37
6. Jenis-jenis Film ... 38
vi
3. Manfaat Mempelajari Ski ... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 43
B. Lokasi Penelitian ... 43
C. Pengumpulan Data ... 45
1. Sumber Data ... 45
2. Jenis Data ... 45
D. Validasi Data ... 46
E. Pengolahan dan Analisis Data ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Profil MTs Nurul Ilmi ... 48
1. Sejarah Berdirinya MTs Nurul Ilmi ... 48
2. Visi dan Misi ... 48
3. Sarana Dan Prasarana ... 49
4. Keadaan Guru... 50
5. Jumlah Siswa Menurut Tingkat dan Jenis Kelamin ... 53
B. Situasi Peroses Pembelajaran Berbantuan Media Film ... 53
1. Kegiatan Pendahluan Pembelajaran ... 53
2. Kegiatan Inti Pembelajaran ... 54
3. Kegiatan Penutup Pembelajaran ... 55
C. Deskripsi Hasil Lembar Soal Siswa ... 58
D. Gejala-gejala Psikologis-Afektif Siswa Pada Saat dan Setelah Mereka Mengikuti Pembelajaran Berbantuan Media Film ... 61
1. Penerimaan Siswa Terhadap Berbantuan Media Film ... 61
vii
Ski Berbantuan Media Film ... 66
1. Penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang dipelajari ... 67
2. Siswa merasa senang dalam proses belajar ... 67
3. Mengajar itu menghasilkan semua yang diinginkan untuk
tercapai ... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
viii
Table 4.1 Fasilitas Sekolah
Table 4.2 Keadaan Guru
Table 4.3 Jumlah Siswa
Table 4.4 Persentasi Hasil Afektif 1
Table 4.5 Persentase Hasil Afektif 2
Table 4.6 Persentase Hasil Afektif 3
Table 4.7 Persentase Hasil Afektif 4
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan
pengalaman baru kepada siswa membentuk kompetensi siswa, serta mengantarkan
mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara optimal. Hal ini dapat dicapai dengan
melibatkan secara mendidik mereka dalam perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian pembelajaran. Seluruh siswa harus dilibatkan secara penuh agar
bergairah dalam pembelajaran, sehingga suasana pembelajaran benar-benar
kondusif dan terarah pada tujuan dan pembentukan kompetensi siswa.
Pembelajaran efektif menuntut keterlibatan siswa secara aktif, karena
mereka merupakan pusat kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi.
Siswa harus didorong untuk menafsirkan informasi yang disajikan oleh guru
sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya,
hal ini memerlukan proses pertukaran pikiran, diskusi, dan pedebatan dalam
rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap materi standar yang harus
dikuasai siswa.1
Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tuntutan
penerapan kurikulum berbasis kompetensi mencakup tiga ranah, yaitu
kemampuan berpikir, keterampilan melakukan pekerjaan, dan perilaku. Setiap
1
peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya
satu sama lain berbeda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir
tinggi dan perilaku amat baik, namun keterampilannya rendah. Demikian
sebaliknya ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir rendah, namun
memiliki keterampilan yang tinggi dan perilaku amat baik. Ada pula peserta didik
yang kemampuan berpikir dan keterampilannya sedang/biasa, tapi memiliki
perilaku baik. Jarang sekali peserta didik yang kemampuan berpikirnya rendah,
keterampilan rendah, dan perilaku kurang baik. Peserta didik seperti itu akan
mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat, karena tidak memiliki
potensi untuk hidup di masyarakat. Ini menunjukkan keadilan Tuhan YME, setiap
manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk
hidup di masyarakat.
Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan
menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi. Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan
dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis,
berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan
afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung
jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat
orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus
menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui
kegiatan pembelajaran yang tepat.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun
implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan
pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor.
Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan
pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan
pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi
afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan
perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.2
2
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang
sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai
berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan
tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya.
Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin
dapat mengetahuinya dari prilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai
pada dasarnya standar prilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang
tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, dan lain
sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai prilaku seseorang. Dengan
demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta
didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku sesuai dengan
pandangan yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku.3
Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang
sangat penting bagi pendidikan Agama Islam, oleh karena itu siswa harus
sungguh-sungguh dalam mempelajari mata pelajaran tersebut. Akan tetapi dewasa
ini banyak sekali siswa yang tidak atau jarang memperhatikan mata pelajaran
tersebut karena dianggap membosankan sehingga membuat siswa malas untuk
mempelajari sejarah khususnya pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.
Oleh karena itu seorang guru harus bisa memasukan unsur media untuk
memotivasi belajar siswa agar siswa tidak merasa bosan atau jenuh dengan mata
pelajaran tersebut, sehingga tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai.
Media merupakan sumber-sumber belajar selain guru yang disebut
sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan
secara terencana oleh seorang guru atau pendidik.4
Dunia pendidikan dewasa ini berkembang semakin pesat dan semakin
kompleksnya persoalan pendidikan yang dihadapi bukanlah tantangan yang harus
dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan pemikiran yang konstruktif demi
tercapainya kualitas yang baik. Persoalan yang dimaksud di antaranya adalah
3
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Peroses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2005), cet ke 5 h. 274
4
bagaimana seorang guru menyampaikan pesan pendidikan melalui media Film
(Audio Visual) agar siswa termotivasi dan tidak merasa bosan dengan materi yang
disampaikan, khususnya materi pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.
Media audio visual yaitu merupakan suatu cara menyajikan bahan
pelajaran dengan menggunakan alat-alat atau media pengajaran yang dapat
memperdengarkan atau memperagakan bahan-bahan tersebut, sehingga siswa
dapat menyajikan secara langsung, mengamati secara cermat memegang atau
merasakan bahan-bahan peraga tersebut.5
Di sini penulis menggunakan media audio visual yang berbentuk Film
Dokudrama yaitu film-film dokumenter yang membutuhkan pengadegan. Dengan
demikian kisah-kisah yang ada dalam dokudrama adalah kisah yang diangkat dari
kisah nyata dari kehidupan nyata.6
Kemudian dalam hubungannya dengan kegiatan belajar, yang penting
bagaimana menciptakan kondisi atau suasana proses yang mengarahkan siswa itu
melakukan aktivitas belajar. Dalam hal ini sudah barang tentu peran guru sangat
penting. Bagaimana guru melakukan usaha-usaha untuk dapat menumbuhkan dan
memberikan motivasi agar anak didiknya melakukan aktivitas belajar dengan baik
di perlukan peroses dan motivasi yang baik pula. Dalam hal ini motivasi sudah di
katan baik apabila tujuan yang diinginkan sudah baik atau tercapai.7
Mengingat pentingnya suatu media Film (audio visual) dalam proses
pembelajaran pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam agar dapat
memberikan motivasi belajar siswa, guru diharapkan dapat menyajikan media
audio visual yang berbentuk film sehingga siswa bersemangat dalam mengikuti
mata pelajaran tersebut dan tercapainya tujuan pendidikan serta keefektifan siswa
dalam mengikuti pembelajaran sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bertitik tolak dari hal tersebut penulis mencoba untuk mengadakan
penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul:
“Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam Pembelajaran SKI Berbantuan Media Film di MTs Nurul Ilmi Tangerang”.
5
Tayar Yusuf ,dan Drs. Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta:PT Raja Grapindo 1995), h. 78
6
Yudhi Munadi, Media Pembelajaran….h. 5
7
B. Identifikasi Masalah
1. Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun
implementasinya masih kurang.
2. dewasa ini banyak sekali siswa yang tidak atau jarang memperhatikan
mata pelajaran SKI karena dianggap membosankan.
C. Pembatasan Masalah
1. Materi yang dijadikan bahan penelitian adalah materi Sejarah Kebudayaan
Islam kelas VII di MTS Nurul Ilmi Tangerang.
2. Media yang dijadikan obyek penelitian adalah media audio visual yang
berjenis film jadi, yang membahas tentang sejarah Nabi Muhammad saw
di Mekah serta sistem perekonomian dan perdagangan pada masa Nabi
Muhammad SAW.
D. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini, yaitu:
1. Bagaimana situasi pembelajaran SKI dengan berbantuan media film?
2. Bagaimana pencapaian tujuan afektif dalam pembelajaran dengan
berbantuan media film pada bidang studi SKI di MTS Nurul Ilmi
Tangerang?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui situasi pembelajaran dengan berbantuan media film.
2. Untuk mengetahui efektifitas pencapaian tujuan afektif dalam
pembelajaran dengan berbantu media film pada mata pelajaran SKI di
MTS Nurul Ilmi Tangerang.
F. Kegunaan Penelitian
1. Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang Efektifitas pencapaian
tujuan Afektif dalam pembelajaran dengan berbantu media film pada mata
2. Sebagai bahan rujukan bagi pembaca atau peneliti selanjutnya.
3. Memperkaya perbendaharaan perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Efektivitas Pembelajaran
1. Pengertian Efektivitas Pembelajaran
Kata “efektivitas” merupakan kata sifat dari kata “efektif” yang berarti ada
efeknya (akibat, pengaruh, kesan), manjur, mujarab, dapat membawa hasil,
berhasil guna. Menurut pengertian bahasa, efektivitas berarti dapat membawa
hasil, sehingga sesuatu dapat dikatakan efektif apabila berhasil dan dapat
mencapai tujuan sebagaimana yang telah dirumuskan atau direncanakan sebelum
melakukan hal tersebut. Efektifitas yang terdapat dalam Ensiklopedi Indonesia
berarti, menunjukan tercapainya suatu tujuan. Suatu usaha dikatakan efektif jika
usaha tersebut tercapai tujuannya.8 Dengan kata lain suatu pembelajaran bisa
dikatakan efektif apabila telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan hal
tersebut terdiri dari tiga bagian, karena seorang guru harus dapat memilih metode
yang tepat untuk mencapai tujuan.
Pertama, suatu pembelajaran dapat dikatakan efektif apabila memenuhi
persyaratan utama keefektifan pengajaran, yaitu:
a. Presentase waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM.
b. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi di antara siswa.
8
c. Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa
(orientasi keberhasilan belajar) diutamakan.
d. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif.
Selain itu guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu
berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata
pelajaran dengan presentase waktu belajar akademis yang tinggi dan
pelajaran berjalan tanpa menggunakan tekhnik yang memaksa, negatif atau
hukuman. Selain itu guru yang efektif adalah orang-orang yang dapat
menjalin hubungan simpatik dengan para siswa, menciptakan lingkungan
kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki suatu rasa cinta belajar,
menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat memotivasi siswa
untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga menjadi
anggota masyarakat yang pengasih.
Kedua ada 5 variabel proses guru yang memperlihatkan keajegan
hubungan dengan pencapaian tujuan, yaitu:
a. Dalam penyajian materi harus jelas.
b. Seorang guru harus memiliki kegairahan dalam mengajar. Agar siswa
termotivasi dengan keaktifannya dalam mengajar.
c. Dalam proses pembelajaran guru harus mempunyai ragam kegiatan seperti
metode atau media yang digunakan beragam tidak hanya terpaku pada satu
metode atau media saja agar siswa tidak merasa jenuh ketika peroses
pembelajaran berlangsung.
d. Perilaku siswa akan melaksanakan tugas dan kecekatannya.
e. Kandungan bahan pengajaran yang diliput siswa.9
Salah satu strategi yang membantu siswa belajar dari teks tertulis dan
sumber-sumber informasi yang lain adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
sehingga siswa harus berhenti dari waktu ke waktu untuk menilai pemahaman
mereka sendiri terhadap teks atau apa yang diucapkan oleh gurunya.
9
Sedangkan efektivitas dalam kegiatan pembelajaran mengajar merupakan
sesuatu yang membawa hasil dalam waktu yang memadai yang memungkinkan
tercapainya tujuan intruksional sesuai standar yang telah ditentukan dengan
jumlah siswa.
Maka salah satu prinsip efektivtas pengajaran yang baik adalah apabila di
dalam proses belajar menggunakan waktu yang cukup sekaligus dapat
membuahkan hasil (pencapaian tujuan instruksional) yang lebih tepat dan cermat
secara optimal dengan waktu yang telah ditentukan dengan bobot materi pelajaran
maupun tujuan instruksionalnya diharapkan dapat memberikan sesuatu yang
berharga bagi peserta didik.
Pembelajaran efektif hanya mungkin terjadi jika didukung oleh guru yang
efektif. Pakar pendidikan Gilbert H.Hunt sebagaimana yang dikutip oleh Rosyada,
2004:113) dalam bukunya efective teaching, menyebutkan ada tujuh kriteria yang
harus dimiliki oleh seorang guru agar pembelajaran efektif, yaitu:
1. Sifat, guru harus memiliki sifat antusias, memberi rangsangan, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi kepada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, dapat dipercaya, fleksibel dan mudah menyesuaikan diri, demokratis, penuh harapan bagi siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar
2. Pengetahuan, memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus menerus mengikuti perkembangan dalam bidang ilmunya
3. Apa yang disampaikan, mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasan, semua kompetensi dasar yang diharapkan siswa secara maksimal
4. Bagaimana mengajar, mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas dan terang, memberikan layanan yang variatif (menerapkan metode mengajar secara bervariasi), menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi,memonitor bahkan sering mendekati siswa, mampu mengambil keuntungan dari kejadian-kejadian yang tidak terduga
5. Harapan, mampu memberi harapan kepada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya
6. Reaksi guru terhadap siswa, mau dan mampu menerima berbagai masukan, risiko, tantangan, selalu memberikan dukungan kepada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa
memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, jika perlu memberi hukuman dalam bentuk yang paling ringan.10
Ketiga, Selain guru pembelajaran efektif juga perlu didukung oleh suasana
dan lingkunag belajar yang memadai/kondusif. Oleh karena itu, guru harus
mampu mengelola siswa, mengelola kegiatan pembelajaran, mengelola isi/materi
pembelajaran, dan mengelola sumber-sumber belajar. Menciptakan kelas yang
efektif dengan peningkatan efektifitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan
secara persial, melainkan harus menyeluruh mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.
Menurut Kenneth D. More, ada tujuh langkah dalam
mengimplementasikan pembelajaran efektif, yaitu:
1. Perencanaan,
2. Perumusan tujuan/kompetensi,
3. Pemaparan perencanaan pembelajaran kepada siswa,
4. Proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi (multistrategi, 5. Evaluasi,
6. Menutup proses pembelajaran, dan 7. Follow up/tindak lanjut.11
Jika pengajar membuat perencanaan pembelajaran sebelum mengajar
kemudian mengaplikasikannya dalam kegiatan belajar mengajar dan mendapat
output yang baik dari anak didiknya, maka dapat dikatakan bahwa sebagai
pengajar ia telah memenuhi tujuan dalam pekerjaan tersebut, dan pekerjaan
tersebut dapat dikatakan efektif.
Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan pengetahuan, dan
untuk mengetahui apakah tujuan belajar telah tercapai secara efektif atau tidak,
maka dapat diketahui dengan tingkat prestasi belajar yang telah dicapai. Tingkat
keberhasilan dibagi atas beberapa tingkatan/taraf, yaitu istimewa, baik sekali
(optimal), baik (minimal), dan kurang.
10
Suyono dan Hariayanto, Belajar Dan Pembelajar ... h. 208-209
11
a. Istimewa/maksimal: Apabila seluruh (100%) bahan pelajaran yang
diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa
b. Baik sekali/optimal: Apabila sebagian besar (70-90%) bahan pelajaran
yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa
c. Baik/minimal: Apabila bahan pelajaran yang dapat dikuasai oleh
siswa kurang dari 60%.
Berdasarkan tingkat keberhasilan belajar mengajar, maka suatu kegiatan
belajar mengajar memiliki tingkat efektifitas yang sangat baik, bila siswa dapat
mencapai minimal 60% dari tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Suatu
kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan
sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan
untuk mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpersonal yang baik antara
guru dan siswa, merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas.
Berdasarkan pengertian, bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya
semua tugas pokok dengan baik, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya
partisipasi aktif dari anggota dalam mencapai tujuan organisasi. Jelasnya bila
sasarana atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya
berarti pekerjaan tersebut efektif, dan jika tujuan dan sasaran itu tidak selesai
dengan waktu yang ditentukan, maka pekerjaan itu tidak efektif.
Jadi berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
secara umum efektivitas berarti ketercapaian suatu tujuan yang telah direncanakan
sebelumya. Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa efektivitas dalam suatu kegiatan, berkenaan dengan “ketepatan sasaran dari
suatu proses yang direncanakan atau diinginkan dapat terlaksana atau tercapai”.
Efektifitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai
tujuan atau sasarannya. Efektivitas ini sesungguhnya merupakan suatu konsep
yang lebih luas mencakup berbagai faktor baik di dalam maupun di luar diri
seseorang. Dengan demikian efektifitas merupakan suatu konsep yang sangat
penting, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan seseorang
2. Prinsip-prinsip Efektifitas
Ada beberapa prinsip yang akan disebutkan dalam efektifitas pembelajaran
di antaranya:
a. Efektivitas mengajar guru, terutama menyangkut jenis-jenis kegiatan
belajar mengajar yang direncanakan apakah dapat dilaksanakan dengan
baik
b. Efektivitas belajar murid, terutama menyangkut sejauh mana tujuan-tujuan
pelajaran yang diinginkan telah dapat dicapai melalui kegiatan belajar
mengajar yang di tempuh.12
3. Cara Mengetahui Keefektifan Hasil Belajar
Ada dua cara mengetahui keefektifan hasil belajar yang dikemukakan,
yaitu menurut Kemp dan Diamond sebagai berikut:
a. Menurut Kemp bermula dari suatu pertanyaan: apa yang telah dicapai oleh
siswa? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui berapa jumlah
siswa yang berhasil mencapai seluruh tujuan belajar dalam waktu yang
telah ditentukan. Spesifikasi jumlah tersebut dinyatakan dalam persentase.
Maka dijumlahkanlah data hasil yang dicapai tiap siswa dari seluruh
informasi yang telah dicapai oleh pengajar. Misalnya dari hasil tes
(ulangan-ulangan yang pernah dilakukan), tugas-tgas atau latihan-latihan,
dan juga dari catatan hasil pengamatan pengajar terhadap tingkah laku
siswa sehari-hari.
Misalnya jumlah siswa 30 orang, bila seluruhnya (100%) dapat
berhasil mencapai seluruh tujuan, maka hasilnya efektif. Tetapi bila hanya
27 siswa (90%) saja berhasil, apakah ini dapat dikatan efektif atau tidak,
bergantung kepada standar kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan
oleh pegajar yang bersangkutan sudah tentu pengajar tidak akan
menentukan standar 100% karena mungkin desain itu sendiri kurang
sempurna. Jadi boleh saja 90% dikatakan efektif bila memang kriteria
keberhasilan yang ditentukan 90%.
12
b. Menurut Diamond keefektivan tidak diukur dengan persentase, tetapi diukur
berapa segi dengan beberapa variasi variabelnya, misalnya.
1. Hasil belajar dikatakan efektif bila ditinjau dari segi siswa, kriteria
keefktifannya dengan menggunakan variabel kira-kira sebagai berikut :
a. Dengan biaya yang sama, tetapi hasil belajar meningkat b. Dengan biaya yang kurang, tetapi hasil belajar sama c. Jumlah siswa yang gagal makin berkurang
d. Minat siswa bertambah
e. Dengan waktu yang terlalu lama, tetapi siswa dapat meraih lebih banyak kredit poni atau satuan kredit semester (SKS)
2. Hasil belajar dapat dikatakan efektif bila ditinjau dari segi sekolah, variabel nya sebagai berikut:
a. Jumlah siswa bertambah, tetapi sekolah tidak bertambah beban biayanya untuk honor pengajar
b. Waktu mengajar tidak terlalu banyak, tetapi makin banyak kesempatan bagi siswa untuk memilih spesialisasi, dan makin banyak pelajaran yang ditawarkan
c. Hubungan dengan siswa makin dekat dan frekuensi bimbingan makin tinggi, tetapi sekolah tidak menambah biaya pengeluaran tambahan untuk itu
3. Keefektifan ditinjau dari segi ruangan, variabelnya sebagai berikut:
a. Jumlah ruangan berkurang, tetapi semua perkuliahan maupun akomodasi seluruh siswa tertampung
4. Keefektifan ditinjau dari segi sumber belajar, variabelnya sebagai berikut: a. Makin bertambah jumlah siswa maupun pengajar yang memanfaatkan
sumber-sumber yang tersedia
b. Cara menggunakan sumber-sumber tersebut juga makin efesien 5. Keefektifan ditinjau dari segi masyarakat terhadap sekolah
a. Masyarakat makin menghargai dan menambah kepercayaan terhadap sekolah atau perguruan tinggi tersebut
b. Calon-calon siswa baru makin bertambah.13
B. Ranah Afektif 1. Definisi Afektif
Taksonomi untuk ranah afektif mula-mula dikembangkan oleh David. R.
Krathwohl dan kawan-kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomy of
Educational Objectivies: Affectivie Domain, Ranah afektif adalah ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap
13
seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki
penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar akan tampak pada peserta
didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya pada mata pelajaran
pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran agama di
sekolah, motivasinya yang tinggi untuk mengetahui lebih banyak mengenai
pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya
terhadap guru pendidikan agama Islam, dan sebagainya.14
Sedangkan menurut Popham, ranah afektif menentukan keberhasilan
belajar seseorang, orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit
untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat
dalam suatu pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang
optimal, oleh karena itu semua pendidikan harus mampu membangkitkan minat
semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu,
ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan,
semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa social. Dan sebagainya. Untuk
itu, semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus
memperhatikan ranah afektif. Sikap dapat 15didefinisikan “sebagai suatu
kecendrungan untuk melakukan suatu respon dengan cara-cara tertentu terhadap
dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun objek-objek tertentu.
Ranah afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan,
emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau
penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhanah,
yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang
merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam
literatur tujuan afektif disebut sebagai, minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem
nilai serta kecenderungan emosi.
Perumusan tujuan instruksional pada kawasan afektif tidak berbeda jauh
bila dibandingkan dengan ranah kognitif, tetapi dalam mengukur hasil belajarnya
jauh lebih sukar karena menyangkut kawasan sikap dan apresiasi. Di samping itu
14
Anas Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 54
15
ranah afektif sulit dicapai pada pendidikan formal, karena pada pendidikan formal
perilaku yang nampak dapat diasumsikan timbul sebagai akibat dari kekakuan
aturan, disiplin belajar, waktu belajar, tempat belajar, dan norma-norma lainnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku seperti itu timbul bukan karena
siswa telah sadar dan menghayati betul tentang kebutuhan akan sikap dan perilaku
tersebut, tetapi dilakukan karena sekedar untuk memenuhi aturan dan disiplin saja
agar tidak mendapatkan hukuman. Contohnya:
Setiap belajar bidang studi matematika, hampir seluruh siswa tingkat II
SMU selalu masuk ruang kelas lebih awal dan mereka umumnya begitu
sungguh-sungguh mendengar dan mencatat uraian dan keterangan sang guru di depan
kelas.
Sikap dan perilaku seperti ini mungkin sekali timbul karena guru killer.
Proses belajar mengajar dilakukan dengan situasi yang kaku dan tegang. Jadi
bukan karena para siswa sadar dan tertarik pada pelajaran tersebut atau karena
faktor lain yang tidak memperkuat tujuan instruksional ranah afektif, ini suatu
faktor bahwa melihat hasil belajar untuk kawasan afektif ini tidak semudah
melihat menilai kawasan lainnya. Oleh karena itu si penilai perlu berhati-hati dan
teliti agar kesahihan dan keterandalan penilaian dapat dipertanggung jawabkan.
Hal ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena peranan kawasan
afektif dalam bidang pendidikan sangat penting. Agar peranannya dapat
digunakan dengan tepat, maka satu-satunya cara yang baik untuk ditempuh adalah
dengan menuliskan tujuan intruksional kawasan afektif sesuai dengan ketentuan.
2. Karakteristik Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan
sebagai ranah afektif. Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi
seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang
termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan
derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain,
misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan
berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukan
apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai
positif, sedangkan kecemasan dimaknai negatif.
Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka
karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu
pada objek, aktifitas atau arah ide dari perasaan. Bila kecemasan merupakan
karakteristik dari afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta
didik mungkin bereaksi ke sekolah, situasi sosial atau pembelajaran. Tiap unsur
ini bisa merupakan target kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh
seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Sering kali peserta didik
cenderung sadar bahwa kecemasannya adalah tes.
Ada 5 lima tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat,
konsep diri, nilai dan moral.
a. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau
tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara
mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui
penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati
dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan
konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang
dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran,
kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang
dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek,
situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya
sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik
ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif
setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding
sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu
Untuk itu pendidikan harus membuat rencana pembelajaran termasuk
pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
b. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir
melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek
khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian
atau pencapaian. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi
terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara
umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
1) mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan
dalam pembelajaran,
2) mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
3) pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
4) menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
5) mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
6) acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan
memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
7) mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang
diberikan pendidik,
8) bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
9) meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
c. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu
terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan
intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target
konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah
konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik,
yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat
dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi
konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar
peserta didik dengan tepat.
d. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang
perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap
buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi
sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai
mengacu pada keyakinan. Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu
seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif.
Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung
pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain tentang nilai disampaikan
oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang
dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek,
aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat,
sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu
peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan
signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan
memberi kontribusi positif terhadap masyarakat.
e. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral
anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement
moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang
melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan,
bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Ranah afektif
1. Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam
bertindak dengan orang lain.
2. Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai,
misalnya moral, dan artistik.
3. Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang
mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh kependidikan.
4. Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa Negara yang
demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara
maksimal kepada semua orang.16
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan
orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri.
Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang
lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan
keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa
dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan
seseorang.17
Pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi
yang lainnya yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume
yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari
dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan
proses pembelajaran yang dilakukan guru. Sikap afektif erat kaitannya dengan
nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap “merupakan refleksi dari nilai yang
dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan
nilai”.18
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan
membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah
afektif. Peningkatan ranah afektif ini, antara lain, berupa “kesadaran beragama
yang mantap”.19
Seorang siswa dapat dianggap berhasil secara afektif dalam belajar agama
(khususnya agama Islam), apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan
ikhlas kebenaran ajaran agama Islam yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai
sistem nilai diri. Kemudian, pada gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai
penuntun hidup, baik di kala suka maupun duka.
3. Tingkatan Afektif
Sikap seseorang bisa diramalkan perubahan-perubahannya, apabila
seseorang telah menguasai bidang kognitif tingkat tinggi. Ada kecendrungan
bahwa prestasi belajar bidang afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para
guru lebih cenderung memperhatikan bidang kognitif semata, padahal dalam
pendidikan agama Islam yang harus diperioritaskan adalah sikap atau perilaku
siswa yang diharapkan sesuai dengan ajaran Islam.
Kompetensi siswa dalam bidang afektif terkait dengan kemampuan
menerima, merespon, menilai, mengorganisasi, dan memiliki karakter.
Untuk memperoleh gambaran tentang ranah tujuan intruksional afektif
secara utuh, berikut ini akan dijelaskan setiap tingkat secara berurutan berapa
contoh kongkrit berikut ini:
a. Tingkat Receiving atau Menerima
Menerima disini adalah diartikan sebagai proses pembentukan sikap dan
prilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya (stimulus)
tertentu yang mengandung estetika.
Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan), adalah
kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang
datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.
Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan
untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau
rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attending juga sering
19
diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan
atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka
bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka,
dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau
mengidentifikasikan diri dengan nilai itu. Contah hasil belajar afektif
jenjang receiving, misalnya: peserta didik bahwa disiplin wajib di
tegakkan, sifat malas dan tidak disiplin harus disingkirkan jauh-jauh.20
b. Tingkat Tanggapan (responding)
Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi
kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan
membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi
daripada jenjang receiving.
Tanggapan atau jawaban (responding) mempunyai beberapa pengertian,
antara lain:
1) Tanggapan dilihat dari segi pendidikan diartikan sebagai perilaku baru
dari sasaran didik (siswa) sebagai manifestasi dari pendapatnya yang
timbul karena adanya perangsang saat ia belajar.
2) Tanggapan dilihat dari segi psikologi prilaku (behavior psychology)
adalah segala perubahan perilaku organism yang terjadi atau yang
timbul karena adanya perangsang dan perubahan tersebut dapat
diamati.
3) Tanggapan dilihat dari segi adanya kemauan dan kemampuan untuk
bereaksi terhadap suatu kejadian (stimulus) dengan cara berpartisipasi
dalam berbagai bentuk
Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh
hasratnya untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggali lebih dalam
lagi, ajaran-ajaran Islam tentang perdagangan dan perekonomian pada
masa Nabi.
20
c. Tingkat Menilai
Valuing (menilai atau menghargai). Menilai atau menghargai artinya
memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan
atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan
membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat
afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam
kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau
menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk
menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran
yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan
demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik.
Tanggapan menilai mempunyai beberapa pengertian, antara lain:
1) Pengakuan secara obyektif (jujur) bahwa siswa itu obyek, sistem atau
benda tertentu mempunyai kadar manfaat.
2) Kemauan untuk menerima suatu obyek atau kenyataan setelah
seseorang itu sadar bahwa obyek tersebut mempunyai nilai atau
kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap prilaku positif
atau negatif.
Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya
kemampuan yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku jujur dalam
berdagang, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.
d. Tingkat Organization
Tanggapan organisasi mempunyai beberapa pengertian, antara lain:
1) Proses konseptualisasi nilai dan menyusun hubungan antar
nilai-nilai tersebut, kemudian memilih nilai-nilai-nilai-nilai yang terbaik untuk
diterapkan.
2) Kemungkinan untuk mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan
dominan dibandingkan nilai yang lain apabila kepadanya diberikan
berbagai nilai.
Contohnya:
Seorang siswa memutuskan untuk hadir pada pertemuan kelompok,
walaupun pada jam yang sama di televisi ada program film horor yang
menarik. Padahal ia seorang penggemar film tersebut.
e. Tingkat Karakterisasi (Characterization)
Karakterisasi adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan
oleh seseorang selaras dengan nilai-nilai yang dapat diterimanya, sehingga
sikap dan perbuatan itu seolah-olah telah menjadi ciri-ciri prilakunya.
Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang
universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau
mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu
sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai
lain, pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya.
Contoh nilai efektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung
penegakan disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden
Soeharto pada peringatan hari kemerdekaan nasional tahun 1995.21
Contohnya:
Sejak di sekolah lanjutan atas hingga tamat perguruan tinggi. Siti selalu
belajar siang dan malam karena ia percaya bahwa hanya dengan belajar
keras cita-citanya akan tercapai.
Berdasarkan pada kelima tingkatan yang dirumuskan oleh Bloom dan
Krath Wool tersebut di atas, maka Romis Jowski dalam bukunya Producing
Intrustion Sistem (1984). Mengelompokan aspek afektif tersebut menjadi dua tipe
prilaku yang berbeda.
1. Reflek yang terkondisi (reflexsiv conditional ). Yaitu reaksi kepada stimuli
khusus tertentu yang dilakukan secara spontan tanpa direncanakan terlebih
dahulu tujuan reaksinya.
21
Contohnya:
Seseorang yang tiba-tiba meloncat-loncat kegirangan setelah ia melihat
pengumuman hasil tes di satu departemen pada surat kabar yang
menyatakan ia lulus seleksi.
2. Sukarela (foluntary)
Adalah aksi dan reaksi yang terencana untuk mengarahkan ke tujuan
tertentu dengan cara membiasakan dengan latihan-latihan untuk
mengontrol.
Contohnya:
Seorang pramuria, pada waktu sedang menerima tamu ia akan berprilaku
begitu ramah dan menarik padahal ia adalah orang yang kaku dan judes.
Namun demikian Peromis Jowski tidak merinci lebih lanjut aspek afektif
bukanlah tipe-tipe prilaku yang berbeda tetapi merupakan perbedaan pentahapan
dalam pengembangan prilaku.22
Mengacu kepada karakter dan daya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat
berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih
mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan
keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.
Variable-variabel di atas juga telah memberikan kejelasan bagi proses
pemahaman taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses afektif adalah akibat
perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti pernah diungkapkan bahwa:
“Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan
pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok atau
orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada informasi yanag kita
peroleh tentang sifat-sifat mereka.”
Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat
menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif
dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia
22
psikologi pengajaran adalah sangat urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang
lebih baik tentunya.23
Kelima jenis perilaku tersebut tampak mengandung tumpang tindih dan
juga berisi kemampuan kognitif. Kelima jenis perilaku tersebut bersifat hierarkis.
Perilaku penerimaan merupakan jenis perilaku terendah dan perilaku
pembentukan pola hidup merupakan jenis perilaku tertinggi.24
Oleh karena itu kelima tingkatan afektif tersebut memiliki keterpaduan
satu sama lain yang perlu diperhatikan oleh seorang guru, dengan demikian
seorang guru tidak hanya menguasai bahan-bahan yang diajarkannya, keterpaduan
kelima tingkatan tersebut yang telah dimiliki oleh siswa yang akan mempengaruhi
pola kepribadian dan perilakunya, akan tetapi guru juga harus meyakinkan
kepada para siswa akan manfaat bidang studi tersebut supaya siswa tidak hanya
mampu dalam segi kognitif melainkan juga dapat mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Proses Pembentukan Sikap
a. Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari atau tidak,
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Misalnya, siswa yang setiap kali menerima prilaku yang tidak menyenangkan dari
guru, misalnya perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan
anak, maka lama kelamaan anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan hanya
kepada gurunya itu sendiri, akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang
diasuhnya. Kemudian, untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah
pekerjaan mudah.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh
Skinner melalui teorinya operani conditioning. Proses pembentukan sikap melalui
pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap
yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan
23
http://arisandi.com/aspek-kecerdasan-kognitif-afektif-dan-psikomotorik/
24
pada proses peneguhan respon anak, setiap kali anak menunjukkan prestasi yang
baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau
prilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap
positifnya.
b. Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses
modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses
mencontoh.
Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah
keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah
perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang
menjadi idolanya. Perinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.
Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya
atau orang yang dihormatinya.
Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum. Anaka kagum terhadap
kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan
segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. secara perlahan perasaan kagum
akan mempengaruhi emosinya dan secara perlahan itu pula anak akan meniru
perilaku yang dilakukan oleh idolanya itu. Misalnya, jika idolanya (guru atau
siapa saja) menunjukkan perilaku tertentu terhadap suatu objek, makan anak
cenderung akan berprilaku sama seperti apa yang dilakukan oleh idolanya itu. Jika
idolanya itu begitu telaten terhadap tanaman yang ada dihalaman sekolah,
misalnya, maka anak itu juga akan memperlakukan seperti yang dilakukan
idolanya terhadap tanaman tersebut; apabila idolanya selalu berpakaian rapi dan
bersih, maka anak itu juga berperilaku seperti itu.
Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu obyek melalui proses
modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi
pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan
mengapa kita harus telaten terhadap tanaman, atau mengapa kita harus berpakaian
bersih. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar disadari
oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.25
25
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Peroses Pendidikan, …..h.
Media pembelajaran juga dapat meningkatkan dan mengembangkan
imajinasi siswa, khususnya pada media film. Oleh karena itu media film memiliki
pengaruh yang sangat penting pada daya khayal siswa.26
C. Media Pembelajaran
Proses belajar mengajar akan berjalan efektif dan efisien bila didukung
dengan tersedianya media yang menunjang. Penyediaan media serta metodologi
pendidikan yang dinamis, kondusif serta dialogis sangat diperlukan bagi
pengembangan potensi peserta didik, secara optimal. Hal ini disebabkan karena
potensi peserta didik akan lebih terangsang bila dibantu dengan sejumlah media
atau sarana dan prasarana yang mendukung proses interaksi yang sedang
dilaksanakan. Media dalam perspektif pendidikan merupakan instrumen yang
sangat strategis dalam ikut menentukan keberhasilan proses belajar mengajar.
Sebab keberadaannya secara langsung dapat memberikan dinamika tersendiri
terhadap peserta didik. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, manusia seringkali
kurang mampu menangkap dan menanggapi hal-hal yang bersifat abstrak atau
yang belum pernah terekam dalam ingatannya.
Untuk menjembatani proses internalisasi belajar mengajar yang demikian,
diperlukan media pendidikan yang memperjelas dan mempermudah peserta didik
dalam menangkap pesan-pesan pendidikan yang disampaikan. Oleh karena itu,
semakin banyak peserta didik disuguhkan dengan berbagai media dan sarana
prasarana yang mendukung, maka semakin besar kemungkinan nilai-nilai
pendidikan mampu diserap dan dicernanya.27
1. Definisi Media
Definisi media menurut Gagne adalah sebagai “komponen sumber belajar
yang dapat merangsang siswa untuk belajar”.Sependapat dengan itu Yusuf Hadi
menuliskan, “media adalah segala sesuatu yang dapat merangsang terjadinya
26
Yudhi Munadi, Media Pembelajaaran…….. h. 46
27
peroses belajar pada diri siswa”, sementara itu, Briggs menyatakan, “media sebagai wahana fisik yang mengandung materi instruksional”.28
Media merupakan sumber-sumber belajar selain guru yang disebut sebagai
penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan secara
terencana oleh seorang guru atau pendidik. Kata media berasal dari bahasa latin,
yakni medius yang secara harfiyahnya berarti „tengah‟, „pengantar‟, atau „pelantara‟. Dalam bahasa arab media disebut „wasail‟ bentuk jamak dari „wasilah‟ yakni sinonim alwast yang artinya juga „tengah‟ itu sendiri berarti
berada di antara dua sisi, maka disebut juga sebagai „perantara‟ (wasilah) atau
yang mengantarai kedua sisi tersebut. Karena posisinya berada di tengah ia bisa
juga disebut sebagai pengantar atau penghubung, yakni yang mengantarkan atau
menghubungkan atau menyalurkan sesuatu hal dari satu sisi kesisi lainnya.29
Media dalam kontek pembelajaran adalah bahasanya guru. Bahasa guru
dalam proses pembelajaran tersebut dapat secara verbal maupun non verbal.
Bahasa verbal adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan satu kata atau
lebih, dan bahasa non verbal adalah semua pesan yang disampaikan tanpa
kata-kata atau selain dari kata-kata-kata-kata yang kita gunakan. Dengan demikian proses
penyampaian pikiran atau perasaan dapat dilakukan secara tatap muka (proses
komunikasi primer) dan bisa dilakukan melalui saluran lain (proses komunikasi
sekunder).30
2. Pertimbangan dalam Memilih Media Pengajaran:
Kegiatan pemilihan media pengajaran ini merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari keseluruhan proses penggunaan media pengajaran, karena
apabila keliru dalam media pengajarannya, maka keberhasilannya proses
berikutnya juga akan terpengaruh. Memilih media pengajaran harus dikaitkan
dengantujuan intruksional, strategi, belajar mengajar yang akan digunakan dan
sistem evaluasi yang akan digunakan. Media pengajaran sangat banyak ragamnya,
28
Soekartawi, Dkk, Meningkatkan Rancangan Intruksional (Intructional Design) Untuk Memperbaiki Kualitas Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 72
29
Yudhi Munadi, Media Pembelajaran……. h. 5-6
30
dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang paling murah sampai yang
paling mahal. Para ahli melalui berbagai penelitiannya, belum berhasil
menemukan suatu media pengajaran yang paling baik yang dapat digunakan untuk
segala jenis dan bentuk materi pengajaran serta segala situasi dan kondisi
lingkungan. Setiap media disamping memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan
masing-masing.
3. Fungsi Media Pembelajaran
a. Fungsi Media Pembelajaran Sebagai Sumber Belajar
Media pembelajaran berfungsi sebagai sumber belajar. Maksud dari
sumber belajar yaitu, sebagai penyalur, penyampai, penghubung dan
lain-lain. Fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar adalah fungsi
utamanya di samping fungsi-fungsi lain.
Media pembelajaran adalah bahasanya guru. Maka, untuk beberapa hal
media pembelajaran dapat menggantikan fungsi guru, terutama sebagai
sumber belajar.
Menurut Mudhoffir dalam bukunya mengatakan bahwa sumber belajar
pada hakikatnya merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi
pesan, orang, bahan, alat, tekhnik dan lingkungan, yang mana hal tersebut
dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan demikian sumber belajar
dapat dipahami sebagai segala macam sumber yang ada di luar diri
seseorang (peserta didik) dan memungkinkan terjadinya proses
pembelajaran.31
b. Fungsi Semantik
Yakni kemampuan media dalam menambah perbendaharaan kata (simbol
verbal) yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami anak didik
(tidak verbalistik).
Bahasa meliputi lambang (symbol) dan isi (content) -yakni pikiran dan
atau perasaan- yang keduanya telah menjadi totalitas pesan (message),
yang tidak dapat dipisahkan. Unsur dasar dari bahasa itu adalah "kata".
31