BERAGAMA PADA BULAN RAMADHAN DI KELURAHAN PARAPAT, SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh:
Ratih Pratiwi
NIM: 1112051000016
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ABSTRAK Nama : Ratih Pratiwi
NIM : 1112051000016
Judul : Komunikasi Antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat Batak non-Muslim dalam konteks Toleransi Beragama pada bulan Ramadhan di Kelurahan Parapat, Sumatera Utara
Manusia tidak akan lepas dari komunikasi antar pribadi dan antar kelompok dengan berbagai latar belakang budaya dan agama. Jika komunikasi di antara mereka berlangsung tidak efektif maka akan terjadi konflik di antara kelompok masyarakat itu. Agar tidak terjadi konflik di antara mereka maka diperlukan sikap toleransi beragama. Di kelurahan Parapat masyarakat Muslim adalah kelompok minoritas dan masyarakat non-Muslim adalah kelompok mayoritas. Pada bulan Ramadhan belum pernah terjadi konflik di antara mereka walaupun terdapat banyak perbedaan di antara mereka.
Berdasarkan konteks diatas, maka tujuan tulisan ini adalah menjawab pertanyaan. Adapun pertanyaannya adalah, Bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan? Bagaimana toleransi beragama di antara kedua kelompok? Apa saja faktor pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan?
Sikap Empatik adalah salah satu elemen penting dalam komunikasi. Komunikasi empatik akan efektif bila memiliki pengertian dan perhatian antara komunikator dan komunikan. Empati memberikan kekuatan untuk mengubah kondisi-kondisi negatif ketika seseorang berusaha meningkatkan interaksi dengan orang lain. Empati memungkinkan untuk memahami secara emosional dan intelektual mengenai sesuatu yang dialami orang lain.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan datanya dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis datanya menggunakan teknik etnografi.
Pola komunikasi yang terjadi di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat adalah pola komunikasi pribadi dan pola komunikasi kelompok. Toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim sangat baik karena mereka saling menghargai satu sama lain dan tidak mengganggu ibadah masing-masing agama. Karena toleransi beragama yang baik sehingga tidak pernah terjadi konflik di antara kedua kelompok masyarakat itu di bulan Ramadhan bahkan mereka saling menjaga keamanan satu sama lain. Adapun faktor pendukung komunikasi diantara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah rasa kebersamaan, rasa saling menghargai satu sama lain, sikap gotong royong, imitasi, rasa simpati dan sikap kekeluargaan. Adapun faktor penghambat terjadinya komunikasi di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah adanya sikap stereotipe dan prasangka sosial.
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdulilah, segala puja-puji bagi Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya serta nikmat kesehatan yang diberikan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
“KOMUNIKASI ANTARA MASYARAKAT MUSLIM DENGAN
MASYARAKAT NON-MUSLIM DALAM KONTEKS TOLERANSI
BERAGAMA DI KELURAHAN PARAPAT, SUMATERA UTARA”. Shalawat
serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW serta
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penelitian ini bukan semata-mata hasil karya penulis sendiri, tetapi juga
merupakan hasil serta bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis juga
merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan
karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan. Selanjutnya tidak lupa penulis haturkan
terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga
amal baik tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang penulis sayangi dan hormati, terima kasih
telah merawat dan mengajarkan hal-hal yang positif kepada penulis serta
motivasi baik berupa moril dan material dan juga atas doa yang
dipanjatkan untuk penulis. Kedua adikku M. Haro Baskoro dan Mira
2. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D selaku wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III
Bidang Kemahasiswaan.
3. Drs. Masran, MA dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Ketua dan
Sekretaris jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Prof. Dr. M. Yunan Yusuf selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Ade Masturi selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang bersedia
membimbing dan telah banyak memberi masukan serta saran selama
penulisan skripsi saya.
6. Bapak Parningotan Girsang selaku lurah kelurahan Parapat beserta staff
kelurahan Parapat yang telah membantu penulis dalam memberikan
data-data penelitian skripsi ini.
7. Ustadz Suadji selaku pemuka agama di kelurahan Parapat, Pdt Anggiat
Hutahuruk sebagai Pendeta di gereja HKBP Parapat, Bapak Sumari selaku
ketua kenaziran mesjid Raya Taqwa Parapat, Bapak H. Maimun selaku
ketua MUI kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Bapak Jan Warisman
Damanik selaku pimpinan Gereja GKPS Parapat dan Bapak Ramsion
Barutu selaku pengurus gereja Katolik Parapat yang telah meluangkan
sudah memberi informasi mengenai permasalahan dalam skripsi ini.
9. Segenap Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
terima kasih telah mengajari dan memberikan ilmu kepada penulis, dan
saya ucapkan mohon maaf apabila dalam proses perkuliahan, ada sikap
atau sifat penulis yang kurang berkenan di hati Bapak/ Ibu, penulis sangat
harapkan doa dari Bapak/ Ibu, semoga ilmu yang telah Bapak/ Ibu berikan
menuai banyak keberkahan.
10.Seluruh kayawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta
pengelola perpustakaan Fakultas dan perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas layanannya, semoga pelayanan
kepada mahasiswa menjadi lebih baik lagi kedepannya.
11.Teman-teman KKN Mahatma, Zaky, Dea, Afni, Imam, Bahri, Roni, Tian,
Alif, Julham yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis dalam
penulisan skripsi ini.
12.Teman-teman kelas KPI A, sahabat penyemangat dalam menyelesaikan
penelitian ini Aisyah, Rohima, Mia, Nisa, Faizah, Ajeng, Dani, Kiki,
Ricca, Akbar, Mamat, Tiwi, Nunu, Wiwi, Diana, Ami, dan lain-lain terima
kasih atas segalanya.
13.Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi
rasa hormat saya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan
membuahkan manfaat serta memberikan nilai kebaikan terkhususnya bagi para
penulis maupun pembaca sekalian. Dan semoga dapat menjadi suatu amalan
kebaikan dalam bidang dakwah di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 September 2016
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari mungkin sadar atau tidak telah melakukan
komunikasi dengan orang yang berbeda ras, etnik, kelompok dan budaya
dengannya, karena berkomunikasi adalah salah satu hal yang selalu di lakukan
dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak bisa lepas dari yang namanya
komunikasi. Bahkan dengan orang yang berbeda budaya dan agama dengannya
sekalipun. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, selalu
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari
kelompok ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda kebudayaan, merupakan pengalaman baru yang selalu
dihadapi.1
Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Karena manusia saling membutuhkan satu sama lainnya guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak akan lepas dari komunikasi antar
pribadi dan antar kelompok dengan berbagai latar belakang budaya yang ada.
Begitu pula dengan orang yang memiliki latar belakang agama yang berbeda.
Dalam kehidupan di masyarakat pasti sering ditemui orang yang bertetangga
adalah orang yang berbeda agama dan mereka melakukan interaksi sosial dengan
cara berkomunikasi.
1
Hubungan individu atau kelompok dari lingkungan kebudayaan yang berbeda
akan mempengaruhi pola komunikasi, karena perbedaan budaya yang memiliki
sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup
yang berbeda.2
Jika komunikasi yang berlangsung tidak efektif maka yang terjadi adalah
timbul pertikaian atau konflik antara dua budaya yang berbeda. Komunikasi yang
tidak efektif ini kerap kali terjadi jika tidak ada kesamaan persepsi tentang pesan
yang disampaikan. Dalam komunikasi antar budaya dan agama hambatan yang
sering muncul adalah dikarenakan perbedaan bahasa, norma dan adat kebiasaan
yang dijadikan pedoman dalam melakukan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu peran komunikasi dalam mengurangi terjadinya perbedaan makna
sangat penting. Agar dapat menciptakan hubungan yang harmonis di dalam
masyarakat dan bisa terwujud kesadaran bahwa masyarakat yang berbeda budaya
ini tetaplah masih dalam wilayah kesatuan Negara Indonesia, serta dapat
menghormati dan menghargai perbedaan tersebut.
Ketika berkomunikasi dengan orang lain, dihadapkan dengan bahasa-bahasa,
aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi seseorang untuk memahami
komunikasi mereka bila sangat etnosentrik. Menurut Summer dalam Mulyana
etnosentrik adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai
pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan
kelompoknya.” Pandangan-pandangan etnosentrik itu antara lain berbentuk
2
stereotipe yaitu suatu generalisasi atas sekelompok orang, objek atau peristiwa
secara luas dianut suatu budaya. Ini tidak berarti bahwa stereotipe salah. Ada
setitik kebenaran dalam stereotipe dalam arti bahwa stereotipe cukup akurat
sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak di
kenal. Namun bila di terapkannya kepada individu tertentu, kebanyakan stereotipe
tidak tepat dan banyak keliru. Situasi-situasi yang memalukan bisa muncul bila
bergantung pada streotipe ketimbang persepsi langsung.3
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
masyarakat.4 Agama adalah merupakan bagian dari budaya. Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal-hal yang sakral telah mengikat orang bersama-sama
dalam memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Kaitan
antara agama dan budaya adalah sangat jelas. Guruge dalam Larry Samover juga
menyatakan hal yang sama ketika ia mengamati bahwa “agama dan peradaban
saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai pada tahap yang tidak
dapat disimpulkan seseorang dimana setara dan berdampingan.”5
Menurut Emile Durkheim agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Di
dunia ini umat manusia tidak hanya menganut satu agama tetapi banyak agama.
3
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h. viii.
4
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h. 24.
5
Ada delapan agama terbesar di dunia menurut kitab suci mereka yaitu Kristen
dengan populasi penduduk terbesar saat ini dengan 2,1 milliar pemeluknya di
seluruh dunia terkonsentrasi di Eropa, Amerika, Australia dan Afrika Tengah dan
Selatan. Yang kedua ada agama Islam dengan jumlah pemeluk sekitar 1,7 milliar
dengan konsentrasi di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara dan Asia
Tenggara. Yang Ketiga ada agama Hindu dengan jumlah pemeluk sekitar 800 juta
yang terbanyak di India, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Yang keempat ada
agama Budha dengan jumlah pemeluk 600 juta jiwa dengan konsentrasi di China,
Tibet, Thailand dan Asia Selatan. Yang kelima ada agama Konghucu dengan
jumlah pemeluk 100-150 juta jiwa dan berkembang pesat di China. Yang keenam
ada Sikhism berkembang pesat di Pakistan dan India di sekitar wilayah Punjab,
memiliki pengikut sebanyak 25 juta jiwa. Yang ketujuh agama Yahudi dengan
terbesar di Israel, Amerika Utara dan Eropa dengan jumlah pengikut 15 juta jiwa.
Yang terakhir ada Zoroaster yang berkembang 2500 tahun yang lalu di Persia,
sekarang di Iran dan India dengan jumlah pengikut sebanyak 4 juta jiwa.6
Begitu pula di Indonesia menganut berbagai agama. Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) dalam hasil sensus penduduk tahun 2010, pemeluk agama Islam
pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18%), pemeluk agama
Kristen Protestan sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96%), pemeluk agama Kristen
Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,9%), pemeluk agama Hindu sebanyak 4.012.116
juta jiwa (1,69%) dan pemeluk agama Budha sebanyak 1.703.254 juta jiwa
6
(0,72%). Sementara itu, agama Khong Hu Cu sebagai agama termuda yang diakui
oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05%).7 Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam tetapi di beberapa wilayah di Indonesia Islam
menjadi agama yang minoritas seperti di Papua, Sulawesi Utara, NTT dan lainnya.
Termasuk juga di provinsi Sumatera Utara yaitu di kecamatan Girsang
Sipanganbolon agama Islam menjadi agama yang minoritas, sedangkan agama
terbanyak adalah agama Protestan. Hal ini terlihat dari laporan kependudukan
kecamatan Girsang Sipanganbolon, bahwa 993 orang beragama Islam, 9.187 orang
beragama Protestan, 1.939 orang beragama Katolik dan 47 orang beragama Budha.
Sementara itu di kelurahan Parapat terdapat 395 orang beragama Islam, 3.686
orang beragama Protestan, 810 orang beragama Katolik dan 34 orang beragama
Budha.8 Tetapi kedua kelompok masyarakat yang berbeda ini sudah lama hidup berdampingan sehingga sudah terjalin komunikasi antara masyarakat Muslim dan
masyarakat non-Muslim. Bahkan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di
kelurahan Parapat belum pernah terjadi konflik yang menyebabkan kedua
kelompok masyarakat ini saling bermusuhan.9 Hal ini tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepercayaan, perdagangan, aktivitas sehari-hari dan toleransi
beragama.
Toleransi beragama adalah suatu sikap menghargai dengan sabar
menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Toleransi
7
Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku, Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia (Jakarta: BPS, 2010), h. 10.
8
Data Monografi Kecamatan Girsang Sipanganbolon Mei 2016.
9
hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama dan
berdampingan bersama dengan masyarakat penganut agama lainnya, dengan
memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing
tanpa adanya paksaan atau tekanan.Apabila toleransi ini tidak dilakukan maka
yang terjadi adalah timbulnya konflik di antara umat beragama. Seperti yang telah
beberapa kali terjadi di Indonesia, beberapa contoh terjadinya konflik antar agama,
seperti kasus Tolikara pada Juli 2015 lalu10 dan juga peristiwa Poso dari tahun 1998-2002.11
Tujuan toleransi beragama tentu untuk menciptakan perdamaian dan
menghindari perpecahan antarumat beragama. Al-qur’an telah jelas
memerintahkan hal tersebut dalam surah Asy-Syura ayat 13:
10
(Kasus ini adalah terjadinya pembakaran mesjid Baitul Muttaqin hari Jumat 17 Juli 2015 ketika warga Muslim sedang melaksanakan Shalat Ied pada pukul 07.00 WIT. Kasus ini bermula dari surat edaran tentang pelarangan bagi umat Islam melaksanakan Shalat Idul Fitri dikarenakan Sinode Gereja Injil Indonesia juga mengadakan pertemuan nasional yang mengahadirkan 2000 orang perwakilan daerah. Peristiwa ini menyebabkan satu orang meninggal dan puluhan lainnya terluka. Sumber: Joko Panji Sasongko, Kapolri Beberkan Kronologi Insiden Tolikara, CNN Indonesia 23-07-2015)
11
Artinya: Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada--Nya).
Selain larangan menghina kepercayaan orang lain, Islam juga menjelaskan
hubungan yang harus dibangun seorang Muslim dengan masyarakat yang lain.
Masyarakat Muslim bertanggung jawab untuk mengadopsi akhlak Nabi dan
menjadi toleran serta adil kepada masyarakat lain. Termasuk percaya terhadap
seluruh kitab suci ciptaanNya serta menghormati kepercayaan orang lain. Orang
ini bisa jadi apa saja. Orang Budha, orang Yahudi, orang Kristen bahkan orang
Atheis. Sikap-sikap jujur dan asil seperti itu akan menimbulkan dampak positif di
hati mereka, tidak peduli apa atau siapa saja yang mereka percayai. Bahkan jika
mereka tidak memiliki kepercayaan sekalipun. Hal ini akan membuat mereka
merasa lebih dekat dengan Islam.12
Di kelurahan Parapat terdapat sekolah STT (Sekolah Tinggi Teologi) Trinity
yang merupakan sekolah milik non-Muslim, setiap pagi dari hari senin sampai
minggu dari pukul 06.00-07.00 WIB mereka memperdengarkan kajian mereka
menggunakan pengeras suara sehingga suaranya kedengaran sampai ke
rumah-rumah warga kelurahan Parapat. Bahkan ketika bulan Ramadhan mereka tetap
memperdengarkan kajian mereka tersebut. Sedangkan masyarakat Muslim
memperdengarkan adzan memakai pengeras suara hanya shalat Subuh, Maghrib
dan Isya saja sedangkan Zuhur dan Ashar tidak memperdengarkan Adzan
12
memakai pengeras suara. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi
konflik diantara masyarakat yang berbeda agama ini dikarenakan masyarakat
Muslim adalah minoritas di kelurahan Parapat.
Secara umum, kehidupan beragama antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat pada bulan Ramadhan terjalin
dengan harmonis. Mereka saling menghargai satu sama lain, karena buat mereka
kata “agamaku adalah buatku dan agamamu buatmu” itu dijalankan oleh mereka.
Mereka tidak mengganggu agama orang lain yang berbeda dengan agamanya
terutama pada bulan Ramadhan masyarakat non-Muslim menghargai dan
menghormati ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Bahkan mereka
saling menjaga satu sama lain agar tidak terjadi konflik diantara mereka.
Adanya hubungan komunikasi yang terjalin antara masyarakat Muslim
minoritas dan masyarakat Batak non-Muslim mendorong penulis untuk melihat
secara jelas bagaimana gambaran secara jelas mengenai pola komunikasi,
prasangka dan sterotipe yang muncul dan faktor pendukung dan penghambat serta
melihat berbagai bentuk kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan
tersebut. Untuk itu penulis mengambil judul skripsi ini dengan judul “Komunikasi
Antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat Batak non-Muslim dalam konteks
Toleransi Beragama pada bulan Ramadhan di Kelurahan Parapat, Sumatera
B. Pembatasan Masalah
Agar penulisan skripsi/penelitian ini lebih terarah, penulis merasa perlu
membuat pembatasan masalah .Adapun pembatasan masalah dalam penulisan
skripsi/penelitian ini adalah pertama terkait masalah tempat penelitian yaitu
penulis membatasi wilayah yang menjadi objek penelitian yaitu kelurahan Parapat
kecamatan Girsang Sipanganbolon kabupaten Simalungun. Kedua terkait dengan
fokus penelitiannya, penulis akan memfokuskan penelitian/skripsi ini pada
toleransi beragama pada saat bulan Ramadhan oleh masyarakat Muslim di
kelurahan Parapat. Ini dikarenakan karena di bulan Ramadhan itu biasanya syiar
agama terdengar dengan jelas dan lebih menonjol dibandingkan bulan-bulan
lainnya. Penelitian/skripsi ini melihat bagaimana toleransi beragama yang
ditunjukkan masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat
pada bulan Ramadhan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi
beragama di bulan Ramadhan?
2. Bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan kedua kelompok tersebut?
3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara
masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim
dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi
beragama di bulan Ramadhan.
2. Untuk mengetahui toleransi beragama yang ditunjukkan oleh kedua kelompok
tersebut di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada bulan
Ramadhan.
3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam komunikasi yang
terjadi dalam masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk
penelitian selanjutnya, khususnya dalam kajian komunikasi antar agama dan
budaya dan juga dalam konteks toleransi beragama.
2. Manfaat Praktis
Memberikan masukan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya
konflik, akibat kesalahpahaman cara pandang dalam memahami atau
menafsirkan sebuah pesan yang digunakan oleh komunikator yang berbeda
F. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan tinjauan pustaka sebelum menentukan judul
penelitian ini. Tinjauan pustaka yang penulis lakukan adalah di perpustakaan yang
terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga perpustakaan
Utama Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta. Penulis juga
mencari-cari judul yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini
di Internet. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan, terdapat beberapa
judul skripsi yang memiliki kesamaan, yaitu:
Skripsi karya Muhammad Yusup Supandi pada tahun 2010 yang berjudul“
Komunikasi Antar Budaya (Studi pada Pola Komunikasi Etnis Arab dengan
Masyarakat Pribumi di Kelurahan Empang Bogor).13 Subjek pada penelitian ini adalah etnis Arab dan masyarakat Pribumi yang maksudnya adalah masyarakat
Sunda di kelurahan Empang Bogor. Objek pada penelitian ini adalah pola
komunikasi antarbudaya. Subjek pada penelitian ini dan penelitian yang akan
penulis lakukan berbeda sedangkan objek penelitiannya sedikit berbeda, pada
skripsi ini objek pada penelitian yaitu mengenai pola komunikasi. Sedangkan
objek penelitian yang penulis lakukan adalah pola komunikasi terkait dengan
toleransi beragama pada bulan Ramadhan.
Hasil dari penelitian ini adalah hubungan antara etnis Arab dengan masyarakat
pribumi di Kelurahan Empang Kota Bogor berlangsung secara alamiah serta
terjalin dengan baik. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya pola
13
hubungan komunikasi etnis Arab dengan masyarakat Pribumi adalah adanya peran
agama yang sama dan banyak kegiatan keagamaan yang sering dilakukan.
Skripsi karya Muchammad Arief Sigit Muttaqien pada tahun 2009 yang
berjudul “ Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat
Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah).14 Subjek pada penelitian ini adalah masyarakat Muhammadiyah dan NU di desa Pringapus,
Semarang, Jawa Tengah. Objek pada penelitian ini adalah pola dari komunikasi
antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU. Dalam penelitian ini
memakai teori komunikasi organisasi. Dalam penelitian ini meneliti tentang dua
organisasi besar Islam yang terdapat di desa Pringapus sedangkan pada penelitian
yang penulis lakukan adalah dua kelompok masyarakat yang berbeda agama yaitu
masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim. Pola komunikasi yang lebih
di tonjolkan dalam penelitian ini adalah komunikasi organisasi dalam kontes
komunikasi antarbudaya sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan
pola komunikasi yang akan diteliti adalah semua pola komunikasi yang terdapat
dalam masyarakat kelurahan Parapat terkait dengan toleransi beragama pada bulan
Ramadhan.
Hasil dari penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah pola komunikasi kelompok kecil
dalam hal keagamaan. Tidak semua kegiatan keagamaan dapat menjadikan
komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat
14
NU berjalan efektif, hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam pengalaman
ibadah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Skripsi karya Siti Aisyah pada tahun 2013 yang berjudul “Pola Komunikasi
antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim
Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang).” 15 Subjek pada penelitian ini adalah warga Tionghoa dan masyarakat Muslim pribumi yang tinggal di
lingkungan RW 04 Kelurahan Mekarsari, kecamatan Neglasari kota Tangerang.
Sedangkan objek penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada etnis
Tionghoa dan masyarakat Muslim pribumi dalam kajian komunikasi antarbudaya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah kedua
subjek pada penelitian ini berbeda dan juga objek pada penelitiannya sedikit
berbeda karena pada penelitian ini fokusnya adalah hanya membahas pola
komunikasi dalam komunikasi antarbudaya khususnya asimilasi, akulturasi dan
enkulturasi sedangkan objek penelitian pada penelitian yang penulis lakukan
adalah bukan hanya pola komunikasi saja yang dibahas tetapi juga toleransi
beragama antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat.
Hasil dari penelitian ini adalah pola komunikasi antara etnis Tionghoa dengan
Muslim pribumi umumnya terdiri dari pola komunikasi antarpribadi dan
kelompok. Dalam kedua pola komunikasi tersebut tidak terlepas dari proses
akulturasi, asimilasi dan enkulturasi.
15
Skripsi karya Nurul Ain Kabarokan pada tahun 2014 yang berjudul “
Komunikasi Intra dan Antarbudaya masyarakat Muslim Kei di Kota Tual”.16
Subjek pada penelitian ini adalah masyarakat Muslim Kei dengan masyarakat
non-Muslim Kei dan masyarakat non-non-Muslim Kei di kota Tual. Sedangkan objek
penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat Muslim Kei
dengan masyarakat non-Muslim Kei dalam kajian komunikasi intra dan
antarbudaya. Penelitian ini dan penelitian yang penulis lakukan mempunyai
perbedaan yaitu di subjek penelitiannya dan juga objek penelitiannya sedikit
berbeda pada penelitian ini fokusnya adalah dalam kajian komunikasi intra dan
antar budaya sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan adalah dalam
konteks toleransi beragama pada bulan Ramadhan tetapi memiliki persamaan yaitu
membahas tentang komunikasi antarbudaya.
Hasil dari penelitian ini adalah dalam kebudayaan masyarakat Kei, ditemukan
bahwa terdapat nilai-nilai yang berharga untuk kehidupan bersama dan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam. Nilai tersebut terungkap dalam hukum adat
terttingginya yaitu hukum Larvul Ngabal. Keselarasan antara nila-nilai budaya dan
agama membuat masyarakat Muslim Kei di kota Tual dapat memadukan nilai-nilai
budaya dan agama dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama
masyarakat di sekelilingnya.
Skripsi karya Ricca Junia Ilprima pada tahun 2016 yang berjudul “Analisis
Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama dalam Novel Ayat-Ayat Cinta 2
16
Karya Habiburrahman El Zhirazy”.17
Subjek dalam penelitian ini adalah Novel
Ayat-ayat Cinta 2 karya Habiburrahman El Shirazy, sedangkan objek
penelitiannya adalah kontruksi sosial wacana dari segi dimensi teks sosial, kognisi
sosial dan konteks sosial. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis
lakukan, penelitian ini dilakukan pada analisis teks dalam novel yang di dalamnya
terkandung toleransi beragama sedangkan penulis melakukan penelitian pada
kelompok masyarakat tetapi ada persamaan dari keduanya yaitu membahas
masalah toleransi antarumat beragama.
Hasil dari penelitian ini adalah pesan toleransi beragama dalam bentuk ajakan
berbaik sangka dan tetap menciptakan perdamaian dengan orang-orang
Islamophobia dan pesan toleransi beragama bahwa semua agama itu sama atau
meniadakan agama agar tercipta perdamaian adalah salah manusia tanpa agama.
Pesan toleransi beragama dalam novel ini dipengaruhi oleh fenomena sosial di
masyarakat.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, maka peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara
mendalam situasi atau peristiwa dan pada penelitian ini tidak mencari atau
17
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi tetapi
membuat penyataan penelitian.18
Berangkat dari permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
deskriptif. Metode deskriptif merupakan dugaan terhadap suatu variabel
mandiri.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian ini adalah Masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim yang tinggal di Kelurahan Parapat, Kecamatan
Girsang Sipanganbolon, kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Alasan
saya mengambil subjek penelitian ini adalah dikarenakan masyarakat
Muslim adalah minoritas dan masyarakat non-Muslim adalah mayoritas
dengan perbandingan penduduk yang cukup jauh. Tetapi mereka hidup
berdampingan dan saling menjaga bahkan belum pernah terjadi konflik
yang melibatkan kedua kelompok tersebut. Sedangkan objek penelitiannya
adalah pola komunikasi masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim
di kelurahan Parapat.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, penulis telah terlebih dahulu
mengadakan preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan
sebelum penelitian dilakukan pada Desember 2015 sampai pada Maret
18
2016, sepanjang itu penulis mencari tahu dan menelaah tentang
gejala-gejala serta fenomena yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca
serta memperdalam kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi
antar budaya dan agama untuk memperkuat teori yang digunakan pada
penelitian. Sedangkan proses penelitian dan penggarapannya dilakukan
pada April 2016 sampai Agustus 2016.
Adapun tempat yang dijadikan objek penelitian ini adalah kelurahan
Parapat, kecamatan Girsang Sipanganbolon, kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara.
a. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendukung kelancaran penelitian dalam pengumpulan data,
maka diperlukan teknik yang tepat. Adapun teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1) Teknik Wawancara
Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data yang
bertujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung
kepada narasumber. Wawancara merupakan suatu poses interaksi dan
komunikasi. Dalam wawancara ini hasil ditentukan oleh beberapa
faktor yang berinteraksi dan yang mempengaruhi arus informasi.
objek-objek penelitian yang tertuang dalam pertanyaan dan situasi saat
wawancara dilakukan.19
Kegunaan wawancara adalah untuk mendapatkan data di
tangan pertama dan pengumpul teknik pengumpulan data lainnya dan
untuk menguji hasil dari teknik pengumpulan data lainnya.20 Pada teknik wawancara ini, pertanyaan diajukan kepada informan, yang
telah disiapkan secara lengkap dan cermat akan tetapi cara
penyampaian pertanyaan tersebut dilangsungkan secara bebas. Dengan
demikian sekalipun pewawancara telah terikat oleh pedoman
wawancara tetapi pelaksanaannya dapat berlangsung dalam suasana
tidak terlalu formal, harmonis dan tidak kaku.21
Teknik wawancara ini untuk mengungkapkan data mengenai
pola komunikasi pribadi dan kelompok yang terjadi antara masyarakat
Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam
konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan. Adapun orang-orang
yang akan penulis wawancarai disini adalah Ustadz, Ketua Kenaziran
Mesjid Raya Taqwa Parapat dan ketua MUI kecamatan Girsang
Sipanganbolon untuk mewakili masyarakat Islam, pendeta gereja
19
Masri Singarimbun dan Sofian Effendy, Metode penelitian Survey, (Yogyakarta:Lp3S,1987), h. 192.
20
Husaini Usman dan Purnomo Setiad Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:Bumi Aksara, 1996). H. 58-59.
21
HKBP, Pimpinan Jemaat GKPS Parapat dan Pengurus gereja Katolik
Parapat yang mewakili masyarakat non-Muslim.
2) Teknik Observasi
Teknik observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat dengan
sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.22 Teknik observasi ini digunakan untuk menambah atau menguatkan hasil-hasil yang
diperoleh dari hasil wawancara. Dalam teknik observasi ini penulis
melakukan pengamatan bagaimana pola komunikasi yang dilakukan
oleh masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat terkait toleransi beragama di bulan Ramadhan.
3) Teknik Dokumentasi
Berkaitan dengan data dokumentasi peneliti menggunakan data
kependudukan sipil dari kelurahan Parapat.Data demografi dan
monografi juga termasuk di dalamnya.Data ini diperoleh dari arsip
kependudukan di kecamatan Girsang Sipanganbolon. Teknik
dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan
data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian.
b. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknik etnografi.
Etnografi dalam komunikasi adalah metode analisis yang berfokus pada usaha
22
peneliti dalam mengobservasi dan meneliti tentang satu komunitas atau suatu
budaya agar bentuk komunikasi yang digunakan komunitas atau budaya
tersebut dapat diterima secara rasional. Littejohn menjelaskan bahwa etnografi
fokus pada beberapa faktor, yaitu:23
1. Pola komunikasi yang digunakan dalam sebuah kelompok.
2. Mengartikan semua kegiatan dalam kelompok.kapan dan dimana anggota
kelompok menggunakan kegiatan ini.
3. Bagaimana praktik komunikasi yang digunakan
4. Keberagaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok.
Teknik etnografi utama adalah wawancara yang panjang dan
berkali-kali dengan beberapa informan kunci. Fokus peneliti dalam melakukan
penelitian etnografi berkaitan dengan perubahan total dan kebudayaan. Tujuan
dari etnografi adalah untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat
tersebut. Namun, etnografi berkembang dan dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu etnografi awal dan etnografi modern. Jika etnografi awal lebih
mementingkan hal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu
masyarakat, maka etnografi modern lebih fokus pada kehidupan masa kini
yang sedang dijalani oleh masyarakat.24
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.
Tujuan utamanya adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
23
Stephen Littlejohn dan Karen Foss, Teori Komunikasi, Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h.460.
24
pandang masyarakat pribumi. Oleh karena itu, penelitian etnografi tidak hanya
mempelajari masyarakat, namun juga belajar dari masyarakat. Seorang
peneliti etnografi melakukan proses memahami apa yang dilihat dan di dengar
lalu menyimpulkannya. Proses ini memerlukan pemikiran atas kenyataan atau
kejadian yang disaksikan oleh peneliti dan hal yang diduga.25 Spradley mengungkap tentang langkah-langkah melakukan wawancara etnografis
dengan metode etnografi, yaitu:
1. Menetapkan seorang informan.
2. Melakukan wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan
jenis peristiwa percakapan yang khusus. Tiga unsur yang penting
dalam wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan
dan pertanyaannya yang bersifat etnografis.
3. Membuat catatan etnografis. Sebuah catatan etnografis meliputi
catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang
mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.
4. Mengajukan pertanyaan deskriptif. Etnografer perlu untuk mengetahui
paling tidak satu setting yang di dalamnya informan perlu melakukan
aktivitas rutinnya.
5. Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini merupakan
penyelidikan berbagai bagian sebagaimana dikonseptualisasikan oleh
informan.
25
6. Membuat analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk mencari
domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang
merupakan nama-nama benda.
7. Mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut
setelah mengidentifikasi domain.
8. Membuat analisis taksonomik.
9. Mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini
dapat ditemukan dengan menentukan bagaimana sebuah simbol
berbeda dari simbol-simbol lainnya.
10.Membuat analisis komponen. Analisis komponen merupakan suatu
pencarian sistematik berbagai atribut yang berhubungan dengan
simbol-simbol budaya.
11.Menentukan tema-tema bdaya. Langkah terakhirnya yakni menulis
sebuah etnografi.26
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dipakai adalah
perpaduan antara etnografi awal dan etnografi modern. Etnografi awal
diperlukan untuk mengetahui bagaimana sejarah komunikasi yang
terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di
kelurahan Parapat. Lalu etnografi modern untuk mengedepankan
bagaimana kehidupan masyarakat Muslim dengan masyarakat
non-Muslim di kelurahan Parapat pada saat sekarang.
26
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari beberapa bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, sumber
data dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Terdiri dari komunikasi antarbudaya, pola komunikasi, agama sebagai
elemen budaya, pengertian prasangka dan stereotype, toleransi beragama dan
komunikasi empatik.
BAB III GAMBARAN UMUM
Terdiri dari gambaran umum masyarakat kelurahan Parapat yang
dilihat dari beberapa keadaan yaitu: demografi, penduduk dan monografi yang
meliputi letak daerah, kegiatan ekonomi, pendidikan, mata pencaharian dan
keagamaan.
BAB IV ANALISIS DATA
Terdiri dari memaparkan hasil dari variabel yaitu pola komunikasi
masyarakat muslimminoritas dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan
Parapat. Melihat bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat
Muslim dan Masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dan faktor
pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim
dan Masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi
BAB V PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan
TINJAUAN TEORITIS
A. Komunikasi Antarbudaya
1. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Kata atau istilah “komunikasi” merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris Communication yang dikembangkan di Amerika Serikat dan
komunikasi pun berasal dari unsur persuratkabaran, yakni journalism.
Adapun definisi komunikasi dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: dari sudut
bahasa(etimologi) dan dari sudut istilah(terminologi). Komunikasi
menurut bahasa atau etimologi diartikan dengan “Perhubungan”,
sedangkan yang terdapat dalam buku komunikasi berasal dari perkataan
latin, yaitu communication berasal dari kata latin Communicatio yang juga
bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya
sama makna.1 Persepsi mengenai satu kata diantara orang yang berbicara haruslah sama, bila tidak sama berarti tidak sama makna. Contoh adalah
kata “atos”, dalam bahasa Sunda “atos” berarti sudah tetapi dalam bahasa
Jawa kata “atos” berarti keras. Hal ini menandakan itu tidak termasuk
komunikasi karena tidak sama makna.
Adapun pengertian komunikasi menurut istilah (termonologi)
banyak dikemukakan oleh sarjana-sarjana yang menekuni ilmu
komunikasi, antara lain: Menurut Carl I.Hovland, mengatakan bahwa
komunikasi adalah “The process by which individuals (the communicator)
1
transmits stimuli(usually verbal symbols) to modify the behavior of other
individuals(communicant)” yang berarti “proses dimana seseorang
(komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya
lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang-orang
lain (komunikan). Laswell, 1960, mengatakan bahwa “komunikasi pada
dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa”, “mengatakan
apa”, “dengan saluran apa”, “kepada siapa”, dan “dengan akibat atau hasil
apa?” (who? Says what? In which channel? To whom? With what
effect?)”. Everett M. Rogers, mengemukakan bahwa komunikasi adalah
“proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima
atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.”2
Penulis menyimpulkan komunikasi adalah serangkaian proses dimana
pesan/ide disampaikan komunikator kepada komunikan untuk
mendapatkan umpan balik yang diberikan komunikan kepada
komunikator.
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan
pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam
sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan
dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa
verbal dan non verbal yang dipahami bersama.3 a. Sifat Komunikasi
Di tinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai
berikut: komunikasi verbal (verbal communication) yaitu komunikasi
2
Roudhonah, M.Ag, Ilmu Komunikasi, h. 20-21.
3
dengan ciri bahwa pesan yang dikirimkan berupa pesan verbal atau dalam
bentuk ungkapan kalimat, baik secara lisan maupun tulisan. Komunikasi
nonverbal (nonverbal communication) yaitu komunikasi dengan ciri pesan
yang disampaikan berupa komunikasi kial (gestural/body communication),
komunikasi gambar (pictorial communication) dan lain-lain. Komunikasi
tatap muka (face-to-face communication) yaitu dalam hal ini pihak-pihak
yang berkomunikasi saling bertemu dalam suatu tempat tertentu. Dan
komunikasi bermedia (mediated communication) yaitu komunikasi yang
menggunakan media seperti telepon, surat, radio dan sebagainya.4 b. Tujuan Komunikasi
Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to
change the attitude), mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the
opinion), mengubah prilaku (to change behavior) dan mengubah
masyarakat (to change the society).5 c. Teknik Komunikasi
Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti
keterampilan atau keperigelan.6
Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan
komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi komunikasi
informatif (informative communication) yaitu teknik komunikasi dengan
menyampaikan pesan berulang-ulang untuk memberikan informasi kepada
komunikan, proses komunikasi ini satu arah dari pihak komunikator
kepada komunikan dalam penyebaran informasi. Komunikasi persuasif
4
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.14.
5
Onong U. Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 55.
6
(persuasive communication) yaitu komunikasi yang dilakukan dengan cara
halus dan membujuk komunikan. Komunikasi pervasif (perpasive
communication) yaitu komunikasi yang perlahan atau merembes tapi
berpengaruh. Komunikasi koersif (coersive communication) yaitu
komunikasi yang menggunakan paksaan atau kekerasan yang hasilnya
menampakkan hal yang negatif. Komunikasi instruktif (instructive
communication) yaitu komunikasi yang bersifat memerintah atau
mengarahkan. Dan hubungan manusiawi (human relations) yaitu teknik
komunikasi yang memperhatikan nilai-nilai etis untuk menciptakan
suasana atau iklim komunikasi yang manusia.7
Sedangkan pengertian Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki,
agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta,
objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari
generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya
menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan model bagi
tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan
orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis
tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu
saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek materi
yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.8
7
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, h.14.
8
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”
yang merupakan kata jamak “buddhi” yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal.9
Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward
Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa
kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan
yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Atau seperti
kata Hebding dan Glick (1992) bahwa kebudayaan dapat dilihat secara
material maupun non material. Kebudayaan material tampil dalam objek
material yang dihasilkan, kemudian digunakan oleh manusia. Sebaliknya
budaya non material adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep
norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan/keyakinan serta bahasa.10
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol,
pemaknaan, penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai,
pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran,
perkataan atau perbuatan/tindakan yang dibagikan diantara para anggota
suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.11 Penulis menyimpulkan kebudayaan adalah kebiasaan, adat istiadat, nilai yang
dimiliki oleh manusia sebagai suatu anggota dalam masyarakat yang
dihasilkan dari kesepakatan bersama di masyarakat.
9
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal 150 10
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.107.
11
Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang
dibangun oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan
timbal balik, kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan,
kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan
oleh seluruh masyarakat.12
Tujuh unsur kebudayaan yang culture universals, yaitu:13
Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan
sebagainya). Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi
(pertanian, peternakan, sistem poduksi, sistem distribusi dan sebagainya).
Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik,
sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan). Keempat, bahasa (lisan
maupun tulisan). Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan
sebagainya). Keenam, sistem pengetahuan. Ketujuh, religi (sistem
kepercayaan).
Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa
“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti
dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat
membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol
itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan
namun konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi
setiap konsep itu saling berhubungan.14
12
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4.
13
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 154.
14
Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan
bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol
hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama
untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam
proses komunikasi antara anggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi
kebudayaan” itu diadaptasi ke dalam proses suatu proses yang disebut
“adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok
[image:40.595.140.515.210.586.2]menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu
gambaran atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka.15
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya
tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa dan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan
kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan
pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung
pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekwensinya, budaya merupakan
landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam
pula praktik-praktik komunikasi.16
Selanjutnya, Komunikasi antarbudaya terjadi jika sumber dan
penerimanya berasal dari budaya yang berbeda meliputi agama, ras, etnik,
suku, golongan dan sebagainya. Ini menjadi ciri yang memadai untuk
mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik.
15
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 5.
16
Komunikasi antarbudaya merupakan prilaku yang unik, yang
memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi.17 Definisi paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar
belakang kebudayaan. Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi
antarbudaya dapat diartikan melalui pernyataan sebagai berikut:18
a. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang
disampaikan secara lisan, tulisan, bahkan secara imajiner antara dua
orang yang berbeda latar belakang budaya.
b. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk
informasi atau hiburan yang disampaikan lisan atau tertulis atau
metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar
belakang budaya.
c. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seseorang
yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.
d. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk
simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budaya.
e. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang
dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang
keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan
menghasilkan efek tertentu.
17
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, h. 20.
18
f. Komunikasi antarbudaya adalah setiap poses pembagian informasi,
gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang
budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan,
tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi atau
bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.
g. Penulis menyimpulkan komunikasi antarbudaya adalah pertukaran
pesan, ide ataupun makna diantara dua orang atau lebih yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda untuk menghasilkan efek tertentu.
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dari
komunikasi antarbudaya ini, diantaranya:19
a. Samovar dan Porter mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang
kebudayaannya berbeda.
b. William B. Hart II, komunikasi antarbudaya tidak dapat dielakkan dari
pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak
sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus
dicatat bahwa komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi
yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.”
c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili
pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi prilaku komunikasi
para peserta.
19
d. Guo-Ming Chen dan William J. Strarosta mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran
sistem simbolik yang membimbing prilaku manusia dan membatasi
mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya
komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1) Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam
pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema
(penyampaian tema melalui simbol) yang sedang
dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna
tetapi dia dapat berarti ke dalam suatu konteks dan
makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
2) Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari
persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi,
sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses
pemberian makna yang sama.
3) Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram
namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap
perilaku kita.
4) Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat
membedakan diri dari kelompok lain dan
mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara.
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut
membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa
kita kehilangan peluang untuk merumukan suatu tingkat kepastian sebuah
komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi
interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan
karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan
berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal. Dengan
demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan
yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh
nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi latar
belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia.
Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang
dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang
pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita.20 2. Agama sebagai Elemen Budaya
Fitur lain dari semua budaya adalah agama. Menurut Parkes,
Laungani dan Young sebagaimana dikutip Larry dkk, semua budaya
“memiliki agama yang dominan dan terorganisasi dimana aktivitas dan
kepercayaan mencolok (upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan) dapat
berarti dan berkuasa. Pengaruh agama dapat dilihat dari semua jalinan
budaya karena hal ini berfungsi dasar. Ferraro menuliskan bahwa fungsi
ini meliputi kontrol sosial, penyelesaian konflik, penguatan kelompok
solidaritas, penjelasan dari sesuatu yang sukar dijelaskan dan dukungan
emosional. Fungsi-fungsi ini, baik secara sadar maupun tidak berdampak
pada semua hal mulai dari paktik bisnis (etika kerja orang Puritan) sampai
20
kepada politik (hubungan antara Islam dan pemerintahan) hingga tingkah
laku individu (kode etik). Karena agama itu berpengaruh kuat dan
pervasive.21
Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya
selama ribuan tahun. Seperti yang dinyatakan oleh Haviland dan rekannya,
“cara pandang erat kaitannya dengan kepercayaan dan praktik agama.”
Dengan kata lain, “semua masyarakat memiliki kepercayaan dan praktik
(umumnya disebut sebagai) agama.” Kebutuhan manusia untuk
menghidupi isu penting begitu universal, sehingga tidak diketahui
“kelompok manusia di manapun di muka bumi ini yang selama lebih dari
10.000 tahun berlalu, tanpa manifestasi spiritual atau agama. ”Sama seperti
elemen struktur dalam, sejarah panjang dari agama berhubungan langsung
dengan budaya. Coogan mengulangi poin yang sama pentingnya dalam
tulisannya, “manusia percaya akan adanya sesuatu yang lebih besar dari
manusia sebagai penentu dan pencipta budaya.” 22
Kata agama (religion) berasal dari bahasa Latin religare yang
berarti “untuk mengikat”. Hal ini dengan jelas menandakan bahwa agama
mengikat manusia dengan hal-hal yang sakral. Hal yang menarik dari
agama adalah bahwa hal tersebut telah mengikat orang bersama-sama
dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun.
Baik melalui institusi seperti gereja Katolik, pemimpin spiritual dan sosial
seperti Budha dan Confucius maupun melalui ajaran Alkitab, Weda,
21
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta:Salemba Humanika, 2010), h. 29-30.
22
Quran, Torah dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan
untuk melihat ke luar diri mereka sendiri akan nilai-nilai yang mereka
gunakan dalam mengatur hidup mereka. Kelihatannya untuk ribuan tahun
milliaran orang telah setuju, sadar atau tidak sadar dengan pribahasa Latin
yang mengatakan, “manusia tanpa agamasama halnya seperti kuda tanpa
tali kekang.”
Agama merupakan aspek sentral dan fundamental dalam
kebudayaan dan kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi konkrit yang
terkandung di dalamnya bisa saja harmonis atau konflik dengan situasi
yang ada dalam masyarakat atau dengan proses transformasinya ke depan.
Anggapan agama sebagai salah satu unsur inti dalam kebudayaan akan
membantu kita meringkas arti penting agama bagi manusia. Seperti
kebudayaan, agama pun dapat digambarkan sebagai suatu “rancangan
dramatis” yang berfungsi untuk mendapatkan kembali sense of flux atau
gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses
serentak dengan penampilan, tujuan, maksud dan bentuk historis. Agama,
seperti halnya kebudayaan merupakan transformasi simbolis pengalaman.
Rancangan yang diberikan agama terhadap kehidupan dianggap oleh orang
yang beragama sebagai suatu penyelamatan, natural atau supernatural
dalam makna pengalaman yang lebih dalam, sedangkan bagi orang-orang
skeptis, agama dilihat sebagai seperangkat persetujuan yang menghambat
terjadinya peristiwa-peristiwa dan menganggap jagad raya sebagai tidak
ada artinya bagi manusia. Telah dinyatakan bahwa kebudayaan dalam
sifatnya. Jika bukan karena campur tangan kepentingan manusia, maka
berubahnya alam dan bergesernya waktu akan terlihat tanpa arti dan tanpa
arah.23
Seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan “suatu
pertahanan” dalam arti sebagai seperangkat kebudayaan dan sikap yang
akan melindungi kita melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi yang
menjengkelkan. Agama merupakan salah satu bentuk perlindungan budaya
melalui mana secara sadar atau tidak ketakutan dan agresi yang timbul
diantara individu dan masyarakat dapat diredakan. Yang ketiga, seperti
halnya kebudayaan, agama juga merupakan “suatu pengarahan” yang
tersusun dari unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban kita pada
berbagai tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan. Ia membuat kita
“menerima, merasakan, memikirkan serta melaksanakan dengan cara-cara
yang diinginkan.” Yang terakhir seperti halnya kebudayaan, agama juga
mencakup “simbol ekonomi”.Ia menyangkut pengalokasian nilai-nilai
simbolis dalam bobot yang berbeda-beda.24
Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek
kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran
manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sama halnya
kompleks idea dan semua perspektif duniawi seperti semua sistem simbol
yang dianut oleh manusia dengan berbagai cara dijalankan dengan
beberapa bentuk pola berpikir dan dengan kompleksitas hubungan manusia
dengan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga. Namun demikian, sifat
23
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 215.
24
agama yang luhur dan suci ini memunculkan suatu unsur yang lain pada
agama.25
Dalam konteks kekinian, ada tiga bagian tipologi sikap beragama
dalam perspektif teologis. Pertama, Ekslusivisme yaitu memandang bahwa
agamanya sajalah yang benar dan agama yang lain salah dan sesat. Kedua,
Inklusifisme yaitu memandang bahwa “kesalamatan” bukan monopoli
agamanya. Penganut agama lain yang secara implisit berbuat benar
menurut agamanya, akan mendapatkan keselamatan juga. Ketiga,
Pluralisme yaitu memandang bahwa semua agama benar dan sama. Oleh
karena itu, orang yang bersifat pluralis berpandangan bahwa tidak
seharusnya umat beragama bersifat ekslusif dengan serangkaian klaim
kebenaran dan keselamatan yang khusus menjadi atribut bagi mereka.26
Pada zaman modern beragam wacana muncul untuk
mengklasifikasikan atau mengidentifikasikan suatu kelompok penganut
agama terhadap agama lain. Ninian Smart membaginya dalam lima
kategori, yaitu:27
1. Ekslusifisme absolute merupakan pandangan umum dari mayoritas
pemeluk agama yang menyatakan bahwa kebenaran mutlak untuk
agama yang dipeluknya. Sedangkan agama lainnya dianggap tidak
benar. Posisi ini apabila diacukan pegangan secara saklek akan
melahirkan kesulitan berupa setiap orang dapat mengklaim kebenaran
25
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, h. 217.
26
M. Irfan Riyadi M.Ag dan Basuki M.Ag, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009) h.2
27
sehingga karena paling benar, maka yang lain salah dan karena salah
maka harus dimusnahkan.
2. Relativisme absolute yang berpandangan bahwa sebagai sistem
kepercayaan agama tidak dapat diperbandingkan satu sama lain, karena
orang ingin melakukan terlebih dahulu harus menjadi orang dalam,
sehingga mengerti kebenaran agama masing-masing agama.
Konsekwensi dari pandangan ini setiap agama tidak pernah
mempunyai akses terhadap kebenaran agama lain.
3. Inklusifisme hegemonistik merupakan pandangan yang lebih terbuka
yang menganggap agama lain terdapat kebenaran namun menyatakan
prioritas terhadap agamanya sendiri.
4. Pluralisme realistik